260110160052_ai Masitoh_proposal Metpen.docx

  • Uploaded by: ai
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 260110160052_ai Masitoh_proposal Metpen.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,760
  • Pages: 15
HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI KOPI TERHADAP KADAR ALT DAN AST PADA MAHASISWA ANGKATAN 2016 SHIFT B FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN

AI MASITOH 260110160052

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2017

Kata Pengantar Puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena atas berkah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini untuk memenuhi tugas Metodologi Riset dan Biostatistik. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpah pada junjungan kita semua Nabi Muhammad Sallallahi Alaihi Wassalam. Penulis menyadari akan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga dalam proposal ini masih terdapat kekurangan. Mudah-mudahan proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jatinangor, Maret 2019

Penulis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi adalah minuman psikostimulant yang akan menyebabkan orang tetap terjaga, sehingga kopi menjadi salah satu minuman favorit (Saputra E, 2008). Pada tanaman kopi didalamnya terdapat berbagai komponen, terutama kafein, cafestol dan kahweol (Marchado, et al, 2014). Berdasarkan penelitian Urgert et al (1995) yang dilakukan pada kopi Turki dan Skandinavia terhadap dua kelompok subjek dimana satu kelompok diuji dengan kopi yang tidak disaring dengan kandungan 39 mg cafestol dan 49 mg kahweol sedangkan kelompok lainnya meminum kopi yg disaring dengan kandungan cafestol dan kahweol masing-masing 11 mg dan 13 mg. Pada penelitian Ahola et al (1991), lebih dari 80% lemak pada kopi yang disaring berkurang dan efek yang terkait kolesterol pun hilang. Baik kopi yang tidak disaring maupun kopi yang disaring keduanya tetap menunjukkan peningkatan konsentrasi ALT dan AST. Penelitian terhadap tikus yang diinduksi dimethylnitrosamine (DMN), carbon tetrachloride (CCl4), atau thioacetamide (TAA) membuktikan bahwa kopi yang telah disaring memiliki potensi sebagai hepatoprotektor karena dapat menghambat toksin yang menginduksi fibrosis hati. Sedangkan kopi yang tidak disaring umumnya memiliki efek protektif yang rendah dan justru meningkatkan hepatotoksisitas, serta meningkatkan kadar AST dan ALT (Dranoff et al., 2014). Penelitian lain yang dilakukan Chinwe dkk. terhadap mahasiswa kesehatan di Imo University, Owerri, Nigeria berusia 19-30 tahun dan memiliki BMI <30 kg/km2 yang mengkonsumsi 3-4 cangkir kopi tanpa saring per hari selama 2 bulan meningkatkan kadar alanine aminotransferase (ALT) secara signifikan. Kadar aspartat aminotransferase (AST) juga meningkat, namun tidak begitu signifikan. Peningkatan kadar kedua enzim tersebut disebabkan oleh diterpen cafestol dan kahweol yang terdapat pada kopi tanpa saring (Chinwe et al., 2013). ALT dan AST merupakan dua macam enzim yang dihasilkan oleh sel-sel hati. Kedua enzim ini digunakan sebagai indikator pada pemeriksaan fungsi

hati, dimana kadarnya akan meningkat dalam darah ketika sel-sel hati mengalami kerusakan. AST tidak spesifik berada di hati, tetapi ada juga di sel darah, jantung dan otot, sehingga untuk menunjukkan adanya kelainan pada sel hati diperlukan adanya pemeriksaan ALT. Jika kadar kedua enzim ini meningkat, dapat dipastikan adanya kelainan pada sel hati. Pada penyakit hati kronis, kadar ALT dan AST terlihat normal atau hanya mengalami sedikit peningkatan. Berbeda halnya dengan penyakit hati akut atau kerusakan hati secara masif, dimana kadar ALT dan AST menunjukkan peningkatan yang signifikan (Singh, 2011). Berdasarkan penelitian di Norwegia, orang yang telah terbiasa mengonsumsi kopi tanpa saring dengan kadar cafestol dan kahweol tinggi tidak menunjukkan peningkatan kadar ALT (alanine aminotransferase) (Weusten, et al, 1994). Saat ini di kalangan mahasiswa aktif maupun anak usia remaja dan dewasa muda memiliki kegemaran untuk mengonsumsi kopi baik itu karena kebutuhan aktivitas yang tinggi atau hanya sebatas gaya hidup. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui pengaruh konsumsi kopi terhadap kadar ALT dan AST terhadap mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran Shift C 2015.

1.2.

Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang dapat

diidentifikasi dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana pengaruh konsumsi kopi terhadap kadar ALT dan AST? 1.3.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsumsi kopi

terhadap kadar ALT dan AST. 1.4.

Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat yaitu untuk mengedukasi masyarakat mengenai

pengaruh konsumsi kopi terhadap salah satu indikator kerusakan hati yaitu enzim ALT AST

1.5.

Tempat dan Waktu Penelitian 1.5.1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. 1.5.2. Waktu Penelitian Waktu penelitian berlangsung bulan maret-april 2019.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kopi Kopi merupakan salah satu minuman yang banyak digemari masyarakat ,karena kopi telah dikonsumsi dari generasi ke generasi. Hingga saat ini, para lanjut usia bahkan muda-mudi memilih kopi bubuk dibandingkan kopi jenis lain karena rasanya yang khas. Oleh sebab itu banyak terdapat warung kopi di pinggiran jalan yang menjual kopi bubuk buatan lokal. Oleh sebab itu ban yak terdapat warung kopi di pinggiran jalan yang menjual kopi bubuk buatan lokal. Penikmat Kopi biasanya minum kopi 3-4 cangkir setiap hari. Hal ini menyebabkan seseorang dapat ketergantungan minuman kopi. Ketergantungan tersebut disebabkan oleh kandungan kafein dalam kopi (Maramis, dkk, 2013). Kopi merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang sudah lama dibudidayakan dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kopi berasal dari Afrika, yaitu daerah pegunungan di Etiopia. Kopi sendiri baru dikenal oleh masyarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di luar daerah asalnya yaitu Yaman di bagian Selatan Arab melalui para saudagar Arab (Rahardjo, 2012). 2.2 Kafein Kafein ditemukan oleh seorang kimiawan Jerman Friedrich Ferdinand Runge, pada tahun 1819. Kafein merupakan alkaloid xantin yang memiliki berat molekul 194,9 dengan rumus kimia C8H10N8O2, dan pH 6,9 (larutan kafein 1% dalam air). Bentuk murni kafein dijumpai sebagai kristal berbentuk tepung putih atau berbentuk seperti benang sutera yang panjang dan kusut. Kristal kafein mengikat satu molekul air dan dapat larut dalam air mendidih. Kafein mencair pada suhu 2350C - 2370C dan akan menyublin pada suhu 1760C di dalam ruang terbuka (Ciptadi dan Nasution, 1985). Kafein merupakan senyawa terpenting yang terdapat di dalam kopi. Kafein berfungsi sebagai perangsang dan kaffeol sebagi unsur flavor. Pada

saat penyangraian kopi, bagian kafein berubah menjadi kaffeol dengan jalan sublimasi (Ciptadi dan Nasution, 1985). Kafein dalam kopi terdapat dalam bentuk ikatan kalium kafein klorogenat dan asam klorogenat. Ikatan ini akan terlepas dengan adanya air panas, sehingga kafein dengan cepat dapat terserap oleh tubuh. Asam klorogenat terdapat secara luas pada tanaman namun kurang mempunyai efek fisiologi dibandingkan dengan kafein. Pada proses penyangraian, trigonellin pada biji kopi sebagian akan berubah menjadi asam nikotinat (niasin), yaitu jenis vitamin dalam kelompok vitamin B (Mahendradatta, 2007). Berdasarkan efek farmakologis tersebut, kafein ditambahkan dalam jumlah tertentu ke minuman. Efek berlebihan (over dosis) mengkonsumsi kafein dapat menyebabkan gugup, gelisah, tremor, insomnia, hipertensi, mual dan kejang (Farmakologi UI, 2002). Berdasarkan FDA (Food Drug Administration) yang diacu dalam Liska (2004), dosis kafein yang diizinkan 100-200 mg/hari, sedangkan menurut SNI 01-7152-2006 batas maksimum kafein. Dalam makanan dan minuman adalah 150 mg/hari dan 50 mg/sajian. Kafein sebagai stimulant tingkat sedang (mild stimulant) memang seringkali diduga sebagai penyebab kecanduan. Kafein hanya dapat menimbulkan kecanduan jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dan rutin. Namun kecanduan kafein berbeda dengan kecanduan obat psikotropika, karena gejalanya akan hilang hanya dalam satudua hari setelah konsumsi.

2.3 Anatomi dan fisiologi hati Hati memiliki beberapa fungsi, yaitu tempat metabolisme nutrisi makro (karbohidrat, lemak, dan protein), tempat penyimpanan besi dan vitamin, pembentuk faktor koagulasi, pembentuk empedu, serta metabolism berbagai hormon dan obat-obatan (Guyton, 2007). Pada manusia dan organisme tingkat tinggi hati merupakan tempat utama untuk metabolisme zat asing. Hati bertanggung jawab dalam proses absorbsi, detoksifikasi, dan ekskresi berbagai jenis zat yang didapat dari

dalam maupun luar tubuh, termasuk berbagai zat yang disintesis dalam hati itu sendiri (Boyer, dkk, 2012). Metabolisme xenobiotic (zat asing) dapat dibagi dalam dua fase. Padafase 1, reaksi yang utama adalah hidroksilasi, dikatalisa terutama oleh enzim enzim dari golongan monooksigenase atau cytochrome P450. Selain hidroksilasi, enzim-enzim ini juga mengkatalisa berbagai macam reaksi, Pada fase 2, zat yang telah mengalami hidroksilasi pada fase 1 dirubah menggunakan enzim yang spesifik menjadi berbagai macam metabolit yang polar oleh proses konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asetat, glutathione, atau asam amino, atau juga melalui proses metilasi. Secara keseluruhan

tujuan

kedua

fase

metabolisme

xenobiotic

adalah

untukmeningkatkan kelarutan dalam air sehingga dapat diekskresi dari tubuh (Murray, 2009).

2.4 Fungsi Hati Secara fisiologis, fungsi utama dari hati adalah: a. Membantu dalam metabolisme karbohidrat Fungsi hati menjadi penting, karena hati mampu mengontrol kadar gula dalam darah. Misalnya, pada saat kadar gula dalam darah tinggi, maka hati dapat mengubah glukosa dalam darah menjadi glikogen yang kemudian disimpan dalam hati (Glikogenesis), lalu pada saat kadar gula darah menurun, maka cadangan glikogen di hati atau asam amino dapat diubah menjadi glukosa dan dilepakan ke dalam darah (glukoneogenesis) hingga pada akhirnya kadar gula darah dipertahankan untuk tetap normal. Hati juga dapat membantu pemecahan fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa dan serta glukosa menjadi lemak (Guyton, 2007). b. Membantu metabolisme lemak Membantu proses Beta oksidasi, dimana hati mampu menghasilkan asam lemak dari Asetil Koenzim A. Mengubah

kelebihan Asetil Koenzim A menjadi badan keton (Ketogenesis). Mensintesa lipoprotein-lipoprotein saat transport asam-asam lemak dan kolesterol dari dan ke dalam sel, mensintesa kolesterol dan fosfolipid juga menghancurkan kolesterol menjadi garam empedu, serta menyimpan lemak (Guyton, 2007). c. Menetralisir obat-obatan dan hormon Hati dapat berfungsi sebagai penetralisir racun, yakni pada obat-obatan

seperti

sulfonamide

juga

penisilin, dapat

ampisilin,

mengubah

erythromisin,

sifat-sifat

kimia

dan atau

mengeluarkan hormon steroid, seperti aldosteron dan estrogen serta tiroksin (Guyton, 2007). d. Mensekresikan cairan empedu Bilirubin, yang berasal dari heme pada saat perombakan sel darah merah, diserap oleh hati dari darah dan dikeluarkan ke empedu. Sebagian besar dari bilirubin di cairan empedu di metabolisme di usus oleh bakteri-bakteri dan dikeluarkan di feses. Dalam proses konjugasi yang berlangsung di dalam retikulum endoplasma sel hati tersebut, mekanisme yang terjadi adalah melekatnya asam glukuronat (secara enzimatik) kepada salah satu atau kedua gugus asam propionat dari bilirubin. Hasil konjugasi (yang kita sebut sebagai bilirubin terkonjugasi) ini, sebagian besar berada dalam bentuk diglukuronida (80%), dan sebagian kecil dalam bentuk monoglukuronida. Penempelan gugus glukuronida pada gugus propionat terjadi melalui suatu ikatan ester, sehingga proses yang terjadi disebut proses esterifikasi. Proses esterifikasi tersebut dikatalisasi oleh suatu enzim yang disebut bilirubin uridin-difosfat glukuronil

transferase

(lazimnya

disebut

enzim

glukuronil

transferase saja), yang berlokasi di retikulum endoplasmik sel hati (Guyton, 2007). Akibat konjugasi tersebut, terjadi perubahan sifat bilirubin. Perbedaan yang paling mencolok antara bilirubin terkonjugasi dan

tidak terkonjugasi adalah sifat kelarutannya dalam air dan lemak. Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air, tapi mempunyai afinitas tinggi terhadap lemak. Karena sifat inilah, bilirubin tak terkonjugasi tidak akan diekskresikan ke urin. Sifat yang sebaliknya terdapat pada bilirubin konjugasi. Karena kelarutannya yang tinggi pada lemak, bilirubin tidak terkonjugasi dapat larut di dalam lapisan lemak dari membran sel. Peningkatan dari bilirubin tidak terkonjugasi dapat menimbulkan efek yang sangat tidak kita inginkan, berupa kerusakan jaringan otak. Hal ini terjadi karena otak merupakan jaringan yang banyak mengandung lemak (Guyton, 2007). e. Mensintesis garam-garam empedu Garam-garam empedu digunakan oleh usus kecil untuk mengemulsi dan menyerap lemak, fosfolipid, kolesterol, dan lipoprotein (Guyton, 2007). f. Sebagai tempat penyimpanan Selain glikogen, hati juga digunakan sebagai tempat menyimpan vitamin (A, B12, D, E, K) serta mineral (Fe dan Co). Sel-sel hati terdiri dari sebuah protein yang disebut apoferritin yang bergabung dengan Fe membentuk Ferritin sehingga Fe dapat disimpan di hati. Fe juga dapat dilepaskan jika kadarnya didarah turun (Guyton, 2007).

2.5 Pemeriksaan Pada Kelainan Hati Pemeriksaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan diagnosis, mengetahui berat ringannya penyakit, mengikuti perjalanan penyakit dan penilaian hasil pengobatan.Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali fosfatase,cγGT dan albumin sering disebut sebagai tes fungsi hati atau LFTs. Pada banyak kasus, tes-tes ini dapat mendeteksi penyakit hati dan empedu asimtomatik sebelum munculnya manifestasi klinis. Tes-tes ini dapat dikelompokkan dalam 3

kategori utama, antara lain : (1) Peningkatan enzim aminotransferase (juga dikenal sebagai transaminase), ALT dan AST, biasanya mengarah pada perlukaan hepatoseluler atau inflamasi; (2) Keadaan patologis yang memengaruhi sistem empedu intra dan ekstrahepatis dapat menyebabkan peningkatan fosfatase alkali dan γGT (3) Kelompok ketiga merupakan kelompok yang mewakili fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea dan faktor pembekuan (Sudoyo, 2009).

2.6 Aminotransferase Golongan aminotransferase, AST dan ALT, merupakan indikator yang paling sering digunakan pada kerusakan hepar serta petanda nekrosis sel hepar. Enzim tersebut mengkatalisa transfer gugus α-amino dari aspartat dan alanine ke gugus α-keto dari asam ketoglutarat, membentuk asamoksaloasetat dan asam pyruvat. Enzim tersebut berperan pada proses glukoneogenesis dengan memfasilitasi sinsetis glukosa dari bahan non karbohidrat. Peningkatan kadar serum AST dan ALT terjadi pada hampir semua penyakit hepar. Peningkatan yang paling tinggi terjadi pada beberapa hepatitis virus, nekrosis hepar akibat obat atau toksin, dan shock. Kadar enzim dapat menggambarkan tingkat kematian sel hepar (Singh, 2011).

2.7 ALT (SGPT) Alanine aminotransferase atau serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) adalah petanda yang paling sering digunakan pada toksisitas hepar. SGPT merupakan suatu enzim hepar yang berperan penting dalam metabolisme asam amino dan glukoneogenesis. Enzim ini mengkatalisa pemindahan suatu gugus amino dari alanin ke α-ketoglutarat untuk menghasilkan glutamat dan piruvat. Kadar normal berada pada kisaran 5-10 U/L. Peningkatan kadar enzim terjadi pada kerusakan hepar. Pengukuran kadar enzim ini merupakan tes yang lebih spesifik untuk mendeteksi kelainan hepar karena terutama ditemukan dalam hepar. Enzim ini juga

ditemukan pada otot skelet dan jantung, namun aktifitasnya lebih rendah. Enzim ini mendeteksi nekrosis sel hepar (Singh, 2011). 2.8 AST (SGOT) Aspartate aminotransferase or serum glutamic oxaloacetate transaminase (SGOT) adalah enzim hepar yang membantu produksi protein. Enzim ini mengkatalisa transfer suatu gugus amino dari aspartat ke αketoglutarat menghasilkan oksaloasetat dan glutamat. Selain di hepar, enzim ini juga ditemukan pada organ lain seperti jantung, otot rangka, otak, dan ginjal. Kerusakan pada salah satu dari beberapa organ tersebut bisa menyebabkab peningkatan kadar pada enzim dalam darah. Kadar normal ada pada kisaran 7-40 U/L. Enzim ini juga membantu dalam mendeteksi nekrosis sel hepar, tapi dianggap petanda yang kurang spesifik untuk kerusakan sel hepar sebab enzim ini juga bisa menggambarkan kelainan pada jantung, otot rangka, otak, dan ginjal. Rasio serum AST dengan ALT bisa digunakan untuk membedakan kerusakan hepar dari kerusakan organ lain (Boyer, 2012). Dalam kondisi normal enzim yang dihasilkan oleh sel hepar konsentrasinya rendah. Fungsi dari enzim-enzim hepar tersebut hanya sedikit yang diketahui. Nilai normal kadar ALT < 35 U/L dan AST < 41 U/L. (Daniel S. Pratt, 2010). Enzim ALT dan AST mencerminkan keutuhan atau intergrasi sel-sel hati. Adanya peningkatan enzim hati tersebut dapat mencerminkan tingkat kerusakan sel-sel hati. Makin tinggi peningkatan kadar enzim ALT dan AST, semakin tinggi tingkat kerusakan sel-sel hati. Kerusakan membran sel menyebabkan enzim Glutamat Oksaloasetat Transaminase (GOT) keluar dari sitoplasma sel yang rusak, dan jumlahnya meningkat di dalam darah. Sehingga dapat dijadikan indikator kerusakan hati (Ronald, et al., 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Ahola , I et al . 1991 . The Hypercholesterolaemic Factor In Boiled Coffe Is Retained By a Paper Filter . Journal of Internal Medicine 230 : 293 – 297. Boyer TD, Manns MP, Sanyal AJ. Zakim. 2012. Hepatology: A textbook of Liver Disease 6th ed. Philadelphia: Saunders.

Chinwe et al. 2013. The effect of coffee consumption on liver enzymes and bilirubin in healthy subjects. Journal of Current Research in Science, 1 (2), pp: 104-108 Ciptadi dan MZ Nasution. 1985. Pengolahan Kopi. Agro Industri Press: Bogor. Daniel.dan Kaplan, M.M. 2000. Evaluation of Abnormal Liver-Enzyme Results in Asymptomatic Patients. Journal of Medicine.8:110-115. Dranoff, J., Jordan, JF., Elise, GL., and Michael Fausther. 2014. How does coffe prevent liver fibrosis?biological plausibility for recent epidemiological observations. Hepatology, 60 (2), pp: 464-467 Farmakologi UI. 2002. Farmakologi dan Terapi Edisi 4.Jakarta: Gaya Baru Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:EGC. Hidayat, A. A. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika Liska, K. 2004. Drugs and The Body with Implication for Society. Edisi ke -7.New 1Jersey: Pearson. Mahendradatta, M. 2007. Pangan Aman dan Sehat Prasyarat Kebutuhan. Mutlak Sehari-hari. Makassar:Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Maramis, dkk, 2013. Analisis Kafein Dalam Kopi Bubuk di Kota Manado Menggunakan Spektrofotometri Uv-Vis. Jurnal Pharmacon Vol. 02 No. 4 Marchado, et al. 2014. Coffee has hepatoprotective benefits in Brazilian patients with chronic hepatitis C even in loewer daily consumption than in American and Europe populations. Braz J Infect Dis Off Publ Braz Soc Infect Dis 19 (2) :170-6. Murray, dkk.2009.

Harper's Illustrated Biochemistry 28th ed. New York:

McGraw-Hill's. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rieneke Cipta Onuegbu, A.J, Oli Sekodiaka, J.M., Adebolu, O.E., Adesiyan, A., Ayodele, O.E. 2011. Coffee Consumption Could Affect the Activity of Some Liver

Enzymes and Other Biochemical Parameters in Healthy Drinkers. Med Princ Pract, 20 pp: 514-518 Rahardjo, Pudji. 2012. Kopi Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta. Jakarta:Penebar Swadaya Ronald et al. 2004. Tinjauan Kilis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: EGC Saputra,E., 2008. Kopi.Harmoni, Yogyakarta. Singh A, Bhat TK, Sharma OP. 2011. Clinical Biochemistry of hepatotoxicity. J Clinical Toxicol 2011; S4 :001. Sudoyo WA, Setiyohadi B, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Interna Publishing. Urgert, Schulz dan Katan. 1995. Effects of cafestol and kahweol from coffee grounds on serum lipids and serum liver enzymes in humans. Am J Clin Nutr 61 (1) : 149-54. Weusten V, Katan MB, Viani R. 1994. Identification of the Cholesterol – Raising Factor from Boiled Cpffee and its effect on liver function Enzymes. J Lipid Res,35:143-5.

More Documents from "ai"

Parameter.docx
November 2019 31
368458.pdf
December 2019 0
43-ijsrr-d888.f.pdf
December 2019 0
Efektif-des-2011_3.pdf
November 2019 2