257847105-transkultural.docx

  • Uploaded by: Andoko Suryo Cahyono
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 257847105-transkultural.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,582
  • Pages: 11
BAB 3. STUDI KASUS BUDAYA

3.1 Kajian atau Deskripsi Budaya Masyarakat Bali Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta yang berarti “Kekuatan”.Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan baik dan buruk( rwa bhineda ), yang sering ditentukan oleh faktor ruang ( desa ), waktu ( kala ) dan kondisi riil di lapangan (patra ). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Hal ini yang juga menyebabkan anatar satu daerah dengan daerah lain di Bali, dapat memiliki kebudayaan yang sedikit berbeda tergantung pada tempat, waktu dan keadaan di daerah tersebut.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan

interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan. Tema-tema dalam seni lukis, seni rupa dan seni pertunjukkan banyak dipengaruhi oleh budaya India.Demikian pula budaya Cina dan Barat/Eropa memberi nuansa batu pada produk seni di Bali. Proses akulturasi tersebut menunjukkan bahwa kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan adaptif khususnya dalam kesenian sehingga tetap mampu bertahan dan tidak kehilangan jati diri (Mantra 1996). Kebudayaan

Bali

sesungguhnya

menjunjung

tinggi

nilai-nilai

keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ), hubungan sesama manusia (pawongan ), dan hubungan manusia dengan lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan terwujud.

Selain nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi, dalam kebudayaan Bali juga dikenal adanya konsep tri semaya yakni persepsi orang Bali terhadap waktu. Menurut orang Bali masa lalu (athita ), masa kini ( anaghata ) dan masa yang akan datang ( warthamana ) merupakan suatu rangkaian waktu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini juga menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Dalam ajaran hukum karma phaladisebutkan tentang sebab-akibat dari suatu perbuatan, perbuatan yang baik akan mendapatkan hasil yang baik. Demikian pula sebaliknya, perbuatan yang buruk hasilnya juga buruk atau tidak baik bagi yang bersangkutan. Dalam masyarakat Hindu Bali diyakini adanya yadnya yang terus menerus.Yadnya adalah hutang suci yang tulus iklas yang dipersembahkan kepada Tuhan, leluhur, guru, anak, dan bhuta kala (makhluk halus) dalam upaya menyeimbangkan kekuatan positif dan negatif.Yadnya orang tua terhadap anak telah mulai dilakukan sejak bayi masih di dalam kandungan, yakni dengan melakukan upacara megedong-gedongan pada saat kandungan berusia 7 bulan.Setelah bayi lahir, orang tua melakukan berbagai upacara keagamaan untuk bayi.Ada anggapan bahwa hutang orang tua kepada anak baru berakhir setelah orang tua melaksanakan yadnya potong gigi atau yang dalam istilah Bali disebut Metatah atauMesangih. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa hutang orang tua tersebut berakhir setelah orang tua menikahkan anaknya. Setelah anak menikah maka hutang akan terbalik, anak yang harus melaksanakan atau membayar hutang pada orang tuanya sampai saat orang tuanya meninggal dunia dengan melakukan penghormatan terakhir dengan melakukan upacara Ngaben. Kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan yang mengandung unsur-unsur budaya dan kepercayaan. Masyarakat Hindu Bali meyakini bahwa dengan melakukan hal tersebut mereka akan selalu dilindungi dan berhasil memenuhi atau sebagai wujud terimakasih atas apa yang mereka dapatkan selama ini. Sebaliknya jika mereka tidak melakukan hal tersebut mereka meyakini bahwa aka aada hal negatif yang

sewaktu-waktu dapat terjadi dan secara psikologis mereka akan merasa berhutang atas apa yang belum mereka lakukan. Salah satu bentuk keyakinan yang biasa diterapkan oleh masyarakat Hindu Bali adalah melakukan persembahan setelah selesai masak di pagi hari yang berupa nasi putih dan lauk yang mereka masak saat itu.Masyarakat Hindu Bali meyakini bahwa hal tersebut merupakan wujud terimakasih mereka atas berkah makanan yang mereka terima. Selain itu dalam keseharian masyarakat Hindu Bali juga

biasa melakukan persembahan sesajen sebagai bentuk

permohonan keselamatan untuk mereka dan seluruh keluarganya. Hal ini akan sering di jumpai oleh perawat saat di rumah sakit. Keluarga pasien akan meletakkan sesajen dan menyalakan dupa di dalam kamar pasien. Selain Persembahan yang dilakukan setiap hari (nitya yadnya) ada pula persembahan yang dilakukan pada hari-hari tertentu (naimitika yadnya) .Upacara yang dilakukan pada hari- hari tertentu di bagi menjadi dua berdasarkan tempat dilaksanakannya, yaitu upacara yang dilakukan di mah Pura atau tempat-tempat yang dianggap suci dan upacara yang dilakukan di rumah masing-masing.Salah satu upacara yang dilakukan di rumah yang dianggap sebagai pelunasan hutang orang tua kepada anaknya.Upacara ini terkenal dengan istilah Metatah, Mesangih, atau Mepandes yang merupakan upacar yang dilalui oleh seorang anak yang sudah melewati fase akil balik. 3.1.1 Upacara Potong Gigi di Bali Tradisi Upacara adat potong gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. atau biasa nya orang bali menyebutnya dengan sebutan metatah atau mesanggih, yang memiliki maksud 6 buah gigi taring yang ada di deretan gigi bagian atas dikikir atau diratakan, metatah merupakan salah satu upacara keaagamaan yang wajib dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali baik laki-laki maupun perempuan secara turun temurun, adat istiadat dan kebudayaan ini masih terus dilakukan karena dipercayai oleh masyarakat bali saat meninggal dunia akan bertemu dengan leluhur nya di surga.

Upacara ini dianggap sakral dan diwajibkan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa, terutama bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah, upacara ini dapat diperjelas dimana anak sudah memasuki kehidupan yang lebih dewasa lagi. Adapun 6 sifat buruk dalam diri manusia atau disebut juga sad ripu yang harus dibersihkan tersebut adalah: 1. Hawa nafsu 2. Rakus atau serakah 3. Kemarahan 4. Mabuk membutakan pikiran 5. Perasaan bingung 6. Iri hati atau dengki Sifat-sifat buruk yang ada tersebut, bila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan hal hal

yang tidak diinginkan, kemudian merugikan dan

membahayakan bagi anak-anak yang akan beranjak dewasa kelak dikemudian hari. Oleh karena itu kewajiban bagi setiap orang tua untuk dapat memberi nasehat, bimbingan serta permohonan doa. Agar anak mereka terhindar dari 6 pengaruh sifat buruk yang sudah ada sejak manusia di lahirkan di dunia. 3.1.2 Pengaruh Potong Gigi Terhadap Kesehatan Gigi Pemotongan gigi, atau sering disebut dengan pangur atau kikir, bisa menyebabkan

lapisan

enamel

ini

terbuang

dan

lapisan

di

bawahnya

terlihat.Padahal lapisan di bawah enamel, yaitu dentin, tidaklah sekeras enamel, dan terdiri dari pori-pori yang terdapat banyak ujung syaraf di dalamnya.Dampak negatif yang mungkin ditimbulkan adalah: a) Gigi menjadi lebih sensitif karena di dalam dentin terdapat banyak ujung syaraf yang sensitif terhadap pencetus rasa nyeri (misalnya: makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin)

b) Gigi menjadi lebih mudah keropos karena dentin lebih rapuh dibanding enamel jika terkena asam yang ditimbulkan oleh proses pembusukan sisa-sisa makanan 3.2 Pengkajian Transcultural Nursing Perawat dalam menjalankan tugasnya sering menghadapi klien yang menghadapi situasi ini penting bagi perawat untuk memahami bahwa klien memiliki pendangan dan interpretasi mengenai penyakit dan kesehatan yang berbeda.Pandangan

tersebut

didasarkan

pada

keyakinan

sosial-budaya

klien.Perawat harus sensitif dan waspada terhadap keunikan warisan budaya dan tradisi kesehatan klien dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dari latar belakang kebudayaan mendengarkan

dengan

yang berbeda.Perawat

cermat

tentang

harus mengkaji

konsistensi

warisan

dan

budaya

klien.Pengakajian tentang budaya klien merupakan pengkajian yang sisrematik dan komprehensif dari nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik individual, keluarga, komunitas. Tujuan engkajian budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang signifikan dari klien sehingga perawat dapat menerapkan kesamaan budaya ( Leininger dan MC Farland, 2002). Perawat dalam melakukan pengkajian terhadap kebudayaan klien dimulai dari menentukan warisan kultural budaya klien, latar belakang organisasi sosial, dan keterampilan bahasa serta menayakan penyebab penyakit atau masalah untuk mengetahui klien mendapatkan pengobatan rakyat secaratradisional baik secara ilmiah maupun mesogisoreligus atau kata ramah, suci untuk mencegah dan mengatasi penyakit. Hal ini dilakukan untuk pemenuhan kompoen pengakajian budaya untuk menyediakan informasi yang berguna dalam mengumpulkan data kebudayaan klien. Model matahari terbit dari leininger menggambarkankeberagaman budaya dalam kehidupan sehari-hari dan membantu melaksanakan pengkajian budaya yang dilakukan secara komprehensif. Model ini beranggapan bahwa nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik merupakn hal yang tidak dapat diubah dalam budaya dan dimensi struktur sosia lmasyarakat, konteks lingkungan,

bahasa dan riwayat etik atau peristiwa bersejarah dari kelompok tertentu(Potter dan perry, fundamental keperawatan ed 7, 187). Tahapan pengkajian budaya dimulai dari mengetahui perubahan demografik populasi pad lingkungan praktik komunitas yang disebut dengan data sensus. Data sensus didapatkan dari data sensus lokal dan regional serta laporan pelayanan kesehatan. Langkah berikutnya perawta menggunakan teknik wawancara yang terbuka, terfokus, dan kntras untuk mendorong klien menceritakan nilai-ilai, kepercayaan, dan praktik dalam warisan budayanya( Spradley, 1979). Dalam melaksanakan pengkajian budaya seorang perawt menjalin

hubungan

dengan

berkomuknikasi.Pengkajian

klien

dan

budaya

yang

memiliki

keterampilam

komprehensif

membutuhkan

keterampilan, waktu hingga persiapan dan antisipasi sangat diperlukan. 3.2.1 Pengkajian 1) Pasien a) Nama

: An. A

b) Umur

: 23 tahun

c) Jenis kelamin : Perempuan d) Status

: Belum kawin

e) Pendidikan

: Mahasiswa

f) Suku Bangsa : Bali, Indonesia g) Agama

: Hindu

2) Penanggung Jawab a) Nama

: Bp. B

b) Umur

: 52 tahun

c) Jenis Kelamin : Laki-laki d) Satatus

: Kawin

e) Pendidikan

: S1 Pendidikan

f) Pekerjaan

: Guru SMP

g) Suku

: Bali, Indonesia

h) Agama

: Hindu

i) Hubungan dengan Pasien

: Ayah Kandung

dalam

2) Pengkajian Sun Rise Model a) Faktor Teknologi Bila pasien merasa giginya ngilu pasien tidak pergi kemana-mana Pasien tidak menggunakan obat apapun ketika merasa ngilu selesai melakukan ritual potong gigi (Metatah) Pasien datang ke RS karena ia merasa giginya semakin sering ngilu saat makan makanan panas dan dingin, bahkan ia mulai merasa giginya tersa goyang saat makan b) Faktor Agama Pasien beragama Hindu dan berasal dari orang tua yang juga beragama Hindu Walaupun dalam keadaan sakit pasien tetap bersabar dan bersyukur karena ia telah melakukan upacara kikir gigi yang wajib dilakukan dalam agamanya yang ia anut c) Faktor Sosial Nama panggilan pasien di keluarganya adalah A Tipe keluarga pasien yang dianut adalah patrilineal yaitu anak laki-laki/ suami sebagai pengambil keputusan Hubungan pasien dengan orang tua baik-baik saja d) Faktor Nilai-nilai Budaya dan Gaya Hidup Pasien saat ini berstatus sebagai mahasiswa Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Daerah Bali dan bahasa Indonesia, sehingga pasien tidak mengalami kesulitan dalam berkomunkasi dengan anggota keluarga lain Kebiasaan makan pasien adalah 3x sehari dan hamper setiap makan selalu minum es. Makanan yang menjadi pantangan setelah potong gigi adalah makanan atau minuman yang dingi dan panas Untuk meningkatkan kesehatannya saat ini pasien mulai mengurangi minum es

Pasien merasa malu dengan perubahan kondisi pada giginya yaitu goyang dan ngilu setiap makan e) Faktor Kebijakan dan Peraturan yang Berlaku Cara pembayaran pasien yang telah diperiksa yaitu, orang tua pasien membayar biaya pemeriksaan dan obat setelah pasien selesai diperiksa Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap giginya, pasien merasa kurang setuju dengan pernyataan perawat yang mengatakan bahwa, dari hasil pemeriksaan Dokter rasa ngilu dan goyang di giginya disebabkan oleh potong gigi yang pernah dilakukannya sekitar 6 bulan yang lalu f) Faktor Ekonomi Sumber biaya pengobatan adalah asuransi kesehatan dari Orang Tuanya ditambah dengan penghasilan dari orang tuanya g) Faktor Pendidikan Sesuai dengan tingat pendidikannya sebgai mahasiswa, pasien sering mencari informasi tentang kondisi giginya dan apa yang seharusnya ia lakukan 3) Pengkajian Transkultural a) Pasien merasa giginya goyang dan ngilu setelah melakukan ritual potong gigi (Metatah) sekitar 6 bulan yang lalu b) Pasien mengatakan tida merasa menyesal melakukan potong gigi. Menurut Agamanya upacara tersebut wajib dilakukan oleh setiap anak yang sudah melewati masa akil balik c) Sebelumnya pasien tidak pernah datang ke dokter atau melakukan pengobatan sendiri terhadap giginya, pasien hanya mencari informasi lewat internet atau bertanya pada orang terdekatnya tentang bagaimana keadaan gignya saat ini d) Pasien merasa malu dengan perubahan kondisi fisiknya yaitu keadaan giginya yang sering ngilu dan goyang saat ia sedang makan e) Pasien mengatakan tidak leluasa makan bersama teman-temannya karna takut giginya akan lepas

f) Pasien mengatakan cemas apabila kondisi giginya tidak segera diperbaiki g) Pasien mengatakan takut dan malu apabila giginya tanggal dan harus menggunakan gigi palsu sementara usianya masih sangat muda

3.2.2 Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan proses pengikiran gigi yang mengenai lapisan dentin ditandai dengan klien mengatakan, “gigi saya terasa ngilu”, klien terlihat meringis menahan sakit. b. Kerusakan enamel gigi berhubungan dengan proses pegikiran gigi ditandai dengan gigi klien terlihat lebih tipis c. Mekanisme koping tidak efektif berhubungan dengan perubahan struktur gigi ditandai dengan Pasien merasa malu dengan perubahan kondisi fisiknya yaitu keadaan giginya yang sering ngilu dan goyang saat ia sedang makan, d. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubngan dengan perubahan kekuatan gigi ditandai dengan Pasien mengatakan tidak leluasa makan bersama teman-temannya karna takut giginya akan lepas e. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses metatah yang dijalani ditandai dengan Pasien mengatakan cemas apabila kondisi giginya tidak segera diperbaiki f. Pasien mengatakan takut dan malu apabila giginya tanggal dan harus menggunakan gigi palsu sementara usianya masih sangat muda 3.2.3. Intervensi Keperawatan 3.2.4. Teknik pendekatan Transkultural Nursing Dalam melakukan pendekatan untuk mencapai kriteria hasil yang telah ditentukan sebelumnya, maka diperlukan suatu strategi yang tepat agar intervensi yang sudah direncanakan tidak mendapat penolakan.Dalam keperawatan lintas budaya terdapat tiga strategi yang biasa digunakan dalam asuhan keperawatan

yakni, perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negosiasi budaya dan mengubah/mengganti budaya klien. Telah diketahui salah satu kebudayaan masyarakat Bali adalah tradisi upacara adat potong gigi mengandung arti pembersihan sifat buruk yang ada pada diri manusia. atau biasa nya orang bali menyebutnya dengan sebutan metatah atau mesanggih, yang memiliki maksud 6 buah gigi taring yang ada di deretan gigi bagian atas dikikir atau diratakan, metatah merupakan salah satu upacara keaagamaan yang wajib dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali baik laki-laki maupun perempuan secara turun temurun, adat istiadat dan kebudayaan ini masih terus dilakukan karena dipercayai oleh masyarakat bali saat meninggal dunia akan bertemu dengan leluhur nya di surga.Upacara ini dianggap sakral dan diwajibkan bagi anak anak yang mulai beranjak dewasa, terutama bagi anak perempuan yang telah datang bulan atau mensturasi, sedangkan bagi anak laki laki telah memasuki masa akil baliq atau suaranya telah berubah, upacara ini dapat diperjelas dimana anak sudah memasuki kehidupan yang lebih dewasa lagi. Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan masyarakat Bali ini kurang menguntungkan bagi kesehatan. Sehingga perlu dilakukan negosiasi untuk beradaptasi terhadap budaya yang lebih menguntungkan kesehatan. Berdasarkan kasus yang terjadi pada masyarakat Bali, maka dalam melakukan asuhan keperawatan dapat digunakan strategi yang tepat yaitu mengakomodasi/negosiasi budaya masyarakat Bali. Intervensi dan implementasi asuhan keperawatan dengan strategi ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Adapun strategi negosiasi ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi kekuatan dalam mengikir giginya agar enamel gigi tidak hilang seluruhnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga struktur gigi agar kekuatan gigi tetap terjaga. Selain itu, dengan mengurangi kekuatan mengikir gigi, masyarakat Bali tetap dapat menjalankan tradisi budaya metatah dan menjaga kesehatan giginya. Alternatif yang bisa dilakukan untuk masalah ini adalah juga dapat dilakukan dengan memeberikan informasi kepada masyarakat bahwa untuk melakukan budaya kikir gigi lebih baik dilakukan oleh tenaga kesehatan yaitu dokter gigi. Karena

kebudayaan kikir gigi ini dilakukan oleh pemuka adat yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan kesehatan. sehingga dengan menggunakan alternatif dokter gigi yang melakukan dapat lebih bisa dipercaya untuk melakukan budaya mengkikir gigi ini.. Dalam mengakomodasi/ negosiasi kebudayaan masyarakat Bali ini dapat dilakukan dengan langkah awal yakni menggunakan bahasa yang mudah

dipahami

oleh

masyarakat

dalam

penyampaian

informasi

kesehatan.Selanjutnya dapat melibatkan keluarga atau komunitas dalam perencanaan keperawatan, dan jika masalah tidak terselesaikan, maka dapat dilakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik.

Dapus: Ginger, J. N. dan Davidhizar (1995).Transcultural Nursing: Assessment and Intervention. St. Louis: Mosby Kozier, B., Erb, G., Berman A.J., & Snyder. (2004). Fundamentals of Nursing: Concepts, Potter, P. A. & Perry, A. G. (2009).Fundamentals of Nursing.7th Ed. (Terj. dr. Adrina Ferderika). Jakarta: Salemba Medika

More Documents from "Andoko Suryo Cahyono"