247389_edoc.site_materi-ajar-mpkt-apdf.pdf

  • Uploaded by: Rizki Laksmana
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 247389_edoc.site_materi-ajar-mpkt-apdf.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 77,654
  • Pages: 276
BUKU AJAR MPKT A

TIM REVISI

PPKPT UNIVERSITAS INDONESIA 2017

PENGANTAR

Buku yang berjudul Buku Ajar MPKT A ini merupakan penyempurnaan dari Buku Ajar 1 MPKT A, Buku Ajar II MPKT A, dan Buku Ajar III MPKT A yang terbit pada tahun 2016. Tujuan penyempurnaan adalah agar buku menjadi terintegrasi, baik dari segi substansi maupun teknis. Berbeda dengan tiga buku ajar MPKT A (2016) (2016) yang terkesan terlepas satu lain, buku ini  berusaha menyatukannya. meny atukannya. Oleh karena itu, judulnya pun baru, yaitu BUKU AJAR MPKT A. Di dalam buku ini, substansi integrasi muncul dalam academic skill, social skill, perspektif sosial  budaya, kebangsaan, kewarganegaraan, kewarganega raan, dan Pancasila. BUKU AJAR MPKT A terdiri atas tiga bagian. Bagian I: “Jati Diriku sebagai Cendekia: Karakter, Filsafat, Logika, Etika” direvisi oleh Dr. Irmayanti Meliono. M.Si. dan Dr. Fristian Hadinata. Bagian II: “Jati Diriku sebagai Individu dan Bagian dari Masyarakat” direvisi oleh Prof. Bambang Shergi Laksmomo, Ade Solihat, M.A., dan Pribadi Setiyanto, S.E, M.A. Bagian III: “Jati Diriku sebagai Warga Negara Indonesia yang Setia pada Pancasila” direvisi oleh Dr. R. Ismala Dewi dan Eko Handayani, M.Psi. Kata “Jati Diriku” sengaja ditampilkan agar sasaran buku ajar ini terarah pada mahasiswa  peserta MPKT A agar mereka memiliki karakter, penalaran logis, kemampuan berpikir kritis, dan memiliki perilaku etis. Nantinya, nilai-nilai ini akan menjadi “modal” seorang lulusan lulusan UI untuk menjadi ilmuwan atau cendekiawan (materi Bagian I). Selain itu, mahasiswa harus memiliki kecerdasan, berkepribadian santun, dan berkebudayaan tinggi melalui enkulturasi, akulturasi, asimilasi (materi Bagian II). Bagian III, mengarahkan mahasiswa agar paham akan  pentingnya memiliki jati diri kebangsaan, memahami memah ami nilai-nilai Pancasila dan d an hak konstitusional kon stitusional warga negara, serta mampu berhadapan dengan segala tantangan dalam kancah globalisasi (materi Bagian III). Dengan demikian, ketiga bagian buku ini merupakan kesatuan yang holistik dan bersifat “ulang alik”. Artinya, Bagian I memberi dasar pada Bagian II dan Bagian III, begitu sebaliknya. Proses revisi BUKU AJAR MPKT A dirasakan begitu cepat bagi Tim Revisi, namun tulisan yang telah ada pada BUKU AJAR I, II, III MPKT A (2016) cukup membantu kelancarannya. Untuk itu, Tim Revisi mengucapkan terima kasih atas kontribusi semua penulis BUKU AJAR MPKT A (2016), yaitu Dr. Bagus Takwin, Dra. Wuri Prasetyawati, M.Psi., Dr.

i

PENGANTAR

Buku yang berjudul Buku Ajar MPKT A ini merupakan penyempurnaan dari Buku Ajar 1 MPKT A, Buku Ajar II MPKT A, dan Buku Ajar III MPKT A yang terbit pada tahun 2016. Tujuan penyempurnaan adalah agar buku menjadi terintegrasi, baik dari segi substansi maupun teknis. Berbeda dengan tiga buku ajar MPKT A (2016) (2016) yang terkesan terlepas satu lain, buku ini  berusaha menyatukannya. meny atukannya. Oleh karena itu, judulnya pun baru, yaitu BUKU AJAR MPKT A. Di dalam buku ini, substansi integrasi muncul dalam academic skill, social skill, perspektif sosial  budaya, kebangsaan, kewarganegaraan, kewarganega raan, dan Pancasila. BUKU AJAR MPKT A terdiri atas tiga bagian. Bagian I: “Jati Diriku sebagai Cendekia: Karakter, Filsafat, Logika, Etika” direvisi oleh Dr. Irmayanti Meliono. M.Si. dan Dr. Fristian Hadinata. Bagian II: “Jati Diriku sebagai Individu dan Bagian dari Masyarakat” direvisi oleh Prof. Bambang Shergi Laksmomo, Ade Solihat, M.A., dan Pribadi Setiyanto, S.E, M.A. Bagian III: “Jati Diriku sebagai Warga Negara Indonesia yang Setia pada Pancasila” direvisi oleh Dr. R. Ismala Dewi dan Eko Handayani, M.Psi. Kata “Jati Diriku” sengaja ditampilkan agar sasaran buku ajar ini terarah pada mahasiswa  peserta MPKT A agar mereka memiliki karakter, penalaran logis, kemampuan berpikir kritis, dan memiliki perilaku etis. Nantinya, nilai-nilai ini akan menjadi “modal” seorang lulusan lulusan UI untuk menjadi ilmuwan atau cendekiawan (materi Bagian I). Selain itu, mahasiswa harus memiliki kecerdasan, berkepribadian santun, dan berkebudayaan tinggi melalui enkulturasi, akulturasi, asimilasi (materi Bagian II). Bagian III, mengarahkan mahasiswa agar paham akan  pentingnya memiliki jati diri kebangsaan, memahami memah ami nilai-nilai Pancasila dan d an hak konstitusional kon stitusional warga negara, serta mampu berhadapan dengan segala tantangan dalam kancah globalisasi (materi Bagian III). Dengan demikian, ketiga bagian buku ini merupakan kesatuan yang holistik dan bersifat “ulang alik”. Artinya, Bagian I memberi dasar pada Bagian II dan Bagian III, begitu sebaliknya. Proses revisi BUKU AJAR MPKT A dirasakan begitu cepat bagi Tim Revisi, namun tulisan yang telah ada pada BUKU AJAR I, II, III MPKT A (2016) cukup membantu kelancarannya. Untuk itu, Tim Revisi mengucapkan terima kasih atas kontribusi semua penulis BUKU AJAR MPKT A (2016), yaitu Dr. Bagus Takwin, Dra. Wuri Prasetyawati, M.Psi., Dr.

i

Saraswati Putri, Miranda Diponegoro, M.Psi., Jossy Prananta Moeis, Ph.D., Eko Aditiya Meinarno, S.Psi., M.Si., Agnes Sri Poerbasari, M.Si., dan Drs. Slamet Soemiarno, M.Si. Terima kasih yang sama kami sampaikan kepada pihak Universitas Indonesia, khususnya Prof. Dr. Harinaldi, M.Eng, Direktur Direktur Pendidikan dengan Ka. Subdirektorat PMU,

Dr.

Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed. yang telah memberikan dukungan dan fasilitas sehingga Buku Ajar MPKT A berwajah baru ini dapat terbit. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, M.Sc. untuk desain cover   yang merupakan hasil lukisan Beliau. Kepada  berbagai pihak yang telah membantu proses penulisan buku ini hingga selesai, kami ucapkan terima kasih atas kerja sama selama ini. Semoga Buku Ajar MPKT A dapat bermanfaat bagi seluruh mahasiswa program sarjana di Universitas Indonesia. Tiada gading yang tak retak. Demikian pula dengan BUKU AJAR MPKT A 2017. Buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan.

Depok, April 2017 Tim Revisi

ii

DAFTAR ISI

PENGANTAR ......................................................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................................................ JATI DIRIKU SEBAGAI CENDEKIA: KARAKTER, FILSAFAT, LOGIKA, DAN ETIKA .................................................................................. BAB 1 MEMBANGUN KARAKTER ................................................................................ 1.1 Pengertian Karakter .................................................... ........................................................ 1.2 Kekuatan Karakter ................................................... ........................................................................................................ ..................................................... ...... 1.3 Membentuk Keutamaan dan Kekuatan Karakter ..................................................... ........... 1.3.1 Kebijaksanaan dan Pengetahuan .................................................. .............................................................................. ............................ 1.3.2 Kemananusiaan dan Cinta .................................................... .................................... 1.3.3 Kesatriaan ................................................. ...................................................................................................... ..................................................... ........... 1.3.4 Keadilan .................................................... ..................................................... ........... 1.3.5 Pengelolaan Diri ................................................... ....................................................................................................... .................................................... 1.3.6 Transendensi .................................................. ....................................................................................................... ..................................................... ...... 1.4 Memahami Nilai dan Nilai Dasar Universitas Indonesia ................................................... 1.4.1 Apa itu Nilai? ....................................................... .................................................... 1.4.2 Nilai Dasar Universitas Indonesia ........................................... ............................................................................ ................................. BAB 2 FILSAFAT ................................................................................................................ 2.1 Apa itu Filsafat? ....................................................... ........................................................... 2.2 Sistematika dan Karakteristik Filsafat ..................................................... ........................... 2.3 Berpikir Filosofis ..................................................... ..................................................... ...... BAB 3 LOGIKA ................................................................................................................... 3.1 Apa itu Logika?......................................... Logika?.............................................................................................. ..................................................... ...................... 3.2 Logika Deduktif dan Induktif ........................................... .................................................. 3.3 Logika Formal dan Material ................................................. .............................................. 3.4 Term ............................................... ..................................................................................................... ...................................................... ................................ 3.4.1 Perbedaan Kata dengan Term ..................................................... .............................. 3.4.2 Luas dan Sifat Term ........................................................................................ ......... 3.4.3 Klasifikasi Klasifikasi ................................................. ...................................................................................................... ..................................................... ........... 3.4.4 Definisi ............................................ .................................................................................................. ...................................................... ................... 3.5 Proposisi ................................................... ........................................................................................................... ........................................................ ................... 3.5.1 Perbedaan Kalimat dengan Proposisi ............................................ ....................................................................... ........................... 3.5.2 Klasifikasi Proposisi ................................................. ................................................................................................. ................................................ 3.6 Penalaran Langsung ........................................................ .................................................... 3.6.1 Oposisi Oposisi ..................................................... ..................................................... ............ 3.6.2 Eduksi dan Luas Term Predikat ............................................................................... ....................................... ........................................ 3.7 Penalaran Tidak Langsung (Silogisme) .............................................. .............................................................................. ................................ 3.7.1 Silogisme Kategoris ................................................. ................................................................................................. ................................................ 3.7.2 Silogisme Hipotesis dan Disjungtif ............................................... .......................................................................... ........................... 3.8 Kekeliruan Berpikir (Fallacies) ................................................. .......................................................................................... ......................................... 3.8.1 Kekeliruan Berpikir Formal ..................................................... ................................ 3.8.2 Kekeliruan Berpikir Nonformal ............................................... ............................................................................... ................................

i iii

BAGIAN 1

iii

1 2 2 4 4 5 6 6 7 8 9 11 11 13 16 16 22 27 35 35 36 38 40 40 42 44 47 50 50 53 55 56 59 66 67 72 75 76 80

BAB 4 ETIKA ....................................................................................................................... 86 4.1 Beberapa Istilah dalam Etika .............................................. ................................................ 86 4.2 Pengertian Etika .............................................. ...................................................................................................... ........................................................ ............ 88 4.3 Kaidah dalam Etika ............................................. .................................................................................................... ....................................................... ......... 91 4.3.1 Hati Nurani ................................................... ....................................................................................................... .................................................... ........ 91 4.3.2 Kebebasan dan Tanggung Jawab ................................................................ ............. 91 4.3.3 Hak dan Kewajiban .......................................... ............................................................................................... ..................................................... ... 93 4.3.4 Nilai dan Norma Moral ................................................................................ ............ 95 4.4 Teori Etika ............................................ ............................................................................................... .............................................................................. ........................... 96 4.5 Pentingnya Etika Etika dalam Dunia Kehidupan Manusia dan Dunia Akademik ....................... 99 KESIMPULAN  ....................................................................................................................... 102

BAGIAN II JATI DIRIKU SEBAGAI INDIVIDU DAN BAGIAN DARI MASYARAKAT ............................................................................................. BAB 1 MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU ......................................................................... 1.1 Otak dan Kecerdasan .................................................. .......................................................................................................... ........................................................ 1.1.1 Komponen Otak Manusia ...................................................... ................................... 1.1.2 Kerja Sama Tiga Serangkai Otak ............................................................................. ..................... ........................................................ 1.1.3 Dua Bagian Otak ........................................................... ........................................... 1.1.4 Jenis-jenis Kecerdasan ............................................ ................................................. 1.2 Tipologi Kepribadian ............................................ ........................................................ ...... 1.2.1  Extraversion/Introversion  ........................................................................................ 1.2.2 Sensing/Intuition  ....................................................................................................... 1.2.3 Thinking/Feeling  ...................................................................................................... 1.2.4  Judging/Perceiving  ................................................................................................... 1.3 Tipologi Temperamen ..................................................................................................... .... 1.3.1 Pembimbing/Tradisionalis ..................................................... ................................... 1.3.2 Artis/ Experiencers  Experiencers  .................................................................................................... 1.3.3 Idealis ....................................................................................................................... 1.3.4 Rasional/Konseptualis ...................................................... ........................................ BAB 2 MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERKELOMPOK ...................................... 2.1 Kelompok-kelompok Terdekat .......................................................................................... ................................... ....................................................... . 2.1.1 Keluarga ................................................................................................................... 2.1.2 Kelompok Pertemanan .......................................................................................... ... 2.1.3 Kelompok Sosial .............................................................................. ........................ 2.2 Tipologi Kelompok Berdasarkan Berdasarkan Efektivitasnya Efektivitasnya ..................................................... ........... 2.2.1 Kelompok Pseudo  .................................................................................................... 2.2.2 Kelompok Tradisional .............................................. .............................................................................................. ................................................ 2.2.3 Kelompok Efektif ................................................. ..................................................................................................... .................................................... 2.2.4 Kelompok Kinerja Tinggi ............................................................................. ..................... ........................................................ ........... 2.3 Membangun Hubungan Antarpribadi ................................................................ ................. 2.3.1 Peran Persepsi ................................................... ........................................................................................................... ........................................................ 2.3.2 Peran Komunikasi dalam Hubungan Antarpribadi ............................................. .................................................. ..... 2.3.3 Strategi Menangani Konflik ............................................................................... ......

iv

104 105 105 106 110 111 113 120 122 124 125 127 129 130 132 134 135 137 137 137 138 139 140 141 141 142 142 142 143 144 145

2.4 Kepemimpinan dalam Kelompok .................................................... ................................... 2.4.1 Peran Kepemimpinan ......................................................................................... ...... 2.4.2 Sifat-sifat yang diperlukan Pemimpin ...................................................................... BAB 3 MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERKEBUDAYAAN ................................. 3.1 Hakikat Kebudayaan sebagai Bukti Keunggulan Manusia ................................................. 3.1.1 Fungsi dan Hakikat Kebudayaan .............................................................................. 3.1.2 Definisi Kebudayaan ....................................................................................... ......... 3.1.3 Tiga Wujud Kebudayaan .......................................................................................... 3.1.4 Sistem Kebudayaan Universal .................................................................................. 3.1.5 Unsur Universal Kebudayaan ....................................................... ........................... 3.2 Belajar Kebudayaan .................................................... ........................................................ 3.2.1 Internalisasi Kebudayaan ...................................................................................... ... 3.2.2 Sosialisasi Kebudayaan .................................................................................... ........ 3.2.3 Enkulturasi Kebudayaan ........................................................................................... 3.3 Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan ............................................................................. 3.3.1 Difusi dan Migrasi Manusia .......................................................... ........................... 3.3.2 Asimilasi dan Akulturasi .......................................................................................... 3.3.3 Inovasi dan Penemuan .............................................................................................. 3.4 Kebudayaan dalam Berbagai Aspek Kehidupan Manusia .................................................. 3.4.1 Ras, Etnis, dan Kebudayaan ..................................................................................... 3.4.2 Kebudayaan dan Ekonomi ........................................................ ................................ 3.5 Menuju Masyarakat Berperadaban ..................................................................................... KESIMPULAN  .......................................................................................................................

146 147 147 150 150 151 153 155 156 160 163 163 164 165 167 167 169 171 171 171 174 178 181

BAGIAN III JATI DIRIKU SEBAGAI WARGA NEGARA INDONESIA YANG SETIA PADA PANCASILA ............................................................. BAB 1 BANGSA INDONESIA ............................................................................................. 1.1 Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa ......................................................................... ......... 1.2 Indonesia Bangsa yang Majemuk ................................................................. ...................... 1.3 Faktor- Faktor Pemersatu Bangsa ................................................................................. ...... 1.3.1 Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia ............................................................... 1.3.2 Pancasila dan UUD 1945 ......................................................................................... 1.3.3 Simbol/Lambang Persatuan Bangsa ......................................................................... 1.3.4 Kebudayaan Nasional ........................................................... .................................... 1.4 Nilai Kebangsaan ............................................................................................. ................... 1.4.1 Arti Nilai Kebangsaan ..................................................................... ......................... 1.4.2 Sumber Nilai Kebangsaan ............................................................................. ........... 1.4.3 Nilai Kebangsaan dan Pembentukan Karakter ......................................................... BAB 2 NEGARA INDONESIA ............................................................................................ 2.1 Hakikat Negara .................................................................................................................. 2.1.1 Rakyat ................................................................................................... .................... 2.1.2 Wilayah .................................................................................................................... 2.1.3 Pemerintah yang Berdaulat ............................................................................. ......... 2.1.4 Pengakuan Kedaulatan ............................................................................................. 2.1.5 Konstitusi .................................................................................................... ..............

183 184 184 186 188 189 194 194 195 197 197 198 199 200 200 201 201 201 202 202

v

2.1.6 Tujuan Negara .......................................................................................................... 2.2 Geopolitik dan Geostrategi ......................................................... ........................................ 2.3 Negara Kesatuan Republik Indonesia ................................................................................. 2.3.1 Ciri Khas Wilayah Indonesia ............................................................. ...................... 2.3.2 Wujud Formal Negara Indonesia ............................................................................. a. Penduduk ..............................................................................................................  b. Wilayah ................................................................................................................ c. Pemerintah ........................................................................................................... d. Pengakuan dari Negara Lain ..................................................... ........................... e. Konstitusi ............................................................................................................. f. Tujuan Negara ...................................................................................................... g. Bentuk Negara ..................................................................................................... 2.3.3 Geopolitik Indonesia ......................................................................... ....................... 2.3.4 Geostrategi Indonesia .................................................... ........................................... BAB 3 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA ................................................... 3.1 Sekilas Sejarah Lahirnya Pancasila .................................................... ................................ 3.2 Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa .......................................................... ............ 3.3 Nilai Pancasila sebagai Fondasi Perilaku ........................................................................... 3.4 Pancasila Pedoman Bangsa Indonesia sebagai Warga Global ............................................ BAB 4 KEWARGANEGARAAN ........................................................................................ 4.1 Pengertian dan Sejarah Kewarganegaraan .......................................................................... 4.2 Siapakah Warga Negara Indonesia? ........................................................ ........................... 4.3 Menjadi Warga Negara Indonesia ...................................................................................... 4.4 Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia ......................................................................... ... 4.5 Hubungan Timbal-Balik antara Warga Negara dan Negara ............................................... 4.6 Hak dan Kewajiban Warga Negara ..................................................... ................................ 4.6.1 Hak Konstitusional Warga Negara ........................................................................... 4.6.2 Implementasi Hak Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari ............................ 4.6.3 Batasan-batasan terhadap Hak Warga Negara ...................................................... ... 4.6.4 Kewajiban Warga Negara ............................................................ ............................ 4.6.5 Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam UUD 1945 ............................................. 4.7 Hak dan Kewajiban Negara ..................................................... ........................................... 4.8 Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal Balik antara Warga Negara dan Negara ........ BAB 5 INDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL .................................................... 5.1 Hubungan Antarbangsa .................................................... ................................................... 5.2 Peran Indonesia dalam Hubungan Antarbangsa ................................................................. 5.3 Berbagai Kecenderungan di Era Globalisasi ...................................................................... 5.4 Indonesia dan Globalisasi ........................................................................ ........................... KESIMPULAN  .......................................................................................................................

203 203 204 204 205 205 205 206 207 208 210 210 210 211 213 213 214 215 217 219 219 221 225 227 228 231 231 232 235 236 239 240 241 245 245 247 249 252 255

DAFTAR KEPUSTAKAAN  ....................................................................................................256 BIODATA TIM REVISI ..........................................................................................................266

vi

BAGIAN I JATI DIRIKU SEBAGAI CENDEKIA: KARAKTER, FILSAFAT, LOGIKA, DAN ETIKA

Pencarian jatidiriku sebagai cendekia harus melalui proses  belajar. Sebagai mahasiswa yang memiliki semangat belajar tinggi, aku harus mampu berpikir kritis, logis, nalar yang tepat,  jujur, dan menjunjung moral dalam dunia akademik Bagian I Buku Ajar MPKT A berisi penjelasan mengenai Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika. Karakter terkait dengan kehidupan seseorang, karena setiap orang memiliki watak, sifat, tabiat, atau akhlak yang berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam pendidikan tinggi, mahasiswa sebagai salah satu pelakunya mendapat bekal atau pengetahuan mengenai kekuatan karakter yang terkait dengan ilmu Filsafat, Logika, dan Etika. Filsafat mengarahkan mahasiswa dapat berpikir kritis, sistematis, dan integral (mendalam). Belajar Logika akan membawa mahasiswa mampu berpikir logis, tepat, benar dan mampu mengungkapkannya dalam bentuk tulisan dan ujaran. Di lain pihak, Etika mengajak mahasiswa untuk belajar mengenai prinsip yang baik (prinsip kebaikan), nilai–nilai kemanusiaan, seperti tanggung jawab, kebebasan, kebersamaan dan sebagainya, sejalan dengan norma yang melingkupinya. Dengan demikian, Filsafat, Logika, dan Etika menjadi semacam “paket” yang melengkapi/menambah “isi” karakter mahasiswa agar berwawasan luas, kritis, logis, beretika, dan memiliki nilai kemanusiaan ketika ia memasuki dunia ilmu pengetahuan di tengah arus globalisasi yang kompleks.

1

BAB 1 MEMBANGUN KARAKTER1

1.1 Pengertian Karakter

Karakter menjadi persoalan yang banyak dibahas akhir-akhir ini. Untuk mengetahuinya, perlu ada penjelasan mengenai hal tersebut dan kaitannya dengan kehidupan manusia. Karakter selalu dihubungkan dengan seseorang ataupun individu, masyarakat ataupun bangsa ketika mereka  bertindak atau berperilaku dengan tujuan tertentu. Karakter menjadi salah satu faktor penting  bagi mahasiswa ketika mereka “bergelut” dalam kehidupan akademik, seperti kuliah, belajar,  berdiskusi dengan teman, atau bersosialisasi dengan teman yang mungkin tidak seprogram studi. Karakter seakan menjadi bagian dari mahasiswa karena di tempat kehidupan akademik itulah mereka dapat berperan sebagai seorang mahasiswa yang antara lain memiliki semangat  belajar tinggi, jujur (tidak melakukan plagiasi), memiliki sifat toleran kepada teman di kampus yang memiliki latar belakang berbeda dalam logat bahasa, asal usul kampung halaman, agama, dan sebagainya). Dengan demikian, karakter menjadi salah satu masalah utama di perguruan tinggi. Pendidikan karakter merupakan kegiatan pengajaran yang membantu mahasiswa untuk mengenali nilai-nilai universal sehingga mereka mampu berpikir dan bertindak sesuai dengan  prinsip kebaikan yang dianut oleh lingkungannya. Di sisi lain, pendidikan karakter harus pula melingkupi keseluruhan ranah perilaku mahasiswa, baik secara kognisi, afeksi, maupun perilaku. Pendidikan karakter yang bersifat kognitif mengajarkan mahasiswa mengenali nilai moral dan  pengaruhnya terhadap pendidikan. Pendidikan karakter yang bersifat afektif artinya mengajarkan mahasiswa mengenali cinta, sayang, kepedulian terhadap teman, lingkungan, negara. Sikap ini dapat diaplikasikan pada nilai tertentu, misalnya nilai kasih sayang, nilai peduli lingkungan, nilai kebangsaan, atau nilai Pancasila. Pendidikan karakter yang bersifat perilaku mengajarkan mahasiswa untuk dapat mengidentifikasi tingkah laku yang tepat dalam menjalankan nilai tertentu. Pembentukan karakter merupakan salah satu kunci kemajuan pembangunan bangsa (Takwin, 2012). Hal ini dilihat dari pendapat beberapa tokoh Indonesia. Bung Hatta (dalam

1

Tulisan pada Bab I Pembangunan Karakter bersumber pada tulisan Dr. Bagus Takwin dan Dra.Wuri Prasetyawati M.Psi dalam Buku I MPKT A (2016) dan disempurnakan oleh penyusun

2

Takwin, 2012) menekankan pentingnya pembentukan karakter bersama dengan pembangunan rasa kebangsaan dan peningkatan pengetahuan serta keterampilan. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia dengan karakter yang kuat (Dewantara dalam Takwin, 2012). Pembentukan karakter juga merupakan isu penting dalam pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah  pembentukan watak atau karakter (Santoso dalam Takwin, 2012). Dengan demikian, sejak Indonesia mulai merdeka hingga kini,

karakter menjadi bagian penting dan dasar dalam

membentuk kepribadian bangsa Indonesia. Pendidikan tinggi memerlukan mahasiswa yang karakter kuat. Untuk itulah harus diperjelas terlebih dahulu arti karakter itu sendiri. Menurut KBBI, karakter adalah tabiat, watak, sifat kejiwaan, ahlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (http//kbbi.web.id/karakter). Karakter merupakan kumpulan tata nilai yang terwujud dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang dapat ditampilkan secara mantap (Arief dalam Saifuddin & Karim, 2011). Karakter juga merupakan internalisasi nilai-nilai yang berasal dari lingkungan kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang. Karakter terbentuk melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan. Oleh karena itu, karakter harus dibentuk, dibangun, dan ditumbuhkembangkan. Dalam psikologi, pembentukan karakter diperhatikan sebagai hal yang membentuk manusia seutuhnya. Pembahasan mengenai masalah ini menjadi bagian dari pembahasan atau  pendekatan psikologi positif yang melihat manusia sebagai makhluk dengan kekuatan yang dapat dikembangkan guna menghadapi masalah di sekitarnya (Selligman dalam Peterson & Selligman, 2004). Dalam kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, karakter didefinisikan sebagai nilia-nilai yang khas yang terinternalisaasi dalam diri dan ditampilkannya dalam perilaku. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Pemerintah Republik Indonesia, 2010). Kemendiknas RI (2011) telah mengidentifikasi 18 nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik yang bersumber dari agama, Pancasila,  budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Kedelapan belas nilai tersebut meliputi sikap (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai 3

 prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.

1.2 Kekuatan Karakter

Peterson dan Seligman (2004) mengemukakan beberapa kriteria mengenai karakter. 1. Karakter yang kuat memberikan sumbangan terhadap pembentukan kehidupan yang baik untuk diri sendiri sekaligus untuk orang lain. 2. Ciri atau kekuatan yang di kandungnya bernilai sebagai sesuatu yang baik secara moral bagi diri sendiri dan orang lain, meskipun tidak langsung. Penampilan ciri-ciri itu tidak mengganggu, membatasi, atau menghambat orang-orang di sekitarnya. 3. Kekuatan karakter tampil dalam tingkah laku individu yang mencakup pikiran, perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi, dan diperbandingkan derajat kuat-lemahnya. 4. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya. kelima 5. Kekuatan karakter diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal. 6. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain dan saling terkait secara erat. 7. Dalam konteks dan ruang lingkup tertentu, kekuatan karakter menjadi ciri yang mengagumkan bagi orang-orang yang mempersepsinya. 8. Mungkin, tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang, tetapi kebanyakan dari ciri-ciri karakter yang kuat tampil pada orang tersebut. 9. Kekuatan karakter memiliki akar psikososial; potensinya ada dalam diri sendiri dan aktualisasinya dipengaruhi oleh lingkungan sosial. 1.3 Membentuk Keutamaan dan Kekuatan Karakter

Dalam usaha membentuk karakter, diperlukan pemahaman mengenai apa saja keutamaan dan kekuatan karakter yang sejauh ini sudah dikembangkan oleh manusia. Salah satu ahli yang melakukan penelitian mengenai karakter adalah Peterson dan Seligman (2004). Kedua pakar ini  berusaha membuat daftar kekuatan karakter pribadi. Daftar tersebut masih terus dilengkapi dan tidak tertutup terhadap penambahan. Seperti teori ilmiah lainnya, teori tentang kekuatan karakter merupakan subjek yang siap untuk diubah sesuai dengan bukti yang ditemukan dari waktu ke waktu. Berikut ini 6 kategori keutamanan secara universal yang mencakup 24 kekuatan karakter.

4

1.3.1 Kebijaksanaan dan Pengetahuan

Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi kognisi, yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Ada enam kekuatan yang tercakup dalam keutamaan ini, yaitu (a) kreativitas, orisinalitas, dan kecerdasan  praktis, (b) rasa ingin tahu atau minat terhadap dunia, (c) cinta akan pembelajaran, (d) pikiran yang kritis dan terbuka, dan (e) perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang  berbeda dan memadukannya secara sinergi dalam pencapaian hidup yang baik. Berikut adalah  penjabarannya. a. Kreativitas memberikan kemampuan untuk berpikir dengan cara baru dan produktif dalam membuat konsep dan menyelesaikan pekerjaan. Bersama dengan kekuatan orisinalitas dan kecerdasan praktis, kreativitas memungkinkan orang yang memilikinya untuk dapat menemukan solusi atau produk orisinal serta mampu menemukan cara-cara yang cerdik untuk untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.  b. Keingintahuan mencakup minat, dorongan untuk mencari sesuatu yang baru, dan keterbukaan terhadap pengalaman. Kekuatan ini menjadikan orang memiliki minat dalam  pengalaman yang sedang berlangsung, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, serta melakukan penjelajahan dan penemuan. c. Keterbukaan pikiran mencakup kemampuan membuat penilaian dan berpikir kritis. Kekuatan ini memungkinkan seseorang untuk berpikir mendalam dan menyeluruh tentang berbagai hal, memeriksa mereka dari semua sisi, serta menimbang semua bukti memadai. d. Cinta pembelajaran memampukan orang yang memilikinya untuk menguasai keterampilan, topik, dan cabang pengetahuan baru, baik dengan cara belajar sendiri maupun secara formal dalam lembaga pendidikan. Dengan kekuatan ini, orang mau belajar dan terus menerus  berusaha mengembangkan dirinya e. Kekuatan perspektif menjadikan orang yang memilikinya mampu memberikan nasihat bijak kepada orang lain serta memiliki cara untuk melihat dunia yang masuk akal bagi diri sendiri dan orang lain. Dengan keutamaan ini, orang dapat memahami berbagai perspektif yang ada dan menemukan benang merah di antara berbagai perspektif tersebut.

5

1.3.2

Kemanusiaan dan Cinta

Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan interpersonal dan  bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Keutamaan ini terdiri atas kekuatan baik dan murah hati, selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu orang lain, mencintai, dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai, serta kecerdasan sosial dan kecerdasan emosional. Berikut penjabarannya: a. Kekuatan Kemanusiaan adalah kekuatan interpersonal yang melibatkan kecenderungan dekat dan berteman dengan orang lain. Kekuatan cinta membuat orang mampu menjalin hubungan dekat dengan orang lain, khususnya sifat saling berbagi dan peduli pada orang lain.  b. Kekuatan kebaikan hati mencakup kedermawanan, pemeliharaan, perawatan, kasih sayang, dan altruistik. Sifat-sifat ini menjadikan orang mau berbagi kesenangan dan kebaikan dengan orang lain. Orang dengan kekuatan ini menjadi berbuat baik sebagai bagian dari  pengembangan dirinya. c. Kecerdasan sosial mencakup kecerdasan emosional dan kecerdasan intrapersonal. Dua kecerdasan ini memungkinkan orang yang memilikinya memahami motif dan perasaan orang lain, serta memahami motif dan perasaan diri sendiri. Orang dengan kekuatan ini dapat menempatkan diri sesuai dengan kebutuhan orang lain tanpa mengorbankan kebutuhan diri sendiri. Mereka mengembangkan dirinya sekaligus juga mengembangkan orang lain.

1.3.3 Kesatriaan

Keutamaan Kesatriaan (courage) merupakan kekuatan emosional yang melibatkan kemauan kuat untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan secara eksternal maupun internal. Keutamaan ini mencakup empat kekuatan, yaitu kekuatan untuk menyatakan kebenaran dan mengakui kesalahan, ketabahan atau kegigihan, tegas, dan keras hati, integritas, kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar, serta vitalitas, semangat, dan antusias. a. Kekuatan Keberanian mencakup kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan kehendak untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi eksternal dan internal. Kekuatan ini membuat orang tahan menghadapi ancaman dan tantangan. Orang dengan kekuatan ini kehendaknya tidak mundur ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi, seperti rasa sakit atau keletihan. Kekuatan ini mendorong seseorang untuk mampu bertindak atas keyakinan meskipun tidak populer. 6

 b. Ketabahan atau kegigihan mencakup ketekunan dan kerajinan adalah kekuatan yang memampukan orang untuk menyelesaikan apa sudah dimulai dan bertahan dalam suatu rangkaian pencapaian tindakan meskipun ada hambatan. Orang dengan kekuatan ini mampu menyesuaikan kata-kata dan perbuatan, serta berpegang pada prinsip dalam berbagai situasi,  bahkan situasi yang menghambat dan mengancam. c. Integritas yang mencakup otentisitas (keaslian), kejujuran, dan penampilan diri yang wajar adalah kekuatan yang membuat orang mampu menampilkan diri secara tulus. Orang dengan kekuatan ini mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakannya. Ia mau bertanggung  jawab untuk semua perbuatannya dan menjalankan tugas-tugas secara jujur. d. Vitalitas yang mencakup semangat, antusiasme, dan penuh energi adalah kekuatan yang membuat orang dapat menjalani kehidupan penuh dengan kegembiraan, semangat, dan  berenergi. Orang dengan kekuatan ini merasa hidup, aktif, dan penuh daya juang.

1.3.4 Keadilan

Keutamaan keadilan ( justice) mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga kekuatan yang tercakup di sini. Pertama, kewarganegaraan atau kemampuan mengemban tugas, dedikasi, dan kesetiaan demi keberhasilan bersama. Kedua, kesetaraan (equity  dan  fairness)  perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan kepada satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain. Ketiga, kepemimpinan. Keadilan adalah kekuatan yang mendasari kehidupan masyarakat yang sehat. a. Kewarganegaraan mencakup tanggung jawab sosial, loyalitas, dan kesiapan kerja dalam tim. Aspek-aspek ini membuat orang dapat bekerja dengan baik sebagai anggota kelompok yang setia kepada kelompok.  b. Kesetaraan adalah kekuatan yang membuat orang diperlakukan semua di hadapan keadilan,  bukan membiarkan keputusan atau perasaan pribadi yang bias kepada orang lain. Kekuatan ini menghindarkan orang dari prasangka, seperti rasisme dan stereotipe. Orang dengan kekuatan ini mementingkan kesejahteraan orang lain seperti kesejahteraannya sendiri. c. Kepemimpinan adalah kekuatan yang mendorong orang sebagai anggota kelompok atau sebagai pemimpin untuk menyelesaikan tugas dan pada saat yang sama menjaga hubungan yang baik dengan orang lain dalam kelompok. Orang dengan kekuatan ini dapat

7

menempatkan diri dan bekerja secara prima baik sebagai pemimpin maupun sebagai  bawahan.

1.3.5 Pengelolaan Diri

Pengelolaan diri (temperance) adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup kekuatan (a) permaafan dan pengampun, (b) pengendalian diri, (c) kerendahanhatian, dan (d) kehati-hatian ( prudence). Keutamaan ini melindungi seseorang terhadap kemungkinan hidup berlebihan atau  berkurangan, serta menjaga orang berada di situasi yang tepat. a. Pengampunan dan belas kasihan adalah kekuatan yang memberikan orang kemampuan untuk mengampuni mereka yang telah berbuat salah, menerima kekurangan orang lain, memberikan orang kesempatan kedua, dan tidak pendendam. Kekuatan ini membuat orang  percaya kepada kemampuan manusia untuk berbuat baik dan menghindarkan diri dari  berpandangan negatif terhadap kebaikan manusia.  b. Pengendalian diri adalah kekuatan yang memberi kemampuan orang untuk mengetahui apa yang masuk akal dan tidak masuk akal dilakukan sehingga dapat memilih hal-hal yang masuk akan untuk dilakukan. Kekuatan ini membuat orang dapat disiplin, mengendalikan selera, dan menguasai emosi mereka. Orang dengan kekuatan ini dapat menentukan tindakan-tindakan yang tepat bagi dirinya sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. c. Kerendahan hati atau kesederhanaan adalah kekuatan yang membuat orang mengedepankan  prestasi daripada pengakuan atas keberhasilan. Orang dengan kekuatan ini tidak melakukan kebaikan hanya untuk diri mereka sendiri. Prestasi bagi orang dengan kekuatan ini bukan tentang diri sendiri, melainkan untuk sebanyak mungkin orang. Mereka tidak menilai diri sendiri sebagai lebih atau khusus dibandingkan orang lain. d. Kehati-hatian adalah kekuatan yang membuat orang selalu berhati-hati dalam memilih seseorang, tidak mengambil risiko yang tidak semestinya, dan tidak mengatakan atau melakukan hal-hal yang nantinya mungkin akan disesali.

8

1.3.6

Transendensi

Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan. Di dalam keutamaan

itu tercakup

kekuatan: (a) penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (b) rasa bersyukur (gratitude) atas segala hal yang baik; (c) penuh harapan, optimis, dan berorientasi ke masa depan, semangat dan gairah besar untuk menyongsong hari demi hari; (d) spiritualitas: memiliki tujuan yang menuntun kepada kebersatuan dengan alam semesta; serta (e) menikmati hidup dan selera humor yang memadai. Keutamaan Transendensi adalah kekuatan yang menempa orang untuk dapat memahami koneksi yang ada di alam semesta, memahami daya-daya yang lebih besar dari manusia, serta memperoleh dan memberikan makna. a. Penghargaan terhadap keindahan dan keunggulan yang mencakup kekaguman, keheranan,  peningkatan kesadaran adalah kekuatan yang membuat orang mampu menghargai keindahan, keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik dalam berbagai ranah kehidupan. Pada diri sendiri, orang dengan kekuatan ini terdorong juga untuk menghasilkan keindahan, keunggulan, keterampilan, dan kinerja yang baik. Kekuatan ini juga membuat orang mampu menangkap inspirasi atau gugahan untuk menampilkan diri lebih baik.  b. Rasa Syukur adalah kekuatan yang membuat orang dapat menyadari dan berterima kasih atas hal baik yang terjadi, serta meluangkan waktu untuk mengungkapkan terima kasih. Orang dengan kekuatan ini menerima apa yang ada dalam kehidupan sebagai anugrah dan berkah sehingga selalu berusaha menampilkan perilaku yang baik sebagai ungkapan terima kasihnya. c. Harapan yang mencakup optimisme, menjalani hidup secara positif dari waktu ke waktu, dan  pikiran yang berorientasi ke masa depan adalah kekuatan yang membuat orang selalu mengharapkan yang terbaik di masa depan dan bekerja untuk mencapainya. Orang dengan kekuatan ini selalu optimistik menjalani hidup, berusaha terus- menerus agar menjadi lebih  baik, dan percaya bahwa yang baik selalu dapat dicapai dalam hidup. d. Spiritualitas mencakup religiusitas, iman, dan tujuan hidup. Ketiganya adalah kekuatan yang membuat orang memiliki keyakinan koheren tentang tujuan yang lebih tinggi, makna hidup, dan makna alam semesta. Orang dengan kekuatan ini menampilkan perilaku yang konsisten dan koheren sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan hidupnya. Mereka berusaha menyesuaikan diri dan aktivitasnya dengan daya-daya yang lebih besar di alam semesta. 9

e. Kekuatan menikmati hidup dan humor membuat orang dapat menjalani hidup yang penuh suka-cita, menyukai tawa untuk menghasilkan keceriaan. Dia mampu membawa dirinya dan orang lain kepada situasi yang membuat tersenyum, serta melihat sisi terang dari kehidupan. Orang dengan kekuatan ini menjalani hidup secara ringan meskipun dalam situasi-situasi yang sulit dan berat. Tabel 1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter No.

1

2

Kekuatan

Keutamaan

Kekuatan kognisi:

kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran,

Kebijaksanaan dan

mencintai kegiatan belajar, perspektif (memiliki

 pengetahuan

“gambaran besar” mengenai kehidupan).

Kekuatan interpersonal:

cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan,

Kemanusiaan

 peduli, sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta altruisitik), serta memiliki kecerdasan sosial.

3

Kekuatan

emosional:

Kesatriaan

keberanian

untuk

menyatakan

kebenaran

dan

mengakui kesalahan, teguh dan keras hati, integritas (otentisitas, jujur), serta bersemangat dan antusias.

4

Kekuatan kewarganegaraan

citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu

(civic): Berkeadilan

 bekerja sama),  fairness (memperlakukan orang setara dan adil), serta kepemimpinan.

5

Kekuatan menghadapi dan

 pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati, dan

mengatasi hal-hal yang tak

 penuh pertimbangan, serta regulasi-diri.

menyenangkan: pengelolaandiri (temperance) 6

Kekuatan Transendensi

spiritual:

apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa terima kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa depan), spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan hidup), serta menikmati hidup dan humor,

10

1.4 Memahami Nilai dan Nilai Dasar Universitas Indonesia

Pada tulisan ini akan diuraikan mengenai pengertian nilai yang terkait dengan karakter manusia dan Nilai Dasar Universitas Indonesia berdasarkan Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No.004/Peraturan/MWAUI/2015.

1.4.1 Apa itu Nilai?

Kata ‘Nilai’ haruslah diletakkan pada kerangka yang tepat. Makna ini dapat ditelusuri melalui asal katanya. Nilai atau value dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin, yaitu valere yang artinya bernilai. Terkait dengan asal kata tersebut, nilai dapat dikatakan sebagai sesuatu yang dianggap berharga, penting, memiliki kegunaan (utilitas). Sebagai contoh, Perpustakaan UI memberikan perasaan bangga bagi mahasiswa UI. Nilai dapat juga diartikan sebagai sebuah  prinsip atau tolok ukur perilaku seseorang yang terkait dengan kehidupannya. Contoh, saya akan  patuh dan hormat pada nilai kejujuran yang

diajarkan oleh ayah saya. Ada juga yang

mengatakan bahwa nilai terkait dengan pengertian yang bersifat kuantitas, membandingkan  barang yang satu dengan barang yang lain, atau barang (Laptop merk XYZ) dianggap memiliki nilai jual yang tinggi. Ada kajian yang membahas teori atau konsep nilai yang disebut aksiologi (dari bahasa Yunani: axios yang artinya nilai). Aksiologi atau filsafat nilai diartikan secara harafiah sebagai sebuah kajian atau teori tentang yang terkait dengan moralitas (etika ) dan keindahan (estetika). Dalam konteks studi filsafat dan pengembangannya, orang dapat berbicara khusus tentang etika (dianggap ada nilai moral), estetika (dipahami sebagai nilai keindahan) dan beragam nilai yang terkait dengan pandangan tokoh/pakar ataupun dengan tujuan kehidupan manusia. Dewey mengatakan bahwa nilai itu dianggapnya sebagai sebuah instrumental (alat) yang berfungsi melakukan verifikasi (pembuktian) atas ekspresi seseorang dalam interaksi dengan lingkungan sosial (Hunnex, 2004: 58). Lebih lanjut, nilai selalu terkait dengan fakta. Fakta dianggap sebagai situasi atau ciri-ciri objektif (yang menampilkan peristiwa atau gejala yang terlihat secara nyata, konkret). Saat terjadi banjir di beberapa wilayah Jakarta, orang baru menilai bahwa penyebab banjir tersebut karena orang membuang sampah sembarangan di sungai. Dengan demikian, apabila fakta itu muncul, barulah ada nilai (dibaca penilaian) dari seseorang.

Oleh karenanya, nilai dapat

dijadikan landasan, penilaian, alasan, atau motivasi dalam berperilaku ketika terkait dengan 11

 peristiwa, situasi, pengamatan tertentu atau hal lainnya yang terkait dengan pengalaman kehidupannya. Nilai memiliki tiga ciri (Bertens, 2001:141). 1.  Nilai berkaitan dengan subjek (pelaku, individu, masyarakat). Apabila tidak ada subjek, nilai tidak akan ada. Pemandangan matahari terbit di gunung Bromo sangat indah. Oleh karena itu, orang berbondong-bondong menuju ke sana untuk melihat keindahannya. 2.  Nilai tampil dalam konteks praktis tempat subjek ingin membuat sesuatu. Perancang busana itu telah menyelesaikan sebuah gaun pesanan seorang pelanggan. Ia merasa sangat puas karena si pelanggan memuji hasil karyanya. 3.  Nilai menyangkut sifat yang ditambahkan oleh subyek pada sifat yang dimiliki objek. Rumah di ujung jalan itu sudah berusia 100 tahun, tetapi rumah itu memiliki nilai kesejarahan dan nilai keindahan arsitektur yang memukau banyak orang. Dengan demikian, nilai adalah suatu tatanan yang dapat dijadikan panduan seseorang untuk menimbang, memilih, atau memutuskan suatu (alternatif) dalam berbagai situasi, sesuai kebutuhan atau keinginannya. Oleh karena itu, ada banyak nilai yang terkait dengan kebutuhan orang atau masyarakat, seperti nilai ekonomis, nilai budaya, nilai sosial, nilai kesehatan, nilai akademik, nilai Pancasila, dan sebagainya. Berbagai perspektif tersebut tentulah berbeda satu dengan lainnya. Hal itu menjadi dasar bagaimana orang menjelaskannya dengan tepat. Salah satu contoh yang hendak ditampilkan dalam uraian ini adalah nilai Pancasila. Mengapa harus nilai Pancasila? Pada SK Rektor UI tentang PPKPT UI no 1476/ 2010 (bagian Memutuskan – Menetapkan butir Ketiga b) tertuang kompetensi mahasiswa, yang berbunyi:

“mahasiswa

memiliki kepekaan dan peduli terhadap masalah lingkungan, kemasyarakatan, bangsa, dan negara. Dalam hubungannya dengan bangsa dan negara, Pancasila memegang peranan penting.  Nilai Pancasila berada pada butir rumusan Pancasila yang tertuang sebagai berikut: (1) nilai religius, pada butir 1, Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) nilai kemanusiaan pada butir 2, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, (3) nilai persatuan pada butir 3, Persatuan Indonesia, (4) nilai kerakyatan pada butir 4, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan (5) nilai keadilan pada butir 5, Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia.

12

 Nilai yang ada pada butir Pancasila tersebut, secara keseluruhan dapat dikembangkan atau ditambahkan nilai lainnya, seperti nilai kebangsaan, nilai moral (kebaikan), dan nilai toleransi. Nilai kebangsaan diartikan sebagai manusia Indonesia yang memiliki jatidiri sebagai  bangsa Indonesia dengan menghargai dan loyalitas terhadap ideologi (dasar negara) Pancasila.  Nilai moralitas diartikan sebagai nilai yang mengarah pada prinsip kebaikan. Prinsip kebaikan itu dijadikan landasan dalam menampilkan jatidirinya, perilaku kesehariannya dengan orang lain, atau di tengah masyarakat luas. Nilai toleransi dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan sikap menghargai teman atau orang lain yang berbeda dengan dirinya. Sebagaimana diketahui, Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki  jumlah 1331 suku bangsa (http//www. bps.go.id/kegiatan lain /view/id/127). Perbedaan yang ada (agama, bahasa, suku bangsa, adat istiadat, dan sebagainya) tidak menjadikan halangan bagi setiap bangsa atau khususnya mahasiswa Indonesia dalam bekerja sama dan bersahabat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan kata lain, nilai yang ada pada Pancasila sebenarnya merupakan “kumpulan nilai” dalam Pancasila itu sendiri. Nilai Pancasila mengarahkan mahasiswa untuk peduli terhadap berbagai situasi lingkungan, kemasyarakatan, bangsa, dan  Negara Indonesia, serta menjadikan dirinya memiliki jatidiri yang baik.

1.4.2

Nilai Dasar Universitas Indonesia

Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No.004/Peraturan/MWAUI/2015 tentang Anggaran Rumah Tangga Universitas Indonesia pasal 2 tentang Nilai-nilai Univesitas Indonesia mencakup: 1. Kejujuran. 2. Keadilan. 3. Keterpercayaan. 4. Kemartabatan dan/atau Penghormatan. 5. Tanggungjawab dan Akuntabilitas. 6. Kebersamaan. 7. Keterbukaan. 8. Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan. 9. Kepatuhan pada Aturan, Prosedur dan Panduan UI serta Panduan lainnya.

13

 Nilai-nilai tersebut mengacu pada Keputusan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia  No. 001/SK/DGB-UI/2014 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku Sivitas Akademika Universitas Indonesia (Lampiran 1). Isi penjelasannya mengenai sebagai berikut. 1. Kejujuran ( Honesty)

Sifat lurus, ikhlas hati, berkata dan bertindak benar, tidak berbohong, tidak menipu, tidak korupsi, tidak curang, yang dalam pelaksanaannya diiringi sikap tulus, arif bijaksana serta dilandasi keluhuran budi. Kejujuran mencakup keseluruhan sikap tindak, termasuk tidak melakukan plagiat dalam kegiatan akademik, atau pengembangan ilmu pengetahuan, tidak menyalahgunakan jabatan, pangkat, gelar, atau fasilitas akademik lainnya. 2. Keadilan ( Just and Fair)

Memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama secara adil dan nondiskriminatif bagi setiap warga dalam melaksanakan tugas masing-masing, termasuk dalam mengembangkan kegiatan akademik dan kegiatan lainnya. Sikap ini tidak didasarkan pada pertimbangan yang bersifat rasial, etnis, agama, gender, status perkawinan, usia, difabilitas, dan orientasi seksual. 3. Kepercayaan (Trust )

Bersikap dan berperilaku amanah serta dapat dipercaya dalam menjalankan mandat maupun dalam melaksanakan setiap kegiatan atau kewajiban yang diembannya, baik dalam jabatan, fungsi, maupun sebagai warga negara pada umumnya. 4. Kemartabatan (Dignity ) dan/atau Penghormatan ( Respect)

Komitmen untuk memperlakukan setiap orang dengan rasa hormat, manusiawi, taat pada norma kesusilaan, kepatuhan, atau kepantasan dalam situasi apapun. 5. Tanggung Jawab ( Accountability)

Bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas jabatan maupun tugas fungsionalnya serta menghindarkan diri dari benturan kepentingan (conflict of interest ) yang dapat merugikan kepentingan UI maupun kepentingan warga UI lainnya. Di dalamnya termasuk upaya menghindarkan diri dari benturan kepentingan seperti tindakan menolak suap atau sejenisnya yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam jabatan dan fungsinya serta dapat mengakibatkan kerugian UI dan Warga UI lainnya. 6. Kebersamaan (Togethernes s)

Keragaman/kemajemukan merupakan karakteristik bangsa Indonesia yang menjadi kekuatan dan kekayaan Universitas Indonesia. Pengakuan akan kebhinekaan budaya itu merupakan dasar dari 14

rasa kebersamaan dan menjadi bagian dari jati diri Warga UI sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, warga UI bertekad untuk menjunjung tinggi toleransi dan semangat kebersamaan dalam meniti serta melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada setiap Warga UI di lingkungan kerjanya. 7. Keterbukaan (Transparency)

Keterbukaan

nurani

dan

keterbukaan

sikap

untuk

bersedia

mendengarkan

dan

mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh pendapat orang lain; keterbukaan akademik untuk secara kritis menerima semua informasi dan semua hasil temuan akademik pihak lain; dan  bersedia membuka/membagi semua informasi pengetahuan yang dimiliki kepada pihak yang  berhak mengetahui/berkepentingan, kecuali yang bersifat rahasia. 8. Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan ( Academic Freedom and Scientific

 Autonomy)

Menjunjung tinggi kebebasan akademik, yaitu kewajiban untuk memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan, menjunjung tinggi kebebasan mimbar akademik, yaitu kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat di dalam lingkungan UI maupun dalam forum akademik lainnya. 9. Kepatuhan pada Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku (Compliance to Laws)

Melaksanakan semua kegiatan di lingkungan UI harus mematuhi semua peraturan yang berlaku Kesembilan Nilai Dasar Universitas Indonesia tersebut melengkapi pengertian nilai dalam Bab I dan menambah wawasan mahasiswa Universitas Indonesia. Kesembilan nilai itu diharapkan dapat membentuk karakter Civitas Akademika Universitas Indonesia yang tercermin melalui  perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan akademik. Oleh karena itu, nilai tersebut selalu diusahakan mewarnai setiap tindakan dan keputusan yang diambil oleh civitas akademika, baik dosen maupun mahasiswa. Selain itu, kesembilan nilai ini akan terkandung dalam matakuliah yang dipelajari mahasiswa dan kegiatan-kegiatan nonakademis lainnya di luar perkuliahan.

15

BAB 2 FILSAFAT

2.1 Apa itu Filsafat?

Secara etimologis, filsafat berasal dari dua kata Yunani philo yang berarti cinta dan sophia yang  berarti kebijaksanaan. Oleh karena itu, filsafat yang berasal dari kata  philosophia  berarti cinta kebijaksanaan sedangkan filsuf dapat diartikan pencinta kebijaksanaan. Pertama kali kata  philosophia terlihat dalam tulisan sejarahwan Yunani Kuno Herodotus yang hidup pada 484-424

SM. Dia menggunakan kata kerja ‘berfilsafat’ yang merujuk pada aktivitas Solon yang telah melakukan perjalanan melalui berbagai negeri yang didorong oleh hasrat akan pengetahuan. Dalam konteks itu, ‘berfilsafat’ mengindikasikan bahwa Solon mencari pengetahuan untuk  pengetahuan itu sendiri (Fullerton, 1915). Menurut Socrates, guru dari filsuf Plato, kebijaksanaan yang dimaksud di sini bukan soal mengetahui

banyak

fakta

atau

mengetahui

bagaimana

caranya

melakukan

sesuatu.

Kebijaksanaan yang dimaksud itu adalah kemampuan untuk memahami hakikat (true nature) dari semesta (universe) dan eksistensi manusia. Pemahaman ini dapat dicapai dengan terus menerus bersedia mengajukan pertanyaan dan memperdebatkan ide yang kita miliki mengenai keduanya (Donald, 2006). Salah satu kutipan dari Socrates yang menggambarkan idenya tentang kebijaksanaan adalah hidup hanya pantas dijalani apabila kita memikirkan apa yang kita kerjakan (“The unexamined life is not worth living”, ungkap Sokrates). Definisi etimologis yang dijelaskan di atas ini terlalu umum untuk menjelaskan apa itu filsafat. Oleh karena itu, diperlukan rumusan definisi filsafat yang lebih spesifik yang mengacu kepada aktivitas dan menjernihkan pergertiannya dalam kerangka akademis. Filsafat seringkali dituduh sebagai suatu studi yang tidak punya relevansi dengan kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, siapapun yang telah melakukan studi lebih dalam atas filsafat, orang dapat melihat bahwa filsafat bisa sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tanpa kita sadar, kita semua memegang kepercayaan filosofis tertentu. Misalnya, kepercayaan kita bahwa pengetahuan di masa lalu cukup bisa diandalkan untuk memberikan pentunjuk terhadap masa depan. Kita  percaya bahwa Tuhan itu ada. Lebih lanjut, kita mungkin percaya bahwa kejujuran haruslah dipertahankan tanpa memperhitungkan konsekuensinya. Sementara itu, orang lain mungkin

16

 percaya bahwa berbohong diperbolehkan bila dengan tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk menyelamatkan seseorang dari malapetaka dalam situasi krisis. Ada berbagai kepercayaan filosofis yang dianut. Banyak orang yang percaya bahwa  persoalan benar dan salah adalah sesuatu yang bersifat independen terlepas dari apa yang diinginkan. Banyak orang pula yang mengklaim bahwa persoalan benar dan salah tidak lebih dari sebuah preferensi yang subjektif. Akan tetapi, orang yang saling bertentangan terkait dengan hal itu bisa bersepakat pada kepercayaan bahwa dunia yang kita lihat di sekitar adalah dunia yang riil. Dunia itu akan tetap ada apabila kita tidak mengamatinya. Ringkasnya, kita percaya bahwa dunia tidak hilang ketika kita memejamkan mata. Hal ini merupakan sebuah kepercayaan filosofis dan objek kajian yang ditelaah di dalam filsafat. Kepercayaan filosofis dapat memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan seharihari kita. Misalnya, seseorang yang percaya bahwa moralitas tidak lebih dari preferensi subjektif sangat mungkin berperilaku secara berbeda dibandingkan dengan seseorang yang percaya bahwa kesalahan dari berbohong adalah suatu fakta yang bersifat objektif. Dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa ada aspek filosofis dalam masalah-masalah yang terkait dengan  persoalan moralitas ataupun politis. Misalnya, pertanyaan terkait dengan aborsi, hukuman mati,  persamaan sebagai keadilan, kebebasan berbicara, batasan kekuasaan negara, dan lain-lain (Law, 2007). Cara yang paling mudah untuk memahami apa itu filsafat adalah dengan mengacu kepada aktivitasnya. Filsuf dapat dianalogikan dengan keingintahuan anak-anak. Seperti yang kita ketahui anak-anak punya kecenderungan untuk bertanya “Mengapa?” terus-menerus. Kegiatan semacam itu secara sederhana dapat menyentuh beberapa kepercayaan kita yang paling fundamental. Misalnya, bila anak bertanya “Mengapa kita mesti ada?”. Dalam konteks semacam ini, kita dapat menyatakan bahwa para filsuf punya tendensi yang sama dengan anak-anak, yaitu mempertanyakan pernyataan-pertanyaan fundamental  (fundamental questions) dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal tersebut sangat jarang muncul ke permukaan dikarenakan kita menganggapnya sebagai sebuah kebiasaan. Di sini kita dapat menyatakan bahwa filsafat merupakan sebuah seni untuk bertanya (the art of questioning). Ada dua karakteritik pertanyaan pertanyaan filosofis yang selalu muncul hampir dalam setiap diskursus filosofis: 1. Apa yang Anda maksud? 2. Apa alasan yang tersedia untuk percaya bahwa klaim ini benar? 17

Katakanlah seseorang mengklaim bahwa Tuhan itu ada. Pertama, filsuf akan bertanya: “Apa yang Anda maksud dengan Tuhan?” Dalam konteks ini, pengertian akan Tuhan yang dimaksud sangat penting agar kita mengetahui apakah klaim tersebut benar atau salah. Kedua, filsuf akan bertanya: “Apa alasan yang tersedia untuk percaya bahwa klaim ini benar?” Hal ini menunjukkan bahwa filsuf mempertanyakan justifikasi atas suatu klaim tertentu. Oleh sebab itu, filsuf tidak langsung menerima saja berbagai klaim, khususnya klaim-klaim yang kontroversial tanpa justifikasi. Filsuf memeriksa justifikasi tersebut secara kritis. Di sini terlihat bahwa filsuf mengasumsikan ada hubungan justifikasi dengan kebenaran. Sebuah klaim yang didukung dengan justifikasi baik memang dirasakan lebih benar daripada sebuah klaim yang didukung dengan justifikasi yang tidak baik (Emmet, 2001). Berpikir secara filosofis bisa sangat menyenangkan, tetapi juga bisa sangat menganggu. Ketika kita mulai berpikir secara filosofis berarti kita berpikir tanpa menggunakan sebuah jaring  pengaman dan pijakan kokoh yang biasanya kita injak. Kita tertinggal tanpa pegangan sama sekali. Menurut Law, perasaan ini disebut sebagai intellectual vertigo.  Hal ini biasa terjadi di dalam filsafat (Law, 2007). Hal ini tidaklah mengherankan dikarenakan memang sebagian besar dari kita cenderung untuk tidak berpikir terkait dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental,  bahkan untuk mempertimbangkannya. Kita cenderung untuk tetap di mana kita merasa aman dan nyaman. Akan tetapi, risiko merupakan sesuatu yang layak untuk diambil. Hal ini dikarenakan  bahwa berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan fundamental dapat berbuah manis. Misalnya,  beberapa perkembangan terbesar dalam ilmu pengetahuan justru terjadi hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut. Einstein pernah menyatakan bahwa salah satu inspirasi terbesarnya datang dari sebuah pembacaan atas karya-karya David Hume seorang filsuf abad ke-18. Menurutnya, Hume yang telah mendorong untuk mempertanyakan apa yang dianggap sebagian besar orang pada masa hidupnya diasumsikan benar (Law, 2007). Bukan hanya dalam bidang ilmu pengetahuan, kita mendapatkan manfaat dalam mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan fundamental. Beberapa perkembangan moral dan politis  paling penting datang dari orang-orang yang ingin mempertanyakan apa yang dianggap hampir oleh semua orang benar. Tidak terlalu lama dalam sejarah peradaban manusia, sebagian orang menganggap bahwa perbudakan dapat diterima dan peran perempuan haruslah di dalam rumah. 18

Kemajuan moral dan politis ini jelas dibawa oleh mereka yang berhenti sejenak dan mempertanyakan apa yang dianggap benar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain,  peradaban sangat berutang pada orang-orang yang bersedia untuk berpikir dan mempertanyakan apa yang dianggap benar (Nagel, 1987). Dengan kata lain, disadari atau tidak, filsafat digunakan oleh manusia untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jika orang menyadarinya, lebih banyak lagi manfaat  berpikir filosofis yang dapat diperoleh. Dengan berpikir filosofis, orang dapat berpikir mendalam dan mendasar. Orang juga dapat memperoleh kemampuan analisis, berpikir kritis dan logis sehingga ia mampu juga berpikir secara luas dan menyeluruh. Berpikir filosofis juga membuat orang dapat berpikir sistematis dalam mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin secara tertata. Berpikir filosofis juga membantu orang untuk menjajaki kemungkinan baru sehingga dapat memperoleh pengetahuan baru. Orang dapat terus menerus menambah pengetahuannya dengan berpikir filosofis. Di sisi lain, berpikir filosofis juga memberikan kesadaran kepada orang mengenai keterbatasan  pengetahuannya. Kesadaran akan masih banyaknya hal yang tidak diketahui membuat orang menjadi rendah hati, terbuka, dan siap untuk memperbaiki pengetahuannya. Dengan demikian,  berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya. Berikut setidaknya manfaat  belajar filsafat:

19

Tidak ada persetujuan universal tentang jawaban yang tepat terhadap pertanyaan pertanyaan yang dijawab para filsuf. Hal ini menyebabkan pertanyaan itu menjadi terbuka (open question). Jika ada ketidaksetujuan yang substansial terkait dengan jawaban sebuah pertanyaan,

 pertanyaan itu merupakan sebuah pertanyaan terbuka. Sebaliknya, jika ada hampir ada jawaban universal terkait dengann jawaban sebuah pertanyaan, pertanyaan itu merupakan sebuah  pertanyaan tertutup. Misalnya, pertanyaan “Berapa tinggi Gunung Merapi?” atau “Siapa presiden  pertama RI?”. Kita tidak terlalu bersoal tentang jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tertutup, kita hanya butuh sumber informasi yang terpercaya. Lain halnya dengan pertanyaan terbuka. Jawaban atasnya tidak memberikan semua orang kepuasan dan terdapat sebuah ketidaksetujuan yang rasional atas jawaban mana yang benar. Di sini perlu ditekankan bahwa kita tidak mesti mengasumsikan bahwa pertanyaan terbuka tidak  punya jawaban yang tepat. Hanya dikarenakan ada ketidaksejutuan terkait dengan jawaban yang  benar tidak berarti bahwa tidak ada jawaban yang tepat. Apa yang penting dari pertanyaan terbuka adalah ia selalu memberikan kesempatan untuk kita berpikir secara mandiri. Di sinilah, kita melihat bahwa pertanyaan filosofis selalu dirumuskan sebagai pertanyaan terbuka dikarenakan tidak punya jawaban yang disepakti bersama. Hal itu berarti kita harus berpikir sendiri dan memutuskan apakah jawaban yang kita pikirkan adalah tepat atau dapat diterima secara rasional. Ada dua wilayah yang dapat dikontraskan dengan filsafat, yaitu religi dan ilmu  pengetahuan. Hal ini merujuk pada gagasan Russell dan Law. Russel menjelaskan persoalan tersebut dengan sangat menarik. Dia menyebut filsafat sebagai tanah tidak bertuan  (No Man’s  Land ). Berikut kutipan lengkapnya:  All definite knowledge --so I should contend—belongs to science; all dogma as to what surpasses definite knowledge belongs to theology. But between theology and science, there is a No Man’s  Land, exposed to attack by both sides; this No Man’s Land is philosophy (Russell, 1945).

Memang

banyak

pertanyaan

fundamental

yang

diolah

dalam

filsafat

juga

diperbincangkan dalam religi. Dalam konteks ini, religi biasanya berupaya untuk menyediakan sebuah jawaban pertanyaan fundamental, seperti “Mengapa semesta ini ada?” dan “Untuk apa semua ini ada?” Beberapa religi mengklaim bahwa Tuhan menciptakan segalanya. Di samping itu, religi juga berupaya memberikan kejelasan terkait dengan apa yang membuat sesuatu 20

menjadi benar dan salah atau apa kita mempunyai jiwa atau tidak. Memang dalam sejarah, kita dapat melihat banyak pemikir religius besar merupakan seorang filsuf. Sebaliknya, banyak pula filsuf penting merupakan seorang ahli religi. Dikarenakan tumpang-tindihnya antara filsafat dan religi dalam berurusan dengan  pertanyaan-pernyataan fundamental, kita perlu melihat perbedaan keduanya secara jernih. Menurut Law, filsafat dan religi dapat dilihat perbedaannya terkait dengan persoalan peran dari rasio. Hal ini menegaskan pengakuan bahwa rasio punya batasan. Memang rasio mungkin tidak mampu menyelesaikan semua pertanyaan-pernyataan fundamental. Akan tetapi, perbedaan itu terlihat jelas; filsafat sangat memberikan dorongan bagi kita untuk mempergunakan kekuatan rasio sebaik mungkin dan sejauh yang kita bisa (Law, 2007). Sementara itu religi mungkin memberikan dorongan terkait dengan penerapan rasio, tetapi juga menekankan pentingnya jalan lain dalam persoalan kebenaran, termasuk pewahyuan dan kitab suci. Di samping itu, filsafat seringkali mengajukan pertanyaan yang dalam banyak kasus terlihat jauh dari jangkauan ilmu pengetahuan untuk memberikan sebuah jawaban (Baggini, 2005). Misalnya, “Apa makna kehidupan ini?; “Mengapa semuanya ada?”; “Bagaiman saya bisa mengetahui bahwa saya tidak sedang terjebak di dalam sebuah realitas virtual?”; “Apa kita  punya ruh yang abadi?”; “Apa kita sebagai manusia punya kehendak bebas?” Salah satu alasan mengapa ilmu pengetahuan dapat memberikan bantuan dalam merumuskan jawaban atas  pertanyaan-pertanyaan itu dikarenakan ilmu pengetahuan mengasumiskan ada jawaban yang  jelas terhadap hal-hal tersebut. Kita bisa mengambil contoh pernyataan: “Mengapa semuanya ada?” Para ilmuwan menjelaskan bahwa keberadaan dari semesta dengan mengajukan sebuah gagasan “Ledakan Besar” yang terjadi miliaran tahun yang lalu. Peristiwa luar biasa itu bukan hanya menghasilkan materi dan energi, tetapi waktu dan ruang. Lalu, apakah penjelasan ilmiah seperti itu menghilangkan misteri tentang kita? Tidak. Hal ini dikarenakan sekarang kita dapat bertanya lagi: “Mengapa ada ledakan? Apa yang terjadi jika tidak ada ledakan”. Dengan kata lain, misteri terkait dengan mengapa semuanya ada belumlah terpecahkan, hanya tertunda. Dalam konteks itu, ilmu pengetahuan berfokus terkait dengan asal-mula semesta. Filsafat kerapkali didefinisikan sebagai induk dari ilmu pengetahuan (mother of science). Keterangan ini merupakan keterangan yang sifatnya historis. Artinya, filsafat disebut demikan karena kemunculannya mendahului ilmu pengetahuan. Para filsuf tidak bermaksud melahirkan 21

ilmu pengetahuan dan tidak membayangkan ilmu pengetahuan menjadi semaju hari ini. Ilmu  pengetahuan merupakan perkembangan lanjut dari filsafat. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, filsafat melihat realitas secara total untuk menemukan hakikatnya. Sedangkan, ilmu pengetahuan hanya mencoba menerangkan hubungan antargejala yang tertangkap oleh pengamatan manusia. Seiring dengan perkembangan yang terjadi di tubuh ilmu penetahuan, ilmu pengetahuan kini semakin beragam dan spesifik. Spesifik  berarti setiap cabang ilmu sebenarnya mempelajari objek yang sama, namun pendekatan atau metode yang digunakan berbeda-beda. Sebagai contoh, biologi mengkaji manusia dari segi fisiologinya, antropologi dari sisi kebudayaannya, sosiologi dari sisi caranya hidup  bermasyarakat. Yang perlu menjadi perhatian, cabang ilmu yang semakin spesifik dengan metode ilmiahnya masing-masing ini seakan-akan membuat satu disiplin dengan disiplin yang lain tidak saling berkaitan. Pertanyaannya kemudian, di mana posisi filsafat setelah ilmu pengetahuan menjadi sedemikan spesifik? Filsafat kini berfungsi sebagai disiplin lapis kedua (second-order discipline) yang tidak lagi menyelidiki realitas secara menyeluruh melainkan sebagai peralatan analitik untuk memeriksa penyelidikan rasional ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pertanyaan yang lebih fundamental, seperti, “Mengapa semuanya ada?” melampaui kemampuan ilmu  pengetahuan untuk memberikan sebuah jawaban. Alasan lain mengapa ilmu pengetahuan tidak  bisa memberikan jawaban terkait dikarenakan pertanyaan tersebut sangat berhubungan dengan makna dan konsep. Misalnya, jika kita ingin memberikan jawaban pada pertanyaan, “Apakah sebagai manusia kita punya kehendak bebas?” Kita mesti mendpat kejelasan dulu tentang apa yang dimaksud dengan kehendak bebas dan konsep-konsep apa saja yang terliput di dalamnya. Artinya, sekalipun semua fakta dikumpulkan, pernyataan tersebut akan tetap ada jika kita tidak memberikan penjelasan terkait dengan kehendak bebas. Klarifikasi atas makna dan konsep adalah salah satu aktivitas sentral seorang filsuf.

2.2 Sistematika dan Karakteritik Filsafat

Dalam filsafat, klarifikasi atas makna dan konsep dilakukan pada setiap objek kajian. Kita bisa melihat filsafat menjadi cabang-cabang yang memiliki objek kajian khusus. Lebih jauh kita dapat melakukan pembagian filsafat secara garis besar berdasarkan sistematika klasiknya yang terdiri dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa pembagian ini lebih 22

 bertujuan untuk mempermudah kita mengenal apa itu filsafat. Hal yang terjadi sesungguhnya adalah setiap cabang-cabang filsafat saling kait-mengait dengan erat. Oleh karena itu pula,  pembagian atas objek kajian filsafat bisa dilakukan seperti filsafat ketuhanan, filsafat sejarah, filsafat bahasa, filsafat politik, dan lain-lain (Hadinata, Putri, & Takwin, 2015). Di sini, kita akan lebih fokus pada pembagian filsafat secara garis besar berdasarkan sistematika klasiknya. Berikut ilustrasi sederhananya:

Ontologi dan Metafisika

Istilah ontologi berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu onto yang berarti ‘ada’ dan logos  yang  berarti ‘ilmu’, ‘kajian’, ‘prinsip’ atau ‘aturan’. Secara umum, ontologi dapat didefinisikan sebagai studi filosofis tentang hakikat ada (being), eksistensi, realitas, serta kategori dasar keberadaan dan hubungannya. Dalam pengertian itu ontologi bisa dibagi dua menjadi dua kategori, yaitu ontologi (dalam arti khusus) dan metafisika. Dalam ontologi kita berfilsafat tentang sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indera. Sedangkan metafisika mengkaji realitas yang bersifat murni konseptual. Kata metafisika berasal dari kata ta meta ta phusika. Di sini, ta meta berarti di balik atau setelah. Sementara ta phusika  berarti sesuatu yang bersifat fisikal, dapat ditangkap bentuknya oleh indera. Oleh karena itu, berdasarkan asal katanya itu, metafisika diartikan sebagai kenyataan di balik fisika atau kenyataan yang bentuknya tak terjangkau oleh indera. Metafisika  berhubungan dengan objek-objek yang tidak dapat dijangkau secara inderawi karena obyek itu melampaui sesuatu yang bersifat fisik. Secara fisikal, itu tidak tampak namun tetap bisa

23

dijadikan kajian konseptual seperti jiwa, Tuhan, dan sebagainya. Secara tradisional, metafisika dianggap sebagai cabang utama filsafat.

Epistemologi

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan yang ditelusuri melalui empat pokok, yaitu sumber pengetahuan, struktur pengetahuan, keabsahan pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan. Pertanyaan yang hendak dijawab di sini adalah bagaimana proses  perolehan pengetahuan pada diri manusia dan bagaimana ia dapat mengetahui. Dalam epistemologi terdapat tiga cabang yang lebih spesifik.

Filsafat Ilmu Pengetahuan

Filsafat Imu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, yang menjadi objek kajian adalah pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (science). Berbeda dengan pengetahuan sehari-hari (knowledge), pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sistematis, diperoleh dengan menggunakan metode-metode tertentu, logis, dan teruji kebenarannya.

Metodologi

Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu  pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih, dan teruji. Di sini cara dan metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh kesahihannya dalam kegiatan menemukan ilmu  pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja dan metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada, dalam metodologi itu dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru dalam ilmu  pengetahuan.

Logika

Logika adalah kajian filsafat yang mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Satuan penalaran dalam logika adalah argumen yang merupakan ungkapan dari putusan ( judgment ). Penalaran berlangsung lewat argumentasi dalam seperangkat proposisi. Proposisi adalah pernyataan untuk mengiyakan (afirmasi) atau menyangkal (negasi) sesuatu. Proposisi 24

terdiri atas pokok yang dibicarakan (subjek), apa yang disangkal atau diiyakan (predikat), dan hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula). Argumentasi itu tersusun dari  premis ke kesimpulan lewat proses penyimpulan (inference). Secara umum ada dua jenis argumentasi, yaitu deduktif dan induktif Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis atau kesimpulam khusus. Penilaiannya adalah valid atau tidak valid. Argumen induktif bergerak dari premis-premis khusus ke kesimpulan atau premis umum induksi menghasilkan pengetahuan yang tidak niscaya, melainkan kemungkinan. Kadar kemungkinannya dapat diukur penilaian kuat atau lemah. Logika sangat berkaitan erat dengan filsafat ilmu dan metodologi ilmu.

Aksiologi

Secara etimologis, aksiologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu axia  yang berarti ‘nilai’ dan logos  yang berarti ‘ilmu’, ‘kajian’, ‘prinsip’ atau ‘aturan’. Oleh karena itu, aksiologi dapat

dimaknai sebagai sebuah studi tentang nilai-nilai. Pada dasarnya, pembahasan tentang nilai menyangkut cabang lain dari filsafat. Ada tiga nilai yang berbeda namanya dalam filsafat, tetapi mempunya keterkaitan dan kesatuan makna, yaitu kebaikan, kebenaran, dan keindahan (bonum, veritas, pulcher ). Etika berkaitan dengan masalah kebaikan; epistemolgi dengan masalah

kebenaran; dan estetika dengan masalah keindahan. Di dalam aksiologi dibahas tentang nilai yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicarakan tentang nilai yang berikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam aksiologi adalah etika dan estetika.

Etika

Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan  perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, orang yang baik, berbuat  baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Istilah etika menunjuk dua hal. Pertama, disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua, pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku manusia. Dalam etika juga dipelajari alasan-alasan yang rasional mengapa manusia  berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Oleh karena itu, etika bukanlah sekadar kumpulan perintah dan larangan.

25

Estetika

Kata estetika diturunkan dari kata Yunani Kuno aisthetikos yang berarti to sense perception yang  juga diturunkan dari kata aisthanomai yang berarti  I perceive, feel, sense. Oleh karena itu, estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan dalam menanggapi sesuatu yang dalam konteks tertentu bisa indah atau tidak. Dengan lain, estetika merupakan sebuah disiplin ilmu yang membahas terkait dengan persoalan putusan apakah sesuatu itu indah atau tidak dalam konteks  persepsinya atas realitas. Jika kita melihat lebih dalam pemikiran-pemikiran filosofis dari Yunani Kuno hingga era kontemporer, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami segala sesuatu secara kritis, radikal, sistematis, dan rasional. Di sini, filsafat tidak lain adalah sebuah usaha refleksi. Sebuah usaha adalah sebuah proses, bukan semata produk. Filsafat sebagai sebuah upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan mungkin ada. Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis yang mencerminkan proses  pencariannya dan merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya terfokus pada produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi atau sesuatu yang telah selesai. Jika kita hanya melihat produknya saja, kalimat-kalimat dalam filsafat tampil sebagai jargon ataupun resep dalam mengatasi persoalan kehidupan. Sebaliknya, kalimatkalimat dalam filsafat tampil sebagai kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan orang kebanyakan. Hal terjadi jika kita tidak memahami prosesnya. Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai, akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak mungkin merupakan barang yang jadi. Artinya, produk filsafat adalah pemikiran yang perlu dikaji, direfleksikan, dan dikritik lagi. Setidaknya filsafat punya karakteristik sebagai berikut:

Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah Latin kritein  yang berarti memilah-milah dan kritikos  yang berarti kemampuan menilai. Dalam konteks ini, kata kritis mengandung dua pengertian tersebut. Berfilsafat berarti memilah-milah dan memberi penilaian 26

terhadap objek yang dikaji. Secara lebih khusus lagi, kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru dan tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada. Artinya, berfilsafat bermakna selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima, ditolak atau  belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas. Karakteristik filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang  berarti akar. Radikal berarti mendalam; sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis memungkinkan kita untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan mendalam, kita tidak begitu saja menerima apa yang ada. Dengan kata lain, kita mencermati dan menemukan masalah, lalu mencari pejelasan baru yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa  jadi menggantikan penjelasan terdahulu dalam pengertian membongkar dasar dan mencabut akar-akar pemikiran sebelumnya. Karakteristik radikal pada filsafat memungkinkan kita memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan yang mendalam. Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti keteraturan, tatanan, dan saling keterkaitan. Dalam konteks ini, sistematis memiliki pengertian  bahwa upaya memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut, dan  bertahap, serta hasilnya mengikuti suatu aturan tertentu pula. Karakteristik sistematis dari filsafat ini mengimplisitkan adanya jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain, karakteristik sistematis dalam filsafat sekaligus mencakup nilai kevaliditasan. Dari sini dapat dipahami bahwa filsafat mencakup logika. Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran. Oleh sebab itu pula, filsafat tidak bisa dilepaskan dari karakteristik rasional.

2.3 Berpikir Filosofis

Filsafat adalah sebuah kajian yang bersifat kreatif dan kritis. Kreativitas hadir ketika filsuf menciptakan teori-teori untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis. Kekritisan terjadi ketika filsuf memutuskan klaim-klaim atau teori-teori mana yang tepat. Untuk melakukan hal itu, kita harus melihat latar belakang dan persaingan atas klaim-klaim atau teori27

teori tersebut (Warburton, 2011). Sebenarnya kita melakukan hal tersebut sepanjang waktu di luar filsafat. Misalnya, kita kita berdiskusi tentang siapa pemain sepak bola, actor, atau penyanyi terbaik sepanjang masa. Bagian kreatif ketika kita memberikan nama-nama di dalam diskusi tersebut. Bagian kritis ketika kita memutuskan jawaban mana yang paling diterima secara rasional. Dalam konteks ini, untuk memutuskan siapa pemain sepak bola, actor, dan penyanyi terbaik sepanjang masa, kita merasa bahwa kita punya kewajiban untuk menyediakan sebuah alasan ketika kita mengusulkan atau menolak. Dengan demikian, upaya untuk menyediakan sebuah alasan adalah sebuah upaya untuk menyediakan argumentasi dari sudut pandang kita. Kita dapat mengilustrasikan proses dari memutuskan apa yang paling bisa diterima secara secara rasional seperti menimbang berat dua objek tertentu. Kita menempatkan alasan-alasan atau argumentasi-argumentasi bagi sebuah keyakinan di satu sisi timbangan dan alasan-alasan atau argumentasi-argumentasi yang menentang keyakinan di sisi lain. Setelah itu, diputuskan sisi mana yang lebih berat atau lebih baik. Perhatikan ilustrasi berikut:

Kita mungkin tergoda untuk menyatakan bahwa apapun yang dipercaya seseorang adalah sesuatu yang bersifat rasional setidaknya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, kebanyakan filsuf  berpendapat bahwa ada keyakinan yang bisa diterima secara rasional dan ada pula yang tidak  bisa diterima secara rasional. Perbedaan keduanya terkait erat dengan argumentasi-argumentasi. Seperti yang telah dijelaskan, kita dapat mengatakan bahwa sebuah keyakinan bisa diterima secara rasional bila argumentasi untuk hal tersebut lebih kuat daripada argumentasi yang menentangnya (Emmet, 2001). Sementara itu, keyakinan tidak bisa diterima secara rasional apabila agumentasi yang menentangnya lebih kuat daripada argumentasi untuk hal tersebut. Dalam konteks ini, pertanyaan seperti apa itu argumentasi dan bagaimana kita memisahkan 28

antara argumentasi yang baik dan argumentasi yang buruk menjadi sangat relevan untuk diketahui. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa fitur utama dari filsafat adalah mengevaluasi argumentasi-argumentasi (evaluating arguments). Argumentasi merupakan unit paling dasar yang lengkap dari sebuah proses penalaran. Lebih lanjut, sebuah argumentasi adalah inferensi dari satu atau lebih titik tolak yang biasanya dikenal dengan premis ke sebuah titik akhir yang biasanya dikenal dengan konklusi atau kesimpulan. Di sini, perlu dibedakan antara argumentasi dan eksplanasi. Menurut Baggini dan Fosl, aturan umum untuk membedakan keduanya adalah agumentasi merupakan upayan untuk mendemonstrasikan bahwa (that ) sesuatu itu benar, sedang eksplanasi merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan bagaimana (how) sesuatu itu benar. Misalnya, sebuah eksplanasi bagi kematian seorang perempuan pasti akan menunjukkan bagaimana (how) hal itu terjadi dengan merujuk adanya air dalam kadar tertentu di paru-parunya. Sementara itu, sebuah argumentasi akan mendemonstrasikan bahwa (that ) perempuan tersebut meninggal dunia, seperti dikarenakan  jantungnya berhenti berdetak dan tidak ada tanda-tanda vital lainya sehingga kita bisa menyimpulan bahwa perempuan tersebut meninggal dunia (Baggini & Fosl, The Philosopher's Toolkit: A Compendium of Philosophical Concepts and Methods, 2010). Ringkasnya, argumentasi merupakan seperangkat pernyataan yang terdiri atas satu atau lebih premis dan sebuah kesimpulan. Di sini, premis-premis tersebut merupakan alasan mengapa sebuah kesimpulan yang dihasilkan benar. Berikut contohnya: Semua sapi adalah mamalia. Semua mamalia punya paru-paru. Jadi, semua sapi punya paru-paru. Dua pernyataan awal di atas adalah premis-premisnya, sedang yang pernyataan paling  bawah

adalah

konklusi

atau

kesimpulan.

Kita

menggunakan

argumentasi

untuk

mendemostrasikan sesuatu, di mana premis-premisnya mengkonstitusikan bukti atas kesimpulan yang diambil. Di sini perlu dicatat bahwa kita harus cermat terkat dengan konsep bukti dikarenakan ada perbedaan standar terkait dengan apa yang dimaksud hal tersebut. Misalnya, argumentasi di atas di mana konklusi atau kesimpulannya menyatakan bahwa semua sapi punya  paru-paru, terbukti bahwa sapi punya paru-paru jika di dalamnya mengasumsikan premis premisnya benar. Oleh karena itu, konklusi atau kesimpulan pastilah benar. Argumentasi yang

29

semacam ini disebut sebagai argumentasi yang valid. Konklusi atau kesimpulan tidak mungkin salah apabila semua premisnya benar. Perhatikan argumentasi berikut: Oliver itu mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat atau Kedokteran Gigi Olvier bukan mahasiswa jurusan Kedokteran Gigi Apa konklusi atau kesimpulan dari dua pernyataan ini? Jika keduanya benar, maka Oliver  pastilah mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat. Dengan demikian, argumentasi di bawah ini adalah argumentasi yang valid. Oliver itu mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat atau Kedokteran Gigi Olvier bukan mahasiswa jurusan Kedokteran Gigi Jadi, Oliber adalah mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat. Validitas merupakan sebuah konsep yang diterapkan ketika mengevaluasi sebuah argumentasi berdasarkan standar deduktif. Argumentasi deduktif berfokus pada bagaimana sebuah argumentasi valid. Dengan argumentasi deduktif yang valid, premis-premisnya pastilah mengimplisitkan konklusi atau kesimpulan. Dalam rumusan formalnya, setiap pernyataan pernyataan (x) selalu mengimplisitkan sebuah pernyataann (p), apabila (x) benar, maka (p)  pastilah benar. Akan tetapi, tidak semua argumentasi merupakan argumentasi yang valid. Katakanlah kita mengetahui bahwa semua kucing adalah mamalia dan semua anjing adalah mamalia. Sekalipun kedua pernyataan itu benar, keduanya tidak mengimplisitikan bahwa semua anjing pastilah kucing. Oleh karena itu, argumentasi tersebut tidak valid dikarenakan tidaklah konklusi atau kesimpulan yang dihasilkan benar jika semua premis-premisnya benar. Berikut argumentasi yang tidak valid tersebut: Semua kucing adalah mamalia. Semua anjing adalah mamalia. Jadi, semua anjing adalah kucing. Di sini mungkin memunculkan pertanyaan dapatkah sebuah argument tetap valid walau  premisnya tidak benar? Perhatikan argumentasi berikut: Semua penyu adalah mamalia. Semua mamalia punya hati. Jadi, semua penyu punya hati. Kita dapat menunjukkan bahwa premis pertama dari argumentasi itu salah, karena penyu  bukanlah mamalia. Apakah lantas argumentasi ini tidak valid? Tidak demikian. Hal ini dikarenakan validitas argumentasi hanya menpostulatkan jika semua premisnya benar, maka 30

konklusi atau kesimpulannya pastilah benar. Artinya, sebuah argumentasi yang valid tidak membutuhkan semua premisnya benar. Perbandingkanlah dengan argumentasi yang tidak valid  berikut: Manusia adalah makhluk hidup Kucing adalah makhluk hidup Jadi, kucing adalah manusia Di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa sebuah argumentasi yang valid tidak menjamin  bahwa konklusi atau kesimpulannya benar. Dalam konteks ini yang dibutuhkan adalah argumentasi yang masuk akal (soundness). Sebuah argumentasi masuk akal apabila argumentasi tersebut valid dan semua premis-premisnya benar. Dalam mengevaluasi sebuah argumentasi, kita tidak hanya mempertanyakan apakah argumentasi tersebut valid, tetapi juga apakah semua  premisnya benar. Pertimbangkanlah argumentasi berikut: Hampir semua mahasiswa Fakultas Teknik mendapatkan nilai baik untuk Matematika. Athaya adalah mahasiswa Fakultas Teknik. Jadi, Athaya adalah mahasia yang mendapatkan nilai baik untuk Matematika. Jelas bahwa premis-premis dari argumentasi di atas tidak memberikan jaminan bahwa konklusi atau kesimpulannya benar. Kesimpulan bisa saja salah sekalipun semua premisnya  benar. Akan tetapi, argumentasi tetap bisa dikatakan sebagai argumentasi yang baik. Hal ini bila  premis-premisnya benar, konklusi dan kesimpulannya kemungkinan benar. Dengan argumentasi yang kuat secara induktif (inductively strong argument ), jika premis-premisnya benar, maka konkulsi atau kesimpulan pastilah kemungkinan benar. Hal ini memang berbeda dengan argumentasi valid, di mana bila premis-premisnya benar, maka pastilah konkulusi atau kesimpulannya benar. Dalam mengevaluasi sebuah argumentasi, hal yang pertama dilakukan adalah mempertanyakan apakah argumentasi tersebut valid atau kuat secara induktif. Jika ternyata tidak valid dan lemah secara induktif, maka argumentasi itu bukanlah argumentasi yang  baik. Jika kuat secara induktif, maka yang lebih kuat; lebih baik. Hal ini tentu mengandaikan  pula kita mempertanyakan apakah premis-premisnya benar. Dalam konteks argumentasi deduktif, semua argumentasi yang valid punya kesamaan nilai atas kevaliditasanya. Dengan ucap lain, kita tidak bisa mengatakan satu argumentasi lebih valid daripada argumentasi yang lainnya. Hal ini berbeda dengan argumentasi induktif, di mana

31

tidak

semua

argumentasi

yang

kuat

secara

induktif

punya

kesamaan

kekuatannya.

Pertimbangkanlah dua argumentasi berikut: 



99% mahasiswa UI adalah orang yang berusia di bawah 55 tahun. Rayyan adalah mahasiswa UI. Jadi, Rayyan adalah (kemungkinan) adalah orang yang berusia di bawah 55 tahun. 90% mahasiswa UI adalah orang yang berusia di bawah 55 tahun. Rayyan adalah mahasiswa UI. Jadi, Rayyan adalah (kemungkinan) adalah orang yang berusia di bawah 55 tahun.

Argumentasi pertama jelas lebih kuat dibandingkan argumentasi kedua dikarenakan  premisnya membuat konklusi atau kesimpulannya lebih mungkin (more probable). Coba juga  pertimbangkan argumentasi yang kuat secara induktif berikut ini. Tidak ada manusia yang saya kenal hidup lebih dari 150 tahun. Saya adalah manusia Jadi, saya tidak akan hidup lebih dari 150 tahun. Argumentasi ini tidaklah alid secara deduktif, tetapi secara induktif sangatlah kuat. Hal ini tidak valid dikarenakan fakta bahwa tidak ada manusia yang saya kenal hidup lebih dari 150 tahun tidak menjamin bahwa saya tidak bisa hidup lebih daripada 150 tahun. Saya bisa saja merupakan pengecualian atau bisa saja kemajuan dunia medis memungkinkan untuk itu suatu hari nanti. Akan tetapi, tetap saja ada kemungkinan besar jika saya tidak mengenal manusia yang hidup lebih dari 150 tahun, saya juga tidak akan hidup lebih daripada 150 tahun. Dengan kata lain, premisnya membuat kesimpulan secara kemungkinan besar benar. Oleh sebab itu, argumentasi tersebut kuat secara induktif. Kekuatan induktif bisa ditingkatkan dengan informasi atau premis tambahan. Katakanlah misalnya, Sherlock Holmes menginvestigasi kasus pencurian  berlian di sebuah toko perhiasan dengan alasan-alasan berikut: Sidik jari Tono ditemukan dalam toko perhiasan. Tono punya riwayat pencurian yang sama dengan kasus ini. Tono terlihat mengintai toko perhiasan sehari sebelum terjadinya kasus pencurian. Jadi, Tono (kemungkinan) adalah pencurinya. Dari bukti yang tersedia kita bisa berpikir bahwa Tono adalah pencurinya, tetapi hal itu tidak cukup menyakinkan bagi hakim. Namun, bisa saja Sherlock Holmes melanjutkan investigasi dan menambahkan bukti tambahan yang akan membuat konkulsi atau kesimpulan lebih mungkin benar.

32

Katakanlah Sherlock Holmes bertanya kepada Tono di mana dia di malam terjadinya kasus pencurian dan Tono memberikan alibi yang belakangan terbukti bohong. Sementara itu, ada saksi mata yang menyatakan bahwa Tono memang berada di dekat toko perhiasan ketika malam terjadinya kasus pencurian. Dengan dua tambahan dua premis tersebut

akan

meningkatkan kemungkinan bahwa Tono adalah pencurinya. Dengan kata lain, argumentasi yang diberikan lebih kuat daripada sebelumnya. Tono berbohong tentang di mana dia ketika malam terjadinya kasus pencurian dan tidak dapat memberikan sebuah alibi yang memuaskan. Ada saksi mata yang menyatakan melihat Tono berada di dekat toko perhiasan ketika malam terjadinya kasus pencurian. Terakhir, katakanlah Sherlock Holmes menemukan berlian yang dicuri di dalam mobil Tono. Oleh karena itu, sekarang kita punya argumentasi yang kuat dalam berhadapan dengan Tono. Berikut rumusannya: Sidik jari Tono ditemukan dalam toko perhiasan. Tono punya riwayat pencurian yang sama dengan kasus ini. Tono terlihat mengintai toko perhiasan sehari sebelum terjadinya kasus pencurian. Tono berbohong tentang di mana dia ketika malam terjadinya kasus pencurian dan tidak dapat memberikan sebuah alibi yang memuaskan. Ada saksi mata yang menyatakan melihat Tono berada di dekat toko perhiasan ketika malam terjadinya kasus pencurian. Berlian yang dicuri ditemukan di mobil Tono Jadi, Tono adalah (kemungkinan) pencurinya. Di sini terlihat jelas bahwa argumentasi kedua lebih kuat dibandingkan argumentasi  pertama dikarenakan tambahan bukti atau premisnya. Akan tetapi, harus disadari bahwa kekuatan induktif punya persoalan lain daripada sekerdar relasi antara premis-premis dengan konklusi atau kesimpulannya. Perhatikanlah argumentasi di bawah ini. Semua angsa yang telah diobservasi berwarna putih. Jadi, (kemungkinan) semua angsa berwarna putih. Apakah argumentasi di atas kuat secara induktif? Jika iya seberapa kuat? Hal ini sulit untuk ditentukan dikarenakan untuk memberikan jawaban kita perlu mempertanyakan seberapa  banyak angsa yang telah diobservasi. Jika hanya sedikit angsa yang diobservasi, katakanlah 10 atau 20 maka argumentasi tersebut lemah. Jika angsa yang diobservasi ribuan, bisa dikatakan  bahwa argumentasi tersebut cukup kuat. Akan tetapi, kita perlu juga untuk mempertanyakan di mana observasi atas angsa itu dilakukan. 33

Katakanlah kita hanya mengobservasi ribuan angsa dan semuanya berwarna putih, tetapi hanya di satu tempat kita melihatnya, misalnya di Kota Depok. Maka, argumentasi tersebut lemah dikarenakan mungkin ada angsa berwarna berbeda di tempat lain. Argumentasi tersebut akan lebih kuat bila kita telah mengobservasi angasa di berbagai tempat yang berbeda dan semuanya berwarna putih. Akan tetapi, kita juga perlu yakin bahwa kita telah mengobservasi angsa dari jenis kelamin yang berbeda dan fase tumbuh yang berbeda. Katakanlah, kita hanya mengobservasi ribuan angsa, tetapi semuanya betina dan fase tumbuh dewasanya saja. Apa yang hendak ditunjukkan adalah bahwa kekuatan induktif bukan hanya sekadar persoalan berapa banyak observasi, tetapi kita mesti memastikan bahwa observasi yang dilakukan cukup representatif atas sample angsa (Emmet, 2001).

34

BAB 3 LOGIKA

3.1 Apa itu Logika?

Logika merupakan salah satu cabang filsafat. Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani ‘logos’  yang digunakan dalam beberapa arti seperti ucapan, kata, pengertian, pikiran dan ilmu

 pengetahuan (Luce, 1958). Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang  pertama kali menjelaskan logika secara komprehensif. Sebelumnya memang ada beberapa filsuf Yunani Kuno yang sudah mengemukakan prinsip-prinsip berpikir dan pemerolehan pengetahuan, seperti Parmenides, Zeno, dan Pythagoras. Akan tetapi, penjelasan khusus dan menyeluruh tentang bagaimana pikiran manusia bekerja dan dapat memperoleh pengetahuan yang benar ditulis secara sistematis oleh Aristoteles (Hadinata, Putri, & Takwin, 2015). Sebetulnya, Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada  penyelidikan terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang sudah dipastikan kebenarannya, serta dialektika untuk penyelidikan terhadap argumentasiargumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang belum pasti kebenarannya (Luce, 1958). Pengertian logika yang kita kenal hari ini lebih mengacu kepada Alexander Aphrodisias sekitar permulaan abad ke-3 M. Dia menyebutnya sebagai menyebut cabang filsafat yang mengkaji prinsip, aturan, dan metode berpikir yang benar. Dalam konteks itu, logika adalah suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk membedakan antara penalaran yang tepat dan penalaran yang keliru (Copi: 1990). Penalaran merupakan aktivitas pikiran yang bertujuan memperoleh pengetahuan. Aktivitas pikiran itu melibatkan proses penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-alasan yang relevan. Dalam logika dikaji bagaimana berlangsungnya proses penarikan kesimpulan yang meliputi unsur-unsur, langkah-langkah, serta prinsip-prinsip dari proses tersebut. Pada akhirnya, melalui logika kita dapat membedakan antara penalaran yang tepat dan  penalaran yang keliru. Oleh karena itu, logika sebagai suatu studi bukan hanya tentang  pengetahuan, tetapi juga keterampilan. Dengan mengetahui unsur-unsur, langkah-langkah, serta  prinsip-prinsip dari penalaran yang tepat berarti kita sekaligus mengetahui pula bentuk-bentuk  penalaran yang keliru. Artinya, logika memberikan seseorang pengetahuan dan keterampilan untuk menguji ketepatan dari suatu penalaran secara kritis serta menghindari melakukan bentuk35

 bentuk penalaran yang keliru. Dalam mempelajari logika, khususnya logika deduksi yang difokuskan di sini dibutuhkan sistematika yang terarah sehingga didapatkan pemahaman yang komprehensif dan konsisten. Berikut alur yang bisa digunakan: Alur Mempelajari Logika

3.2 Logika Deduktif dan Induktif

Penalaran merupakan suatu proses tempat akal budi bergerak dari suatu pengetahuan lama yang sudah dimiliki menuju pengetahuan baru. Proses itu dapat menempuh dua jalan, yaitu deduksi dan induksi dan disebut logika deduksi dan logika induksi (Hayon, 2000). Secara umum, logika deduktif terwujud dalam suatu bentuk logis yang disebut silogisme. Silogisme merupakan suatu  bentuk argumentasi yang terdiri dari tiga proposisi. Dalam konteks ini, proposisi pertama dan kedua merupakan landasan penalaran, sedang proposisi ketiga merupakan hasil dari penalaran tersebut. Hubungan antarproposisi ini adalah hubungan yang tidak terpisahkan. Oleh karena itu, dalam logika deduktif tepat atau tidak tepatnya hubungan tersebut merupakan hal yang sentral. Perhatikan dua proposisi berikut: Semua manusia adalah makhluk berakal budi. Sokrates adalah manusia Dari kedua proposisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa “Sokrates adalah makhluk berakal budi”. Kesimpulan itu dihasilkan hanya melalui analisis terhadap dua proposisi 36

tersebut tanpa bersandar pada observasi empiris terhadap Sokrates. Oleh karena itu, dapat dikatakan pengetahuan yang dihasilkan dari logika deduktif bersifat a priori. Selain itu, kita mengetahui bahwa kesimpulan “Sokrates adalah makluk berakal budi” merupakan konsekuensi yang sudah langsung terkandung di dalam dua proposisi di atas. Dengan demikian, logika deduktif memiliki tiga ciri, yaitu (1) analitis, di mana kesimpulan hanya ditarik dengan menganalisis proposisi-proposisi yang sudah ada; (2) tautologis, di mana kesimpulan yang ditarik sesungguhnya secara implisit sudah terkandung dari premis-premisnya; (3) a priori, di mana kesimpulan ditarik tanpa bersandar pada observasi empiris atau pengalaman indera. Lain halnya dengan logika deduktif, logika induktif sangat bertumpu pada observasi empiris. Oleh karena itu, pengetahuan yang dihasilkan merupakan generalisasi yang didasarkan  pada pengamatan atas kasus-kasus yang dinilai mempunyai persamaan. Dengan begitu, logika induktif menghasilkan kesimpulan yang bentuk sintetis atau penggabungan dari kasus-kasus yang digunakan sebagai titik tolak penalaran. Berikut pola umum logika deduktif: 

X1 mempunyai karateristik P. X2 mempunyai karateristik P. X3 mempunyai karakteristik P. : Xn mempunyai karateristik P. Jadi, X mempunyai karakteristik P

Selain itu, dikarenakan titik tolak penalarannya merupakan hasil pengamatan indera, logika induktif bersifat a posteriori. Atas dasar itulah logika induktif memiliki tiga ciri berikut: (1) sintetis, di mana kesimpulan ditarik dengan jalan menggabungkan kasus-kasus yang dinilai mempunyai persamaan; (2) general, di mana kesimpuylan yang dihasilkan selalu meliputi kasus yang lebih banyak atau lebih umum sifatnya daripada jumlah kasus yang terhimpun sebagai titik tolak penalaran; (3) a posteriori, di mana kesimplan didasarkan pada kasus-kasus yang teramati secara  pengalaman indera. Atas dasar itu pula, logika induktif tidak memberikan suatu kepastian mutlak, tetapi dinilai dengan probabilitas yang diberikan oleh premis-premis kepada kesimpulannya. Berikut secara singkat tabel perbandingan antara logika deduktif dan logika induktif.

37

Tabel Perbandingan Logika Deduktif dan Logika Induktif Logika Deduktif

Logika Induktif

Analitis

Sintetis

Tautologis

Generalisasi

 A priori

A posteriori

Kepastian Mutlak

Probabilitas

3.3 Logika Formal dan Material

Dalam logika dibedakan antara bentuk argumentasi dan konten argumentasi. Apa yang dimaksud dengan bentuk argumentasi mengacuh pada logika formal, sedang konten argumentasi merujuk  pada logika material. Di sini, logika formal berurusan dengan proses penalarannya terkait  bagaimana dari premis-premis ke kesimpulan dalam suatu argumentasi tepat atau tidak tepat. Dalam konteks ini, apabila proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pastilah tepat pula. Bentuk argumentasi dengan proses penalaran yang tepat itu dalam logika formal disebut sahih (valid ). Dengan demikian, suatu bentuk argumentasi dapat dikatakan sahih hanya  jika proses  penalaran tesebut tepat jika kesimpulan yang dihasilkan merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Sebaliknya, jika proses penalarannya tidak tepat, dapat dikatakan argumentasi tersebut tidak sahih (invalid ). Apabila logika formal berurusan dengan tepat tidaknya suatu proses penalaran, logika material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-propsosi yang membangun suatu argumentasi (Hayon, 2000). Artinya, logika material lebih berfokus pada benar-tidaknya dari konten suatu argumentasi. Di sini, apa yang dimaksud dengan benar-tidaknya proposisi-proposisi tersebut ditentukan dengan kesesuaiannya (korespondensinya) dengan kenyataan. Oleh karena itu, suatu argumentasi hanya dapat dikatakan benar (true), jika semua proposisinya benar, dalam arti, semua proposisi tersebut bersesuaian dengan kenyataan. Jika salah satu saja proposisi proposisi yang membangun argumentasi itu salah, dalam pengertian tidak bersesuai dengan kenyataan, argumentasi itu dinyatakan salah dari segi kontennya. Untuk memudahkan kita memahami perbedaan antara logika formal dan logika material, perhatikan tabel berikut ini:

38

Tabel Perbandingan Logika Formal dan Material Nomor

Logika

Argumentasi

Logika Material

Formal 1

Sahih

Semua ikan mempunyai insang.

Benar

Semua salmon adalah ikan. Jadi, semua salmon mempunyai insang. 2

Tidak Sahih

Semua ikan mempunyai insang.

Benar

Semua salmon mempunyai insang. Jadi, semua salmon adalah ikan. 3

Sahih

Semua amfibi mempunyai tanduk.

Salah

Semua ikan adalah amfibi. Jadi, semua ikan mempunyai tanduk. 4

Tidak Sahih

Semua amfibi mempunyai tanduk.

Salah

Semua ikan mempunyai tanduk. Jadi, semua ikan adalah katak.

Jika kita perhatikan argumentasi nomor 1, argumentasi itu merupakan sebuah contoh argumentasi yang mempunyai dua nilai sekaligus, yaitu kebenaran secara formal dan kebenaran secara material. Di sini, argumentasi dibangun dengan proses penalaran yang tepat dan proposisi proposisinya berkorespondensi dengan kenyataan yang sebenarnya. Dengan kata lain, argumentasi nomor 1 ini menunjukkan kesahihan secara formal dan kebenaran secara konten. Berikutnya, kita perhatikan argumentasi nomor 2. Semua proposisi, baik premis-premis ataupun kesimpulannya, bersesuaian dengan kenyataan. Oleh karena itu, argumentasi ini dari sisi konten atau logika material dinyatakan benar. Akan tetapi, argumentasi ini dari sisi proses  penalaran atau bentuknya tidaklah sahih. Hal ini dikarenakan proposisi kesimpulan “Jadi, semua salmon adalah ikan” bukan implikasi logis dari premis-premisnya, sekalipun premis-premis tersebut benar dikarenkan bersesuaian dengan kenyataan. Sebaliknya, kita perhatikan argurmentasi nomor 3 yang dari sisi konten atau logika material dinyatakan salah karena semua proposisi baik premis-premis ataupun kesimpulan tidak  bersesuian dengan kenyataan. Akan tetapi, argumentasi tersebut dari sisi proses penalarannya atau logika formal dinyatakan sahih. Hal ini dikarenakan kalau saja premis-premisnya (dalam 39

konteks ini “Semua amfibi mempunyai tanduk” dan “Semua ikan adalah amfibi”) bersesuaian dengan kenyataan, maka kesimpulan “Jadi, semua ikan mempunyai tanduk” mestilah benar pula. Dengan kata lain, proses penarikan kesimpulan dari argumentasi nomor 3 adalah sahih dikarenakan kesimpulannya merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Selanjutnya, kita perhatikan argumentasi nomor 4 yang dinyatakan tidak sahih dari sisi  proses penalaran dan salah dari sisi konten dikarenakan semua proposisinya tidak bersesuaian dengan kenyataan. Tidak sahihnya proses penalaran itu disebabkan kesimpulan ‘Jadi, semua ikan adalah katak” bukanlah implikasi logis atau tidak dapat ditarik dari premis “Semua amfibi mempunyai tanduk” dan premis “Semua ikan mempunyai tanduk”. Dengan demikian, dalam suatu argumentasi ada dua persoalan yang harus dibedakan, yaitu kesahihan proses penalaran (logika formal) dan kebenaran konten dari penalaran (logika material). Apa yang perlu diingat adalah setiap argumentasi yang dibangun dalam konteks akademis dan ilmiah harus memperhatikan kedua sisi tersebut secara bersama-sama. Ringkasnya, setiap argumentasi akademis dan ilmiah mensyaratkan kesahihan proses penalaran dan kebenaran konten dari penalaran tersebut.

3.4 Term 3.4.1 Perbedaan Kata dengan Term

Konsep adalah unsur pembangun pikiran. Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi oleh kita dibentuk menjadi konsep. Konsep merupakan suatu gambaran abstrak yang tidak merujuk kepada objek konkret tertentu. Misalnya, setelah kita memperoleh pengalaman bertemu dengan  berbagai individu dengan ciri-ciri tertentu, kita memiliki konsep tentang ‘manusia’. Dalam konteks ini, konsep ‘manusia’ tidak hanya merepresentasikan individu-individu yang kita kenal, melainkan pula manusia pada umumnya, termasuk individu-individu yang belum kita kenal. Hal ini dikarenakan konsep yang kita punyai terkait langsung berhubungan dengan hakikat kemanusiaan. Dengan begitu, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep adalah suatu gambaran abstrak yang tidak merujuk objek konkret tertentu dan menyentuh secara langsung hakikat objek tersebut. Dikarenakan konsep merupakan suatu gambaran abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan suatu bentuk simbolik linguistik, yaitu kata. Dalam konteks ini, kata dapat dilihat sebagai satuan konsep terkecil yang direpresentasikan melalui bahasa. Sejauh kata berfungsi sebagai ungkapan lahiriah dari suatu konsep dalam logika, maka disebutlah sebagai term. 40

Di sini perlu diperjelas perbedaan kata dan term. Term selalu merupakan ungkapan lahiriah dari suatu konsep. Dikarenakan hal itu, term dapat terdiri atas suatu kata atau lebih. Oleh karena itu apa yang dimaksudkan dengan term adalah satu kata atau lebih yang merupakan ungkapan lahiriah dari konsep. Misalnya, kata-kata berikut: mahasiswa; mahasiswa UI ; mahasiswa UI yang rajin; dan mahasiswa UI yang rajin belajar logika, masing-masing disebut

term dikarenakan merupakan ungkapan lahiriah dari kesatuan konsep-konsep berikut: ‘mahasiswa’; ‘mahasiswa UI’; ‘mahasiswa UI yang rajin’; dan ‘mahasiswa UI yang rajin belajar logika’. Oleh karena itu, term tidaklah sebangun dengan kata dikarenakan term

merupakan ungkapan lahirah dari konsep. Dalam konteks ini, term bisa saja terdiri atas lebih dari satu kata. Jika dilihat dari jumlah kata yang terdapat dalam term, term dibedakan menjadi term tunggal dan term majemuk. Term tunggal adalah term yang terdiri atas satu kata saja dan sudah mempunyai arti tertentu. Term majemuk adalah term yang terdiri atas dua kata atau lebih dan sudah mempunyai arti tertentu. Setidaknya ada dua alasan yang membedakan antara kata dan term. Pertama, setiap term selalu mengungkapkan konsep tertentu, sedang kata tidak selalu merujuk pada suatu konsep. Memang ada kata yang mengungkapkan suatu konsep sehingga dapat disebut sebagai term. Kata  jenis ini dikenal sebagai kata kategorimatis, misalnya mahasiswa, kursi, meja dan lain-lain. Akan tetapi, ada juga kata yang tidak memiliki konsep tertentu yang disebut sebagai kata sinkategorimatis, seperti nan, yang, amboi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan setiap term adalah kata, tetapi tidak setiap kata adalah term. Kedua, setiap term yang diandaikan mengungkapkan konsep dapat berfungsi sebagai subjek atau predikat dalam proposisi. Misalnya, proposisi ‘Gajah adalah hewan mamalia’. Dalam contoh tersebut, term ‘gajah’  berfungsi sebagai subjek dan term ‘hewan mamalia’  berfungsi sebagai predikat. Dari contoh tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa tem subjek ataupun term predikat dapat saja terdiri dari satu atau lebih kata; namun keseluruhan kata itu tetap dianggap satu konsep semata. Misalnya, proposisi ‘Gajah yang dinaiki oleh pawang mengamuk di lingkungan padat penduduk’  tetap dinyatakan memiliki dua term, yaitu term

subjek ‘Gajah yang dinaiki oleh pawang’  dan term predikat ‘mengamuk di lingkungan padat  penduduk’.

Dalam proposisi tidak dikenal istilah objek, keterangan ataupun hal lainnya sebagaimana lazim ditemukan dalam kajian kebahasaan. Hal ini dikarenakan hubungan antara term subjek dan 41

term predikat merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya proposisi yang merupakan unsur  pembangun penalaran. Oleh karena itu, pemahaman akan term sebagai unsur terkecil dalam  bidang logika sangat sangat penting dan tidak mungkin dilewatkan jika hendak mengertinya secara utuh.

3.4.2 Luas dan Sifat Term

Term yang mengekspresikan sebuah konsep perlu diperhatikan. Hal ini dikarenakan term-term yang sama bisa saja menunjukkan cakupan konseptualnya berbeda. Misalnya, term ‘semua manusia’ dan term ‘beberapa manusia’ memang sama-sama merujuk pada cakupan konseptual yang sama, tetapi dalam luas yang berbeda. Ditinjau dari aspek luasnya, term diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu term universal, term partikular, dan term singular. Perhatikan tabel  berikut. Tabel Luas Term Term Universal Term yang merujuk pada keseluruhan luasnya tanpa ada yang dikecualikan.

Misalnya, semua pekerja; seluruh hewan, tak satupun dosen dan lain-lain. Term

Term yang merujuk hanya pada sebagian dari seluruh luasnya, sekurang-

Partikular

kurangnya satu dan tidak tentu. Misalnya, beberapa orang; ada mahasiswa; sebagian peserta; seorang tentara; sebuah apel dan lain-lain.

Term Singular

Term yang merujuk dengan tegas pada satu objek, satu individu, ataupun satu realitas tertentu. Term singular dapat dikenali dengan dua ciri. Pertama, nama unik yang memberikan identitas berikut keterangan atau  penjelasan utuh terkait dengan satu objek, individu ataupun realitas tertentu. Misalnya, Presiden RI yang pertama; Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang sedang menjabat ; Jembatan terpanjang di  Indonesia; Orang paling tinggi di dunia, dan lain-lain. Dalam konteks ini,

term singular juga dikenakan kepada kelompok kata yang diberi penunjuk ‘ini’ atau ‘itu’. Misalnya, meja ini; kursi itu; dan lain-lain. Kedua, nama diri yang diberikan kepada orang atau objek untuk tujuan identifikasi, seperti  Rayyan; Athaya; Hanif ; kota Jakarta; pegunungan Himalaya; gunung  Merapi, dan lain-lain.

42

Ada catatan yang perlu ditegaskan di sini terkait dengan tabel di atas, yaitu kita harus memperhatikan ketentuan khusus dan kontekstual dari term itu sendiri. Dalam konteks ini, ketentuan khusus berhubungan dengan keterangan kuantitas (semua, seluruh, beberapa, sebagian dan lain-lain) dan kata penunjuk ‘itu’ yang memang bisa mempermudah kita untuk mengerti luas term. Akan tetapi, tidak setiap term di dalam suatu proposisi ada keterangan kuantitasnya. Jik demikian, kontekstual dari term itu sendiri perlu diperhitungkan. Dalam konteks kebahasaan, kata ‘itu’ dalam suatu proposisi bisa berfungsi sebagai kopula (penghubung term subjek dan term  predikat) yang semakna dengan kata ‘adalah’. Misalnya, “Gajah itu hewan mamalia”. Dalam proposisi tersebut, kata ‘itu’ berfungsi sebagai kopula dikarenakan maknanya sama dengan ‘Semua gajah adalah hewan mamalia’. Oleh karena itu, luas termnya universal dikarenakan tidak merujuk pada gajah tertentu, tetapi pada semua gajah tanpa kecuali. Lain halnya dengan proposisi “Gajah itu bergading panjang”. Dalam proposisi ini, kata ‘itu’ berfungsi sebagai penunjuk sehingga luas termnya singular. Dalam konteks yang lain, misalnya proposisi “Orang Indonesia rajin belajar” luas termnya tidak dapat dipahami dalam luas universal, tetapi mestilah dalam luas partikular. Artinya, proposisi itu lebih semakna dengan “Beberapa orang Indonesia rajin belajar”. Oleh karena itu, pemahaman konstekstual dari suatu term sangat penting untuk menentukan luas term tersebut. Di samping luas term yang sudah dibahas di atas, pengklasifikasian term juga bisa didasarkan pada sifat term. Sifat dari term dapat digolongkan menjadi term distributif dan term kolektif. Suatu term bersifat distributif apabila konsep yang terkandung dalam term tersebut dapat dikenakan kepada anggota atau individu yang tercakup di dalamnya, satu demi satu tanpa terkecuali. Misalnya, term hewan bersifat distributif sejauh term itu dapat diterapkan term-term seperti gajah, jerapah, panda, dan lain-lain yang bernaung di dalam lingkup konseptual dari ‘hewan’. Selain itu, suatu term bersifat kolektif apabila konsep yang terkandung dalamnya tidak  bisa dikenakan kepada anggota atau individu yang tercakup di dalamnya satu demi satu, melainkan berkelompok sebagai keseluruhan. Misalnya, term keluarga bersifat kolektif dikarenakan konsep keluarga tidaklah menunjuk pada anggota atau individu yang berada di dalam lingkup konsep tersebut, melainkan pada keluarga itu sendiri sebagai satu kesatuan kelompok. Ada banyak term lain yang bersifat kolektif seperti bangsa, orkes, armada, partai, suku, kesebelasan, tim dan lain-lain. Berikut tabel ringkasan terkait dengan sifat term. 43

Tabel Sifat Term Term Distributif

Apabila konsep yang terkandung

Term Kolektif

Apabila konsep yang terkandung dalam

dalam term tersebut dapat dikenakan kepada term tersebut tidak bisa dikenakan kepada anggota atau individu yang tercakup di

anggota atau individu yang tercakup di

dalamnya, satu demi satu tanpa terkecuali.

dalamnya satu demi satu, melainkan  berkelompok sebagai keseluruhan.

3.4.3 Klasifikasi

Setiap term terkait erat dengan cakupan konseptualnya. Dalam konteks itu, kita perlu mengetahui  persoalan klasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu cara seseorang melakukan pembagian suatu konsep ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Apa yang dimaksudkan dengan klasifikasi  bukanlah pembagian fisik, tetapi pembagian logis. Ada dua alasan yang pembedaan ini. Pertama, dalam pembagian fisik, bagian-bagian yang lebih kecil tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan keseluruhan suatu konsep tertentu. Contonya, apabila sebuah mobil yang dilepas bagian bagiannya, maka kita tidak bisa mengatakan ‘Knalpot adalah mobil’ atau ‘setir adalah mobil’. Berbeda dengan pembagian logis, bagian-bagian yang lebih kecil mempunyai hubungan dengan keseluruhan suatu konsep tertentu. Oleh karena itu, keseluruhan suatu konsep tertentu dapat berfungsi sebagai predikat untuk bagian-bagian yang lebih kecil tersebut. Contohnya, konsep ‘binatang’ dapat diklasifikasikan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas, seperti sapi, kambing, kerbau, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita masih bisa mengatakan ‘Kambing adalah binatang’ ataupun ‘Sapi adalah binatang’. Kedua, pembagian fisik terkadang tidak menunjukkan suatu kriteria yang jelas. Selain itu, pembagian logis terhadap suatu konsep ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas-subkelasnya selalu didasarkan pada satu kriteria tertentu. Dengan demikian, klasifikasi sebagai pembagian logis dapat dimengerti sebagai  pembagian suatu konsep ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas-subkelasnya  berdasarkan satu kriteria tertentu (Hayon, 2000). Berikut contoh klasifikasi.

44

Di dalam logika, ada sejumlah prinsip yang digunakan untuk menyusun suatu klasifikasi yang tepat. Berikut prinsip-prinsip klasifikasi. Tabel Prinsip-Prinsip Klasifikasi No 1

Prinsip Klasifikasi Klasifikasi harus lengkap

Penjelasan dan Contoh

Pengklasifikasian dari suatu konsep mengharuskan semua subkelasnya yang berada di bahwa lingkup konsep tersebut harus disebutkan secara lengkap. Artinya, ketika subkelas-subkelas itu disatukan, hasilnya tidak lebih atau tidak kurang dari lingkup keseluruhan konsep yang dibagi-bagi. Misalnya, klasifikasi terhadap ‘benda’ tidak lengkap apabila hanya dibagi menjadi subkelas ‘benda padat’ dan subkelas ‘benda cair’ saja. Ketidaklengkapan dalam klasifikasi itu karena tidak disebutkan subkelas ‘benda gas’.

2

Klasifikasi harus benar-

Pengklasifikasian batas satu subkelas dengan subkelas

benar memisahkan (tidak

yang lain harus benar-benar terpisah dan terbedakan

tumpang-tindih)

dengan jelas. Artinya, satu subkelas dengan subkelas yang lain tidak tumpang-tindih (overlapping). Misalnya, ‘mahasiswa UI’, diklasifikasi menjadi subkelas ‘mahasiswa UI yang berusia 18 tahun ke atas’ dan ‘mahasiswa UI yang berusia 20 tahun ke bawah. Klasifikasi ini dinyatakan tidak benar-benar memisahkan dikarenakan subkelas keduanya tumpang tindih pada rentang ‘mahasiswa UI yang berusia 18 sampai dengan 20 tahun’.

3

Klasifikasi harus

Prinsip ini merupakan penegasan kembali dari definisi

menggunakan kriteria yang

klasifikasi yang telah dibahas di atas, yaitu pembagian

sama

logis dengan kriteria yang sama atau tertentu. Penggunaan kriteria yang berbeda dapat membuat  pengklasifikasian keliru dan menunjukkan pada ketidakkonsistenan. Misalnya, ‘sepatu’ diklasifikasikan 45

menjadi subkelas ‘sepatu kulit’, ‘sepatu karet’, ‘sepatu hitam’, ‘sepatu olahraga’. Klasifikasi ini keliru dikarenakan tidak menggunakan kriteria yang sama. Dalam klasifikasi itu ada kriteria yang berbeda yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Subkelas ‘sepatu kulit’ dan ‘sepatu karet’ merujuk pada bahan dari sepatu; subkelas ‘sepatu hitam’ merujuk pada warna dari sepatu; subkelas ‘sepatu olahraga’ merujuk pada  peruntukan dari penggunaan sepatu. 4

Klasifikasi harus teratur

Pembagian logis dari suatu konsep ke dalam subkelas-

dan rapi

subkelasnya dilakukan secara berurutan dan tidak ada subkelas yang terlangkahi sehingga deretan subkelas dari kelas induk sampai subkelas paling kecil memperlihatkan suatu keseluruhan yang utuh. Misalnya, kelas induk ‘’hewan” tidak dapat langsung dibagi ke dalam “mamalia”, “pisces”, “amfibi”, “reptil”, “aves”, tetapi harus dibagi menjadi “vertebrata” dan “invertebrata” terlebih dahulu.

5

Klasifikasi harus sesuai

Klasifikasi hendaknya disesuaikan dengan tujuan yang

dengan tujuan yang hendak

hendak dicapai. Misalnya, pengklasifikasian tumbuhan

dicapai

dalam bidang biologi. Hal itu sangat bergantung pada tujuan teknis bidang tersebut; jika tujuannya hendak memperjelas lingkungan tempat tumbuhan hidup, lebih tepat diklasifikasikan menjadi ‘lingkungan kering ( xerofit )’, ‘lingkungan air (hidrofit )’, dan hidup di ‘lingkungan lembap (higrofit )’. Akan tetapi, jika hendak memperjelas tumbuhan terkait dengan manfaatnya, lebih tepat diklasifikasikan menjadi ‘tanaman obatobatan, ‘tanaman hias’, ‘tanaman pangan’ dan sebagainya.

46

Ada

beberapa

catatan

yang

perlu

diperhatikan

terkait

dengan

prinsip-prinsip

 pengklasifikasian, terutama terkait dengan kesulitan yang muncul. Pertama, prinsip-prinsip  pengklasifikasian secara murni dalam praktik sangat sukar dikarenakan adanya sejumlah konsep yang sulit ditentukan batas-batasnya secara tegas. Misalnya, ‘barang’ diklasifikasikan menjadi subkelas ‘barang mahal’ dan ‘barang murah’ atau ‘orang’ diklasifikasikan menjadi subkelas ‘orang tradisional’ dan ‘orang modern’. Dalam contoh tersebut, subkelas tidak memiliki batas yang jelas dan kriteria yang digunakan untuk pengklasifikasian tersebut lebih mencerminkan  penilaian yang subjektif. Kedua, ada bentuk pengklasifikasian ke dalam dua subkelas semata. Bentuk pengklasifikasi ini dikenal sebagai klasifikasi dikotomis. Istilah dikotomi, secara etimologis dari bahasa Latin dichtomia  yang berarti pembagian secara dua-dua atau berpasangan. Hal ini dilakukan dengan dua alasan yang berbeda, yaitu dikarenakan terbatasnya pengetahuan kita terhadap subkelas-subkelas dari kelas induk atau dikarenakan tujuan-tujuan tertentu dari pengklasifikasian. Jika didasarkan pada alasan yang  pertama, dikotomi tersebut dapat nyatakan sah. Akan tetapi, jika didasarkan pada asalan yang kedua, dikotomi tersebut terkait erat dengan ‘teknik hitam-putih’ dan lebih dikenal dengan klasifikasi dikotomi keliru. Hal ini banyak ditemukan dalam propaganda. Klasifikasi dikotomi popaganda dilakukan dengan sengaja terkait tujuan

politis

untuk

menyederhanakan

persoalan

menjadi dua

pilihan

saja.

Bentuk

 pengklasifikasi ini dikenal sebagai klasifikasi dikotomis. Misalnya, ‘orang Indonesia’ pada masa  perjuangan kemerdekaan diklasifikasikan menjadi ‘orang Indonesia prorevolusi’ dan ‘orang Indonesia kontrarevolusi’.

3.4.3 Definisi

Secara etimologis, kata definisi berasal kerja definere yang dalam bahasa Latin mempunyai arti ‘membatasi atau mengurung dalam batas-batas tertentu’ (Hayon, 2000). Dalam kegiatan akademis, definisi selalu berhubungan dengan istilah yang hendak dijelaskan. Artinya, definisi  bisa dimengerti sebagai penentuan batas konseptual bagi suatu istilah. Oleh karena itu, definisi mempunyai dua tujuan, yaitu memberikan rumusan yang lengkap terkait dengan istilah yang didefinisikan dan mampu memperlihatkan perbedaan antara satu istilah dan istilah yang lainnya. Pendefinisian suatu konsep dalam kegiatan akademis sangat penting dikarenakan dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman terkait dengan konsep tersebut. 47

Kerancuan pemahaman akan sulit dihindari apabila dari awal percakapan akademis tidak terlebih dahulu menerangkan secara definitif apa yang dimaksud dengan sebuah konsep tertentu. Sebuah definisi mengandung dua unsur, yaitu hal yang didefinisikan disebut definiendum dan hal yang mendefinisikan atau menjelaskan arti difiniendum  tersebut disebut definiens. Di sini perlu ditegaskan bahwa definiens bukan arti dari definiendum, melainkan suatu istilah atau kelompok istilah yang terkait dengan konteks definisi mempunyai arti yang sama dengan definiendum. Lebih jelasnya perhatian tabel berikut: Tabel Dua Unsur Definisi

 Definiendum

Definiens

Istilah yang hendak dijelaskan artinya

Perumusan atau penjelasan yang diberikan

Pemahaman terkait dengan klasifikasi yang telah dijelaskan di atas sangat membantu kita untuk menyusun suatu definisi yang tepat terkait dengan konsep ataupun istilah tertentu. Misalnya, jika kita ingin mendefinisikan sebuah konsep bukanlah hal yang sulit jika kita mengetahui dengan baik apa yang merupakan kelas induk (genus proximum) dan ciri spesifik yang dimiliki oleh konsep tersebut sebagai suatu subkelas yang membedakannya dari subkelassubkelas lainnya (differentia spesifica). Misalnya, kita ingin mendefinsikan apa itu manusia. Kita tahu bahwa kelas induk dari manusia adalah makhluk hidup (genus proximum) dan ciri spesifik yang dimiliki oleh konsep manusia sebagai subkelas yang membedakannya dari subkelas-subkelas lainnya (dalam konteks ini, hewan dan tumbuhan) adalah berakal budi (differentia spesifica). Oleh karena itu, manusia dapat didefinisikan secara tepat sebagai makhluk hidup (genus proximum) yang berakal budi (diffrentia spesifica). Penyusunan suatu definisi yang tepat haruslah mengikuti ketentuan tertentu. Berikut prinsip-prinsip yang bisa diaplikasikan untuk menghasilkan sebuah definisi yang tepat. Tabel Prinsip-prinsip Definisi No

Prinsip Definisi

Penjelasan dan Contoh

1

 Definiens harus bisa dibolak-

Prinsip ini menjelaskan bahwa definies tidak boleh

balikkan definiendum

lebih luas atau lebih sempit dari definiendum. Apabila ada perbedaan dalam luas cakupan konseptual mengakibatkan kedua unsur definisi tersebut tidak dapat dipertukarkan. 48

Contoh 1: ‘Elang adalah burung yang dapat terbang’. Definisi ini tidak tepat dikarenakan ‘burung yang dapat terbang’ lebih luas cakupan konseptualnya daripada ‘elang’ sehingga kalau dibalikkan ‘Burung yang dapat terbang adalah elang’ terjadilah kekeliruan. Contoh 2: ‘Kursi adalah tempat duduk yang terbuat dari kayu’. Definisi ini tidak tepat dikarenkaan ‘tempat duduk yang terbuat dari kayu’ lebih sempit cakupan konseptulnya daripada ‘kursi’ (kursi bisa saja tidak terbuat dari kayu, tetapi besi misalnya). Oleh karena itu, bisa tidaknya pembalikan posisi difiniens dan definiendum adalah cara pengujian yang

efektif terkait dengan tepat atau tidaknya sebuah definisi. 2

 Definiendum tidak boleh

Prinsip ini menjelaskan bahwa kata atau kelompok

masuk ke dalam definiens

kata yang mendefinisikan tidak boleh menggunakan kata yang didefinisikan. Jika hal itu terjadi, mka hanya akan membentuk definisi yang sirkular atau tautologis disebut dengan circulus in defienindo. Contohnya, ‘Logika adalah ilmu yang mempelajari aturan-aturan logika’. Dalam konteks ini, definisi ini tidak tepat dikarenaka istilah logika tetap tidak terjelaskan karena istilah itu justru diulang atau masuk di dalam penjelasan atasnya.

3

 Definiens harus dirumuskan

Prinsip ini menegaskan bahwa definiens tidak boleh

secara jelas

dinyatakan dalam bahasa yang kabur atau kiasan. Pelanggaran atas prinsip ini menghasilkan apa yang disebut dengan obscurum per obscurius yang berarti menjelaskan sesuatu dengan keterangan yang lebih 49

tidak jelas atau ignotum per ignotius yang berarti mendefinisikan sesuatu yang tidak diketahui dengan sesuatu yang lebih tidak diketahui lagi. Contohnya, ‘Kegalauan adalah situasi tidak adanya konspirasi dan harmonisasi hati dalam kelabilan ekonomi’. Definisi ini bukanlah definisi yang tepat dikarenakan menggunakan bahasa yang kabur dan tidak memberikan penjelasan apapun terkait dengan definiendum.

4

Definiens tidak boleh

Prinsip ini menekankan bahwa tujuan definisi tercapai

dirumuskan dalam bentuk

 jika definiens mengungkapkan apa sebenarnya makna

negatif, sejauh masih dapat

definiendum. Dalam bentuk negatif, tujuan tersebut

dirumuskan dalam bentuk

dapat tidak tercapai. Contohnya, apel itu bukan

afirmatif

mangga, bukan anggur, bukan jeruk, dan seterusnya. Contoh yang lebih teknis misalnya, ‘Sepak bola adalah olahraga yang dimainkan tanpa menggunakan tangan’. Definisi ini tidak tepat dikarenakan tidak memberikan  penjelasan yang utuh terkait dengan apa itu sepak bola. Akan tetapi, ada istilah-istilah tertentu yang tidak mungkin dirumuskan secara positif dikarenakan jika dirumuskan positif justru tidak akan mengungkapkan apa makna sebenarnya dari definiendum. Misalnya, ‘Buta adalah kondisi di mana tidak berfungsinya indera penglihatan’.

3.5 Proposisi 3.5.1 Perbedaan Kalimat dan Proposisi

Dalam kehidupan sehari-hari, kita berkomunikasi menggunakan kalimat, baik kalimat berita, kalimat tanya, maupun kalimat perintah. Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut. (1) “Saya adalah mahasiswa UI” (2) “Apakah kamu sudah sarapan tadi pagi?” 50

(3) “Jawab pertanyaan saya!” Kalimat (1) adalah kalimat berita, yaitu kalimat yang memberitakan hal tertentu. Kalimat (2) adalah kalimat tanya; isinya merupakan pertanyaan tentang hal tertentu. Kalimat (3) adalah kalimat perintah yang isinya menyerukan atau memerintahkan untuk melakukan hal tertentu. Benar tidaknya sebuah struktur suatu kalimat ditentukan berdasarkan kaidah tata bahasa tertentu (Hadinata, Putri, & Takwin, 2015). Logika berfokus pada jenis kalimat tertentu, yaitu kalimat deklaratif yang pada  praktiknya memang bisa dilihat seperti kalimat berita. Akan tetapi, kalimat deklaratif mempunyai pengertian yang lebih khusus, yaitu kalimat yang digunakan untuk membuat suatu  pernyataan yang menyampaikan sesuatu yang bisa dinilai benar atau salah. Dengan kata lain, kalimat deklaratif mempunyai nilai kebenaran. Jenis kalimat ini di dalam literatur logika disebut  proposisi. Dalam konteks penalaran, dikenal dua jenis proposisi yaitu proposisi kategoris dan  proposisi hipotesis. Suatu proposisi disebut kategoris apabila term subjek diafirmasi atau dinegasi term predikat tanpa syarat atau secara mutlak. Misalnya, “Aqila adalah mahasiswa UI.”. Lain halnya dengan proposisi hipotesis. Pengafirmasian atau penegasian terhadap  predikat atas dasar syarat atau tidak secara mutlak. Misalnya, “Jika Aqila adalah mahasiswa UI, maka Aqila mempunyai akun SIAK-NG dan KTM UI”. Dikarenakan mengandung suatu syarat,  proposisi hipotesis merupakan perpaduan dari dua proposisi kategoris yang dihubungkan dengan cara tertentu, dalam konteks contoh di atas melalui ‘jika-maka’. Oleh karena itu, pemahaman yang baik terkait dengan proposisi kategoris sangat penting jika hendak melakukan penyelidikan terkait penalaran

yang bersifat langsung (oposisi dan ekuivalensi) ataupun tidak langsung

(silogisme kategoris dan silogisme hipotesis). Di sini perlu diberikan catatan istilah ‘proposisi kategoris’

sebangun

dengan

istilah

‘proposisi’.

Tambahan

‘kategoris’,

hanya

untuk

membedakannya dengan ‘proposisi hipotesis’ secara pedagogis. Unsur-unsur dalam proposisi yang perlu diperhatikan sebagai berikut. 1. Term yang berfungsi sebagai subjek disimbolkan dengan ‘S’. 2. Term yang berfungsi sebagai predikat disimbolkan dengan ‘P’. 3. Kopula merupakan penanda adanya hubungan antara term subjek dan term predikat. Dalam konteks ini, mengafirmasi atau menegasi; serta menunjukkan kualitas dari proposisi. Misalnya, “Tono adalah mahasiswa UI”. Dalam contoh ini, kualitas proposisinya adalah afirmatif karena term subjek ‘Tono’ diafirmasi oleh term predikat ‘mahasiswa UI’. Lain 51

halnya dengan “Tono bukan mahasiswa UI”. Hal ini berarti kualitas proposisinya negatif karena term subjek ‘Tono’ dinegasi oleh term predikat ‘mahasiswa UI’. Dalam pola formal dua hubungan (afirmatif dan negasif) antara term subjek dan term predikat dapat dinyatakan sebagai beikut: “S=P” dan “S≠P”. 4. Penanda (kata) yang menunjukan banyaknya satuan yang diikat oleh term subjek. Dalam konteks itu, penanda satuan bisa menunjuk kepada permasalahan universal, partikular dan singular. Pada universal ditandai seperti kata ‘seluruh’, ‘semua’, ‘setiap’, ‘tidak satu pun’ dan lain-lain. Pada partikular ditandai seperti kata ‘sebagian’, ‘kebanyakan’, beberapa, ‘hampir seluruh’, dan lain-lain. Pada singular biasanya tidak dinyatakan, tetapi merujuk kepada nama diri atau nama unik di dalam term singular. Berikut tabel yang menunjukan contoh unsur-unsur dalam proposisi yang perlu diperhatikan. Tabel Unsur-Unsur Proposisi Penanda Satuan

Term Subjek

Kopula

Semua

manusia

Adalah

Term Predikat

makhluk berakal  budi

Sebagian

mahasiswa UI

Bukan

Hanif

Adalah

penyanyi Seorang dosen di UI

Di sini, perlu ditekankan suatu proposisi bisa saja tidak menyatakan penanda satuan dan kopulanya (khususnya pada proposisi yang berkualitas afirmatif) secara eksplisit (tersurat). Akan tetapi, hal itu tidak berarti subjek dari proposisi tersebut tidak mengandung banyaknya satuan yang diikatnya ataupun hubungan terkait term subjek dan predikat. Misalnya, proposisi ‘Dosen adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi’. Dalam propisisi tersebut, penanda satuannya memang tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi yang dimaksudkan adalah ‘Semua dosen adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi’ karena tidak ada satupun dosen yang tidak mengajar di  perguruan tinggi. Contoh yang lain, proposisi ‘Orang Batak pandai bernyanyi’. Dalam hal ini,  penanda satuan dan kopula tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi yang dimaksudkan adalah ‘Sebagian orang Batak adalah orang yang pandai bernyanyi. Artinya, pemahaman makna kontekstual terkait dengan term dan proposisi dibutuhkan untuk menentukan atau melihat  penanda satuan, term subjek, kopula dan predikat suatu proposisi tertentu. 52

3.5.2 Klasifikasi Proposisi a. Kuantitas Proposisi

Kuantitas proposisi ditentukan oleh luas term subjeknya dan terkait dengan penanda satuan. Kita telah mengetahui bahwa suatu luas konsep dapat berupa universal, partikular, dan singular. Oleh karena itu, klasifikasi proposisi berdasarkan kuantitas dibagi menjadi proposisi universal,  proposisi partikular dan proposisi singular. Perhatikan tabel berikut: Jenis

Proposisi Universal

Proposisi Partikular

Proposisi Singular

Proposisi Pengertian Proposisi yang luas

Proposisi yang luas term

Proposisi yang luas

term subjeknya

subjeknya partikular. Term

term subjeknya

universal. Term subjek

subjek tidak mengikat

singular. Term subjek

mengikat semua

seluruh anggotanya,

merujuk hanya pada

anggotanya tanpa

melainkan hanya sebagian

satu hal tertentu.

terkecuali.

atau paling kurang satu yang tidak tentu.

Contoh

1. Semua koruptor adalah penjahat. 2. Ular adalah

1. Sebagian penyanyi adalah pemain film. 2. Ular adalah binatang

 binantang melata.

yang diperdagangkan.

(Term ‘ular’ dalam

(Term ular dalam konteks

konteks proposisi ini

 proposisi ini adalah

adalah universal

 partikular dikarenakan

dikarenakan tidak

tidak semua ular

ada ular yang bukan

diperdagangkan).

1.Tono bukan mahasiswa UI 2.Gedung itu berlantai empat.

 binatang melata.)

b. Kualitas Proposisi

Kualitas proposisi ditentukan oleh kopulanya. Kita telah mengetahui bahwa sebuah proposisi mesti mengandung kopula sebagai penanda afirmasi atau negasi. Oleh karena itu, klasifikasi  proposisi kategoris berdasarkan kualitas dibagi menjadi proposisi afirmatif dan proposisi negatif. Perhatikan tabel berikut. 53

Jenis Proposisi

Proposisi Afirmatif

Proposisi Negatif

Proposisi afirmatif jika term

Proposisi negatif jika term

subjek diafirmasi oleh term

subjek dinegasi oleh term

 predikat.

 predikat.

Proposisi “Athaya adalah

Proposisi “Rayyan bukan

mahasiswa UI” berkualitas

mahasiswa UI” berkualitas

afirmatif dikarenakan

negatif dikarenakan “Rayyan”

“Athaya” (term subjek)

(term subjek) dinegasi oleh

diafirmasi oleh “mahasiswa

“mahasiswa UI” (term predikat)

Pengertian

Contoh

UI” (term predikat)

c. Kuantitas dan Kualitas Proposisi

Jika kita kombinasikan antara tiga jenis proposisi berdasarkan kuantitas (universal, partikular, dan singular) dan dua jenis kualitas proposisi (afirmatif dan negatif), kita akan mendapatkan enam macam proposisi sebagai berikut: 1. Proposisi Universal Afirmatif. 2. Proposisi Partikular Afirmatif. 3. Proposisi Singular Afirmatif. 4. Proposisi Universal Negatif. 5. Proposisi Partikular Negatif. 6. Proposisi Singular Negatif. Perlu dijelaskan di sini bahwa (1) proposisi universal afirmatif dan (3) proposisi singular afirmatif mempunyai sifat yang sama. Hal ini dikarenakan term subjek pada kedua proposisi tersebut diafirmasi secara keseluruhan; yang memang hanya pada proposisi singular terdapat satu dan tertentu. Misalnya, “Andi adalah mahasiswa UI”. Proposisi itu jelas berkuantitas singular, tetapi apabila diafirmasi pastilah terhadap keseluruhan term “Andi”. Tidak mungkin terhadap sebagian term “Andi”. Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa tidak ada proposisi “(Sebagian) Andi adalah mahasiswa UI. Hal yang sama juga berlaku untuk (4) proposisi universal negatif dan (6) proposisi singular negatif. Penegasian berlaku sama baik pada keseluruhan ataupun pada satu dan tertentu. Dengan alasan ini, para ahli logika tidak membedakan lambang yang digunakan proposisi yang 54

 punya sifat sama tersebut. Para ahli logika hanya menggunakan empat lambang saja untuk mewakili keenam macam proposisi di atas. Empat lambang itu adalah A, E, I, dan O. Berikut empat lambang yang merepresentasikan enam macam proposisi dan contohnya. Proposisi Posisi Kategoris

Berdasarkan Kualitas



Berdasarkan Kuantitas Universal/Singular

Partikular

Afirmatif

A

I

Negatif

E

O

Proposisi A: Proposisi Universal/Singular Afirmatif  (Lambang A diambil dari huruf vokal

 pertama dari kata Latin “(a)ffirmo” yang berarti “mengakui/mengiyakan”) 





“Semua penyanyi adalah orang yang mempunyai suara merdu “Sherly adalah seorang dokter gigi”

Proposisi E: Proposisi Universal/Singular Negatif (Lambang E diambil dari huruf vokal

 pertama dari kata Latin “n(e)go” yang berarti “menolak/mengingkari”)





“Semua orang yang jujur bukan orang yang melakukan korupsi”



“Deka bukan seorang petani”

Proposisi I: Proposisi Partikular Afirmatif (Lambang I diambil dari huruf vokal kedua

dari kata Latin “aff(i)rmo” yang berarti “mengakui/mengiyakan”)





“Sebagian mahasiswa UI pandai bermain gitar”



“Beberapa karyawan berasal dari Jawa Barat”

Proposisi O: Proposisi Partikular Negatif (Lambang O diambil dari huruf vokal pertama

dari kata Latin “neg(o)” yang berarti “menolak/mengingkari”) 

“Sebagian hewan tidak bisa terbang”



“Beberapa mahasiswa tidak hadir dalam acara wisuda”

3.6 Penalaran Langsung

Dalam logika dibedakan antara penalaran langsung dan penalaran tidak langsung. Penjelasan  berikut akan berfokus pada penalaran langsung. Penalaran langsung adalah suatu proses  penarikan

kesimpulan

dari

satu

proposisi

(premis).

Kesimpulan

dihasilkan

dengan

membandingkan term subjek dan term predikat. Penalaran langsung dibagi dalam dua bentuk, 55

yaitu oposisi (penalaran langsung dengan memperlawankan kualitas dan kuantitas proposisi) dan eduksi (penalaran lansung dengan mempersamakan makna proposisi dalam redaksi yang  berbeda).

3.6.1 Oposisi

Penalaran langsung oposisi merupakan sebuah proses penalaran yang membandingkan antarproposisi terkait kualitas dan kuantitas proposisi dengan term yang sama. Penalaran langsung oposisi ada empat jenis, yaitu (1) Kontraris; (2) Subkontraris; (3) Subalterna, dan (4) Kontradiktoris. Perhatikan tabel berikut. Tabel Jenis Oposisi Aspek Oposisi

Kualitas

Kuantitas

Proposisi-Proposisi Opositif

Jenis Oposisi

Proposisi A dengan Proposisi E (A-E)

Kontraris

Proposisi I dengan Proposisi O (I-O)

Subkontraris

Proposisi A dengan Proposisi I (A-I)

Subalterna

Proposisi E dengan Propsosisi O (E-O) Kualitas dan Kualitas

Proposisi A dengan Proposisi O (A-O)

Kontradiktoris

Proposisi E dengan Proposisi I (E-I)

Lebih jelas lagi apabila jenis oposisi tersebut divisualkan dalam sebuah diagram dengan garis horizontal yang menyatakan oposisi dalam aspek kualitas dan garis vertikal yang menyakatan aspek kualitas seperti gambar berikut. Segi Empat Oposisi A

Subalterna

Kontraris

E

Subalterna

Kontradiktoris

I

Subkontraris

O

Ada catatan yang diperlukan terkait dengan proposisi A dan proposisi E pada gambar segi empat opisisi. Dalam gambar itu, proposisi A dan proposisi E yang dimaksudkan adalah 56

 proposisi dengan kuantitas singular. Dalam konteks itu, sifat opositifnya bukanlah kontraris, tetapi kontradiktoris. Sementara itu, kedua jenis oposisi lainnya, baik oposisi kontraris dan subalterna tidak bisa dilakukan atau tidak ada. Misalnya, “Andi adalah mahasiswa UI” (Proposisi A) hanya mungkin mempunyai relasi opositif “Andi bukan mahasiswa UI” (Proposisi E). Walau relasi opositifnya dengan proposisi E, dalam konteks ini relasi opositifnya bukanlah berjenis kontraris melainkan kontradiktoris. Berikut dalil-dalil umum nilai kebenaran dari penalaran oposisi. 1) Kontraris (Proposisi A-E)

Dalil utama oposisi kontraris adalah kedua proposisi (A dan E) itu tidak dapat dua-duanya benar sekaligus; tetapi dapat sekaligus salah. Oleh karena itu, dalil itu dapat diturunkan sebagai berikut. a) Jika satu benar, proposisi yang lain pasti salah.  b) Jika satu salah; proposisi yang lain bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti). Contoh: 

Jika proposisi, “Semua mahasiswa UI adalah orang yang cerdas” dinyatakan benar; maka propsisi “Semua mahasiswa UI bukan orang yang cerdas” pastilah proposisi “Semua mahasiswa UI bukan orang yang cerdas” pastilah salah.



Jika proposisi “Semua dosen UI adalah orang yang jujur” dinyatakan salah; maka  propososi “Semua dosen UI bukan orang yang jujur” bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti).

2) Subkontraris (Proposisi I-O)

Dalil utama oposisi subkontraris adalah kedua proposisi (I-O) tidak dapat dua-duanya salah sekaligus; tetapi dapat sekaligus benar. Oleh karena itu, dalil itu dapat diturunkan sebagai  berikut: 

Jika satu salah, proposisi yang lain pasti benar.



Jika satu benar; proposisi yang laian bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti). Contoh: 

Jika proposisi, “Sebagian pemain sepak bola adalah penyanyi yang handal” dinyatakan salah; maka proposisi “Sebagian pemain sepak bola bukan penyanyi yang handal” pastilah benar.

57



“Jika proposisi “Sebagian karyawan adalah orang yang berpendidikan sarjana” dinyatakan benar; maka proposisi “Sebagian karyawan bukan orang yang  berpendidikan sarjana bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti)

3) Subalterna (A-I dan E-O)

Dalil utama proposisi subalterna sebagai berikut. 

Jika proposisi universal (A/E) benar, maka proposisi partikular (I/O) pasti benar.



Jika proposisi universal (A/E) salah, maka proposisi partikular (I/O) tidak pasti (bisa  benar atau salah).



Jika proposisi partikular (I/O) benar, maka proposisi universal (A/E) tidak pasti (bisa  benar atau salah).



Jika proposisi partikular salah (I/O), maka proposisi universal (A/E) pasti salah.

Oleh karena itu, kita dapat merumuskan kesimpulan dari dalil tersebut sebagai berikut: 

Jika A benar, maka I pasti benar



Jika E benar, maka O pasti benar



Jika I benar, maka A tidak pasti



Jika O benar, maka E tidak pasti



Jika I salah, maka A salah



Jika O salah, maka E salah Contoh: 

Jika proposisi, “Semua orang di kelas ini adalah orang yang berasal dari kota Jakarta” dinyatakan benar; maka proposisi “Sebagian orang di kelas ini adalah orang yang berasal dari Jakarta” pastilah benar.



Jika proposisi, “Sebagian pejabat adalah anggota partai politik” dinyatakan benar; maka proposisi “Semua pejabat adalah anggota partai politik” bisa benar, tetapi  bisa juga salah (tidak pasti).



Jika proposisi. “Beberapa pemain biola adalah orang yang senang jalan-jalan” dinyatakan salah; maka proposisi “Semua pemain biola adalah orang yang senang  jalan-jalan” pastilah salah.

4) Kontradiktoris (A-O dan E-I)

Dalil utama oposisi kontradiktoris adalah kedua proposisi tidak dapat benar sekaligus; dan tidak dapat pula salah sekaligus. Oleh karena itu dalil ini dapat diturunkan sebagai berikut. 58



Jika satu benar, maka yang lain salah.



Jika satu salah, maka yang lain benar. Contoh: 

Jika proposisi “Semua warga negara wajib melakukan bela negara” dinyatakan benar; maka proposisi “Sebagian warga negara tidak wajib melakukan bela negara” pastilah salah.



Jika proposisi “Beberapa orang melakukan tindak kejahatan” dinyatakan salah; maka  proposisi “Beberapa orang tidak melakuan tidakan kejahatan” pastilah benar.

Dari dalil-dalil umum kebenaran oposisi yang telah dijelaskan di atas, dapat disusun sebuah tabel seperti di bawah ini. Tabel Jika Premis Benar Jika Premis

A

E

I

O

A benar

-

salah

benar

salah

E benar

salah

-

salah

benar

I benar

tidak pasti

salah

-

tidak pasti

O benar

salah

tidak pasti

tidak pasti

-

Tabel Bila Premis Salah Jika Premis

A

E

I

O

A salah

-

tidak pasti

tidak pasti

benar

E salah

tidak pasti

-

benar

tidak pasti

I salah

salah

benar

-

benar

O salah

 benar

salah

benar

-

3.6.2 Eduksi dan Luas Term Predikat

Penalaran langsung eduksi adalah sebuah proses penalaran yang menarik kesimpulan semakna dengan proposisi (premis) awalnya, tetapi berbeda di dalam redaksinya. Dengan kata lain, eduksi merupakan cara mengubah suatu proposisi ke proposisi lain dengan makna yang sama. Oleh karena itu, eduksi juga dapat digunakan untuk menyelidiki apakah dua proposisi atau lebih mempunyai makna yang sama atau berbeda (McCall, 1966). Dalam logika, penalaran langsung eduksi ada empat jenis, yaitu (1) Konversi; (2) Obversi; (3) Kontraposisi; dan (4) Inversi. 59

Sebelum masuk lebih jauh terkait dengan penalaran langsung eduksi sangat penting memahami luas term predikat pada sebuah proposisi.2  Luas term predikat di dalam sebuah  proposisi berhubungan erat dengan kualitas proposisi. Fokus utama terkait luas term predikat adalah apakah term predikat suatu proposisi terdistribusi (meliputi semua anggotanya secara satu  per satu atau universal) atau tidak

terdistribusi (hanya pada sebagian anggotanya atau

 partikular). Pemahaman akan luas term predikat ini bukan hanya dibutuhkan pada penalaran langsung eduksi, tetapi juga pada penalaran tidak langsung seperti silogisme kategoris. Ada dua dalil terkait dengan luas term predikat sebuah proposisi, yaitu: (1) dalam proposisi yang berkualitas afirmatif (A dan I) luas term predikat selalu tidak terdistribusi (partikular); dan (2) dalam propososi yang berkualitas negatif (E dan O) luas term predikat selalu terdistribusi (universal). Tabel Dalil Luas Term Predikat Jenis Proposisi

Luas Term Predikat

Proposisi A (univesal/singular-afirmatif)

Tak Terdistribusi (partikular)

Proposisi E (universal/singular-negatif)

Terdistribusi (universal)

Proposisi I (partikular-afirmatif)

Tak Terdistribusi (partikular)

Proposisi O (partikular-negatif)

Terdistribusi (universal)

Dalam konteks tabel di atas, perlu dijelaskan ada tiga pengecualian terhadap dua dalil di atas. Pertama, dalil tidak berlaku pada proposisi A yang memiliki corak definisi, karena definiens dan difiniendum memang dapat dibolak-balikkan. Dengan kata lain, proposisi corak defini luas term subjek universal dan term predikatnya terdistribusi (universal). Berikut contoh proposisi corak definisi. 

Manusia adalah makhluk hidup yang berakal budi.



Duda adalah lelaki yang pernah beristri. Kedua, dalil tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan term predikatnya

memang merujuk pada satu hal tertentu. Dalam konteks itu, luas term predikatnya adalah singular. Misalnya: 2

Penjelasan terkait dengan luas term subjek telah diberikan pada 2.1. Luas dan Sifat Term. Kuantitas sebuah proposisi ditentukan oleh luas term subjeknya, bukan luas term predikatnya.

60



Athaya adalah putra sulung Tuan Hadinata.



Sungai ini adalah sungai terpanjang di Indonesia. Ketiga, dalil tidak berlaku pada proposisi E yang term subjek dan term predikatnya

memang merujuk pada satu hal tertentu. Dalam konteks itu, luas term predikatnya adalah singular. 

Bengkulu bukan kota terbesar di Indonesia.



Gedung ini adalah gedung tertinggi di lingkungan kampus UI Depok.

a. Konversi

Konversi adalah jenis penalaran langsung eduksi yang dilakukan dengan cara menukarkan posisi tem subjek dengan term predikat proposisi tanpa mengubah kualitasnya. Jadi, peralihan terjadi dari tipe “S-P” ke tipe “P-S”. Agar penalaran eduksi jenis ini tepat atau kesimpulan mempunyai makna yang sama dengan premisnya, perlu diperhatikan dalil pokok konversi, yaitu: “ Luas term subjek dan predikat yang dipertukarkan harus sama besar”. Oleh karena itu, hanya dua

 proposisi yang secara sempurna dapat dikonversikan, yaitu proposisi E dan proposisi I. Pada  proposisi E luas term subjek dan predikat sama-sama universal. Pada proposisi I luas term subjek  predikat sama-sama partikular. Artinya, apabila term subjek dan term predikatnya dipertukarkan; maka tetap akan semakna. Perhatikan contoh berikut. 

Premis: Semua gajah bukan kijang. (proposisi E) Kesimpulan: Semua kijang bukan gajah. (proposisi E)



Premis: Beberapa mahasiswa UI adalah pemain biola. (proposisi I) Kesimpulan: Beberapa pemain biola adalah mahasiswa UI. (proposisi I) Konversi sempurna ini tidak bisa dilakukan terhadap proposisi A. Hal ini dikarenakan

dalam proposisi A luas term subjeknya universal, sedangkan luas term predikatnya partikular (tidak terdistribusi). Oleh sebab itu, jika dikonvesikan secara sempurna maknanya berbeda. Perhatikan contoh berikut. 

Premis: Semua berlian adalah benda berharga.

(Proposisi A)

Kesimpulan : Semua benda berharga adalah berlian.

(Proposisi I)

Kita lihat kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat. Oleh karena itu, konversi yang tepat terhadap proposisi A mensyaratkan pembatasan term predikat dalam kesimpulan. Dengan kata

61

lain, dijadikan partikular atau secara teknis dijadikan proposisi I. Konversi atas proposisi A disebut sebagai konversi terbatas. Berikut contoh konvesi yang tepat terhadap proposisi A: 

Premis

: Semua berlian adalah benda berharga.

Kesimpulan : Sebagian benda berharga adalah berlian.

(Proposisi A) (Proposisi I)

Proposisi O tidak dapat dikonversikan sama sekali. Hal ini dikarenakan luas term subjek dan luas term predikat pada proposisi O berbeda besarnya. Hasil kesimpulan sama sekali tidak semakna dengan premisnya dan selalu keliru; bahkan kalaupun diubah menjadi proposisi E. Perhatikan contoh berikut: Misalnya: 



Premis

: Sebagian binantang bukan kucing. (Proposisi O)

Kesimpulan

: Sebagian kucing bukan binatang.

Premis

: Sebagian mahasiswa UI bukan orang yang berasal dari Solo.

(Proposisi O)

(Proposisi O) Kesimpulan

: Semua orang yang berasal dari Solo bukan mahasiwa UI. (Proposisi E)

Secara umum, konversi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel Konversi Proposisi Jenis

Proposisi Awal (Premis)

Konversi (Kesimpulan)

Semua S adalah P

Sebagian P adalah S

Proposisi

A

(konversi terbatas) E

Semua S bukan P

Semua P bukan S (konversi sempurna)

I

Sebagian S adalah P

Sebagian P adalah S (konversi sempurna)

O

Sebagian S bukan P

Tidak dapat dikonversikan

b. Obversi

Obversi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali satu proposisi ke  proposisi lain yang semakna dengan mengubah kualitas proposisi awal (premis). Jadi, kita  beralih dari proposisi “tipe S-P menjadi S-nonP” atau “S-nonP menjadi SP”. Jika pada konversi 62

ada perubahan pada kuantitas tanpa perubahan kualitas, maka pada obversi ada perubahan pada kualitas tanpa perubahan kuantitas. Untuk melakukan obversi terhadap suatu proposisi, kita harus melakukan dua hal, yaitu (1) mengubah kualitas (bukan kuantitas) proposisi awal; (2) menegasikan predikat. Obversi sebetulnya berpijak pada prinsip negasi ganda, di mana “A” ekuivalen dengan negasi dari negasi “A”.3 Obversi dapat dilakukan pada semua jenis proposisi. Oleh sebab itu ada empat jenis obversi sebagai berikut. 1.

Obversi Proposisi A menjadi Proposisi E 

2.

Premis

: Semua buaya adalah binatang buas.

(Proposisi A)

Kesimpulan: Semua buaya bukan non-binatang buas.

(Proposisi E)

Obversi Proposisi E menjadi Proposisi A 

3.

Premis

: Semua mahasiswa UI bukan orang buta huruf.

(Proposisi E)

Kesimpulan: Semua mahasiswa UI adalah nonorang buta huruf.

(Proposisi A)

Obversi Proposisi I menjadi Proposisi O 

Premis

: Sebagian orang kaya adalah pengusaha yang andal. (Proposisi I)

Kesimpulan: Sebagian orang kaya bukan nonpengusaha yang andal. (Proposisi O) 4.

Obveresi Proposisi O menjadi Proposisi I 

Premis

: Sebagian karyawan bukan perokok.

(Proposisi O)

Kesimpulan

: Sebagian karyawan adalah non-perokok.

(Proposisi I)

Secara umum, obversi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel Obversi Proposisi Jenis Proposisi

3

Proposisi Awal (Premis)

Konversi (Kesimpulan)

A

Semua S adalah P

Semua S bukan non-P (Proposisi E)

E

Semua S bukan P

Semua S adalah non-P (Proposisi A)

I

Sebagian S adalah P

Sebagian S bukan non-P (Proposisi O)

O

Sebagian S bukan P

Sebagian S bukan non-P

Bentuk formalnya adalah A



~(~A)

63

c. Kontraposisi

Kontraposisi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali suatu proposisi ke  proposisi lain yang semakna dengan cara menukar posisi term subjek dengan term predikat dan menegasikan keduanya. Dengan kata lain, kita beralih dari tipe proposisi “S-P” ke tipe proposisi “nonP-nonS”. Cara melakukan kontraposisi adalah menggunakan konversi dan obversi yang telah dijelaskan di atas. Dalam konteks kontraposisi, langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) melakukan obversi dari proposisi awal; (2) melakukan konversi; dan (3) melakukan obeversi.4 Seperti konversi, kontraposisi tidak dapat diterapkan pada semua jenis proposisi. Dalam konteks ini, hanya proposisi A dan proposisi O yang dapat dilakukan prosedur kontraposisi langsung. Sementara itu, proposisi E harus diubah menjadi O. Perhatikan contoh di bawah ini. 





Premis

: Semua intan adalah batu mulia.

(Proposisi A)

Obversi : Semua intan bukan non-batu mulia.

(Langkah 1)

Konversi : Semua non-batu mulia bukan intan.

(Langkah 2)

Obversi : Semua nonbatu mulia adalah nonintan.

(Langkah 3 dan Kesimpulan)

Premis: Sebagian kucing bukan hewan jinak.

(Proposisi O)

Obversi: Sebagian kucing adalah non-hewan jinak.

(Langkah 1)

Konversi: Sebagian non-hewan jinak adalah kucing.

(Langkah 2)

Obversi: Sebagian non-hewan jinak bukan non-kucing.

(Langkah 3 dan Kesimpulan)

Premis: Semua tembaga bukan benda gas.

(Proposisi E)

Obversi: Semua tembaga adalah non-benda gas.

(Langkah 1)

Konversi: Sebagian non-benda gas adalah tembaga.

(Langkah 2)

Obversi: Sebagian non-benda gas bukan non-tembaga.

(Langkah 3 dan Proposisi I)

Berdasarkan prosedur itu, sebenarnya kita dapat melakukan kontraposisi secara langsung sebagai berikut. 

Premis: Semua pahlwan adalah orang pemberani. Kesimpulan: Semua non-orang pemberani adalah non-pahlawan.



4

Premis: Sebagian pejabat bukan koruptor

Prosedur seperti membuat kontraposisi dikenal pula sebagai obversi dari obversi yang telah dikonversi’.

64

Kesimpulan

: Sebagian non-koruptor bukan non-pejabat.

Secara umum, kontraposisi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel Kontraposisi Proposisi Jenis Proposisi

Proposisi Awal (Premis)

Kontraposisi (Kesimpulan)

A

Semua S adalah P

Semua non-P adalah non-S

E

Semua S bukan P

Sebagian non-P adalah non-S

I

Sebagian S adalah P

Tidak bisa dikontraposisikan

O

Sebagian S bukan P

Sebagaian non-P bukan non-S

d. Inversi

Inversi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali suatu proposisi ke  proposisi lain yang semakna dengan menegasikan kedua term subjek dan term predikat tanpa mengubah posisinya. Dengan kata lain, kita beralih dari tipe proposisi “S-P” ke tipe proposisi “nonS-nonP”. Untuk melakukan inversi, digunakan obvesi dan konversi secara bergantian sehingga mendapatkan proposisi yang dimaksud (Mundiri, 2015). Dalam konteks ini, hanya  proposisi A dan E yang bisa dilakukan inversi. Pedoman yang perlu diperhatikan terkait dengan dua proposisi itu sebagai berikut. 1. Jika premisnya adalah proposisi A, maka proposisi yang dihasilkan adalah proposisi I. Jika  premisnya adalah proposisi E, maka proposisi yang dihasilkan adalah proposisi O. 2. Jika premisnya adalah proposisi A, maka prosedur inversi harus dimulai dengan obversi. Jika premisnya adalah proposisi E, maka prosedur inversi harus dimulai dengan konversi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut. 

Proposisi A 

Premis : Semua perak adalah logam. Obversi : Semua perak bukan non-logam. Konversi: Semua yang non-logam bukan perak. Obversi : Semua yang non-logam adalah non-perak. Konversi: Sebagian yang non-perak adalah non-logam. (Kesimpulan)



Proposisi E 

Premis

: Semua ayam bukan amfibi.

Konversi : Semua amfibi bukan ayam. 65

Obversi

: Semua amfibi adalah non-ayam.

Konversi : Sebagian yang non-ayam adalah amfibi. Obversi

:Sebagian yang non-ayam bukan non-amfibi. (Kesimpulan)

Berdasarkan prosedur itu, sebenarnya kita dapat melakukan inversi secara langsung sebagai berikut. 

Premis

: Semua mahasiswa UI adalah orang yang rajin belajar.

Kesimpulan : Sebagian yang non-mahasiswa UI adalah non-orang yang rajin belajar. 

Premis

: Semua sapi bukan hewan karnivora.

Kesimpulan: Sebagian yang non-sapi bukan non-hewan karnivora. Ada catatan khusus terkait inversi ini, yaitu inversi bisa dilakukan secara langsung pada  proposisi A yang mengandung term subjek singular dan term predikat singular. Hal yang sama  juga berlaku pada proposisi A yang bercorak definisi. Perhatikan contoh berikut: 

Premis

: Ir. Soekarno adalah Presiden RI yang pertama.

Kesimpulan : Non-Soekarno adalah Non-Presiden RI yang pertama. 

Premis

: Manusia adalah makhluk hidup yang berakal budi.

Kesimpulan : Non-manusia adalah non-makhluk hidup yang berakal budi. Secara umum, kontraposisi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel Inversi Proposisi Jenis Proposisi

Proposisi Awal (Premis)

Inversi (Kesimpulan)

A

Semua S adalah P

Sebagian non-S adalah non-P

E

Semua S bukan P

Sebagian non-S bukan non-P

I

Sebagian S adalah P

Tidak bisa diinversikan

O

Sebagian S bukan P

Tidak bisa diinversikan

3.7 Penalaran Tidak Langsung (Silogisme)

Dalam penalaran langsung (immediate inference), kesimpulan dihasilkan hanya dengan satu  premis saja. Lain halnya dengan penalaran tidak langsuang (mediate inference). Kesimpulan yang dihasilkan dari dua proposisi dihubungkan dengan cara tertentu. Cara ini tidak terjadi di dalalam penalaran langsung. Hal ini dikenal sebagai silogisme. Kata silogisme berasal dari kata Yunani syllogismos  yang berarti kesimpulan atau konklusi (Hadinata, Putri, & Takwin, 2015). Aristoteles menyatakan memberikan batasan pada silogisme sebagai argumentasi yang 66

konklusinya diambil secara pasti dari premis-premsi yang menyatakan hal yang berbeda (Angel, 1964). Dalam konteks ini, silogisme dibagi menjadi silogisme kategoris dan silogisme hipotesis. Perlu ditekankan bahwa penilaian terhadap silogisme adalah persoalan sahih (valid ) atau tidak sahih (invalid ). Artinya, yang difokuskan pada logika formal (bentuknya), bukan pada logika material (kontennya).5

3.7.1 Silogisme Kategoris

Silogisme kategoris adalah suatu bentuk logika deduktif yang terdiri atas dua premis dan satu kesimpulan. Semuanya merupakan proposisi-proposisi kategoris (A, E, I atau O). Dalam silogisme, kategoris selalu berisikan tiga term yang masing-masingnya hanya boleh muncul dua kali. Kesimpulan dalam silogisme kategoris mengandung dua dari tiga term yang ada di dalamnya, yaitu term subjek (S) dan term predikat (P). Term predikat dari kesimpulan dikenal sebagai ‘term mayor’, sedang term subjek dikenal sebagai ‘term minor’. Perhatikan contoh silogisme kategoris di bawah ini: 

Semua orang baik adalah orang bahagia Beberapa orang Indonesia adalah orang baik Jadi, beberapa orang bahagia adalah orang Indonesia

Dalam konteks silogisme kategoris di atas, jika kita mendapatkan unsur-unsur silogisme  berdasarkan termnya adalah sebagai berikut. 1. Term yang menjadi subjek (S) kesimpulan yang disebut term minor (orang bahagia). 2. Term yang menjadi predikat (P) kesimpulan yang disebut term mayor (orang Indonesia). 3. Term yang tidak terdapat pada kesimpulan, tetapi termuat dalam dua premis awal (orang baik ) disebut terminus medius atau term penghubung yang disingkat dengan (M).

Term mayor dan term minor dari sebuah silogisme kategoris selalu terkandung dalam salah satu dari kedua premis silogisme tersebut. Oleh karena itu, ketentuannya sebagai berikut. 1. Premis yang memuat term mayor disebut premis mayor. Proposisi pertama pada baris  pertama. 2. Premis yang memuat term minor disebut premis minor. Proposisi kedua pada baris kedua 3. Kesimpulan atau konklusi diturunkan dengan memperhatikan hubungan antara premis mayor dan premis minor. Proposisi ketiga pada baris ketiga.

5

Perbedaan logika formal dengan logika material dibahas pada Subbab 1.1 Logika Formal dan Material.

67

Contoh di atas dapat dilihat sebagai berikut. Premis Mayor

: Semua orang baik (term M) adalah orang bahagia. (term P)

Premis Minor

: Beberapa orang Indonesia (term S) adalaah orang baik. (term M)

Kesimpulan

: Beberapa orang Indonesia (term S) adalah orang bahagia. (term P)

a. Prinsip Dasar Silogisme Kategoris

Dalam silogisme kategoris ada dua prinsip yang utama harus diperhatikan, yaitu 1)  Principium dicti de omni (prinsip pengakuan tentang semua) Prinsip ini menyatakan bahwa “Apa yang berlaku (diakui atau diafirmasi) bagi semua anggota suatu term secara universal. Hal yang sama juga berlaku (diakui atau diafirmasi)  pula oleh anggotanya secara partikular atau singular”. Perhatikan contoh berikut. 

Semua TNI adalah orang yang terhormat. Badrun adalah TNI. Jadi, Badrun adalah orang yang terhormat.

Dalam konteks ini, pada premis mayor “orang yang terhormat” berlaku (diafirmasi) bagi “semua TNI”, sedangkan pada premis minor “Badrun” adalah anggota dari “TNI”, maka otomatis “orang terhormat” berlaku (diafirmasi) pula bagi “Badrun” secara singular.

2)  Principium dicti de nullo (prinsip pengingkaran tentang semua)

Prinsip ini menyatakan bahwa “Apa yang tidak berlaku (dingkari atau dinegasi) bagi semua anggota suatu term secara universal. Hal yang sama juga tidak berlaku (diingkari atau dinegasi pula) oleh anggotanya secara partikular atau singular”. Perhatikan contoh  berikut. 

Semua koruptor bukan orang yang jujur. Sebagian pejabat adalah koruptor. Jadi, sebagian pejabat bukan orang yang jujur.

Dalam konteks ini, pada premis mayor “orang yang jujur ” tidak berlaku (diingkari atau dinegasi) bagi “semua koruptor”, sedang pada premis minor “sebagian pejabat” adalah anggota dari “koruptor”, maka otomatis “orang yang jujur” tidak berlaku (diingkari atau dinegasi) pula bagi “pejabat” secara partikular.

68

b. Delapan Dalil Silogisme Kategoris

Dalam silogisme katagoris terdapat delapan dalil yang terdiri atas dua bagian, yaitu bagian  pertama terkait dengan term dan bagian kedua terkait dengan proposisi. Untuk memahami  penjelasan terkait dengan delapan dalil silogisme kategoris, kita perlu memahami penggunaan simbol-simbol berikut.

Simbol

Keterangan

S

Subjek/term minor

P

Predikat/term mayor

M

Term pengubung (terminus medius)

U

Universal

P

Partikular

+

Afirmatif

-

Negatif

1) Silogisme harus terdiri tiga tiga term, yaitu term subjek, term predikat, dan term penghubung.

Apabila lebih atau kurang dari tiga term, maka tidak bisa ditarik kesimpulan. Contohnya sebagai berikut. 

Semua tanaman (1) adalah makhluk hidup (2). Semua batu (3) adalah mineral (4).  Jadi,...(?) (Kesimpulan tidak dapat ditarik karena term lebih dari tiga)



Semua kerbau (1) adalah hewan mamalia (2).  Beberapa hewan mamalia (2) adalah kerbau (1).  Jadi,...(?) (Kesimpulan tidak dapat ditarik karena term kurang dari tiga)

2) Term subjek dan/atau term perdikat tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan jika di dalam premis hanya berluas pertikular.

Berikut contoh silogisme kategoris yang tidak tepat karena melanggar dalil ini. 

uM + pP

Semua kambing adalah hewan herbivora

uS − uM

Semua singa bukan kambing

uS − uP

 Jadi, semua singa bukan hewan herbivora 69

Dari silogisme kategoris di atas terlihat bahwa luas term predikat sebagai term mayor (hewan herbivora) dalam kesimpulan (universal) lebih luas daripada luas term tersebut dalam premis mayor (partikular). Kesalahan jenis ini disebut dengan istilah illicit mayor . 

uM − uP

 Burung burung bukan hewan mamalia.

uM + pS

Semua burung adalah hewan berkaki dua.

uS

− uP

Semua hewan berkaki dua bukan mamalia.

Dari silogisme kategoris di atas terlihat bahwa luas term subjek sebagai term minor (hewan berkaki dua) dalam kesimpulan (universal) lebih luas daripada luas term tersebut dalam premis minor (partikular). Kesalahan jenis ini disebut dengan istilah illicit minor .

3) Term penghubung (term M) tidak boleh muncul dalam kesimpulan. Berikut contoh silogisme kategoris yang tidak tepat karena melanggar dalil ini. 

M

+

P

Semua pelajar adalah orang yang giat.

M

+

S

Semua pelajar adalah orang yang cerdas.

M

+

S

 Jadi, semua pelajar adalah orang giat.

Dalam silogisme di atas term M berfungsi sebagai pembanding, melainkan menjadi salah satu bagian dari kesimpulan. Dengan demikian, kesimpulan yang terjadi  bukanlah merupakan putusan baru. 4) Salah term penghubung (term M) setidaknya harus terdistribusi (berluas universal) di dalam premis mayor dan/atau premis minor. Berikut contoh silogisme kategoris

yang melanggar dalil ini: 

uP

+

pM

Semua burung adalah hewan yang bersayap.

uS

+

pM

Semua beo adalah hewan yang bersayap.

uS

+

pP

 Jadi, semua beo adalah burung.

Kesalahan silogisme kategoris di atas dikarenkan luas term yang berfungsi sebagai term penghubung (term M), baik di premis mayor ataupun premis minor adalah  partikular. Luasnya partikular dikarenakan keduanya digunakan sebagai predikat pada  proposisi afirmatif pada premis mayor dan premis minor. Dengan demikian, term  penghubung (term M) tidak terdistribusi. Oleh karena itu, masing-masing term  penghubung (term M) dapat merujuk pada anggota yang berbeda. Kesimpulan 70

“Semua beo adalah burung” adalah benar secara material, tetapi secara formal kesimpulan itu tidak sahih. Pelanggaran dalil semacam ini disebut undistributed middle term.

5) Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan harus berkualitas afirmatif . Berikut contohnya: 

M +

P

S

+

M  Beberapa kuda adalah mamalia.

S

+

P

Semua mamalia adalah hewan menyusui.

 Jadi, beberapa kuda adalah hewan menyusui.

(Kesimpulan tidak boleh: Beberapa kuda bukan hewan menyusui.) 6) Kedua premis tidak boleh berkualitas negatif . Premis mayor dan premis minor yang keduanya berkualitas negatif tidak dapat melahirkan kesimpulan yang valid. Hal ini dikarenakan tidak adanya mata rantai yang  bisa menghubungkan kedua premis tersebut. Contohnya sebagai berikut. 

M



P

Semua ayam bukan kerbau.

S



M

Semua bebek bukan ayam.

S



P

 Jadi, semua bebek bukan ayam. (Kesimpulan tidak valid)

7) Kedua premis tidak boleh berkuantitas partikular. Premis mayor dan premis minor yang berkuantitas partikular tidak dapat melahirkan kesimpulan yang valid. 

 pM +

pP  Beberapa politikus adalah pejabat.

 pS

+

pM  Beberapa orang baik adalah politikus.

 pS

+

pP

 Jadi, beberapa orang baik adalah politikus. (Kesimpulan tidak valid)

8) Dalil ke delapan dibagi menjadi dua bagian, yaitu a. Kalau salah satu premis negatif di dalam siologisme kategoris, maka kesimpulan harus negatif . Contohnya: 

P



M

S

+

M Tono adalah perokok.

S



P

Semua perokok bukan orang bebas nikotin.

 Jadi, Tono bukan orang bebas nikotin

(Kesimpulan tidak boleh: Tono adalah orang bebas nikotin.)

71

 b. Kalau salah satu premis partikular di dalam siologisme kategoris, kesimpulan harus partikular. Contohnya sebagai berikut. 

M

+

P

Semua mahasiswa adalah orang baik.

 pS +

M

Sebagian manusia adalah mahasiswa.

 pS +

P

Jadi, sebagian manusia adalah orang baik.

(Kesimpulan tidak boleh: semua manusia adalah orang baik )

3.7.2 Silogisme Hipotesis dan Disjungtif a. Proposisi Hipotesis dan Disjungtif

Silogisme hipotesis dan disjuntif menampilkan kondisi tertentu pada premis mayor. Kesimpulannya ditarik melalui premis minor dengan pengakuan (afirmasi) atau (negasi). Dalam konteks silogisme hipotesis dan disjungtif, premis mayor selalu berbentuk proposisi kompleks. Artinya, proposisi di mana term predikat diafirmasi atau dinegasi terkait dengan term subjek dengan suatu syarat tertentu. Dengan kata lain, hubungannya tidak mutlak seperti proposisi kategoris. Dikarenakan selalu mengandung syarat, proposisi hipotesis atau disjungtif terdiri atas dua proposisi kategoris yang dihubungan dengan suatu operator tertentu. Operator tertentu ini yang akan mencirikan jenis proposisinya. 1) Proposisi Hipotesis Proposisi hipotesis adalah proposisi yang mengandung syarat tertentu. Pengakuan atau  pengingkaran atas syarat tersebut tergantung kebenaran proposisi lain. Contoh: 

 Jika hujan turun, maka jalan basah.

Proposisi kondisional ini terdiri dari dua proposisi kategoris, yaitu “Hujan turun” dan “Jalan basah”. Kedua proposisi ini digabungkan dengan operator kondisional “Jika...., maka....” ataupun 2) Proposisi Disjungtif Proposisi disjungtif adalah proposisi yang terdiri dari dua proposisi kategoris yang digabungan dengan operator “....atau....”. Contoh: 

 Hadinata adalah dosen atau mahasiswa.

Proposisi disjungtif ini terdiri dari dua proposisi kategoris, yaitu “Hadinata adalah dosen” dan “Hadinata adalah mahasiswa”.

72

b. Silogisme Hipotesis

Silogisme

hipotesis adalah silogisme yang premis mayornya berjenis proposisi hipotesis.

Dengan kata lain, premis mayor terdiri dari dua bagian, yaitu anteseden (dimulai dengan kata “Jika...,) dan konsekuen (dimulai dengan kata “maka...”). Di dalam logika, premis mayor ini tersusun dalam empat pola, yaitu: 1. “Jika A, maka B” 2. “Jika A, maka bukan B” 3. “Jika bukan A, maka B” 4. “Jika bukan A, maka bukan B” Ada dua dalil yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan kesimpulan yang sahih dalam silogisme kondisional ini, yaitu modus ponens dan modus tollens. 1) Modus Ponens

Proses penyimpulan yang bergerak dari pembenaran (pengafirmasian) terhadap anteseden (premis minor) kepada pembenaran (pengafirmasian) terhadap konsekuen (kesimpulan). Contoh: 

Jika banyak sampah yang tidak terurus, maka kualitas kesehatan menurun. Ternyata banyak sampah yang tidak terurus. Jadi, kualitas kesehatan menurun.



Jika Siti belajar, maka kamu akan lulus ujian. Ternyata, Siti belajar. Jadi, Siti akan lulus ujian.

2) Modus Tollens

Proses penyimpulan yang bergerak dari pengingkaran (penegasian) konsekuen (premis minor) kepada pengingkaran (penegasian) anteseden (kesimpulan). Contoh: 

Jika hujan terlalu lebat, maka terjadi banjir. Ternyata tidak terjadi banjir. Jadi, hujan tidak terlalu lebat.

c . Silogisme Disjungtif

Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi disjungtif yang menawarkan dua kemungkinan. Dalam konteks itu, premis minornya bersifat menegasi atau 73

mengafirmasi salah satu kemungkinan yang ditawarkan, sedangkan kesimpulan mengandung kemungkinan yang lain. Dengan begitu, silogisme disjungtif memiliki empat bentuk sebagai  berikut. Tabel Empat Bentuk Silogisme Disjungtif

1. P atau Q

2. P atau Q

Ternyata bukan P

Ternyata bukan Q

Jadi, Q

Jadi, P

3. P atau Q

4. P atau Q

Ternyata P

Ternyata Q

Jadi, bukan Q

Jadi, bukan P

Silogisme disjungtif terdiri atas dua jenis, yaitu silogisme disjungtif dalam arti luas dan silogisme disjungtif dalam arti sempit. Silogisme disjungtif dalam arti luas mempunyai kemungkinan yang tidak bersifat kontradiktif. Contohnya sebagai berikut. 

Tina memakai kalung atau anting. Ternyata Tina tidak memakai kalung. Jadi, Tina memakai anting.

Silogisme disjungtif dalam arti luas hanya dapat sahih apabila proses penyimpulan  bergerak dari penegasian terhadap satu kemungkinan, kemudian pengafirmasian dilakukan terhadap kemungkinan yang lain. Hal ini dilakukan karena dalam silogisme disjungtif dalam arti luas kemungkinannya tidak bersifat kontradiktif sehingga mengakibatkan ada kemungkinan ketiga, yaitu dua kemungkinan terjadi sekaligus. Dalam konteks contoh di atas, Tina bisa memakai kalung dan anting bersamaan. Oleh karena itu, hanya ada dua bentuk yang sahih dalam silogisme disjungtif, yaitu sebagai berikut: Tabel Bentuk Sahih Silogisme Disjungtif dalam Arti Luas

1. P atau Q

2. P atau Q

Ternyata bukan P

Ternyata bukan Q

Jadi, Q

Jadi, P

74

Selain itu, silogisme disjungtif dalam arti sempit mempunyai kemungkinan yang bersifat kontradiktif, yaitu silogisme disjungtif dalam arti luas dan silogisme dalam arti sempit. Contohnya sebagai berikut. 

Hasan berada di dalam atau di luar ruangan. Ternyata Hasan tidak berada di dalam. Jadi, Hasan berada di luar ruangan.

Dalam konteks ini, kedua kemungkinan terhubung sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi kemungkinan ketiga. Oleh karena itu, keempat bentuk silogisme disjungtifnya bersifat sahih.

3.8 Kekeliruan Berpikir ( Fallacies)

Logika tidak hanya terkait dengan penalaran yang tepat tetapi juga bentuk-bentuk kekeliruan  berpikir. Kekeliruan berpikir ini dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu (1) kekeliruan formal akibat kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan tidak sahih dikarenakan dilanggarnya dalil-dalil logika terkait term dan proposisi pada sebu ah argumentasi; (2) kekeliruan nonformal akibat kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat dikarenakan faktor bahasa ataupun dikarenakan relevasi antara premis dan kesimpulannya. Di sini penting untuk dicatat bahwa kekeliruan berpikir (khususnya nonformal) banyak terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh kurangnya  pengetahuan atau karena kebiasaan yang sudah diterima secara umum. Dalam konteks tertentu, kekeliruan berpikir sengaja disusun untuk memperdaya orang lain ataupun lawan bicara. Jenis kekeliruan berpikir ini dikenal dengan kekeliruan berpikir sofistik. Istilah sofistik merujuk pada suatu kelompok orang (yang mahir berpidato pada zaman Yunani Kuno (kaum sofis). Mereka memengaruhi khalayak dengan argumentasi-argumentasi yang keliru, walau terdengar tepat. Di zaman sekarang, fenomena ini masih bisa kita saksikan. Misalnya, seorang motivator menasihati seorang bujangan terkait dengan gundahnya dia tidak mempunyai pasangan dengan kalimatkalimat berikut: 

“Jodoh tidak perlu dicari. Dia akan datang dengan sendirinya. Anda hanya perlu menunggu saat yang tepat. Di luar sana, pasti ada jodoh untuk Anda!”

Apabila diperhatikan, jelas bahwa kalimat-kalimat itu sekadar untuk menenangkan semata; tetapi mengandung kekeliruan berpikir yang nyata:

75

(1) kalimat “Jodoh tidak perlu dicari” justru kontraproduktif dengan situasi seorang bujangan tersebut, yaitu dicari saja jodoh belum tentu bertemu, apalagi tidak dicari; (2) kalimat “ Dia akan datang dengan sendirinya” dan “ Anda hanya perlu menunggu saat yang tepat” hanya merupakan penegasan “ Jodoh tidak perlu dicari”, tetapi tidak memberikan

 penjelasan apa-apa terkait dengan mengapa jodoh tidak perlu dica ri; dan (3) kalimat “ Di luar sana, pasti ada jodoh untuk Anda!” justru lebih menegaskan bahwa jodoh  perlu dicari karena ia ada dil uar sana. Artinya, secara implisit kalimat itu bertentangan dengan kalimat awal bahwa jodoh tidak perlu dicari. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa keliruan berpikir adalah perbincangan yang mungkin terasa tepat, tetapi yang setelah diuji terbukti tidak tepat (Copi, 1990). Lebih jelasnya,  perhatikanlah contoh berikut: 

 Jika hujan turun, maka tanah basah. Ternyata, tanah basah.  Jadi, hujan turun.

Argumentasi ini merupakan kekeliruan berpikir dikarenakan “hujan turun” sebagai anteseden merupakan kondisi yang mencukupi (sufficient condition), bukan kondisi niscaya (necessary condition) untuk terjadinya konsekuen “tanah basah”. Dengan kata lain, ada hubungan asimetris.

Hujan memang menyebabkan tanah basah, tetapi tanah basah belum tentu karena hujan turun. Akan berbeda, bila argumentasi tersebut disusun sebagai berikut. 

Jika dan hanya jika hujan turun, maka tanah basah. Ternyata, tanah basah Jadi, hujan turun.

Argumentasi ini merupakan argumentasi yang tepat dikarenakan “hujan turun” merupakan satusatunya anteseden (jika dan hanya jika) atau kondisi niscaya (necessary condition) untuk terjadinya konsekuen “tanah basah”. Ringkasnya, ada hubungan timbal-balik langsung antara anteseden dan konsekuen.

3.8.1. Kekeliruan Berpikir Formal

Kekeliruan berpikir formal merupakan sebuah penalaran yang prosesnya atau bentuknya tidak sesuai dengan dalil-dalil logika. Jika kita telah memahami dengan baik dalil-dalil logika formal

76

yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dengan mudah kita dapat mengenali bentuk-bentuk kekeliruan berpikir formal ini. Secara umum, berikut jenis kekeliruan berpikir formal. 1) Empat Term ( Four Terms)

Seperti namanya, kekeliruan berpikir formal jenis empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan dalam silogisme kategorsis, padahal yang sahih hanya mempunyai tiga term. Contoh. 

 Rumah mempunyai halaman.  Buku mempunyai halaman.  Buku adalah rumah.

Kekeliruan terletak pada kata halaman  yang mempunyai makna ganda (ekuivok) sehingga ada tambahan term. Di sini,

halaman rumah  dan halaman buku  berbeda

maknanya karena merujuk kepada dua realitas yang berbeda. Jadi, terdapat empat term dalam silogisme di atas, yang seharusnya hanya tiga.

2) Term Penghubung Tidak Terdistribusikan (Undistributed Middle Term )

Kekeliruan berpikir formal ini terjadi di dalam silogisme kategoris yang term  penghubungnya tidak terdistribusikan pada premisnya baik dalam premis mayor dan/atau  premis term minor. Hal ini dikarenakan term pengubunngnya (term M) berkuantitas  partikular dua-duanya. Contoh: 

Semua burung adalah hewan yang berkembang biak dengan cara bertelur. Semua merpati adalah hewan yang berkembang biak dengan cara bertelur.  Jadi, semua merpati adalah burung.

3) Proses Ilisit ( Illicit Process)

Perubahan kuantitas term mayor dan/atau term minor yang lebih kecil pada premis menjadi lebih luas pada kesimpulan di dalam silogisme kategoris. Contoh: 

 Beberapa orang Indonesia adalah pemalas. Semua pemalas adalah orang yang tak bisa maju.  Jadi, semua orang Indonesia adalah orang yang tak bisa maju.

77

Kesalahan berpikir formal ini terletak pada peralihan dari beberapa orang Indonesia yang merujuk kepada sebagian orang Indonesia (partikular) ke semua orang Indonesia yang merujuk kepada keseluruhan orang Indonesia (universal).

4) Premis-Premis Afirmatif, Kesimpulan Negatif

Kekeliruan berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme kategoris digunakan premis mayor dan minornya proposisi afirmatif, tetapi dalam kesimpulan digunakan proposisi negatif. Contoh: 

Semua orang Indonesia adalah orang yang giat belajar.  Beberapa orang Indonesia adalah ahli logika. Sebagian ahli logika bukan orang yang giat belajar.

5) Salah Satu Premis Negatif, Kesimpulan Afirmatif

Kekeliruan berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme kategoris digunakan salah satu  premis mengunakan proposisi negati, tetapi kesimpulan yang dihasilkan berupa proposisi afirmatif. Contoh: 

Semua kerbau bukan hewan berkaki tiga. Semua kerbau adalah hewan mamalia.  Jadi, semua hewan mamalia adalah hewan berkaki tiga.

6) Dua Premis Negatif

Kekeliruan berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme kategoris baik premis mayor dan premis minornya menggunakan proposisi negatif yang menyebabkan kesimpulan tidak tepat. Contoh: 

Semua ayam bukan hewan berkaki empat. Semua hewan berkaki empat bukan bebek.  Jadi, semua bebek bukan ayam.

Meskipun terkesan tepat (semua bebek bukan ayam), tetapi silogisme kategoris ini tidak sahih karena tidak ada kesimpulan yang dapat diturunkan dari dua proposisi negatif.

78

7) Afirmasi Konsekuen

Kekeliruan

berpikir formal ini terjadi jika dalam silogisme hipotesis mengafirmasi

konsekuen dalam pembuatan kesimpulan. Kesimpulan itu diturunkan dari pernyataan yang hubungan antara anteseden  dan konsekuennya tidak niscaya, tetapi diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Contohnya: 

Kalau lampu dimatikan, ayah sedang tidur. Ternyata ayah sedang tidur.  Jadi, lampu dimatikan.

Bentuk silogisme hipotesis ini keliru dikarenakan konsekuen ‘ayah sedang tidur’ tidak hanya dapat disimpulkan dari ‘lampu dimatikan’, melainkan dapat juga karena hal lain. Misalnya, ‘minum obat tidur’ dan lain-lain. Kekeliruan berpikir formal afirmasi konsekuen merupakan bentuk tidak sahih yang menyerupai modus ponens.6

8) Negasi Anteseden

Kekeliruan berpikir formal ini terjadi dalam silogisme hipotesis yang menegasi anteseden dalam pembuatan kesimpulan. Kesimpulan itu diturunkan dari pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuennya tidak niscaya, tetapi diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Contoh: 

 Jika guru pandai, maka murid pandai. Ternyata guru tidak pandai.  Jadi, murid tidak pandai.

Bentuk silogisme hipotesis ini keliru dikarenakan antesenden yang tidak terjadi (Ternyata guru tidak pandai) tidak berarti konsekuen (murid pandai) tidak terjadi. Artinya, murid

 bisa saja pandai, kendati guru tidak pandai. Kekeliruan berpikir formal negasi anteseden merupakan bentuk tidak sahih yang menyerupai modus tollens.7

9) Kekeliruan Disjungsi Kekeliruan berpikir formal ini terjadi dalam silogisme disjungsi yang mengafirmasi salah satu pilihan kemudian menyimpulkan bahwa pilihan lainnya tidak terjadi. Contoh:

6 7

Penjelasan terkait dengan modus ponens bisa dilihat pada pembahasan silogisme hipotesis. Penjelasan terkait dengan modus tollens bisa dilihat pada pembahasan silogisme hipotesis.

79



 Ani memakai kalung atau gelang. Ternyata Ani memakai kalung.  Jadi, Ani tidak memakai gelang.

Bentuk silogisme disjungsi ini keliru dikarenakan ada kemungkinan ketiga, yaitu dua  pilihan terjadi bersamaan (Ani memakai kalung dan gelang). Dalam konteks ini, silogisme disjungsi yang sahih adalah menegasikan salah satu pilihan, kemudian menyimpulan pilihan lainnya terjadi. Contoh: 

Tono memakai sepatu atau sandal. Ternyata Tono tidak memakai sepatu.  Jadi, Tono memamakai sandal.

3.8.2 Kekeliruan Berpikir Nonformal a. Kekeliruan Berpikir Nonformal Relevansi

Kekeliruan berpikir nonformal relevesi terjadi apabila kesimpulan yang ditarik tidak memiliki relevansi dengan premis-premisnya atau sebaliknya. Dengan kata, lain tidak adanya hubungan logis antara premis-premis dan kesimpulan, walaupun bisa saja secara psikologis menampakkan adanya hubungan. Kesan akan adanya hubungan secara psikologis ini yang  biasanya banyak terjadi pada kekeliruan berpikir nonformal relevansi. Berikut beberapa jenis kekeliruan berpikir nonformal relevansi yang secara umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 1)  Argumentum ad misericordiam

Dalam bahasa Latin miseriordia  berarti belas kasihan. Oleh karena itu, argumentum ad misericordiam  dapat diartikan kekeliruan berpikir nonformal relevansi yang dilakukan

ketika menyampaikan suatu penalaran dengan tujuan untuk memperoleh belas kasihan untuk mendukung kesimpulan. Artinya, argumentasi tidak disusun berdasarkan kesahihan  bentuk dan kebenaran kontennya. Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini banyak terjadi di pengadilan. Misalnya, dalam pembelaan terdakwa atau penasihat hukum menggunakan argumentum ad misericordiam  dengan tujuan agar hakim berbelas kasih kepada terdakwa. Contoh: 

“Saya mencuri bukanlah semata-mata demi saya sendiri. Akan tetapi, demi anak saya yang sedang sakit. Ibunya telah tiada. Saya baru bangkrut. Semua harta benda  yang kumpulkan bertahun-tahun, lenyap semua. Sanak keluarga tidak ada yang 80

 peduli. Kalau saya di tahan, maka siapa yang akan menjaga anak saya? Oleh karena itu, bebaskanlah saya.”

2)  Argumentum ad populum

Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila argumentasi yang diajukan didasarkan kepada orang banyak. Dalam bahasa Latin,  populus  berarti orang banyak, rakyat atau massa. Dalam konteks ini, seolah-olah justifikasi atas argumentasi tidak diperlukan dikarenakan dijaminkan kepada kepercayaan orang banyak. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, kita bisa melihat contohnya ketika pertama kali dicetuskan bahwa heliosentris, bukan geosentris. Penolakan atas heliosentris didasarkan hanya karena orang  banyak pada masa itu percaya bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta. Contoh: 

“Semua orang sudah tahu bahwa kamu adalah pencuri. Oleh karena itu, pastilah  pencuri dalam kejadian ini.”



“Kamu salah. Coba lihat berapa banyak orang yang tidak sepakat denganmu!  Hampir 75% dari semua penduduk di daerah ini.”

3)  Argumentum ad hominem

Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila dalam sebuah perbincangan yang argumentatif yang dinilai bukan kesahihan bentuk atau kebenaran konten, melainkan alasan-alasan yang berhubungan dengan sifat pribadi dari orang yang mengajukan argumentasi tersebut. Artinya, apa yang dinilai adalah orangnya, bukan argumentasinya. Berikut contohnya: 

“Tuduhannya terkait dengan korupsi yang terjadi pastilah salah. Dia bukan orang yang sopan dalam berbicara. Apa itu bagus buat pendidikan anak-anak yang menyaksikan hal itu?”



“Tidak mungkin dia melakukan korupsi. Dia selalu baik kepada saya dan temanteman yang lainnya. Tutur katanya halus dan sikapnya pun santun kepada yang lebih tua. Pastilah dia dijebak oleh orang yang tidak bertanggung jawab.”

81

4)  Argumentum ad auctoritatis

Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini cukup mirip dengan argumentum ad hominem, tetapi lebih khusus pada nilai suatu argumentasi didasarkan oleh keahlian atau

kewibawaan seseorang. Oleh karena itu, argumentum ad auctoritatis terjadi apabila suatu argumentasi dinyatakan sahih atau benar hanya karena dikemukakan atau mengutip dari seseorang yang sudah terkenal di bidang keahliannya. Contoh: 

“Internet berbahaya bagi generasi muda. Hal ini disampaikan oleh Prof. Badu dan saya mendengarnya sendiri. Apa yang dikatakan seorang profesor pastilah benar karena dia ahli. Jadi, internet memang berbahaya bagi generasi muda.”



Kamu pasti salah. Kamu hanya mahasiswa. Saya adalah dosen. Oleh karena itu, saya pasti lebih tahu daripada kamu.

5)  Argumentum ad baculum

Dalam bahasa Latin baculum  berarti tongkat atau pentungan. Dalam konteks ini, argumentum ad baculum  bisa diartikan argumentasi yang didasarkan pada ancaman.

Dalam kehidupan sehari-hari biasanya argumentum ad baculum  muncul apabila seseorang menolak pendapat seseorang dengan ancaman bukan dengan pembuktian yang didasarkan tidak sahih atau salahnya sebuah argumentasi. Contoh: 

“Kalau kamu berpendapat seperti itu, kamu harus memikirkan nilai-nilaimu semester ini yang sangat bergantung pada saya. Oleh karena itu, saya ingin kamu mencabut pendapat tersebut.”

6)  Argumentum ad ignorantiam

Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila menyimpulkan bahwa suatu  penyataan tertentu adalah benar dikarenakan penyangkalan terhadapnya tidak dapat dibuktikan atau sebaliknya. Contohnya, ketika seseorang menyatakan “hantu itu ada” dengan dasar pernyataan “hantu itu tidak ada” tidak bisa dibuktikan. Oleh karena itu, argumentum

ad

ignorantiam  dinyatakan

sebagai berargumentasi dengan dasar

ketidaktahuan. Dalam bentuk yang lebih umum, argumentum ad ignorantiam bisa berarti ketika seseorang membenarkan sebuah keputusan yang salah hanya dengan alasan ia tidak tahu. Contoh: 82



“Saya menyuruh dia sebagai rekanan meskipun dia belum memenuhi syarat karena saya tidak tahu bahwa dia tak memenuhi syarat saat itu. Jadi, saya tak bisa dipersalahkan dalam kasus ini. Saya tidak tahu.”

7)  Ignoratio elenchi

Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini merujuk pada sebuah loncatan sembarangan dari suatu premis ke kesimpulan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan premis tersebut. Oleh karena itu, ignoratio elenchi dapat disebut ‘non sequitur’ dalam pengertian kesimpulan tidak mengikuti premis. Dengan kata lain, hubungan antara premis dan kesimpulan bersifat semu. Dalam konteks ini, ignoratio elenchi terjadi dalam kehidupan sehari-hari dikarenakan oleh prasangka dan perasaan subjektif. Contoh: 

“Andi lahir di bawah bintang Libra. Oleh karena itu, dia cocok jadi hakim.”



“Orang itu ramah pada orang-orang. Pasti dia tidak pernah korupsi.”



“Saya ditabrak ojek sore ini. Pasti karena saya melihat kucing hitam melintas tadi pagi.”



“Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau.”



Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu dilahirkan orang tuanya.”

8)  Petitio Principii

Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi karena menjadikan kesimpulan sebagai premis dan sebaliknya. Dengan ucap lain, premis yang digunakan secara substansial tidak berbeda dengan keseimpulan. Apabila,  petitio principii  berbentuk lingkaran seperti A dibuktikan B; B dibuktikan C; dan C dibuktikan oleh A disebut circulus vitiosus. Dalam konteks yang agak berbeda, petitio principii  juga dapat muncul

dalam

argumentasi

yang

menggunakan

premis

yang

masih

harus

dibuktikan

kebenarannya. Contoh: 

“Petugas hukum dapat disogok karena penghasilannya rendah. Penghasilan hakim rendah karena ekonomi buruk. Ekonomi buruk karena hukum tidak berfungsi. Hukum tidak berfungsi karena petugas hukum dapat disogok.”

83



“Yafiz adalah orang yang jujur. Itu terbukti dari ucapan-ucapannya sendiri kemarin.”

9) Kekeliruan Komposisi ( Fallacy of Composition)

Kekeliruan

berpikir

nonformal

relevansi

ini

terjadi

bila

argumentasi

yang

memperlakukan kebenaran partikular juga pasti berlaku pada kebenaran keseluruhannya. Dengan kata lain, kekeliruan komposisi ini dikarenakan menetapkan sifat pada bagian untuk merujuk pada sifat pada keseluruhan. Contoh: 

“Mahasiswa UI ramah-ramah. Pastilah orang Indonesia ramah-ramah.”



“Lelaki itu jahat padaku. Memang seperti itulah sifat para lelaki.”

b. Kekeliruan Berpikir Nonformal Bahasa 1) Kekeliruan Ekuivokasi

Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini dikarenakan argumentasi yang menggunakan term yang bermakna ganda sehingga kesimpulannya tidak jelas atau terjadinya pergantian arti dari sebuah term yang sama. Contoh: 

Bulan adalah satelit planet Bumi. Januari adalah bulan Jadi, Januari adalah satelit Bumi.

2) Kekeliruan Amfiboli

Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi karena argumentasi yang dikemukakan menggunakan susunan kata-kata yang bermakna ganda jika dilihat dari tata bahasa. Artinya, kekeliruan amfiboli terjadi apabila makna tidak jelas dikarenakan letak sebuah kata dalam konteks kalimat. Akibatnya, timbul lebih dari satu penafsiran mengenai makna mana yang dirujuk sebenarnya. Contoh: 

Anak ibu yang cantik itu berkuliah di jurusan Ilmu Filsafat

Kalimat di atas mengandung ambiguitas atau bermakna ganda. Hal ini terjadi karena keterangan “yang cantik” ditujukan untuk siapa tidaklah jelas. Dalam konteks kalimat itu, bisa saja yang  berkuliah adalah sang anak atau ibunya.

84

3) Kekeliruan Aksentuasi

Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi dalam pengucapan kata-kata tertentu dalam argumentasi sehingga menimbulkan makna yang berbeda pula. Ketidakwaspadaan dalam  penekanan ucapan dapat menimbulkan kekeliruan berpikir. Berikut contohnya: 

Semua apel adalah buah. Apel adalah upacara. Jadi, beberapa upacara adalah buah.

4) Kekeliruan Metaforis

Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi dikarenakan suatu argumentasi menggunakan makna kiasan yang disamakan dengan arti sebenarnya. Oleh karena itu, kekeliruan metaforis terjadi akibat mencampuradukan makna kiasan dengan arti sebenarnya. Dalam konteks tertentu, kekeliruan metaforis juga bisa terjadi karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar. Contoh: 

Kalau kita kehilangan pemimpin, kita seperti kehilangan kepala. Tanpa kepala tubuh tidak berguna sama sekali. Oleh karena itu, kita juga tidak berguna tanpa  pemimpin.



Dalam diri manusia ada hati yang bisa membedakan kebaikan dan kejahatan. Oleh karena itu, jika hatinya sakit, perlu untuk diobati. Organ hati sangat penting dijaga kesehatannya.

85

BAB 4 ETIKA

Seperti telah diuraikan pada Bab 2, Etika merupakan bagian

dari filsafat, khususnya pada

wilayah Aksiologi. Etika mengajak orang untuk mempertimbangkan dan memilih perilakunya sesuai dengan prinsip (putusan) moral atau prinsip kebajikan atau prinsip kebaikan. Untuk itulah orang diharapkan belajar dan memahami kaidah etika, seperti misalnya hati nurani, nilai moral, kebebasan dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban. Kaidah etika tersebut dapat dijadikan “petunjuk” bagi orang dalam bertindak baik dalam kehidupan keseharian maupun dunia akademik. Khusus untuk bagian ini, akan diuraikan tentang beberapa istilah dalam kajian etika,  pengertian tentang etika, kaidah dalam etika, teori dalam etika, serta pentingnya etika dalam dunia kehidupan manusia dan dunia akademik.

4.1 Beberapa Istilah dalam Etika

Etika tampaknya bukan istilah yang asing dalam kehidupan keseharian. Namun, pemahaman atasnya seringkali terbilang kabur atau kurang jelas. Mengapa? Banyaknya istilah yang terkait dengan etika menimbulkan ketidakjelasan bagi banyak pihak/orang yang akan mempelajari atau menerapkannya dalam berbagai tujuan. Istilah yang sering dijumpai seperti misalnya etiket, moral, norma, dan kode etik sering disamakan dengan etika. Etika kadang dianggap serupa dengan etiket. Moral pun turut dinilai sebagai etika. Bahkan, istilah kode etik yang banyak digaungkan para anggota dewan dan pekerja di lembaga tertentu banyak menyamakannya dengan etika. Begitupun dengan nilai dan norma yang masih dianggap sama pengertiannya dengan etika. Agar mendapatkan penjelasan yang benar, akan diuraikan terlebih dahulu tentang istilah tersebut sebelum dipahami tentang pengertian etika. Pertama, etiket merupakan serapan dari bahasa Perancis, etiquette, yaitu ketentuan yang mengatur sikap sopan dan santun. Aturan itu disepakati sekelompok masyarakat, dibuat untuk mengatur tingkah laku individu dalam relasi dengan sesamanya dalam kehidupan keseharian. Dalam pengertian lain, etiket merupakan seperangkat aturan yang menunjukkan perilaku yang disepakati masyarakat dalam konteks sosial. Adanya sikap seseorang terhadap yang ia lihat dan rasakan

dalam situasi apapun mampu menunjukkan sikap yang baik. Contoh adalah etiket

 pada table manner , yaitu tata cara makan dan minum saat perjamuan. Orang harus dapat 86

menunjukkan kesantunan pada saat menyantap makanan dalam sebuah perjamuan kenegaraan dan datang dengan memakai busana yang tepat (jas, baju nasional). Sikap duduk yang baik, ketika seseorang berbicara di depan pimpinan perusahaan (tempat ia bekerja). Begitu juga dengan ketentuan itu dilakukan dalam mulai dari menulis status di sosial media seperti twitter,  facebook, atau saat melansir foto di instagram, surel (e-mail) diperlukan sikap yang baik, santun

dalam menuliskan pandangannyadi media sosial. Kedua, kata moral sering disamakan maknanya dengan makna kata etika. Moral memiliki arti sebagai cara seseorang dalam bertindak, memiliki adat, dan kebiasaan, dan sering dipahami sebagai nasihat, serta wejangan yang bersumber pada adat istiadat masyarakat tertentu atau teks suci agama. Moral lebih menunjukkan sifat yang aplikatif pada tindakan manusia tentang “yang  baik” atau “yang buruk”. Ani dianggap memiliki perbuatan baik karena ia merawat neneknya yang sakit. Sebaliknya, seseorang dianggap memiliki tindakan buruk karena senang mencuri uang temannya. Apabila orang tidak memiliki atau bertentangan dengan sikap baik, sering dikatakan orang itu immoral (bukan amoral sebab amoral diartikan sebagai sesuatu yang tidak  berhubungan dengan konteks moral). Berikutnya pengertian tentang norma. Kata norma berasal dari bahasa Latin, yaitu norma yang artinya kaidah atau petunjuk bagaimana orang berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat.  Norma atau norms merupakan arahan (guidelines) atau panduan bertindak yang disepakati oleh komunitas tertentu. Norma tidak bersifat universal, melainkan bersifat partikular (bersifat khusus). Sebagai contoh, Universitas Indonesia memiliki Norma Akademik Penyelenggaraan Pendidikan Akademik atau Kalender Akademik Universitas Indonesia tahun 2016/2017. Oleh karena itu, sivitas akademik UI harus patuh dan menaati panduan akademik tersebut agar kegiatan belajar dan mengajar berjalan secara tertib, teratur sesuai norma atau panduan tersebut. Hal ini berarti, norma dapat bergantung pada konteks waktu, sejarah, tradisi, kebudayaan, atau wilayah geografis dari komunitas tertentu. Norma memberi panduan bagaimana individu  bertindak, yaitu apa yang harus dilakukan dan tidak . Bagaimana dengan kode etik? Kode etik atau code of conduct  (CoC ) merupakan  pedoman menjaga prinsip profesionalitas dalam bekerja. Artinya, kode etik itu tidak hanya menjadi acuan dalam mengerjakan tugas sesuai standar yang ditetapkan, tetapi turut mengatur sikap saat berelasi dengan sesama pekerja juga pihak lain yang terkait. Pengertian kode etik sebenarnya ke komunitas profesional tertentu, misalnya saja lembaga, instansi pemerintah, 87

 perusahaan, universitas, sekolah, dan tempat lain yang memperkerjakan para tenaga ahli dan  profesional. Seseorang yang dianggap profesional apabila memiliki keahlian atau keterampilan tertentu sesuai bidang yang digelutinya melalui pendidikan tinggi. Misalnya, seorang jurnalis yang bekerja di sebuah perusahaan sosial media akan terikat oleh kode etik jurnalis. Kode etik itu mengharuskan para pewarta berita untuk independen, berimbang, dan memiliki itikad baik dalam menuliskan berita. Seorang jurnalis harus menerapkan sikap profesional dalam tugas  jurnalistiknya. Sikap profesional itu di antaranya (1) menunjukan identitas ke narasumber; (2) menghormati hak privasi; (3) tidak menyuap; (3) menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; (4) tidak merekayasa berita atau tidak melakukan plagiasi; dan (5) menghormati  pengalaman traumatik narasumber. Perlu dipahami, kode etik tidak berlaku umum atau universal, tetapi bergantung pada  jenis profesi dan bidang pekerjaan. Ada beragam kode etik. Kode etik seorang jurnalis akan  berbeda dengan kode etik seorang dokter atau seorang dosen. Kode etik tersebut harus dipatuhi dan ditaati oleh para pelakunya. Contohnya, kode etik dosen Universitas Indonesia terkait  profesionalisme, di antaranya, jujur, disiplin, objektif, tidak melakukan plagiasi, dan adil saat menjaga hubungan profesional dengan kolega. Sementara itu, kode etik dosen yang terkait dengan mahasiswa adalah menghargai mahasiswa secara personal dan mitra intelektual (Pedoman Mutu Akademik Universitas Indonesia, 2007). Pelanggaran terhadap kode etik akan melahirkan sanksi dari pihak lembaga atau instansi tempat bersangkutan, biasanya melalui sidang dan putusan dari Dewan Kehormatan (DK) lembaga.

4.2 Pengertian Etika

Etika sebagai salah satu cabang filsafat (aksiologi) memfokuskan pada nilai (value) dan moral manusia yang berkenaan dengan tindakan manusia. Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’  yang memiliki banyak arti, seperti ahlak, watak, dan adat kebiasaan. Etika dianggap sebagai ilmu mengenai moralitas (science of morality). Sebagai bagian dari filsafat, etika hadir dengan mengajukan pertanyaan mengenai moralitas. Pertanyaan itu di antaranya, “Bagaimana seharusnya seseorang menjalani kehidupannya?”; “Tindakan mana yang baik dan  buruk dalam situasi dan kondisi tertentu?”; “Bagaimana seseorang dapat memahami suatu tindakan itu baik dan buruk?”; “Apa yang dimaksud dengan kebaikan?”; “Mengapa seseorang 88

harus berlaku baik?” Pertanyaan semacam itu berusaha dijawab dengan sejumlah pemikiran dalam etika. Singkatnya, etika merupakan bagian dari penyelidikan filsafat  (philosophical inquiry), yaitu kapasitas untuk berpikir kritis, radikal, atau mendalam, dan analitis mengenai

 putusan moral dan nilai dari tindakan individu. Terkait dengan etika, ada kata lain, yaitu moral yang berasal dari bahasa Latin “mos” yang artinya kebiasaan atau ahlak. Kedua kata tersebut memiliki persamaan arti, tetapi juga memiliki sedikit perbedaan. Lazimnya, etika dalam konteks akademik digunakan sebagai salah satu cara untuk melakukan analisis dalam tindakan atau perilaku manusia dengan mendasarkan  pada konsep dan teori-teori etika. Hal ini telah dipelopori oleh filsuf Yunani bernama Aristoteles (384-322 SM) yang telah menulis prinsip keutamaan (virtue) setiap manusia dan prinsip hidup yang baik dalam bukunya Nicomachean Ethics. Sementara itu, moral lebih menitikberatkan pada pandangan baik atau buruk atas perilaku seseorang atau masyarakat. Pandangan tersebut berasal dari kebiasaan suatu masyarakat atas dasar latar belakang adat istiadat, pandangan hidup, atau prinsip lainnya. Untuk itu, apabila orang akan berbicara dalam konteks akademik, digunakan Etika atau Filsafat Moral. Sebagai contoh, ada sebuah buku yang berjudul  Etika Jawa  karya Magnis Suseno. Buku tersebut merefleksikan kehidupan dan perilaku masyarakat Jawa dari perspektif etika. Pembahasan mengenai etika sendiri sebenarnya dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu Etika Deskriptif, Etika Normatif, Metaetika, dan Etika Terapan (Bertens, 2004: 15—26, 263). Etika Deskriptif adalah adalah kajian etika yang menggambarkan perilaku dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, atau tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Artinya, etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada masyarakat dengan kebudayaan tertentu. Sebagai contoh, masyarakat Jawa mengajarkan tatakrama terhadap orang yang lebih tua dengan menghormatinya, bahkan  berbicara terhadap orang yang lebih tua harus memakai bahasa Jawa yang sopan dan halus (krama inggil). Etika normatif merupakan etika yang mengkaji tentang apa yang harus dirumuskan secara rasional dengan menggunakan prinsip etis. Manusia harus bertanggungjawab atas  perbuatan yang dilakukannya. Di dalam etika normatif ini terdapat penilaian atas norma atau  prinsip etis tersebut. Penilaian tentang prinsip atau norma itu sangat menentukan sikap manusia tentang perilaku yang dianggap baik atau perilaku yang dianggap buruk. Oleh karena itu, pada 89

etika normatif akan muncul penjelasan yang berisi teori mengenai justifikasi atau pembenaran dari suatu putusan moral. Umumnya, teori dalam etika normatif akan menjelaskan suatu putusan moral itu berlandaskan pada kewajiban yang harus dipatuhi atau konsekuensi dari suatu tindakan. Metematika adalah kajian etika yang membahas ucapan atau kaidah bahasa yang  berlandaskan aspek moralitas, terutama yang berkaitan dengan bahasa etis (bahasa yang digunakan dalam bidang moral).

Kebahasaan seseorang dapat menimbulkan penilaian etis

terhadap ucapan mengenai “yang baik” dan “yang buruk”. Contoh: Semua orang tua wajib dihormati Bapak Amat adalah orang tua Jadi Bapak Amat wajib dihormati Contoh lainnya, tayangan iklan di televisi swasta tentang obat-obatan X sering menyesatkan karena banyaknya slogan yang menganjurkan orang untuk membeli dan minum obat X dengan khasiat akan menyembuhkan semua penyakit. Slogan tersebut menjadi berlebihan dan menuai kritik banyak orang. Pihak pabrik obat memberikan ucapan etis yang berbunyi, “Jika sakit berlanjut hubungi dokter” dalam tayangan iklan berikutnya. Ucpan etis tersebut dibuat sebagai jawaban atas kritik orang terhadap iklan obat X. Wilayah yang terakhir adalah etika terapan (applied ethics). Etika terapan muncul sekitar tahun 60—70-an di Amerika dan Eropa ketika kajian etika yang telah ada kurang memberikan  jawaban atau penyelesaian atas fenomena atau isu-isu, seperti masalah di bidang medis (aborsi), hak bagi warga hitam di Amerika, korban perang Vietnam, hak perempuan, gender, hukuman mati, isu lingkungan, dan sebagainya. Isu yang kontroversial bahkan dilematis memerlukan “alat  bantu” etika yang bersifat aplikatif, yaitu etika terapan. Mengapa? Karena etika terapan akan  berhadapan dengan kasus yang harus dicermati secara kritis, rasional, dan etis dalam menganalisisnya. Selain itu etika terapan memiliki sifat praktis, yaitu memperlihatkan sisi kegunaan yang bersumber pada teori dan norma etika. Di sisi lain, etika terapan akan bekerja sama dengan berbagai bidang keilmuan (kedokteran, hukum, budaya, komunikasi,

dan

sebagainya) dalam menganalisis sebuah kasus. Kajian etika terapan meliputi dua wilayah besar, yaitu kajian yang terkait dengan keilmuan sekaligus profesinya, misalnya etika kedokteran, etika  bisnis, etika keperawatan, dan kajian yang berkaitan dengan suatu problem atau masalah, seperti misalnya etika lingkungan, etika nuklir, etika multikulturalisme, etika feminisme. 90

4.3 Kaidah dalam Etika

Kaidah dalam etika berupa hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, hak dan kewajiban, nilai dan norma moral. Kaidah ini merupakan unsur hakiki yang dimiliki manusia dan menjadi sangat  penting ketika manusia akan melakukan berbagai tindakan sesuai tujuan dan keinginannya. Melalui kesadaranya, manusia dapat mempertimbangkan berbagai kaidah dalam etika tersebut. Wujudnya ada dalam tindakan atau berperilaku dengan mempertimbangkan agar tindakannya itu dianggap baik.

4.3.1 Hati Nurani

Hati nurani atau suara hati terkait erat dengan kesadaran manusia. Hanya manusialah yang memiliki suara hati atau hati nurani. Peran hati nurani dalam diri manusia adalah keinginan manusia untuk mempertimbangkan tindakan kita agar tindakan itu di mata orang lain dan diri sendiri dianggap baik. Contoh: Saya berniat membeli laptop untuk keperluan studi. Untuk itu, saya rela menabung dari uang saku pemberian ayah. Setelah cukup, saya berniat pergi ke toko komputer untuk membeli laptop. Akan tetapi, suasana menjadi berubah ketika ayah mengatakan agar saya menunda  pembelian benda itu, karena ada kebutuhan yang lebih mendesak. Uang tabungan saya akan dipakai untuk berobat ibu yang sedang sakit. Akhirnya, saya merelakan uang tabungan itu untuk membeli obat ibu.

Contoh tersebut menunjukan bahwa “saya” telah mempertimbangkan dan menentukan  putusan atas dasar hati nurani dalam melakukan tindakan dengan merelakan uang tabungan demi kesembuhan ibunya. Orang akan menilai bahwa perbuatan itu dianggap baik karena sesuai kaidah etika.

4.3.2 Kebebasan dan Tanggung Jawab

Kebebasan dan tanggung jawab merupakan kaidah dalam etika. Untuk menjelaskannya akan dilihat terlebih dahulu mengenai kebebasan, kemudian mengenai tanggung jawab. Kebebasan adalah salah satu unsur hakiki yang dimiliki manusia. Selama ia masih hidup, kebebasan akan melekat dan menjadi kesatuan pada dirinya. Semua orang berhak atas kebebasannya. Kebebasan itu juga menjadi salah satu faktor bagaimana manusia itu bertindak sesuai dengan keinginannya. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan, apakah semua orang dapat menggunakan kebebasan itu sekehendak hati tanpa ada batasannya atau bertindak sewenang-wenang? Pertanyaan ini harus dijawab secara jernih. Sebagaimana disadari, manusia adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk 91

sosial, seseorang akan berada dan bersama orang lain. Ia menjadi bagian dari suatu kelompok, komunitas, dan masyarakat tertentu. Ia akan berdialog, berdiskusi, dan saling mendengarkan satu sama lain ketika terlibat pembicaraan tertentu. Bahkan, ia belajar dari orang lain tentang apapun. Ia harus memahami bahwa orang lain pun memiliki kebebasan. Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki seseorang bukanlah sebuah kesewenangan, melainkan kebebasan yang yang secara hakiki terbatasi oleh kebebasan anggota masyarakat lainnya. Ia harus menyadari hidup dengan orang lain yang juga memiliki kebebasan pula. Melalui pembatasan-pembatasan itu, seseorang memiliki keterbatasan dalam gerak geriknya. Ia dibatasi atau dideterminasi oleh berbagai hal, seperti situasi, peristiwa, ruang, dan waktu tertentu atau aturan (norma) tertentu. Sebagai contoh, seorang mahasiswa boleh saja mengikuti  perkuliahan dengan sekehendak hati atau sering tidak masuk kuliah atas nama kebebasan, tetapi  peraturan di fakultasnya mengatakan bahwa kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan sekurangkurangnya 80%. Mahasiswa tersebut berbenturan dengan determinasi (pembatasan) peraturan kuliah. Determinasi tersebut sebenarnya memberi ruang bagi seseorang untuk bersikap atau memiliki rasa tanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Melalui kesadarannya seseorang dapat menentukan sikap tanggungjawabnya dengan tepat dan tanpa merugikan orang lain. Kebebasan memiliki kaitan erat dengan tanggung jawab. Pertama, keputusan atau tindakan yang diambil harus dipertanggungjawabkan oleh diri sendiri, bukan oleh orang lain. Seseorang tidak diperkenankan melempar tanggung jawab kepada orang lain atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Kedua, tidak setiap putusan dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas sesuatu yang dilakukan. Mengapa? Bertanggung jawab haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan tugasnya (bekerja sebagai karyawan dalam sebuah  perusahaan tertentu, atau mahasiswa meminjam buku pada temannya dan sebagainya ) dan kewajibannya. Oleh karena itu, seseorang haruslah memiliki sikap terhadap apa yang telah dilakukannya. Sebagai contoh, mahasiswa harus memiliki kewajiban untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya. Sebenarnya rasa tanggung jawab seseorang bersumber pada hati nurani seseorang untuk berniat melakukan tindakan yang dianggapnya baik.

Dengan demikian,

kebebasan dan tanggung jawab merupakan dua komponen manusia yang sangat hakiki, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena dua komponen tersebut menjadi salah satu faktor manusia untuk berperilaku atau memiliki tindakan yan dianggap baik.

92

4.3.3 Hak dan Kewajiban

Hak merupakan salah satu elemen hakiki yang dimiliki manusia. Dengan hak yang dimilikinya, orang dapat menuntut agar orang lain memenuhi dan menghormatinya. Namun, apa sebenarnya hak itu? Pada dasarnya, hak merupakan klaim yang dibuat oleh seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain mengenai sesuatu. Sebagai contoh, hak dapat berupa hak atas tanah warisan, hak atas tanah, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas pendidikan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang menuntut kepada sebuah rumah sakit atas pelayanan kesehatan yang dianggap merugikannya karena kartu kesehatannya ditolak oleh rumah sakit tersebut. Di sisi lain, ada satu elemen yang sangat erat kaitannya dengan hak, yaitu kewajiban; salah satu elemen hakiki yang dimiliki manusia. Saat orang meminta hak atas sesuatu, selalu ada kewajiban yang menyertainya. Sebagai contoh, salah satu hak mahasiswa UI adalah mendapat kesempatan belajar di fakultas tertentu hingga menyelesaikan studinya. Namun, selama proses  belajar itu ia harus menyelesaikan kewajiban sebagai mahasiswa UI, misalnya membayar biaya studi tepat waktu. Contoh lain, seseorang dapat memiliki tanah dan membangun rumah di atas tanah tersebut. Ia berhak atas tanah dan rumah tersebut yang dimilikinya. Akan tetapi, ia mempunyai kewajiban tertentu pula, yaitu harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada pemerintah dengan jumlah tertentu dan sesuai batas waktu pembayaran. Isi ulang pulsa adalah salah satu bentuk kewajiban seorang pengguna telepon selular. Telepon genggamnya menjadi tidak aktif/tidak berfungsi jika ia belum membeli pulsa. Bermacam hak dapat memperjelas tentang hak yang berkaitan dengan perspektif etika. Untuk itu akan dijelaskan jenis-jenis hak seperti hak legal dan hak moral, hak khusus dan hak umum, hak individual dan hak sosial, serta hak positif dan hak negatif (Bertens, 2004 :177—  193).

a. Hak Legal dan Hak Moral

Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam bentuk tertentu dan berfungsi dalam sistem hukum. Misalnya, undang-undang, peraturan, dokumen, dan sebagainya. Jika negara, misalnya, mengeluarkan peraturan bahwa para veteran perang memperoleh tunjangan setiap  bulannya, maka setiap veteran yang memenuhi syarat yang telah ditentukan berhak mendapat tunjangan tersebut. 93

Hak moral adalah hak yang didasarkan atas peraturan moral atau berada pada sistem moral. Biasanya hak moral akan muncul dalam suatu interaksi antarindividu atau antarmasyarakat yang bersifat lebih personal. Contoh: Bapak X memiliki karyawan baik perempuan dan laki-laki di perusahaannya, namun tak ada aturan yang melarang bahwa karyawan perempuan harus digaji sama dengan karyawan laki-laki. Untuk itu, bapak X akan membayar gaji karyawan perempuan lebih rendah dibanding karyawan laki-laki. Dari sisi hak moral, maka bapak X dianggap melanggar hak moral, karena ia tidak mempertimbangkan bahwa beban kerja karyawan laki-laki dan perempuan sama. Sebenarnya ia telah bersikap tidak adil pada karyawan perempuan.

Contoh lain: Dua orang sahabat mendapatkan sebuah proyek yang jumlah nominalnya cukup besar. Atas dasar kesepakatan awal, pembagian keuntungan dibagi rata. Saat proyek telah usai, keduanya merasa  puas atas bagi hasil tersebut. Hal ini berarti, melalui “kehendak baik”, mereka telah melakukan tindakan yang sesuai dengan hak moral tanpa merugikan satu dengan lainnya.

b. Hak Khusus dan Hak Umum

Hak khusus akan muncul dalam suatu relasi khusus antarindvidu dan atas dasar fungsi khusus. Jadi hak ini bersifat individual, hanya dimiliki oleh satu atau beberapa orang. Contoh: Markisah meminjam uang pada kawannya Tod sebesar Rp2.000.000,00 dengan janji akan dikembalikan dalam waktu 4 bulan. Ia akan membayar setiap bulan Rp500.000,00. Dalam hal ini, Markisah mendapat hak yang tidak dimiliki oleh orang lain (mendapat pinjaman uang).

Hak umum adalah hak yang dimiliki setiap manusia bukan karena hubungan atau fungsi tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia (human being). Hak ini dimiliki oleh semua orang tanpa kecuali. Hak umum ini lazim dikenal sebagai human right   atau “Hak Asasi Manusia” (HAM).

Sebagai contoh, hak mendapatkan hidup yang layak, hak mendapatkan

 pendidikan yang baik, hak mendapatkan perlindungan dari ancaman perang. Dalam tingkat internasional, ada Komisi Hak Asasi Manusia di bawah payung PBB, dikenal sebagai United  Nations

on Human Right Council, salah satu tugasnya menangani perlindungan hak asasi

manusia bagi negara–negara anggota PBB. Di Indonesia ada beberapa lembaga yang menangani kasus pelanggaran HAM, misalnya LBH (Lembaga Bantuan Hukum),

Kepolisian, Komnas

HAM, Komnas Anak.

c. Hak Positif dan Hak Negatif

Hak Positif adalah setiap individu (dibaca saya) berhak atas tindakan orang lain untuk berbuat sesuatu bagi saya (individu). Contoh, seorang anak kecil yang jatuh dari tangga kemudian

94

menangis. Ia berhak untuk diselamatkan dan orang lain akan membantu anak itu apabila ada seseorang yang menyaksikan perisiwa itu. Semntara itu, hak negatif adalah hak yang dimiliki seseorang karena kebebasannya dan orang lain tidak dapat menghalangi kebebasan itu. Misalnya, hak untuk mendapatkan informasi atau hak untuk menulis di surat kabar. Seseorang (atau saya) memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber (media cetak, media teknologi informasi) dan orang lain (atau instansi lain) tidak dapat mencegah ketika saya mendapat sumber informasi tersebut.

d. Hak Individual dan Hak Sosial

Hak individual adalah hak yang dimiliki individu terhadap negara. Untuk itu, negara tidak boleh melarang atau menghindari atau mengganggu individu dalam mewujudkan hak-hak ini, seperti hak mengikuti hati nurani atau suara hati, hak beragama, atau hak mengemukakan pendapat. Individu bebas untuk mengikuti hati nuraninya atau hak-hak lainnya. Yang harus diperhatikan dalam hak individual adalah jika terjadi kebebasan misalnya pada hak berbicara. Seseorang dapat berbicara “berlebihan” dengan cara memaki dan menyakiti hati orang banyak, karena kata-kata yang diucapkannya tidak pada tempatnya. Tentu saja hal ini tidak dibenarkan dalam kaidah moral. Bagaimana dengan hak sosial? Hak sosial adalah hak yang dimiliki individu sebagai bagian dari anggota masyarakat bersama dengan anggota masyarakat lainnya. Contohnya adalah hak atas pelayanan kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan. Semua anak Indonesia wajib mendapatkan pendidikan dasar selama sembilan tahun.

4.3.4 Nilai dan Norma Moral

 Nilai moral memiliki bobot moral, artinya apa yang dilakukan manusia atau tindakannya dapat menunjukkan apakah tindakan itu dianggap baik atau tidak. Ini berarti nilai moral akan berkaitan dengan nilai-nilai lainnya yang dimiliki manusia, seperti nilai tanggung jawab, kebebasan, kewajiban, dan sebagainya . Tingkah laku seseorang dapat menunjukkan bagaimana nilai moral itu berperan atau “bobot” moralnya pada orang itu sendiri. Semakin orang itu memiliki kehendak  baik, ia akan menunjukkan perilaku (tindakan) yang baik. Dengan demikian, tolok ukur “bobot” moral itu berada pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, nilai moral seseorang akan terkait dengan hati nuraninya, tanggung jawabnya, dan kewajibannya ketika ia memiliki tujuan tertentu dan diwujudkan dengan tindakan tertentu. Contoh: 95

Seorang mahasiswa menemukan dompet yang berisi sejumlah uang, KTP, kartu ATM di kelas. Perkuliahan belum dimulai, kelas masih kosong. Mahasiswa tersebut mulai berpikir dan memiliki kehendak baik. Ia berkeinginan mengembalikan dompet itu pada si pemilik. Untuk itu, ia membuka dompet tersebut dan membaca nama pada KTP itu, kemudian ia mengembalikan dompet tersebut pada pemiliknya. Tindakan mahasiswa itu dianggap memiliki nilai moral baik yang diwujudkan dengan mengembalikan dompet kepada  pemiliknya.  Norma moral menyangkut perilaku atau tindakan seseorang, baik atau tidak dari sudut etis.  Norma moral dianggap sebagai norma tertinggi karena norma itu menilai norma-norma lain yang menyertai tindakan seseorang. Sebagai contoh, seseorang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, masyarakat menilai dari sisi norma bahasa itu sudah baik. Tetapi ketika ia menggunakan bahasa Indonesia melalui ucapan-ucapannya menfitnah orang lain, masyarakat akan menilai bahwa orang itu tidak etis, ia tidak memiliki kaidah norma moral.

4.4 Teori Etika

Ada beberapa teori etika yang dapat dipelajari dalam buku ini. Teori-teori itu adalah (1) Hedonisme (2) Eudemonisme (3) Teori Utilitarisme, dan (4) Teori Deontologi. Tujuan dipaparkannya berbagai teori tersebut agar para pembaca dapat memahami dan menerapkannya  pada berbagai kasus yang terkait dengan kehidupan manusia dalam perspektif etika.

1. Hedonisme

Hedonisme adalah pandangan klasik tentang ajaran moral yang dicetuskan pertama kali oleh Epikuros (341-270 sM), seorang filsuf Yunani. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani hedonismos dan dari akar kata hedone yang artinya kesenangan (kenikmatan duniawi). Menurut

 pandangan Epikuros, hedonisme merupakan kesenangan yag harus dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Seseorang berhak mencari kesenangan atas dasar tujuan hidupnya. Oleh karena itu, menurut Epikuros, tindakan manusia dalam mencari kesenangan dianggapnya sebagai sifat yang hakiki (kodratiah) dari manusia. Namun dalam perkembangannya, hedonisme mendapat  banyak kritik, karena argumen hedonisme tidak didasari atas perilaku yang bertanggung jawab. Seseorang memiliki kesenangan/kenikmatan sebaiknya memperhatikan ukuran atau norma yang harus ditaatinya, baik norma yang berasal dari dirinya atau norma di sekitarnya. Memiliki kesenangan (kenikmatan) itu baik. Akan tetapi, apakah setiap hari seorang mahasiswa menghabiskan waktu sore hingga malam hari menonton film di bioskop itu baik? Belum tentu, 96

karena salah satu tugas mahasiswa adalah belajar, mengerjakan tugas di rumah. Apabila waktunya

dihabiskan

hanya

untuk

menonton

film,

mahasiswa

itu

diangap

tidak

 bertanggungjawab terhadap tugas pekerjaan rumahnya atau belajar. Tugas pekerjaannya akan terlantar hanya demi kesenangan menonton film saja.

Dalam konteks sekarang, hedonisme

diartikan sebagai salah satu teori etika yang bertujuan mencari kenikmatan (kesenangan) atas dasar tujuan hidup. Dasarnya adalah pertimbangan yang rasional dan tolok ukur norma yang terkait dengan dirinya.

2. Eudemonisme

Eudemonisme adalah teori etika yang berasal dari filsuf Yunani, Aristoteles (384—322 SM). Ia mengatakan bahwa setiap kegiatan manusia selalu memiliki tujuan yang dianggapnya baik. Seringkali orang ingin mencari tujuan lain padahal ia sudah miliki tujuan. Menurut Aristoteles, ada tujuan yang dianggapnya tertinggi, yaitu eudaimonia  (kebahagiaan). Menurutnya, kebahagiaan itu seharusnya ada pada setiap manusia. Seseorang mencapai tujuan akhir apabila menjalankan tujuan hidupnya sesuai peran dan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir seorang  pianis (pemain piano) adalah bermain dengan baik pada pertunjukan musiknya. Tujuan terakhir seorang mahasiswa adalah menyelesaikan studi dengan baik dan tepat waktu. Dengan kata lain, eudemonisme adalah teori etika yang memiliki tujuan, yaitu kebahagian, disertai keutamaan intelektual (berlandaskan rasional) dan keutamaan moral (pilihan dan pertimbangan dalam melakukan tindakan yang dianggap baik).

3. Utilitarisme

Utilitarisme adalah teori etika normatif yang mendasarkan prinsip kegunaan (the principle of utility) sebagai prinsip moral pada tindakan manusia. Yang dimaksud dengan prinsip kegunaan

adalah kegunaan yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai dan mengambil suatu keputusan apakah tindakan itu secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Menurut Jeremy Bentham (1748—1832), seorang filsuf Inggris, dikatakan tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang memiliki kegunaan tertentu. Tentunya, dalam pandangan utilitarisme, yang harus dicatat adalah suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat dari tindakan itu meliputi banyak orang tanpa membeda-bedakan mereka. Semakin banyak orang mendapatkan kebahagiaan (kesenangan) akibat tindakan moral tersebut, tindakan itu dianggap berguna. Bagi Bentham, hal 97

itu disebutnya sebagai the greatest good to the greatest number (Bertens, 2004: 248). Dari semua tindakan yang kita pilih atau lakukan atau peraturan yang kita pegang, yang dapat dibenarkan secara moral adalah tindakan atau peraturan yang dapat kita perhitungkan jika dapat memajukan untuk kepentingan banyak orang, menguntungkan, dan paling membahagiakan mereka. Sebaliknya, tindakan yang buruk adalah tindakan yang tidak menguntungkan, tidak  berfaedah, dan merugikan banyak orang. Sebagai contoh, sebuah lembaga tertentu memiliki karyawan yang berjumlah seribu (1000) orang. Pimpinan lembaga itu telah membagikan Kartu Jaminan Kesehatan (KJS) “Sehat Pol” kepada seluruh karyawannya. KJS “Sehat Pol”diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh karyawan (dari semua jenjang) untuk berobat ke Rumah Sakit “Cepat Sembuh”. Bapak BDX, salah seorang karyawan yang bertugas di bagian kebersihan, merasa bahagia karena berkat KJS itu ia mendapat perawatan intensif dari RS ‘Cepat Sembuh” ketika sakit. Begitu juga dengan karyawan lainnya. Mereka menganggap bahwa KJS “Sehat Pol” sangat berguna karena dapat dimanfaatkan oleh seluruh karywan yang membutuhkan. Contoh tersebut menunjukkan bahwa tindakan pimpinan lembaga itu telah menunjukkan dan berdampak baik berupa keuntungan dan kebahagiaan bagi seluruh karyawannya.

4. Deontologi

Secara harafiah, deontologi (dari bahasa Yunani) memiliki asal kata deon,  yang artinya kewajiban. Deontologi merupakan teori etika normatif yang berlandaskan pada kewajiban. Artinya tindakan moral seseorang akan dinilai atas dasar bagaimana seharusya ia melakukan tugas yang menjadi kewajibannya. Kewajiban seseorang harus dimaknai sebagai bagian dari tugas dan aturan yang ia jalani. Sebagai seorang dosen di Universitas Indonesia, ia harus mengajar (diartikan memiliki tugas) dan menaati tata tertib serta kode etik Dosen UI (diartikan sebagai patuh aturan/norma). Perilaku dosen tersebut dianggap memiliki tindakan moral yang dianggap baik. Ada pandangan teori deontologi yang berasal dari Immanuel Kant (1724—1804) yang  berlandaskan pada prinsip imperatif kategoris dan prinsip imperatif hipotetis (Bertens, 2004:256258). Disebut imperatif kategoris apabila kewajiban moral mengandung perintah (imperatif) yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat. Sebagai contoh, Bapak Suka Suka bekerja di sebuah  bank “XYX” sebagai teller yang harus melayani nasabah untuk menarik atau menyimpan dana 98

di bank tersebut. Tindakan Bapak Suka Suka tersebut dianggap baik karena ia bekerja sesuai kewajibannya.  Namun, bagaimana dengan imperatif hipotetis? Bagi Kant, imperatif hipotetis mengarahkan seseorang dalam melakukan tindakan harus disertai syarat atau pertimbangan tertentu. Lebih lanjut menurut Kant, “Apabila seseorang ingin mencapai tujuan, ia harus menghendaki juga sarana-sarana untuk mencapai tujuan itu”. Jika seorang mahasiswa ingin lulus dalam sebuah mata kuliah MPKT A, ia harus memiliki (semacam syarat dan sarana), misalnya tekun belajar, hadir di kelas (minimal kehadiran 80%), membaca dan paham materi MPKT A. Dengan kata lain, pandangan Kant termuat dalam pernyataan hipotetis, yaitu “Jika ………, maka ….”. Dalam pandangan Kant, tindakan yang dianggap baik adalah tindakan moral yang mewajibkan (memiliki imperatif kategoris) bukan oleh pertimbangan lain (hipotetis).

4.5 Pentingnya Etika dalam Dunia Kehidupan Manusia dan Dunia Akademik

Dalam kehidupan sekarang, manusia “dipaksa” serba cepat, serba bisa dalam melakukan  berbagai tindakan atau perilaku, berhadapan dengan kemajuan teknologi, dan banyak hal lainnya. Apakah etika diperlukan dalam kehidupannya? Pertanyaan ini harus dijawab dengan berpikir  jernih.

Sebagai manusia, ia akan hidup bersama orang lain, berhadapan dengan berbagi

 persoalan dalam kehidupannya, berhadapan dengan situasi, dan kondisi yang kadang-kadang tidak memuaskan dirinya. Hidup manusia bagaikan sebuah problem, selalu akan berhadapan dengan masalah yang dapat diatasi atau tidak dapat diatasi dengan baik. Bahkan, dalam kehidupan dunia akademik, akan berhadapan dengan berbagai persoalan, seperti kesempatan mendapatkan hibah riset bagi dosen tidak selalu berhasil, kuliah tertentu yang membuat mahasiswa menjadi “takut” karena mendengar dari seniornya bahwa “itu sulit lulusnya”. Belajar etika untuk apa? Apakah ketika belajar etika langsung membuat seseorang menjadi manusia yang baik? Belum tentu dan tidak selalu. Namun, belajar etika menyadarkan kita bahwa dalam kehidupan ini, terutama di abad Globalisasi dan Milenium, diperlukan suatu wawasan atau perspektif yang kritis dan bijaksana ketika berhadapan dengan berbagai persoalan kehidupan baik dalam keseharian maupun akademik. Etika dapat menjadi sarana untuk memperoleh orientasi kritis dan bijaksana ketika berhadapan dengan berbagai perilaku moralitas manusia yang kadangkala membingungkan. Sebagai pemikiran kritis dan sistematis, etika ingin mengarahkan suatu “ketrampilan” intelektual, yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara 99

rasional dan kritis. Lalu untuk apa orientasi kritis itu dibutuhkan? Orientasi kritis dibutuhkan untuk mengambil sikap yang wajar dan bijak dalam suasana pluralisme moral yang merupakan ciri khas zaman sekarang. Ada beberapa alasan mengapa etika (termasuk etika terapan) dibutuhkan sampai sekarang.

Pertama, keragaman pandangan moral yang berasal dari pandangan hidup, latar

 belakang budaya, kelompok, daerah, agama yang berbeda hidup berdampingan dalam suatu masyarakat dan negara. Kedua, modernisasi dan kemajuan IPTEK telah membawa perubahan  besar dalam struktur masyarakat dan berakibat munculnya bertentangan dengan pandangan pandangan moral tradisional. Ketiga, munculnya berbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup manusia dengan masing-masing ajaran/pandangannya. Alasan–alasan tersebut dapat memicu manusia untuk memikirkan dan merenungkan kembali tentang pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Selama manusia berupaya mencari  jati dirinya, eksistensi dirinya, dan berada pada situasi kehidupan tertentu, manusia memerlukan “kompas” moral, pegangan, dan orientasi kritis agar tidak terjebak, bingung, ikut-ikutan saja dalam pluralisme moral lalu terlebur dalam kehidupan yang nyata. Peran etika menjadi penting agar orang tidak mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Etika dapat membangkitkan kembali semangat hidup agar manusia menjadi baik dan bijaksana melalui eksistensi dan  profesinya. Dalam kehidupan akademik atau kehidupan ilmiah, etika menjadi sangat penting. Pokok  perhatian etika tertuju pada problem dan proses kerja keilmuan, sehingga memunculkan studi etika keilmuan. Etika Keilmuan menyoroti aspek bagaimana peran seorang mahasiswa, ilmuwan, dosen, dan peneliti terhadap kegiatan yang sedang dilakukannya (belajar, membuat skripsi, melakukan riset .dan sebagainya). Tanggung jawab mereka dipertaruhkan ketika berada dalam  proses kegiatan ilmiahnya, terutama dalam kejujuran ilmiah. Hasil tugas akhir (skripsi) atau risetnya, misalnya, dikerjakan dengan kejujuran yang total atau duplikasi riset orang lain. Pokok  perhatian lain dalam etika keilmuan adalah masalah bebas nilai. Bebas nilai adalah suatu posisi atau keadaan seorang ilmuwan (atau calon ilmuwan/mahasiswa) yang memiliki haknya berupa kebebasan dalam melakukan penelitiannya. Mereka boleh meneliti apa saja asalkan sesuai keinginannya, tujuan, dan terkait dengan bidang keilmuannya. Ketika mereka telah menyelesaikan hasil riset itu, ia berada dalam posisi bebas nilai.

100

Kebalikan dari bebas nilai adalah tidak bebas nilai. Tidak bebas nilai dalam kegiatan ilmiah (penelitian) adalah munculnya kritikan atau hambatan atau protes yang berasal dari luar (norma agama, norma hukum, norma budaya) terhadap hasil penelitian seseorang. Norma tersebut menjadi semacam “pagar” yang merintangi kebebasan seorang peneliti atas dasar dari norma tertentu, misalnya norma agama atau norma sosial. Sebagai contoh, refleksi kritis akan muncul terhadap persenjataan nuklir baru dimulai, setelah bom atom pertama kali diledakkan di Hiroshima. Lihat saja bagaimana reaksi masyarakat dunia (komunitas internasioal) berusaha mencegah dan mengecam keras program nuklir Korea Utara sejak negara itu melakukan uji coba nuklir di awal tahun 2016. (www.bbc.com).

101

KESIMPULAN

Keutamaan karakter menjadi kecenderungan yang dimiliki seseorang dengan berbagai komponen di dalamnya. Kekuatan karakter ini muncul dalam pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang yang kemudian dapat dikenali sebagai kekhasan orang tersebut. Hal ini

dapat membantu

seseorang untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkungan  pendidikan tinggi.

Pendidikan karakter merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang

dibutuhkan untuk menjawab kecenderungan perilaku negatif yang marak terjadi saat ini. Dengan adanya pendidikan karakter, usaha untuk memperkuat karakter menjadi lebih memungkinkan untuk diwujudkan. Pendidikan karakter di Indonesia dalam berbagai jenjang pendidikan telah dimulai sejak zaman dulu. Di jenjang pendidikan tinggi, pendidikan karakter mengajarkan mahasiswa mengidentifikasi tingkah laku yang tepat dalam menjalankan nilai tertentu ketika  berada dalam suasana akademik di tempat mereka belajar, terutama di Universitas Indonesia. Untuk memperkuat landasan pembinaan karakter civitas akademika, Universitas Indonesia telah menetapkan Sembilan Nilai Dasar Universitas Indonesia, yaitu kejujuran, keadilan,

keterpercayaan,

kemartabatan

dan/atau

penghormatan,

tanggungjawab

dan

akuntabilitas, kebersamaan, keterbukaan, kebebasan akademik, dan otonomi keilmuan, serta kepatuhan pada aturan, prosedur dan panduan UI serta panduan lainnya. Di sisi lain, mahasiswa juga dibekali dengan belajar berfilsafat, berkenalan dengan melihat adanya 3 wilayah besar pada studi filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, tiga wilayah tersebut menjadi dasar untuk  pengembangan beragam ilmu pengetahuan yang telah ada. Selain itu, mahasiswa juga belajar  berpikir kritis, logis, sistematis, integral melalui dialog dengan dosen, mahasiswa lainnya serta  belajar beragumen dengan tepat dan benar. Logika mengarahkan dan membantu mahasiswa untuk memiliki penalaran dengan benar, mengungkapkan pernyataan dengan tepat, sesuai kaidah atau norma bahasa yang baik. Belajar etika membuat mahasiswa sadar bahwa tindakan yang dilakukan selama ini haruslah didasari dengan tindakan moral yang baik dan bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Selain itu, refleksi moralitas atas perilaku atau tindakan manusia akan tetap ada, selama manusia masih berinteraksi dengan orang lain, masyarakat, dan berhadapan dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak dapat dibendung lagi. Saat ini kehidupan manusia dan dunia akademik membutuhkan etika ketika berada dalam problem yang mungkin 102

sulit dipecahkan. Pemikiran mengenai etika terus berlanjut dan memiliki banyak percabangan hingga saat ini. Nyaris di seluruh profesi dan disiplin keilmuan memiliki dimensi etika, misalnya saja Etika Kedokteran, Etika Jurnalistik, juga Etika Dunia Virtual (Cyberethics), Etika Lingkungan, Etika kepolisian. Percabangan pemikiran etika itu terjadi karena kemajuan teknologi dan relasi antara manusia dan makhluk hidup lain semakin kompleks. Satu hal yang dapat disadari dalam kajian etika, dunia yang dihadapi tidak bersifat netral dan bebas nilai (value  free). Segala sesuatu yang melibatkan tindakan manusia memiliki dimensi nilai yang dapat

dipertanyakan kondisi baik atau buruknya. Untuk itulah khususnya insan akademik belajar etika agar dapat menerapkannya dalam dunia akademik masing-masing dan menjadi insan akademik yang baik dan bijak serta sadar akan jati dirinya sebagai cendekia. Sebagai penutup, Bagian I “Jati Diriku sebagai Cendekia: Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika” dari Buku Ajar MPKT A menjadi dasar untuk memahami Bagian II “Jati Diriku sebagai Manusia dan Bagian dari Masyarakat”,

dan Bagian III Jati Diriku sebagai Warganegara

Indonesia yang Cinta Pancasila”. Diharapkan materi ajar Bagian I dapat menambah wawasan  pengetahuan mahasiswa dalam memperluas keingintahuan studinya serta memiliki totalitas jati diri atau eksistensi sebagai ilmuwan nantinya.

103

BAGIAN II JATI DIRIKU SEBAGAI INDIVIDU DAN BAGIAN DARI MASYARAKAT

Bagian ini mejelaskan jati diriku (manusia) sebagai individu yang memiliki otak-kecerdasan, kepribadian, dan temperamen; sebagai bagian dari masyarakat yang hidup secara berkelompok; dan sebagai makhluk berkebudayaan yang menghadapi tantangan peradaban dunia

104

BAB 1 MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU

Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian pendahuluan, mahasiswa Universitas Indonesia diharapkan kelak akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, pertama-tama mahasiswa perlu memahami terlebih dahulu siapa dirinya,  berbagai kemampunan yang dimilikinya, bagaimana lingkungan, dan orang-orang lain sehingga kelak dapat benar-benar menjalankan tugasnya sebagai manusia unggulan yang membawa  bangsa dan negaranya menuju kejayaan. Untuk memahami dirinya, manusia perlu memahami terlebih dahulu keunggulannya dibandingkan makhluk lainnya di bumi. Gazzaniga (2008), dalam bukunya Human, The Science  Behind What Makes Us Unique, mengungkapkan bahwa tubuh manusia memang terbuat dari

 bahan kimiawi yang sama dengan hewan lain penghuni bumi; manusia juga mempunyai banyak reaksi fisiologis yang sama dengan hewan. Namun, bagaimanapun manusia sangat berbeda dari hewan. Selanjutnya, ia juga dengan tegas menekankan bahwa perbedaan utama manusia dibandingkan hewan adalah pada otaknya. Otak manusia memungkinkan manusia untuk berpikir kompleks dan melakukan pemikiran tingkat tinggi (higher order thinking). Menurut MacLean (1990), otak manusia merupakan hasil evolusi paling mutakhir dari otak makhluk lainnya. Otak  pada manusia telah berkembang sehingga mencapai kemampuan otak seperti yang ada sekarang. Evolusi

yang

meningkatkan

kemampuan

ingatan,

kesadaran

diri,

menciptakan,

dan

menggunakan alat, membantu manusia melakukan introspeksi dan meningkatkan perkembangan dirinya sendiri. Berkaitan dengan fungsi otak yang membuat manusia unggul dari makhluk lainnya, pada awal bab ini dibahas konsep tiga serangkai otak dari MacLean, seorang ahli neurologi, mantan direktur  Laboratory of the Brain and Behavior  pada United States National Institute of Mental Health, yang relatif cukup mudah dipahami. Dengan memahami konsep tiga serangkai ini, diharapkan mahasiswa dapat menggunakan karunia otaknya seoptimal mungkin.

1.1 Otak dan Kecerdasan

Menurut MacLean, otak berbagai spesies mengalami evolusi panjang. Otak manusia merupakan hasil evolusi terakhir yang paling canggih. Berdasarkan penelitan yang panjang, MacLean (1990) 105

mengajukan sebuah konsep yang diberi nama Tiga Serangkai Otak (The Triune Brain). Otak  berevolusi dalam tiga periode besar yang membentuk tiga lapisan. Lapisan yang paling tua dikenal sebagai  R-complex, lapisan kedua disebut  Limbic System, dan yang terakhir  Neocortex. Setiap lapisan mempunyai karakter dan fungsi yang berbeda-beda namun saling berhubungan dan bekerja sama dalam menentukan perilaku yang akan ditampilkan oleh individu.

1.1.2 Komponen Otak Manusia a. R-complex (Otak Reptil)  R-complex terdiri atas Batang Otak dan Cerebellum. Reptilian otak

inilah yang paling dominan. Oleh karena itu, otak tersebut juga disebut sebagai Otak Reptil. Lapisan ini bertanggung jawab pada pola  perilaku bawaan yang penting untuk kelangsungan hidup diri maupun spesies. Fungsinya antara lain mengendalikan semua gerakan involunter dari jantung dan reproduksi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup makhluk maupun spesiesnya. Orang yang mengalami gagal jantung karena jantungnya tidak  berdenyut lebih dari lima menit secara medis diperkirakan akan kehilangan kesadaran dan  pernapasannya berhenti karena kekurangan asupan oksigen ke otak. Jika kondisi tersebut dibiarkan dalam waktu cukup lama, jaringan otak akan rusak. Kerusakan pada bagian otak ini  bisa berakibat fatal sehingga penetapan meninggalnya seseorang ditentukan oleh masih  berfungsinya batang otak karena batang otaklah yang memerintahkan jantung . Otak Reptil juga bertanggung jawab bagi pola perilaku khas bawaan yang penting bagi  pertahanan diri. Reaksi yang paling sering muncul untuk mempertahankan hidup adalah tempur atau kabur ( fight or flight ). Perhatikan bagaimana seekor ular saat mempersepsikan ada ancaman  bagi hidupnya. Reaksi yang biasa muncul adalah menegakkan kepala, siap untuk mematuk ( fight ) atau lari kabur ( flight ). Perilaku makan dan reproduksi yang terkait dengan kelangsungan hidup diri dan spesies juga termasuk reaksi dari Otak Reptil. Saat individu dikendalikan oleh otak reptilnya, ia pun bisa bertindak secara refleks untuk mempertahankan hidupnya tanpa memikirkan secara cermat apa yang akan dilakukannya. Hal itu dapat terjadi saat mereka berada dalam keadaan darurat, bahaya, dan terdesak.

106

b. Limbic System (Sistem Limbik)

Setelah Otak Reptil, bagian berikutnya yang berkembang dalam evolusi otak adalah Otak Paleomammalia. Otak ini terdiri atas Sistem Limbik yang terkait dengan batang otak. Bagian

otak ini berkembang pada awal masa evolusi mamalia. Oleh karena itu, MacLean menyebutnya sebagai otak mamalia. Sistem Limbik memegang peranan penting dalam emosi dan motivasi. Otak ini juga bertanggung jawab atas pemelajaran dan memori. Dua struktur yang paling penting dalam Sistem Limbik adalah Amygdala dan Hippocampus.

1) Amygdala  Amygdala  berbentuk biji almond; fungsinya membantu makhluk untuk mengenali apakah

sesuatu atau situasi yang dihadapinya itu berbahaya atau tidak, apakah sesuatu itu penting bagi kelangsungan hidup atau tidak; misalnya, apakah makanan ini boleh dimakan? Apakah orang ini tepat untuk dijadikan pasangan? Apakah situasi ini bahaya bagi kita? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Otak Reptil saling berkaitan dengan Otak Mamalia. Sebagai contoh, kerja Otak Reptil yang memerintahkan jantung sangat berkaitan dengan bagian Amygdala. Dalam keadaan rileks, sistem saraf melakukan pengendalian sehingga  jantung berdenyut sebanyak 64 – 72 kali per menit untuk lelaki dewasa dan 72 – 80 kali per menit untuk wanita dewasa. Pada saat berolahraga atau kondisi perasaan yang emosional atau tegang, jantung dapat berdenyut lebih cepat. Dalam aliran darah yang dipompa oleh jantung terdapat asupan oksigen dan nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dan otak. Sebaliknya,  Amygdala di otak yang merespon situasi “menegangkan”, “berbahaya”, atau gejala lain yang

ditangkap pancaindra akan menghasilkan zat kimia yang kemudian dibawa oleh darah ke jantung dan selanjutnya perasaan ini disalurkan ke seluruh tubuh. Akibatnya, seluruh tubuh bereaksi secara selaras terhadap perasaan “menegangkan”, “sedih”, “cemas”, “terancam”, atau lainnya. Pada manusia,  Amygdala membantu seseorang untuk memahami ekspresi orang yang dihadapinya. Kerusakan pada  bagian ini akan membuat individu tidak mampu berempati dengan orang lain. Oleh karena fungsi  Amygdala  banyak dipengaruhi oleh  persepsi,  Amygdala dapat keliru memahami apabila individu menangkap tanda-tanda secara keliru saat menerima rangsangan dari lingkungannya. Kesalahan tersebut dapat menyebabkannya 107

menampilkan perilaku yang tidak sesuai (King, 2011). Apabila  Amygdala rusak, individu akan mengalami kesulitan dalam menangkap emosi yang signifikan dari setiap peristiwa. Kondisi ini kadang-kadang disebut sebagai “buta afektif” (Goleman, 1996). Orang yang mengalami kerusakan Amygdala atau yang dicabut Amygdala-nya sulit membaca ekspresi orang lain maupun mengenali bahasa tubuh. Kesulitan ini dapat membawa akibat dalam hubungan antarmanusia, padahal kemampuan membaca ekspresi  pembicaralah yang dapat membantu kita memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pembicara: apakah ia bersungguh-sungguh, sedang bercanda, atau sedang menyindir kita. Dalam bukunya yang berjudul  Emotional Intelligence, Why it Matters More Than IQ, Daniel Goleman (1996) menceriterakan bagaimana seorang pemuda yang diangkat Amygdala-nya untuk mengendalikan kejang-kejang yang dialaminya masih mempunyai kemampuan berbicara, namun menjadi tidak tertarik sama sekali pada orang lain. Pemuda itu lebih suka memisahkan diri dari orang lain.

2) Hippocampus  Hippocampus mempunyai peran khusus dalam ingatan (Bethus, Tse,

& Morris dalam King, 2011). Walaupun ingatan tidak tersimpan dalam Sistem Limbik,  Hippocampus  berperan penting dalam mengintegrasikan berbagai rangsangan yang terkait sekaligus membantu dalam membangun ingatan jangka panjang. Selain itu,  Hippocampus dan daerah sekitarnya berperan penting dalam

membentuk

ingatan

mengenai

fakta-fakta

walaupun

hanya

mengalami sekali saja. Oleh karena itu,  Hippocampus mempunyai peran sangat penting dalam hidup, terutama dalam proses belajar. Apa yang telah dipelajari dan diingat oleh individu itulah nantinya yang akan turut memengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi segala sesuatu, sehingga merangsang Amygdala untuk memberikan signal pada individu. Bila Otak Reptil mengeluarkan perilaku refleks yang kaku dan tidak berubah dari waktu ke waktu, Otak Mamalia menghasilkan perilaku yang lebih luwes dan mampu mengintegrasikan  pesan dari dalam maupun dari luar tubuh. Oleh karena itu, perilaku yang ditampilkan dapat  beraneka ragam, bergantung pada Sistem Limbik yang berkolaborasi dengan bagian Otak Reptil atau dengan Neocortex yang canggih. 108

Neocortex

Periode terakhir evolusi otak telah menghasilkan Neocortex atau Otak Neomamalian. Neocortex adalah lapisan teratas yang mengelilingi Otak Mamalia dan hanya dimiliki oleh jenis mamalia. Reptil dan burung tidak mempunyai bagian otak ini. Walaupun  Neocortex  juga dimiliki oleh mamalia lain selain manusia, pada manusia perbandingan ukuran  Neocortex dari keseluruhan otak adalah yang terbesar. Pada manusia,  Neocortex mencakup 80% dari otak apabila dibandingkan dengan mamalia lain yang umumnya hanya mencakup 30% sampai 40% dari keseluruhan otaknya (King, 2011).

Perbandingan Neocortex Manusia dari Neocartex Hewan lainnya

Perbedaan luas  Neocortex itulah yang memengaruhi banyaknya saraf dan kompleksitas hubungan antarsaraf yang berkaitan dengan kemampuan berpikir dari makhluk-makhluk tersebut. Berbeda dengan Amygdala yang bekerja dengan sistem intuitif yang primitif,  Neocortex  bekerja dengan sistem analitis yang lebih canggih. Sebagai hasil evolusi yang paling akhir,  Neocortex mengendalikan keterampilan berpikir tingkat tinggi, nalar, pembicaraan, dan berbagai

tipe kecerdasan lainnya. Oleh karena itu, bagian ini sering disebut sebagai Otak Berpikir. Saat menjumpai masalah rumit yang perlu dipecahkan dengan pemikiran tingkat tinggi,  Neocortex-lah yang paling cocok berfungsi. Besar  Neocortex  pada manusia membuatnya

memiliki kemampuan berpikir abstrak, transenden, dan tidak terbatas pada hal-hal yang sedang dialami saat ini saja. Salah satu kelebihan dari kemampuan berpikir ini membuat manusia dapat melakukan

introspeksi

untuk

mengenali

dirinya

serta

membuat

perencanaan

untuk

mengembangkannya, sedangkan gajah misalnya, mungkin tidak pernah sadar bahwa dia adalah seekor gajah, apalagi memikirkan cara untuk menjadi gajah unggul.

109

1.1.2

Kerja Sama Tiga Serangkai Otak

Ketiga serangkai otak ini tidaklah bekerja secara terpisah. Menurut MacLean (1990), ketiganya bekerja seperti tiga komputer yang saling  berkaitan. Tentunya diharapkan Otak Reptil secara rutin bekerja otomatis menjalankan fungsinya menjaga kelangsungan hidup dan tidak lengah dalam menggerakkan jantung agar memompa darah ke seluruh tubuh atau menggerakkan sistem pencernaan untuk mengolah makanan yang dimakan. Namun, dalam menghadapi masalah pelik, diharapkan  Neocortex yang akan “memimpin” dan memikirkan cara-cara terbaik untuk memecahkan masalah tersebut. Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal, Otak Reptil berfungsi dalam membangun mekanisme penyelamatan hidup. Perilaku yang muncul akibat reaksinya adalah refleks  pertahanan diri. Pertahanan diri yang paling sering muncul dalam perilaku tanpa pikir panjang adalah tempur ( fight ) atau kabur ( flight ). Perilaku yang merupakan reaksi yang sering muncul dari Otak Reptil berupa refleks-refleks instingtif tanpa dipikirkan masak-masak atau bahkan kurang disadari. Setelah keadaan reda, individu baru menyadari betapa konyol tindakannya. Hal itu terjadi karena apa yang seharusnya dilakukan oleh Neocortex diambil alih Otak Reptil. Reaksi ini sangat membantu dalam keadaan darurat walaupun dapat pula mencelakai. Contohnya seorang ibu yang menghadapi perampok bersenjata belati yang bertubuh tegap. Dapat saja tanpa berpikir, ibu itu melawan ( fight ) perampok, padahal ia tidak membawa senjata dan  juga tidak memiliki bekal ilmu bela diri. Perilaku ibu tersebut memang dapat membantu karena dapat saja perampok itu terkejut lalu melarikan diri (dalam hal ini perampok yang menunjukkan mekanisme pertahanan “kabur” atau  flight ), namun dapat juga membahayakan dirinya karena mungkin saja perampok tidak menunjukkan mekanisme “kabur,” tetapi “tempur”. Dalam kondisi demikian, tenaga serta kemampuan bertempur perampok itu boleh jadi lebih unggul daripada kemampuan ibu tersebut. Hal yang perlu diketahui adalah  Neocortex hanya dapat betul-betul berfungsi apabila Sistem Limbik berada dalam keadaan emosi terkendali. Hal itu terjadi apabila  Amygdala menemukan situasi yang dipersepsi sebagai bahaya dan Sistem Limbik tak dapat membuat individu menjadi lebih nyaman. Dalam konteks itu, yang lebih sering berperan adalah Otak Reptil dengan refleks-refleks pertahanan diri tanpa memikirkan secara mendalam bagaimana 110

keadaan sebenarnya dan tindakan apa yang sebaiknya diambil. Apabila Sistem Limbik dapat menenangkan dan membuat individu merasa nyaman, Neocortex dapat berperan dengan segala kecanggihannya untuk memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Seperti pemegang kunci, Sistem Limbiklah yang akan menetapkan “pintu” mana yang akan dibuka: pintu ke arah Otak Reptil atau Neocortex. Sebagaimana dinyatakan MacLean, tiga serangkai otak ini bekerja seperti tiga komputer  biologis yang saling berkaitan. Dengan adanya  Neocortex, manusia diharapkan lebih banyak menggunakan kemampuan berpikir tingkat tingginya dan terhindar dari kendali otak reptilnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi Sistem Limbik untuk membuat individu nyaman dan perlu untuk menjaga agar kesalahan  Amygdala dalam menilai situasi dapat segera disadari. Caranya adalah dengan mengaktifkan Neocortex dalam menilai dan menyadarkan Sistem Limbik bahwa ada cara yang lebih tepat untuk mengendalikan keadaan. Manusia berbeda dengan spesies lainnya karena manusia tidak sepenuhnya bergerak  berdasarkan insting. Manusia mampu menunda reaksinya dengan mengambil waktu untuk memberi kesempatan bagi  Neocortex untuk berpikir dan menganalisis situasi. Penundaan tersebut membuat reaksi manusia seringkali terkesan lamban, namun dengan latihan menganalisis dan berpikir kritis, lama-kelamaan reaksi menjadi lebih cepat. Hal yang penting diketahui adalah kesadaran mengenai pentingnya menunda reaksi demi menganalisis situasi dengan lebih cermat. Beberapa cara untuk menenangkan diri adalah dengan menghirup napas  panjang beberapa kali, minum air putih, lalu mulai berpikir kritis. Semakin sering seseorang menggunakan kemampuan analisis, semakin cepat seseorang dalam menganalisis lingkungan dan situasi yang dihadapi.

1.1.3 Dua Bagian Otak

Kemampuan berpikir manusia yang jauh melebihi kemampuan hewan terutama merupakan kontribusi dari bagian luar Cerebral Cortex. Walaupun mamalia lain memilikinya, Cerebral Cortex  pada manusia dua kali lipat lebih tebal dengan fungsi dua kali lipat pula (Taylor, 2008). Cerebral cortex ini berkaitan erat dengan keutamaan karakter kebijaksanaan dan pengetahuan. Khusus mengenai kreativitas, kaitan terdekatnya adalah dengan fungsi dan kerja sama antara dua belahan 111

otak. Sudah sejak zaman Mesir dan Cina kuno, para tabib telah menyadari  bahwa terdapat dua bagian otak yang mengendalikan hemisfer tubuh secara silang. Bagian otak kanan mengendalikan hemisfer tubuh kiri. Sebaliknya,  bagian otak kiri mengendalikan hemisfer tubuh kanan. Namun, pada tahun 1960, Roger W. Sperry, seorang ahli neuropsikologi dan neurobiologi, mengajukan sebuah temuan penelitian yang menunjukkan bahwa selain mengendalikan hemisfer tubuh secara silang, otak kiri dan kanan memiliki fungsi dan karakter yang berbeda pula.

a. Belahan Otak Kiri

Belahan otak kiri sangat dihargai karena dianggap paling berperan terhadap keberhasilan. Hal itu tidak mengherankan karena memang pendidikan di sekolah banyak menuntut aktivitas yang lebih ditopang otak kiri. Otak kiri diyakini memiliki spesialisasi dalam menghadapi masalah sekuensial, analitikal, bahasa lisan, operasi aritmatika, penalaran, dan operasi rutin (Sousa, 2003). Kemampuan-kemampuan di bidang tersebut sangat ditekankan di sekolah. Individu yang  bergerak di bidang sains dianggap memiliki belahan di otak kiri yang lebih dominan. Mereka cenderung berpikir secara sistematis dan taat pada aturan, namun kadang terlalu kaku.

b. Belahan Otak Kanan

Belahan otak kanan sering dikaitkan dengan kreativitas karena sifatnya yang bebas dan terlepas dari berbagai aturan serta kebiasaan. Berbeda dengan otak kiri yang sistematis, otak kanan  bersifat heuristic; sangat bebas, “melompat-lompat” dan sangat berperan dalam menemukan “jalan” sehingga mampu membuat terobosan-terobosan baru. Otak kanan terutama berperan dalam mengahadapi masalah holistik, abstrak, bahasa tubuh, pencerahan, dan operasi baru (Sousa, 2003). Seniman seringkali dikatakan mempunyai otak kanan yang lebih dominan.

Kreativitas

Otak kanan sering dianggap berperan pada terciptanya produk kreatif, karena otak kanan memang penuh dengan gagasan baru. Namun, karena sifatnya yang bebas dan kurang taat pada aturan, sering kali gagasan hebat itu tidak sampai menghasilkan produk kreatif. Dengan demikian, dibutuhkan otak kiri yang lebih teratur untuk mewujudkannya. Oleh karena itu, 112

kreativitas dapat dikatakan merupakan hasil kerja sama kedua belah otak. Banyak orang mempunyai salah satu bagian otak yang dominan, namun ada pula yang mempunyai dua belahan yang sama kuat. Seorang yang unggul karena mempunyai kekuatan seimbang pada kedua belah otaknya akan sampai pada penemuan-penemuan besar, seperti  pelukis terkenal bernama Leonardo da Vinci. Sebagai seorang seniman, tentu saja otak kanannya sangat kuat. Namun, sebagai seorang jenius, Leonardo juga merupakan seorang ahli fisika, ahli anatomi, dan lain–lain. Tidak heran jika tokoh ini sangat unggul (eminent ). Sebaliknya, Einstein yang ilmuwan tentunya mempunyai otak kiri yang unggul. Namun, kita tahu bahwa ia adalah seorang pemain biola yang andal. Kerja sama kedua belahan otaknyalah yang membawanya pada teori relativitas yang mengagumkan. Dengan demikian, penting sekali usaha untuk mengaktifkan kedua belahan otak tersebut. Secara umum, pendidikan lebih mengutamakan otak kiri, namun akhir-akhir ini, bersamaan dengan makin majunya pengetahuan tentang otak, otak kanan mulai mendapatkan perhatian. Bagi yang otak kirinya cenderung lebih aktif, perlu diupayakan untuk mengaktifkan pula otak kanan. Kegiatan yang berkaitan dengan musik dan seni lainnya serta praktik olahraga adalah cara-cara yang asyik untuk mengembangkannya. Sebaliknya, untuk yang otak kanannya cenderung aktif, diperlukan upaya untuk meningkatkan sistematika berpikir. Berbagai latihan seperti yang biasa dilakukan dalam belajar di sekolah dapat membantu berpikir lebih sistematik .

1.1.4 Jenis-jenis Kecerdasan

Berbagai penelitian telah mengindikasikan bahwa otak meregulasi perilaku. Paul Broca, seorang ahli neorologi Prancis misalnya, menemukan bahwa pasien dengan gangguan pada bagian kiri otaknya mengalami kesulitan bicara.  Neuroscience meneruskan penelitian ini. Disiplin ilmu ini menemukan antara lain perilaku kreativitas, bermusik, matematika, dan sebagainya merupakan hasil aktivitas bagian otak tertentu. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat terjadi dan semakin baik sebagai hasil belajar. Proses belajar ini merupakan sebuah proses akibat fungsi kecerdasan (inteligence).

Mungkin akan lebih mudah jika hal tersebut dianalogikan dengan komputer. Sebagaimana diketahui, komputer terdiri atas dua komponen, yaitu perangkat keras dan  perangkat lunak. Komponen keras adalah semua benda fisik komputer, termasuk keping  prosesornya. Perangkat keras ini kemudian diisi dengan dua tingkat program (perangkat lunak). 113

Pertama, program yang disebut sebagai sistem operasi (operating system), misalnya Windows 7, Linux, atau OS X. Sistem operasi merupakan program yang berisi aturan umum. Setelah sistem operasi diisi (di-install) ke dalam komputer, kita dapat mengisinya dengan program tingkat kedua yang disebut software. Software adalah program dengan fungsi khusus, antara lain MS Office Word untuk mengetik,  Excel untuk membuat spreadsheet, Adobe Photoshop  untuk memanipulasi arsip gambar atau SPSS  untuk analisis statistik. Berdasarkan analogi tersebut, dapat dikatakan jika tubuh manusia dapat diandaikan sebagai komputer, otak adalah keping prosesor dan kecerdasan adalah sistem operasinya. Keduanya mampu “meng-install”  berbagai kemampuan yang memunculkan berbagai tingkah laku manusia, seperti menggubah drama Romeo dan Juliet, membangun Borobudur, merumuskan E = mc2, dan lain sebagainya. Dengan demikian, sistem operasi yang memungkinkan semua tingkah laku ini terjadi adalah kecerdasan.

Inteligensi dan IQ

Kecerdasan menjadi sangat populer dibicarakan sejak awal abad XX, sejak Alfred Binet dan Theodore Simon mengembangkan pengukuran kecerdasan modern pertama. Konsep kecerdasan sendiri berpangkal pada pandangan Darwin mengenai survival of the fittest . Menurut Darwin, spesies yang bertahan adalah spesies yang memiliki kemampuan adaptasi yang terbaik. Bertolak dari pemikiran tersebut, banyak penelitian diarahkan kepada kemampuan manusia beradaptasi. Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu beradaptasi dengan lebih baik. Kemampuan  beradaptasi inilah yang disebut sebagai kecerdasan. King (2011:253) dalam buku The Science of Psychology mendefinisikan kecerdasan sebagai “ All-purpose ability to do well on cognitive tasks, to solve problems, and to learn from experience.”

Kecerdasan dianggap sebagai kemampuan menggunakan kognisi guna memecahkan masalah dan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang dipelajarinya dari pengalaman. Pada awalnya pengukuran kecerdasan dilakukan untuk kepentingan merekrut tentara, kemudian kepentingan mendapatkan orang yang tepat dalam pendidikan dan perusahaan. Hasil pengukuran kecerdasan biasanya disebut sebagai  IQ (intelligence quotient ). Kemampuan yang dianggap  paling penting untuk berhasil dalam bidang-bidang tersebut adalah kemampuan analisis. Selanjutnya, pengujian kecerdasan saat itu umumnya berupa pengujian kemampuan analisis. Semula para ahli di bidang kecerdasan menganggap hanya ada satu macam kecerdasan. 114

Satu kemampuan ini bertanggung jawab atas semua keberhasilan individu. Pandangan itu umumnya beranggapan bahwa kemampuan analitis adalah kemampuan tunggal tersebut. Pandangan tersebut bertahan cukup lama. Berbagai seleksi untuk penempatan di bidang  pendidikan umumnya didasarkan pada kemampuan terhadap bidang tersebut. Seseorang dianggap pandai jika kemampuan analitisnya tinggi. Pada umumnya, pendidikan memang ditekankan pada kemampuan analitis karena siswa yang dianggap berhasil biasanya memang mereka yang memiliki kemampuan analitis tinggi. Pertanyaan yang sering kali muncul adalah mengapa banyak siswa yang unggul di sekolah setelah terjun ke dalam masyarakat tidak lagi menunjukkan keunggulannya? Sebaliknya, mereka yang tidak unggul dalam pendidikan sering kali menunjukkan keunggulan dalam masyarakat. Sternberg menjelaskan masalah tersebut dengan mengatakan bahwa kecerdasan tidak hanya satu macam. Menurut Sternberg, terdapat tiga macam inteligensi pada manusia, yaitu  Analytical Intelligence (Kecerdasan Analitis), Practical Intelligence (Kecerdasan Praktis), dan Creative Intelligence (Kecerdasan Kreatif). Kecerdasan analitis banyak dirangsang di sekolah.

Oleh karena itu, untuk berhasil di sekolah, siswa membutuhkan kecerdasan analitis. Sebaliknya, dalam kehidupan di tengah masyarakat, yang dibutuhkan adalah kecerdasan praktis. Apabila sekolah tidak mengembangkan kecerdasan jenis ini, sulit mengharapkan individu akan berhasil saat dia terjun ke dalam masyarakat. Sejak akhir abad XX, para ahli yang memusatkan perhatiannya pada masalah kecerdasan akhirnya menemukan adanya aneka ragam kecerdasan. Seorang tokoh yang teorinya sangat  populer saat ini adalah Gardner dari Harvard. Gardner mengajukan teori Multiple Intelligence (Kecerdasan Majemuk). Kecerdasan menurut Gardner (1999) adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan karya yang bernilai bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, kecerdasan tidaklah satu macam. Dalam Frame of Mind , Gardner (1983) mengajukan delapan macam kecerdasan, yakni kecerdasan (1) linguistik, (2) matematik-logikal, (3) spasial, (4) kinestetik-jasmani, (5) musical, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan (8) naturalistik.

Pada tahun 1999, dalam bukunya  Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st  Century, Gardner menegaskan bahwa naturalistik sebagai sebuah kecerdasan dapat ditambah

secara tentatif dengan dua macam kecerdasan lain, yaitu kecerdasan eksistensial dan kecerdasan spiritual. Orang dapat sukses melalui kecerdasan yang berbeda; tidak hanya kecerdasan analitis. Sebagai contoh, kita mengenal orang-orang yang sukses dalam bidang musik walaupun 115

 prestasinya di sekolah hanya  pas-pasan saja. Ada pula yang mempunyai prestasi yang luar biasa di sekolah, namun selalu canggung dalam berhadapan dengan orang lain. Dengan berpegang  pada pendapat kecerdasan majemuk, paling tidak, ada dua pilihan yang dapat ditempuh, yaitu memusatkan diri pada kecerdasan yang menjadi kekuatan kita, seperti Anggun C. Sasmi yang sejak sangat muda menetapkan untuk meninggalkan bangku sekolah dan memusatkan diri pada  pengembangan kariernya di bidang musik atau justru berusaha mengembangkan kemampuankemampuannya secara merata, termasuk kemampuan yang terlemah. Idealnya, saat seseorang masih sangat muda, saat belum terlihat kemampuannya yang paling menonjol, sebaiknya ia diberikan berbagai macam rangsangan agar semua kemampuannya dapat berkembang secara optimal sehingga dapat dikenali letak kekuatannya.

Kecerdasan Emosional Secara populer orang cerdas dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Kecerdasan itulah yang dianggap dapat menjanjikan keberhasilan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai bahwa seorang yang cerdas tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, seorang yang sangat cepat memecahkan soal matematika atau mempunyai banyak pengetahuan, belum tentu dalam hidupnya menunjukkan keberhasilan atau mungkin biasa-biasa saja. Pada kurun waktu 1970–1980-an,

gejala ini menggugah perhatian beberapa ahli, seperti Gardner, Salovey, Mayer, dan Baron (Goleman, 1996) untuk melakukan berbagai penelitian yang bertujuan menilai faktor-faktor yang ada di belakang kegagalan ini. Berdasarkan penelitian-penelitian tadi, Goleman mengajukan sebuah konsep yang segera menjadi sangat populer, yaitu konsep kecerdasan emosi atau emotional intelligence.

Goleman menyimpulkan bahwa kecerdasan atau inteligensi sebagai sebuah konsep tampaknya terlalu sempit untuk menjelaskan keberhasilan atau kesuksesan seseorang. Kesuksesan itu membutuhkan lebih daripada sekadar cerdas. Ia juga mengajukan konsep kecerdasan emosi sebagai faktor yang lebih menentukan keberhasilan daripada kecerdasan atau inteligensi. Kecerdasan emosionallah yang memungkinkan kecerdasan atau inteligensi, yang  bersifat kognitif, berfungsi secara optimal. Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan mudah mengarahkan kognisinya dalam berpikir dan memecahkan masalah. Premis Goleman mengenai kecerdasan emosional dapat diuraikan sebagai berikut. Untuk  berhasil, diperlukan kesadaran, pengendalian, dan penanganan yang efektif terhadap emosi, baik

116

emosi diri sendiri maupun emosi dari orang lain yang dihadapinya. Goleman menemukan lima domain kecerdasan emosi, yaitu memahami emosinya sendiri, mengendalikan emosi, memotivasi

diri sendiri, memahami emosi orang lain, dan menangani hubungan dengan orang lain. Mengenali perasaan sendiri apa adanya adalah unsur penting dalam kecerdasan emosional. Apabila individu tidak mampu mengenali perasaannya sendiri, hidupnya akan dikendalikan oleh perasaan itu. Sementara itu, individu yang memahami perasaannya akan mampu mengarahkan hidupnya. Banyak orang yang tidak memahami emosinya sendiri karena keliru belajar pada masa kecil. Orang tua bermaksud mengajarkan anak untuk mengendalikan emosinya (terutama mengendalikan kemarahan), namun keliru ketika menyampaikan bahwa “Anak yang baik tidak boleh marah.” Akibatnya, individu itu terbiasa menahan atau menekan kemarahannya, bahkan menyangkal perasaan marah. Apabila hal itu terjadi terus-menerus, sampai dewasa individu itu akan mengalami kesulitan dalam mengenali perasaannya. Oleh karena itu, banyak orang yang tidak sadar bahwa dia marah atau terlambat menyadari perasaan marahnya sampai kemarahannya sudah memuncak dan sulit dikendalikan, padahal marah itu alami dan yang perlu dilakukan adalah mengendalikan kemarahan dan menyalurkan kemarahan dengan cara yang lebih dapat diterima. Terapi relaksasi dalam bidang psikologi antara lain membantu individu menyadari sedini mungkin ketika dirinya mulai merasa tegang dan tidak nyaman. Mengendalikan emosi serta mengarahkan penyaluran emosi agar sesuai dan dapat diterima oleh lingkungannya merupakan kemampuan yang dibangun berdasarkan kesadaran diri. Apabila individu cepat menangkap perasaan marahnya, lebih mudah baginya untuk mengendalikan kemarahanya tersebut daripada jikalau ia sudah terlanjur sangat amat marah. Kemampuan mengendalikan emosi akan sangat membantu dalam mencegah reaksi spontan dari Otak Reptil dan memberi kesempatan bagi  Neocortex untuk memegang kendali. Setiap orang mempunyai cara tersendiri dalam mengendalikan emosinya, namun ada cara yang umum dianggap dapat membantu. Menarik napas panjang dan minum air putih dianggap dapat membantu penyediaan oksigen ke otak yang dapat meredakan hati. Beberapa cara yang sering digunakan oleh orang tua atau guru dalam membantu anak meredakan kemarahan adalah dengan menyuruhnya membilang angka secara perlahan, bahkan menyuruh anak mandi dengan alasan akan membuatnya “sejuk”. Mengekspresikan perasaan secara pantas merupakan bentuk kecerdasan emosi kedua. Cara mengekspresikan perasaan bersifat budaya, sangat tergantung 117

 pada kebiasaan setempat. Bagaimanakah cara yang dianggap pantas untuk mengekspresikan  perasaan marah, sedih, gembira, takut, dan malu dalam budaya Anda? Memotivasi diri sendiri adalah sebuah kemampuan yang sangat diperlukan untuk dapat mengarahkan diri menuju sasaran. Seorang yang mempunyai kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri akan lebih tahan dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup. Individu yang mampu memotivasi dirinya akan setia pada tujuan; kesulitan tidak akan membuatnya  berbelok dari tujuannya. Banyak penelitian dalam bidang pendidikan yang menemukan bahwa motivasi lebih menentukan prestasi belajar daripada kecerdasan. Apabila individu mampu memotivasi dirinya sendiri, ia akan terus mendapatkan energi untuk belajar tanpa bergantung  pada dorongan dan dukungan dari orang lain. Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri akan memungkinkan individu menjadi pelajar mandiri yang dapat terus mengembangkan dirinya seumur hidup. Memahami emosi orang lain berkaitan dengan kemampuan empati. Memahami emosi orang lain harus didahului oleh kemauan yang tulus, penerimaan atas orang lain apa adanya, serta niat baik agar dapat menjalin hubungan yang baik dan menguntungkan bagi kedua belah  pihak. Memahami orang lain berarti memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, serta diinginkan oleh orang tersebut, dan kemampuan ini dapat dilatih. Untuk memastikan pemahaman mengenai orang lain ini tidak keliru, diperlukan keterbukaan dan upaya mendapatkan umpan balik dari orang yang bersangkutan. Saat terjadi “benturan” dengan orang lain, usahakan untuk memikirkan apa kiranya yang dipikirkan orang tersebut, apa yang dirasakannya, serta apa yang diinginkannya tanpa menggunakan “kacamata” kita sendiri. Agar dapat memahami kondisi emosi orang tersebut secara lebih tepat, kita perlu mengenalnya dengan lebih dekat. Untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain, ada banyak keterampilan sosial yang  perlu dilatih, yaitu kemampuan mendengarkan secara efektif dan kemampuan komunikasi yang efektif. Apabila kecerdasan intelegensi ( IQ) lebih berkaitan dengan faktor kognitif, kecerdasan emosional ( EQ) lebih berkaitan dengan faktor afektif. Sebagaimana diketahui, faktor afektif seringkali memengaruhi faktor kognitif sehingga kecerdasan emosional merupakan faktor motivasional yang akan mendorong atau menghambat penggunaan seluruh kapasitas kecerdasan, atau menyebabkan individu enggan atau tak mampu menggunakan kecerdasannya secara optimal. Selain itu, Zohar (2000) mengajukan pendapat bahwa baik  IQ maupun  EQ secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, tidak mampu untuk menjelaskan seluruh kompleksitas 118

kecerdasan manusia. Menurut Zohar, dengan kedua kecerdasannya  (IQ dan  EQ), manusia mampu memahami situasi dan menampilkan perilaku yang sesuai untuk menghadapinya, namun dibutuhkan kecerdasan ketiga, yaitu kecerdasan spiritual untuk membuat manusia mampu melakukan transendensi.

Kecerdasan Spiritual

Dalam buku klasiknya, An Essay on Man , Cassirer (1944) menguraikan bagaimana sejak zaman  purba, manusia secara instingtif sudah menyadari dan mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang lebih “besar” daripadanya. Manusia mempunyai kebutuhan untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih “besar” dari dirinya itu. Bagi orang-orang beragama, “sesuatu” itu  biasa dimaksudkan sebagai Allah, Tuhan, Dewa dan lain sebagainya, sedangkan bagi yang tidak  beragama, hal itu sering dikaitkan dengan alam semesta atau kekuatan-kekuatan hebat lain yang ada. Berbeda dengan spesies lainnya, manusia memang cenderung mencari jawaban atas  berbagai pertanyaan yang terkait dengan sesuatu yang lebih besar darinya; manusia mempunyai kecenderungan dan kemampuan berpikir melampaui dirinya (transendental). Manusia mampu dan cenderung untuk mencari jawaban atas berbagai hal besar dalam hidupnya, misalnya untuk apa saya hidup? Bagaimana dan dari apakah alam semesta ini terbuat? Di manakah posisi saya dalam alam semesta yang luas ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari kebutuhan pada manusia tentang pengalaman yang memiliki makna yang mendalam, tujuan serta nilai yang bermakna. Itu semua membawa manusia pada pertanyaan yang lebih mendalam dan bijak mengenai hidup serta akan berdampak pada berbagai keputusan serta pengalaman hidupnya (Zohar, 2010). Kecenderungan itu menunjukkan bahwa selain sebagai makhluk individual dan makhluk sosial, pada dasarnya manusia juga merupakan makhluk spiritual. Kecenderungan tersebut tidak akan mampu terjawab hanya melalui kecerdasan  (IQ) dan kecerdasan emosi ( EQ) semata. Ada kecerdasan ketiga yang memungkinkannya, yaitu kecerdasan spiritual (SQ), yang oleh Zohar dan Marshall disebut sebagai kecerdasan tertinggi. Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai berikut. ….. kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasaan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseotrang lebih bermakna dibandingkan dengan 119

 yang lain (Zohar dan Marshall, 2007:4).

Kecerdasan ini berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan walaupun tidak identik dengan keberagamaan. Mungkin saja ada orang beragama, namun mempunyai kecerdasan spiritual yang tidak terlalu tinggi. Kenyataan itu sering dijumpai pada orang yang menjalankan  berbagai ritual keagamaan hanya sebagai suatu kebiasaan dan keharusan, tanpa betul-betul menyadari, mencari atau berusaha memahaminya secara mendalam penuh kesadaran. Sebaliknya, mungkin saja ada orang yang tidak berargama secara formal, namun menyadari  bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar (walaupun dalam pengertian alam semesta). Oleh karena itu, perlu menjalani hidup sesuai dengan dan bagi kepentingan yang lebih besar dari sekadar dirinya sendiri. Dengan demikian, untuk menjalankan keagamaan dengan penuh kesadaran dan mendapatkan pemahaman agama, dibutuhkan kecerdasan spiritual, namun kecerdasan spiritual sendiri tidak menjamin ketaatan seseorang dalam beragama.

1.2 Tipologi Kepribadian

Setiap manusia adalah unik. Tidak ada orang yang benar-benar sama, sepasang kembar sekalipun  pasti mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan membawa pada keanekaragaman cara dalam memandang sesuatu, bertindak pada berbagai situasi, menentukan sasaran, menilai, dan lain sebagainya. Adanya keanekaragaman manusia itu membawa dinamika kehidupan. Perbedaan individual dalam kelompok dapat membawa pada sinergi yang kaya, namun dapat juga menimbulkan konflik yang menguras tenaga. Manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup berkelompok dengan manusia-manusia lainnya. Dalam hidup berkelompok, manusia saling berinteraksi dan interaksi ini akan menjadi lebih efektif bila masing-masing memahami diri

sendiri dan orang yang dihadapinya.

Memahami diri adalah memahami ciri-ciri kepribadian yang dapat memengaruhi sikap, kecenderungan, dan perilaku kita. Di samping itu, memahami diri dapat membantu seseorang dalam menangani maupun mengembangkan diri sehingga tercapai peningkatan kualitas kemanusiaannya, yaitu kepemimpinan, motivasi, empati, dan lain sebagainya. Ada berbagai teori kepribadian yang dapat memahami keanekaragaman individu. Salah satunya adalah teori kepribadian Myers-Briggs.

120

Teori kepribadian Myers-Brigs merupakan hasil pemikiran sepasang psikolog, ibu dan anak, yaitu Katherine Briggs dan Isabella Myers Briggs. Mereka mengembangkan sebuah model yang disebut Myers-Briggs Type Indicator (MBTI®), yang dikembangkan berdasarkan teori kepribadian Carl Jung. MBTI hasil penelitian mereka telah membantu menjelaskan teori tipe  psikologi dari Jung sehingga lebih mudah dipahami dan dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Melalui penelitian yang panjang serta penyempurnaan berkala, Myers dan Briggs membangun sebuah instrumen tes MBTI (Myers Briggs Type Indicator) yang mengukur tipe  psikologi seseorang. MBTI ini mengidentifikasi dan mengategorisasi kecenderungan perilaku individu dalam empat dimensi, yaitu 1. (E) Extraversion/ Introversion (I), 2. (S) Sensing/ Intuition (N), 3. (T) Thinking/Feeling (F), dan 4. (J) Judging/Perceiving (P). Keempat dimensi tersebut masing-masing merupakan suatu kontinum. Jadi, seorang individu tidak dapat disebut murni ekstraversi atau introversi, tetapi kecenderungan lebih ekstraversi, sangat ekstraversi, atau sangat introversi. Berdasarkan skala empat dimensi ini, mereka mengelompokkan enam belas tipe kepribadian, dan setiap orang masuk dalam salah satu kategori tersebut. Ini bukan berarti bahwa setiap orang itu tidak unik. Setiap manusia itu tetap saja unik karena mereka mempunyai orangtua, gen, pengalaman, minat, dan lain-lain yang  berbeda satu dari lainnya. Namun, mereka juga mempunyai sejumlah besar persamaan. Menemukan tipe kepribadian dapat membantu menemukan, meramalkan perilaku yang akan ditampilkan dalam situasi tertentu, serta mempelajari bagaimana memanfaatkan kesamaan ini. Salah satu cara untuk mengetahui tipe kepribadian seseorang adalah menjalani tes MBTI atau mengisi inventori MBTI, kemudian meminta seorang profesional terlatih untuk menginterpretasikannya. Apabila seseorang telah memahami tipe kepribadian itu, ia juga dapat mencoba menemukan tipe kepribadiannya sendiri melalui introspeksi diri. Setelah itu, ciriciri

yang

ditemukan

melalui

introspeksi

tersebut

dapat

dibandingkan dengan ciri-ciri dari keempat dimensi Tipe Kepribadian MBTI ini. Selanjutnya, dapat dipikirkan mana yang paling mirip dengan kepribadian sendiri (Tieger dan Barron-Tieger, 2001). Mempelajari tipe kepribadian ini juga dapat membantu seseorang dalam memahami orang lain, terutama orang yang berhubungan dan yang bekerja sama dengannya. Memahami orang121

orang di sekitar dan yang bekerja sama dengannya akan membantu melancarkan hubungan kerja sama tersebut. Sistem tipe dari pengukuran kepribadian manusia didasarkan pada empat dimensi tipe kepribadian MBTI yang telah disebutkan di atas. Keempat dimensi ini bukan merupakan sesuatu yang mutlak,melainkan mengestimasikan suatu titik dalam sebuah garis kontinum. (E) Extraverts

 ____________________  ____________________ |

 Introverts (I)

(S)Sensors

 ____________________  ____________________ |

 Intuitives (N)

(T)Thinkers

 ____________________  ____________________ |

Feelers (F)

(J) Judgers

 ____________________  ____________________ |

Perceivers (P)

Sebagai contoh, seberapa individu lebih ekstraversi daripada introversi. Oleh karena itu, sebaiknya fokus dalam mempelajari dan menganalisis tipe kepribadian sendiri maupun orang lain. Hendaknya tidak hanya melihat pada satu tipe secara terisolasi, seperti hanya mempelajari tipe Extravert , tetapi juga memelajari yang menjadi lawannya ( Introvert ). Dengan cara demikian, dapat ditentukan titik relatif lebih tepat, misalnya ada lebih banyak ciri tipe Extravert yang cocok dengan saya. Namun, jika ada beberapa ciri dari  Introvert yang juga dimiliki oleh seorang individu, maka individu itu

cenderung  Extravert dan posisi dalam skala kemungkinan

(kecenderungan). (E) Extraverts

 _____X______________  ____________________ |

 Introverts (I)

 ______________X_____  ____________________ |

 Introverts (I)

Atau (E) Extraverts

 Introversion 1.2.1 Extraversion / 

Dimensi pertama ini membahas bagaimana individu berinteraksi dengan dunia dan dari mana asal energi yang dimilikinya. Seseorang dengan tipe Extravert lebih tertarik dengan objek di luar dirinya. Umumnya mereka senang bergaul, bekerja dalam kelompok, dan berada di tengah keramaian. Adanya orang-orang lain dapat memberi semangat bagi dirinya sekaligus merupakan energi yang membuatnya bersemangat dan bergairah. Keadaan ini bukan berarti mereka tidak dapat bekerja sendiri. Mereka mungkin saja terampil bekerja sendiri namun apabila mereka harus  bekerja sendirian untuk jangka yang panjang, energinya mudah terkuras. Agar dapat menambah semangat, orang-orang Extravert sebaiknya menyediakan waktu untuk berkumpul dengan orang 122

lain karena dengan energi yang cukup, hasil kerjanya dapat lebih dioptimalkan. Sebaliknya, seorang yang Introvert lebih tertarik melakukan kegiatan-kegiatannya sendiri dalam ketenangan. Sebagaimana orang Extravert mampu bekerja sendiri, orang-orang  Introvert walaupun lebih senang sendiri dapat saja mempunyai kemampuan kerja sama yang baik. Namun demikian, bagi orang Introvert , jika terlalu lama berada di antara orang banyak, hal itu membuat energinya terkuras dan mereka cepat merasa lelah. Agar dapat mengisi ulang energinya, mereka  perlu meluangkan cukup waktu untuk aktivitas sendirian, seperti mendengarkan musik sendirian, membaca buku, ataupun bermain-main dengan gagasannya sendiri. Orang yang cenderung ekstraversi disebut Extravert dan dalam MBTI dicantumkan inisial E sedangkan yang cenderung introversi disebut Introvert dengan inisial I. Perbedaan Ciri Extravert dan Introvert

 Extraverts

 Introverts

Semangat dengan kehadiran orang lain

Semangat

dengan

menghabiskan

sendiri

Senang menjadi pusat perhatian

Menghindar dari pusat perhatian

Bertindak, lalu (atau sambil) berpikir

Berpikir, baru bertindak

Cenderung berpikir dengan bersuara

Berpikir dalam “kepala”

Mudah

“dibaca”

dan

mudah

ditebak; Lebih pribadi, lebih suka membagi informasi

membagi informasi pribadi dengan bebas Lebih banyak bicara daripada mendengarkan Berkomunikasi dengan antusias

waktu

 pribadi kepada orang tertentu saja Lebih

banyak

mendengarkan

daripada

 berbicara Antusias disimpan hanya bagi dirinya sendiri 123

Memberi respons dengan cepat; menyukai Memberi respons setelah berpikir panjang;  pacu pembicaraan yang cepat

lebih suka pacu pembicaraan yang lambat

Lebih menyukai pembicaraan yang luas Lebih menyukai pembicaraan yang mendalam daripada mendalam

daripada yang meluas

Dengan melihat ciri-ciri orang  Extravert maupun  Introvert , seseorang dapat mengenali kecenderungan yang ada pada dirinya. Ia dapat membuat perkiraan tipe kepribadiannya; apakah ia cenderung lebih Extravert atau Introvert . Berilah tanda X pada skala di bawah ini. (E) Extraverts ____________________  ____________________  Introverts (I) |

1.2.2

Sensing /   Intuition

Dimensi ini membicarakan jenis informasi yang mudah ditangkap oleh seseorang. Ada orang yang lebih mudah menangkap informasi melalui pancaindranya. Ada pula orang yang lebih tertarik pada arti sebuah fakta dibandingkan fakta-faktanya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, digunakan kedua pendekatan ini untuk memperoleh informasi. Akan tetapi, setiap orang cenderung lebih memilih, lebih mudah, atau lebih merasa nyaman menggunakan cara yang satu daripada yang lain dan secara alamiah lebih mudah menggunakan yang satu daripada yang lainnya, dan lebih sering merasa “benar” saat menggunakan satu pendekatan daripada yang lain. Seorang yang lebih mudah menangkap informasi melalui pancaindra biasanya cukup cermat dengan fakta-fakta, namun harus berusaha keras saat mencari makna “di belakang” fakta tersebut. Sebaliknya, seorang intuitif cepat menangkap makna dari sebuah fakta, namun harus hati-hati saat menangkap fakta dengan indranya karena kurang jeli dan kadang-kadang keliru. Kerja sama antarkeduanya adalah yang terbaik walaupun ada hal-hal yang lebih mudah dipelajari dengan menggunakan indra dan yang lain lebih mudah dipelajari melalui intuisi.

124

Perbedaan Ciri Sensor dan Intuitiive

Sensors

Intuitives

Percaya kepada apa yang pasti dan konkret

Percaya kepada inspirasi dan inference

Menyukai ide baru hanya bila bisa digunakan Menyukai ide baru dan konsep-konsep dengan praktis Menghargai realisme dan akal sehat Senang

menggunakan

dan

keterampilan yang sudah dimiliki

Menghargai imajinasi dan inovasi mengasah Senang mempelajari keterampilan baru; cepat  bosan setelah menguasi sebuah keterampilan

Cenderung spesifik dan harfiah; memberikan Cenderung general dan figuratif; senang deskripsi detail

menggunakan perumpamaan dan peribahasa

Mengajukan informasi dengan cara step-by- Mengajukan informasi secara umum dan garis  besar

step

Berorientasi pada masa kini

Berorientasi pada masa depan

Orang-orang yang mempunyai kecenderungan sensing disebut Sensors dan dalam MBTI ditulis dengan inisial S, dan yang intuisi disebut  Intuitives dengan inisial N (huruf kedua dari intuitif karena inisial I sudah mewakili  Introvert ). Dengan melihat ciri-ciri dari Sensor maupun  Intuitives, dapat dikenali kecenderungan yang ada pada diri seseorang. Selain itu, juga dapat

diperkirakan tipe kepribadian seseorang: apakah cenderung lebih Sensors atau  Intuitives. Berilah tanda X pada skala di bawah ini. (S) Sensors ____________________  ___________________  Intuitives (N) |

1.2.3

Thinking /   Feeling

Dimensi ini berkaitan dengan pengambilan keputusan. Individu yang memiliki kecenderungan thinking  biasa disebut Thinkers. Mereka biasa berpikir panjang sebelum mengambil keputusan: 125

 benar salahnya, baik buruknya, aturannya, yang

kesemuanya itu dianalisis dengan cermat.

Setelah pasti, barulah ia menetapkan keputusan. Hal tersebut berbeda dengan mereka yang mempunyai kecenderungan  feeling. Individu yang cenderung  feeling disebut Feelers. Mereka sangat peka terhadap perasaan orang lain. Sebuah keputusan diambil setelah memperhitungkan dampaknya bagi orang lain dan mengikuti suara hatinya. Oleh karena itu, Feelers dapat menerima pengecualian perlakuan, berbeda dari Thinkers yang bersikukuh dengan “satu hukum atau aturan berlaku bagi semua”. Perbedaan Ciri Thinker dan Feeler 

Thinkers

Feelers

Saat akan memutuskan sesuatu, melangkah

Saat akan memutuskan sesuatu, melangkah ke

mundur;

depan; memikirkan dampak dari keputusan

menggunakan

analisis

objektif

terhadap situasi Menghargai logika, hukum dan keadilan; satu standar berlaku bagi semua

tersebut bagi orang lain Menghargai

empati

dan

harmoni;

bisa

menerima kekecualian dari suatu peraturan, tergantung situasi

Mudah menangkap kesalahan dan cenderung

Suka menyenangkan hati orang lain, mudah

kritis

menghargai orang lain

Bisa tampak tidak berperasaan, tidak peka dan

Bisa kelihatan terlalu emosional, tidak logis,

tidak peduli

dan lemah

Menganggap lebih penting kebenaran daripada

Menganggap cara menyampaikan sesuatu sama

memikirkan cara menyampaikannya

 pentingnya dengan kebenaran itu sendiri

Menganggap perasaan hanya sahih bila logis

Menganggap perasaan itu sahih, masuk akal ataupun tidak

126

Dimotivasi oleh keinginan berprestasi dan  berhasil

Dimotivasi oleh keinginan untuk dihargai

Dengan melihat ciri-ciri orang tipe Thinkers maupun Feelers, dapat dikenali kecenderungan yang ada pada diri sendiri: apakah cenderung lebih Thinkers atau Feelers. Berilah tanda X pada skala di bawah ini. (T) Thinkers ____________________  ___________________ Feelers (F) |

1.2.4

 Perceiving (P) Dimensi (J) Judging / 

Dimensi keempat ini membahas gaya hidup. Ada orang yang lebih suka hidup dengan cara yang teratur, ada pula yang lebih spontan. Orang yang termasuk  judging disebut  Judger . Mereka cenderung hidup secara teratur dan lebih suka apabila kehidupannya terstruktur dengan jelas. Mereka senang mengambil keputusan.  Judgers mencari keteraturan dan senang mengendalikan hidupnya, sedangkan mereka yang mempunyai kecenderungan  perceiving, biasa disebut Perceivers, lebih suka hidup secara spontan dan lebih menyukai kehidupan yang luwes. Mereka

menyukai berbagai kemungkinan dan lebih suka mencari apa makna dari kehidupan daripada sekadar mengendalikannya.

127

Perbedaan Ciri Judger dan Perceiver

 Judgers

 Perceiver

Paling bahagia bila keputusan sudah dibuat

Paling senang meninggalkan pilihan terbuka

Memiliki ‘etika kerja’: kerja dulu, bermain

Memiliki

kemudian (itupun kalau sempat)

sekarang, menyelesaikan tugas nanti (itupun

‘etika

bermain’:

nikmati

hidup

kalau masih ada waktu) Menetapkan

sasaran

dan

berusaha

untuk

mencapainya Lebih

suka

Mengganti-ganti

sasaran

bila

mendapat

informasi baru mengetahui

apa

yang

akan

dihadapinya terlebih dahulu kemudian baru  bertindak

Suka beradaptasi pada situasi baru, bertindak sambil mempelajari situasi

Lebih berorientasi pada produk (penekanan

Lebih berorientasi pada proses (penekanan pada

 pada penyelesaian tugas)

 bagaimana menyelesaikan tugas)

Mendapatkan kepuasan dalam menyelesaikan  proyek

Mendapatkan kepuasan dari memulai proyek

Melihat waktu sebagai sumberdaya yang pasti

Melihat waktu sebagai sumber daya yang dapat

dan serius menanggapi tenggang waktu

diperbaharui

dan

melihat

tenggang

waktu

sebagai elastik (‘jam karet’)

Dengan melihat ciri-ciri dari  Judgers maupun Perceivers, dapat dikenali kecenderungan yang ada pada diri sendiri. Selain itu, tipe kepribadian sendiri dapat juga dikira-kira: cenderung lebih Judger atau Perceiver . Berilah tanda X pada skala di bawah ini. (J) Judgers ____________________  ___________________ Perceivers(P) |

128

1.3 Tipologi Temperamen

Setelah mengetahui keempat dasar kecenderungan, dapat ditemukan temperamen dari setiap individu. Temperamen merupakan sebuah pola dari perilaku karakteristik yang merefleksikan kecenderungan-kecenderungan alamiah dari individu (Baron, 1998). Temperamen akan  berdampak pada bagaimana individu melihat dunia, apa nilai dan keyakinannya, bagaimana  pikiran, tindakan, maupun perasaannya. Individu-individu dengan temperamen yang sama mempunyai nilai utama yang sama dan banyak karakteristik yang sama pula. Temperamen merupakan bawaan, bukan merupakan sesuatu yang dipelajari. Oleh karena itu, tindakan dan  perilaku konsisten sudah tampak sejak individu masih sangat muda. Dengan menetapkan mana ciri dominan dari masing-masing dimensi, akan didapatkan tipologi temperamen dari individu, dengan 16 kombinasi berikut.  ESTJ

ISTJ

ESFJ

ISFJ

 ESTP

ISTP

ESFP

ISFP

 ENFJ

INFJ

ENFP

INFP

 ENTJ

INTJ

ENTP

INTP

Keenam belas tipologi di atas mempunyai ciri yang berbeda satu sama lain. Namun,  berdasarkan penelitian bertahun-tahun pada berbagai budaya, David Keirsey (Tieger dan BarronTieger, 2001) berhasil mengelompokkan tipe-tipe dari Myers-Briggs ke dalam empat temperamen yang berbeda. Temperamen adalah gaya berperilaku, cara, dan karakteristik yang ditampilkan oleh individu dalam merespon (King, 2011). Temperamen dapat juga diartikan sebagai sifat kepribadian yang dapat diamati. Berdasarkan model MBTI, David Keirsey membagi empat kelompok temperamen dan dalam tiap temperamen terdapat empat tipologi yang berbeda, namun keempatnya mempunyai  beberapa persamaan. Penting diingat bahwa keempat temperamen ini tidak sekadar merupakan  penggabungan dari masing-masing karakteristik MBTI, tetapi merupakan hasil interaksi dari dua dimensi dasar dari perilaku manusia: apa yang dikatakan individu dan apa yang dilakukannya. Keempat temperamen tersebut diberi nama yang disarikan dari kesamaannya. Penamaan keempat kelompok berdasarkan temperamen dapat dipaparkan sebagai berikut. Guardians/Tradisionalists (SJ):

ESTJ

ISTJ

ESFJ

ISFJ

 Artisans/ Experiencers (SP):

ESTP

ISTP

ESFP

ISFP

 Idealists (NF):

ENFJ

INFJ

ENFP

INFP 129

 Rationals/Conceptualizers (NT):

ENTJ

INTJ

ENFP

INFP

1.3.1 Pembimbing/Tradisionalis

Kaum sensors  percaya pada fakta, data yang telah terbukti, pengalaman masa lalu, serta informasi yang ditangkap oleh pancainderanya, sedangkan  judgers menyukai struktur serta keteraturan, satu hal yang akan memengaruhinya saat mengambil keputusan. Apabila keduanya digabung, kedua preferensi ini menghasilkan Sensing Judger , yakni sebuah tipe pribadi yang menapak bumi dan tegas yang disebut sebagai Pembimbing/Tradisionalis. Moto dari tipe Pembimbing/Tradisionalis adalah “cepat tidur, bangun pagi.” Tipe ini adalah orang-orang yang paling tradisional dari empat kelompok temperamen Keirsey. Mereka sangat menghargai hukum dan keteraturan, jaminan, sopan santun, aturan, serta mudah menyesuaikan diri. Mereka didorong oleh motivasi untuk melayani kebutuhan masyarakat. Pembimbing/Tradisionalis menghormati otoritas, hierarki, dan garis komando, serta memiliki nilai-nilai yang konservatif. Mereka terikat pada rasa tanggung jawab dan selalu berusaha untuk melakukan hal yang benar. Hal itu membuat mereka menjadi orang-orang yang dapat diandalkan, dapat dipercaya, dan tentu saja orang yang bertanggung jawab. Walaupun sama-sama tergolong pada temperamen Pembimbing/Tradisionalist , kelompok Thinking (STJ) maupun Feeling (SFJ) sangat berbeda. Mereka yang ESFJ dan ISFJ dalam ciri

Pembimbing/Tradisionalis, tidak sekuat ciri ESTJ dan ISTJ. Bagi ESFJ dan ISFJ, hubungan dengan orang lain dan kriteria orientasi pada manusia dalam pengambilan keputusan sangatlah  penting. Jadi, walaupun biasanya kaum Pembimbing/Tradisionalis (tidak peduli apa pun gaya hidupnya, J atau P) paling senang mereka bekerja di tempat yang struktur dan ekspektasinya 130

 jelas. Mereka yang tergolong Feeling akan berusaha membangun hubungan harmonis dengan orang lain dan mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang memungkinkan mereka membantu orang lain secara nyata. Walaupun sama-sama tergolong pada temperamen Pembimbing/Tradisionalis, kelompok Thinking (STJ) maupun Feeling (SFJ) sangat berbeda. Mereka yang ESFJ dan ISFJ dalam ciri

Pembimbing/Tradisionalis, tidak sekuat ciri ESTJ dan ISTJ. Bagi ESFJ dan ISFJ, hubungan dengan orang lain dan kriteria orientasi pada manusia dalam pengambilan keputusan sangatlah  penting. Biasanya kaum Pembimbing/Tradisionalis (tidak peduli apa pun gaya hidupnya, J atau P) paling senang

bekerja di tempat yang struktur dan ekspektasinya jelas. Mereka yang

tergolong Feeling akan berusaha membangun hubungan harmonis dengan orang lain dan mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang memungkinkan mereka membantu orang lain secara nyata. Pembimbing/Tradisionalis membutuhkan perasaan menyatu dengan kelompok dan melakukan yang benar. Mereka menghargai stabilitas, keteraturan, kooperasi, konsistensi, dan kesahihan, serta cenderung serius dan merupakan pekerja keras. Pembimbing/Tradisionalis selalu menuntut baik dirinya maupun orang lain untuk selalu fokus pada pekerjaan dan bekerja sebaik-baiknya.

a. Kekuatan

Pembimbing/Tradisionalis adalah orang-orang yang praktis dan terorganisasi, teliti, serta sistematis. Mereka sangat memerhatikan peraturan, kebijakan, kontrak, ritual, maupun jadwal. Mereka sangat hebat dalam memandu, memonitor, dan menjalankan aturan. Pembimbing/Tradisionalis senang bekerja dengan fakta yang telah terbukti dan menggunakannya untuk mengarahkan diri pada sasaran organisasi tempat mereka menjadi anggotanya. Mereka sangat  bangga bahwa mereka selalu bekerja dengan baik. Mereka juga pandai melihat apa yang harus diperhatikan dan menyelesaikan tugas dengan sumber daya yang seefisien mungkin. Begitu mereka suka dan setuju terhadap suatu hal, Pembimbing/Tradisionalis selalu melaksanakannya dengan teliti. Dalam keadaan terbaik, mereka adalah orang-orang yang solid, dapat dipercaya, dan diandalkan.

131

b. Kemungkinan Kelemahan

Pembimbing/Tradisionalis tidak tertarik pada teori atau hal-hal yang abstrak. Mereka kurang memperhatikan masa depan dibandingkan masa kini.

Perencanaan

jangka

panjang

bukanlah

kekuatannya.

Pembimbing/Tradisionalis kadang-kadang terlalu cepat dalam mengambil keputusan.Mereka juga cenderung melihat hitam putih dan sulit melihat area abu-abu. Mereka sulit menghadapi perubahan dan lambat dalam menyesuaikan diri. Mereka cenderung enggan mencobakan pendekatan baru yang berbeda, apalagi yang belum teruji. Kemungkinan besar

Mari’e Muhammad 1939 - 2017

mereka akan minta bukti bahwa solusi baru itu dapat

dijalankan

mempertimbangkan

sebelum untuk

Pembimbing/Tradisionalis Ciputra 1931 –

mereka

dapat

menggunakannya. adalah

mereka

Kelemahan

sering

kurang

utama luwes,

cenderung dogmatis, dan kurang imajinatif. Contoh tokoh dengan temperamen ini adalah Mother Theresa, Jenderal Washington, Mar’ie

Muhammad, dan Ir. Ciputra.

 Experiencers 1.3.2 Artis/  Sensors  berkonsentrasi pada apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium, dikecap, dan percaya

 pada apa yang dapat diukur serta dicatat. Perceivers terbuka pada berbagai kemungkinan dan suka hidup secara luwes. Apabila digabung, kedua preferensi ini menghasilkan Sensing Perceiver ,

sebuah tipe individu yang responsif dan spontan, yang disebut temperamen

Artis/ Experiencers. Moto mereka adalah “Makan, minum, dan bergembiralah!” Ini adalah suatu tipe yang paling avonturir. Mereka hidup untuk bertindak, mengikuti kata hati, dan demi masa ini. Fokusnya adalah pada situasi sesaat dan kemampuan untuk menetapkan apa yang harus dilakukan sekarang. Artis/ Experiencers menghargai kebebasan dan spontanitas, sehingga jarang menyukai aktivitas atau situasi yang terlalu terstruktur atau terlalu banyak aturan. Mereka cenderung senang menyerempet bahaya (risk-taker ), mudah menyesuaikan diri, easy-going, dan  pragmatis. Mereka mengagumi pertunjukan keterampilan di segala bidang atau disiplin. Kebanyakan (tetapi tidak semua) Artis/ Experiencers adalah orang-orang yang senang hidup di 132

“ujung tanduk.” Artis/ Experiencers membutuhkan aktivitas dan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan kata hatinya. Dalam bekerja, mereka fokus pada apa yang akan diselesaikan saat ini. Mereka menghargai perbuatan heroik dan tindakan ahli dan senang menghadapi tantangan-tantangan. Seperti Pembimbing/Tradisionalist , Artis/ Experiencers juga ada dua macam, yaitu STP dan SFP. SFP tidak sepenuhnya sesuai dengan gambaran temperamen Artis/ Experiencers yang penuh dengan kebebasan.  Experiencer yang SFP terutama ingin berespons pada kebutuhan orang lain dan ingin hasil kerjanya dapat membawa perubahan segera pada orang lain.

a. Kekuatan

Artis/ Experiencers dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi dan tangkas menangkap kesempatan. Mereka sangat unggul dalam mengenali masalah praktis dan melakukan pendekatan  pada masalah ini secara luwes, berani, dan banyak akal. Mereka tidak takut mengambil risiko ataupun berimprovisasi bilamana perlu. Artis/ Experiencers senang melakukan perubahan demi kebutuhan atau krisis mendesak. Namun, seperti Pembimbing/Tradisionalis, Artis/ Experiencers  juga lebih suka menghadapi fakta dan masalah nyata daripada teori atau gagasan. Artis/ Experiencers merupakan pengamat yang tajam bagi perilaku manusia dan merupakan negosiator yang hebat. Mereka sangat efisien dalam menggunakan perhitungan ekonomi untuk mencapai sasarannya. Banyak orang dengan tipe tempramen Artis/ Experiencers, walaupun tidak semua, sangat terampil menggunakan alat dan instrumen segala alat yang bisa dimanipulasi secara fisik dan membutuhkan ketepatan. Dalam keadaan terbaiknya, mereka mempunyai banyak akal, mengasyikkan, dan menyenangkan.

b. Kemungkinan Kelemahan

Artis/ Experiencers sering sulit ditebak oleh orang lain, dan kadang-kadang tidak berpikir secara cermat sebelum bertindak. Mereka tidak suka teori, hal-hal abstrak, maupun konsep, dan mengalami kesulitan dalam melihat hubungan maupun pola dari sebuah peristiwa. Artis/ Experiencers cenderung kehilangan antusiasme begitu fase krisis dari situasi telah berlalu. Oleh karena menyukai pilihan-pilihan yang terbuka, mereka tidak selalu mengikuti aturan yang  baku dan terkadang menghindari komitmen dan rencana. Keadaan terburuknya adalah mereka mungkin kurang bertanggung jawab, mungkin kurang dapat diandalkan, kekanak-kanakan, dan 133

impulsif. Contoh tokoh dengan temperamen ini adalah Ernest Hemmingway, Barbara Streissant.

1.3.3 Idealis ( Intuitive Feelers)

Kaum intuitif adalah orang-orang yang tertarik pada arti, hubungan, kemungkinan-kemungkinan, dan  feelers cenderung membuat keputusan berdasarkan nilai pribadi. Apabila digabung, kedua  preferensi ini menghasilkan  Intuitive Feeler , tipe yang peduli terhadap tumbuh berkembangnya orang lain dan memahami dirinya maupun orang lain. Mereka biasa disebut sebagai tipe Idealis. Motonya, “Jujurlah pada diri sendiri.” Idealis adalah tipe yang paling filosofis spiritual, seolaholah mereka terus-menerus berada dalam pencarian arti kehidupan. Mereka sangat menghargai kejujuran dan integritas pada orang maupun suatu hubungan,  juga cenderung mengidealkan orang lain. Idealis fokus pada potensi manusia dan sering kali  berbakat dalam membantu orang lain untuk tumbuh dan berkembang, suatu tugas yang dapat memuaskannya. Sering kali tipe Idealis ini merupakan komunikator ulung dan dapat dianggap katalisator bagi perubahan yang positif. Idealis senang menggunakan kemampuan alami mereka untuk memahami dan menghubungkan mereka dengan orang lain. Secara alami, mereka mampu  berempati dan fokus pada kebutuhan orang lain.

a. Kekuatan

Idealis mengetahui bagaimana mengeluarkan potensi terbaik orang dan memahami cara memotivasi orang lain untuk bekerja sebaik-baiknya. Mereka ahli dalam menyelesaikan konflik dengan orang lain, membangun tim yang dapat bekerja sama dengan efektif, dan pandai membuat orang percaya diri. Idealis pandai dalam mengidentifikasi solusi kreatif bagi berbagai masalah. Mereka berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tulis dan dapat membangkitkan gairah orang terhadap gagasan maupun tindakannya. Orang dengan tipe tempramen Idealis umumnya adalah orang yang kharismatik, mau menerima gagasan baru dan dapat menerima orang lain apa adanya.

b. Kemungkinan Kelemahan

Idealis mempunyai kecenderungan mengambil keputusan berdasarkan perasaannya dan mudah larut pada masalah orang lain sehingga membuatnya kewalahan. Mereka juga kadang-kadang terlalu idealis sehingga terkesan kurang praktis. Walaupun mempunyai kemampuan untuk 134

mencela dirinya sendiri, Idealis kurang mampu mendisiplinkan ataupun mengkritik orang lain. Kadang-kadang mereka akan mengorbankan pendapatnya demi hubungan harmoni. Kelemahan terbesar mereka adalah mungkin angin-anginan, tidak dapat diterka, dan terlalu emosional. Contoh tokoh dengan temperamen ini adalah Mahatma Gandhi, Putri Diana, dan Romo MagnisSuseno.

1.3.4 Rasional/Konseptualis

Intuitif cenderung mencari arti dari segala sesuatu dan fokus pada implikasinya, sedangkan Thinkers mengambil keputusan secara impersonal dan logis. Jika keduanya disatukan, kedua

 preferensi ini menghasilkan  Intuitive Thinker , sebuah tipe yang intelektual dan kompeten, yang disebut Rasional/Konseptualis. Moto kaum Conceptualizer   adalah “unggullah dalam segala sesuatu.” Mereka adalah yang paling mandiri dari keempat temperamen Keirsey. Mereka didorong oleh keinginan mendapatkan pengetahuan dan menetapkan standar yang tinggi sekali bagi dirinya maupun orang lain. Secara alamiah, orang dengan tipe tempramen Rasional/Konseptualis penuh rasa ingin tahu. Mereka biasanya dapat melihat berbagai segi mengenai suatu argumentasi atau isu. Rasional/Konseptualis unggul dalam melihat berbagai kemungkinan, memahami kompleksitas, serta merancang solusi pada masalah riil maupun hipotetis. Peranannya sering menjadi arsitek  perubahan. Rasional/Konseptualis senang menggunakan kemampuannya untuk melihat kemungkinankemungkinan dan menganalisisnya secara logis untuk mendapatkan pemecahannya. Mereka  berminat untuk terus-menerus mendapatkan pengetahuan, baik demi pengetahuan itu sendiri maupun untuk alasan strategis.

a. Kekuatan

Rasional/Konseptualis mempunyai visi yang jelas dan dapat menjadi inovator yang hebat. Mereka dapat melihat berbagai kemungkinan maupun gambaran besar dari situasi serta mudah mengkonseptualisasi dan merancang perubahan-perubahan yang diperlukan di lingkungannya. Mereka unggul dalam membuat strategi, rencana, dan membangun sistem untuk mencapai sasaran, dan menikmati prosesnya. Tipe Rasional/Konseptualis sangat mudah dalam memahami gagasan yang kompleks dan teoretis serta pandai dalam mendeduksi prinsip-prinsip atau 135

kecenderungan-kecenderungan. Mereka senang akan tantangan dan menuntut dirinya sendiri maupun orang lain untuk mencapai standar yang tinggi, dan biasanya mampu menerima kritikan yang konstruktif tanpa merasa diserang secara pribadi. Dalam keadaannya yang terbaik, orang yang Rasional/Konseptualis itu penuh percaya diri, tangkas, dan imajinatif.

b. Kemungkinan Kelemahan

Kadang-kadang Rasional/Konseptualis terlalu rumit untuk dipahami oleh orang lain. Mereka  juga mempunyai kecenderungan mengabaikan detail-detail yang penting. Mereka dapat menjadi sangat skeptis dan sering menantang aturan-aturan, asumsi, atau adat-istiadat yang berlaku. Rasional/Konseptualis juga kadang-kadang mengalami masalah dengan otoritas dan dapat tampil sebagai elitis. Mereka sering kali mengalami kesulitan untuk melihat dampak tindakannya pada orang lain. Mereka kadang-kadang tidak menganggap penting hubungan yang harmonis maupun  pentingnya perasaan. Mereka juga sangat kompetitif dan kadangkadang tidak peduli dengan suatu tugas apabila mereka tidak merasa dapat unggul di sana. Hal yang paling parah, mereka dapat menjadi arogan, menarik diri, dan asyik dalam dunianya sendiri. Dalam  bekerja

sama,

Rasional/Konseptualis

membutuhkan

banyak

kebebasan, keanekaragaman, banyak rangsangan intelektual, dan kesempatan untuk menghasilkan gagasan, dan harus melihat bahwa  pekerjaannya menantang. Contoh tokoh-tokoh seperti ini adalah Einstein, Thatcher, dan Bung Hatta.

Bung Hatta 1902 -1980

136

BAB 2 MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERKELOMPOK

Memahami segala segi dari manusia yang mencakup kemampuannya, faktor-faktor yang memengaruhi dirinya, termasuk tipe kepribadiannya, akan dapat membantu individu dalam memahami dan merencanakan pengembangan dirinya. Di samping itu, pengetahuan tersebut dapat membantu individu dalam menjalin hubungan antarindividu yang harmonis dan efektif karena pada dasarnya manusia, selain makhluk individu, juga makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan kuat untuk hidup bersama orang lain. Tanpa kehidupan sosial, tampaknya sulit mengharapkan individu dapat berkembang sepenuhnya sehingga ada ungkapan “manusia hanya  bisa menjadi manusia bila ia hidup bersama manusia lain.” Memang manusia dapat hidup sendiri saat keadaan memaksa, misalnya mereka terdampar atau karena alasan lainnya, seperti yang terjadi pada Nakamura, seorang prajurit Jepang asli Taiwan, pada Perang Dunia kedua. Pada tahun 1975, Nakamura ditemukan di Pulau Morotai. Ia mengira perang dunia kedua masih berlangsung. Oleh karena itu, ia bersembunyi dan hidup seorang diri. Ia membuat sebuah gubuk sederhana untuk tempat tinggal dan bercocok tanam di ladang untuk kelangsungan hidupnya. Puluhan tahun ia tinggal sendiri sampai ditemukan oleh penduduk Morotai. Begitu ditemukan dan tahu bahwa perang dunia sudah usai, ia langsung minta dipulangkan ke negara kelahirannya, Taiwan, agar bisa berkumpul dengan keluarga dan lingkungan sosialnya. Demikianlah manusia, bilamana mungkin, pasti mereka  berusaha hidup dalam sebuah lingkungan sosial. Sebagai makhluk sosial, individu mempunyai kebutuhan yang kuat untuk hidup bersama dalam kelompok agar dapat mengembangkan kemanusiaannya. Individu yang ada di dalam kelompok melakukan interaksi di antara mereka. Melalui interaksinya itu, disepakati aturanaturan atau norma-norma yang mengatur kehidupan berkelompok.

2.1 Kelompok-kelompok Terdekat 2.1.1

Keluarga

Keluarga adalah unit dari kelompok terkecil yang kelak membentuk masyarakat. Sebagai suatu kelompok, keluarga terbentuk untuk tujuan tertentu. Sepasang manusia, laki-laki dan perempuan, sepakat untuk bersatu membangun keluarga yang sejahtera lahir dan batin, materi dan nonmateri 137

serta jasmani dan ruhani. Selanjutnya, keluarga yang terbentuk ini berharap mempunyai keturunan yang akan meneruskan cita-cita luhur tersebut. Dari segi bentuknya, keluarga dapat berupa Keluarga Inti (Nucleus Family) dan Keluarga Besar (Extended Family). Keluarga Inti adalah keluarga dengan anggota berupa ayah, ibu, dan ank-anak, sedangkan Keluarga Besar mempunyai anggota yang lebih luas: kakek, nenek, paman,  bibi, keponakan, sepupu, ipar, mereka bisa berkumpul menjadi satu Keluarga Besar. Terbentuknya keluarga ini lebih sering dilandasi upaya tolong-menolong atau kebutuhan merawat orang tua. Belakangan ini, terutama di negara Barat, muncul pula bentuk keluarga baru, yaitu keluarga kohabitasi (cohabitation family ), yaitu pasangan yang tinggal serumah dan membina keluarga di luar pernikahan. Istilah populernya di Indonesia adalah kumpul kebo. Juga disebutkan dalam literatur Barat jenis keluarga sesama jenis ( homosexual family ) yang akhir-akhir ini marak dengan istilah LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Tentunya karena kedua jenis “keluarga” ini tidak lazim dan melanggar norma agama dan susila serta tidak sesuai dengan nilai

Pancasila, masyarakat Indonesia secara tegas menganggap keberadaan dua jenis keluarga ini sebagai penyakit masyarakat yang harus disembuhkan dan dihilangkan. Dalam meneruskan nilai-nilai budaya dan adat-istiadat, keluarga berperan untuk membentuk kepribadian bagi generasi muda. Generasi muda berhadapan dengan nilai budaya dan kebiasaan Barat atau luar yang sangat liberal, individualistik, dan cenderung menggoyahkan sendi-sendi keluarga. Gerakan feminism,  LGBT , consumerism, materialism, liberalism, dan yang lainnya telah dengan gegabah mereduksi peran keluarga sebagai wadah untuk mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai luhur. Akibatnya, generasi muda kehilangan kepribadian dan malah mengadopsi budaya negatif Barat dalam arus globalisasi yang jelas menggerus nilai budaya luhur Indonesia.

2.1.2 Kelompok Pertemanan

Pada setiap tahapan dalam kehidupan, kita cenderung untuk membentuk kelompok pertemanan karena kedekatan atau pilihan. Ada teman dalam lingkup tetangga di sekitar rumah, teman dari sekolah, teman karena kesamaan asal daerah, teman karena kesamaan minat, dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata teman mempunyai makna ‘kawan, sahabat, orang yang bersama-sama bekerja (berbuat, berjalan), lawan (bercakap-cakap), yang menjadi

138

 pelengkap (pasangan).’ Dalam proses pertemanan, seseorang biasanya lebih memilih berteman dengan seseorang yang sebaya dengan dirinya karena biasanya teman yang sebaya lebih membuat dirinya nyaman. Dampak positif yang sangat penting dari pertemanan adalah terbentuknya kerja sama. Ketika kelompok tersebut menjadi semakin akrab, dapat tercipta nilai kasih sayang sesama anggota kelompok. Para anggota kelompok akan bekerja sama dengan sungguh-sungguh karena mereka yakin memiliki kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama. Pekerjaan yang dilakukan  bersama-sama pada dasarnya akan lebih memberi hasil yang jauh lebih baik. Keterampilan kerja sama ini diyakini menjadi semakin penting untuk dimiliki pada masa kini. Pertemanan sebaya pada masa remaja mempunyai beberapa dampak positif, antara lain sebagai berikut. Pertama, memberikan peranan sosial yang baru, misalnya peran sebagai  pemimpin atau pembimbing dan bahkan pengajar. Kedua, memberikan pengenalan tentang organisasi sosial yang baru: anggotanya yang remaja belajar bagaimana menjadi teman, mengorganisasikan kegiatan bersama, belajar menjadi pemimpin dan pengikut. Ketiga, dapat mengembangkan potensi diri dari para anggotanya karena dengan teman sebaya, para anggota cenderung lebih terbuka dalam mengekspresikan kemampuannya. Keempat , mendorong  perkembangan kebebasan karena kelompok sebaya memberikan ruang kebebasan berpendapat,  bertindak, dan menentukan identitas diri. Di sisi lain, pertemanan sebaya juga mempunyai potensi berdampak negatif sebagai  berikut. Pertama, cenderung menutup diri bagi orang-orang yang bukan merupakan anggota kelompoknya. Para anggotanya akan membatasi lingkungan bermainnya dalam suatu kelompok tertentu, sehingga hubungan sosialnya dengan masyarakat umum yang lebih luas akan terhambat. Kedua, anak remaja terkadang terlalu mengedepankan kepentingan kelompok teman sebayanya,

sehingga hubungan mereka dengan keluarga renggang. Ketiga, timbulnya pertentangan dan masalah-masalah antara kelompok sebaya karena adanya berbagai perbedaan pendapat antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya terkait dengan adanya anak yang terlalu mengedepankan kepentingan kelompok teman sebayanya.

2.1.3 Kelompok Sosial

Kelompok sosial merupakan himpunan manusia yang saling berinteraksi dan bekerja sama sedemikian rupa sehingga menumbuhkan perasaan kebersamaan. Terbentuknya kelompok sosial 139

 pada umumnya karena naluri manusia yang selalu ingin hidup berkelompok dan adanya kesamaan dalam sejumlah hal, seperti kepentingan, tujuan, latar belakang wilayah, atau ideologi. Dari segi keanggotaanya, kelompok sosial dapat bersifat sangat longgar, bersifat sukarela, seperti kelompok peminatan atau paguyuban keagamaan. Akan tetapi, keanggotaan kelompok sosial  juga dapat bersifat ketat, serta melalui proses perekrutan dengan sejumlah persyaratan, seperti himpunan pengacara atau asosiasi dokter atau akuntan. Pada masyarakat yang kompleks biasanya setiap manusia tidak hanya mempunyai satu kelompok sosial tempat ia menjadi anggotanya. Namun, ia juga menjadi anggota beberapa kelompok sosial sekaligus. Keanggotaan pada masing-masing kelompok sosial tersebut dapat memberikan kedudukan dan prestise tertentu. Namun, sifat keanggotaan suatu kelompok tidak selalu bersifat sukarela, ada juga yang sifatnya paksaan. Misalnya, selain sebagai anggota kelompok di tempatnya bekerja, seseorang juga dapat menjadi anggota perkumpulan pengajian di sebuah masjid besar, anggota Ikatan Insinyur Indonesia, anggota Paguyuban Desa Winong Kulon Kutoarjo, anggota KADIN, anggota Ikatan Dokter Indonesia, dan sebagainya. Menurut Soerjono Soekanto, himpunan manusia dapat disebut sebagai kelompok sosial  bila memenuhi persyaratan sebagai berikut (Soekanto, 1982). a. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang  bersangkutan.  b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya. c. Ada suatu faktor yang dimiliki bersama, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat, misalnya: nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, ideologi politik yang sama, dan lain-lain. d. Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku. e. Bersistem dan berproses.

2.2 Tipologi Kelompok Berdasarkan Efektivitasnya

Berdasarkan efektivitasnya, Johnson dan Johnson (2006) membedakan empat macam kelompok, yaitu kelompok  pseudo ( pseudogroups), tradisional (traditional groups), efektif (effective groups), dan kinerja tinggi (high-performance groups).

140

2.2.1 Kelompok Pseudo

Kelompok Pseudo adalah kelompok yang anggotanya mendapat tugas untuk bekerja bersama, namun sebenarnya tidak berminat untuk melaksanakannya. Mereka percaya bahwa kinerja mereka akan dievaluasi, mulai dari yang tertinggi sampai yang paling rendah. Walaupun anggota kelompok saling berbicara, sebenarnya mereka saling bersaing. Mereka menganggap satu sama lain sebagai saingan yang harus dikalahkan atau dihambat dan harus saling menghalangi kinerja satu sama lain. Mereka juga saling menyembunyikan informasi dan berusaha menyesatkan serta membuat yang lain bingung sehingga tidak percaya satu dengan yang lain. Akibatnya, individu  jadi lebih produktif apabila bekerja sendiri dan merasa lebih baik jika dibandingkan dengan kerja kelompok. Kelompok macam itu tidak akan mencapai kematangan karena anggotanya tidak  berminat dan tidak berkomitmen terhadap masa depan kelompoknya. Contoh dari Kelompok Pseudo adalah kelompok para pramujual (salesman) yang anggotanya saling bersaing untuk jadi

yang terbaik dan melakukan penjualan terbanyak.

2.2.2 Kelompok Tradisional

Kelompok Tradisional adalah kelompok yang anggotanya mendapat tugas untuk bekerja sama. Mereka sadar harus bekerja sama. Namun, anggota kelompok percaya bahwa mereka akan dinilai sebagai individu, bukan sebagai anggota kelompok. Akibatnya, tugas-tugas menjadi sangat terstruktur sehingga kecil sekali kerja sama yang dituntut. Anggota kelompok berinteraksi terutama untuk menjelaskan bagaimana pekerjaan harus dilakukan. Mereka berusaha mendapatkan informasi dari yang lain, tetapi tidak bermotivasi untuk membagi informasi pada anggota yang lain. Anggota kelompok bertanggung jawab atas pekerjaannya masing-masing, tetapi bukan sebagai tim. Beberapa anggota kelompok bermalas-malasan dan menggantungkan diri pada anggota yang lebih serius. Anggota yang lebih serius merasa dieksploitasi, lalu akan mengurangi kerjanya. Akibatnya, hasil kerja sama beberapa anggota itu akan lebih baik daripada hasil kerja mereka saat mereka bekerja sendiri-sendiri. Namun, hasil kerja anggota yang lebih serius akan lebih baik hasilnya kalau bekerja sendiri dibandingkan bila mereka bekerja dalam kelompok. Kelompok Tradisional banyak ditemui pada kelas-kelas yang pembentukan kelompoknya ditetapkan oleh guru atau dosen.

141

2.2.3 Kelompok Efektif

Kelompok Efektif tidak dapat dipahami sebatas jumlah dari bagian-bagiannya. Kelompok Efektif adalah kelompok yang anggota-anggotanya berkomitmen untuk memaksimalkan keberhasilan dirinya maupun keberhasilan anggota-anggota yang lain. Beberapa karakteristik dari Kelompok Efektif adalah saling bergantung secara positif ( positive interdependence), mampu menyatukan  para anggota kelompok untuk mencapai sasaran operasional yang jelas, mengembangkan komunikasi dua arah, menggunakan prinsip kepemimpinan terdistribusikan (memimpin secara  bergantian), dan menentukan kekuasaan berdasarkan keahlian. Sebagai tambahan, kelompok yang efektif menampilkan proses pengambilan keputusan yang memungkinkan setiap anggota kelompok saling mempertanyakan informasi dan penalarannya dan mengatasi konflik secara konstruktif. Anggota Kelompok Efektif saling mengandalkan tanggung jawab dalam menjalankan bagian tugasnya dengan membantu keberhasilan setiap anggota kelompok.

2.2.4 Kelompok Kinerja Tinggi

Kelompok Kinerja Tinggi memenuhi seluruh kriteria dari kelompok yang efektif. Bedanya dengan kelompok efektif, jenis kelompok ini terletak pada tingkat komitmen pada keberhasilan anggotanya maupun komitmen pada keberhasilan kelompok. Kelompok ini mempunyai tingkat komitmen yang lebih tinggi, tidak hanya kepercayaan, namun juga respek satu sama lain. Mereka sangat peduli pada anggota-anggota kelompoknya termasuk pada pengembangan pribadi setiap anggota kelompok tersebut. Setiap anggota selalu siap untuk membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan. Sayangnya, jarang sekali ada kelompok yang mencapai tingkat  perkembangan model ini.

2.3 Membangun Hubungan Antarpribadi

Hubungan antarpribadi mencakup berbagai fungsi. Melalui hubungan antarpribadi, akan terpenuhi berbagai kebutuhan dasar manusia, antara lain kebutuhan akan kasih sayang. Maksudnya, seseorang dapat menerima dan memberikan kehangatan dan keramahan serta kebutuhan inklusi. Hal itu berarti bahwa seseorang dapat mengalami perasaan saling memiliki dengan orang lain dan mampu menunjukkan perasaan terhadap orang lain sesuai dengan pesan yang mereka miliki, termasuk kebutuhan akan kesenangan, yaitu berbagi kebahagiaan dan halhal menyenangkan. Seseorang juga mempunyai kebutuhan untuk “melarikan diri,” yaitu 142

memperbolehkan seseorang untuk mengalihkan diri. Seseorang juga membutuhkan kontrol, yakni memberikan kebebasan kepadanya untuk mengelola kehidupannya sendiri dan memengaruhi orang lain (Rubin, Perse, & Barbato, 1988). Hubungan antarpribadi melibatkan peran persepsi dan peran komunikasi. Keduanya  berperan dalam menciptakan hubungan antarpribadi yang harmonis dan produktif. Kesalahan dalam persepsi dan komunikasi dapat menciptakan kondisi yang sebaliknya. Berikut adalah  penjelasan tentang peran persepsi dan komunikasi dalam hubungan antarpribadi.

2.3.1 Peran Persepsi

Persepsi

adalah

sebuah

proses

mengorganisasi

dan

menginterpretasikan informasi sehingga menjadi berarti (King, 2011). Dalam mempersepsi, individu mengorganisasi dan menginterpretasikan apa yang ditangkap oleh inderanya. Persepsi mungkin saja tidak sesuai dengan realitas namun sangat penting karena perilaku individu biasanya didasari oleh  persepsinya, bukan realitas itu sendiri. Contohnya, seorang ibu merasa telah berlaku adil. Namun, jika salah seorang anaknya merasa tidak diperlakukan secara adil, anak itu akan  berpendapat,

bersikap, dan

memilih tindakan

berdasarkan persepsinya, yang

merasa

dianaktirikan. Ada banyak faktor yang memengaruhi persepsi, baik yang membentuk maupun yang mendistorsinya. Faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. a) Karakteristik dari individu yang mempersepsi ( perceiver ) seperti sikap, motif,minat, pengalaman masa lalu serta ekspektasinya.  b) Karakteristik dari target, misalnya menarik atau tidak, gerakan, suara, ukuran, dan lain sebagainya. c) Situasi, yaitu konteks dari lingkungan sekitar yang memengaruhi persepsi.

Perhatikan gambar di sebelah ini. Gambar apakah ini? Apakah yang pertama Anda lihat adalah gambar seorang gadis atau seorang nenek? Apakah Anda dapat melihat baik gambar gadis maupun gambar nenek? Sebuah petunjuk untuk melihat kedua-duanya, yaitu dengan melihat dagu pada gambar itu yang dapat dilihat juga sebagai hidung sang nenek. Bagaimana? Berhasilkah Anda melihat dua figur tersebut? Biasanya apa yang pertama kali terlihat bergantung

143

 pada minat individu atau apa yang lebih familier bagi seseorang. Dalam menilai orang lain, kita sering kali menggunakan jalan pintas. Walaupun seringkali jalan pintas itu membantu mempercepat individu menyimpulkan apa yang dipersepsi, cara itu dapat menyesatkan. Selain itu, jalan pintas dapat membantu dalam mengenali saat terjadi dan menghindari distorsi dalam persepsi. Jalan pintas yang sering diambil ini dapat dipaparkan sebagai berikut. a)

Persepsi yang selektif: individu menginterpretasi apa yang dilihatnya secara selektif  berdasarkan minat, latar belakang, pengalaman, dan sikapnya, namun membuang bagian informasi yang dirasakan mengancam atau dianggap tidak relevan, seperti menggunakan filter untuk menyaring hanya yang sesuai dengan harapannya.

 b)

Proyeksi: mengatribusikan sikap, karakteristik, atau keterbatasannya sendiri pada orang lain. Orang yang curang atau berbohong dapat berasumsi semua orang juga curang dan  berbohong.

c)

Streotip: menilai seseorang atau kelompok berdasarkan penilaian umum, misalnya: orang Jawa halus, anak bungsu manja, orang tua kolot.

d)

Halo  Effect : perasaan positif mengenai sebuah karakteristik pada individu memengaruhi  penilaiannya mengenai karakteristik yang lain, misalnya, menilai seseorang yang kelihatannya perlente sebagai intelek atau terpelajar.

2.3.2 Peran Komunikasi dalam Hubungan Antarpribadi Sebagai makhluk sosial, individu harus berhubungan satu sama lainnya. Individu-individu saling mengirim dan menerima pesan yang bermakna dengan cara berkomunikasi. Komunikasi ada di mana-mana. Kita tidak dapat menghindari komunikasi dan kita akan terlibat dalam komunikasi hampir setiap menit setiap hari dalam hidup kita. Komunikasi memainkan peran utama dalam hampir setiap aspek kehidupan. Terlepas dari kepentingan dan tujuannya, kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif akan meningkatkan dan memperkaya hidup kita. Sebagaimana mempelajari kompleksitas hubungan antarmanusia, kita juga mempelajari komunikasi. Pertama, kita belajar bahwa orang lain berada dalam hubungan yang sangat berbeda satu sama lain. Kita belajar bahwa mereka dapat menerima atau meremehkan kita. Kita belajar bahwa mereka dapat berperilaku seolah-olah mereka lebih unggul atau lebih rendah dari kita. Kita juga  belajar bahwa di antara mereka ada yang mungkin sulit didekati atau sangat formal. Secara pasti, kita mengetahui bahwa orang-orang tidak dapat dipertukarkan satu sama lain. 144

2.3.3 Strategi Menangani Konflik

Berikut ini adalah lima tipologi strategi yang dilakukan kelompok dalam menghadapi konflik guna mencapai tujuan kelompok. Pengenalan akan tipologi ini dapat menjadi landasan dalam menetapkan pengelolaan konflik di dalam kelompok untuk tercapainya tujuan secara optimal. Perlu diingat bahwa anggota kelompok yang efektif akan mampu menghadapi konflik. Mereka terlibat dalam mengatasi konflik tersebut dengan cara negosiasi integratif. Jika negosiasi gagal, mediasi dapat terjadi. Apabila konflik berhasil diselesaikan secara konstruktif, efektivitas kelompok akan meningkat. Oleh karena itu, konflik merupakan aspek penting dan sangat diperlukan guna meningkatkan efektivitas kelompok.

a) Strategi Burung Hantu (Kolaborasi)

Strategi burung hantu sangat menghargai tujuan maupun hubungan. Apabila tujuan maupun hubungan dianggap sama pentingnya untuk menyelesaikan konflik, individu akan memilih  pemecahan masalah melalui negosiasi. Solusi yang dicari dapat dipastikan bahwa ia maupun anggota kelompok lainnya dapat mencapai tujuan dan menyelesaikan setiap ketegangan serta  perasaan negatif antara mereka yang terlibat konflik. Strategi ini memerlukan langkah yang  berisiko, seperti ketika mengungkapkan suatu pandangan mungkin saja akan mendapat bantahan yang cukup keras.

b) Strategi Boneka Beruang (Akomodasi)

Di dalam strategi boneka beruang, hubungan dianggap sangat penting, sedangkan tujuan mengandung derajat kepentingan yang rendah. Dalam menghadapi konflik dengan orang lain, individu yang menggunakan strategi ini cenderung lebih mempertahankan kualitas hubungan. Mereka cenderung mengorbankan tujuannya sendiri. Cara ini dapat saja dilakukan apabila tujuan tidak begitu penting dan apabila kualitas hubungan tidak dijaga, akan lebih berdampak buruk.

c) Strategi Hiu (Konfrontasi)

Strategi Hiu menganggap hubungan tidak penting, tetapi tujuan merupakan faktor yang sangat  penting. Oleh karena itu, individu akan mencoba untuk mengalahkan lawan dengan memaksa mereka menyerah sehingga ia dapat mencapai tujuannya. Hiu berusaha untuk mencapai tujuannya dengan memaksa atau membujuk yang lain hingga berhasil. Strategi penyelesaian 145

konflik model ini dilakukan untuk meraih kemenangan melalui ancaman, agresi fisik dan verbal, hukuman-hukuman, atau tindakan-tindakan lain yang merugikan orang lain. Strategi ini tidak memedulikan dampak terganggunya hubungan dengan anggota kelompok lain.

d) Strategi Rubah (Kompromi)

Rubah menganggap tujuan dan hubungan dengan anggota kelompok lain sama pentingnya. Akibatnya, dia dan anggota kelompok lain yang terlibat konflik tidak mungkin memperoleh semua yang diinginkan dalam mencapai kesepakatan. Orang dengan gaya rubah merasa perlu untuk menyerahkan sebagian tujuannya dan sedikit mengorbankan hubungannya kepada anggota kelompok lainnya itu. Dengan kompromi, kedua belah pihak bertemu di tengah sehingga masing-masing mendapat setengah. Kompromi demikian sering digunakan ketika konflik terjadi.  Namun, perlu diingat bahwa strategi ini hanya menghasilkan penyelesaian sementara, masih ada “pekerjaan rumah” yang perlu diselesaikan.

e) Strategi Kura-kura (Menghindar)

Apabila merasa terancam, kura-kura akan menarik dirinya dan bersembunyi di dalam cangkangnya. Demikian pula orang dengan gaya kura-kura. Apabila terlibat konflik dengan orang lain, ia cenderung menarik diri untuk mementingkan hubungannya dengan orang lain dan tujuannya tidak akan tercapai. Apabila tujuan tidak dianggap penting dan hubungan dengan orang lain tidak perlu dijaga, gaya kura-kura ini dapat dipilih. Untuk sementara waktu, demi menghindari konflik karena tingginya emosi masing-masing, langkah ini dapat digunakan.

2.4 Kepemimpinan dalam Kelompok Kepemimpinan sehalus melodi Mozart. Musik ada dan tiada. Musik tertulis di halaman, tapi itu tidak akan berarti apa-apa apabila tidak ditampilkan dan didengar. Banyak tidaknya efek tergantung pada pelaku dan pendengarnya. Pemimpin terbaik, seperti musik terbaik, menginspirasi kita untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru (M.Kur, 1997:271).

Para pemimpin kelompok atau organisasi menghadapi tantangan serupa. Sementara mereka tidak  perlu membawa pasukan ke medan perang, pemimpin organisasi harus memahami lingkungan tempat mereka beroperasi, menetapkan tujuan dan sasaran, dan memotivasi karyawan mereka untuk mencapai keunggulan untuk ‘pertempuran’ di pasar global. Selain itu, para pemimpin 146

harus memimpin "pasukan" dengan cara yang memungkinkan mereka tidak hanya melakukan tugas-tugas yang diperlukan tetapi juga untuk berpartisipasi dalam sehari-hari keputusan yang memengaruhi mereka. Anggota kelompok atau organisasi berharap dapat memainkan peran yang lebih berarti dalam kegiatan kelompok atau organisasi daripada di masa lalu, menerjemahkan  perintah dan pendekatan kontrol untuk kepemimpinan tidak akan banyak manfaatnya. Demikian halnya dalam kerja kelompok belajar di lingkungan mahasiswa, seorang pemimpin hendaknya mampu menggerakkan anggota kelompok belajarnya mencapai sasaran pembelajaran yang telah ditetapkan.

2.4.1 Peran Kepemimpinan

Setiap orang mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin besar. Beberapa yang  bahkan pada awalnya sederhana seperti Abraham Lincoln dan Jenderal Sudirman, telah naik ke  posisi kepemimpinan dan memengaruhi banyak orang dan bahkan bangsa. Anda mungkin  berpikir, "Tapi aku hanya seorang mahasiswa," "Saya tidak pintar,” atau “Orang tua saya tergolong tidak mampu”. Tidak ada cetakan tunggal untuk menjadi pemimpin besar. Mereka ada yang perempuan (misalnya Sri Mulyani) dan laki-laki, tua dan muda, berbadan sehat dan fisik ditantang, dan datang dari semua bangsa dan latar belakang sosial ekonomi. Jadi, apa yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin besar? Menurut Kouzes dan Posner (1993), pemimpin yang efektif ditandai oleh kemampuan mereka untuk membuat kelompoknya mengikuti apa yang diarahkannya.

2.4.2 Sifat-sifat yang diperlukan Pemimpin a. Tertantang oleh Proses

Hendaknya seorang pemimpin merasa tertantang untuk melakukan suatu usaha yang dapat membawa anggota kelompok mencapai suatu tujuan sekalipun dihadapkan pada berbagai kesulitan. Organisasi dan kelompok adalah tempat terjadinya konflik yang tak terhindarkan, termasuk juga konflik eksternal. Ketegangan yang terjadi dapat meningkatkan produktivitas. Pemimpin perlu menyoroti bahwa jika anggota tidak bekerja untuk meningkatkan keahlian, keahlian tersebut akan hilang. Keahlian adalah proses, bukan produk akhir. Setiap orang atau organisasi terus berubah. Jika keahlian tidak tumbuh, keahlian akan menurun. Jika seseorang percaya bahwa dia adalah 147

seorang ahli dan berhenti mencoba untuk belajar lebih banyak, ia akan kehilangan keahlian yang terdapat dalam dirinya.

b. Menginspirasi Visi Bersama secara Jelas

Tanggung jawab kepemimpinan berikutnya adalah menciptakan visi bersama. Semua anggota  berkomitmen untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam rangka mencapai visi bersama itu, seorang  pemimpin harus (1) memiliki visi yang dapat dicapai organisasi; (2) mengomunikasikan visi itu dengan komitmen dan antusiasme;

(3) membuat visi bersama dapat diadopsi oleh anggota

sebagai milik mereka; dan (4) membuat visi yang rasional dan prosedural yang disusun  berdasarkan kesepakatan bersama. Pemimpin yang efektif akan mengakui nilai-nilai, keyakinan, dan emosi anggota kelompok, serta memotivasi mereka untuk menyelaraskan diri dengan misi yang mencerminkan kebaikan yang lebih besar. Pemimpin hendaknya antusias dan sering berkomunikasi tentang impian tim juga organisasi. Pemimpin harus menjadi tempat anggota kelompok untuk saling  berbagi, membantu, mendorong, dan mendukung usaha agar berhasil. Selain itu, pemimpin perlu  bekerja sama dengan anggota kelompok untuk menjalani pekerjaan yang dapat dilakukan dan menciptakan kepedulian serta berkomitmen yang mendorong anggota maju dalam pencarian  bersama mereka untuk mencapai prestasi yang unggul. Praktik-praktik baru harus didasarkan  pada pengetahuan tentang penelitian yang relevan berdasarkan teori untuk mencapai hasil yang lebih baik. Seseorang pemimpin tanpa pengikut bukanlah pemimpin. Orang tidak akan menjadi  pengikut suatu kelompok atau organisasi sampai mereka menerima visi kelompok sebagai milik mereka.

c. Memungkinkan Orang Lain untuk Bertindak

Pemimpin yang efektif akan berbagi informasi dan kekuasaan dengan cara berkolaborasi serta memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya untuk menetapkan dan mencapai tujuan  bersama. Pemimpin harus mempunyai pengetahuan tentang minat dan potensi setiap anggota kelompok. Dengan pengetahuan tersebut, seorang pemimpin harus mampu mendorong anggota kelompok untuk memberikan saran, masukan, dan kontribusi dengan cara yang berarti. Dengan mendengarkan dan mendukung semua anggota kelompok, akan tercipta suasana saling percaya untuk mengembangkan potensi bersama. 148

d. Model Bagaimana Kelompok Berfungsi

Seorang pemimpin adalah bagian yang tidak terlepas dari kelompok. Dengan kata lain, kekuatan seorang pemimpin pada dasarnya tidak begitu banyak karena peran mereka sesungguhnya diberikan oleh para pengikutnya. Dengan demikian, agar efektif, pemimpin harus menunjukkan  perilaku yang konsisten antara kata dan perbuatan mereka. Sebagai contoh, ketua kelas yang mengkoordinasi kelompok-kelompok di dalam kelas. Jikalau ketua kelas tersebut mengharapkan ketua kelompok dapat memberdayakan anggota setiap kelompok, ia harus menjadi model dalam melakukan disposisi kekuasaan dan tanggung jawab, dapat menerima kesalahan, serta melibatkan semua ketua kelompok dalam pengambilan keputusan bersama. Demikian pula, para  pemimpin yang mengharapkan ketekunan dan dedikasi dari orang-orang yang dipimpinnya sebaiknya menunjukkan diri sebagai seorang yang tekun dan berdedikasi. Ia juga seharusnya tidak memperlihatkan sikap mudah menyerah bahkan di tengah-tengah kesulitan sekalipun.

e. Mendorong Berkembangnya Semangat Kebersamaan

Pemimpin hendaknya mampu menemukan cara untuk menghargai anggota dan kelompok untuk mencapai kemajuan serta sukses mencapai tujuan bersama. Pemimpin yang efektif akan memberikan pelatihan, umpan balik, dan pengakuan pada anggotanya untuk menunjukkan  penghargaan atas upaya mereka. Oleh karena itu, konsep kepemimpinan dapat dipelajari, misalnya melalui suatu pelatihan atau memanfaatkan peluang untuk menjadi seorang pemimpin.

149

BAB 3 MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERKEBUDAYAAN

3.1 Hakikat Kebudayaan sebagai Bukti Keunggulan Manusia

Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, keberadaan seseorang senantiasa tergantung kepada keberadaan orang lain. Pada 2300 SM, seorang filsuf terkenal, Aristoles, menyebutkan bahwa “man a social animal”, manusia adalah makhluk sosial. Tanpa kehidupan sosial, tampaknya sulit mengharapkan individu dapat berkembang sepenuhnya, sehingga ada ungkapan “manusia hanya bisa menjadi manusia bila ia hidup bersama manusia lain”. Keberadaan seseorang sangat tergantung pada lingkungan sosial, di mana ia berada. Demikian juga identitas seseorang, ia dikenal melalui keberadaannya dalam lingkup sosialnya. Di dalam lingkungan sosial itulah dikembangkan suatu kebudayaan, yaitu keseluruhan kompleks,  berupa ilmu pengetahuan, keyakinan, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat (E.B. Tylor, 1871 di dalam Widaghdo, 2001: 19). Segala tingkah laku manusia, meskipun dalam kadar tertentu sama dengan tingkah laku tumbuhan dan binatang, namun apa yang dilakukan manusia memiliki derajat kualitas yang  berbeda dengan yang dilakukan oleh makhluk hidup lainnya.

Jika tumbuhan dan binatang

memiliki daya hidup sesuai dengan apa yang disediakan oleh alam, maka manusia memiliki kemampuan daya hidup yang

luar biasa. Manusia memiliki kemampuan untuk mengatasi,

mengubah, dan merekayasa alam. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan yang dimiliki tumbuhan dan binatang. Seperti kita ketahui, tumbuhan akan mati dalam suatu kondisi yang tidak memungkinkan terjadinya fotosentesis. Tumbuhan yang berada di tempat gelap dan tidak memungkinkan mendapat sinar matahari tidak dapat mengupayakan dirinya berjalan menuju tempat lain untuk mendapatkan sinar matahari. Adapun manusia memiliki daya untuk bertahan hidup dalam situasi apapun. Manusia dapat kita temukan di suatu tempat yang sangat panas, maupun di tempat yang sangat dingin. Ada jenis binatang yang dapat membuat sarang untuk tempat tinggalnya. Namun,  perhatikanlah bagaimana sarang itu hanya berbentuk satu macam. Sementara itu perhatikanlah  bagaimana manusia dapat membentuk berbagai ragam bentuk rumah yang disesuaikan dengan lingkungan alam dan juga lingkungan budaya setempat. Selain itu, manusia dapat meniru bentuk 150

rumah dari kelompok masyarakat lainnya. Dengan akal pikiran yang dimilikinya, manusia tidak sekedar berjalan, makan, berbicara, melakukan reproduksi, dan aktivitas sebagai mana makhluk hidup lainnya. Manusia dapat mengekspresikan dan mengkreasikan cara berjalan, sehingga menjadi cara berjalan yang khas, seperti cara berjalan prajurit, cara berjalan foto model, dan sebagainya.

Demikian juga cara makan yang dilakukan manusia, sangat dipengaruhi oleh

lingkungan sosial dan budaya tempat manusia itu berada, sehingga kita mengenal berbagai ragam cara makan. Selain itu, sebagai makhluk berbicara, manusia saling berkomunikasi menyampaikan gagasan dan pendapatnya. Kemampuan bicara manusia ini bahkan tidak hanya terbatas pada hubungan antarmanusia saja, tetapi juga antarmanusia dengan masyarakat yang lebih luas. Hal ini dimungkinkan karena bahasa manusia merupakan seperangkat pola yang dapat dipelajari, maka siapapun dapat mempelajari bahasa kelompok manusia di luar kelompoknya. Demikian  juga, pola interaksi manusia sangat dipengaruhi oleh tata aturan yang dikenal sebagai adat istiadat, hukum aturan agama, negara, dan hubungan internasional. Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa karakter manusia sebagai makhluk hidup memiliki keunggulan dari karakter makhluk hidup lainnya.

Dengan demikian,

dapat

disimpulkan bahwa terdapat suatu kompleksitas cara hidup kelompok manusia, yang meliputi kebiasaan, keyakinan, dan tata aturan yang berpola, yang dikenal dengan istilah kebudayaan. Secara singkat, kebudayaan adalah the total way of life of any society,  keseluruhan cara hidup suatu masyarakat (Ember & Ember, 2007: 215).

3.1.1 Fungsi dan Hakikat Kebudayaan

Kebudayaan

merupakan karya manusia dalam rangka hidup bermasyarakat. Manusia dalam

interaksinya di masyarakat tidak senantiasa dalam keadaan harmonis. Manusia juga selalu mendapatkan berbagai rintangan dan hambatan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan alamnya. Selain itu,

manusia juga membutuhkan media untuk mengkspresikan kebutuhan

spiritualnya. Di sinilah kebudayaan berfungsi sebagai wadah pemenuhan kebutuhan manusia. Kebudayaan juga berguna untuk mengisi serta menentukan jalan kehidupan manusia, walaupun hal ini jarang disadari oleh manusia. Soekanto (1990:214) menjelaskan

kegunaan kebudayaan bagi manusia, yaitu untuk

melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antarmanusia dan sebagai wadah dari 151

segenap perasaan manusia. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan hakekat kebudayaan, yaitu: (1) Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia, (2) Kebudayaan telah ada lebih dahulu mendahului lahirnya manusia; meskipun tidak selalu demikian, karena dapat saja kebudayaan lahir dari manusia masa kini yang dapat disaksikan atau dialami oleh manusia yang telah lahir sebelum kebudayaan itu ada, (3) Kebudayaan diperlukan oleh manusia, (4) Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan yang diterima atau ditolak, tindakan yang dilarang atau yang diizinkan, (5) Kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis, sebagai mana manusia dan masyarakat yang melahirkan kebudayaan itu juga  bersifat dinamis. Widagdho (2001), menjelaskan bahwa manusia, di dalam kelompok sosialnya, mengembangkan kebudayaan, dalam rangka: (a) menguasai dan memanfaatkan unsur-unsur yang terdapat di alam semesta untuk keperluan hidupnya. Salah satunya dengan mengatur perkembangan spesies lainnya atau  bahkan dapat menyebabkan dan dapat berupaya menghindarkannya dari kepunahan, meskipun hal itu tidak dapat dilakukan untuk diri manusia itu sendiri. Contohnya manusia dapat melakukan budidaya hewan langka, seperti penyu, udang, dan lain sebagainya; (b) mengembangkan kreativitas, dengan menciptakan benda-benda yang diperlukan dalam bentuk dan model menurut keinginannya; (c) mengembangkan rasa indah atau keindahan (estetika) dengan menciptakan benda-benda seni yang dapat memenuhi kenikmatan hidup rohaninya; (d) mengembangkan komunikasi dengan sesama, melalui bahasa, yang memungkinkan mereka dapat saling bertukar informasi; (e) mengatur kehidupan bersama melalui tata aturan sopan santun atau tata susila, yang memungkinkan terciptanya suasana kehidupan bersama yang tertib dan saling menghargai; (f) mengembangkan ilmu pengetahuan yang memungkinkan kehidupan mereka semakin  berkembang dan berkualitas; (g) Manusia memiliki pegangan hidup antarsesama demi kesejahteraan hidupnya; dan  juga aturan “pergaulan” dengan Sang Pencipta, sehingga mendapatkan ketenangan batin. Kebudayaan mengenal ruang dan waktu untuk tumbuh dan berkembang. Kebudayaan Indonesia, misalnya, adalah kebudayaan yang berada di dalam ruang geografis wilayah Negara 152

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini membedakan kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Malaysia, Singapura, Amerika, dan lain sebagainya. Perbedaan tempat ini kemudian melahirkan sebutan kebudayaan asli dan kebudayaan asing. Kebudayaan asli adalah kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa tersebut, sedangkan sebutan kebudayaan asing menunjukkan cara  pandang masyarakat kebudayaan tertentu terhadap kebudayaan yang berkembang di luar masyarakatnya. Kebudayaan menurut waktunya, dapat dipandang sebagai kebudayaan masa lalu dan masa sekarang. Adanya perbedaaan tumbuh kembang (dinamika) kebudayaan dan terjadinya inovasi yang berbeda-beda, menyebabkan dikenal istilah kebudayaan masa lalu (yang dianggap sebagai kebudayaan yang tidak sesuai dengan masa kini) dan kebudayaan masa kini (yang dianggap sebagai kebudayaan yang sesuai dengan zaman). Selain itu, dikenal juga istilah kebudayaan klasik, yang mengacu kepada kebudayaan masa lalu dan kebudayaan modern yang mengacu kepada kebudayaan terkini.

3.1.2 Definisi Kebudayaan

Definisi kebudayaan tidaklah tunggal, melainkan beragam. Setiap orang atau kelompok masyarakat di tempat dan masa yang berbeda memiliki definisi kebudayaan masing-masing yang mencerminkan pemahaman tentang makna kebudayaan yang berbeda-beda pula. Dua ahli antropologi, A.L.Kroeber dan Kluckhohn (1952) berhasil mengumpulkan 160 definisi kebudayaan di dalam buku berjudul Culture: a Critical Review of Concepts and Definitions. Tentu saja angka 160 bukanlah jumlah yang tetap, sebagaimana sifat kebudayaan yang dinamis,  jumlah ini pun memungkinkan terus bertambah. Dalam istilah bahasa Inggris, kata yang sepadan dengan kebudayaan, yaitu culture, diambil dari bahasa latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengolah tanah atau bertani (Koentjaraningrat, 2009:146). Istilah culture ini terkait dengan pengalaman pertama kali manusia menemukan cara bercocok tanam dengan menggunakan irigasi (pertanian). Penemuan pertanian telah mengubah pola kehidupan manusia pada masa lampau dari kelompok manusia yang berpindah-pindah menjadi kelompok masyarakat yang menetap.

Selanjutnya,

kehidupan pertanian, menuntut suatu pola pengaturan pengairan yang menciptakan struktur masyarakat baru dan perikehidupan yang baru. Pola kehidupan pada masyarakat pertanian inilah

153

kemudian disebut dengan colere  atau culture. Dengan demikian, culture  terkait erat dengan  perubahan pola kehidupan masyarakat, yang bermula dari pertanian. Pengertian kebudayaan yang umumnya dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah  pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Selo Soemardjan dan Sulaeman Sumardi, yaitu semua hasil karya, rasa, cipta, dan karsa masyarakat (Soekanto, 1990:189). Pengertian ini dikaitkan dengan asal kata kebudayaan yang berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Dari pengertian etimologis itulah kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal dan budi. Akal berkaitan dengan kecerdasan otak manusia, sedangkan budi berkaitan dengan perasaan, yang ditampilkan melalui etika dan estetika. Adanya budi dan daya inilah yang membedakan manusia dengan spesies lainnya di bumi ini.  Namun, amat disayangkan, pengertian kebudayaan sebagai hasil karya, rasa, cipta, dan karsa, sering kali ditekankan kepada kata “hasil”, yang memandang kebudayaan sebagai suatu hasil, sehingga kebudayaan sering hanya dilihat sebagai produk yang dipertunjukkan. Tidak mengherankan jika berbicara tentang kebudayaan, maka hal-hal yang dibahas adalah tentang  pertunjukkan karya kesenian, karya sastra, arsitektur, dan lain sebagainya, sebagai suatu karya kebudayaan. Kebudayaan dengan pengertian hasil sering kali dipahami secara sempit sebagai hasil kesenian. Konsep kebudayaan yang cukup lengkap adalah yang dikemukakan oleh Lawless (di dalam Saifuddin, 2006: 87), yaitu pola-pola perilaku dan keyakinan (dimediasi oleh simbol) yang dipelajari, rasional, terintegrasi, dimiliki bersama, dan yang secara dinamik adaptif dan yang tergantung pada interaksi sosial manusia demi eksistensi mereka. Malinowski (1961, 1944) menjelaskan

bahwa

kebudayaan

berkaitan

dengan

kebutuhan manusia dan pemenuhannya melalui fungsi dan  pola-pola. Adapun Kluckhohn (1994) melihat kebudayaan sebagai blue-print  bagi kehidupan manusia. Definisi kebudayaan, menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat (2009:144), adalah keseluruhan ide atau gagasan, tingkah laku, dan hasil karya manusia dalam rangka hidup bermasyarakat yang diperolehnya Gambar 3.1 Prof. Dr. Koentjaraningrat, Bapak Antropologi Indonesia (1923 –1999)

dengan cara belajar.

Dari pengertian ini dapat dipahami 154

 bahwa suatu kebudayaan terdiri dari tiga wujud: (1) pertama berupa ide atau gagasan; (2) kedua  berupa gerak atau aktivitas yang berpola, dan (3) ketiga, berupa benda-bend a kongkret.

3.1.3 Tiga wujud kebudayaan

Koentjaraningrat, menjelaskan tiga wujud kebudayaan yang meliputi: wujud pertama berupa ide, wujud kedua berupa tindakan, dan wujud ketiga berupa artefak, sebagai berikut. a. Wujud pertama, yaitu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya. Wujud ini bersifat abstrak, karena berada dalam alam pikiran manusia (masyarakat). Ide atau gagasan ini memberi jiwa kepada masyarakat dan mempengaruhi tindakan dan hasil kebudayaan yang dihasilkan. Wujud pertama kebudayaan ini disebut dengan istilah sitem budaya (cultural system), yang lebih dikenal dengan istilah adat atau adat istiadat. Adat (adat istiadat) atau sistem budaya ini diwariskan secara lisan turun temurun. Dalam perkembangan selanjutnya wujud ideal ini dapat disimpan di dalam disket, arsip, koleksi mikro film, kartu komputer, dan media sebagainya.  b. Wujud kedua  meliputi kompleks dari aktivitas serta tindakan berpola dari manusia. Wujud kedua ini disebut sistem sosial (social system), yang meliputi seluruh aktivitas manusia dalam berinteraksi, berhubungan, bergaul satu sama lain dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan seterusnya, menurut pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan yang berlaku. Sistem sosial ini bersifat kongkret, artinya dapat dilihat dengan indera, dapat diobservasi,  juga didokumentasikan dengan media foto atau video. c. Wujud ketiga, berupa hasil karya manusia yang berwujud benda-benda fisik atau artefak, baik  berupa benda-benda yang berukuran besar seperti gedung dan rumah atau benda-benda yang  berukuran kecil, seperti kancing baju, jarum, dan lain-lain; baik benda-benda yang mempunyai nilai guna maupun nilai seni yang indah. Wujud kebudayaan inilah yang paling kongkret dan paling nampak. Wujud ketiga ini juga sering kali dijadikan indikator dalam menilai kemajuan kebudayaan suatu masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan itu saling berkaitan satu dengan lainnya. Suatu benda hasil karya manusia pastilah

merupakan hasil aktivitas manusia yang lahir dari suatu idea atau

gagasan. Demikian juga suatu gagasan dapat memiliki arti jika diketahui oleh manusia lainnya dan terealisasi sebagai suatu landasan berperilaku dan terwujud melalui suatu karya yang  bermanfaat. Sebagai contoh misalnya ketika manusia memiliki ide untuk menggemburkan tanah 155

agar dapat ditanami maka ia melakukan pekerjaan menempa besi menjadi lempengan dan menebang hutan untuk mengambil kayu yang dijadikan alat untuk menggerakkan lempengan  besi itu, sehingga terbentuklah cangkul, alat untuk menggemburkan tanah. Selanjutnya, sifat manusia yang tidak pernah puas dengan hasil karya yang telah dicapainya, menyebabkan manusia terus memikirkan suatu alat yang dapat mempermudah pekerjaannya di sawah. Kemudian, agar memperoleh hasil sawah yang lebih banyak, maka terbentuklah alat membajak sawah dan selanjutnya berkembang menjadi traktor yang digerakkan oleh mesin. Demikian seterusnya tiga wujud kebudayaan itu berkembang sejalan dengan perkembangan pengetahuan yang dimiliki manusia. Lahirnya teknologi handphone, kemudian menjadi smartphone, merupakan bentuk  perkembangan teknologi yang berangkat dari ide manusia untuk mengatasi keterbatasan tempat dan waktu. Kini, dengan penemuan teknologi informasi yang semakin canggih, manusia dapat  berhubungan dengan manusia lain yang terbentang jarak dan waktu yang berbeda. Demikian  pula penemuan teknologi transportasi semakin mempermudah perpindahan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya, sehingga dunia seolah semakin menyempit dan tidak lagi terbatas (borderless).

3.1.4 Sistem Kebudayaan Universal

Dalam memperhatikan perwujudan kebudayaan di masyarakat, ada unsur-unsur kebudayaan yang pasti kita jumpai di masyarakat mana pun. Meskipun kebudayaan yang dimiliki manusia di seluruh dunia beraneka ragam, namun menurut C. Wissler (Koentjaraningrat, 2009:299), terdapat cultural universals, yaitu unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya universal, yang dapat dijumpai

 pada setiap masyarakat. 1) Sistem organisasi sosial  merupakan salah satu unsur universal. Manusia sejak dilahirkan  pastilah membutuhkan bantuan dari manusia lainnya, terutama, dari ibu dan ayah, dan anggota keluarga yang terdekat. Dalam perkembangannya seorang individu berada di dalam lingkungan sosial yang lebih luas, yaitu masyarakat dan negara. Setiap kumpulan manusia memiliki sistem organisasi sosial yang berfungsi mengatur harmonisasi kehidupan anggotanya. Organisasi sosial yang paling erat dan dekat adalah kekerabatan. Unit terkecil dari sistem kekerabatan ini adalah keluarga inti (nuclear family), selanjutnya keluarga besar

156

(extended family), hingga kemudian membentuk kekerabatan yang lebih luas lagi. Kekerabatan terikat oleh adat istiadat dan norma yang secara turun-temurun telah diterima. Pada masyarakat tradisional, yang menerapan dan menanamkan nilai-nilai dan adat istiadat masih sangat kental, sistem kekerabatan ini sebagai satu kesatuan masih dapat dipertahankan.  Namun, tidak demikian pada masyarakat modern, yang sudah tidak memperdulikan nilai dan adat istiadat, kesatuan sosial tidak lagi dibangun dengan sistem kekerabatan, melainkan dengan sistem sosial dalam bentuk lainnya. Pada masyarakat modern, kesatuan sosial diatur oleh aturan, norma, dan hukum yang lebih jelas dan tegas memperhatikan hak dan kewajiban setiap anggota kesatuan sosial itu. Pada masyarakat modern terdapat organisasi berdasarkan orientasi organisasi tersebut, yaitu (1) organisasi yang berorientasi pada pelayanan (service organizations), (2) organisasi yang  berorientasi pada aspek ekonomi (economic organizations), yaitu organisasi yang menyediakan barang dan jasa sebagai imbalan dalam pembayaran dalam bentuk tertentu, (3) oganisasi yang berorientasi pada aspek religius (religious organizations), (4) organisasiorganisasi perlindungan ( protective organizations), (5) organisasi-organisasi pemerintah (government organizations); (6) organisasi-organisasi sosial ( social organizations); (7) Organisasi-organisasi politik, (8) dan organisasi berdasarkan minat. 2) Sistem mata pencaharian, merupakan salah satu unsur kebudayaan yang universal, artinya setiap kelompok masyarakat manapun pastilah memiliki sistem mata pencaharian. Pada hakekatnya kebudayaan dihasilkan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia sebagai mana makhluk hidup lainnya membutuhkan makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan primer inilah manusia mengolah sumber daya alam di sekitarnya. Oleh karena keadaan alam sekitar manusia bermacam-macam, ada yang kondisi tanahnya subur dan mudah dijadikan tempat untuk bercocok tanam, ada kondisi alam yang di kelilingi dengan laut dan samudera, dan sebagainya sehingga manusia-manusia di  berbagai tempat itu mengembangkan mata pencaharian yang berbeda-beda. Kita mengenal ada masyarakat agraris, masyarakat nelayan, masyarakat industri, yang memperlihatkan kebudayaan yang berbeda-beda, sesuai dengan aktivitas mata pencaharian kelompok masyarakat tersebut. 3) Sistem teknologi; dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mempermudah kehidupan, masyarakat

mengembangkan

alat-alat

teknologi.

Masyarakat

berburu,

misalnya, 157

mengembangkan alat atau senjata untuk membunuh binatang buruannya. Demikian juga masyarakat

bertani,

mengembangkan

peralatan

pertanian,

dan

lain

sebagainya.

Perkembangan zaman memperlihatkan kemajuan yang pesat dari teknologi yang dihasilkan oleh manusia. Namun, perkembangan di bidang teknologi ini tidak merata dimiliki oleh setiap masyarakat di dunia. Ada masyarakat yang terus menerus melakukan pengembangan teknologi mutakhir dan menemukan teknologi-teknologi baru, ada masyarakat yang pasif dan hanya menjadi pengguna dari pengembangan dan penemuan teknologi masyarakat lain, dan ada juga masyarakat yang sampai dengan saat ini masih tertinggal dari teknologi masyarakat yang lain yang sudah maju. Namun, bukan berarti masyarakat ketiga ini tidak memiliki teknologi, hanya saja teknologi yang digunakan masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan teknologi yang dianggap modern. 4) Sistem pengetahuan;

penemuan teknologi tidak terlepas dari sistem pengetahuan yang

dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat.

Penelitian

masyarakat dan kebudayaan

dimulai oleh para sarjana Eropa pada awal abad ke-20. Dari penelitian tersebut, berkembang  pemikiran bahwa masyarakat di luar Eropa, merupakan

masyarakat yang dianggap

“tertinggal” atau “primitif” tidak memiliki sistem pengetahuan. Jika pun dianggap ada sistem  pengetahuan yang dimiliki masyarakat di luar Eropa merupakan hal yang tidak penting dan sama sekali berbeda dengan sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Eropa,  bahkan dianggap sebagai bukan sistem pengetahuan. Hal ini disebabkan,

alam pikiran

 bangsa-bangsa di luar Eropa dianggap primiti. Hal ini karena, masyarakat di luar Eropa masih ada kepercayaan terhadap mitos, ilmu ghaib, sihir, dan sebagainya yang dianggap hal yang tidak rasional.

Dengan demikian, mereka menganggap hanya masyarakat Eropalah

yang memiliki sistem pengetahuan.  Namun, pemikiran ini secara perlahan-lahan diluruskan oleh para peneliti masyarakat dan kebudayaan generasi berikutnya. Kini, pandangan yang umun dikenal adalah bahwa suatu masyarakat, betapa pun kecilnya, pastilah memiliki sistem pengetahuan, minimal  pengetahuan tentang alam sekitarnya. Masyarakat berburu dan meramu, sebagai masyarakat dengan kebudayaan tertua, misalnya, memahami seluk beluk hutan yang menjadi tempat tinggal sekaligus arena berburu binatang hutan. Mereka juga sudah mengetahui bahwa musim senatiasa berganti sehingga perlu pengetahuan untuk merancang baju yang sesuai dengan kondisi cuaca. 158

Manusia juga memiliki pengetahuan untuk membuat alat yang mempermudah kegaiatan ekonomi mereka, dan sebagainya. Perkembangan pengetahuan di setiap masyarakat memperlihatkan perbedaan sehingga menciptakan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan yang  berbeda pula, dan selanjutnya memperlihatkan kemajuan teknologi dan pencapaian tingkat  peradaban yang berbeda-beda. 5) Kesenian; kesenian sebagai

unsur kebudayaan yang mengandung nilai keindahan, juga

merupakan salah satu dari tujuh unsur universal kebudayaan. Bahkan sering kali, masyarakat umum menganggap kesenian sebagai unsur utama kebudayaan. Kebudayaan sering mengacu kepada pertunjukan kesenian atau hasil-hasil kesenian. Namun, sesungguhnya kebudayaan merupakan lingkup yang lebih luas dari kesenian, atau sebenarnya kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan. Kesenian dapat dijumpai di masyarakat manapun, atau dengan kata lain, setiap masyarakat pastilah memiliki dan mengembangkan kesenian, karena pada hakekatnya, manusia menyukai keindahan.

Selain keindahan, manusia juga memiliki

 perasaan marah, senang, bahagia, jatuh cinta, dan sebagainya yang dapat diekspresikan melalui seni, misalnya seni suara (menyanyi), seni drama, seni tari, dan lain sebagainya. Dengan demikian, seni atau kesenian merupakan ungkapan yang menitikberatkan pada olah rasa manusia. 6)  Bahasa, merupakan ciri utama kemanusiaan. Interaksi antarmanusia atau antarmasyarakat dapat berlangsung karena adanya media komunikasi, yaitu bahasa. Dengan bahasalah manusia dapat berkomunikasi dengan manusia lain. Bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat ini menjadi (meskipun tidak selalu) identitas masyarakat itu. Sebagai contoh misalnya bahasa Sunda adalah bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat Sunda, bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat, dan sebagainya.

Dengan adanya

 bahasa inilah kehidupan manusia masa lampau dapat diteliti dan diceritakan sebagai sejarah kepada masyarakat generasi berikut. Masyarakat yang telah mengenal tulisan dapat meninggalkan catatan sejarah, sebaliknya masyarakat yang hanya mengenal bahasa lisan tidak dapat ditelusuri sejarah masa lampaunya. 7)  Religi, yaitu kepercayaan terhadap adanya suatu kekuatan gaib di luar manusia dapat dijumpai pada setiap masyarakat. Religi merupakan suatu konsep yang berbeda dengan agama yang dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dalam konsep masyarakat Indonesia, yang termasuk agama, yakni

Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu, dibedakan dengan 159

sistem religi lainnya, yaitu kepercayaan Sunda wiwitan, Kejawen, Karahyangan, Marapu, dan ratusan sistem kepercayaan yang masih dianut oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia di wilayah-wilayah pedalaman di Indonesia. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran  jiwa, yang disebut emosi keagamaan (religious emotion). Emosi keagamaan inilah yang mendorong manusia melakukan tindakan-tindakan bersifat religi. Emosi keagamaan ini juga yang menyebabkan suatu benda, suatu tindakan, atau gagasan, dianggap memiliki nilai keramat (sacred value). Pada masyarakat lampau, setiap kegiatan yang dianggap oleh masyarakat modern sebagai kesenian selalu terkait dengan aktivitas religi. Kegiatan berkesenian dan ritual agama tidaklah terpisah.

3.1.5 Unsur Universal Kebudayaan

Setiap unsur kebudayaan memiliki tiga wujudnya, yaitu ide, tingkah laku, dan wujud fisik. Jika diamati, unsur bahasa, misalnya bahasa Indonesia, ada ide untuk melakukan komunikasi antarwarga negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan berbagai ragam bahasa yang mereka gunakan.

Berdasarkan ide itu, anggota masyarakat yang memiliki perhatian untuk

mewujudkan ide tersebut mengadakan pertemuan dan menentukan sebuah bahasa yang dapat dipahami oleh semua suku bangsa di negara itu. Selanjutnya, ditentukanlah bahasa Melayu Riau sebagai Bahasa nasional, yang kita kenal sebagai bahasa Indonesia. Dalam hal ini bahasa Indonesia yang diwujudkan dengan bahasa tulisan pada sehelai kertas atau daun, dan pada dinding-dinding, menjadi bukti fisik dari terwujudnya ide atau gagasan dan keseluruhan aktivitas manusia. Demikian juga unsur kebudayaan lainnya dapat diamati dan/atau dijelaskan dari tiga wujudnya.

Dalam suatu masyarakat, unsur-unsur kebudayaan tersebut tidak mengalami

 perkembangan yang serentak. Ada unsur kebudayaan yang cepat berubah ada unsur kebudayaan yang lambat dan sukar berubah. Unsur kebudayaan yang paling cepat berubah adalah teknologi, sedangkan unsur kebudayaan yang lambat atau sukar berubah adalah sistem religi. Namun,  perubahan suatu unsur kebudayaan sebaiknya terjadi pada ketiga wujudnya, karena apabila terdapat ketimpangan perubahan dalam ketiga wujud kebudayaan tersebut sering terjadi culture lag atau keterlambatan kebudayaan (Poerwanto, 2008:177-179).

160

Contoh culture lag  adalah pemakaian jam tangan dengan sistem penunjukan waktu dengan angka oleh masyarakat Indonesia. Produk jam tangan merupakan suatu bentuk fisik (wujud ketiga) dari suatu ide dalam menentukan waktu dengan angka. Produk jam ini merupakan  produk asing bagi masyarakat Indonesia. Dalam pembentukan budaya menentukan waktu melalui jam ini merupakan suatu alat untuk mempermudah manusia agar dapat mengetahui waktu (jam) sekarang, masa yang telah berlalu dan masa mendatang. Dengan menyepakati jam tertentu, misalnya pukul 14.00 dua orang atau lebih individu dapat saling berjanji untuk bertemu. Dengan patokan waktu yang telah disepakati tadi dan dengan adanya penghitungan waktu dari  pukul 10.00 sampai dengan pukul 24.00, maka penentuan waktu pukul 14.00 memberi  pemahaman bahwa pertemuan itu akan diadakan d iadakan pada pukul pu kul 02.00 siang hari, bukan pukul 02.00 dinihari. Pemakaian jam dengan metode penunjukan waktu dengan angka yang disepakati ini mempermudah manusia membuat rencana aktivitas hariannya. Akan tetapi, jika penggunaan  jam ini (penggunaan bentuk fisik dari kebudayaan) tidak dibarengi dengan penyesuaian sistem  budaya dan sistem sosialnya, so sialnya, maka akan terjadi salah persepsi, seperti misalnya jika yang diajak  bertemu dengan kesepakatan waktu menurut jam tadi ternyata adalah anggota masyarakat yang masih mempertahankan cara menentukan waktu dengan konsepsi pagi, siang, dan malam, maka mungkin saja ia akan datang pada pukul 13.00 atau 15.00; perhatiannya bukan pada angka yang disepakati, melainkan pada ukuran waktu pagi, siang, dan malam. Ia dapat saja menemui teman  janjiannya dengan konsep waktu siang, tanpa memperhatikan angka yang memastikan waktu yang tepat untuk pertemuan itu. itu. Ia tidak merasa bersalah jika ia hadir pada pukul 15.00, karena dalam konsep orang itu pertemuan itu diadakan pada siang hari, tanpa mengacu pada jam (waktu yang telah disepakati), sehingga ia tidak merasa bersalah jika ia datang pada pukul 15.00 karena waktu tersebut masih tercakup dalam konsepsi waktu “siang”. Demikianlah, maka penggunaan  jam atau penunjuk waktu sebagai suatu bentuk kebudayaan k ebudayaan fisik, harus diikuti dengan bagaimana konsep budaya yang melatarbelakangi penciptaan jam, terrmasuk perilaku tepat waktu yang diharapkan dapat ditunjang oleh kesepakatan waktu menurut sistem jam tersebut. Contoh lain cultural lag  adalah pemakain telepon selular (handphone) atau internet dengan fasilitas komunikasi canggih seperti facebook , twitter , dan aplikasi media sosial lainnya, yang berangkat dari suatu konsep mempermudah dan memperlancar aktivitas interaksi antarmanusia. Terciptanya produk budaya tersebut

pada dasarnya berangkat dari pemikiran 161

akan pentingnya waktu, seperti yang sering diungkapkan “time is money”, pada masyarakat  pencipta kebudayaan itu. Namun, dalam kenyataannya sebagian masyarakat Indonesia malah menggunakan kemajuan teknologi informatika ini untuk kesenangan semata dan malah membuang waktu yang sangat berharga itu. Bahkan karena begitu dikhawatirkannya penggunaan internet untuk kesenangan pribadi dan dianggap mengurangi kinerja, beberapa institusi di  berbagai bidang, seperti pendidikan, perusahaan, dan lain sebagainya membuat kebijakan  pelarangan penggunaan pengguna an internet pada jam-jam tertentu. Demikian juga, penggunaan pen ggunaan smartphone dengan kemampuan melakukan komunikasi dengan orang-orang yang dipisahkan oleh jarak tempat dan waktu, telah menghubungkan orang-orang yang berjauhan, namun ironisnya malahan menjauhkan mereka yang berada saling berdekatan. Kesibukan melakukan komunikasi dengan orang-orang yang tidak berdekatan dengan, malahan sering kali menyebabkan tidak menghiraukan keberadaan orang lain yang justru hubungannya sangat dekat. Hubungan anak dengan orang tua, istri dengan suami, malahan menjadi retak, karena setiap individu di dalam keluarga lebih sibuk dengan smartphone masing-masing. Hal lain yang mengkahwatirkan dari kemajuan teknologi informasi adalah kehadiran mesin pencari informasi melalui internet, yang sebenarnya diciptakan untuk mendekatkan  pengetahuan ke masyarakat, malahan telah menciptakan “kemalasan” membaca di kalangan  pelajar dan mahasiswa. Teknologi informasi telah menyediakan informasi instan, sehingga kebiasaan ilmiah yang memerlukan waktu dan kesungguhan dalam pencarian fakta dan data sering kali dikalahkan oleh keberadaan informasi instan. Lebih mengkhawatirkan lagi adalah  pengetahuan yang benar bercampur dengan pengetahuan yang tidak berdasarkan kebenaran (hoax), sehingga berbagai informasi yang diterima oleh masyarakat malahan berpotensi menyebarkan kebencian dan menimbulkan konflik. Demikianlah cultural lag (keterlambatan budaya), terjadi karena masyarakat pengguna kebudayaan itu bukanlah pencipta kebudayaan, melainkan penerima kebudayaan yang telah dibuat oleh masyarakat bangsa lain. Proses penerimaan kebudayaan sebatas pada penerimaan wujud ketiga dari kebudayaan tertentu, tanpa diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang sistem budaya dan sistem sosial yang melatarbelakangi penciptaan kebudayaan itu. Poerwanto (2008:180) menganjurkan agar fenomena culture lag  ini tidak terjadi, maka pada hakekatnya seseorang selalu dituntut untuk belajar tentang kebudayaan, baik melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian berikut ini. 162

3.2 Belajar Kebudayaan

Setiap perilaku manusia ditentukan oleh lingkungannya. Situasi suatu lingkungan yang berada di luar manusia disebut stimulus (S); situasi ini akan menimbulkan dorongan (D) untuk berbuat sesuatu; dan akhirnya sesuatu yang ditampilkan seorang individu melahirkan respon (R). Setiap kali ada suatu S tertentu menimbulkan dorongan D, maka akan diperoleh R, sehingga jika S dan R yang sama terus-menerus menimbulkan R yang sama menghasilkan kebiasaan, yang selanjutnya menjadi kebudayaan. Demikian, dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah suatu R yang berulang-ulang dari suatu S dan D yang sama, sehingga kebudayaan diartikan sebagai  atau kelakuan yang diperoleh melalui proses belajar. learning behavior  atau Rahyono (Wacana, 2002:18–19), menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan “bentuk” usaha manusia dalam mengatasi segala keterbatasan yang dialami dalam kehidupannya. Manusia tidak begitu saja menerima keterbatasan, baik yang ditimbulkan oleh alam maupun oleh diri manusia itu sendiri. Dalam upaya mengatasi keterbatasan itu, manusia tidak melakukan kegiatan secara individual, melainkan secara kelompok. Dengan demikian, kebudayaan bukanlah milik diri, melainkan milik kelompok. Melalui kesepakatan dan kegiatan kelompok itulah wujud kebudayaan menjadi ciri kelompok tertentu, dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya melalui proses belajar. Kebudayaan yang dimiliki oleh individu-individu di dalam masyarakat diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang diturunkan secara genetis, padahal tidak demikian, manusia mempelajari kebudayaan itu sejak ia lahir sampai dengan menjelang ajal tiba, tiba , melalui proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.

3.2.1 Internalisasi Kebudayaan

Internalisasi, menurut Koentjaraningrat (2009:185) adalah proses panjang seorang individu menanamkan dalam kepribadiaannya segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukannya, sepanjang hidupnya, sejak ia dilahirkan sampai menjelang ajalnya.

Berbagai

 perasaan dasar, seperti rasa lapar, rasa nyaman, rasa aman, dan lain sebagainya, sebagainya , memang dibawa dari dalam kandungannya secara genetik. Namun demikian, ekspresi atau pewujudan,  pengaktifan dan pengembangan perasaan-perasaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam stimulasi yang ditemui dan dialaminya sejak lahir. Sebagai contoh seorang bayi yang merasa lapar menyatakan rasa laparnya dengan menangis, yang ditanggapi oleh ibu atau pengasuhnya dengan memberi susu, sehingga rasa lapar yang dialaminya hilang dengan mendapatkan susu, 163

dan ia pun berhenti menangis. Lain waktu si bayi menangis lagi karena merasa kedinginan atau tidak nyaman. Tentu saja jika menangis yang ini direspon dengan memberikan susu, tangis si  bayi tidak akan berhenti; baru setelah ia diselimuti atau didekap ia merasa nyaman dan tangisnya  berhenti. Demikian seterusnya bayi belajar menyampaikan perasaaan dan menerima respon yang diberikan, sebagai bentuk belajar yang pertama. Menangis merupakan salah satu bentuk ekspresi yang awal sekali ditampilkan oleh seorang individu.  Namun, seiring dengan pertambahan usia, si bayi juga menampilkan

berbagai

ekspresi

lainnya

seperti

tersenyum, tertawa, atau ekspresi gerak tubuh lainnya. Respon atau tanggapan luar yang ia terima juga merupakan suatu bentuk pelajaran yang ia tangkap dan Gambar 3.2 Menangis sebagai komunikasi pertama Sumbe Sumber: r: htt ://bun ://bunda da co

temui dari lingkungan terdekatnya. Seorang ibu yang

tidak memahami atau tidak mau belajar memahami apa yang ingin disampaikan bayinya dengan menangis, akan mengalami kerepotan jika ia hanya menganggap tangis bayi berhenti dengan memberikan susu atau makanan, karena tidak semua ekspresi menangis menandakan lapar. Dengan demikian, seorang individu belajar kebudayaan sejak ia dalam buaian hingga menjelang ajalnya. Ia belajar mengenai berbagai macam perasaan dan hasrat: lapar, haus, gelisah, sedih,  bahagia, cinta, benci, nyaman, dan lain sebagainya, sehingga semua hal yang ia alami sebagai suatu reaksi dan tanggapan yang diterimanya menjadi bagian dari kepribadian individu.

3.2.2 Sosialisasi Kebudayaan

Dengan pertambahan usia dan perkembangannya, seorang anak manusia belajar mengenai pola pola tindakan dalam interaksi dengan berbagai manusia lain di sekelilingnya, yang disebut dengan sosialisasi (Koentjaraningrat, 2009:1986). Sejalan dengan proses internalisasi yang tidak terputus, individu bertemu dengan individu-individu individu-individu lainnya di dalam sistem sosial. Individu ini  berusaha mempelajari dan memahami memaha mi pola-pola interaksi sosial di sekitarnya. Setiap lingkungan sosial membentuk pola-pola yang berbeda-beda. Seorang individu berusaha melakukan dan menerima sosialisasi agar diterima dan menjadi bagian dari masyarakat. Lingkungan sosial yang pertama kali ditemuinya, yaitu keluarga, yang merupakan unit masyarakat terkecil, yang terdiri dari ibu, ayah, dan anggota keluarga lainnya. Mungkin saja 164

seorang anak berada di dalam keluarga yang tidak lengkap, karena tidak tidak ada ayah atau ibu, dan mungkin saja ia berada di dalam keluarga yang sangat besar, karena adanya nenek, kakek, dan keluarga lainnya. Kesemuanya itu dapat mempengaruhi sosialisasi yang dialaminya, dan juga mempengaruhi kepribadiaannya. Dari orang-orang di sekitar keluarga inilah seorang individu  belajar mengenai perilaku-perilaku yang dicontohkan oleh individu lain di dalam keluarga. Misalnya tentang cara dan waktu makan, tidur, dan berbagai aktivitas lainnya. Ada keluarga yang mendisiplinkan anaknya bangun tidur pada waktu dini hari, namun ada juga keluarga yang tidak mengatur hal mengenai bangun tidur, dengan memberi kebebasan anggota kelurga menetukan kapan mereka ingin bangun atau tidur.

Contoh lainnya adalah

adanya keluarga yang menerapkan waktu dan cara makan yang teratur dan ada juga keluarga yang tidak menerapkan aturan kapan dan bagaimana makan yang baik. Berbagai kebiasaan dan  perilaku yang dianggap baik oleh keluarga disosialisasikan kepada anggota keluarga lainnya untuk diterapkan sehingga menjadi kebiasaan yang tidak disadari lagi sebagai suatu perilaku  budaya. Keluarga adalah lingkungan pertama terjadinya sosialisasi, sehingga kepribadian seorang individu sangat dipengaruhi oleh kondisi keluarganya. Setelah mempengaruhi

keluarga, kepribadian

lingkungan seorang

yang

turut

individu

adalah

lingkungan masyarakat di sekitar keluarga dan meluas Gambar 3.3 Pertemanan sebagai bentuk sosialisasi anak(Sumber: htt ://ww ://www. w.mo mothe theran randba dbab b .co.i .co.id d

seiring dengan interaksi yang dialami oleh individu. Demikianlah proses sosialisasi, yang berawal di dalam

keluarga, berlanjut di lingkungan sekitar, dan terus di masyarakat yang lebih luas, sehingga ia menjadi bagian dari masyarakat suatu negara di mana ia tinggal.

3.2.3

Enkulturasi Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (2009:189), enkulturasi atau pembudayaan merupakan suatu proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adatistiadat, sistem, norma, dam peraturan yang hidup di dalam kebudayaannya. Bersamaan dengan  proses sosialisasi,

setiap individu mengalami proses enkulturasi, yaitu penanaman nilai dan

sistem norma yang berlaku. Penanaman nilai ini, sebagaimana sosialisasi, juga berawal di dalam 165

keluarga. Keluargalah yang mengajari seorang anak tentang nilai atau moral yang baik dan yang  buruk. Seorang individu yang tumbuh seiring pertambahan usianya menjumpai nilai-nilai yang  berlaku di dalam masyarakat, melalui proses enkulturasi secara non formal. Selanjutnya, setelah ia mulai bersekolah, ia mulai mengalami enkulturasi secara formal. Mungkin saja enkulturasi dilakukan oleh institusi atau lembaga yang pendidikan lainnya selain sekolah formal. Enkulturasi juga semakin gencar dilakukan oleh pemerintah daerah maupun lembaga masyarakat non formal, seperti masyarakat budaya Jawa, Sunda, Batak, dan lain-lain, untuk mengajarkan kembali bahasa dan kebudayaan daerah dengan memasukkan pengajaran bahasa daerah di dalam kurukulum pendidikan nasional.

Enkulturasi bahkan dilakukan oleh negara-

negara yang ingin menyebarkan pengaruhnya kepada seluruh masyarakat dunia. Amerika dan negara-negara Barat (sekarang sudah mulai diikuti oleh negara maju di Asia Timur, seperti Jepang dan Korea) merupakan negara yang gencar melakukan enkulturasi di berbagai bidang kehidupan: sosial, kebudayaan, politik, dan ekonomi. Konsep-konsep demokrasi, kesetaraan gender, keadilan, hak asasi Gambar 3.4 Kelas sebagai media enkulturasi

manusia,

perdagangan

teknologi

komputer,

bebas, dan

lain

penggunaan sebagainya

merupakan bentuk-bentuk enkulturasi. Dalam konteks Indonesia, proses penanaman nilai Pancasila di sekolah-sekolah merupakan salah satu bentuk enkulturasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang memiliki jati diri sebagai anak bangsa Indonesia yang ber-Pancasila. Demikian juga pembentukan mahasiswa yang berkarakter kritis, kreatif, inovatif  berdasarkan Pancasila yang ditanamkan melalui Matakuliah Pengembangan Kepribadian Terintengrasi (MPKT) di Universitas Indonesia, ini pun salah satu bentuk enkulturasi, yang dilakukan oleh Universitas Indonesia. Proses enkulturasi dapat terjadi karena motivasi dan dorongan internal dari individu yang ingin mempelajari kebudayaan di masyarakatnya atau dapat

terjadi

karena

dorongan

eksternal,

sebagai

suatu

proses

pembelajaran

yang

diselenggarakan oleh lembaga atau institusi, termasuk negara. Dengan demikian, sistem  pendidikan menjadi tonggak pendorong lahirnya manusia-manusia berkebudayaan, yang 166

memahami kebudayaan tidak dari satu aspek (wujudnya) saja, melainkan dari ketiga wujud kebudayaan (sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik), sehingga perubahan kebudayaan dapat meningkatkan derajat kemanusiaan itu sendiri.

3.3 Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan

Pada

bagian

sebelumnya,

telah

dijelaskan

bahwa

di

dalam

masyarakatlah

manusia

mengembangkan kebudayaan. Dengan demikian, masyarakat dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia di dalam masyarakatmya mengembangkan dan mendukung suatu kebudayaan. Sebagai makhluk hidup, usia manusia terbatas. Setiap manusia akan meninggalkan dunia, namun demikian, kebudayaan yang dimilikinya dapat terus  berkembang dan didukung oleh anggota masyarakat lainnya. Kebudayaan itu diwariskan, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, kebudayaan dapat diwariskan dari generasi ke generasi; adapun secara horizontal kebudayaan disebarkan dengan melalui  pertemuan antarindividu dan antarmasyarakat.

3.3.1 Difusi dan Migrasi Manusia

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat cultural universal, yaitu unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemukan di setiap masyarakat di dunia. Bagaimana memahami adanya persamaan kebudayaan yang terdapat di dalam masyarakat yang berbeda-beda, padahal wilayah di mana masyarakat itu berada berjarak sangat jauh. Beberapa ahli kebudayaan mengemukakan teori difusi, yaitu suatu proses penyebaran kebudayaan yang dibawa oleh masyarakat yang bermigrasi dari satu tempat ke tempat yang lain. Migrasi adalah suatu proses perpindahan sekelompok atau  beberapa kelompok manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam proses berpindah itulah, manusia membawa kebudayaannya dan ditiru oleh masyarakat yang ditemuinya. Menurut Graibner dan F. Ratzel, penganut teori difusi, sebagai akibat dari migrasi ini terjadilah kontak di kalangan kelompok masyarakat kebudayaan yang berbeda-beda. Demikianlah kebudayaan disebarkan melalui kontak budaya, yang dilakukan melalui media komunikasi, yang salah satunya adalah bahasa.

Dalam perkembangannya pada masa kini,

kontak budaya tidak selalu disertai dengan kontak manusia secara fisik, karena berpindahnya suatu kebudayaan dapat dilakukan melalui media massa, radio, televisi, internet, dan teknologi informatika yang terus mengalami pemutakhiran. 167

Pada awal perkembangan manusia, di masa purba, manusia hidup berburu dan mengumpulkan hasil hutan, sehingga mereka selalu bergerak dan berpindah-pindah. Meskipun awalnya mereka bergerak dalam batas wilayah tertentu, namun lambat laun ketika, hewan buruan dan hasil hutan yang dicarinya semakin berkurang, pergerakan masyarakat manusia melampaui  batas-batas wilayah hutan mereka. Dengan demikian, migrasi pada awalnya bergerak sangat lambat, bahkan mungkin tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri. Setelah masyarakat menemukan suatu sistem pertanian yang mengharuskan mereka menetap pun, kegiatan migrasi tidak berhenti, malahan semakin bertambah pesat. Ada berbagai faktor penyebab terjadinya migrasi manusia, yaitu faktor bencana alam, wabah penyakit, kepadatan penduduk, ketidaknyamanan karena penguasa yang kejam, juga ada faktor perbedaan taraf kehidupan di suatu daerah/negara dengan daerah/negara lain, dan faktor lainya. Bencana alam, seperti bencana banjir besar atau gunung meletus yang mengharuskan masyarakat  penghuni wilayah itu mengungsi dan meninggalkan wilayah tanah air mereka, merupakan suatu  bentuk migrasi besar-besaran. Perpindahan penduduk Mesopotamia (sekarang berada di wilayah Irak), ke berbagai  penjuru wilayah Timur Tengah, pada masa lampau merupakan salah satu contoh migrasi karena adanya faktor demografi, yaitu tingginya tingkat kepadatan penduduk sebagai dampak kemakmuran dan kesejahteraan yang dicapai dari kehidupan pertanian yang maju. Kepadatan  penduduk menyebabkan kehidupan menjadi tidak nyaman karena adanya perebutan akses-akses kehidupan yang sering kali juga menimbulkan konflik bahkan perang. Kondisi ini mendorong sekelompok orang meninggalkan tanah airnya menuju wilayah lain yang belum padat dan tersedia sumber daya alam yang menyediakan kebutuhan hidup kelompok mereka. Masyarakat migran inilah yang merupakan agen-agen penyebar kebudayaan, sehingga tidak mengherankan bahwa sistem pertanian dengan irigasi teratur, misalnya, dapat ditemukan hampir di seluruh masyarakat dunia. Demikian juga fenomena tersebarnya agama-agama besar dunia dapat dipahami melalui proses difusi ini. Meskipun, dalam hal penyebaran agama ini, mungkin penyebarannya terjadi bukan dengan proses migrasi kelompok manusia seperti dijelaskan di atas, melainkan perpindahan individu baik untuk tujuan penyebaran agama itu, maupun karena memang yang membawa adalah para penyebar agama itu sendiri atau para  pedagang yang melakukan aktvitas melewati batas-batas wilayah kebuday aannya.

168

Adanya migrasi inilah yang dianggap sebagai salah satu faktor tersebarnya kebudayaan sehingga kita menemukan adanya kesamaan-kesamaan kebudayaan yang dimiliki oleh berbagai masyarakat yang terpisahkan oleh gunung dan samudera. Namun demikian, proses migrasi ini sebenarnya tidak bergerak secara linier melainkan bergerak dengan bentuk spiral. Artinya,  pergerakan manusia tidak dapat dimaknai sebagai suatu pergerakan dari wilayah asal ke wilayah tujuan seperti sebuah garis lurus, melainkan pergerakan itu sebaiknya dipahami sebagai  pergerakan yang mundur-maju dan tidak beraturan, sehingga membentuk gerakan spiral.

3.3.2 Asimilasi dan Akulturasi

Benarkah proses difusi ada? Beberapa ahli kebudayaan mulai mempertanyakan kebenaran difusi ini karena ternyata fenomena universal yang ditemukan di beberapa masyarakat dunia memperlihatkan perbedaan. Sebagai contoh, tidak ada satupun kelompok masyarakat yang tidak memiliki sistem bahasa, namun demikian kita memahami bahwa bahasa pada masyarakat tertentu berbeda dengan bahasa pada masyarakat lainnya. Beberapa pelaksanaan ritual agamaagama di dunia juga memperlihatkan adanya kekhasan di masing-masing masyarakat Budaya, dan masih banyak contoh lainnya yang memperlihatkan bahwa setiap masyarakat memiliki kekhasan dan keunikan masing-masing. Oleh karena itu, teori difusi dikritik oleh banyak peneliti kebudayaan. Kebudayaan tidak secara sederhana disebarkan dengan cara difusi, melainkan ada mekanisme percampuran antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang, melalui proses asimilasi atau akulturasi. Kebudayaan yang dibawa oleh para migran kemudian bertemu dengan kebudayaan lain yang dimiliki masyarakat asli setempat (indigeneous). Jika kebudayaan yang datang bersifat dominan  bertemu dengan kebudayaan masyarakat lokal, dan masyarakat berkebudayaan lokal menerima kebudayaan yang baru (melalui proses yang panjang), maka terjadilah proses asimilasi. Sebagai contoh, asimilasi yang terjadi pada masyarakat lokal Indonesia, misalnya wanita Jawa dan Sunda, yang secara perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan berbusana kebaya dan mengadopsi kebiasaan berbusana a-la  Barat (bahkan kini karena sudah diterima sedemikian rupa sehingga tidak tepat lagi disebut pakaian a-la Barat). Asimilasi mungkin terjadi sebaliknya, di mana masyarakat migran dengan suatu kebudayaan asal, bertemu dengan masyarakat lokal dalam  proses yang panjang dan perlahan-lahan menerima kebudayaan lokal dan melepaskan kebudayaan lamanya. Contohnya adalah masyarakat Indonesia yang tinggal di negara, seperti 169

Amerika, Jepang, atau Jerman, dan negara maju lainnya, dalam jangka waktu yang lama akhirnya melupakan kebudayaan asli Indonesia karena menerima kebudayaan negara setempat yang dipandang lebih sesuai. Selain itu asimilasi juga sering kali dijadikan kebijakan suatu negara yang masyarakatnya heterogen, untuk menciptakan integrasi nasional. Contohnya adalah asimilasi bentuk kerajaan di Indonesia ke dalam bentuk pemerintahan republik akhirnya diterima oleh seluruh lapisan masyarakat, dan perlahan-lahan telah menghapuskan sistem pemerintahan yang semula ada di wilayah nusantara. Selain itu, kebijakan penggunaan nama dalam bahasa Indonesia untuk menggantikan nama dalam bahasa Tionghoa, dalam rangka mengajak warga keturunan Tionghoa di Indonesia berasimilasi dengan masyarakat Indonesia lainnya. Demikian juga kebijakan  penggunaan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa nasional, bahasa pengantar dalam  bidang akademik dan birokrasi, serta bahasa pergaulan bagi seluruh bangsa Indonesia (yang terdiri atas berbagai etnis) merupakan contoh asimilasi untuk menciptakan integrasi nasional. Adapun akulturasi adalah pertemuan dua kebudayaan atau lebih yang masing-masing kebudayaan itu melebur membentuk kebudayaan yang baru dan unik. Gejala akulturasi inilah yang sebenarnya sering terjadi dalam penyebaran kebudayaan dunia. Bangsa Indonesia sedemikian rupa menerima dan mengolah kebudayaan asing untuk diterapkan sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal. Masuk dan berkembangnya kebudayaan India sebagai kebudayaan asing merupakan proses akulturasi yang terjadi di Indonesia. Kebudayaan India yang diterima oleh masyarakat Indonesia dipahami dengan menggunakan konsep kebudayaan awal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sehingga penerimaan kebudayaan asing ini dan perpaduannya dengan kebudayaan lokal menghasilkan kebudayaan baru yang khas. Unsur-unsur kebudayaan kebudayaan asing (India) masih dapat dirasakan dan demikian juga kebudayaan lokal yang menerima kebudayaan asing inipun tidak kehilangan jati diri lokalnya. Sebagai contoh, kisah Mahabharata yang berasal dari India mengalami beberapa penyesuaian dengan kondisi kebudayaan di Indonesia.

Bentuk akulturasi lainnya di Indonesia dapat juga dilihat dari

 bangunan-bangunan mesjid yang tidak meniru begitu saja bentuk mesjid di negara tempat asalnya, namun disesuikan dengan cita rasa kebudayaan lokal Indonesia.

170

3.3.3 Inovasi dan Penemuan

Manusia adalah makhluk yang berakal dan karena kemampuan akalnya itulah manusia menciptakan dan menemukan hal-hal baru dalam rangka mempermudah kehidupannya. Salah satu sifat manusia adalah merasa tidak puas dengan kondisi yang sudah ia dapatkan. Inilah salah satu faktor pendorong bagi seseorang untuk selalu melakukan pengembangan dan penemuan penemuan, yang dikenal dengan istilah inovasi. Inovasi merupakan kegiatan penemuan yang  baru yang berbeda dari yang sudah ada/atau yang sudah dikenal sebelumnya, baik berupa gagasan, metode, maupun alat. Proses inovasi meliputi proses penemuan (discovery) dan penyebaran (invention). Proses  pertama, yaitu discovery, mungkin saja dilakukan oleh individu maupun individu-individu, secara terpisah maupun suatu rangkaian penemuan. Discovery ini berkembang menjadi invention setelah diterima, diakui, dan diterapkan oleh masyarakat (Koentjaraningrat, 2009:210-211). Oleh karena itu, proses inovasi berlangsung panjang dan meskipun dimulai dari individu, namun  proses sosialisasinya melibatkan masyarakat. Individu-individu yang melakukan kegiatan inovasi ini disebut inovator. Tokoh-tokoh inovator ini tumbuh di dalam masyarakat, baik secara internal, yaitu tumbuh karena motivasi individu, maupun memang ditumbuhkan oleh masyarakat setempat, karena adanya sistem  perangsang yang memotivasi daya kreatif individu-individu di dalam masyarakat. Di beberapa negara, seperti Amerika serikat dan negara-negara di Eropa, terdapat sistem pemberian hadiah  bagi para inovator, karena hasil inovasi-inovasi mereka itulah yang telah membawa perubahan dan kemajuan, tidak hanya bagi negara dan bangsa mereka, namun juga perubahan bagi negara dan bangsa di seluruh dunia.

3.4 Kebudayaan dalam Berbagai Aspek Kehidupan Manusia 3.4.1 Ras, Etnis, dan Kebudayaan

Ketiga istilah: ras, etnis, dan kebudayaan sering kali digunakan secara tumpang tindih,  padahal ketiga istilah tersebut mengandung konsep yang berbeda. Kata ras berasal dari bahasa Perancis-Italia, “razza, yang berarti pembedaan variasi kelompok berdasarkan tampilan fisik atau ciri fenotatif (bentuk dan warna rambut, warna kulit, bentuk mata, dan bentuk tubuh) dan asal-usul geografis. Jadi, ras mengacu pada pengelompokan berdasarkan ciri biologis dan  bukan ciri kebudayaan. 171

Adapun “etnis” yang sering disebut bangsa atau suku bangsa adalah suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan lain berdasarkan akar dan identitas kebudayaaan. Dengan demikian, kebudayaan merupakan ciri pembeda antaretnis.

Kebudayan yang

 berhubungan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi atau kepercayaan, sistem kekeluargaan, keuletan dan ketangguhan (etos), dan lain sebagainya merupakan faktor pembeda suatu etnis dengan etnis lainnya. Secara umum di dunia terdapat 4 golongan ras, yakni Mongoloid, Negroid, Kaukasoid, dan beberapa ras khusus yang tidak termasuk ke dalam ketiga golongan tersebut, yaitu Bushman, Veddoid, Ainu, dan Polynesian. Ras Kaukasoid, merupakan ras yang sebagian  besar mendiami wilayah di benua Eropa, antara lain mereka yang sekarang mendiami wilayah Britania Raya atau Inggris Raya juga merupakan ras Kaukasoid. Ciri yang paling menonjol secara umum adalah warna kulitnya yang putih. Ras ini terbagi atas 4 rumpun, yakni: a. Kaukasoid Nordik: ukuran tubuh tinggi, rambut keemasan, mata biru, bentuk muka lonjong atau oval. Ras tersebut terdapat di daerah Eropa Utara sekitar Laut Baltik.  b. Kaukasoid Mediterania: ukuran tubuh lebih pendek dari Nordik, rambut coklat sampai hitam,mata coklat, bentuk muka bulat. Ras tersebut terdapat di sekitar laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arab Saudi. c. Kaukasoid Alpin: ciri tubuh antara Nordik dan Mediterania. Mereka terdapat di Eropa Timur dan Eropa Tengah. d. Kaukasoid Indik: ukuran tubuh kecil, warna kulit kuning dan coklat, tetapi bentuk muka ras kaukasoid, mata hitam, rambut hitam, bentuk muka lonjong, oval, dan bulat, terdapat di Sri Langka, Pakistan, dan India. Ras Mongoloid merupakan ras manusia yang sebagian besar menetap di Asia Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar di lepas pantai timur Afrika, Beberapa bagian India Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Oseania. Anggota ras Mongoloid biasa disebut “berkulit kuning”, namun ini tidak selalu benar. Misalkan orang Indian di Amerika dianggap berkulit merah dan orang Asia Tenggara seringkali berkulit cokelat muda sampai cokelat gelap. Ras Mongoloid secara umum memiliki tubuh yang lebih kecil dari ras Kaukasoid. Pada umumnya berambut hitam dan lurus dan bermata dengan lipatan, yang disebut sipit. Ras ini meliputi: a. Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah, dan Asia Timur); berkulit kuning 172

 b. Malayan Mongoloid Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan penduduk asli Taiwan); berkulit cokelat muda sampai cokelat gelap. c. American Mongoloid (penduduk asli Amerika), berkulit merah. Ras ketiga adalah ras manusia yang terutama mendiami benua Afrika di wilayah selatan gurun sahara. Keturunan mereka banyak mendiami Amerika Utara, Amerika Selatan, dan juga Eropa. Adapun, ras keempat adalah ras khusus, yaitu ras manusia yang tidak dapat diklasifikasikan dalam keempat ras pokok, antara lain: a. Bushman (Penduduk di daerah Gurun Kalahari, Afrika Selatan);  b. Veddoid (Penduduk di daerah pedalaman Sri Lanka ); c. Polynesian (Kepulauan Mikronesia dan Polynesia); serta d. Ainu (Penduduk di daerah Pulau Karafuto dan Hokkaido, Jepang). Selanjutnya, kelompok ras ini mengembangkan kebudayaan. Dalam kenyataannya, meskipun memiliki asal-usul keturunan yang sama, kelompok ras ini pun terpisah-pisah secara sosio-kultural. Kelompok-kelompok ras kemudian membentuk kelompok etnis  beradasrkan kesamaan nilai, cara pandang, sistem kepercayaan, dan membangun unsur-unsur universal kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam kategori ras, kelompok-kelompok etnis di Indonesia merupakan bagian dari Ras Malayan Mongoloid bersama dengan penduduk di wilayah

Malaysia, Filipina, dan

 penduduk asli Taiwan, dengan ciri fenotatif bertubuh tidak terlalu tinggi-besar, berambut hitam, dan berkulit cokelat muda sampai cokelat gelap. Namun, perjalanan sejarah, secara  politis, bangsa Indonesia menjadi negara bangsa (nation state) yang berbeda dengan negara  bangsa Malaysia atau Filipina. Sebagaimana diketahui, perbedaan kebudayaan yang dipraktikkan di dalam kelompok masyarakat yang berbeda telah menimbulkan diferensiasi kultural, maka dapat dipahami  bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang homogeni, melainkan bangsa yang hetergogen, dengan keragaman budaya yang dimiliki oleh kelompok-kelompok etnis atau suku bangsa di wilayah Indonesia. Bahkan, sejalan dengan perbedaan politik yang terjadi, kelompok etnis Melayu, hanya menjadi suku bangsa di Indonesia yang

memiliki

kesederajatan yang sama dengan etnis lainnya, antara lain: Sunda, Jawa, Batak, Makasar, Bugis, Dayak, dan lain sebagainya. Namun, di negeri Malaysia, etnis Melayu menjadi etnis

173

mayoritas yang mendominasi keberadaan kelompok etnis lainnya, seperti etnis Cina, India, dan lain-lain.

3.4.2 Kebudayaan dan Ekonomi

Proses pembentukan masyarakat dan perkembangannya tidak terlepas dari aspek ekonomi. Masyarakat terbentuk karena keinginan untuk secara bersama-sama (berkooperasi) memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Pemenuhan kebutuhan akan terasa berat dan terkadang tidak mungkin dilakukan secara individual atau pun oleh masingmasing keluarga. Pemenuhan kebutuhan dengan membentuk masyarakat akan lebih cepat (hemat waktu), efisien (hemat sumber daya atau lebih banyak hasil), dan kualitas yang lebih baik (akibat spesialisasi yang menghasilkan ketrampilan/skill). Demikian pula, perkembangan masyarakat di suatu lokasi bergeser dari masyarakat berburu dan peramu menjadi masyarakat post-industri, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, dari masysrakat perdesaan menjadi masyarakat perkotaan, dan sebagainya. Perkembangan ini terjadi karena perubahan cara  pemenuhan kebutuhan dan kondisi yang ada pada sumber daya pemenuh kebutuhan tersebut. Di dalam suatu masyarakat di suatu lokasi terbentuklah perekonomian yang dalam lingkup makro meliputi struktur ekonomi (economic structure), sistem ekonomi (economic system), pembangunan ekonomi (economic development ), dan performa ekonomi (economic  performance). Struktur ekonomi menggambarkan kondisi perekonomian di suatu masyarakat

 berupa kontribusi dari setiap sektor yang ada. Kontribusi dalam hal ini bisa berupa sumbangan terhadap pendapatan total masyarakat atau bisa juga dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan  bagi anggota masyarakat. Sektor dalam hal ini diartikan sebagai segmentasi perekonomian dalam hal lokasi (perdesaan dan perkotaan), lapangan usaha (pertanian, industri, dan jasa), bentuk hukum usaha (formal dan non-formal), pelaku usaha (swasta, kooperasi, dan publik), cara  pengelolaan usaha (tradisional dan modern), dan sebagainya. Perubahan struktur atau transformasi struktural terjadi dan terlihat dari perubahan kontribusi masing-masing sektor

sejalan

Perekonomian

dengan biasanya

perkembangan berubah

dari

masyarakat. yang

tadinya

didominasi oleh sektor pertanian, sektor tradisional, sektor Gambar: 3.5 Alih fungsi lahan

non-formal, sektor perdesaan, dan sektor publik menjadi 174

 perekonomian yang lebih berimbang. Perubahan ini harusnya lebih didominasi oleh sektor modern, sektor formal, sektor industri, dan sektor-sektor yang akan lebih menjamin peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan bagi masyarakat. Perubahan alokasi sumberdaya antarsektor terjadi pula seiring dengan adanya transformasi struktural. Migrasi desa-kota dan alih fungsi lahan dari tadinya untuk pertanian menjadi untuk industri atau properti terjadi mengikuti perubahan struktural. Pertanian dan desa diharapkan ikut tumbuh dan lebih mampu untuk swasembada pangan dan berbagai kebutuhannya, bahkan dapat pula mendukung kebutuhan pangan penduduk di perkotaan dan  bahan baku bagi sektor industri. Seberapa jauh transformasi struktural terjadi, sistem ekonomi yang dianut dan pembangunan ekonomi yang terjadi akan menentukan itu. Performa ekonomi yang diinginkan, misalnya masyarakat yang adil dan makmur ikut pula menentukan sistem ekonomi yang dianut, pola pembangunan yang diberlakukan, dan arah transformasi struktural yang terjadi. Sistem ekonomi apa pun yang bentuknya yang dianut, meliputi aspek-aspek berikut. 1) Value system: Sistem nilai yang dipergunakan masyarakat. Sistem nilai ini selanjutnya merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kepemilikan sumber daya, sistem insentif yang digunakan, serta sistem alokasi yang diberlakukan. Sistem nilai yang dianut bisa berupa sistem nilai utilitarian, egalitarian, syariah, Pancasila, atau sistem nilai lainnya. 2) System of objectives : Tujuan yang ingin dicapai masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai bisa  berupa kesejahteraan (welfare) yang perlu pula dijelaskan maknanya, keadilan ( justice),  pemerataan (equality), kebebasan (liberty), stabilitas (stability), perlindungan terhadap lingkungan hidup, dan tujuan-tujuan lainnya. 3) System of ownership : Sistem pemilikan sumber daya oleh masyarakat. Pemilikan sumber daya bisa berupa pemilikan bersama (common ownership), swasta ( private ownership),  public ( public ownership) kooperatif (cooperative ownership). 4) System of incentives : Sistem insentif dalam kegiatan ekonomi masyarakat yang dapat berupa insentif materi (uang, barang, atau jasa), atau insentif moral, atau insentif berupa kekuasaan, atau insentif bentuk lainnya. 5) System of coordination/allocation : Sistem alokasi sumber daya dan hasil-hasil kegiatan ekonomi masyarakat, yang bisa dengan cara yang merupakan tradisi, atau dengan mekanisme  pasar bebas, atau dengan perencanaan baik perencanaan komando, terpimpin atau lainnya. 175

Sistem nilai utilitarian misalnya, merumuskan tujuan yang ingin dicapai adalah kesejahteraan dan kesejahteraan diukur dari kepuasan atau kebahagiaan yang diperoleh masing-masing individu dari mengkonsumsi barang dan jasa. Untuk mencapai tujuan tersebut pemilikan sumber daya umumnya oleh swasta, Gambar 3.6 Satu Pasar Tradisional di Indonesia Timur.

dengan sistem insentif yang bersifat

materi (uang atau kekayaan), dan mekanisme pasar bebas yang utama dalam pengalokasian sumber daya dan hasil-hasil kegiatan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, sistem nilai egalitarian merumuskan tujuan juga kesejahteraan tapi yang  berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, pemilikan oleh publik dan kooperasi lebih dominan dengan insentif moral juga dipergunakan, serta sistem alokasi dengan  perencanaan. Saat ini berkembang pula sistem nilai syariah yang merumuskan tujuan-tujuan masyarakat sebagai kesejahteraan lahir-batin sesuai aturan-aturan Tuhan yang tertuang dalam Alquran dan Alhadis. Untuk masyarakat Indonesia mestinya sistem nilai Pancasila yang dirumuskan oleh pendiri Bangsa Indonesia sudah selayaknya yang dipergunakan dalam sistem ekonomi sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam kelima silanya. Perumusan secara tegas dan jelas apa saja nilai-nilai tersebut, tujuan yang ingin dicapai masyarakat Indonesia, sistem pemilikan sumber daya, sistem insentif yang dipergunakan, dan sistem alokasi yang diberlakukan. Pembangunan ekonomi sering diartikan sebagai pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur fisik (bangunan, jalan, pelabuhan, pasar, dan sebagainya) maupun infrastruktur sosial (pendidikan, kesehatan, kebudayaan, keamanan, pertahanan, dan sebagainya). Demikian  pula dengan pembangunan yang

diartikan sebagai proses pemenuhan kebutuhan utama

masyarakat, seperti makanan, pelayanan kesehatan, pencapaian taraf pendidikan, dan sebagainya. Pembangunan dalam hal ini lebih berupa pencapaian hal-hal yang bersifat materi. Sejatinya pembangunan ekonomi adalah membangun manusia yang bermartabat,  berdaya-guna, dan mandiri. Bahkan, pembangunan ekonomi haruslah mendukung pencapaian 176

masyarakat yang berbudaya dan selanjutnya berperadaban. Pembangunan manusia dan masyarakat diarahkan untk memperkuat nilai-nilai kebangsaan, kesatuan, kemerdekaan, kedaulatan, kerakyatan, kesejahteraan, keadilan, dan sebagainya yang terkristalisasi dalam Pancasila dan UUD-45. Pembangunan dalam rangka ketahanan dan kedaulatan pangan misalnya, haruslah dilandasi

pada

pemberdayaan

para

petani,

nelayan dan keluarganya. Petani dan nelayan harus dimanusiakan menjadi petani dan nelayan yang bermartabat, yang memiliki lahan atau kapal, yang tangguh, yang produktif, dan yang  punya posisi tawar cukup terhadap pedagang atau tengkulak. Mengundang investor asing Gambar 3.7 Penggundulan hutan di Indonesia atas nama  pembangunan

maupun lokal dengan pemberian peruntukan lahan dalam rangka ketahanan pangan tentunya

kebijakan yang tidak tepat karena sering menimbulkan konflik lahan atau penggundulan dan  pembakaran hutan. Penguatan ekonomi perdesaan dan pesisir yang merupakan sentra produksi  pangan dengan memberdayakan para petani dan nelayan serta memperkuat ekonomi keluargakeluarga tani dan nelayan. Hal inilah makna sesungguhnya dari pembangunan ketahanan dan kedaulatan pangan. Berbagai indikator performa ekonomi dapat digunakan. Pendapatan per kapita yang dihitung dari gross domestic product percapita (GDP) masih menjadi acuan utama untuk ukuran  performa ekonomi suatu perekonomian. Pertumbuhan ekonomi pertahun dihitung dari GDP harga konstan atau nilai riil sehingga menggambarkan peningkatan produksi nasional secara makro. Namun, harus disadari bahwa angka GDP ini memasukkan hasil produksi dari  perusahaan dan faktor-faktor produksi dari luar negeri sehingga tidak dapat menggambarkan sepenuhnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Jika mengandalkan GDP dan pertumbuhan GDP sebagai acuan performa ekonomi, tentu saja hal ini bisa menyesatkan, apalagi bila klaim faktor produksi asing semakin besar dalam perekonomian Nasional. Menyadari kelemahan angka GDP, sebagai ukuran kesejahteraan, perlu didorong upaya untuk menghasilkan indikator performa ekonomi yang lebih komprehensif dan lebih 177

menggambarkan capaian perekonomian masyarakat yang sebenarnya. Human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (IPM) yang dikeluarkan oleh PBB (UNDP). Ukuran performa lainnya dihitung oleh berbagai institusi internasional. Indeks kebahagiaan (happiness index) dikeluarkan untuk hampir 200 negara di dunia oleh PBB (UNSP). Indeks korupsi (corruption perception index) dikeluarkan oleh Transparency International untuk lebih dari 160 negara di dunia. Perekonomian sebagai lingkungan makro manusia yang berkelompok dan membentuk masyarakat akan berkontribusi terhadap pembentukan watak dan karakter anggota masyarakat. Dengan memahami perekonomian beserta aspek-aspeknya secara baik maka setiap anggota masyarakat akan dapat menentukan sikap dan tindakannya dalam setiap keadaan yang ada. Berikutnya perlu dipahami konsep kebudayaan sebagai hasil dari aktifitas masyarakat, termasuk aktifitas ekonomi. Saat ini Indonesia berada pada peringkat ke-100 dari hampir 200 negara di dunia, dengan angka GDP sebesar US$10.517 di tahun 2014 (dihitung dengan kurs purchasing power parity). Hal ini berarti Indonesia berada pada kelompok negara-negara berpendapatan menengah. Humman Delevopment Index atau Indeks Pembangunan Manusia yang dikeluarkan oleh PBB (UNDP) mencatat Indonesia berada pada peringkat ke-110 dari 188 negara yang disurvei tahun 2014. Indikator-indikator performa ekonomi lainnya dapat disebutkan bahwa Indonesia pada  peringkat kebahagiaan ke-79 dari 157 negara di dunia dalam happiness index yang dilaporkan oleh PBB (UNSP) tahun 2016; peringkat korupsi ke-88 dari 168 negara di tahun 2015 dengan nilai 36 (tertinggi 91 dan terendah 8).

3.5 Menuju Masyarakat Berperadaban

Istilah kebudayaan sering disamakan dengan istilah peradaban. Hal ini disebabkan unsur-unsur yang dibahas di dalam kebudayaan merupakan unsur-unsur yang dibahas pula di dalam  peradaban. Namun sebenarnya kebudayaan dan peradaban peradab an berbeda. Dapat dikatakan bahwa b ahwa tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan, namun tidak semua masyarakat dapat atau telah mencapai peradaban. Jika memperhatikan unsur-unsur universal kebudayaan sebagai mana telah dijelas, setiap masyarakat pasti memiliki sistem bahasa, misalnya, baik bahasa yang hanya dipergunakan oleh sekelompok orang dalam suku bangsa yang hanya beranggotakan seratus orang, maupun bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat yang lebih luas lagi yang 178

meliputi lebih dari satu suku bangsa yang terdiri atas jutaan bahkan ratusan juta orang, seperti  bahasa Indonesia. Demikian juga, sistem organisasi sosial, dapat dijumpai pada masyarakat yang sederhana maupun masyarakat yang lebih kompleks, seperti masyarakat bangsa, memperlihatkan bahwa tidak ada satu pun masyarakat yang tidak berkebudayaan.

Namun, jika kebudayaan suatu

masyarakat suku bangsa atau bangsa telah membawa masyarakat itu pada suatu tingkatan yang disebut “maju” oleh masyarakat lainnya, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu telah mencapai peradaban. Koentjaraningrat (2009: 146) menggunakan istilah peradaban, yang dipadankan dengan “civilization” untuk menyebut menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, halus, maju, dan indah; atau untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dari masyarakat kota yang maju dan kompleks. Dengan demikian, peradaban merupakan bagian dari kebudayaan, yang keduanya dibedakan dalam hal kualitas. Setiap masyarakat di belahan dunia manapun pastilah memiliki kebudayaan.  Namun, dengan memperhatikan ketinggian dan keluhuran hasil-hasil kebudayaan yang dapat dicapai masyarakat suatu bangsa, ada beberapa masyarakat bangsa yang telah mencapai kebudayaan yang dianggap luhur dan tinggi, atau dengan kata lain telah mencapai peradaban, dan ada masyarakat yang belum mencapai perabadan. Pertanyaan selanjutnya adalah di manakah peradaban itu berada sekarang ini? Pada umumnya, peradaban mengacu kepada suatu tempat di mana kita cenderung menganggapnya, “maju”, “modern”, dan “tinggi”; dan sampai saat ini kita masih cenderung mengacu ke arah Amerika dan negara-negara Barat, sebagai sumber kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mekipun pada saat ini telah muncul kekuatan-kekuatan baru dalam kemajuan pengetahuan dan teknologi, seperti Jepang dan Korea. Dalam catatan sejarah, peradaban menunjukkan pasang surut. Suatu masyarakat bangsa  pada kurun waktu tertentu berada dalam keadaaan tertinggal, namun sewaktu-waktu dapat melejit menjadi bangsa yang maju dan dianggap telah mencapai kebudayaan tinggi atau  peradaban. Sebagai contoh, sampai dengan abad ke-18 M, Amerika Serikat, sebagai sebuah negara, belum ada dan belum diperhitungkan dalam percaturan kekuatan negara-negaran maju di dunia. Namun, pada awal abad ke-20 kemajuan yang dicapai oleh masyarakat di negara Amerika Serikat telah menjadikan negara itu sebagai kekuatan dominan di dunia, hingga saaat ini. Kondisi 179

sebaliknya dapat terjadi, yaitu suatu negara yang telah mencapai peradaban, pada masa yang lampau, mungkin saja hancur dan tenggelam pada saat ini. ini. Dalam sejarah peradaban dunia kita mengenal peradaban Mesopotamia, Mesir, Persia, Yunani, Romawi, India, Cina, Jepang, Arab, dan lain sebagainya, yang telah menjadi bukti sejarah kemajuan peradaban masyarakat bangsa bangsa tersebut. Adapun dalam konteks sejarah Indonesia, kemajuan dan kemasyhuran kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Malaka, dan sebagainya, dianggap menjadi salah satu titik peradaban masyarakat bangsa ini. Pertanyaan dan sekaligus menjadi menjadi tantangan adalah apakah kemajuan dan kemasyhuran itu dapat kita raih dalam konteks masyarakat bangsa Indonesia? Indonesia? Dengan kata lain, dapatkah kita sebagai bangsa Indonesia mencapai peradaban? Mari mencari jawabannya  pada diri masing-masing, sebagai anak bangsa. Mari memahami keberadaan diri sebagai diri  pribadi (individu) yang memiliki keunikan dan kebebasan berkreasi, sebagai bagian dari kelompok dan anggota masyarakat yang dapat menunjukkan kebermanfaatan diri bagi masyarakat sekitar, bagi masyarakat Indonesia, dan bahkan bagi masyarakat dunia dengan mengembangkan kebudayaan yang tinggi. Hingga Hingga pada gilirannya sebagai bangsa dapat berdiri dengan gagah menegakkan peradaban dunia.

180

KESIMPULAN

Manusia adalah makhluk makhluk individu dan makhluk sosial. Setiap manusia, memiliki kepribadian yang unik dengan tingkat dan daya kecerdasan serta tipe temperamen yang berbeda-beda. Keunikan manusia menuntun kita untuk memahami keberadaan manusia yang berbeda cara  berpikir, cara bertingkah laku, cara bersikap, dan keunikan lainnya, dan memahami bahwa hubungan yang kita jalin dengan sesama manusia sangat dipengaruhi oleh perbedaan dan keunikan setiap individu. Memahami keunikan individu ini juga membangun karakter saling menghormati, demi terwujudnya suatu komunikasi yang membawa kepada suatu kondisi harmonis. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa menjalin interaksi dengan individu lainnya dan berupaya membangun kesepahaman dalam berbagai kesatuan sosial yang dijalaninya. Kesatuan sosial yang terdekat adalah keluarga, selanjutnya kelompok pertemanan, lingkungan sekolah, dan seterusnya, hingga membangun kesatuan sosial sebagai bangsa. Di dalam lingkup sosial inilah manusia mengembangkan kebudayaan, yaitu seperangkat tata aturan kehidupan yang berdasarkan gagasan atau ide yang menghasilkan karya budaya bagi peningkatan kualitas diri

manusia

itu

sendiri.

Dengan

kemampuan

akalnya,

berbagai

perilaku

manusia

memperlihatkan perbedaan dan keunggulan dengan aktivitas makhluk hidup lainnya. Dengan memahami hakekat manusia sebagai makhluk berbudaya, maka diharapkan setiap individu dapat mengembangkan dan mengubah kebudayaan yang ada di masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang diidam-idamkan bersama. Dengan akal  budinya manusia mengemban kehidupan untuk mencapai kebahagiaan, baik jasmani dan rohani (spriritual). Kecerdasan manusia telah menghasilkan peralatan hidup yang tidak sekedar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga untuk mempermudah dan meningkatkan kualitas hidup.  Namun demikian, pencapaian kebahagian dan kemakmuran k emakmuran jasmaniah tidak selalu paralel dengan pencapaian kebahagiaan dan ketenangan spiritual. Berbagai penemuan teknologi mutakhir dan kemakmuran masyarakat bukanlah ukuran satu-satunya kemajuan suatu kebudayaan manakala manusia dan masyarakat mengalami kekeringan spiritual. Oleh karena itu, pendayagunaan kemampuan akal manusia secara optimal harus senantiasa diiringi dengan  pendayagunaan kemampuan budi (rasa/spirit) yang dimiliki manusia secara optimal pula sehingga terjadi keseimbangan antara kebahagiaan jasmani dan spiritual. 181

Memahami masyarakat dan kebudayaan dapat membangun karakter saling bekerja sama dan berkompetisi, karena kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat sangat tergantung kepada individu-individu anggota masyarakat. Selain Selain itu, itu,

hal tersebut tersebut menumbuhkan menumbuhkan sikap saling

menghargai dan menghormati perbedaan antarindividu dan antarmasyarakat. Individu yang sehat dapat

membentuk

masyarakat

yang

sehat

dan

mampu

mengembangkan

kebudayaan

masyarakatnya sehingga tercapai kemajuan masyarakat yang diinginkan bersama.

182

BAGIAN III JATI DIRIKU SEBAGAI WARGA NEGARA INDONESIA YANG SETIA PADA PANCASILA

Jati diri mahasiswa harus menunjukan sebagai warga negara yang mampu menjelaskan masalah kebangsaan, kenegaraan, dan kewarganegaraan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dalam situasi dunia yang dinamis. Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan  primordial agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat. Kemajemukan tersebut berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Namun, kemajemukan itu diikat oleh keberadaan dasar dan ideologi bangsa, yaitu Pancasila dan UUD 1945, di samping faktor-faktor pemersatu lainnya. Sementara itu, dalam proses bernegara terdapat saling pengaruh antara hak dan kewajiban serta antara Negara dan Warga Negara. Di sisi lain, kehidupan negara Indonesia tidak terlepas pula dari pengaruh kehidupan dunia global sehingga perlu dikaji pula dinamika hubungan antarbangsa di dunia untuk melihat peran politik Indonesia di dalamnya.

183

BAB 1 BANGSA INDONESIA

1.1 Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa

Secara konseptual yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat yang  bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri, seperti  bangsa Indonesia, India, dan sebagainya.8 Namun demikian, pembentukan suatu bangsa tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah yang berbeda satu sama lain. Keberadaannya pun seringkali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa bangsa lain. Menurut kamus istilah antropologi, yang dimaksud dengan bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum dan  biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Haviland, yaitu suatu komunitas orang-orang yang memandang dirinya sebagai “kesatuan manusia” yang didasari oleh nenek moyang, sejarah, masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan sering kali kepercayaan yang sama (Haviland, 2000: 664). Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk. Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan penjelasan sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya, menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat  bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan pranata-pranata yang ada pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itulah yang membedakannya dengan

8

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar  Bahasa Indonesia, Edisi  ke III. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 102.

184

masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic group). Di antara kedua istilah di atas, istilah yang lebih tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan kelompok etnik, karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial. Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda. Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya, yaitu adanya sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat, serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Di samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian  bubar lagi. Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh identitas dan kesadaran akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas itu sering kali dikuatkan  pula oleh kesatuan bahasa. “Kesatuan kebudayaan” tersebut bukan ditentukan oleh pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-metode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri. Suku Sunda misalnya. Kebudayaan mereka merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang  berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak. Kesatuan kebudayaan mereka bukan ditentukan  pihak luar, melainkan karena orang-orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman  budaya, berkepribadian khas, dan identitas khusus yang berbeda dengan kebudayaan lain. Bahasa Sunda yang mereka miliki menyebabkan semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263—266.) Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang askriptif, yaitu keanggotaannya diperoleh bersama dengan kelahiran yang mengacu pada asal orang tua yang melahirkan serta asal daerah tempat seseorang dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku  bangsa terwujud perorangan atau individu dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa

185

terwujud sebagai keluarga, komunitas, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok, suku bangsa mempunyai ciri-ciri berikut. a. Merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.  b. Mempunyai kebudayaan bersama sebagai pedoman hidup yang secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain. c. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif. Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa berbeda dengan keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang coraknya diperoleh melalui  prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu suku bangsa bersifat terusmenerus atau selamanya, sedangkan keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada waktu yang bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri dari golongan kelas sosial itu atau pada waktu seseorang tidak lagi mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya (Suparlan, 2005: 3—6). Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu identitas diri. Sebagai  bagian dari bangsa Indonesia, jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari aneka suku  bangsa, diperlukan pemahaman atas suku-suku bangsa tersebut. Corak jati diri ke-Indonesia-an itu sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa pendukungnya. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama atau dapat pula menjadi jati diri yang menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh karena itu, interaksi antarsuku bangsa perlu dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri keIndonesia-an. Uraian mengenai masalah ini akan disampaikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.

1.2 Indonesia Bangsa yang Majemuk

Menurut Haviland (2000: 386), masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns ). Masyarakat yang majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk pula. Hal ini merupakan hasil dari interaksi sosial dan politik dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikir beda dalam suatu masyarakat (Haviland, 2000: 805). 186

Sementara itu, kemajemukan Bangsa Indonesia adalah realitas. Berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain masingmasing berbeda. Mereka berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya. Suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu keturunan. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, aneka suku bangsa tersebut menjadi satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), bangsa Indonesia terdiri atas 1.128 suku bangsa dengan jumlah penduduk 237.556.363 orang dan dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km 2.9

Menurut Suparlan (2005: 54—60), Indonesia menjadi sebuah masyarakat majemuk karena mengenal tiga sistem yang menjadi acuan atau pedoman di dalam kehidupan warganya. Sistem-sistem itu adalah (1) sistem nasional, (2) sistem suku bangsa, dan (3) sistem tempattempat umum. Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik, yaitu sebuah negara kesatuan yang menempati wilayah yang dinamakan Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubunganhubungan sosial di antara warga suku bangsa lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar, tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama). Hal ini menjadikan fungsi tempat umum menjadi penting. Jumlah suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia dapat dikatakan sama jumlahnya dengan jumlah bahasa daerah yang ada (Loebis, 1979: 10—11). Kesamaan ini merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari. Kenyataan ini perlu disikapi dengan kesadaran bahwa Indonesia adalah satu bangsa. Bentuk pluralitas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam, yaitu (1)  pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama, dan bahasa, serta (2) pluralitas vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu,  bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan, dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan, antara lain, dengan keberagaman kelompok etnik, afiliasi  politik, dan agama yang dianut.

9

Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3 Februari 2010.

187

Konsekuensi dari kondisi kemajemukan bangsa Indonesia adalah potensi terjadinya konflik atau disintegrasi. Konflik terjadi apabila terdapat cara pandang tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme yang diwujudkan antara lain dalam bentuk stereotip etnik  pada suku bangsa lain. Di sisi lain, integrasi bangsa dapat didorong oleh aspek-aspek seperti  pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol-simbol yang sama sebagai identitas kebangsaan. Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan konflik integrasi? Anggota masyarakat dari berbagai suku itu berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi yang terjadi muncul jati diri kesukubangsaan. Acuan mereka adalah budaya kesukuan yang terwujud dalam bentuk atribut masing-masing. Akibatnya, potensi konflik muncul. Pada kenyataannya, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama dalam menghadapi

lingkungannya.

Dalam

masyarakat

luas

yang

heterogen,

kebudayaan

kesukubangsaan yang berisikan keyakinan atas ciri-ciri masing-masing secara sadar atau tidak sadar memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa lainnya. Hal ini memunculkan keyakinan mengenai kebenaran subjektif terkait dengan  pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa lainnya itu. Kebenaran subjektif

tersebut

seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghadapi anggota suku bangsa lainnya itu. Kondisi ini disebut stereotip dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka ( prejudice). Sebuah stereotip biasanya muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang dalam  berhubungan dengan suku bangsa lain. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu muncullah  pengetahuan yang diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini kemudian disebarluaskan sehingga  pengetahuan yang sifatnya terbatas tadi menjadi pengetahuan baku yang diyakini benar. Padahal,  pengetahuan itu hanya sebatas interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri, namun digeneralisasi sedemikian rupa sebagai ciri-ciri suku bangsa tersebut (Suparlan, 2005: 3—6).

1.3 Faktor-faktor Pemersatu Bangsa

Untuk mengatasi potensi konflik yang muncul, perlu dikembangkan potensi integrasi dalam masyarakat. Bangsa Indonesia memiliki semangat kebangsaaan yang kuat. Semangat ini dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa dengan dukungan, antara lain (1) latar belakang sejarah  bangsa, (2) Pancasila dan UUD 1945, (3) simbol-simbol atau lambang-lambang persatuan

188

 bangsa, dan (4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu saling terkait satu sama lain dan harus dijaga untuk terus dipertahankan di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

1.3.1 Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia

Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melalui suatu proses sejarah yang  panjang. Sebagaimana telah dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam satu kesatuan, yaitu bangsa Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia, dan satu negara, yaitu negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah bangsa dalam artian politis (kenegaraan), yaitu sebagai pendukung dari negara. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu berusaha dengan kuat berjuang membentuk Negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka, seluruh rakyat Indonesia  berjuang untuk mengisi kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya (Simbolon, 1995: xviii—xix). Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai dengan tahap persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap berikutnya—secara berturut-turut— ialah berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam, kedatangan Portugis, pendudukan VOC dan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian terhadap fosilfosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah Bengawan Solo, ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Waktu itu, dataran Sunda masih merupakan daratan dan Asia Tenggara merupakan bagian benua yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran manusia yang masuk ke Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk pribumi Australia, sebelum orang kulit putih menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua. Ketika itu Papua masih menjadi satu dengan  benua Australia, dan terpisah ketika jaman es keempat berakhir. Selain di Papua, manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar ke selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi (sampai ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk sampai ke Sulawesi Selatan, maka 189

daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara berbagai macam  pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 2—20). Catatan sejarah lainnya menjelaskan bahwa persebaran penduduk Indonesia, atau rakyat kerajaan kuno Nusantara berasal dari daerah Cina Selatan (propinsi Yunan). Mereka dikenal sebagai ras Melayu yang datang secara bergelombang. Dua gelombang terpenting adalah ProtoMelayu (sekitar 3000 tahun lalu) dan Deutro-Melayu (sekitar 2000 tahun yang lalu). ProtoMelayu (Melayu-Polynesia) tersebar dari Madagaskar sampai ke Pasifik Timur. Kebudayaannya masih merupakan kebudayaan batu (neolithicum). Berbeda dengan Proto-Melayu, DeutroMelayu sudah membawa kebudayaan besi. Persebaran penduduk melalui proses rumit dan perjalanan panjang melalui berbagai wilayah di dunia tersebut merupakan awal terbentuknya penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia atau masyarakat Nusantara pada waktu itu diperintah oleh raja-raja. Ciri pokoknya adalah pembauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal sebagai ciri “bhinneka tunggal ika”. Tahap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha memberikan pengaruh kepada kebudayaan  bangsa Indonesia. Catatan sejarah kerajaan Hindu diperoleh dari batu-batu bertulis yang ada di Jawa Barat, di daerah sungai Cisadane, Bogor, dan di pantai Kalimantan Timur, daerah Muara Kaman, Kutai, sekitar abad IV Masehi. Menurut ahli sejarah purbakala, kerajaan-kerajaan yang disebut dalam tulisan-tulisan pada batu-batu tadi merupakan kerajaan-kerajaan Indonesia asli yang hidup makmur berkat perdagangan dengan negara-negara di India Selatan. Raja-rajanya mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang ahli-ahli dan orang-orang pandai dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu dan Brahma. Tahap kerajaan-kerajaan Islam juga memberikan pengaruh kepada kebudayaan Indonesia. Kerajaan-kerajaan Islam muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam melalui hubungan perdagangan. Para penyebar dakwah atau mubaligh mengajarkan agama Islam kepada  penduduk asli yang kemudian menyebarkannya kepada penduduk lainnya. Kerajaan Islam di  Nusantara yang dipengaruhi oleh kerajaan atau kesultanan Islam di tanah Arab, antara lain, kerajaan Samudera Pasai di Aceh, kerajaan Mataram di Jawa, serta kesultanan Ternate dan kesultanan Tidore di Maluku. Tahap kekuasaan lokal Nusantara di atas merupakan kekuasaan raja-raja sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, baik yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha maupun Islam. 190

Menurut beberapa penafsiran dari fakta sejarah yang ada, sifat kekuasaan lokal Nusantara tersebut terpusat di tangan raja. Hal ini berakibat pada rendahnya tingkat kelembagaan dan kepastian, serta kerasnya penggunaan kekuasaan yang ada bahkan menimbulkan peristiwa  berdarah sehingga pada akhirnya kekuasaan raja-raja tersebut runtuh (Simbolon, 1995: 6—32). Tahap setelah kekuasaan raja-raja di Nusantara adalah tahap kolonialisasi atau tahap  pejajahan bangsa Indonesia oleh VOC (1602—1800) yang diteruskan oleh Belanda (1800—  1942), dan Jepang (1942—1945). Akibat perang di Eropa, kekuasaan atas Indonesia pernah diambil alih oleh Inggris (1811—1816). Masa penjajahan yang dialami bangsa Indonesia dari 1602—1945 itu juga merupakan  proses panjang pembentukan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku bangsa. Proses  pembentukannya merupakan salah satu ciri dari suatu proses yang disebut unintended consequences. Istilah ini dapat diartikan sebagai akibat yang tidak diperhitungkan dari tindakan

yang dilakukan terhadap suatu susunan kehidupan, baik tindakan-tindakan yang dicita-citakan dan direncanakan, maupun yang tidak. Dalam hal ini, pengembangan kebangsaan Indonesia merupakan akibat yang tidak diperhitungkan oleh penguasa kolonial terhadap susunan kehidupan masyarakat yang kini disebut sebagai bangsa Indonesia. Ini terjadi karena masyarakat Indonesia  bukanlah peralatan otomatis yang reaksinya selalu dapat diperhitungkan oleh penggunanya (Simbolon, 1995: xxii). Dalam masa penjajahan Belanda, perlakuan-perlakuan kolonial justru menjadi pemicu munculnya kesadaran berbangsa pada orang Indonesia. Hal ini tentu tidak diinginkan dan tidak diduga oleh Belanda. Dua peristiwa bersejarah yang menunjukkan tumbuhnya kesadaran  berbangsa yang yang ingin merdeka dari penjajahan yang terjadi antara tahun 1899 sampai 1942. Kesadaran itu adalah Kebangkitan Nasional yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa ini merupakan salah satu dampak Politik Etis yang mulai diperjuangkan masa Multatuli (dr. Douwes Dekker). Politik etis merupakan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang seolah-olah memberikan kebaikan sebagai tanda balas budi, namun sesungguhnya dalam rangka mempertahankan statusnya sebagai penjajah. Dalam Politik Etis, pemerintah kolonial berupaya menanamkan pengaruhnya kepada para penguasa pribumi pendidikan. Para pemuda dari kalangan elite dididik oleh Belanda untuk menjadi penguasa yang mengabdi kepada pemerintah kolonial Belanda. Mereka dididik di berbagai lembaga pendidikan Belanda, baik di Indonesia—  191

yang umumnya dipusatkan di Pulau Jawa—maupun di Negeri Belanda. Tanpa disadari, Belanda telah mendorong dan menciptakan ruang gerak terjadinya interaksi antarberbagai suku bangsa melalui interaksi antarpemuda dari kalangan elitenya. Interaksi ini justru terjadi di dalam  berbagai institusi buatan Belanda, baik pemerintah maupun swasta yang bergerak di bidang  pemerintahan maupun pendidikan. Di dalam institusi pendidikan terjadi interaksi yang intensif antara pemuda-pemuda yang  berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, tidak hanya yang berada di Pulau Jawa, tetapi  juga yang di Belanda. Melalui interaksi itu, tumbuh benih-benih solidaritas baru, yaitu perasaan senasib sebagai bangsa yang terjajah. Ikatan solidaritas ini terus berkembang menjadi suatu semangat persatuan yang menginginkan kemerdekaan. Keadaan itulah yang mendorong Kebangkitan Nasional dengan lahirnya kelompok kebangsaan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei tahun 1908. Hal yang sama juga memunculkan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang dirumuskan dalam satu kesepakatan dalam bentuk ikrar bahwa mereka: “Bertumpah darah satu Indonesia, Berbangsa satu Indonesia, dan Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Solidaritas yang menumbuhkan semangat persatuan ini melahirkan cita-cita membangun bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Kebangkitan Bangsa dan Sumpah Pemuda merupakan tonggak sejarah yang menandai kelahiran bangsa Indonesia dari berbagai suku bangsa melalui kesepakatan normatif.10  Bangsa Indonesia mencapai puncak sejarah  perjuangannya ketika berhasil merdeka dan berdaulat melalui Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 di bulan Ramadhan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta (Hardi, 1984: 61). Dengan demikian, penjajahan terhadap bangsa Indonesia berhasil diakhiri dengan memanfaatkan keadaan setelah kota Hiroshima di Jepang dibom oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 Agustus 1945. Setelah bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, Jepang menyerah pada sekutu. Melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI; dalam bahasa Jepang disebut  Dokuritsu Zyunbi Inkai), Indonesia menegaskan keinginan dan tujuannya mencapai kemerdekaan itu.

10

Sardjono Jatiman, “Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik,” makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Tinjauan Kritikal tentang Integrasi Bangsa, Depok, 16—17 Januari 1996.

192

PPKI adalah panitia baru yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu  Zyunbi Cosakai ) yang sebelumnya dibentuk pada 29 April 1945. PPKI dibentuk pada tanggal 12

Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada tanggal 7 Agustus 1945 yang terjadi hanyalah  pemberian izin oleh pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI, sedangkan  pembentukannya secara resmi adalah pada tanggal 12 Agustus 1945). Tugas BPUPKI adalah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar guna menyongsong kemerdekaan, sedangkan PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan kekuasaan dari negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma, 2004: 1—13). Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih  baru itu masih mengalami berbagai ujian dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kerajaan Belanda ketika itu ingin menjajah kembali Indonesia dengan alasan sebelumnya Indonesia adalah bagian sah dari kerajaan Belanda, namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda  bergabung dengan sekutu kalah perang pada tahun 1941. Dengan kekalahan

Jepang dalam

 perang Pasifik pada tahun 1945, Belanda mengklaim bahwa secara hukum internasional, Indonesia kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda. Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya melalui berbagai upaya, seperti  perang konvensional yang disebut revolusi kemerdekaan

dan ‘perang’ diplomasi

berupa

 perundingan antarpemerintah kedua negara. Akhirnya, dicapai persetujuan melalui Perjanjian Meja Bundar. Perjanjian ini memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Namun

 pengakuan itu disertai syarat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi

Negara Republik Indonesia Serikat. Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah

menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal. Sejak itu, secara de jure Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 29 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009: 120—122). Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi Liberal (1950—1959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpin—yang kemudian disebut Orde Lama (1959—1965), Orde Baru (1966—1998), dan era Reformasi (1998—sekarang). Proses pembentukan negara dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam Bab II.

193

1.3.2 Pancasila dan UUD 1945

Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia memiliki ideologi sebagai landasan  berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai kaidah-kaidah  penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. UUD 1945, yang mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya merupakan hukum dasar yang mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan guna menjamin demokrasi. Di dalam UUD 1945 ada rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan kata lain, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat yang mampu menjamin keberlangsungan integrasi dan demokrasi.

1.3.3 Simbol/Lambang Persatuan Bangsa

Berbagai dikenakan dikenakan kepada diri manusia. Salah satunya adalah makhluk sosial. Manusia juga disebut makhluk budaya yang dengan akalnya dapat mengubah, bahkan menciptakan realitas dengan menggunakan sistem perlambangan. Artinya, kehidupan manusia kita tidak terlepas dari simbol-simbol atau lambang-lambang. Umpamanya, Universitas Indonesia menggunakan makara sebagai lambang yang mempunyai makna khusus di samping sebagai salah satu identitas sebagai sebuah perguruan tinggi. Demikian pula dalam bernegara, rasa keterikatan, solidaritas, dan identitas anggota masyarakatnya dijaga sebagai satu kesatuan  bangsa dan negara dengan menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang persatuan. Beberapa lambang persatuan itu adalah bendera merah putih, bahasa nasional, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Penggunaan lambang-lambang itu diatur dalam UUD 1945, yaitu Pasal 35 (mengenai Bendera Merah Putih), Pasal 36 (mengenai Bahasa Indonesia), Pasal 36A (mengenai lambang negara Garuda Pancasila), dan Pasal 36B (mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya). Dalam UU No 24 Tahun 2009 diatur juga tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. UU Nomor 24 Tahun 2009 menyebutkan bahwa bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Hal ini diamanatkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lambang-lambang tersebut merupakan manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa,

194

kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan  Negara Kesatuan Republik Indonesia.11

1.3.4 Kebudayaan Nasional

Pluralitas bangsa Indonesia bukan hanya terletak pada keanekaan suku bangsanya, melainkan  juga keragaman agama, pelapisan sosial, dan kelompok yang melahirkan kebudayaan yang  beragam pula. Dalam kebudayaan yang beragam itu dapat muncul loyalitas terhadap suku bangsa atau kelompok yang dalam skala tertentu dapat menimbulkan primordalisme, entnosentrisme, dan sikap stereotip etnik terhadap suku bangsa atau kelompok lainnya. Oleh karena itu, untuk menjaga keutuhan persatuan bangsa dalam Negara Republik Indonesia, kebudayaan nasional mempunyai arti penting sebagai perekat rasa persatuan. Mengenai Kebudayaan Nasional dalam konteks Indonesia, beberapa cendekiawan mempunyai gagasan berbeda yang dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Golongan pertama menyatakan bahwa suatu pengembangan kebudayaan nasional Indonesia berlandaskan pada unsur-unsur kebudayaan suku-suku bangsa di daerah. Salah satu tokohnya adalah Ki Hajar Dewantara. Tokoh ini mengemukakan bahwa kebudayaan nasional harus unik, berkepribadian khas, dan bermutu tinggi. Tujuannya adalah

menjadi identitas nasional dan memenuhi

kebutuhan setiap warga bangsa Indonesia. Mereka diharapkan bangga terhadap bangsanya sendiri. Oleh karena itu, disarankan agar puncak-puncak (dalam arti ‘yang paling’) kebudayaan suku-suku bangsa tadi dijadikan isi kebudayaan nasional. Golongan kedua menyarankan adanya pengembangan kebudayaan nasional baru Indonesia yang lepas dari kebudayaan suku-suku bangsa dan berorientasi ke peradaban dunia masa kini. Salah satu tokoh golongan kedua ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Gagasannya adalah kebudayaan nasional harus dipahami setiap warga Indonesia. Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan nasional tidak dapat diambil dari kebudayaan suku-suku bangsa warisan nenekmoyang. Kebudayaan nasional Indonesia sebaiknya diciptakan baru karena kebudayaan mengacu ke masa depan, mementingkan sains, dan teknologi. Secara teoretis, suatu kebudayaan nasional mempunyai dua fungsi. Pertama, memperkuat rasa identitas nasional. Kedua, memperluas rasa solidaritas nasional warga. Berdasarkan dua 11

UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035).

195

fungsi itu, gagasan kedua golongan cendekiawan di atas sebenarnya saling melengkapi. Gagasan kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama sedangkan dari golongan kedua memenuhi fungsi kedua. Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah antara lain adalah Borobudur, batik, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan, karapan sapi, dan lainlain. Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, identitas diri dapat dikuatkan oleh individu yang  bersangkutan dengan mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu, identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan sebagai hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a). Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang dapat memenuhi fungsi kedua tadi antara lain bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni drama masa kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat mengintensifkan komunikasi antarsuku bangsa yang berbeda-beda dan dipahami maknanya sehingga dapat menumbuhkan toleransi dan solidaritas. Unsur-unsur kebudayaan nasional perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pengembangan itu tidak boleh dibatasi hanya pada unsurunsurnya saja, tetapi meliputi sistem nilai budayanya juga. Sebab, sistem nilai budaya merupakan inti dari suatu kebudayaan karena dianggap bernilai tinggi). Nilai itu menjiwai semua  pedoman yang mengatur tingkah laku warga yang bersangkutan. Pedoman dimaksud adalah adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup, dan lain-lain. Menurut C. Kluckhohn, masalah kehidupan manusia bernilai tinggi dan universal yang ada di setiap kebudayaan menyangkut setidaknya lima hal, yaitu (1) makna atau hakikat hidup, (2) makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan, (3) persepsi terhadap waktu, 4) hubungan dengan alam sekitar, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b). Di luar itu, salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan adalah soal hukum nasional. Pengembangan ini harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan negara, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap bangsa dan

seluruh

tumpah

darah

Indonesia,

mencerdaskan

kehidupan

bangsa,

memajukan

kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

196

Apa yang dibicarakan di atas pastinya merupakan salah satu upaya menjaga keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, setiap warga bangsa  perlu pula memahami jati dirinya sebagai bangsa Indonesia dan nilai- nilai yang dimilikinya. Jati diri bangsa di sini berkaitan dengan cara pandang dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Istilah jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda. Jati diri ini pun diartikan sebagai identitas.12 Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri atau identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Oleh karena itu, globalisasi harus pula diwaspadai karena dapat mengancam nilai-nilai kebangsaan, seperti pemahaman yang keliru tentang ‘menjadi modern’ atau ‘menjadi seperti orang Barat’. Masalah jati diri, selain berkaitan dengan gaya hidup juga berkaitan dengan perilaku yang dapat menyebabkan disintegrasi. Gaya hidup yang membuat anak-anak senang tawuran dan “perang” antarsuku bangsa atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain menunjukkan, antara lain, lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap otonomi daerah sebagai federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa; ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotong-royong, solidaritas, dan kemitraan; dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses globalisasi.13  Semua itu merupakan masalah  besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Dengan demikian, perlu terus menerus ditumbuhkan kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa Indonesia.

1.4 Nilai Kebangsaan 1.4.1 Arti Nilai Kebangsaan

Dari sisi bahasa, ‘nilai’ mempunyai arti, antara lain, sesuatu yang berharga; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya. Sementara itu, kata ‘kebangsaan’ sendiri antara lain mempunyai arti ciri-ciri yang menandai golongan bangsa; perihal bangsa; mengenai (yang bertalian dengan) bangsa; atau

12 13

Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar  Bahasa Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 462. Muladi, “Jati Diri Bangsa”, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, 14 Juni 2006.

197

kesadaran diri sebagai warga dari suatu Negara.14 Dengan demikian, nilai kebangsaan dapat diartikan sebagai suatu kesadaran dari warga negara yang dianggap penting atau berharga bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu negara yang mempunyai cir-ciri tertentu yang menandainya. Pemahaman akan nilai kebangsaan yang kuat akan menumbuhkan rasa nasionalisme dalam masyarakat.

Menurut Kohn, nasionalisme adalah paham yang berpendapat bahwa

kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.' Perasaan itu sangat mendalam dan memiliki ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat, dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya (Kohn, 1984: 11-13). Bagi bangsa Indonesia, nilai kebangsaan tersebut tercermin dalam Konstitusi Negara, UUD 1945, khususnya pada bagian Pembukaan. Dalam salah satu alineanya tertulis bahwa “...berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya  berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Pernyataan di atas menunjukan tekad bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang bebas merdeka dengan tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur.

1.4.2 Sumber Nilai Kebangsaan

Sumber Nilai Kebangsaan Indonesia dapat dilihat dari aspek sejarah dan

kondisi sosial

masyarakatnya. Dilihat dari aspek sejarah, nilai kebangsaan itu sudah ada sebelum Negara Indonesia terbentuk. Pada waktu sebelum Negara Indonesia terbentuk, proses sejarah mengajarkan nilai-nilai perjuangan aneka suku bangsa karena merasa mempunyai nasib dan tujuan yang sama. Selain itu, gerakan kebangsaan Budi Utomo (1908) dan lahirnya Sumpah Pemuda (1928) menunjukan adanya nilai untuk berani bersikap dan menyatakan kehendak  bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa  persatuan bahasa Indonesia. Makna frase “menjunjung bahasa persatuan” menunjukan kenyataan  bahwa mereka berasal dari berbagai suku bangsa yang mempunyai bahasa daerahnya masingmasing. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan dan menjaga persatuan bangsa, bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa persatuan. Setelah terbentuknya NKRI, Nilai Kebangsaan yang ditanamkan berasal dari UUD 1945 dengan empat sumber acuan nilai, yaitu (1) Pancasila sebagai falsafah bangsa, (2) UUD 1945,

14

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Op. Cit . Hlm. 783

198

(3) NKRI sebagai bentuk negara, dan (4) Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan kesatuan  bangsa.

1.4.3 Nilai Kebangsaan dan Pembentukan Karakter

Karakter suatu bangsa bergantung pada nilai-nilai lokal yang hidup pada masyarakatnya. Untuk mengembangkannya, dunia pendidikan mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini sudah disadari oleh para pendiri bangsa Indonesia. Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 merupakan buah perjuangan terkait dengan pendidikan bangsa. Salah satu tokohnya yaitu Dr. Wahidin Soedirohoesodo menjadikan masalah pendidikan sebagai titik perhatian utama. Pendidikanlah yang dapat mengubah nasib bangsa. Apabila pendidikan rakyat meningkat, ekonomi pun turut meningkat (Syamsah Nas, 1990:1—5). Melalui pendidikan diharapkan tumbuh subur kesadaran pentingnya berbangsa. Setiap anggota masyarakat harus merasa sebagai  bagian dari bangsa dalam upaya membangun ketahanan nasional dalam rangka menghadapi  berbagai tantangan. Kesadaran itu harus dikaitkan dengan pemahaman atas nilai-nilai kebangsaan, jati diri, dan wawasan kebangsaan yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Pembentukan karakter dalam dunia pendidikan saat ini antara lain diatur melalui UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Di sana disebutkan bahwa pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam

mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran lainnya adalah

memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai humaniora yang berkelanjutan. Sasarannya terkait dengan nilai kebangsaan, antara lain ditanamkannya prinsip-prinsip moral yang mampu mendorong mahasiswa bersikap sesuai dengan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya. Dengan demikian, akan lahir lulusan yang mampu menjadi pendorong terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang tahu hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan. Pada lingkup yang lebih luas, para lulusan itu dapat ikut mempertahankan keberlanjutan dan cita-cita bangsa.

199

BAB 2 NEGARA INDONESIA

2.1 Hakikat Negara

Di hadapan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ir. Soekarno berkata: “Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan dari bumi yang ada di bawah telapak kakinya” (Setneg, 1992: 66). Oleh karena itu, setelah proses berbangsa, orang menyatakan tempat tinggalnya sebagai negaranya. Konsep ini dikenal sebagai konsep negara berdasarkan geografi. Negara berdasarkan bentuk geografi, antara lain negara daratan (land lock country)—disebut juga negara terisolasi—yaitu negara yang tidak memiliki akses ke laut. Akses ke laut harus melalui satu atau dua negara tetangga. Negara demikian dapat pula dikelilingi oleh satu negara saja, seolah-olah seperti suatu enclave. Masa modern—pasca-Perang Dunia II—perbatasan negara ditentukan oleh perjanjian internasional. Kini ada negara daratan yang diberi akses ke laut melalui koridor yang diberikan oleh negara tetangga. Di lain pihak ada negara yang berbatasan dengan laut. Negara ini meliputi (1) negara Pantai, (2) negara Pulau (negara dengan satu pulau utama dan beberapa pulau kecil), dan (3) negara Kepulauan (negara yang terdiri dari beberapa gugus pulau). Setiap pantai—daratan—  memiliki wilayah laut selebar 3 nautical miles  (NM) dari garis pantai (coastline). Oleh karena itu, wilayah perairan antarpulau dapat saja berstatus laut bebas. Untuk melindungi wilayahnya, sebuah bangsa membentuk organisasi yang kemudian disebut sebagai negara (state). Dalam pengertian ini, negara meliputi (1) penduduk (rakyat,  penghuni tetap, dan warga negara), (2) wilayah atau lingkungan kekuasaan pemerintah, (3)  penguasa yang berdaulat (membedakan organisasi pemerintah dengan organisasi sosial), dan (4)  pengakuan kedaulatan dari negara lain. Keempat kesepakatan ini merupakan hasil konvensi negara-negara Pan Americana di Montevideo, Uruguay, tahun 1933. Di samping keempat syarat tersebut dapat ditambahkan lagi satu aspek, yaitu adanya konstitusi dalam negara bersangkutan (Ditjen Dikti, 2001: 36).

200

2.1.1 Rakyat

Konsep tentang rakyat adalah penghuni. Mereka merupakan penduduk atau semua orang yang  bertujuan menetap dalam wilayah tertentu untuk jangka waktu lama. Mereka dapat diklasifikasikan sebagai (1) penghuni tetap maupun berpindah-pindah (nomad ) dalam wilayah tersebut dan (2) warga negara dan warga negara asing. Konsep demikian dimaksudkan untuk mengantisipasi bahwa di era global saat ini amat jarang negara yang rakyatnya dari segi ras dan etnik bersifat homogen. Di era globalisasi, lalu lintas penduduk antardaerah maupun antarnegara semakin lancar. Gejala ini menyebabkan rakyat suatu negara semakin lama semakin majemuk. Oleh karena itu,  peran imigrasi sebagai lambang kekuasaan negara perlu didukung penuh. Penjelasan lebih lanjut  pada Bab IV.

2.1.2 Wilayah

Wilayah atau lingkungan kekuasaan pemerintah meliputi (1) darat, (2) laut, (3) udara, dan (4) ekstrateritorial. Wilayah darat ditandai dengan batas-batas alamiah/geografi maupun buatan. Batas wilayah darat ditentukan oleh pemerintah. Batas wilayah laut merupakan hasil perjanjian  bilateral antarnegara yang bertetangga. Namun sejak dekade kesembilan abad XX, melalui UNCLOS ’82, batas laut dan definisi tentang kepulauan diubah. Laut bukan lagi merupakan  pembatas suatu daerah, melainkan penghubung antardaerah dalam negara. Penentuan wilayah udara mengacu pada konvensi Paris yang ditanda tangani pada 23 Oktober 1919. Konvensi tersebut memutuskan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Tujuannya adalah agar setiap negara memiliki kedaulatan di atas wilayahnya. Sejak 1944 (Konvensi Chicago) wilayah kedaulatan udara terbentang di atas daratan dan lautan suatu negara. Pasca-Perang Dunia II ditentukan adanya ruang angkasa dan berada di atas ruang udara masing-masing negara.

2.1.3 Pemerintah yang Berdaulat

Pemerintah adalah pemegang dan penentu kebijakan yang berkaitan dengan pembelaan negara. Pemerintah yang berdaulat mempunyai dua kekuasaan yang bersifat ke dalam dan ke luar. Ke dalam, pemerintah memiliki kekuasaan untuk merumuskan keputusan-keputusan yang mengikat  bagi seluruh penduduk di wilayahnya. Ke luar, pemerintah mempertahankan kemerdekaan dari 201

serangan negara lain dan mengelola hubungan diplomatik berkaitan dengan perjanjian internasional. Untuk itu, diperlukan loyalitas dari warga negaranya untuk mengamankan dan mempertahankan negara (Budihardjo, 2008: 54). Menurut Max Weber, agar tidak ada monopoli kekuasaan perlu adanya pemisahan kekuasaan berupa pemisahan kekuasaan atas lembaga-lembaga negara secara horizontal menurut fungsinya sebagaimana dinyatakan dalam doktrin Trias Politica. Doktrin itu membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu (1) legislatif (kekuasaan membuat undang-undang), (2) eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang), dan (3) yudikatif (kekuasaan mengawasi  pelaksanaan undang-undang atau kekuasaan mengadili pelanggaran undang-undang). Penafsiran Trias Politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan. Artinya, hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya dan diserahkan kepada badan yang berbeda, tetapi kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi (Budiarjo, 2008: 151—155).

2.1.4 Pengakuan Kedaulatan

Pengakuan kedaulatan dari negara lain bukanlah unsur pembentuk negara, tetapi bersifat menerangkan saja tentang adanya negara. Dengan kata lain, pengakuan dari negara lain hanya  bersifat deklaratif. Pengakuan kedaulatan dibedakan dengan status de facto  berdasarkan fakta yang ada dan de jure  berdasarkan hukum. Dengan adanya kedua jenis status pengakuan, hubungan kedua negara dapat ditingkatkan menjadi hubungan diplomatik kedua negara hingga tingkat duta besar.

2.1.5 Konstitusi

Persayaratan lain suatu negara modern menurut Prof. Dr. Sri Soemantri (Ditjen Dikti, 2001: 36) adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis, yaitu constituir  (membentuk), yang diartikan sebagai pengaturan dasar pembentukan suatu negara. Negara modern, terutama sejak berdirinya Amerika Serikat, menjadikan konstitusi merupakan prasyarat  bagi suatu negara bangsa. Sebuah konstitusi biasanya berisikan (1) organisasi negara (pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif), (2) hak asasi manusia, (3) prosedur mengubah kontitusi (amendemen), (4) ada kalanya ada larangan untuk mengubah konstitusi, dan (5) aturan hukum 202

yang tertinggi. Di dalamnya, tidak jarang dibuat pembukaan atau mukadimah dasar yang  berisikan cita-cita atau ideologi negara (Budiardjo, 2008: 178).

2.1.6 Tujuan Negara

Tujuan negara sebaiknya tersurat, paling tidak tersirat dalam konstitusi. Rumusan tujuan merupakan pedoman untuk mencapai cita-cita nasional. Tujuan nasional itu pada dasarnya sejalan dengan tujuan hidup manusia pada umumnya, yakni menciptakan rasa aman dan membangun kemakmuran bagi rakyat. Untuk itu, negara berhak menuntut kesetiaan para warganya untuk menghadapi musuh. Sebaliknya, pemerintah berkewajiban pula memberi dan melatih pengetahuan untuk mempertahankan negara.

2.2 Geopolitik dan Geostrategi

Konsep geopolitik dan geostrategi berkembang seiring kesadaran manusia untuk berbangsa dan  bernegara; mulai dari d ari terbentuknya terbentukny a bangsa, b angsa, kemudian negara, dan tidak boleh diabaikan adanya kemajuan teknologi dalam bidang transportasi, komunikasi, peralatan militer dan kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 16). Konsep wawasan kebangsaan tentang wilayah ini sangat diperlukan dalam pengelolaan negara. Konsep ini mulai dikembangkan sebagai ilmu pada akhir abad XIX. Konsepsi ini dikenal sebagai geopolitik, yang pada mulanya membahas geografi dari segi politik negara kemudian  berkembang menjadi konsep politik, dalam arti distribusi kekuatan, pada hamparan geografi negara (Sunardi, 2004: 157). Gagasan awal geopolitik ditulis oleh Friedrich Ratzel yang mengatakan bahwa ter bentuknya negara ibarat pertumbuhan makhluk hidup yang membutuhkan ruang untuk  pertumbuhannya. Gagasan itu diperkuat oleh tulisan Rudolf Kjellen yang mengatakan bahwa untuk berkembang diperlukan kekuatan dan intelektual bangsa. Pada awalnya, pemikiran geopolitik hanya berfokus pada pembahasan elemen fisik geografi, yaitu berkaitan dengan masalah ruang hidup (tanah), bentuk wilayah, cuaca, dan sumber daya alam. Pemikiran ini masih menekankan pembangunan kekuatan fisik negara demi keamanan (Collins, 1973: 167—168). Dalam perkembangannya, geopolitik meliputi pula masalah yang berkaitan peta bumi ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan negara. Konsep geostrategi merupakan pelaksaan dari geopolitik. 203

2.3 Negara Kesatuan Kesatuan Republik Indonesia 2.3.1 Ciri Khas Wilayah Indonesia

Ada empat ciri khas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditinjau dari segi geografis. Pertama, wilayah NKRI berada di posisi silang antara Lautan India di sebelah Barat dan Lautan Pasifik di sebelah Timur. Di sebelah Utara ada benua Asia dan di Selata ada Australia. Dengan posisi ini, NKRI harus membuka jalan bagi lalu lintas perdagangan dan manusia. Namun demikian, kita harus waspada dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan  berlanjut ke tindak-tindak kriminal, terorisme dan berarkhir dengan masalah pertahanan negara. Kedua, sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki luas 1.904.569 km2 dengan jumlah 17.504 pulau (CIA International Report, Juli 2014) dengan garis pantai sepanjang 54.715 km. Sebagai perbandingan, negara kepulauan besar lainnya, yaitu

Madagaskar memiliki luas

587.401 km2  sedangkan Papua Nugini seluas 472.377 km2. Meskipun Indonesia negara kepulauan terbesar, namun bukan merupakan negara kepulauan yang terbanyak pulaunya. Republik Finlandia—negara pantai—memiliki pulau sebanyak 179.584 atau 10 kali lipat dari  jumlah pulau Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia masih memiliki tugas berat, antara lain menginventarisasi 11.801 pulau yang belum memiliki nama, karena baru 5.703 pulau yang sudah  bernama. Luas daratan 1,9 Juta KM2. Luas Perairan 3,1 Juta KM2, terdiri dari Laut Teritorial 0,3 Juta KM2, Perairan Nusantara (inner waters) 2,8 Juta KM2. Luas Zona Ekonomi Ekslusif 3.0 Juta KM2. Ketiga, Indonesia merupakan salah satu dari delapan negara di bawah lintasan Geo Stationary Orbit (GSO). GSO merupakan suatu lingkaran orbit yang sejajar dengan garis khatulistiwa di bumi. Lingkaran orbit terletak pada 6 radian bumi di atas garis khatulistiwa di ketinggian + 36.000 km, dengan tebal + 75 km, dan lebar + 15 km. GSO pada orbit ini akan mengelilingi bumi dari Barat ke Timur dengan masa orbit 23 jam, 56 menit, 4 detik. Oleh karena itu, apabila satelit ataupun benda-benda angkasa yang ditempatkan di orbit ini, seolah-olah diam, karena periode putarnya hampir sama dengan periode putar bumi. Indonesia memiliki lintasan GSO terpanjang. Panjang Garis Khatulistiwa Indonesia 6.110 km, lingkaran GSO Indonesia 9.997 km atau 12,8% dari keliling GSO. Keempat, Indonesia dilintasi tiga dari tujuh selat tersibuk dunia (Sunardi, 2002: 175). Ketiga selat itu adaalah (1) Selat Malaka, nomor 2 setelah selat Dover, merupakan jalur angkutan 204

migas untuk Asia Timur dan Pasifik, (2) Selat Sunda (nomor 6), dan (3) Selat Lombok (nomor 7). Selat Sunda dan Selat Lombok merupakan jalur pelayaran dari negara-negara Asia Timur dengan negara-negara Pasifik Selatan. Pada masa perang dingin, ketiga selat ini “dikuasai” oleh Amerika Serikat.

2.3.2 Wujud Formal Negara Indonesia

Secara formal, Indonesia menjadi negara sejak proklamasi kemerdekaannya. Wujud formal itu  berupa (1) penduduk atau rakyat yang mendiami wilayah; (2) wilayah, eks wilayah Hindia Belanda; (3) pemerintah yang berbentuk republik, sejak terpilihnya Presiden; (4) kedaulatan, sejak Proklamasi Kemerdekaan; (5) konstitusi; (6) tujuan negara, yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur ber-dasarkan Pancasila; dan (7) bentuk negara yang berupa negara kesatuan.

a. Penduduk

Sebelum kemerdekaan Indonesia, rakyat Indonesia terdiri atas berbagai etnik, agama, dan golongan kaula Belanda— onderdaan onderdaan —maupun orang asing. Orang asing dibedakan antara turunan Eropa—Jepang digolongkan sebagai orang Eropa—dan Timur asing yaitu Cina, Arab, India. Setelah proklamasi kemerdekaan kemerdekaan berbagai penduduk yang berada di Indonesia sebelum tanggal 17 Agustus 1945 diakomodasi sebagai warga negara Indonesia.

b. Wilayah

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditentukan oleh BPUPKI adalah wilayah eks Hindia Belanda (Setneg, tt: 25). Mengenai batas wilayah ini, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Indonesia mengeluarkan deklarasi tentang ketentuan batas wilayah laut yang ditandatangani PM Djuanda.. Isinya ditujukan untuk memperkuat konsepsi wilayah maritim. Konsep maritim Belanda dirombak total menjadi tata lautan yang diperbaharui “berasas negara kepulauan” (archipelagic state principle). Dasar hukum konsepsi baru tersebut berupa negara kepulauan yang wilayahnya meliputi: darat, laut, dan udara sebagai kesatuan yang utuh, yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaica.

205

Menurut Pasal 46 UNCLOS 1982, kepulauan  berarti suatu gugusan pulau, termasuk  bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, Negara Kepulauan sebagaimana Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri atas pulau-pulau sebagai satu keastuan; wilayah itu sepertiganya merupakan daratan dan dua pertiganya lautan.

c. Pemerintah

Pemerintah Indonesia ada sejak 18 Agustus 1945 sebagai hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Implementasi Trias politica setelah Orde Baru berakhir merujuk pda UUD NRI 1945 tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian kekuasaan. Fungsi dan kekuasaan negara tidak dibagi secara terpisah dalam tiga lembaga saja, tetapi didistribusikan ke dalam enam lembaga tinggi negara. UUD NRI 1945 menghapus satu lembaga tinggi negara, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang sebelumnya mempunyai kekuasaan konsultatif bagi Presiden. Selanjutnya dibentuk satu lembaga tinggi negara yang baru  bernama Mahkamah Mahk amah Konstitusi (MK). Pendistribusian kekuasaan negara pada lembaga-lembaga le mbaga-lembaga tinggi negara memungkinkan adanya saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut. Berikut ini uraian mengenai lingkup kewenangan beberapa lembaga negara tersebut. Badan eksekutif atau Pemerintah adalah organisasi yang berwenang merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu wilayah. Pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan menyelenggarakan kekuasaan negara. Di negara demokrasi, badan eksekutif terdiri atas kepala negara atau kepala pemerintahan, menteri-menteri,  pegawai negeri sipil, dan militer. Pengertian badan eksekutif dapat dipersempit hanya mencakup kepala negara, kepala  pemerintahan, dan para menterinya. Untuk memperlancar tugas mereka dibentuklah badan  pelaksana yang bersifat permanen dan profesional, yakni birokrasi. Birokrasi melaksanakan tugas-tugas administrasi yang bersifat teknis yang tidak dapat ditangani sendiri oleh para politisi. Badan Yudikatif merupakan Yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Indonesia kini memiliki tiga badan yudikatif, yakni (1) Mahkamah Agung (MA), berfungsi menyelenggarakan peradilan termasuk menguji materi  perundang-undangan di bawah UU; 206

(2) Mahkamah Konstitusi (MK), berfungsi (a) mengadili untuk menguji UU terhadap UUD, (b) memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD, termasuk membubarkan partai politik, (c) memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, (d) memberikan pendapat atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden; 3) Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk meng-usulkan Hakim Agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Badan Legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dianggap mewakili rakyat. Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat dan mempunyai suatu kemauan. Badan legislatif dianggap merumuskan kemauan rakyat dengan jalan menentukan kebijakan umum ( public seluruh masyarakat. Kenyataannya, bentuk dan  public policy) yang mengikat seluruh susunan badan-badan legislatif berbeda pada tiap negara. Berdasarkan ketentuan UUD 1945, kekuasaan yang ada pada negara didistribusikan: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan konstitutif, yaitu kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar, (2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif, yaitu membentuk undang-undang, dan (3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif legislatif yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga-tinggi baru negara yang memiliki kekuasaan inspektif yaitu melakukan pemeriksaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan pendapat DPD dan diresmikan oleh Presiden. Keanggotaan dan kedudukan BPK berada di ibu kota negara dan mempunyai  perwakilan di setiap provinsi.

d. Pengakuan dari Negara Lain

Mesir merupakan negara asing pertama yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Pengakuan de facto  itu dilakukan pada tanggal 22 Maret 1946 dengan menyatakan  bahwa pengurusan tentang masalah Indonesia tidak dilakukan melalui Kedutaan Besar Belanda.

207

Selanjutnya, Mesir mengajak anggota Liga Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan de jure baharu dilaksanakan pada 10 Juni 1947.  Negara kedua yang mengakui adalah India setelah merdeka dari Inggris pada 15 Agustus 1947. India menggagas resolusi bangsa-bangsa Asia-Afrika yang mengecam agresi militer Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Perdana Menteri India J. Nehru menggelar konverensi Asia bersama Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Libanon, Siria, dan Irak. Dalam konferensi ini, Nehru mendesak Pemerintah Belanda meninggalkan Indonesia. Pengakuan negara lain bagi berdirinya suatu negara sangatlah penting. Pengakuan negara tersebut akan menjadi jalan bagi terjadinya interaksi antarnegara. Dengan demikian, akan memperkokoh kedaulatan negara sebagai negara yang merdeka.

e. Konstitusi

Secara hakiki konstitusi berarti perjanjian antarmasyarakat dalam bernegara, sekaligus kontrak sosial. Pengertian Konstitusi (secara terminologi) adalah sejumlah aturan dasar dan ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk hubungan kerja sama antarnegara dan masyarakat dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Budiardjo (2008: 171), dalam negara demokrasi konstitusional, konstitusi/UUD  berfungsi

khas.

Dia

membatasi

kekuasaan

pemerintah

sedemikian

rupa

sehingga

 penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dalam perjalanan sejarah, UUD kita yang sekarang merupakan hasil empat kali amandemen dalam kurun waktu tiga tahun (1999—2002). Secara resmi, konstitusi kita bernama UUD 1945. Masyarakat sering menamakan UUD 2002. Perubahan UUD 1945 dapat digambarkan sebagai berikut. Undang-Undang Dasar (asli) terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) Pembukaan, (2) Batang Tubuh, dan (3) Penjelasan. Pembukaan terdiri atas empat alinea. Pembukaan menggambarkan hakikat nilai-nilai hukum: Tuhan, kodrat, etis, dan filosofis. Batang Tubuh merupakan jabaran  pelaksanaan hukum dasar, yang terdiri atas enam belas bab, dan tertuang dalam tiga puluh tujuh  pasal, empat pasal Aturan Peralihan, dan dua pasal Aturan Tambahan. Bagian Penjelasan dibuat untuk memudahkan masyarakat memahami dan mendalami isi serta hakikat Pembukaan dan Batang Tubuh UUD agar dapat dihayati dan dilaksanakan. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang sekarang merupakan hasil empat kali amendemen, dengan ciri antara lain: 208

(1) tidak memuat penjelasan, ini dapat menyebabkan multitafsir, (2) judul bab dan pasal banyak mengalami perubahan, (3) jumlah Bab, Pasal, dan Ayat berubah secara drastis, namun penomoran bab dan pasal tetap sama, hanya dengan menyisipkan “huruf” pada nomor bab dan nomor pasal yang ada, (4) UUD NRI 1945 kini memiliki 21 bab, 73 pasal, dan 173 ayat, serta hanya 6 (enam) pasal yang tidak diubah; yakni pasal-pasal: 4; 10; 12; 29; 35; dan 36, serta 5)

Hanya 1/8 (12,5%) kententuan asli, selebihnya ketentuan baru. Perkembangan UUD NKRI, yaitu (1) UUD (17/8-1945—27/12-1949); (2) Konstitusi

RIS (27/12-1949—17/8-1950); (3) UUDS RI (17/8-1950—5/7-1959); (4) UUD-1945 (5/71959—19/10-1999); (5) UUD-1945 Amendemen I (19/10-1999—18/8-2000); (6) UUD 1945 Amendemen I dan II (18/8-2000—9/11-2001); (7) UUD-1945 Amendemen I s.d. III (9/112001—10/8-2002); (8) UUD NRI 1945 (10/8—2002 kini) merupakan Amendemen I s.d. IV. Tata Urut Perundangan-undangan NRIsebaga berikut: (1) Peraturan Dasar (UUD, Perubahan UUD, Piagam Dasar); (2) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)/Jurisprudensi; (3) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden; (4) Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Pejabat setingkat Menteri; (5) Peraturan Daerah Provinsi (Perdaprov); (6) Peraturan Gubernur; (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perdakab/Perdakot); (8) Peraturan Bupati/ Walikota; dan (9) Peraturan Desa. Materi baru yang muncul dalam UUD NRI 1945 perlu menjadi catatan kita semua, yaitu: (1) adanya DPD membuat Indonesia kini menganut sistem bi-kameral yang umumnya dianut  Negara Federal; (2) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diangkat sebagai lembaga tinggi negara; (3) wilayah NKRI dinyatakan sebagai negara Kepulauan (Nusantara) sesuai dengan Deklarasi Juanda; (4) masalah Hak Asasi Manusia (HAM) dikembangkan meskipun dipengaruhi oleh HAM Universal (Universal Declaration of Human Rights) yang kini banyak ditentang oleh negara merdeka “baru”; (5) bela negara tertuang dalam dua pasal sebagai bela negara dan upaya ikut serta dalam  pertahanan dan keamanan; (6) Pemilihan Umum (Pemilu) diupayakan langsung hanya untuk Presiden dan Wakil Presiden, namun berkembang menjadi Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung; dan 209

(7) pimpinan eksekutif di pusat maupun daerah maksimal dijabat selama dua periode.

f. Tujuan Negara

Tujuan nasional suatu negara sebenarnya merupakan jabaran dari pada tujuan hidup manusia setelah membangsa. Oleh karena itu, tujuan dimasukkan dalam konstitusi negara. Demikian juga  pada UUD kita; tujuan nasional kita ditulis dalam Pembukaan UUD dan tidak boleh diubah. Secara singkat Pembukaan UUD berisi empat alinea, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Alinea pertama berisikan tentang Hukum Kodrat dan Hukum Etis yang telah dihayati oleh  bangsa Indonesia; 2) Alinea kedua, memuat cita-cita bangsa kita untuk merdeka; 3) Alinea ketiga, merupakan hakikat dari Hukum Tuhan dan Hukun Etis; 4) Alinea keempat berisikan tujuan negara dan sekaligus falsafah Pancasila dipakai untuk pedomanan berbangsa dan  bernegara. Isi Tujuan Nasional dapat ditulis secara singkat sebagai berikut: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) untuk memajukan kesejahteraan umun; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

g. Bentuk Negara

 Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian Pasal 1 ayat 1, UUD-1945 (asli). Artinya negara Indonesia bukan negara federasi, melainkan negara kesatuan yang kekuasaan utamanya berada di tangan Pemerintah Pusat. NKRI dibagi atas daerah-daerah  provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan UU (Pasal 18 ayat (1) UUD NRI-1945). Pemerintah Daerah (Pemda) provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan. (Pasal 18 ayat (2) UUD NRI-1945).

2.3.3 Geopolitik Indonesia

Salah satu dari empat ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkaitan dengan wilayah adalah negara kepulauan, dengan masyarakatnya yang majemuk. Ciri khas bangsa Indonesia ini menghendaki bangsa Indonesia memiliki cara pandang yang sama dalam upaya mengelola wilayah. Kesamaan gagasan dan cara pandang untuk membentuk negara bangsa dituangkan melalui ideologi Pancasila. Oleh karena itu disusunlah doktrin Geopolitik Indonesia 210

yang merupakan kesatuan pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya. Geopolitik Indonesia disebut Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara didefinisikan sebagai cara pandang dan sikap  bangsa Indonesia tentang dirinya yang bhineka, dan lingkungan geografisnya yang berwujud negara kepulauan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Panitia LEMHANNAS, 1980: 72). Wawasan Nusantara memiliki 4 fungsi: 1) mewujudkan serta memelihara persatuan dan kesatuan yang serasi dan selaras dalam segenap aspek kehidupan nasional (astagatra); 2) menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungan; 3) menegakkan kekuasaan guna melindungi kepentingan nasional; dan 4) merentang hubungan internasional dalam upaya turut menegakkan perdamaian.

Berdasarkan keempat fungsi tersebut, Wawasan Nusantara

dipakai sebagai 1) pola dasar perencanaan pembangunan nasional; 2) pola dasar pemanfaatan lingkungan yang berhubungan erat, saling terkait, serta saling bergantung antara masyarakat dan ruang hidupnya; 3) pola dasar implementasi konsep pertahanan keamanan untuk menjamin segenap wilayah Indonesia; 4) dengan letak negara pada posisi silang dan sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia dapat melaksanakan salah satu tujuan nasional, yaitu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia. Konsep Wawasan Nusantara merupakan gambaran “dunia ideal” yang kita kejar dan hendaknya diikuti oleh konsep “dunia nyata” yang harus diwujudkan. Dunia nyata yang harus diwujudkan tidak lain adalah konsep geostrategi Indonesia. Konsep itu disebut Ketahanan  Nasional.

2.3.4 Geostrategi Indonesia

Untuk melaksanakan konsep Wawasan Nusantara, disusunlah konsep geostrategi yang disebut Ketahanan Nasional. Gagasan konsep tersebut berawal dari pidato Presiden Soekarno di Kotaraja—kini Banda Aceh—pada tanggal 16 Juni 1948, dalam rangka meninjau wilayah Indonesia yang tidak diduduki oleh Pemerintah Belanda (Netherland Indonesia Civil Administration). Presiden Soekarno ketika itu menekankan pentingnya penyusunan konsep ketahanan jiwa bangsa (Basry, 1995; 50—51). Setelah pengakuan kemerdekaan pada tahun 1950, garis besar pembangunan politik Indonesia

berfokus pada “nation and character building”, yang sebenarnya merupakan

 pembangunan jiwa bangsa. Bung Karno pada tahun 1965 mendirikan Lembaga Pertahanan  Nasional—kini Lembaga Ketahanan Nasional—yang bertugas mempelajari dan membahas 211

masalah ketahanan nasional dan menghasilkan konsep Ketahanan Nasional (Tannas). Konsep yang dihasilkan pada tahun-tahun 1968 dan 1969 pada awalnya hanya berlaku di Indonesia.  Namun, menurut Brigjen TNI Haryomataram, konsep yang disempurnakan tahun 1972 diharapkan dapat diterapkan di negara sedang berkembang (Panitia LEMHANNAS, 1980: 85). Ketahanan Nasional diartikan sebagai kondisi dinamik suatu bangsa yang berisi keuletan, ketangguhan, serta kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung atau tidak langsung

membahayakan

kelangsungan

hidup

negara

dan

bangsa

Indonesia

(Panitia

LEMHANNAS, 1980: 227). Dalam konsep ini, bangsa Indonesia mengutamakan pembangunan kekuatan sosial sebagai prioritas utama dan pembangunan kekuatan fisik (keamanan) sebagai  prioritas selanjutnya. Konsep Ketahanan Nasional disusun dengan sistematika seperti dalam salah satu konsep Wawasan Nusantara, Astagatra, yang terdiri dari trigatra, yaitu aspek kekuatan alamiah (geografi, kekayaan alam, dan kemampuan penduduk) dan pancagatra, yang berupa aspek kekuatan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan-keamanan). Kaidah konsep Ketahanan  Nasional: 1) menggunakan kerangka pikir Pancasila yang komprehensif-integral; 2) dalam  pengaturan dan penyelenggaraan negara, masalah keamanan dan kesejahteraan tidak dapat dipisahkan satu sama lain; dan 3) ketahanan nasional merupakan integrasi dari ketahanan setiap aspek kehidupan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan-keamanan).

212

BAB 3 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA

3.1 Sekilas Sejarah Lahirnya Pancasila

Sebagaimana proses panjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia menjadi sebuah negara, kelahiran Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia juga merupakan proses yang panjang. Sebagai nilai- nilai yang ideal, Pancasila berasal dari nilai-nilai luhur bangsa yang majemuk. Oleh karena itu, nilai Pancasila menjadi dasar nilai yang mempersatukan kemajemukan tersebut. Tahap pembentukan Pancasila setidaknya diawali dari proses pergerakan perjuangan  bangsa Indonesia. Sebuah pergerakan bangsa Indonesia pada tahun 1924 yang dinamakan Perhimpunan Indonesia (PI) mulai merumuskan ideologi politiknya untuk mencapai kemerdekaan politik yang didasarkan pada empat prinsip, yaitu persatuan nasional, solidaritas, nonkooperasi, dan kemandirian (self-help) (Latif, 2011: 5). Yang dimaksud dengan persatuan nasional adalah pengikatan bersama ragam ideologi dan identitas (etnis, agama, dan kelas) untuk melawan penjajah. Solidaritas merupakan sikap menghapuskan perbedaan-perbedaan dalam  bangsa Indonesia dan lebih mengedepankan persoalan yang terjadi akibat penjajahan.  Nonkooperasi mempunyai makna bahwa bangsa Indonesia harus memperjuangkan sendiri kemerdekaannya karena pihak penjajah tidak akan membantu rakyat yang dijajahnya. Sementara itu, kemandirian dapat diartikan sebagai pembangunan sebuah struktur nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum yang diusahakan oleh bangsa Indonesia sendiri (Ingleson, 1979: 5). Setelah itu, banyak tokoh pejuang bangsa Indonesia yang juga memberikan pandangan pandangannya yang berkaitan dengan pembentukan ideologi bangsa, seperti Tan Malaka, Tjokroaminoto, dan tokoh-tokoh partai Persatuan Muslimin Indonesia (PMI), di antaranya adalah Iljas ja’kub dan Muchtar Lutfi. Sejalan dengan itu, lahirlah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 berdasarkan hasil Kongres Pemuda Indonesia. Kongres tersebut dimotori oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berdiri pada tahun 1925. Visi para pemuda yang diikrarkan melalui Sumpah Pemuda tersebut berusaha menyatukan segala keragaman ke dalam kesatuan tanah air dan bangsa Indonesia, serta menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia (Sudiyo, 1989: 112—120). Pandangan tokoh-tokoh bangsa tersebut mewarnai dan memberikan masukan berharga dalam proses atau tahap perumusan ideologi bangsa yang berkaitan dengan upaya untuk 213

mencapai kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, perumusan dasar negara Indonesia tersebut mulai dibicarakan dalam persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK) dari tanggal 29 Mei s.d. 1 Juni 1945. Dalam sidang itu, anggota-anggota BPUPK dari berbagai golongan itu memberikan pandangan- pandangannya, seperti pentingnya nilai-nilai ketuhanan,  persatuan, demokrasi permusyawaratan, keadilan dan kesejahteraan sosial sebagai dasar kenegaraan. Pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan bagi pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Inti Pancasila pada pidato tersebut adalah 1) kebangsaan Indonesia; 2) internasionalisme atau perikemanusiaan; 3) mufakat atau demokrasi; 4) kesejahteraan sosial; dan 5) ketuhanan yang berkebudayaan. Urutan kelima sila tersebut merupakan urutan sequential,  bukan urutan prioritas (Latif, 2011: 9—17). Proses panjang perumusan Pancasila melalui pidato Soekarno di atas mendasari  penetapan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari Kelahiran Pancasila karena nama Pancasila baru dikemukakan pada waktu itu. Namun demikian, sebagai dasar negara, persetujuan kolektif Pancasila baru didapat setelah melalui perumusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dan  perumusan final serta pengesahannya secara konstitusional dilaksanakan pada tanggal 18 Agustus 1945. Butir-butir Pancasila yang disahkan sebagai dasar negara adalah 1) Ketuhanan yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan; dan 5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

3.2 Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa

Sebagai bangsa yang majemuk, untuk menumbuhkan rasa kebangsaan pada bangsa Indonesia, dibutuhkan ikatan lain di samping ikatan-ikatan primordial yang sudah ada dari suku-suku  bangsa di Indonesia. Dalam hal ini, para pendiri bangsa mencetuskan gagasan perlunya  pengkristalan nilai- nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sebagai norma dasar atau ideologi  bangsa yang dapat menimbulkan rasa persatuan itu, yaitu Pancasila (Tajfel, 1974: 84). Sebagai norma dasar yang berasal dari nilai-nilai luhur budaya bangsa, Pancasila merupakan pedoman hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, nilai- nilai Pancasila yang bersifat umum tersebut perlu ditelaah untuk diimplementasikan dalam kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila juga merupakan fondasi dari pembentukan karakter bangsa Indonesia. 214

Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari dalam diri dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu (Allport, 1937 dalam Takwin, 2011: 117). Merujuk  pada definisi tersebut, karakter dapat dipengaruhi setidaknya oleh dua faktor, yaitu nilai dan norma. Kedua faktor ini secara alami ada di lingkungan sosial dari individu. Secara khusus, dalam konteks bermasyarakat dan bernegara di Indonesia, nilai yang menjadi rujukan adalah nilai yang terkandung dalam Pancasila.

3.3 Nilai Pancasila sebagai Fondasi Perilaku

 Nilai merupakan sesuatu yang dianggap berharga dan dijunjung oleh masyarakat karena memberikan arahan dalam pengambilan keputusan maupun dalam melakukan berbagai kegiatan (Rinjin, 2010: 59). Nilai yang dianut seorang individu akan mengarahkan pada tingkah laku yang diperlihatkannya dalam berbagai situasi (Rokeach, 1973: 122). Keberagaman yang ada pada bangsa Indonesia yang majemuk

harus dihargai dan

dihormati dalam bentuk toleransi yang cukup tinggi. Nilai-nilai yang ada pada Pancasila, seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, justru menekankan toleransi itu (Somatri, 2006: 23; Ramage, 1995: 1).  Nilai-nilai dalam Pancasila juga berhubungan positif satu sama lain sehingga tiap nilai menguatkan pemahaman satu sama lain. Adapun nilai Pancasila yang selama ini dikenal adalah yang tertulis dalam butir-butir Pancasila. Menurut Somatri, nilai di dalam Pancasila tidak terpisahkan satu sama lain. Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan hubungan antarnilai yang terkandung dalam Pancasila. Tabel 1. Nilai Pancasila (Markum, Meinarno, dan Juneman, 2011) Nilai

Definisi

Rincian

Sila atau nilai

 percaya pada Tuhan dan menjalankan

 faithfulness, toleransi pada

 pertama,

 perintah-Nya sesuai dengan keyakinan dan

kelompok yang berbeda

ketuhanan

tidak memaksakan kepercayaan pada orang

keyakinan, spirituality and

lain

religiousness

Sila kedua,

mengakui persamaan hak dan kewajiban,

respek, fairness, courage

kemanusiaan

sayang pada sesama, menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati 215

Sila ketiga,

mengutamakan kepentingan bangsa

loyalitas, kewarganegaraan

 persatuan

daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan

(memiliki pendirian yang

 bangsa, dan mengembangkan rasa

kuat terhadap

 persatuan bagi bangsa.

kewajibannya, setia kawan)

Sila keempat,

mengambil keputusan berdasarkan

demokrasi

musyawarah untuk kepentingan bersama

tanggung jawab, harmoni

dengan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dapat dipertanggungjawabkan, dan melaksanakan keputusan yang diambil. Sila kelima,

menjaga keseimbangan anatara hak

 persahabatan, keadilan,

keadilan sosial

kewajiban sosial dengan mawas diri (dalam

kerendahatian, sifat

 bentuk kualitas luhur manusia) dan

menolong

 pengembangan diri yang bertujuan untuk memajukan kehidupan sosial.

 Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada keyakinan  pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu urusan (utamanya) agama lain. Dalam sejarah bangsa Indonesia, pada zaman Kerajaan Majapahit dalam menjalankan kerajaannya, Raja Hayam Wuruk memerintahkan para pejabat urusan agama agar mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar secara berdampingan, yaitu agama Hindu dan agama Buddha (Poseponegoro & Notosusanto, 1993: 232). Hal ini menjadi contoh bahwa  berabad-abad lalu di Indonesia telah dikenal pemahaman toleransi di bidang ke agamaan. Prinsip nilai kedua Pancasila adalah mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang  pada sesama, dan menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati. Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa lain yang menyatakan diri merdeka dan berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika ada penjajahan terhadap suatu bangsa, bangsa Indonesia menolaknya. Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari, nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk menyatakan suatu hal

216

yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat bahwa perokok tidak mengindahkan hak dasar dari orang-orang di sekitarnya.  Nilai ketiga Pancasila berupaya untuk mengutamakan kepentingan bangsa daripada diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan pengembangan rasa persatuan bagi bangsa. Berbagai bentuk tingkah laku dapat dilakukan untuk mewujudkan nilai tersebut secara konkret di masyarakat.

Contohnya, para guru yang berjuang mendidik muridnya di wilayah-wilayah

terpencil di Indonesia. Pada nilai keempat, Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya, demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh sebelum merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di masyarakat. Misalnya, ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau di Nusantara (Malaka, dalam Latif, 2011: 387). Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa Indonesia telah diupayakan sebelumnya. Dalam keseharian, kita sering mendengar istilah gotong-royong, yaitu sebuah aktivitas membantu pihak lain yang meminta secara santun untuk menyelesaikan suatu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat, 1977: 6; Marzali, 2005: 159). Pada masyarakat desa yang agraris, membangun saluran air untuk sawah pribadinya jelas bukan sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait pula dengan warga lain. Oleh karena itu, hak untuk mendapatkan air selaras dengan kewajiban menjaga sumber dan saluran air untuk pertaniannya.

3.4 Pancasila Pedoman Bangsa Indonesia sebagai Warga Global

Sebagai warga dunia, masyarakat Indonesia juga ikut dalam dinamika dunia. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan warga negara Indonesia untuk lebih dapat berkiprah dalam kancah interaksi antarbangsa di dunia. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa perilaku bangsa Indonesia harus tetap mencerminkan identitas bangsanya sendiri yang berpedoman pada nilai- nilai dasar bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Sebagai contoh, pada nilai di sila pertama, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia mengupayakan kehidupan beragama yang toleran. Nilai Pancasila bahkan dianggap sebagai religiously friendly ideology oleh Juergensmeyer (2010 dalam Azra, 2010: 11) walaupun  pernyataannya itu dikaitkan dengan ideology Pancasila sebagai nilai yang juga mendasari corak kehidupan interaksi umat beragama di Indonesia. Mengacu pada nilai Pancasila, khususnya nilai 217

 pertama, warga Indonesia akan menjadi bagian dari aksi yang toleran. Keadaan ini tidak dapat dinafikan karena Indonesia secara pasti menjadi tempat perlintasan beragam kebudayaan. Mulder (1999, dalam Kusumadewi, 2012: 135—136) melihat bahwa Indonesia menjadi model yang khas dari tumbuhnya semangat keagamaan yang bercorak kebudayaan lokal. Hal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia berkontribusi dalam memaknai agama-agama yang hadir di Indonesia. Kontribusi ini penting bagi masyarakat dunia sehingga dapat menjadi model dari toleransi antarumat beragama di dunia.  Nilai bagi semua individu dan kelompok adalah bagian dari pembentukan tingkah laku yang diharapkan dalam masyarakatnya, dari tingkat individu hingga tingkat bangsa. Dalam hal ini, bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan nilai dasar yang menjadi penentu bagi corak kehidupan masyakatnya. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi acuan bagi masyarakat Indonesia dalam aktivitas berbangsa dan bernegara, serta dalam  berinteraksi sebagai warga dunia.

218

BAB 4 KEWARGANEGARAAN

4.1 Pengertian dan Sejarah Kewarganegaraan

Kewarganegaraan sering diidentikkan dengan kebangsaan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan ketika kita mengkaji tentang negara maupun pemerintahan. Secara umum, kewarganegaraan dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang menyangkut warga negara. Kewarganegaraan dalam  bahasa Inggris diistilahkan sebagai citizenship dan dalam bahasa Latin sebagai civis. Pemahaman tentang kewarganegaraan memiliki sejarah panjang dan kompleks. Sebagai objek pemikiran, istilah “kewarganegaraan” telah muncul sejak masa Yunani Kuno (± 400 SM). Pada masa itu, warga negara diidentikkan dengan orang bebas. Sebaliknya, para budak, kaum  perempuan, dan anak-anak tidak dikategorikan sebagai orang bebas sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai warga negara (Poole, 1999). Orang-orang bebas yang dikategorikan sebagai warga negara memiliki status istimewa, antara lain dapat berpartisipasi dalam penyusunan undang-undang dan dalam pelaksanaan administrasi negara, dalam aktivitas keagamaan dan budaya, serta dapat masuk dinas militer, yang memiliki arti penting bagi pertahanan negara. Aktivitas-aktivitas tersebut menunjukkan  bahwa pusat kehidupan warga negara mencakup setiap aspek kehidupan, mulai dari politik, agama, budaya, hingga pertahanan negara. Warga negara dalam pengertian masa Yunani Kuno dapat dikatakan lebih menekankan kemampuan seseorang untuk mengemban tanggung jawab negara (Poole, 1999: 25). Pada masa Kerajaan Romawi (± 1 M), kewarganegaraan pada awalnya dimaknai sebagai kepemilikan atas status istimewa bagi para tuan tanah dan orang-orang kaya. Selanjutnya, seiring dengan meluasnya imperium Romawi, timbullah tuntutan-tuntutan rakyat di wilayah taklukan. Rakyat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda menuntut diperlakukan secara terhormat seperti warga Kerajaan Romawi. Selain itu, mereka juga menuntut perlindungan dari kerajaan. Jadi, kewarganegaraan tidak lagi diartikan sebagai rasa tanggung jawab terhadap negara, tetapi lebih merupakan tuntutan legal agar rakyat di wilayah taklukan diperlakukan setara dengan rakyat/warga kerajaan (Poole, 1999). Perubahan penting mengenai pengertian kewarganegaraan terjadi di abad XVIII dan XIX. Pada abad XVIII, khususnya di Eropa Barat, terjadi perubahan luar biasa dalam hal bentuk 219

negara, yaitu ketika model monarki absolut secara berangsur-angsur digantikan dengan bentuk negara-bangsa modern. Dalam monarki absolut rakyat biasa menjadi abdi raja, sedangkan dalam negara modern, rakyat merupakan warga negara. Perubahan radikal itu dimungkinkan oleh terjadinya pelembagaan prinsip-prinsip nasionalisme, demokrasi, republik, dan nilai-nilai hak asasi manusia di negara-bangsa modern (Habermas, 1996: 185—289). Sumbangan prinsip nasionalisme adalah terciptanya kesadaran nasional dan solidaritas rakyat yang berlandaskan faktor-faktor budaya, bahasa, sejarah, dan kesamaan keturunan. Rakyat yang telah bersatu karena faktor-faktor tersebut semakin diperkuat oleh kesadaran nasionalnya karena negara pun mulai melembagakan prinsip-prinsip berikut: 1) nilai HAM yang menghargai kebebasan individu dan menjunjung kesetaraan bagi seluruh warga negara, 2) prinsip negara republik yang mengakui otonomi politik warga negara, dan 3) prinsip demokrasi yang mendorong partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Ketiga prinsip tersebut memberikan pengakuan bahwa warga negara memiliki status legal yang kemudian terwujud dalam hak-hak sipil. Status legal yang dimiliki tiap warga negara memiliki konsekuensi terhadap pendefinisian  bangsa. Bangsa yang semula dianggap sebagai komunitas yang disatukan oleh faktor budaya,  bahasa, kesamaan nasib, dan sejarah kini mendapat pengakuan baru sebagai kesatuan warga negara yang setara dan memiliki status legal. Dengan status legal itu, hubungan negara dan warga negara dikonsepsikan sebagai hubungan timbal balik, yang membuat warga negara melihat negara sebagai organisasi untuk mengejar kesejahteraan dan kebahagiaan. Status legal, dalam wujud hak-hak sipil, merupakan seperangkat hak bagi individu untuk mencapai tujuantujuan hidupnya. Pemenuhan tujuan ini merupakan bentuk tanggung jawab dan kewajiban negara (Habermas, 1996: 285—289). Sementara itu, di pihak warga negara pun terdapat kesadaran  bahwa mereka wajib berkorban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara dan bangsa. Mereka sadar bahwa hanya dalam negara yang merdeka dan berdaulatlah kebebasan dan otonomi politik mereka terjamin. Hubungan negara dan warga negara dalam arti kesetaraan dan status legal itu yang kini menjadi kata kunci dalam pembahasan tentang kewarganegaraan. Dikatakan demikian karena memasuki abad XXI, tidak ada satu negara pun yang tidak mendefiniskan batas-batas sosialnya tanpa mengacu kepada hak-hak warga negara untuk membatasi siapa yang menjadi warga negaranya dan siapa yang bukan.

220

4.2 Siapakah Warga Negara Indonesia?

Yang dialami rakyat biasa di Kerajaan Romawi, seperti diceritakan di atas, juga pernah dialami  bangsa Indonesia, tepatnya ketika bangsa ini berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Kebijakan-kebijakan Belanda tidak hanya melahirkan sistem pembedaan status (diskriminasi) yang dilandasi perbedaan warna kulit, yaitu antara bangsa kulit putih dan pribumi, tetapi juga melanggengkan stratifikasi sosial yang merupakan warisan sistem kerajaan, yaitu antara golongan kulit putih, Timur asing, priyayi, dan rakyat biasa atau budak (Simbolon, 1995: 40—  46). Ketidaksetaraan dan penindasan Belanda terhadap rakyat biasa akhirnya menjadi pemicu gerakan nasionalisme Indonesia, hingga akhirnya berdirilah negara Indonesia pada tahun 1945. Di dalam proses penyiapan negara yang merdeka dan berdaulat itu, para tokoh pergerakan mengadakan sidang-sidang di BPUPKI dan PPKI untuk menyusun UUD. Hasil sidang-sidang itu adalah UUD 1945 yang di dalamnya dinyatakan, antara lain, pengakuan kesetaraan bagi seluruh rakyat atau warga negara, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban bagi setiap warga negara (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998: 246—636). Berikut ini dipaparkan sejarah singkat status penduduk Indonesia pada masa  pemerintahan kolonial Belanda dan masa pascakemerdekaan. a. Status Rakyat Indonesia pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda (Kasus: Rakyat Jawa)

Sebelum bangsa Belanda menguasai Indonesia, khususnya Pulau Jawa, situasi masyarakat sudah tersusun secara hierarkis. Puncak hierarki adalah raja dan keluarganya. Di bawahnya diduduki oleh para pejabat tinggi yang mengabdi pada raja, di bawahnya lagi diduduki kaum ulama, militer, dan elit politik lain yang memiliki kekuasaan legal. Dalam masyarakat yang hierarkis demikian, raja berhak menuntut kebaktian dari rakyat. Salah satu contoh teknik yang mengabsahkan kekuasaan Raja Majapahit adalah manggala.  Teknik ini digunakan pujangga keraton dalam buku mereka yang memberi status raja sebagai supramanusia, bahkan sama kedudukannya dengan dewa. Hal itu menunjukkan hubungan

raja dan rakyat di Nusantara

cenderung didominasi raja. Rakyat pun cenderung diperlakukan sebagai embel-embel kekuasaannya itu. Jadi, konsep kewarganegaraan yang mengakui bahwa rakyat mempunyai hak sebagai warga negara belum dikenal (Simbolon, 1995: 8-10).

221

Pada abad XVII, Belanda mulai meneguhkan kedaulatannya di Jawa dan kekuasaan rajaraja di Jawa pun mulai melemah. Secara berangsur-angsur, Belanda memisahkan staf administrasi kerajaan dari pengawasan raja dan kemudian mengubahnya menjadi dinas sipil. Dengan kebijakan itu, Belanda telah membangun pemerintahan tidak langsung, yaitu memerintah rakyat dengan perantaraan elite birokrat Jawa yang dikenal sebagai golongan  priyayi. Setelah struktur politik berubah, struktur masyarakat pun ikut berubah dengan munculnya hubungan kolonial yang mirip dengan sistem kasta, yaitu keanggotaan dalam masyarakat ditentukan oleh kelahiran dan stratifikasi sosial yang ditentukan oleh ras. Diskriminasi rasial tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, hanya orang Belanda yang dapat menduduki jabatan puncak, sementara penduduk pribumi hanya mendapat  jabatan rendahan. Dalam pergaulan sosial pun terdapat pemisahan fisik. Orang-orang Jawa dilarang memasuki perkumpulan, lapangan olah raga, sekolah, dan permukiman orang Belanda (Kartodirdjo, 1999: 206--211). Hubungan

kolonial

tidak

hanya

menciptakan

diskriminasi

rasial,

tetapi

juga

melanggengkan sistem masyarakat yang bercorak feodal. Belanda tidak menghapus kekuasaan raja-raja sama sekali sehingga keluarga raja dan kaum bangsawan masih mendapat tempat yang tinggi dalam hierarki masyarakat. Hierarki masyarakat tradisional ini diperkuat lagi dengan kebijakan kolonial untuk mengangkat elite administrasi atau birokrasi yang dahulu adalah abdi raja. Kaum elite yang diangkat di tiap kabupaten kemudian melahirkan kelas tersendiri di masyarakat, yang disebut golongan priyayi. Susuan elite priyayi adalah sebagai berikut: para  bupati berada di puncak birokrasi, disusul oleh patih, wedana, mantri, dan juru tulis. Jenjang jenjang jabatan tersebut kemudian digolongkan atas “priyayi gedhe” dan “priyayi cilik .” Barulah lapisan di bawah priyayi cilik  diisi mayoritas rakyat kecil yang disebut “ wong cilik ” (Kartodirdjo, 1999: 83). Wong cilik   merupakan massa terbesar yang tidak memiliki kesempatan, baik dalam

 pendidikan maupun dalam politik. Pada masa kolonial terdapat empat kategori sekolah, yaitu sekolah Eropa dengan model sekolah di negeri Belanda, sekolah bagi pribumi dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah pribumi dengan pengantar bahasa daerah, dan sekolah dengan sistem pribumi. Kategori sekolah yang demikian ketat menyebabkan terbatasnya kesempatan penduduk pribumi, khususnya wong cilik . Seseorang yang dapat diterima masuk ke sekolah dengan sistem Belanda adalah anak dari orangtua yang termasuk elite yang memiliki 222

kedudukan tinggi dalam birokrasi kolonial. Untuk memasuki sekolah dengan pengantar bahasa Belanda pun calon murid harus berasal dari keluarga dengan status pegawai negeri tertentu dan dengan gaji tertentu pula (Kartodirdjo, 1999: 83). Terbatasnya kesempatan untuk memasuki sekolah berstandar Eropa dan sekolah dengan  pengantar bahasa Belanda menyebabkan terbatas pula kesempatan kaum terpelajar pribumi mendapat pekerjaan di birokrasi pemerintahan kolonial. Lulusan sekolah-sekolah yang berhasil memperoleh kedudukan dalam birokrasi memiliki status terhormat di masyarakat dan mereka hidup dengan gaya hidup priyayi. Sementara itu, mereka yang tidak memilih bekerja di birokrasi,  pada kemudian hari, banyak yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional. Di bidang politik, pemerintah kolonial sangat autokratis dan menerapkan sentralisasi dengan birokrasi yang sangat ketat. Pejabat-pejabat Belanda ditempatkan di tingkat keresidenan hingga distrik. Mereka menjabat sebagai penasihat merangkap pengawas pejabat-pejabat  pribumi. Baru pada tahun 1903, yaitu setelah diberlakukannya undang-undang desentralisasi dan otonomi penduduk, lembaga politik berupa badan perwakilan didirikan. Dalam pelaksanaannya, UU desentralisasi hanya mewujudkan demokratisasi dalam arti minimal karena dewan daerah tidak mampu mencapai seluruh rakyat. Anggota-anggotanya hanya terdiri dari orang Belanda dan elite pribumi yang terpilih karena mekanisme penunjukan dan pemilihan tidak langsung. Dengan demikian, desentralisasi tidak mampu mendorong partisipasi politik rakyat, bahkan organisasi atau pertemuan politik dilarang oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1999: 43--44). Pada tahun 1916, pemerintah kolonial memberi angin segar dengan membentuk Volksraad atau dewan rakyat. Namun, keberadaannya tidak dapat disamakan dengan parlemen. Volksraad hanya berfungsi sebagai penasihat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merancang anggaran dan membuat undang-undang. Parlemen di Belanda-lah yang sesungguhnya memegang kekuasaan legislatif di Hindia-Belanda. Perubahan besar terjadi pada tahun 1925, yaitu terbitnya UU Tata Pemerintahan Belanda. Volksraad diubah menjadi badan kolegislatif dengan kekuasaan untuk mengajukan petisi  pengubahan UU serta mengundangkannya. Namun, sejauh itu, Volksraad masih juga belum mampu mendorong demokratisasi. Sebagai contoh, komposisi keanggotaan masih didominasi orang Belanda, sistem pemilihan dilakukan secara tidak langsung. Selain itu, hak pilih rakyat dibatasi dengan syarat bahwa hanya mereka yang berpenghasilan sedikitnya f300 (tiga ratus 223

gulden) per tahunlah yang boleh memilih, padahal massa rakyat hanya berpenghasilan rata-rata f40—f50 per tahun. Kebijakan pendidikan dan politik tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan kolonial tidak berkehendak membangun kesetaraan dan otonomi politik bagi penduduk Indonesia. Bangsa Indonesia—khususnya masyarakat Jawa—semakin terpilah-pilah, baik karena diskriminasi rasial maupun karena sistem masyarakat yang feodalistis. Pemerintah Belanda memang telah mengatur status penduduk Indonesia dalam Nederlandsch Onderdaan. Namun demikian, status penduduk  belum menunjukkan status kewarganegaraan yang sesungguhnya. Di tanah jajahan, tetap dibedakan status warga negara Belanda dan status penduduk pribumi. Menurut perundangundangan yang berlaku (tahun 1854, 1892, 1910), di Hindia-Belanda terdapat tiga kategori kewargaan, yaitu Belanda, pribumi (dengan status sebagai bawahan Belanda), dan bangsa Timur Asing (Kartodirdjo, 1999: 48 dan 192).

b. Status Rakyat Indonesia Pascakemerdekaan

Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tertulis, “. . . pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. . .” Siapa saja yang tercakup dalam pengertian bangsa  Indonesia  di sini? UUD 1945 dirumuskan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan latar

 belakang yang beragam. Mereka mempunyai latar belakang agama, suku, ras, dan daerah asal yang berbeda. Ada yang berasal dari Jawa, Sumatra, Ambon, Sulawesi, Arab, Tiongkok, dan lain-lain. Perumus UUD juga bukan hanya laki-laki, melainkan juga tokoh-tokoh pergerakan  perempuan. Kesemuanya mewakili berbagai golongan dan aliran politik. Sejak awal, keberagaman masyarakat telah menjiwai perumusan UUD 1945, dan keberagaman tersebut dapat disatukan karena kepedulian yang luar biasa terhadap kepentingan rakyat. Sumbangan pemikiran mereka antara lain adalah rumusan tentang bangsa Indonesia, yaitu yang ditetapkan sebagai  bangsa Indonesia adalah bangsa Indonesia asli atau bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara (lihat UUD 1945, Pasa 26). Ketentuan terakhir ini menunjukkan bahwa  bangsa Indonesia menerima keturunan Arab, Tionghoa, atau bangsa lain—yang telah lama menetap di Indonesia—sebagai warga negara Indonesia. Satu hal yang patut ditekankan di sini adalah bahwa menurut UUD 1945, warga negara memiliki status legal yang sama, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Sebagai tambahan, dalam UUD 1945, Pasal 26, tertera pula kata-kata  penduduk   selain warga 224

negara. Yang dimaksud dengan penduduk adalah WNI dan orang asing yang tinggal di

Indonesia. Orang asing tentu tidak dapat menikmati hak dan melaksanakan kewajiban yang sama dengan WNI. Kata penduduk  disebutkan karena terkait dengan kedaulatan negara-negara lain.

4.3 Menjadi Warga Negara Indonesia

Secara

prosedural,

kewarganegaraan

Indonesia

diatur

dalam

undang-undang

tentang

kewarganegaraan. Sejak kemerdekaan, ada beberapa UU tentang kewarganegaraan yang telah dikeluarkan, yaitu UU RI Nomor 3 Tahun 1946, UU RI Nomor 62 Tahun 1958, UU RI Nomor 4 Tahun 1969, UU RI Nomor 3 Tahun 1976, dan UU RI Nomor 12 Tahun 2006. Selain UU juga terdapat peraturan-peraturan lain berupa keputusan presiden, instruksi presiden, peraturan  pemerintah, dan surat keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri dalam negeri. Perubahan-perubahan UU tersebut mencerminkan adanya dinamika dalam masyarakat maupun interaksi penduduk antarbangsa yang begitu cepat. Pelarian orang-orang yang mencari suaka  politik, perkawinan antarbangsa, masalah kriminal oleh pelaku kejahatan lintas negara, dan sebagainya merupakan beberapa fenomena yang dapat menggambarkan semakin peliknya masalah kewarganegaraan sehingga hampir setiap negara harus mampu mendefinisikan kembali siapa yang dimaksud dengan warga negaranya. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia disebutkan empat asas yang digunakan untuk menentukan kewarganegaraan, yaitu ius sanguinis, ius solii, kewarganegaraan tunggal, dan kewarganegaraan ganda. Asas ius sanguinis merupakan

asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Asas ius soli merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran (diberlakukan terbatas bagi anak-anak dan diatur dalam UU). Asas kewarganegaraan tunggal merupakan asas yang menetapkan satu kewaraganegaraan bagi setiap orang. Asas kewarganegaraan ganda merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anakanak yang diatur dalam UU tentang Kewarganegaraan RI.15 Indonesia tidak mengakui penduduk dengan

kewarganegaraan

ganda

(bipatride),

kecuali

anak-anak

dan

penduduk

tanpa

kewarganegaraan.

15

Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

225

Menurut UU Kewarganegaraan RI tersebut,16  kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh atas 7 dasar, yaitu sebagai berikut. a. Kelahiran

Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya adalah WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis). Seorang anak tetap menjadi WNI walaupun dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah apatride.

b. Pemberian status

Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda, negara dapat memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri dengan salah satu orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan WNI. c. Pengangkatan

Dengan dasar pengangkatan, seorang anak WNA yang berumur 5 tahun (atau kurang), yang diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia. d. Permohonan

Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak berusia 18 tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI dan asing (WNA). Pada awalnya, dia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI untuk mengikuti ayah atau

ibunya

yang

berkewarganegaraan

Indonesia.

Pemerintah

dapat

mengabulkan

 permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya agar tidak terjadi kewarganegaan ganda. e. Naturalisasi

 Naturalisasi memiliki arti bahwa kewarganegaraan Indonesia d apat diberikan kepada orang asing yang sungguh-sungguh ingin menjadi WNI. f.

Perkawinan

Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami atau istri yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan syarat bahwa ia harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu.

16

Pasal 4, 8, 21 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

226

g. Kehormatan

 Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing tertentu yang telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang bersangkutan memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan itu dilakukan oleh  presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.

4.4 Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia

Bila seseorang telah menjadi WNI, negara akan mengakuinya untuk seumur hidupnya sekalipun ia bertempat tinggal di luar negeri. Namun, WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya karena hal-hal berikut (lihat UU Nomor 12 Tahun 2000, Bab IV, tentang Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 23, 26, dan 28). a. Atas kemauan sendiri menjadi WNA.  b. Melanggar asas kewarganegaraan tunggal (ketentuan ini berlaku bagi WNI yang memiliki kewarganegaraan asing dan tidak mau melepaskan status WNA-nya). c. Masuk dinas tentara asing tanpa seizin presiden. d. Tinggal di luar wilayah negara Indonesia, tidak dalam rangka dinas negara selama 5 tahun  berturut-turut dan sebelum jangka 5 tahun berakhir, dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk mempertahankan kewarganegaraannya, serta setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi WNI. e. Perkawinan dengan WNA (kententuan ini berlaku bagi WNI perempuan atau laki-laki yang menikah dengan pasangan dari negara yang memiliki peraturan bahwa orang asing yang menikah dengan warga negaranya harus menjadi warga negaranya pula). f. Oleh negara, kewarganegaraan seseorang dapat dinyatakan hilang karena pada prinsipnya negara tidak menginginkan warga negaranya memiliki loyalitas ganda, terhadap Indonesia dan terhadap negara lain. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya secara otomatis membebaskan dirinya dari hak dan kewajiban sebagai WNI. WNI yang telah kehilangan kewarganegaraanya karena mengikuti orang lain (status suami/istri yang WNA) pada prinsipnya dapat diberi kesempatan untuk kembali menjadi WNI, dengan

227

syarat bahwa ia tidak lagi mengikuti status suami/istrinya. Demikian pula dengan anak-anak yang sebelumnya mengikuti status ayah/ibu yang berkewarganegaraan asing.17

4.5 Hubungan Timbal Balik antara Warga Negara dan Negara

Hubungan antara negara dan warga negara merupakan hubungan timbal balik yang melibatkan unsur hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hubungan itu secara mendasar terbangun dari tujuan awal terbentuknya negara Indonesia, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) memajukan kesejahteraan umum, 3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan 4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, UUD telah menetapkan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara bagi pemerintahan maupun rakyat. Prinsip-prinsip itu meliputi sila-sila Pancasila dan prinsip negara kesatuan.  Negara kesatuan merupakan bentuk negara yang wewenang legislatifnya dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional atau pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (sistem desentralisasi), tetapi  pada tahap terakhir, kekuasaan tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan, kedaulatan tidak terbagi karena pemerintah pusat memegang kedaulatan ke luar maupun ke dalam. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain selain badan legislatif pusat. Jika pemerintah daerah mengeluarkan peraturan bagi daerahnya, hal itu tidak berarti bahwa daerah itu berdaulat sebab pengawasan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi warga negara di dalam negara yang berbentuk kesatuan, hanya ada satu pemerintahan saja (Strong, dalam Budiardjo, 2008: 269--270). Pertimbangan para pendiri bangsa atas bentuk negara kesatuan adalah agar di bawah  pemerintah pusat tidak ada negara lagi, seperti di negara federal atau konfederasi. Hakikat dari  pertimbangan tersebut adalah upaya untuk menghindari terjadinya perpecahan bangsa dan negara 17

Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37.

228

atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang memberi peluang kepada gerakan separatisme. Namun, ketetapan atas bentuk negara kesatuan juga diiringi oleh satu ketentuan pula, yaitu bahwa pemerintah pusat tetap memperhatikan kepentingan daerah.

a. Prinsip Kedaulatan Rakyat

Kedaulatan merupakan hak atau kekuasaan tertinggi untuk memerintah. Kedaulatan rakyat  berarti rakyat memiliki hak atau kekuasaan tertinggi untuk memerintah diri mereka sendiri. Bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam sidang-sidang BPUPKI dikemukakan pertimbangan bahwa kedaulatan rakyat merupakan bentuk kedaulatan yang dianggap dapat mencegah terjadinya negara dengan kekuasaan yang absolut atau negara penindas. Agar negara tidak menjadi negara penindas, para perumus UUD 1945, khususnya Bung Hatta, menekankan pentingnya jaminan pada rakyat dalam bentuk kemerdekaan untuk berpikir. Usulan para perumus tersebut kemudian tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 (sebelum amendemen). Hasil rumusan BPUPKI kemudian tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dalam MPR dicerminkan dalam komposisi keanggotaan yang terdiri atas wakil-wakil golongan, seperti serikat pekerja dan golongan tani, dan wakil-wakil daerah. Kekuasaan MPR adalah menetapkan UUD dan GBHN, serta mengangkat presiden dan wakil  presiden. Dalam UUD 1945 (sebelum amendemen), MPR memegang kekuasaan tertinggi dan Presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara. MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat mengalami ujian berat, khususnya pada masa Orde Baru. Dalam negara telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang diawali oleh dominasi mutlak dalam kehidupan politik, yang telah menyulut Gerakan Reformasi dan berakhir dengan  pengunduran diri Presiden Soeharto (Budiardjo, 2008: 313). Setelah itu, terjadi perubahan politik yang signifikan, yaitu berlangsungnya demokratisasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Perubahan diawali dengan melakukan empat kali amendemen terhadap UUD 1945, dua di antaranya adalah masa jabatan Presiden dibatasi dan warga negara berhak memilih pasangan  presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilihan langsung juga dilakukan terhadap anggota DPR dan kepala daerah. Selain itu, juga diberlakukan desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat pada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan  pemerintahan daerah. Pemerintah daerah juga mengalami demokratisasi dengan dihilangkannya 229

kedudukan kepala daerah sebagai penguasa tunggal dan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah. Dalam UUD 1945 (sesudah amendemen), terjadi perubahan terbesar menyangkut MPR. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara serta pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat. MPR kini berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang setara dengan DPR, DPD, BPK, MA, dan MK. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN dan mengeluarkan ketetapan (TAP) MPR (kecuali untuk menetapkan wakil  presiden menjadi presiden jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya) (Budiardjo, 2008: 350). UUD 1945 sesudah amendemen telah menetapkan pasal-pasal yang menjamin kedaulatan rakyat dapat terwujud (lihat perubahan pasal tentang masa jabatan presiden, penetapan pemilihan  presiden secara langsung, dan desentralisasi). Namun, yang paling mendasar dalam amendemen UUD adalah kedaulatan tersebut diwujudkan melalui pemilu, yaitu dengan memilih wakil-wakil rakyat di DPR/DPRD, serta memilih Presiden dan kepala daerah secara langsung. Jika pejabat pejabat terpilih tersebut gagal mengemban amanat rakyat, UUD memberi hak kepada rakyat (melalui MPR dan atas usul DPR) untuk memberhentikan presiden serta hak untuk tidak memilih kembali anggota-anggota DPR/DPRD yang tidak dapat melayani rakyat.

b. Prinsip Negara Republik

Ide republik secara teoretis mendukung kedaulatan rakyat. Prinsip ini mengisyaratkan adanya kebebasan (bukan dalam arti liberal), yaitu kebebasan dari intervensi pihak (negara) lain, tetapi dalam arti independensi, yaitu kebebasan dari dominasi pihak lain. Kebebasan rakyat dalam negara republik selalu disertai oleh tanggung jawab rakyat untuk mempertahankan independensi negara. Bentuk tanggung jawab ini merupakan aktivitas politik atau partisipasi warga negara untuk membentuk diri sekaligus membangun negara (Poole, 1999: 83). Jadi, dengan adanya  prinsip independensi, dalam negara yang berbentuk republik diharapkan tidak ada lagi dominasi dari negara lain dan di tingkat warga negara tidak ada lagi perbudakan atau ketergantungan kepada pihak lain. Bentuk negara republik merupakan ketetapan yang dipilih oleh semua tokoh bangsa yang merumuskan UUD. Keputusan tersebut dilandasi oleh pengalaman bangsa yang pernah hidup dalam bentuk kerajaan yang despotik dan feodalis, serta pemerintahan kolonial Belanda yang 230

menindas. Republik merupakan bentuk yang dapat mencerminkan kedaulatan rakyat ketimbang  bentuk negara lainnya, seperti monarki yang melanggengkan dinasti (kekuasaan turun-temurun). Dalam negara republik, negara akan merumuskan kesejahteraan dan kemerdekaan rakyat dalam  berpendapat, berkumpul, dan sebagainya.

c. Prinsip Negara Hukum (lihat UUD 1945 sebelum dan sesudah amendemen, Pasal 1, tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara )

Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan tuntunan hukum dan bukan dengan kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan sumber norma yang mengatur pemerintahan maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-cita bangsa, sistem pemerintahan, dan kerangka kerja bagi pemerintah. UUD merupakan otoritas tertinggi yang di dalamnya seluruh kekuasaan cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-pejabat terpilih berasal dan diatur. UUD begitu penting sehingga setiap presiden yang dilantik harus mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya (lihat Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amendemen, Pasal 9). Semua prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal menyangkut hak dan kewajiban warga negara, yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiran institusi politik/negara. Sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat dipertahankan tanpa kesadaran nasional (nasionalisme) warga negara.

4.6 Hak dan Kewajiban Warga Negara 4.6.1 Hak Konstitusional Warga Negara

Hak konstitusional warga negara (constitutional right ), menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, adalah hak–hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945. Setelah amendemen UUD 1945, prinsip HAM (hak asasi manusia) telah tercantum dalam konstitusi Indonesia sebagai ciri khas prinsip kontitusi modern Oleh karena itu, prinsip HAM yang tercantum dalam UUD 1945 merupakan hak kontitusional warga negara Indonesia (www.create-of –budhsetiawan.blogspot.co.id ). Para Bapak Bangsa Indonesia telah bekerja keras dalam menyusun UUD 1945. Agar UUD ini dapat melindungi seluruh warga negara, kedudukan UUD 1945 adalah sebagai sumber hukum bagi semua undang-undang (UU) dan peraturan yang berada di bawahnya.

231

Dalam praktik kehidupan bernegara, UU (dapat berupa produk hukum yang berasal dari DPR dan presiden, semua UU yang tidak terbatas sesudah Perubahan Pertama UUD 1945), dan  perppu) dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan oleh berlakunya UU tersebut dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945. Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian UU (selanjutnya disebut  pemohon) adalah 1) perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama; 2) kesatuan masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; 3) badan hukum publik atau badan hukum privat; 4) lembaga negara (DPR, DPD, MPR, presiden, BPK, Pemda, atau lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan UUD 1945); 5) lembaga-lembaga yang peduli terhadap masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat yang bergiat dalam perjuangan HAM, hak ekonomi masyarakat miskin, dan lainlain. Dalam perkara pengujian UU, pihak yang terlibat, selain pemohon yang telah disebutkan,  juga melibatkan beberapa pihak terkait, yaitu 1) pihak yang dirugikan dengan adanya  permohonan yang diajukan oleh pemohon; 2) pemberi keterangan, yaitu pihak yang menyampaikan keterangan dan/atau risalah rapat dalam persidangan berdasarkan permintaan dari Mahkamah Konsitusi. Untuk mengajukan pengujian UU terhadap UUD 1945, pemohon dan/atau kuasanya harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi, yang selanjutnya akan memprosesnya sesuai dengan mekanisme pengajuan permohonan pemohon dalam perkara  pengujian UU.

4.6.2 Implementasi Hak Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari

Aspek praktis dari pasal-pasal dalam UUD tentang hak warga negara diuraikan dalam tiga kategori berikut. a. Keamanan

Dalam Pembukaan UUD disebutkan bahwa tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tujuan ini tentu akan diemban sebagai kewajiban tiap pemerintah untuk menjamin keamanan negara dan keselamatan penduduk yang tinggal di 232

wilayah Indonesia. Perlindungan dan jaminan pemerintah atas keamanan ini diperlukan oleh setiap orang karena ancaman terhadap penduduk bisa datang dari luar yang berupa serangan  bangsa lain, dan secara internal berupa tindakan kriminal. UUD 1945 sesudah amendemen telah menetapkan pasal-pasal tentang HAM. Hal tersebut berarti bahwa dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang juga dijamin keamanannya terhadap tindakan negara yang tidak adil, misalnya tindakan penangkapan tanpa alasan yang mencukupi. Jika terjadi kekeliruan dalam penangkapan,  penahanan, atau penuntutan, seseorang dapat meminta ganti rugi. UU tentang prosedur ini diatur dalam KUHAP.

b. Kesetaraan

Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi dan status sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga negara mendapat  pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum (UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 95).

c. Kemerdekaan (Indepedensi)

Kata kemerdekaan  kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam kehidupan  berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat bagi kemerdekaan tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari kebebasan dalam pengertian liberal karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai “persona” atau pribadi yang  bermartabat di dalam negara. Itulah hakikat individu sebagai warga negara yang tidak hanya diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam negara, tetapi juga memiliki hak untuk mengajukan tuntutan terhadap negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara. Tanggung jawab tersebut bukanlah sebuah bentuk pemaksaan, melainkan merupakan bentuk aktivitas bebas warga negara yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83). Selain ketiga aspek praktis tersebut, jika ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang dilakukan tiap warga negara sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya.

233

1. Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi (Lihat Pasal 28 dan 28 F, UUD 1945 sesudah amendemen)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang  berpengaruh luas, seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), dan meningkatkan pajak penjualan. Dalam menghadapi kebijakan tersebut, hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk mengawal pemerintah agar bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap kritis jika ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat. Hak

untuk

mendapatkan

informasi

juga

berarti

mengetahui

hak-hak

dan

menggunakannya bila diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering aparat negara melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara tersebut sadar akan haknya, ia dapat terhindar dari perlakuan yang tidak adil. Kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi juga terkait erat dengan kebebasan  pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan mengacu pada sarana-sarana untuk mengeluarkan  pendapat dalam wujud tulisan, seperti koran, majalah, buku, serta sumber-sumber informasi modern, seperti radio, televisi, dan internet.

2. Hak berserikat

Dengan hak berserikat, rakyat dapat membentuk organisasi, mulai dari klub olahraga, asosiasi  profesi, hingga partai politik. Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum, kampanye, dan sebagainya.

3. Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Dengan hak yang telah ditetapkan dalam Pasal 29 UUD 1945 ini, pemerintah menjamin rakyat untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan prinsip kesetaraan, pemerintah tidak akan memperlakukan rakyat secara berbeda karena agama yang dipeluknya.

234

4. Hak untuk memilih dalam pemilu.

Hak untuk memilih merupakan salah satu hak yang penting sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab warga negara. Dalam pemilihan umum, warga negara memilih orang-orang yang akan duduk dalam pemerintahan dan suara pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang terpilih. Jadi, jika ternyata mereka yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan  baik, warga negara berhak untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Pemenuhan hak ini secara bertanggung jawab akan memastikan pergantian kepemimpinan secara tertib dan damai.

5. Hak untuk berpartisipasi dalam Pemerintahan

Dalam kehidupan bermasyarakat kita menjumpai persoalan-persoalan yang begitu kompleks dan tidak dapat diatasi oleh pemerintah semata. Masalah itu antara lain adalah kemiskinan,  pengangguran, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelesaian masalah-masalah tersebut mengundang partisipasi aktif warga negara, baik secara individu maupun melalui organisasi semacam lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga bantuan hukum, atau bentuk lembaga lain untuk membantu meringankan beban masyarakat. Dengan demikian, partisipasi dalam  pemerintahan tidak hanya berupa hak untuk memilih atau dipilih untuk menduduki jabatan jabatan pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

4.6.3 Batasan-batasan terhadap Hak Warga Negara

Pemenuhan hak-hak warga negara tidak dapat diartikan bahwa warga negara dapat melaksanakan haknya tanpa batasan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal bahwa kebebasan manusia memiliki batasan-batasan. Seiring dengan itu, Pasal 73 dan 74 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 28 UUD 1945 tentang HAM telah mengatur  batasan-batasan tentang hak (dan kebebasan) warga negara. Hal itu dilakukan untuk menjamin  pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Hak untuk mengeluarkan pendapat sangat penting dalam negara yang menganut sistem demokrasi karena dengan itu, warga negara dapat memperoleh informasi, menyuarakan  pendapat, berdiskusi, dan sebagainya. Demokrasi akan berkembang jika warga negara dapat menggunakan hak berpendapat itu tanpa rasa takut. Namun, warga negara tidak boleh 235

menyalahgunakan hak untuk berpendapat dan berbicara serta kebebasan pers dengan tujuan untuk mencemarkan nama baik orang lain, menghasut, berbohong, atau membocorkan rahasia negara yang dapat membahayakan negara. Pihak yang nama baiknya dicemarkan berhak meminta perlindungan dari yang berwajib. Hal ini diatur dalam KUHP Pasal 310. Menyuarakan pendapat dengan cara unjuk rasa juga diatur agar tidak mengganggu ketertiban umum. Sebagai contoh, pengunjuk rasa wajib memberitahukan rencananya kepada aparat negara terlebih dahulu agar unjuk rasa itu berjalan tertib dan tidak menggangu hak orang lain, misalnya pengguna jalan raya. Kebebasan berserikat pun memiliki batasan-batasan, misalnya kegiatan kelompok tidak akan ditoleransi jika melanggar ketertiban umum atau menggunakan cara-cara kekerasan untuk menekan kelompok-kelompok lain. Dari batasan-batasan terhadap kebebasan warga negara dapat dilihat bahwa hak warga negara bukanlah tak terbatas karena hak warga negara, sebagai seorang individu, harus  berhadapan dengan hak orang lain dan hak masyarakat. Pihak negara (pemerintah) dapat menetapkan UU atau peraturan-peraturan yang membatasi hak-hak warga negara. Hal itu dilakukan untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga negara, serta ketertiban masyarakat secara umum. Dengan kesadaran bahwa orang lain dan masyarakat juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, tiap warga negara diharapkan untuk menyadari bahwa untuk memenuhi hakhaknya secara penuh, ia pun wajib menghargai hak-hak orang lain pula.

4.6.4 Kewajiban Warga Negara

Apakah hak selalu memiliki hubungan timbal balik dengan kewajiban? Hak memang sering kali memiliki hubungan timbal balik dengan kewajiban, tetapi hubungan itu tidak dapat dikatakan mutlak dan tanpa pengecualian. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita dapat melihat bahwa pemenuhan hak-hak negatif atau hak-hak individual hampir selalu diiringi dengan kewajiban seseorang untuk menghormati orang lain yang sedang menikmati hak-haknya. Pemenuhan hak-hak sosial memang agak rumit. Hak sosial sesuai dengan kewajiban masyarakat, atau negara, untuk mengatur kehidupan sedemikian rupa sehingga setiap warga negara memperoleh haknya. Hak-hak sosial ekuivalen dengan keadilan sosial. Pembicaraan tentang hak warga negara selalu berbarengan dengan kewajiban warga negara. Kewajiban warga negara menuntut mereka untuk melakukan sesuatu dan jika tidak melakukannya, dia dapat dikenai denda atau, dalam kasus tertentu, bahkan dapat dipenjara. 236

Kewajiban menuntut pemenuhannya walaupun warga negara (mungkin) enggan melakukannya. Berbeda dengan kewajiban, warga negara juga memiliki tanggung jawab, yaitu apa yang seharusnya dilakukan. Tanggung jawab sebenarnya merupakan bentuk kewajiban juga, tetapi  pemenuhannya hanya secara sukarela atau tanpa paksaan. Seperti halnya pemenuhan hak-hak warga negara, pemenuhan kewajiban warga negara juga merupakan tindakan yang memastikan  penyelenggaraan negara berjalan baik. Kewajiban yang harus dijalankan setiap warga negara, antara lain sebagai berikut. a. Menjunjung/mematuhi hukum dan pemerintahan (lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sesudah amendemen).

Jika negara menerapkan prinsip hukum, konsekuensinya adalah bahwa hukum harus dijunjung,  baik oleh pemerintah maupun oleh warga negara. Apabila hukum tidak dipatuhi, sulit bagi  pemerintah untuk menegakkan ketertiban, melindungi keamanan dan keselamatan warga negara, serta melindungi harta milik mereka. Hukum dapat berupa peraturan lalu lintas, hukum pidana—  yang mengatur agar tindakan seseorang/sekelompok orang tidak merugikan pihak lain—, dan  berbagai peraturan yang ditujukan agar masyarakat dapat hidup bersama deng an rukun.

b. Membela negara

Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting (lihat Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 sesudah amendemen). Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan negara dan bangsa, dan dengan demikian juga keamanan warga negara.

c. Membayar pajak.

Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya antara lain ialah untuk membangun fasilitas yang amat vital, seperti pembangunan jalan, gedung-gedung  pemerintah, dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji aparat negara, seperti tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan negara dan menjaga ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani rakyat.

237

d. Mengikuti pendidikan dasar atau wajib sekolah (lihat Pasal 31 ayat

(2) UUD 1945

sesudah amendemen).

Sekolah merupakan sarana yang penting untuk mempersiapkan seseorang menjadi warga negara yang baik. Melalui sekolah, seseorang mendapatkan pendidikan yang bukan hanya berupa  pengetahuan, melainkan juga keterampilan dan kemampuan dasar sebagai warga negara, seperti kemampuan menyuarakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan, serta kemampuan untuk mencari dan memilah informasi. Di Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara adalah mengikuti pendidikan dasar.

e. Menghormati hak asasi orang lain (lihat Pasal 28 J, UUD 1945 sesudah amendemen).

Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga dihormati orang lain. Rasa saling hormat mengarah pada terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat,  berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial merupakan peristiwa yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam keluarga, tempat kerja, dan kampus. Dalam interaksi-interaksi tersebut tidak jarang dijumpai adanya perbedaan pendapat atau bahkan konflik. Solusi dari konflik disebut menghormati hak asasi jika tidak melibatkan tindak kekerasan, tidak menghasut, tidak menjarah harta milik orang lain, tidak melarang orang  beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Selain itu, dalam hal perusahaan, pimpinan  perusahaan tidak melakukan tindakan, seperti tidak membayar gaji pegawai; dan dalam hal yang melibatkan kaum muda, seseorang tidak menimbulkan keributan yang menggangu kenyamanan orang lain. Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga negara  juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak sependapat dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima pendapat orang lain tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dan sebagainya. Tingkah laku menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi. Toleransi sangat dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi karena di alam demokrasi, tiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Jika pertukaran ide tidak disertai oleh toleransi, akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di masyarakat yang memiliki latar belakang yang beragam. Dalam konteks ini, tiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk menghargai pendapat orang lain. 238

Di samping menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak orang lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak orang. Hal tersebut dapat dilakukan, misalnya, dengan memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak  peralatan telepon umum, dan tidak membuang sampah sembarangan di tempat umum.

4.6.5 Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam UUD 1945

Pembicaraan tentang hak dan kewajiban WNI tentu harus melibatkan UUD sebagai sumber atau landasan otoritas bagi rakyat untuk menikmati hak dan memenuhi kewajibannya sebagai warga negara. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan, khususnya menyangkut pasal-pasal berisi HAM, dalam UUD 1945 sebelum dan sesudah amendemen. Dalam UUD 1945 sebelum amendemen, pasal tentang HAM tidak dicantumkan secara khusus sehingga timbul pertanyaan, apa yang meyebabkan para perumus UUD 1945 tidak memasukkan pasal-pasal tersebut? Perdebatan di antara para tokoh bangsa dalam sidang-sidang BPUPKI bermuara pada rumusan hak-hak warga negara. Secara historis, sebagian besar pemikiran para tokoh itu dilatarbelakangi oleh antikolonialisme dan antiliberalisme. Mereka pun telah melihat bahwa rumusan HAM dari negara-negara Barat sangat bercorak liberal dan individualistis, dan gagal menghapuskan kemiskinan di negara-negara Barat yang saat itu diguncang depresi. Di samping itu, alam liberalisme juga ditandai oleh semakin tajamnya konflik antara buruh dan majikan serta timbulnya persaingan antarnegara. Dampak persaingan antarnegara inilah yang kemudian melahirkan kolonialisme dan imperalisme. Melihat dampak-dampak tersebut, para tokoh tersebut menjadi yakin bahwa untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur, nilai keadilan sosial, kekeluargaan dan gotongroyong merupakan nilai yang tepat untuk menjiwai pembentukan pasal-pasal mengenai hak warga negara. Nilai keadilan sosial, khususnya, juga diyakini dapat membawa perdamaian dunia  jika diterapkan oleh bangsa-bangsa lain. Dalam latar belakang sejarah tersebut, para tokoh  bangsa yang merumuskan hak-hak warga negara sependapat bahwa HAM tidak perlu dimasukkan secara khusus. Namun, mereka tetap berpegang pada prinsip kedaulatan rakyat sehingga rakyat tetap diberi hak untuk mengeluarkan pendapat dan bersidang, serta hak kesetaraan di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Kemerdekaan atau hak tersebut harus diberikan untuk mencegah terjadinya negara kekuasaan. Selain prinsip kedaulatan rakyat, silasila Pancasila juga sangat mewarnai perumusan hak-hak warga negara. Hal itu dapat dilihat pada 239

sila keadilan sosial dalam perumusan hak pendidikan serta pemeliharaan fakir miskin dan anak terlantar oleh negara. Selain itu, sila pertama merupakan penjiwaan dari pasal tentang kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya (lihat UUD 1945 sebelum amendemen, Pasal 27, 29, 31 dan 34; lihat juga perdebatan para tokoh bangsa dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992: 206—209, 222—223). Pasal-pasal tentang hak warga negara tetap tak berubah hingga terjadinya

amendemen

UUD 1945. Perubahan terjadi setelah bangsa Indonesia menempuh jalan gelap pada masa Orde Baru. Sejumlah peristiwa atau kasus yang terjadi, seperti Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus Marsinah, kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti, dan kerusuhan di Ambon dan Poso, telah menimbulkan jatuhnya banyak korban. Hal ini menyadarkan anggota masyarakat untuk berjuang menegakkan HAM di Indonesia. Tuntutan mereka bergaung dalam Gerakan Reformasi pada tahun 1998. Akhirnya, di bawah pemerintahan Megawati ditetapkankanlah TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM yang kemudian menjadi UU Nomor 39 Tahun 1999 yang di dalamnya juga ditetapkan hak perempuan dan anak. Secara formal, perjuangan penegakan HAM mencapai puncaknya dengan masuknya pasal-pasal khusus mengenai HAM dalam UUD 1945 sesudah amendemen. HAM melengkapi hak-hak sosial warga negara yang sangat ditekankan dalam UUD 1945 sebelum amendemen. Secara umum, HAM dalam UUD meliputi hak untuk hidup, hak untuk mengembangkan diri, hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk perlindungan diri dan bebas dari penyiksaan, serta hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain. Hak-hak sosial pun semakin dijamin dengan  penegasan atas hak atau jaminan sosial (lihat pasal 28 A–J UUD 1945 sesudah amendemen). Perubahan signifikan lainnya adalah pencantuman batasan-batasan terhadap hak warga negara.

4.7 Hak dan Kewajiban Negara

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa negara dan warga negara memiliki hubungan timbal  balik, seperti yang tercermin dalam hak dan kewajiban tiap pihak. Hak dan kewajiban negara (pemerintah) dan warga negara bersumber dan diatur dalam UUD 1945. Kewajiban negara secara implisit termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu pada alinea keempat yang berisi tentang tujuan negara yang harus dilaksanakan setiap pemerintahan: a) melindungi segenap  bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b) memajukan kesejahteraan umum; c) 240

mencerdaskan kehidupan bangsa; dan d) melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keempat tujuan tersebut menjiwai kewajiban dan tanggung jawab negara sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal UUD, yaitu bahwa negara harus membuat kebijakan-kebijakan untuk dapat memenuhi hak-hak warga negara. Hak-hak tersebut meliputi hak atas kehidupan, hak  beragama, hak mengemukakan pendapat, hak untuk mendapat pekerjaan yang layak, pendidikan, dan seterusnya (lihat Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28; Pasal 28 A—J; Pasal 29 ayat (2); Pasal 30 ayat (1); Pasal 31 ayat (1) dan (2); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3), UUD 1945 sesudah amendemen). Pemenuhan kewajiban negara tentu memiliki konsekuensi bagi warga negara, yang pada gilirannya menjadi hak negara. Warga negara memiliki kewajiban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara dan memiliki sejumlah kewajiban lainnya sebagaimana telah diuraikan pada subbab sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa upaya bela negara, mematuhi hukum, membayar pajak, dan lain-lain merupakan aktivitas warga negara untuk memenuhi hak negara. Hanya melalui tindakan timbal balik dalam pemenuhan hak dan kewajiban tiap pihak, negara dan warga negara, tujuan negara akan tercapai. Sebaliknya, hak-hak warga negara akan terpenuhi pula.

4.8 Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal Balik antara Warga Negara dan Negara

Jika negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD, Indonesia tidak demikian. UUD 1945 (sebelum amendemen) telah mencakup hak asasi di dalamnya. Hak-hak tersebut termuat dalam Pasal 27—31, yaitu tentang hak di bidang politik, ekonomi, sosial, dan  budaya (Budiardjo, 2008: 248). Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik. Penjajahan Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis terhadap paham paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme. Liberalisme, misalnya, telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi. Liberalisme pula yang mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul benih-benih kolonialisme yang  berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika. Liberalisme dan kapitalisme yang dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an, juga menyebabkan krisis ekonomi di negaranegara Barat dan memicu terjadinya perang antarnegara. 241

Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme tersebut telah menyadarkan tokoh-tokoh  bangsa bahwa hak-hak politik, seperti hak mengeluarkan pendapat dan berserikat, yang ditekankan di alam liberalisme tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat atau kesetaraan di bidang ekonomi, padahal kesejahteraan merupakan masalah krusial bagi negaranegara yang baru merdeka seperti Indonesia. Sebagai jawaban atas masalah tersebut, dalam  perumusan UUD, keadilan sosial lebih ditekankan (lihat Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945 sebelum amendemen). Namun demikian, di tengah kuatnya arus pemikiran untuk lebih menekankan hak atau kemerdekaan warga negara di bidang sosial dan ekonomi, ada tokoh seperti Hatta yang tetap kokoh untuk mencantumkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat. Tujuan pencantuman hak tersebut tidak lain untuk mencegah timbulnya negara kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat. Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan pendapat dan  berserikat, UUD 1945 sebelum amendemen telah mencantumkan hak-hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan patut ditunjukkan di sini, yaitu  bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri (lihat Pembukaan UUD 1945) dan hak ekonomi dan sosial, seperti hak mendapat pengajaran, hak atas penghidupan yang layak, hak untuk fakir miskin dan anak terlantar, dan seterusnya. Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1948 (Budiardjo, 2008: 244). Dengan demikian, dari sudut sejarah pemikiran, kita patut menghargai pemikiran pemikiran tokoh pendiri bangsa kita. Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap jika tidak mencakup aspek tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat dinikmati sepenuhnya oleh warga negara karena adanya batasan-batasan, seperti pembubaran partai politik,  pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang, seperti kekerasan militer (pemberlakuan daerah operasi militer/DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, dan kasus Trisakti. Faktor-faktor tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan ekonomi dan masalah-masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kronis, telah mendorong berbagai elemen masyarakat untuk melakukan Gerakan Reformasi untuk mengakhiri pemerintahan Soeharto. 242

Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah bahwa ketika negara menjadi negara kekuasaan, negara (dalam hal ini pemerintah) memakai kekuasaan untuk

menafsirkan

UUD

demi

kepentingan

kekuasaan

itu

sendiri

sehingga

dalam

 pelaksanaannya, rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering kali terjadi ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep “kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas kapan kepentingan individu  berakhir dan kepentingan umum dimulai. Sebagai contoh, dalam kasus penggusuran, penduduk diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas rumah sakit. Dalam kasus seperti ini, masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi dalam kasus penggusuran untuk pendirian  pusat komersial, interpretasi tentang “kepentingan umum” dapat bertolak belakang karena dapat dipandang sebagai pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang keamanan, tidak  pernah jelas kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai upaya untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir “kepentingan umum”, “keamanan umum” dan “stabilitas nasional” merupakan monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251—253). Dengan demikian, negara telah menampilkan diri sebagai negara kekuasaan. Menghadapi situasi demikian, memasuki era Reformasi, berbagai elemen masyarakat menuntut penguatan hak asasinya. Upaya ini berhasil dengan dikeluarkannya UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan kemajuan hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan dalam Rumah Tangga telah menguatkan hak asasi  perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI terdapat pasal yang mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu WNI dan ayah WNA. Adanya UU ini menyebabkan status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah mengikuti kewarganegaraan ibunya sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dibentuk agar perempuan dan anak terlindungi dari tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak warga negara di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Saat ini, Indonesia masih terbelit oleh masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi. 243

Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-tujuan yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh dari harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi persoalan sehingga timbul rasa ketidakadilan di kalangan rakyat. Di pihak warga negara, yang juga patut mendapat  perhatian khusus adalah bahwa perilaku kebebasan tanpa batas, seperti tindakan anarkis, amuk massa, tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, dan  perilaku korupsi, merupakan cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk ketertiban bersama dan menciptakan keadilan. Melihat keadaan yang dikemukakan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa masalah keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup berbangsa dan  bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut memerlukan peran negara. Namun demikian, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu rumit dan beragam, negara juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi politik warga negara merupakan kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui hubungan kerja sama atau hubungan timbal balik antara negara dan warga negaralah penyelenggaraan negara dapat terarah pada citacita bersama seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

244

BAB 5 INDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL

5.1 Hubungan Antarbangsa

Hubungan antarbangsa tidak selamanya serasi karena menyangkut kepentingan nasional masingmasing. Kepentingan nasional antara dua bangsa/negara dapat berbeda, bahkan saling  berbenturan. Perbedaan kepentingan yang menimbulkan pertentangan biasanya disebut konflik. Dalam perkembangannya, konflik dapat meruncing dan berlanjut dengan penggunaan senjata. Keadaan yang terakhir itu disebut perang. Gambaran plastis hubungan antara dua bangsa/negara dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, integrasi (kerja sama), yang dapat terjadi karena kepentingan dua negara sejalan. Kedua, konflik (pertentangan), yang dapat terjadi karena kepentingan tiap negara saling  bertentangan. Untuk persoalan yang kedua ini, ada beberapa cara penyelesaian, yaitu melalui cara tindak kekerasan, penekanan atau pemaksaan (coersion), dan akomodasi. Tindak kekerasan  biasanya berupa penyelesaian dengan perang bersenjata. Dalam cara penyelesaian kedua (penekanan atau pemaksaan), biasanya salah satu negara melakukan gerakan provokasi agar negara lainnya takut/tunduk, misalnya dengan mengadakan latihan militer di daerah perbatasan. Cara akomodasi digunakan apabila kedua bangsa saling menghormati dengan cara koeksistensi (saling mengakui kesederajatan), ditindaklanjuti dengan kompromi, dan diakhiri dengan kompetisi kepentingan secara sehat. Peningkatan atau eskalasi konflik antarnegara bagaikan sebuah spektrum. Eskalasi dimulai apabila salah satu negara merasa dirugikan. Sebagai contoh, upaya menggalakkan  pemakaian produksi dalam negeri terganggu dengan membanjirnya produk negara lain yang lebih murah. Agar masyarakat umum tetap menggunakan produk dalam negeri, barang impor yang lebih murah dan bermutu dikenai biaya yang lebih tinggi. Keadaan ini biasanya berlanjut dengan peningkatan tarif bea masuk, kuota perdagangan, pembatasan peredaran valuta asing, konsesi dagang dengan negara (mitra) tertentu. Hal tersebut tentunya akan dibalas oleh negara yang tidak mendapat konsesi dengan cara boikot dan/atau sabotase atas barang negara “lawan”. Keadaan yang mirip dengan keadaan perang tanpa penggunaan senjata tersebut dikenal sebagai “perang dingin”. Dalam perang dingin dapat terjadi “perang terbatas” dengan tanda-tanda seperti  penahanan kapal “lawan” dengan muatannya, insiden perbatasan, dan huru-hara yang 245

dikendalikan dari luar. Perang panas atau perang terbuka dimulai dengan pencaplokan atau aneksasi teritorial, kemudian pernyataan perang yang dilanjutkan dengan penggunaan satuansatuan angkatan perang (darat, laut, dan udara). Bahkan, perang dapat menjadi tidak terkendali apabila tidak segera diselesaikan. Perang tidak terkendali apabila kedua pihak menggunakan senjata nuklir, biologi, dan kimia, yang dikenal sebagai perang nubika (Eccles, 1959: 13). Sebagian besar masyarakat masih yakin bahwa perang nubika tidak akan terjadi selama para ilmuwan belum mampu mengendalikan “ fall out ” partikel nubika. Untuk mengatasi eskalasi seperti itu, tiap negara biasanya menyiapkan warga negaranya untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara maupun upaya pertahanan keamanan. Seperti yang diketahui bersama, sejarah upaya pembelaan negara secara spontan oleh rakyat baru dimulai pada awal Perang Dunia II ketika rakyat negara-negara Eropa barat bangkit melawan invasi tentara Jerman. Bagi bangsa Indonesia, kedua upaya ini merupakan hak dan kewajiban. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 ayat (1), UUD 1945. Pasal 27 ayat (3)  bertujuan untuk memperteguh upaya pembelaan negara sebagai hak dan sekaligus kewajiban  bagi setiap warga negara, bukan monopoli TNI. Sementara itu, pasal 30 ayat (1) menegaskan kembali bahwa sistem pertahanan keamanan yang dianut negara Indonesia adalah pertahanan keamanan rakyat semesta. Dengan demikian, seluruh komponen/elemen kekuatan bangsa ikut terlibat. Hal itu merupakan keunikan hukum tentang hak dan kewajiban warga negara di Indonesia. Sejarah konflik antarmanusia, antarmasyarakat, maupun antarbangsa selalu melibatkan masyarakat atau bangsa lain sehingga terbentuk blok-blok. Pada abad XVII, dua blok yang saling  berhadapan adalah Dinasti Bourbon di Eropa Barat dan Dinasti Habsburg di Eropa Tengah. Rakyat tidak ikut perang, kecuali yang tergabung dalam tentara dinasti. Pasca-Perang Dunia I,  pada tahun 1920-an, dunia seolah-olah hanya terbagi atas dunia Barat (the West) dan sisanya (the Rest), yaitu negara-negara yang dianggap tidak dipengaruhi oleh Barat (Huntington, 1998: 183). Dalam pengertian ini, negara koloni dianggap masuk ke Blok Barat. Pada pertengahan abad XX,  pasca-Perang Dunia II (masa perang dingin), selain Blok Barat dan Blok Timur muncul pula  blok lain, yaitu negara-negara yang baru merdeka. Blok-blok baru tersebut merupakan persatuan kebudayaan yang sejenis yang biasanya dipengaruhi ajaran agama yang disesuaikan dengan adat setempat.

246

5.2 Peran Indonesia dalam Hubungan Antarbangsa

Butir keempat dari tujuan nasional Indonesia, sebagaimana tertulis pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, menggambarkan “politik bebas aktif”. Kebijakan politik bebas aktif dilakukan untuk menghadapi kenyataan tentang adanya dua blok negara pemenang Perang Dunia II. Pembentukan kedua blok itu didasarkan pada ideologi yang berkembang pada abad XX, yaitu  blok liberal (Blok Barat) dan blok sosialis (Blok Timur). Rakyat (suku-suku) Jerman yang bercita-cita membangun Jerman sebagai negara bangsa (nation state) yang besar terhalang dan dipecah menjadi dua oleh negara-negara pemenang  perang. Tragisnya, ibu kota Berlin yang berada di kawasan Timurp un harus dibagi dua, sehingga wilayah Berlin Barat merupakan enclave dari Jerman Timur. Nasib suku-suku Jerman lain yang tinggal di bekas wilayah Dinasti Habsburg (sebelah timur Jerman) dan orang-orang Balkan (kecuali Yunani) memiliki negara nasional baru dan harus bergabung dalam Blok Timur di  bawah hegomoni Rusia. Kedua blok itu berupaya menyelesaikan konflik melalui perang dingin, yang sebenarnya merupakan upaya koersi kedua blok yang bertikai. Blok Barat merangkul Jerman (Barat), Italia, dan Jepang—mantan musuh yang dilucuti tentaranya dan tidak boleh beroperasi di luar negaranya—untuk bergabung. Jerman Barat dan Italia dimasukkan dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Jepang dirangkul dan dipayungi oleh Amerika Serikat selama Jepang  bersedia menjadi negara demokrasi liberal, termasuk dalam sistem agraria dan pendidikannya (Robert, 2004: 1062).

Konsekuensi lain pada ketiga negara tersebut adalah didirikannya

 pangkalan militer asing, yaitu pangkalan tentara Sekutu (terutama di Jerman) dan AS di Jepang. Konsekuensi berat bagi negara penerima AP asing di negaranya adalah kehilangan karakter dan moral nasional (Chandra, 1982: 74). Namun, Jepang telah memiliki akar budaya yang lebih kuat sehingga pengaruh gegar budaya tidak tampak. Karakter dan moral bangsanya juga tidak hilang sehingga Jepang tetap dominan dalam percaturan politik dunia (Morgenthau, 1962: 110—133). Akibat kebijakan Sekutu yang takut akan timbulnya fasisme, Jepang dan Jerman Barat menjadi raksasa ekonomi baru dengan tingkat kesejahteraan tinggi.

Kedua negara itu mengalahkan

negara-negara pemenang perang (Sekutu). Jerman Barat, misalnya, lebih berkembang pesat  perekonomiannya daripada Prancis. Hal itu tidak lain karena Jerman Barat dan Jepang meminimalkan biaya pertahanan dan keamanan nasionalnya yang telah dipayungi oleh Blok

247

Barat (Sekutu). Kedua blok (Barat dan Timur) berupaya menarik negara-negara merdeka baru ke dalam blok mereka masing-masing. Berkaitan dengan hal itu, Indonesia bersama India, Pakistan, Sri Lanka, dan Myanmar (dulu Birma) berupaya agar negara baru tidak terseret ke dalam salah satu kubu, dengan maksud dapat meredakan ketegangan dunia. Gerakan yang dipelopori Indonesia itu mendapat respons dari Mesir pasca-tergulingnya monarki. Kedua negara itu berhasil mengadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955 yang menjadi cikal-bakal Gerakan Non-Blok. Pada era Perang Dingin 1960-an, Yugoslavia bergabung ke dalam blok baru itu yang hubungannya sedikit merenggang dengan blok negara-negara demokrasi sosialis. Negara-negara Amerika Latin yang sebelumnya pro-Barat, pada era tersebut bergabung dengan negara-negara Asia dan Afrika.  Negara-negara yang tergabung dalan gerakan Non-Blok dikenal sebagai negara dunia ketiga atau negara sedang berkembang (NSB). Dalam gerakan ini, Indonesia termasuk negara pemrakasa (Huntington, 1998: 24—25). Gerakan Non-Blok berperan penting dalam meredam konflik atau perang dingin. Namun, sangat disayangkan bahwa pimpinan (elite politik) negara-negara pemrakasa kurang memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda sehingga terkesan kurang demokratis. Sepeninggal mereka, gerakan Non-Blok menjadi kurang efektif, apalagi setelah krisis ekonomi, sosial,  budaya, dan politik melanda negara-negara anggotanya, mengingat bahwa syarat utama gerakan ini adalah kestabilan politik pada tiap negara peserta. Pada era Perang Dingin tahun 1960-an juga terjadi krisis politik di Indonesia. Presiden Soeharto sebagai kepala pemerintahan memprioritaskan pengamanan dalam negeri dan sekaligus  pembangunan ekonomi dalam negeri. Secara tidak langsung, arah politik kita cenderung ke demokrasi liberal. Gerakan selanjutnya berupaya melakukan pemurnian ideologi Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan merumuskan paradigma tata kehidupan nasional dengan menyusun doktrin-doktrin dasar. Legitimasi doktrin-doktrin dasar adalah Wawasan Nusantara sebagai geopolitik dan Ketahanan Nasional sebagai geostrategi melalui ketetapan MPR. Implementasi kedua doktrin itu dalam politik luar negeri dimulai dengan upaya pembangunan stabilitas politik dan ekonomi di kawasan regional. Hubungan dengan negara tetangga yang selama itu “kurang baik” dibangun kembali dengan mendirikan perhimpunan negara Asia Tenggara ( Association of South East Asia Nations atau ASEAN).

248

5.3 Berbagai Kecenderungan di Era Globalisasi

Dekade akhir abad XX dan awal abad XXI disebut masa atau era globalisasi. Pada masa ini, setiap negara menjadi negara terbuka untuk perdagangan bebas. Era globalisasi ditandai oleh kemajuan teknologi dalam bidang transportasi (terutama setelah pesawat terbang digunakan sebagai angkutan masal, baik untuk penumpang maupun barang), telekomunikasi (yang kini telah berkembang menjadi teknologi informatika), serta semangat perdagangan bebas. Pada era ini pula orang-orang terdorong menjadi warga negara dunia (kosmopolit). Negara maju dan kaya mencita-citakan dunia tanpa batas. Dunia tanpa batas akan merugikan bangsa yang sedang  berkembang apabila bangsa itu tidak memiliki karakter nasional yang kuat dan tingkat intelektualitas yang tinggi. Tidaklah mengherankan apabila akan terjadi konflik antarnegara maupun internal negara yang dipicu oleh perbedaan persepsi mengenai nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konflik fisik masih terjadi, baik dalam rangka perebutan wilayah secara fisik maupun secara maya, yaitu melalui pengaruh budaya, ekonomi, dan sebagainya, yang berawal dari  perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu, tidaklah salah apabila Wright berkata bahwa  perang fisik dipicu oleh 1) dunia yang “menciut” sebagai akibat kemajuan teknologi transportasi, 2) “percepatan” jalannya sejarah sebagai akibat kemajuan teknologi telekomunikasi, 3)  penemuan persenjataan baru yang lebih modern, dan 4) kebangkitan demokrasi. Dari keempat  penyebab perang itu, tiga di antaranya menyebabkan penggunaan sumber daya alam—terutama yang tidak dapat diperbaharui—yang berlebihan. Oleh karena itu, isu era globalisasi diidentikkan dengan pemanasan global dan perebutan wilayah sumber daya alam (Wright, 1942: 4—7). Pada era ini muncul konsep “dunia tanpa batas” yang pada hakikatnya merupakan  perkembangan

dari

berdirinya

perusahaan-perusahaan

multinasional

(multinational

corporations) sebagai bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Dalam konsep ini, seorang pembeli

dianggap sebagai raja, tetapi dalam kenyataannya, dia terpaksa membeli barang hanya demi menjaga gengsi dengan memakai merek tertentu. Persaingan penjualan hasil produk akan dimenangkan oleh perusahaan yang mampu merakit barang berkat penyebaran teknologi (dispersion of technology). Perusahaan besar akan tetap membina perusahaan kecil dan mungkin ikut membiayai penelitian dan pengembangan sehingga produknya dijadikan modal tetap sebagai  biaya tetap ( fixed cost ). Masalah mata uang dan negara (currency and  country) akan menjadi kendala apabila perusahaan itu dimiliki oleh satu negara. Oleh karena itu, perusahaan yang 249

 berupaya mempengaruhi konsumen menjadi perusahaan multinasional yang didirikan oleh  beberapa negara (Ohmae, 1991: 34—71). Berdasarkan uraian tersebut, tidaklah salah apabila dikatakan bahwa era globalisasi merupakan bentuk kolonialisasi perusahaan multinasional melalui dunia maya, yang mengarah kepada penjajahan sosial, budaya, ekonomi, dan ideologi, dan tidak mustahil juga akan mengarah kepada tindak-tindak kriminal antarnegara. Selain itu, tidak mustahil terjadi tindak-tindak kriminal yang diikuti oleh gerakan politik yang akan berakhir dengan kejatuhan negara “nasional  baru”. Kejatuhan negara nasional baru hampir dipastikan terjadi akibat ak ibat belum siapnya negara itu  berdemokrasi dan ideologi nasionalnya belum mantap. Misalnya, pecahnya Sudan menjadi Sudan dan Sudan Selatan. Tentunya, konsep multinasional itu akan ditolak oleh negarawan dan  politisi nasional yang patriotik. Pada awal era globalisasi, blok demokrasi sosialis mendapat bencana multidimensi yang  berawal dengan krisis ekonomi akibat ak ibat biaya AP yang tinggi karena tidak mengenal sistem wajib militer. Selanjutnya, terjadi krisis politik dan diakhiri dengan kebangkitan demokrasi liberal, terutama sejak runtuhnya Tembok Berlin. Akibatnya, banyak negara demokrasi sosialis terpaksa harus segera melakukan perubahan dengan menyesuaikan diri dengan mitra dan lingkungan strategisnya. Semangat untuk segera mengadakan perubahan juga melanda banyak negara lain, termasuk negara maju. Euforia runtuhnya Tembok Berlin dan keinginan terbentuknya dunia tanpa batas menjadikan banyak negara menjadi tidak aman dan damai. Timbul konflik, baik antarnegara maupun di dalam negara nasional sendiri. Konflik-konflik yang semula berbasis ekonomi banyak diselesaikan melalui politik sambil menunjukkan identitas masyarakat (Huntington, 1998: 21). Banyak negara nasional (baik baru dan lama) pecah menjadi negara kecil yang berbasis etnik. Kelompok-kelompok etnik saling berhadapan dan berjuang untuk kepentingan etniknya dan tidak jarang diselesaikan dengan kekerasan. Kecenderungan politik sebenarnya menjadi penyebab awal kebangkitan demokrasi, terutama di negara-negara Blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Krisis ekonomi dianggap sebagai penyebab awal kecenderungan ekonomi global. Dalam hal ini, sistem politik negara-negara Barat dianggap “lebih baik” daripada yang dilaksanakan di negara-negara Blok Timur dan di negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia yang didengung-dengungkan Barat menjadi mendunia. 250

Kecenderungan ekonomi terjadi karena pergeseran pusat perekonomian dunia ke arah kawasan negara-negara Pasifik. Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Kanada bergeser ke Barat karena melihat melihat kesempatan yang lebih besar. Jepang muncul menjadi raksasa ekonomi.  Negara-negara Eropa yang takut ditinggalkan berupaya “tampak” ikut berperan. Rusia juga  bereaksi dengan berusaha menampakkan kekuatannya kekuatann ya di kawasan Pasifik. Kecenderungan sosial budaya juga diakibatkan oleh kemajuan teknologi telekomuni-kasi dengan makin berkembangnya teknik informatika. Apa yang terjadi di dunia pada saat yang  bersamaan dapat diketahui melalui media elektronik di rumah-rumah masyarakat lainnya. Budaya dan kearifan lokal bersaing ketat dengan budaya pop yang mendunia. Kecenderungan yang mengutamakan hak daripada kewajiban mulai ditinggalkan sehingga muncul Gerakan Tanggung Jawab Insani ( Human ).  Human Responsibilities Movement ).

Oleh karena itu, pendidikan

kepribadian dan karakter perlu dibangun dengan baik dan terus-menerus. Kecenderungan bentuk pertahanan keamanan dipengaruhi oleh runtuhnya Blok Timur yang merupakan isyarat perubahan pada visi, misi, strategi, dan konsep politik nasional. Konsep visi dan misi pertahanan keamanan diciptakan oleh negara masing-masing. Namun, yang patut diwaspadai adalah keinginan Barat, terutama negara-negara Anglo-Sakson (Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru), untuk tetap menguasai dunia. Kalau pada Abad Pertengahan berbentuk fisik, kolonialisme kini berbentuk demokrasi dan ekonomi liberal. Isu-isu yang mereka kembangkan adalah perang melawan terorisme internasional dan penegakan demokrasi. Pada era ini, dunia seolah-olah pecah karena pengaruh perkembangan kebangkitan  budaya bangsa (Huntington, 1998: 207). Timbul benturan budaya yang berlanjut dengan  pecahnya negara nasional menjadi negara yang bersifat etnik atau agama. Sudan menjadi negara neg ara terakhir (sampai dengan tahun 2011) yang pecah menjadi negara nasional yang bersifat etnik dengan menjadi Sudan (dengan mayoritas penduduk beragama Islam) dan Sudan Selatan (dengan mayoritas penduduk Kristen dan yang belum beragama). Berdirinya negara-negara nasional baru dengan pendekatan budaya/etnik dan agama menambah pengelompokan satuan  budaya. Banyaknya satuan budaya dapat dikelompokkan menjadi satuan budaya besar yang merupakan garis perbatasan  frontier  ( frontier ) budaya. Menurut Huntington (1998), kini ada sembilan satuan budaya besar atau utama. Kesembilan garis  perbatasan budaya tersebut adalah 1) budaya Barat yang meliputi negara-negara dengan 251

mayoritas penduduk Kristen Barat yang juga dikenal sebagai negara-negara Barat modern sekuler; 2) budaya Amerika Latin, mulai dari Mexico hingga Argentina (kecuali tiga negara Guyana, bekas jajahan Inggris, Belanda, dan Prancis); 3) budaya Afrika, mulai dari Afrika Tengah sampai ke Selatan; 4) budaya Islam di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang mencakup Afrika Utara, sebagian Balkan, Somalia, sebagian wilayah bekas Uni Sovyet, dan Indonesia; 5) budaya Sinik yang meliputi wilayah wilayah Cina, Vietnam, dan Korea; 6)  budaya Hindu; 7) budaya Kristen Ortodoks yang meliputi wilayah dengan mayoritas penganut agama Kristen Ortodoks di perbatasan sebelah Timur dari Eropa Tengah hingga bekas Uni Sovyet; 8) budaya Buddha di daerah Asia Tenggara; dan 9) budaya Jepang (Sinto) yang meliputi Jepang, termasuk Sachalin Utara. Garis perbatasan ini saling mempengaruhi melalui budaya, sosial, ajaran agama, etnik, dan perdagangan dan mungkin dapat mengarah ke politik kekuatan (Huntington, 1998: 27, 28, 193).

5.4 Indonesia dan Globalisasi

Indonesia pada awal era ini juga dilanda bencana nasional, yang berawal dari krisis ekonomi dan moneter, dan kemudian berkembang menjadi krisis budaya yang menyentuh segenap sendi kehidupan bangsa. Masyarakat kita berpikir dan bertindak cepat atas dasar intuisi tanpa memperhitungkan akibat perilakunya. Salah satu akibatnya adalah budaya kekerasan menjadi menonjol. Penggunaan kekerasan yang menonjol ini juga merupakan salah satu cerminan dari kebangkitan demokrasi (Wright, 1942: 4—7). Setelah robohnya Federasi Uni Sovyet, Blok Barat—terutama negara-negara dengan latar  belakang mayoritas etnik Anglo-Sakson—kehilangan musuh. Mereka tetap berusaha melebarkan  pengaruhnya ke arah negara yang lemah sebagai perwujudan konsep ruangnya. Apabila pada masa lalu (awal abad XX) konsep ruang diwujudkan melalui mekanisme politik dan militer, pada masa pasca-Perang Dingin hal itu diwujudkan melalui melalui kekuatan ekonomi. Pada era globalisasi, upaya mereka itu dilakukan dengan dalih demokratisasi di negara yang kurang demokratis sebagai upaya melindungi dan membantu gerakan hak asasi manusia, dan memerangi terorisme.  Negara-negara itu memiliki kekuasaan mutlak sehingga Lord Acton (1834—1902) mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” (Cohen, 1980: 1). Untuk menghadapi kondisi ini, kerja sama bilateral saja tidak cukup sehingga harus dikembangkan kerja sama regional dan internasional. Kerja sama itu tidak dalam bentuk pakta 252

 pertahanan karena hal itu akan ak an mengarah kepada k epada perlombaan pengembangan kesenjataan. Kerja sama regional dan internasional hendaknya merupakan implikasi doktrin geopolitik dan geostrategi dalam dimensi internasional dan ditujukan untuk meningkatkan daya tawar untuk menghadapi negara-negara adidaya. Dimensi internasional doktrin ketahanan nasional dijabarkan melalui konsep ketahanan regional. Wilayah regional diartikan sebagai daerah sekitar negara dengan penekanan pada wilayah yang homogen atas dasar ciri geostrategis dan dapat berupa persamaan ras, budaya, dan sumber daya. Pembentukan kesatuan negara regional diharapkan dapat meningkatkan ketahanan nasional tiap negara anggota. Oleh karena itu, ketahanan regional sangat bergantung pada semangat kebersamaan di antara anggota dan adaptasi sesama anggota, dengan komponen stabilitas politik, kekuatan ekonomi, dan kesiagaan k esiagaan militer. Kerja sama regional merupakan strategi untuk menghadapi negara yang lebih kuat sehingga negara-negara anggota mempunyai posisi tawar yang lebih kuat pada era perdagangan global. Pada kasus ini, Indonesia telah memprakarsai pembentukan Perhimpunan Negara Asia Tenggara ( Association  Association of South East Asia Nations  atau ASEAN) pada tahun 1967, yang pada awalnya terdiri dari lima negara, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Jumlah negara anggota ASEAN pada saat ini telah berkembang menjadi sepuluh negara, dengan tambahan Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar (dahulu Burma), dan Vietnam. Konsep pembentukan ASEAN merupakan konsep geostrategi berlapis. Bagi Indonesia, ASEAN merupakan lapis pertama geostrategi, sedangkan keikutsertaan Indonesia dalam AsiaPasific Economic Cooperation (APEC) merupakan konsep geostrategis lapis kedua. Kerja sama

regional lapis pertama sesungguhnya merupakan posisi garis perbatasan budaya karena terbentuk  berdasarkan kesamaan budaya. Konsep ASEAN kini banyak dikembangkan pada era globalisai dengan pembentukan  badan atau forum, seperti 1) South East Asia Association for Regional Cooperation (SAARC), 2) South-Pacific Forum (SPF), dan 3) Gulf Countries Council. Bahkan, kini negara-negara Eropa

daratan membentuk Uni Eropa meskipun sebelumnya telah terbentuk pesatuan negara-negara Skandinavia, yaitu Swedia, Norwegia, dan Denmark, dan persatuan negara-negara BENELUX (Belgia, Nederlan, dan Luksemburg). Hal itu menunjukkan bahwa proksimitas geografis lebih diutamakan untuk mempermudah kohesi dan respon bersama menghadapi perubahan global yang tidak menentu. 253

Untuk menghadapi negara-negara sedang berkembang, negara maju—baik adidaya maupun negara “kecil”—menciptakan hambatan yang seolah-olah “wajar” dengan ketentuanketentuan seperti 1) eco-labeling, 2) International Standard Organization Code, dan 3) International Safety Management Code. Untuk itu, diperlukan daya tawar kolektif (collective bargaining power ) dari negara-negara sedang berkembang sekawasan.

Konsep itulah yang

merupakan konsep Ketahanan Nasional Indonesia yang disebut ketahanan berlapis.

254

KESIMPULAN

Lahirnya negara Indonesia yang merdeka berangkat dari perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia. Perjalanan tersebut dimulai dari kesadaran berbangsa yang

disatukan oleh

 pengalaman sejarah, masa sebelum penjajahan, saat penjajahan dan proses perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan, sampai saat kemerdekaan Indonesia berhasil diraih. Dalam proses bernegara, bangsa Indonesia disatukan oleh nilai dasar yaitu Pancasila dan hukum dasarnya, UUD 1945. Nilai Pancasila merupakan kristalisasi nilai- nilai yang hidup pada  bangsa Indonesia. Nilai tersebut merupakan pandangan hidup bangsa yang menjadi fondasi nilai dalam kehidupan sehari- hari serta menjadi pedoman dalam berinteraksi sebagai warga global. Setiap warga Indonesia perlu menyadari kedaulatan bangsanya sendiri berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Baik Negara maupun warga negara menyadari dan melaksanakan hak dan kewajibannya untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Semangat perjuangan dan nilai- nilai kebangsaan yang terus dipertahankan dan dikembangkan akan menjadi jalan untuk mencapai tujuan sebagai bangsa yang sejahtera dan bermartabat.

255

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anderson, B. (2001). Komunitas-komunitas Terbayang (terjemahan). Yogyakarta. Insist Press dan Pustaka Pelajar. Angel, R. B. (1964). Reasoning and Logic. New York: Appleton Century Craft. Aristotle. (2004). Nichomacean Ethics. Cambrigde: Cambrigde University Press. Asshiddiqie, Jimly. (1994). Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. Azra, A. (2010). Revisitasi Pancasila. Dalam Rindu Pancasila. Penyunting: Mulyawan Karim. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. Baggini, J. (2005). What's It All About?: Philosophy and Meaning of Life. Oxford: Oxford University Press. Baggini, J., & Fosl, P. S. (2010). The Philosopher's Toolkit: A Compendium of Philosophical Concepts and Methods. West Sussex: Blackwell Publishing. Baron, Renee. (1998). What Type am I? Discover Who You Really Are. New York: Penguin Books. Basrie, Chaidir. (1995). Wawasan Nusantara. Jakarta: LIH ITI. Basry, M. Hasan. (1995). Untuk Apa Kita Merdeka: Kumpulan Amanat Bung Karno di Sumatera dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945--1948 . Jakarta: KOPKAR PTP. Bertens, K. (2000). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.  _________. (2004). Etika (cet. ke-8), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.  _________. (2004). Etika, cetakan ke 8, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.  _________. (2001). Perspektif Etika Esai esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Budhiarto, Triyono Edy, (2015). Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi  (Ppt narasumber dalam “Sosialisasi Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara bagi Asosiasi Dosen Pendidikan Kewarganegaraan DKI Jakarta dan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi di Jakarta, 12 November 2015) Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chandra, Prakash. (1982), International Politics. New Delhi, Vikas Publishing House PVT Cohen, J.,M. & M.J. (1980). The Pinguin Dictionary of Quotations. Middlesex:..... Collins, John M. (1973). Grand Strategy: Principle and Practices. Annapolis, Ma: US Naval Institute. 256

Communication Course on Perceived Communication Competencies in Class, Work, and Social Contexts." Communication Education, 42(3), 215-23. [EJ 463 803] Copi, I. M. (1990). Introduction to Logic. New York: Macmillan Publishing Company.  Definitions. New York: Vintage Books. Departemen Luar Negeri. (1983). Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Jakarta: Direktorat Perjanjian Internasional. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. (2001). Kapita Selekta Pendidikan Kewarganegaraan (untuk Mahasiswa): Bagian I & II. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Djalal, Hasjim. (1995). Indonesia and the Law of the Sea. Jakarta: CSIS. Donald, P. (2006). Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness of Philosophy Made  Lighter. New York: MacGraw‐Hill. Eccles, Henry E. (1959). Logistics in the National Defense. Harrisburg, Pa: Stackpole Coy. Ember, Caril R, Melvin Ember & Peter N Peregrine. (2007). Anthropology. 12th ed. New Ember, Carol R. dan Ember, Melvin. (1996). Anthropology (edisi ke-9). New Jersey: PrenticeHall, Inc. Emmet, B. (2001). Open Questions: An Introduction to Philosophy. Belmont: Wadsworth/Thomson Learning. Erliyana, Anna. (2005). Keputusan Presiden: Analisis Keppres RI 1987—1998. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ford, Wendy S. Zabava, and Andrew D. Wolvin. (1993). "The Differential Impact of a Basic Front Pembela Proklamasi ‘45. (2002). Evaluasi ST MPR 2002 Perubahan UUD 1945. Jakarta: FPP ‘45. Fullerton, G. S. (1915). An Introduction to Philosophy. New York: Norwood Press J. S. Cushing Co. Gardner, Howard. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences . New York: Basic Books. Gardner, Howard. (199). Intlligence Reframed. Multiple Intelligences for the 21st Century. New York: Basic Books. Gazalba, Sidi. (1976). Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Jakarta: Bulan Bintang Gazzaniga, Michael S. (2008). Human, the science behind what makes us unique. New York: Harper Collins books. Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Culture. New York. 257

Geertz, Hildred. (1981). Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu Sosial & FIS-UI.

Ilmu-

Goldenberg. (2003).”Keputusan Dewan Guru Besar Universitas Indonesia No. 001/SK/DGBUI/2014 tentang Kode Eti k dan Kode Perilaku Sivitas Akademika Universitas Indonesia” Depok Goleman, Daniel. (1996). Emotional Intelligence, Why it can matter more than IQ. London: Bloomsburry Publishing. Gonick, L. (2006). Kartun Riwayat Peradaban. Jiid 1. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia. Habermas, Jurgen. (1996). “The European Nation State: Its Achievements and Its Limits, on the Past and Future of Sovereignty and Citizenship”, dalam Gopal Balakrishnan (ed.),  Mapping the Nation. London: Verso. Hadinata, F., Putri, S., & Takwin, B. (2015). MPKT A Buku Ajar I Kekuatan dan Keutamaan: Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika. Depok: Universitas Indonesia. Halida, R. (2009). Individu dalam Kelompok . Dalam Psikologi sosial. Penyunting: Sarlito W Sarwono dan Eko A Meinarno. Jakarta. Salemba Humanika. Hardi. Lasmidjah. 1984. Samudera Merah Putih 19 September 1945. Jilid 1. Jakarta: Pustaka Jaya. Hardiman, F. B. (2012). Pemikiran‐ Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta: Erlangga. Hatta, Muhammad. (1953). Kumpulan Karangan s.v. Tudjuan dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia. Jakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia. Hayon, Y. P. (2000). Logika: Prinsip-Prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur. Jakarta: ISTN. Haviland, W. A. (1995). Antropologi. Jakarta: Erlangga.  _____________. (2000). Anthropology (ed. ke-9). Orlando: Harcourt, Inc. Hendropuspito. OC., D. (1989). Sosiologi Sistematik . Yogyakarta: Kanisius. Hitlin, S. (2003). Values as the Core of Personal Identity: Drawing Links Between Two Theories of Self. Social Psychology Quarterly; Jun 2003; 66; 2. Hunnex, Milton D. (2004). Peta Filsafat Pendekatan Kronologis & Tematis, penerjemah Zubair, Jakarta: Penerbit Teraju & Mizan Huntington, Samuel T. (1998). The Clash of Civilization and the Remaking of World Order , London: Tochtone Books. Hyper-aesthethics. London: MacmillannEducation Ltd. Ihromi, T.O. (1986). Bianglala Hukum. Bandung: Tarsito.  ______, ed.. (1993). Bunga Rampai Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 258

Janasz Suzanne C., Karen O. Dowd, dan Beth Z. Schneider. (2009). Interpersonal Skills in Organizations. Third Edition. McGraw-Hill International Edition Co., New York. Jersey: Pearson Prentice Hall. Johnson David W. & Frank P. Johnson. 2006. Joining Together. Group Theory and Group Skills.  Ninth Edition. Pearson Education, Inc., Boston. Johnson, Paul D. (1994). Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid I dan II. (Terj. Robert M.Z. Lawang). Jakarta : Gramedia Kaelan, M. S. 2002. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma. Kartodirdjo, Sartono. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional  Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. King, Laura A. (2011). The science of Psychology. New York: MacGraw-Hill. Kluchohn, Clyde. (1994). Terj. Mirror for Man (Cermin Bagi Manusia). Jakarta: Grafindo Persada Koentjaraningrat. (1977). Sistem gotong-royong dan jiwa gotong royong. Berita Antropologi. Terbitan khusus, th. IX No. 30, Pebruari 1977.  ______________. (1981). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.  ______________. (1985). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.  ______________. (1987a). “Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 9 Maret 1987.  ______________. (1987b). “Orientasi Nilai Budaya dalam Kebudayaan Nasional Indonesia,” Kompas, 11 Maret 1987.  ______________. (2000). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.  ______________. (2002). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.  ______________. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Kouzes J.M. dan B.Z. Posner. (1993). Credibility: How leaders Gain and Lose It . Why People Demand It. Jossey-Bass. San Francisco. Kroeber, A.L., and Clyde Kluckhohn. (1952). Culture: a Critical Review of Concepts and Kroker, Arthur dan David Cook. (1988). The Postmodern Scene: Excremental Culture and Kur, M. “Leaders Everywhere! Can a Broad Spectrum of Leadership Behaviours Permeate an Entire Organization?” Leadership and Organization Development Journal 18 (1997). Kusuma, A. B. (2004). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

259

Kusuma, RMAB. (2010). Konsistensi Nilai Pancasila dalam Penyelenggaraan Negara. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press. Kusumaatmadja, Mochtar. (2003). Konsep Hukum Negara Nusantara pada Konvensi Hukum  Laut III. Bandung: Alumni. Kusumadewi, LR. (2012). Relasi Sosial Antarkelompok Agama di Indonesia: Integrasi atau  Disintegrasi? Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Latif, Yuni. (2011). Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Lauder, MRMT. (2007). Sekilas Mengenai Pemetaan Bahasa. Jakarta. Fakultas Ilmu Budaya Indonesia-Akbar Media Eka Sarana. Law, S. (2007). Eyewitness Companions: Philosophy. New York: DK Publishing. Lembaga Pertahanan Nasional. (1995). Wawasan Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka–Lemhannas. Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character . New York: Bantam Books. Linley, P Alex & Joseph, Stephen (ed). (2004). Positive Psychology in Practice. Canada: John Willey & Sons Inc. Linton, Ralph. (1984). The Study of Man: an Introduction. Terjemahan Firmansyah. Bandung: Jemmars. Loebis, Ali Basja. (1979). Asas-asas Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta: Erlangga. Luce, A. A. (1958). Logic. London: The English Universities Press Ltd. MacLean, Paul D. (1990). The Triune Brain in Evolution: Role of Paleocerebral Functions, New York: Springer. Mahfud MD, Moh. (2009). Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Maio, GR., Olson, JM. Relations between Values, Attitudes, and Behavioral Intentions: The  Moderating Role of Attitude Function. Journal of Experimental Social Psychology. 31, 266-285. 1995 Markum, ME., Meinarno, EA., Juneman. 2011. Hubungan Pancasila dan Identitas Nasional:  Masihkah Remaja Kita Mengingatnya? Laporan penelitian hibah riset pascasarjana Universitas Indonesia tahun 2011. Marzali, A. (2005). Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta. Prenada Media. McCall, R. J. (1966). Basic Logic. New York: Barnes & Noble Inc.

260

Meinarno, EA. (2011). How Pancasila form the national identity of Indonesian people? Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta. Meinarno, EA., Widianto, B., Halida, R. (2011). Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi. Jakarta. Salemba Humanika. Meliono, Irmayanti & YP Hayon et al (2008). MPKT Buku Ajar 1, Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila, Depok: PDPT Universitas Indonesia Meliono, Irmayanti & YP.Hayon.(2010). Buku Ajar 1 Logika, Filsafat Ilmu dan Pancasila, Depok: PDPT, UI Mirhad, R. P., Purnomo. (1973). Geopolitik dan Geostrategi Indonesia, (diktat untuk KRA) Jakarta: Lembaga pertahanan Nasional. Morgenthau, Hans J. (2006) (direvisi oleh Thompson dan Clinton). Polititcs among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Mc Graw Hill. Morreale, S.P., Osborn, M.M., & Pearson, J.C. (2000). “Why Communication is Important: A rationale for the Centrality of the Study of Communication”. Journal of the Association  for Communication Administration, 29, 1--25. Mundiri. (2015). Logika. Depok: Rajawali Press. Mutakin, Awan, Dasim Budimansyah, & Gurniawan Kamil Pasya. (2004). Dinamika  Masyarakat Indonesia. Bandung: PT Genesindo.  Nagel, T. (1987). What Does It All Mean?: AVery Short Introduction to Philosophy.  Oxford: Oxford University Press. Ohmae, Kenichi. (1991). The Borderless World, Power and Strategy in the Interlined Economy. London: Fontana. Oomen, TK. (2009). Kewarganegaraan, Kebangsaan, & Etnisitas: Mendamaikan Persaingan  Identitas. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Palmer, D. (2006). Looking at Philosophy. New York: McGraw‐Hill. Palomo, Margaret M. (1991). Contemporary Sociological Theory. Michigan: Macmillan Publishing. Panitia Lemhannas. (1980). Bunga Rampai Ketahanan Nasional: Konsepsi dan Teori. Jakarta: Ripers Utama. Parsons, T. (1951), Social System, London: Collier-Macmillan Limited. Peoples, David A. (1992). Presentations Plus, 2nd edition. John Wiley and Sons Inc. Peraturan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No.004/Peraturan/MWA-UI/2015 tentang Anggaran Rumah Tangga Universitas Indonesia

261

Peterson, C. dan Seligman, M. E. P. (2004). Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. Oxford: Oxford University Press. Poerwanto, Hari. (2008). Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif  Antropologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Poesponegoro, MD., Notosusanto, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia II . Jakarta. Balai Pustaka Poole, Ross. (1999). Nation and Identity. New York: Routledge. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rachel, C. (2016, Maret 21). Hume's Moral Philosophy. Retrieved from The Stanford Encyclopedia of Philosophy: http://plato.stanford.edu/archives/fall2010/entries/hume‐moral/ Rahyono, F.X. (2002). “Representamen Kebudayaan Jawa: Teknik Komparatif Referensial  pada Teks “Wedhatama”. Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Vol.4  No.1, Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Rakic, Pasko T. (1999). Medicine in the Twenty-First Century, Annals of the New York Academy of Sciences 882. Ramage, DE. (1995). Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London. Routledge. Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Reicher, S., Hopkins, N. (2001). Self and Nation: Categorization, Contestation and Mobilization. London. Sage Publication. Rida, Z. (1988). Pembangunan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 Mewujudkan  Masyarakat Berbudaya Pancasila. Tesis strata dua Program Studi Pengkajian Ketahanan  Nasional. Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Rinjin, K. (2010). Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam konsistensi Nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 dan Implementasinya. Yogyakarta. PSP-Press. Robbins, Stephens. P. (2003). Organizational Behaviour, 9th ed. San Diego State University Prentice Hall International, Inc. Robert, J. M. (2004). The New Peguin History of the World. London: ..... Rokeach, M. (1973). The Nature of Human Values. The Free Press. New York. Rubin, R.B., Perse, E.M., & Barbato, C.A., (1988). Conceptualization and Measurement of  Interpersonal Communication Motives. Human Communication Research.

262

Russell, B. (1945). A History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster. Saifuddin, Achmad F & Karim, Mulyawan (ed). (2011).’ “Refleksi Karakter Bangsa”. Jakarta: Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI, Ikatan Alumni UI dan Peberbit Forum Kajian Antropologi Indonesia Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006). Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Seda, FSSE., Febriana, E., Agustin, SM., Shakuntala, RRS. (2012). Relasi Gender dalam  Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. Penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1992). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan  Indonesia (PPKI). Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia. Shadily, Hasan. (1983). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Simbolon, Parakitri T. (1995). Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Kompas. Simpson, A. (2007). Indonesia. Dalam Language & national identity in Asia. Penyunting: Andrew Simpson. Oxford. Oxford University Press. Soekanto, S. (1982). Sosiologi, Suatu Pengantar , Jakarta: CV Rajawali. Soekanto, S. (1984). Beberapa Teori tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV. Rajawali.  __________. (1990). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Somantri, GR. (2006). Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indonesia Modern. Dalam restorasi Pancasila: Mendamaikan politik identitas dan modernitas. Penyunting: Irfan  Nasution dan Ronny Agustinus. Jakarta. Sousa, David A. (2003). How the Gifted Brain Learns. California: A Sage Publication Company. Sudiyo, (1989). Perhimpunan Indonesia Sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Jakarta: PT. Bina Aksara. Sunardi, R.M. (2004). Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan  Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta: Kuaternita Adidarma. Suparlan, P. (1981). “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama”. Majalah Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Ilmu-Ilmu Sastra.

 _________. (2005). Suku Bangsa dan Hubungan Antar Suku Bangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Suwartono, C., Meinarno, EA. (2010). The Measurement of Pancasila: An Effort to make Psychological Measurement from Pancasila Values. Dipaparkan dalam seminar CICP, Yogyakarta, Juli 2010. 263

Suwartono, C., Meinarno, EA. (2011). Construct Validation of Pancasila Scale: An Empirical  Report . Proceeding International Conference of Revisited Asian Society. 21-24 Juli. Yogyakarta. Tajfel, H. (1974). Social Identity and Intergroup Behavior . Social Science Information. 13, 65,  pp. 65-93. Takwin, B. (2011). Kekuatan dan Keutamaan Karakter sebagai Hasil dari Daya-daya Spiritual. Dalam Buku ajar 1: Filsafat, logika, etika, dan kekuatan dan keutamaan karakter. Penyunting: Bagus Takwin, Lamuddin Finoza, H Zakky Mubarak. Depok. Universitas Indonesia. Takwin, Bagus. (2012). “Kekuatan dan Keutamaan Karakter”.  Buku I MPKT A. Depok: Universitas Indonesia. Takwin, Bagus & Saras P. (2016) Buku I MPKT A versi soft file dalam flashdisk , Depok: Universitas Indonesia Taylor, Jill Bolte, PhD. (2008). My stroke of insight . London: Hodder & Stoughton. Tieger, Paul D. & Barbara Barron-Tieger. (2001). Do What You Are, third ed. Boston: Little Brown Company. Tim Pengajar Antropologi Budaya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2000. Buku Ajar  Antropologi Budaya. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tylor. E.B. (1974). Primitive Culture: Researches into the development of Myhology,  philoshopy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press. Warburton, N. (2011). A Little History of Philosophy. New Haven; London: Yale University Press. Weiten, W. et al. (2009). Psychology Applied to Modern Life. Belmont: Wadsworths Cengage Learning. Widagdho, Djoko. dkk. (2001). Ilmu Budaya Dasar . Jakarta: PT Bumi Aksara Wirutomo, P. (2012). Integrasi Sosial Masyarakat Indonesia: Teori dan Konsep. Dalam Sistem Sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. UI Press. Jakarta. Wirutomo, P. (2012). Menyongsong Masa Depan Integrasi Masyarakat Indonesia. Dalam Sistem sosial Indonesia. penyunting: Paulus Wirutomo. Jakarta. UI Press. Wright, Quincy. (1942). Study of War . Chicago: The University of Chicago Press. Wuradji. (1987). Pendidikan dan Masyarakat. Sosilogi Pendidikan: sebuah Pendekatan Sosio Antropologis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

264

A. Undang-undang

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amendemen I sampai dengan IV).  _________, UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.  _________, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran  Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.  _________, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63.  _________, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan dalam Rumah Tangga. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95.  _________, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58.  _________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.  _________. Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang  Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009  Nomor 109.  _________, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Lembaran  Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244. B. Sumber Pustaka internet

http://kbbi.web.id/karakter http://www.bbc.com http://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127 http://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/character http://www.dilihatya.com/pengertian nilai http://www.grupppkn.com/nilai-nilai dasar Pancasila http://www.meriamwebster.com/dictionary/character

265

BIODATA TIM REVISI

Irmayanti Meliono  adalah pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Latar pendidikan

adalah S1 PS Ilmu Filsafat FIB UI, S2 PS Antropologi FISIP UI, S3 dari PS Ilmu Filsafat FIB UI dan Sandwich Program dari Erasmus University, Philosophy Departement, Belanda. Mengajar beberapa mata kuliah seperti Kebudayaan Indonesia, Manusia dan Masyarakat Indonesia (FIB UI); Teori Wilayah dan Humaniora, Dinamika Multikultural di Asia Tenggara (S2 Asia Tenggara Departemen Kewilayahan FIB UI); Etika (S2 KIK- Sekolah Stratejik dan Global UI); MPKS . Beberapa karya ilmiah pernah dibuat antara lain Buku Ajar I Filsafat, Logika, Filsafat Ilmu (2010, PDPT UI, tim penulis), Ideologi Budaya, Fisafat Ilmu Pengetahuan Saat ini sebagai

Tim Penulis Buku Ajar MPKT A 2017-2018. Alamat korespondensi:

[email protected] atau [email protected].

Fristian Hadinata di Manna, 2 Agustus 1986. Menyelesaikan pendidikan S3 Ilmu Filsafat pada

usia 28 tahun dengan disertasi yang berjudul “Melampaui Fondasionalisme dan Relativisme: Teori Kebenaran dari Perspektif Richard Rorty” dengan promotor Prof. Dr. TM Soerjanto Poespowardojo, kopromotor Prof. Dr. Alois Agus Nugroho dan Dr. Donny Gahral Adian di Universitas Indonesia. Kegiatan sehari-hari sebagai dosen tetap yang mengajar mata kuliah Logika (critical thinking), Filsafat Sosial dan Pragmatisme serta sebagai Ketua Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia. Terlibat dalam  penelitian-penelitian yang berfokus pada isu sosial kontemporer dengan pendekatan filosofis. Terbuka

untuk

berkorespondensi

di

alamat

email:

[email protected]

atau

hadinatafristian @ui.ac.id.

Bambang Shergi Laksmono  adalah dosen dan Guru Besar Kebijakan Sosial di Departemen

Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial (2012 – sekarang) dan Dekan FISIP UI (2008 – 2013). Bambang aktif dalam isu peran serta civil society  dalam era transisi politik 1998 dan selanjutnya bergelut dalam penelitian di bidang

masalah masalah masyarakat di wilayah perbatasan, masalah pembangunan di wilayah ASEAN, kepemudaan dan kewarnegaraan. Mendirikan Papua Center FISIP UI di tahun 2012 dan sampai kini terlibat dalam upaya upaya komunikasi lintas etnis dalam bingkai NKRI. 266

Ade Solihat  adalah pengajar Matakuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi sebagai

matakuliah Pengembangan Karakter (Character Building) di Universitas Indonesia sejak tahun 2005. Selain itu, Ade Solihat adalah pengajar tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI untuk mata kuliah Kebudayaan Indonesia dan mata kuliah Manusia dan Masyarakat Indonesia sebagai mata kuliah wajib FIB; juga Mata kuliah Bahasa Arab dan bahasa Turki, di Progarm Studi Arab FIB-UI. Pada saat ini, Ade Solihat sedang menyelesaikan Program Doktoral bidang Antropologi Budaya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Alamat email: [email protected].

Pribadi Setiyanto adalah pengajar Matakuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi bidang

Sains, Teknologi, dan Kesehatan di Universitas Indonesia. Selain itu, Pribadi Setiyanto adalah  pengajar tetap di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) di Universitas Indonesia.

R. Ismala Dewi adalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program

Sarjana (S1) untuk Mata Kuliah Hukum dan Masyarakat, Manusia dan Masyarakat Indonesia, Antropologi Budaya, Antropologi Hukum, dan Ilmu Budaya Dasar; dan di Program Pascasarjana (S2) untuk Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Air. Selain itu, penulis juga merupakan Tim Pengembang MPKT A (2002 s.d. sekarang); Koordinator Pusat MPKT A UI (2007 – 2015); Koordinator Fakultas MPKT A di FHUI (2004 – 2007); serta Dosen MPKT di lingkungan UI. Selain di UI, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK), Akademi Ilmu Pemasyarakat (AKIP), dan Akademi Imigrasi (AIM). Latar belakang pendidikan adalah Sarjana Hukum (S1) dari Fakultas Hukum UI, Magister Hukum (S2) dan Doktor (S3) dari Program Pascasarjana FHUI. Selain sebagai tenaga pengajar, penulis juga berperan sebagai anggota Senat Akademik FHUI, yang sebelumnya pernah menjabat juga sebagai Anggota Badan  penjaminan Mutu Akademik (BPMA) UI, dan Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik (UPMA) FHUI. Penulis telah menulis beberapa buku dan karya ilmiah lain, aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum, dan aktif kegiatan pengabdian pada masyarakat.

Eko Handayani merupakan pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dari bidang studi

Psikologi Perkembangan. Pendidikan Sarjananya diselesaikan di Fakultas Psikologi UI. Ia 267

mengambil kuliah Magister Profesi Klinis Anak di Universitas yang sama. Ia merupakan dosen aktif yang mengampu beberapa mata kuliah, diantaranya Psikologi Perkembangan Manusia, Psikologi Keluarga, dan Metode Observasi. Khusus untuk MPKT A, ia sudah bergabung menjadi  pengajar sejak tahun 2011, dan sejak tahun 2015 dipercaya untuk menjadi koordinator pengajar MPKT A di Fakultas Psikologi UI. Ia pernah menjadi trainer   TOT Teaching Learning Skill bagi dosen UI, trainer TOT bagi calon fasilitator Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) UI, dan sebagai fasilitator dalam kegiatan Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) UI. Ia juga masih aktif sebagai anggota UPMA (Unit Penjaminan Mutu Akademik) dan anggota SAF (Senat Akademik Fakultas). Sedangkan di lingkungan UI, ia juga aktif sebagai tim auditor internal universitas dan fasilitator dalam pelatihan PEKERTI, AA (Ancangan Aplikasi), PAPT (Pembelajaran Aktif Perguruan Tinggi) dan EHP (Evaluasi Hasil Pembelajaran) yang merupakan rangkaian pelatihan yang diberikan sebagai pembekalan bagi dosen di lingkungan Universitas Indonesia.

268

More Documents from "Rizki Laksmana"