241162382-laporan-pendahuluan-7-tujuh-kasus-harga-diri-rendah-kronis-isolasi-sosial-halusinasi-waham-defisit-perawatan-diri-resiko-bunuh-diri-dan-peri.pdf

  • Uploaded by: Ra Selviana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 241162382-laporan-pendahuluan-7-tujuh-kasus-harga-diri-rendah-kronis-isolasi-sosial-halusinasi-waham-defisit-perawatan-diri-resiko-bunuh-diri-dan-peri.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 10,666
  • Pages: 72
LAPORAN PENDAHULUAN 7 (TUJUH) KASUS : HARGA DIRI RENDAH KRONIS, ISOLASI SOSIAL, HALUSINASI, WAHAM, DEFISIT PERAWATAN DIRI, RESIKO BUNUH DIRI, DAN PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SAMBANG LIHUM

Tanggal 06 Agustus 2014 s/d 30 Agustus 2014

OLEH :

RONALD BASTEN NIM.113063J1.13.047

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN PROGRAM PROFESI NERS BANJARMASIN 2014 i

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN 7 (TUJUH) KASUS : HARGA DIRI RENDAH KRONIS, ISOLASI SOSIAL, HALUSINASI, WAHAM, DEFISIT PERAWATAN DIRI, RESIKO BUNUH DIRI, DAN PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SAMBANG LIHUM

Tanggal 06 Agustus 2014 s/d 30 Agustus 2014

OLEH :

RONALD BASTEN, S.Kep NIM.113063J1.13.047

Banjarmasin, Agustus 2014 Mengetahui,

CI Akademik,

CI Lahan,

(…………………...………………..)

(…………………...………………..)

ii

DAFTAR ISI

COVER .............................................................................................

i

LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................

ii

DAFTAR ISI .....................................................................................

iii

LAPORAN PENDAHULUAN 1. Harga Diri Rendah Kronis .......................................................

1

2. Isolasi Sosial ...........................................................................

10

3. Halusinasi ...............................................................................

19

4. Waham ....................................................................................

31

5. Defisit Perawatan Diri .............................................................

41

6. Resiko Bunuh Diri ...................................................................

46

7. Perilaku Kekerasan ..................................................................

58

DAFTAR PUSTAKA

iii

LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS

1

LAPORAN PENDAHULUAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS

A. Masalah Utama Harga Diri Rendah Kronis

B. Proses Terjadinya Masalah 1. Pengertian  Evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan (Townsend, 1998).  Penilaian negatif seseorang terhadap diiri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung (Schult dan Videbeck, 1998).  Perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 2005).

2. Tanda dan gejala Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan gangguan harga diri rendah kronis  Mengkritik diri sendiri.  Perasaan tidak mampu.  Pandangan hidup yang pesimistis.  Tidak menerima pujian.  Penurunan produktivitas.  Penolakan terhadap kemampuan diri.  Kurang memperhatikan perawatan diri.  Berpakaian tidak rapi.  Selera makan berkurang.  Tidak berani menatap lawan bicara.  Lebih banyak menunduk.  Bicara lambat dengan nada suara lemah. 2

3. Rentang respons

Respons

Respon

Adaptif

Aktualisasi diri

Maladaptif

Konsep diri positif

Harga diri rendah kronis

Keracunan identitas

Depersonalisasi

Gambar 1.1. Rentang Respon Harga Diri Rendah Kronis Sumber: Keliat (1999)

4. Etiologi a. Faktor predisposisi Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan orangtua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggungjawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.

b. Faktor presipitasi Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan serta menurunnya produktivitas. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara situasional maupun kronik. Situasional. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis yang terjadi secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban pemerkosaan atau menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga bisa menyebabkan rendanya harga diri seseorang di karenakan penyakit fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga.

3

Kronik. Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis biasanya sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat. Baik faktor predisposisi maupun presipitasi diatas apabila telah mempengaruhi seseorang baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak, maka dianggap telah mempengaruhi koping individu tersebut sehingga menjdai tidak efektif (mekanisme koping tidak efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa adanya intervensi lebih lanjut dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki kemauan untuk bergaul dengan orang lain (isolaasi sosial). Klien yang mengalami isolasi sosial dapat membuat klien asik dengan dunia dan pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko perilaku kekerasan.

5. Teori Para Ahli mengenai Harga Diri Rendah Kronis Peplau dan Sulivan dalam keliat (1999) mengatakan bahwa pengalaman interpersonal di masa atau tahap perkembangan dari bayi sampai lanjut usia yang tidak menyenangkan seperti good me, bad me, not me, merasa sering dipermasalahkan atau merasa tertekan kelak, akan menimbulkan perasaan ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak efektif dapat menyebabkan harga diri rendah kronis. Caplan dalam Keliat (1999) mengatakan bahwa lingkungan sosial, pengalaman individu dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak oleh lingkungan sosial, serta tidak dihargai akan mempengaruhi individu. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku akibat harga diri rendah.

4

C. Pohon Masalah Resiko Tinggi (Resti) Perilaku Kekerasan

Effect

Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Isolasi Sosial

Harga diri rendah kronis

Core Problem

Causa

Koping Individu Tidak Efektif

Gambar 1.2. Pohon Masalah Harga Diri Rendah Kronis

D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Harga diri rendah kronis. 2. Koping individu tidak efektif. 3. Isolasi sosial. 4. Perubahan persepsi sensori: halusinasi. 5. Risiko tinggi perilaku kekerasan.

E. Data yang Perlu Dikaji Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji Harga diri rendah Subjektif: kronis  Mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna.  Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu.  Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk beraktivitas atau bekerja.  Mengungkapkan dirinya malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias, makan atau toileting).

5

Objektif:  Mengkritik diri sendiri.  Perasaan tidak mampu.  Pandangan hidup yang pesimistis.  Tidak menerima pujian.  Penurunan produktivitas.  Penolakan terhadap kemampuan diri.  Kurang memperhatikan perawatan diri.  Berpakaian tidak rapi.  Selera makan berkurang.  Tidak berani menatap lawan bicara.  Lebih banyak menunduk.  Bicara lambat dengan nada suara lemah. G. Diagnosis Keperawatan Harga diri rendah kronis

H. Rencana Tindakan Keperawatan 1. Tindakan keperawatan pada klien  Tujuan a. Klien mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki. b. Klien mampu menilai kemampuan yang dapat digunakan. c. Klien mampu menetapkan atau memilih kegiatan yang sesuai kemampuan. d. Klien

mampu

melatih

kegiatan

yang

sudah

dipili

sesuai

kemampuannya. e. Klien mampu merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.  Tindakan keperawatan a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien. Perawat dapat melakukan hal-hal berikut untuk membantu klien mengungkapkan

kemampuan

dimilikinya.

6

dan

aspek

positif

yang

masih

1) Mendiskusikan bahwa klien masih memiliki sejumlah kemampuan dan aspek positif seperti kegiatan klien di rumah, adanya keluarga dan lingkungan terdekat 2) Beri pujian yang realistis atau nyata dan hindarkan penilaian yang negatif setiap kali bertemu dengan klien b. Membantu klien dalam menilai kemampuan yang dapat digunakan. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan saat ini setelah mengalami bencana. 2) Bantu klien menyebutkannya dan beri penguatan terhadap kemampuan diri yang berhasil diungkapkan klien. 3) Perlihatkan respons yang kondusif dan jadilah pendengar yang aktif. c. Membantu klien agar dapat memilih atau menetapkan kegiatan sesuai dengan kemampuan. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Mendiskusikan dengan klien beberapa aktivitas yang dapat dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan klien lakukan sehari-hari. 2) Bantu klien menetapkan aktivitas yang dapat dilakukan secara mandiri. Tentukan aktivitas-aktivitas yang memerlukan bantuan minimal dan bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat klien. Berikan contoh cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan klien dan buatlah daftar aktivitas atau kegiatan seharihari. d. Melatih kegiatan klien yang sudah dipilih sesuai kemampuan. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Mendiskusikan dengan klien untuk menetapkan urutan kegiatan (yang sudah dipilih klien) yang akan dilatihkan. 2) Berasama klien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan yang akan dilakukan klien.

7

3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata pada setiap kemajuan yang diperlihatkan klien. e. Membantu

klien

agar

dapat

merencanakan

kegiatan

sesuai

kemampuannya. Untuk mencapai tujuan dari tindakan keperawatan tersebut, dapat melakukan hal-hal berikut: 1) Memberi kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah dilatihkan. 2) Beri pujian atas aktivitas atau kegiatan yang dapat dilakukan klien setiap hari. 3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan setiap aktivitas. 4) Menyusun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama klien dan keluarga. 5) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya setelah melaksanankan kegiatan. 6) Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan klien

2. Tindakan keperawatan pada keluarga  Tujuan a. Keluarga dapat membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki klien. b. Keluarga memfasilitasi aktivitas klien yang sesuai kemampuan. c. Keluarga memotivasi klien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan latihan yang telah dilakukan. d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan klien  Tindakan keperawatan a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien. b. Jelaskan kepada keluarga tentang kondisi klien yang mengalami gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis. c. Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki klien.

8

d. Jelaskan cara-cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis. e. Demonstrasikan cara merawat klien dengan gangguan konsep diri: harga diri rendah. f. Bantu keluarga menyusun rencana kegiatan klien di rumah.

9

LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

10

LAPORAN PENDAHULUAN ISOLASI SOSIAL

A. Masalah Utama Isolasi Sosial

B. Proses Terjadinya Masalah 1. Pengertian  Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).  Merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan maupun komunikasi dengan orang lain (Rawlins, 1993).  Kerusakan interaksi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial (Depkes RI, 2000).  Merupakan upaya menghindari suatu hubungan komunikasi dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup berbagi pengalaman (Balitbang, 2007).  Suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Towndsend, 1998).  Kerusakan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimaria seeorang berpartisipasi dalam pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang

11

tidak efektif. Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesutitan dalam berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada menarik diri (Townsend, 1998).  Kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel, tingkah maladaptif, dan mergganggu fungsi individu dalam hubungan sosialnya (Stuart dan Sundeen, 1998).

2. Tanda dan gejala Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isilasi sosial:  Kurang spontan.  Apatis (acuh terhadap lingkungan).  Ekspresi wajah kurang berseri.  Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.  Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.  Mengisolasi diri.  Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.  Asupan makanan dan minuman terganggu.  Retensi urine dan feses.  Aktivitas menurun.  Kurang energi (tenaga).  Rendah diri.  Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi tidur). Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori: halusinasi dan risiko mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan. Perilaku yang tertutup dengan orang lain juga bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang akhirnya bisa berpengaruh terhadap ketidakmampuan untuk melakukan perawatan secara mandiri. Seseorang yang

mempunyai

harga

diri

rendah

awalnya

disebabkan

oleh

ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, sehingga 12

orang tersebut berperilaku tidak normal (koping individu tidak efektif). Peranan keluarga cukup besar dalam mendorong klien agar mampu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, bila sistem pendukungnya tidak baik (koping keluarga tidak efektif) maka akan mendukung seseorang memiliki harga diri rendah.

3. Rentang Respons

Respon Adaptif

Menyendiri Otonomi Bekerja sama Interdependen

Respon Maladaptif

Merasa sendiri Depedensi Curiga

Menarik diri Ketergantungan Manipulasi Curiga

Gambar 2.1. Rentang Respons Isolasi Sosial Sumber: Townsend (1998)

Berikut ini akan dijelaskan tentang respons yang terjadi pada isolasi sosial  Respons adaptif Respons adaptif adalah respons yang masih dapat diterima oleh normanorma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut ini adalah sikap yang termasuk respons adaptif a. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya. b. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide, pikiran dan perasaan dalam hubungan sosial. c. Bekerja sama, kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama lain. d. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal.

13

 Respons maladaptif Respons maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respons maladaptif a. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. b. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri sehingga tergantung dengan orang lain. c. Manipilasi, seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam. d. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain.

4. Etiologi a. Faktor Predisposisi  Faktor Tumbuh Kembang Pada

setiap

tahapan

tumbuh

kembang

individu

ada

tugas

perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah. Table 2.1. Tugas perkembangan berhubungan dengan Pertumbuhan Interpersonal Tahap Perkembangan Masa Bayi Masa Bermain Masa Prasekolah Masa Sekolah Masa Praremaja

Tugas Menetapkan rasa percaya. Mengembangkan otonomi dan awal perilaku mandiri. Belajar menunjukan inisiatif, rasa tanggungjawab dan hati nurani. Belajar berkompetisi, bekerja sama dan berkompromi. Menjalin hubungan intim dengan teman sesama jenis kelamin.

14

Masa Remaja Masa Dewasa Muda

Masa Tengah Baya Masa Dewasa Tua

Menjadi intim dengan teman lawan jenis atau bergantung pada orang tua. Menjadi saling bergantung antara orang tua dan teman, mencari pasangan , menikah dan mempunyai anak. Belajar menerima hasil kehidupan yang sudah dilalui. Berduka karena kehilangan dan mengembangkan perasaan keterikatan dengan budaya.

Sumber: Stuart dan Sundeen (1995), hlm. 346  Faktor Komunikasi dalam Keluarga Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.  Faktor Sosial Budaya Isolasi sosial ada atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang salah dianut oleh keluarga, diaman setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti usia lanjut, berpenyakit kronis dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya.  Faktor Biologis Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang menaglami masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang abnormal pada otak seperti

15

atrofi otak, serta perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik ddan daerah kortikal. b. Faktor presipitasi Terjadinya gangguan hubungan sosial juga dapat ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor steresorpresipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:  Faktor eksternal Contohnya adalah stresor sosial budaya, yaitu stres yang ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.  Faktor internal Contohnya adalah stresor psikologis, yaitu stres terjadi akibat ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat atau tidak terpenuhinya kebutuhan individu.

C. Pohon Masalah Resti Mencederai Diri, Orang Lain, dan Lingkungan

Defisit Perawatan Diri

PPS: Halusinasi

Intoleransi Aktivitas

Isolasi sosial

Harga Diri Rendah Kronis

Koping Individu Tidak Efektif

Koping Keluarga Tidak Efektif

Gambar 2.2. Pohon Masalah Isolasi Sosial

16

D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Isolasi sosial. 2. Harga diri rendah kronis. 3. Perubahan persepsi sensori: halusinasi. 4. Koping individu tidak efektif. 5. Koping keluarga tidak efektif. 6. Intoleransi aktivitas. 7. Defisit perawatan diri. 8. Risiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

E. Data yang Perlu Dikaji Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji Isolasi sosial Subjektif:  Klien mengatakan malas bergaul dengan orang lain.  Klien mengatakan dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta untuk sendirian.  Klien mengatakan tidak mau berbicara dengan orang lain.  Tidak mau berkomunikasi.  Data tentang klien biasanya didapat dari keluarga yang mengetahui keterbatasan klien (suami, istri, anak, ibu, ayah atau teman dekat). Objektif:  Kurang spontan.  Apatis (acuh terhadap lingkungan).  Ekspresi wajah kurang berseri.  Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.  Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.  Mengisolasi diri.  Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.  Asupan makanan dan minuman terganggu.  Retensi urine dan feses.  Aktivitas menurun.  Kurang energi (tenaga).  Rendah diri.  Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada posisi tidur).

17

F. Diagnosis Keperawatan Isolasi Sosial

G. Rencana Tindakan Keperawatan 1. Tindakan keperawatan untuk klien.  Membina hubungan saling percaya.  Menyadari penyebab isolasi sosial.  Mengetahui keuntungan dan kerugian berinteraksi dengan orang lain.  Melakukan interaksi dengan orang lain secara bertahap. 2. Tindakan keperawatan untuk Keluarga  Keluarga mengetahui masalah isolasi sosial dan dampaknya pada klien.  Keluarga mengetahui penyebab isolasi sosial.  Sikap keluarga untuk membantu klien mengatasi isolasi sosialnya.  Keluarga mengetahui pengobatan yang benar untuk klien.  Keluarga mengetahui tempat rujukan dan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi klien.

18

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

19

LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

F. Masalah Utama Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

G. Proses Terjadinya Masalah 1. Pengertian  Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi senssori: halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana kien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, pengelihatan, pengecapan, perabaan, atau pengiduan. Klien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi sensori: halusinasi bisa juga diartikan sebagai persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliupti semua sistem penginderaan (pendengaran, pengelihatan, penciuman, perabaan, pengecapan).  Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari lingkungan (Depkes RI, 2000).  Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal dan eksternal) diertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan atau kelainan berespons terhadap stimulus (Towsend, 1998).  Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran, penglihatan, taktil, atau penciuman yang ada stimulus eksterna (Antai Otong, 1995).  Gangguan penyerapan/persepsi, panca indra tanpa adanya rangsangan dari luar. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem penginderaan pada saat kesadaran individu tersebut penuh dengan baik. Maksudnya rangsanga terebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan lain klien berspons terhadap rangsangan 20

yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Wilson, 1983).

2. Teori yang Menjelaskan Halusinasi (Stuart dan Suundeen, 1995)  Teori biokimia Terjadi sebagai respon metabolisme terhadap stres yang mengakibatkan terlepasnya

zat

halusinogenik

neurotik

(buffofenon

dan

dimethytransferase).  Teori psikoanalisis Merupakan respon pertahanaan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.

3. Jenis Halusinasi serta Data Objektif dan Data Subjektif Berikut ini akan dijelas mengenai ciri-ciri yang objektif dan subjektif pada klien dengan halusinasi.

Table 3.1. Jenis Halusinasi serta Ciri Objektif dan Subjektif Klien yang Mengalami Halusinasi Jenis Halusinasi Data Objektif Halusinasi Dengar  Bicara atau tertawa (klien mendengar sendiri. suara/bunyi yang tidak  Marah tanpa sebab. ada hubungannya dengan stimulus yang  Mendekatkan telinga kearah nyata/lingkungan). tertantu.  Menutup telinga. Halusinasi Penglihatan  Menunjuk kearah (klien melihat gambaran tertentu. yang jelas/samar  Ketaktakutan pada terhadap adanya sesuatu yang tidak stimulus yang nyata dari jelas. lingkungan dan orang lain tidak melihatnya). Halusinasi Penciuman  Mengendus-endus (klien mencium suatu seperti sedang bau yang mucnul dari membaui bau-bauan sumber tertentu tanpa tertentu. stimulus yang nyata).  Menutup hidung. 21

Data Subjektif  Mendengar suara-suara atau kegaduhan.  Mendengar suara yang mengajak bercakapcakap.  Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya. Melihat bayangan, sinar, bentuk giometris, kartun, melihat hantu, atau monster.

Membaui bau-bauan seperti bau darah, utin, feses, dan terkadang baubau tersebut

menyenangkan bagi klien. Halusinasi Pengecapan (klien merasakan sesuatu yang tidak nyata, biasanya merasakan rasa makanan yang tidak enak). Halusinasi Perabaan (klien merasakan pada kulitnya tanpa ada stimulus yang nyata)

 Sering meludah.  Muntah.

Merasakan rasa seperti darah, urin, atau feses.

 Mengatakan ada serangga dipermukaan kulit.  Merasa seperti tersengat listrik. badannya kakinya Mengatakan Halusinasi Kinestetik Memegang (klien berasa badannya yang dianggapnya melayang diudara. bergerak dalam suatu bergerak sendiri. ruangan atau anggota badannya bergerak). perutnya Halusinasi Viseral Memegang badannya Mengatakan (perasaan tertentu timbul yang dianggapnya menjadi mengecil setelah dalam tubuhnya). berubah bentuk dan meminum soft drink tidak normal seperti biasanya Menggaruk-garuk permukaan kulit.

Sumber: Stuart dan Sundeen (1998)

4. Etiologi a. Faktor predisposisi Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah submber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres itu. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Faktor predisposisi dapat meliputi faktor perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis dan genetik.  Faktor Perkembangan Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stres dan kecemasan.  Faktor Sosiokultural 22

Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang membesarkannya.  Faktor Biokimia Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika sesorang mengalami stres yang berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytransferase (DMP)  Faktor Psikologis Adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima sesorang akan mengakibatkan stres dan kecemasan tinggi dan berakhir pada gangguan orientasi realitas.  Faktor Genetik Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui tetapi hasil studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sanga berpengaruh pada penyakit ini.

b. Faktor presipitasi Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari lingkungan seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak berkomunikasi, objek yang ada dilingkungan, dan juga suasana sepi atau terisolasi sering menjadi pencetus terjdinya halusinasi. Hal tersebut dapat menigkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

c. Perilaku Respons klien terhadap halusinasi dapat beruap rasa curiga, takut, tidak aman, gelisah, dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock

23

(1993) mencoba memecakhkan masalah halusniasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang indivudu sebagai makhluk yangn dibangun atas dasar unusr-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu sebagai berikut: 1. Dimensi Fisik Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi rangsangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama. 2. Dimensi Emosional Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.

Klien

tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat sesuatu terhadap ketakutannya. 3. Dimensi Intelektual Dimensi Intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami halusinasi akan memperlaihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang

menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan

kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengontrol semua prilaku klien. 4. Dimensi Sosial Dimensi sosial pada individu yang mengalami halusinasi menunjukan kecenderungan

untuk

menyendiri.

Individu

asyik

dengan

halusinasinya, seolah-olah ia nerupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau orang lain. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperwatan

24

pada klien yang mengalami halusinasi adalah dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak menyendiri. Jika klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan halusinasi tidak terjadi. 5. Dimensi Spiritual Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses di atas tidak terjadi. Individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasi dirinya, individu kehilangan kontrol terhadap kehidupan nyata. d. Sumber Koping Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan.

Sumber

koping

tersebut

sebagai

modal

untuk

menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil. e. Mekanisme Koping Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stres, termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan untuk melindungi diri. 5. Tahap Halusinasi  Tahap I (Non-psikotik) Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien. Karakteristik:

25

a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan. b. Mencoba

berfokus

pada

pikiran

yang

dapat

menghilangkan

kecemasan. c. Pikiran dan pengalam masih ada dalam kontrol kesadaran. Perilaku yang muncul: a. Tersenyum atau teratawa sendiri. b. Menggerakan bibir tanpa suara. c. Pergerakan mata yang cepat. d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.  Tahap II (Non-psikotik) Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan berat. Secara umum halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipati. Karakteristik: a. Pengalaman

sensori

yang

menakutkan

atau

dilecehkan

oleh

pengalaman tersebut. b. Mulai merasakan kehilangan control. c. Menarik diri dari orang lain. Perilaku yang muncul: a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah b. Perhatian terhadap lingkungan menurun c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori pun menurun d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dengan realita  Tahap III (Psikotik) Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendir, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi. Karakteristik: a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya. b. Isi halusinasi menjadi atraktif.

26

c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir. Perilaku yang muncul: a. Klien menuruti perintah halusinasi. b. Sulit berhubungan dengan orang lain. c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat. d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata. e. Klien tampak tremor dan berkeringat.

 Tahap IV (Psikotik) Klien sudah sangat disukai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panic. Perliaku yang muncul: a. Resiko tinggi menciderai. b. Agitasi/kataton. c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada. Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan seorang yang menarik diri dari lingkungannya karena orang tersebut menialai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang menyruh pada kejelekan, maka akan berisiko terhadap perilaku kekerasan.

H. Pohon Masalah

Effect

Core Problem

Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi

Isolasi Sosial

Cause

27

Harga Diri Rendah Kronis Gambar 3.1. Pohon Masalah Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi I. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Resiko tinggi perilaku kekerasan. 2. Perubahan persepsi sensori. 3. Isolasi sosial. 4. Harga diri rendah kronis.

J. Data yang Perlu Dikaji Data yang perlu dikaji

Masalah Keperawatan Perubahan persepsi sensori: halusinasi

Subjektif:    

Klien mengatakan mendengar sesuatu. Klien megatakan melihat bayangan putih. Klien mengatakan seperti disengat listrik. Klien mengatakan mencium bau-bauan yang tidak sedap.  Klien mengatakan kepalanya melayang di udara.  Klien mengatakan dirinya merasakan ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Objketif  Klien terlihat berbicara atau tertawa sendiri saat dikaji.  Berhenti berbicara ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu.  Disorientasi.  Konsentrasi rendah.  Pikiran cepat berubah-ubah.  Kekacuan alur pikiran.

K.Diagnosa Keperawatan Peruabahan persepsi sensori: halusinasi. L. Rencana Tindakan Keperawatan 28

1. Tindakan Keperawatan untuk Klien  Tujuan tidakan untuk klien adalah sebagai berikut. a. Klien mengenali halusinasi yang dialaminya b. Klien dapat mengontrol halusinasinya c. Klien mengikuti program pengobatan secara optimal  Tindakan keperawatan a. Membantu klien mengenali halusinasinya. Diskusi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu klien mengenali halusinasinya. Perawat dapat berdiskusi dengan klienb terkait isi halusinasinya (apa yang didengat atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi situasi yang menyebabkan halusinasi muncul dan perasaan klien saat halusinasi muncul (komunikasinya sama dengan pengkajian diatas). b. Melatih klien mengontrol halusinasi. Perawat dapat melatih empat cara dalam mengendalikan halusinasi pada klien. Keempat cara tersebut adalah menghadrik halusinasi, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan aktifitas yang terjadwal dan mengonsumsi obat secara teratur.

2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien a. Tujuan tindakan untuk keluarga Keluarga dapat merawat klien di rumah dan menjadi system pendukung yang efektif untuk klien. b. Tindakan keperawatan Keluarga merupakan faktor vital dalam penanganan klien gangguan jiwa di rumah, hal ini mengingat keluarga adalah system pendukung terdekat dan orang yang bersama-sama denga klien selama 24 jam. Keluarga sangat menentukan apakah klien akan kambuh atau tetap sehat. Keluarga yang mendukung klien secara konsisten akan membuat klien mempu mempertahankan program pengobata secara optimal. Namun demikian, jika keluarga tidak mampu merawat maka klien akan kambuh bahkan

29

untuk memulihkannya kembali akan sangat sulit. Oleh karena itu, perawat harus melatih keluarga agar mampu merawat klien gangguan jiwa di rumah. Pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat dilakukan melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah menjelaskan tentang masalah yang dialami oleh klien dan pentingnya peran keluarga untuk merawat klien. Tahap kedua adalah melatih kelurga untuk merawat klien dan tahap yang ketiga yaitu melatih keluarga untuk merawat klien langsung. Informasi yang perlu disampaikan kepada keluarga meliputi pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang dialami oleh klien, tanda dan gejala halusiansi, proses terjadinya halusinasi, cara merawat klien halusinasi (cara berkomunikasi, pemberian obat dan pemberian aktivitas kepada klien) serta sumber-sumber pelayanan kesehatan yang biasa dijangkauan.

30

LAPORAN PENDAHULUAN WAHAM

31

LAPORAN PENDAHULUAN WAHAM

A. Masalah Utama Perubahan Proses Pikir : Waham.

B. Proses Terjadinya Masalah 1. Pengertian  Waham adalah keyakinan terhadap sesuatu yang salah dan secara kukuh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realita normal (Stuart dan Sundeen, 1998).  Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yabg sudah kehilangan kontrol (Depkes RI, 2000).  Waham adalah sesuatu keyakinan yang berdasarkan penilaian realitas yang salah, keyakinan yang tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan merespon stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi atau informasi secara akurat (Keliat, 1999).

2. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala pada klien dengan perubahan proses pikir: waham adalah sebagai berikut.  Menolak makan.  Tidak ada perhatian pada perawatan diri.  Ekspresi wajah sedih/gembira/ketakutan.  Gerakan tidak terkontrol.  Mudah tersinggung.  Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.  Menghindar dari orang lain.  Mendominasi pembicaraan.

32

 Berbicara kasar.  Menjalankankegiatan keagamaan secara berlebihan.

3. Rentang Respons Respons Adaptif

    

Respons Maladaptif

Pikiran logis Persepsi akurat Emosi konsisten dengan pengalaman Perilaku sesuai Hubungan sosial harmonis

    

Kadang proses terganggu Ilusi Emosi berlebihan Berperilaku yang biasa Menarik diri

pikir

  

tidak



Gangguan isi pikir halusinasi Perubahan proses emosi Perilaku tidak terorganisasi Isolasi sosial

Gambar 4.1. Rentang Respons Perubahan Proses Pikir Waham Sumber : Keliat (1999)

4. Faktor Predisposisi  Faktor Perkembangan Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.  Faktor Sosial Budaya Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya waham.  Faktor Psikologis Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda/bertentangan, dapat menimbulkan ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.  Faktor Biologis Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.  Faktor Genetik

33

5. Faktor Presipitasi  Faktor Sosial Budaya Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan rang yang berarti atau diasingkan dari kelompok.  Faktor Biokimia Dopamin, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi penyebab waham pada seseorang.  Faktor Psikologis Kecemasan yang memanjang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyaaan yang menyenangkan.

6. Macam-macam Waham  Waham Agama Keyakiana terhadap suatu agama secara berlebihan, diucapkan berulangulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh: “Kalau saya mau masuk surga saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari,” atau klien mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan yang dapat mengendalikan makhluknya.  Waham Kebesaran Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain, diucapkan berulangulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh: “Saya ini pejabat di Departemen Kesehatan lho...” “Saya punya tambang emas!”  Waham Curiga Keyakinan bahwa seseorang atau sekelompok orang berusaha merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh:

34

“Saya tahu... semua saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena mereka semua iri dengan kesuksesan yang dialami saya.”  Waham Somatik Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh: Klien selalu mengatakan bahwa dirinya sakit kanker, namun setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya sel kanker pada tubuhnya.  Waham Nihilistik Keyakinan seseorang bahwa diriya sudah meninggal dunia, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh: “Ini kan alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh.”  Waham tersangkut Penderita percaya bahwa setiap kejadian di sekelilingnya mempunyai hubungan pribadi seperti perintah atau pesan khusus. Penderita percaya bahwa orang asing disekitarnya memperhatikan dirinya, penyiar televisi dan broadcasting mengirimkan pesan dengan bahasa sandi.  Waham bizarre Merupakan waham yang aneh. Termasuk dalam waham bizarre, antara lain : waham sisip pikir/thought of insertion (percaya bahwa seseorang telah menyisipkan pikirannya ke kepala penderita); waham siar pikir/thought of broadcasting (percaya bahwa pikiran penderita dapat diketahui orang lain, orang lain seakan-akan dapat membaca pikiran penderita); waham sedot pikir/thought of withdrawal (percaya bahwa seseorang telah mengambil keluar pikirannya), waham kendali pikir, waham hipokondri.

35

 Waham Hipokondri Penderita percaya bahwa di dalam dirinya ada benda yang harus dikeluarkan sebab dapat membahayakan dirinya.  Waham Cemburu Cemburu disini adalah cemburu yang bersifat patologis, yaitu cemburu yang sudah abnormal.  Waham Curiga Curiga patologis sehingga curiganya sangat berlebihan.  Waham Diancam Kepercayaan bahwa dirinya selalu diikuti, diancam, diganggu atau ada sekelompok orang yang selalu mengusik hidupnya.  Waham Berdosa Percaya bahwa dirinya berdosa sehingga selalu mengurung diri, murung, menghindar dari lingkungan.  Waham Tak Berguna Percaya bahwa dirinya tak berguna lagi sehingga sering berpikir lebih baik mati (bunuh diri).

7. Status Mental Berdandan dengan baik dan berpakaian rapi, mungkin terlihat eksentrik dan aneh. Tidak jarang bersikap curiga atau bermusuhan terhadap orang lain. Klien biasanya cerdik ketika dilakukan pemeriksaan sehingga dapat memanipulasi data. Selain itu perasaan hatinya konsisten dengan isi waham.

8. Sensori dan Kognisi Tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali klien waham spesifik terhadap orang, tempat, dan waktu. Daya ingat atau kognisi lainnya biasanya akurat. Pengendalian impuls pada klien waham perlu diperhatikan bila terlihat adanya rencana untuk bunuh diri, membunuh, atau melakukan kekerasan pada orang lain. Gangguan proses pikir: waham biasanya diawali dengan adanya riwayat penyakit berupa kerusakan pada bagian korteks dan limbik otak.

36

Bisa dikarenakan terjatuh atau didapat ketika lahir. Hal ini mendukung terjadinya perubahan emosional seseorang yang tidak stabil. Bila berkepanjangan akan menimbulkan perasaan rendah diri, kemudian mengisolasi diri dari orang lain dan lingkungan. Waham kebesaran akan timbul sebagai manifestasi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya. Bila respons lingkungan kurang mendukung terhadap perilkunya dimungkinkan akan timbul risiko perilaku kekerasan pada orang lain.

C. Pohon Masalah

Effect

Risiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Core Problem

Perubahan Sensori Waham

Causa

Isolasi Sosial: Menarik Diri

Harga Diri Rendah Kronis

Gambar 4.2. Pohon Masalah Perubahan Proses Pikir : Waham

D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Resiko tinggi perilaku kekerasan. 2. Perubahan proses pikir : waham. 3. Isolasi sosial. 4. Harga diri rendah.

37

E. Data yang Perlu Dikaji Masalah Keperawatan Perubahan proses pikir : Waham kebesaran

Data yang Perlu Dikaji Subjektif :  Klien mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang paling hebat.  Klien mengatakan bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus. Objektif :  Klien terus berbicara tentang kemampuan yang dimilikinya.  Pembicaraan klien cenderung berulangulang.  Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan.

F. Diagnosis Keperawatan Perubahan proses pikir : waham kebesaran.

G. Rencana Tindakan Keperawatan 1. Tindakan keperawatan pada klien  Tujuan a. Klien dapat berorientasi terhadap realitas secara bertahap. b. Klien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. c. Klien menggunakan obat dengan prinsip enam benar.  Tindakan a. Bina hubungan saling percaya Sebelum memulai pengkajian pada klien dengan waham, Saudara harus membina hubungan saling percaya terlebih dahulu agar klien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi. Tindakan yang harus Saudara lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah sebagai berikut. 1) Mengucapkan salam terapeutik. 2) Berjabatan tangan. 3) Menjelaskan tujuan interaksi.

38

4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien). b. Tidak mendukung atau membantah waham klien. c. Yakinlah klien berada dalam keadaan aman. d. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari. e. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak tepenuhi karena dapat menimbulkan kecemasan, rasa takut dan marah. f. Jika klien terus menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa memberikan dukungan atau menyangkal sampai klien berhenti membicarakannya. g. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi klien sesuai dengan realitas. h. Diskusikan dengan klien kemampuan realitas yang dimiliki pada saat yang lalu dan saat ini. i. Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuan yang dimilikinya. j. Diskusikan kebutuhan psikologis/emosional yang tidak terpenuhi sehingga menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah. k. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional klien. l. Berbicara dalam konteks realitas. m. Bila klien mampu memperlihatkan kemampuan positifnya. n. Berikan pujian yang sesuai. o. Jelaskan pada klien tentang program pengobatannya (manfaat, dosis obat, jenis, dan efek samping obat yang diminum serta cara meminum obat yang benar). p. Diskusikan akibat yang terjadi bila klien berhenti minum obat tanpa konsultasi.

2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien  Tujuan a. Keluarga mampu mengidentifikasi waham klien.

39

b. Keluarga mempu memfasilitasi klien untuk memenuhi kebutuhan yang belum dipenuhi oleh wahamnya. c. Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan klien secara oprimal.  Tindakan keperawatan a. Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami klien. b. Diskusikan dengan keluarga tentang cara merawat klien waham di rumah, follow up dan keteraturan pengobatan, serta lingkungan yang tepat untuk klien. c. Diskusikan dengan keluarga tentang obat klien (nama obat, dosis, frekuensi, efek samping dan akibat penghentian obat). d. Diskusikan dengan keluarga kondisi klien yang memerlukan bantuan.

40

LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

41

LAPORAN PENDAHULUAN DEFISIT PERAWATAN DIRI

M.

Masalah Utama

Defisit Perawatan Diri

N. Proses Terjadinya Masalah 1. Pengertian Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktifitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK (toileting).

2. Tanda dan Gejala  Mandi/hygiene. Klien mengalami ketidak mampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.  Berpakaian/berhias. Klien mempunyai kelemahan dalam meletakan atau mengambil potongan pakaian, menganggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian. Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang memuaskan, mengambil pakaian dan mengenakan sepatu.  Makan. Klien

mempunyai

ketidakmampuan

dalam

menelan

makanan,

mempersiapkan makanan, menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan

alat

tambahan,

mendapatkan

makanan,

membuka

kontainer, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan

42

dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkit atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.  BAB/BAK (toileting). Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat dan menyiram toilet atau kamar kecil. Keterbatasan keperawatan diri diatas biasanya diakibatkan karena stressor yang cukup berat dan sulit ditangani oleh klien, sehingga drinya tidak mau mengurus atau merawat dirinya sendiri baik dalam hal mandi, nerpakaian, berhias, makan, maupun BAB dan BAK. Bila tidak dilakukan intervensi oleh perawat, maka kemungkinan kliebn bisa mengalami masalah resiko tinggi isolasi sosial.

O. Pohon Masalah

Effect

Resiko Tinggi Isolasi Sosial

Core Problem

Defisit Perawatan Diri

Causa

Harga Diri Rendah

Gambar 5.1. Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri

43

P. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Defisit perawatan diri. 2. Harga diri rendah. 3. Risiko tinggi isolasi sosial.

Q. Data yang Perlu Dikaji Masalah Keperawatan Defisit perawatan diri

Data yang Perlu Dikaji Subjektif :  Klien mengatakan dirinya malas mandi karena airnya dingin atau di RS tidak tersedia alat mandi.  Klien mengatakan dirinya malas berdandan.  Klien mengatakan ingin disuapi makan.  Klien mengatakan jarang membersihkan alat kelaminnya setelah BAK maupun BAB. Objektif :  Ketidak mampuan mandi/membersihkan diri ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan berbau serta kuku panjang dan kotor.  Ketidakmampuan berpakaian/berhias ditandai dengan rambut acak-acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur (laki-laki) atau tidak berdandan (wanita).  Ketidakmampuan makan secara mandiri ditandai dengan ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran dan makan tidak pada tempatnya.  Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai BAK/BAB tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK.

R. Diagnosis Keperawatan Defisit perawatan diri

44

S. Rencana Tindakan Keperawatan 1. Tujuan Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri seperti mandi/membersihkan diri, berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK. 2. Tindakan Keperawatan untuk Klien  Mengkaji kemampuan melakukan perawatan diri yang meliputi. mandi/membersihkan diri, berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK  Memberikan

latihan

cara

melakukan

mandi/membersihkan

diri,

berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK secara mandiri  Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kurang perawatan diri. 3. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga Klien Keluarga dapat meneruskan melatih klien dan mendukung agar kemampuan klien dalam merawat dirinya meningkat.  Diskusikan dengan keluarga tentangf fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan oleh klien agar dapat menjaga kebersihan diri.  Anjurkan keluarga untuk terlibat dalam merawat dan membantu klien dalam merawat diri (sesuai jadwal yang telah disepakati).  Anjurkan keluarga untuk memberikan pujian atas keberhasilan klien dalam merawat diri.

45

LAPORAN PENDAHULUAN RISIKO BUNUH DIRI

46

LAPORAN PENDAHULUAN RISIKO BUNUH DIRI

T. Masalah Utama Risiko Bunuh Diri

U. Proses Terjadinya Masalah 3. Pengertian Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995).

4. Tanda dan Gejala  Mempunyai ide untuk bunuh diri.  Mengungkapkan keinginan untuk mati.  Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.  Impulsif.  Menunjukan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).  Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.  Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat dosis mematikan).  Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah dan mengasingkan diri).  Kesehatan mental (biasanya pada klien dengan penyakit atau mengalami kegagalan dalam karier.  Umur 15 – 19 tahun atau di atas 45 tahun.  Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).

47

 Penganguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau mengalami kegagalan dalam karier).  Pekerjaan.  Konflik interpersonal.  Latar belakang keluarga.  Orientasi seksual.  Sumber-sumber personal.  Sumber-sumber sosial.  Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

5. Rentang Respons

Rentang Respons Protektif Diri

Respons Adaptif

Peningkatan diri

Respons Maladaptif

Beresiko destruktif

Destruktif diri tidak langsung

Pencederaan diri

Bunuh diri

Gambar 6.1. Rentang Respons Protektif Diri Sumber: Keliat (1999)  Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan diri secara wajar terhadap sitosional yang membutuhan pertahanan diri. Sebagai contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan di tempat kerjanya.  Beresiko destruktif. Seseorang memiliki kecenderungan atau beresiko mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang merasa patah semangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal terhadap pimpinan padahal sudah melakukan pekerjaan secara optimal.

48

 Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang kurang tepat (maladaptif) terhadap situasi yang membutuhkan dirinya untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seorang karyawan menjadi tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.  Pencederaan diri. Seseorang melakukan perccobaan bunuh diri atau pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.  Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai dengan nyawanya hilang.

Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut.  Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian. Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau di abaikan. Orang yang hanya berniat melakukan upaya bunuh diri dan tidak benar-benar ingi mati mungkin akan mati jika tandatanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.  Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk usaha mempengaruhi perilaku orang lain.  Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara langsung atau tidak langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang mengupayakan bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa dia tidak aka nada di sekitar kita lagi atau juga mengungkapkan secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya respons positif dari orang sekitar dapat dipersepsikan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.

6. Etiologi a. Faktor Predisposisi Tidak ada teori tunggal yang mengungkapkan tentang bunuh diri dan memberikan petunjuk mengenai cara melakukan intervensi yang

49

terapeutik.

Teori

Perilaku menyakini

bahwa

pencederaan

diri

merupakan hal yang dipelajari dan diterima pada saat anak-anak dan masa remaja. Teori psikologi memfokuskan pada masalah tahap awal perkembangan ego, trauma interpersonal, dan kecemasan berkepanjangan yang mungkin dapat memicu seseorang untuk mencederai diri. Teori Interpersonal

mengungkapkan

bahwa

mencederai

diri

sebagai

kegagalan dari interaksi dalam hidup, masa anak-anak mendapatkan perlakuan kasar serta tidak mendapatkan kepuasan (Stuart dan Sundeen, 1995). Riwayat abuse atau incest dapat juga menjadi factor predisposisi atau presipitasi pencederaan diri. Faktor predisposisi yang lain adalah ketidakmampuan

memenuhi

kebutuhan

komunikasi

(mengkomunikasikan perasaan), perasaan bersalah, depresi, dan perasaan yang tidak stabil. Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku destruktif-diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut.  Diagnosis Psikiatrik Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.  Sifat Kepribadian Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.  Lingkungan Psikososial Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, di antaranya adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadiankejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu

50

mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.  Riwayat Keluarga Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan factor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh diri.  Faktor Biokimia Data menujukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).

b. Faktor Presipitasi Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.

c. Sumber Koping Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak faktor bak faktor sosial maupun budaya. Struktur sosial dan kehidupan sosial dapat menoling atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi sosial dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih mampu menoleransi stres dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif

51

dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri. d. Mekanisme Koping Seorang klien mungkin memakai beberapa variasimekanisme koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization, regression dan magical thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif. Perilaku bunuh diri menunjukan kegagalan mekaisme koping. Ancaman bunuh diri mungkin menunjukan upaya terakhir untuk mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang.

V. Pohon Masalah

Effect

Bunuh Diri

Core Problem

Resiko Bunuh Diri

Cause

Isolasi Sosial

Harga Diri Rendah Kronis

Gambar 6.2. Pohon Masalah Resiko Bunuh Diri

52

W.

Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Risiko bunuh diri. 2. Bunuh diri. 3. Isolasi sosial. 4. Harga diri rendah kronis.

X. Data yang Perlu Dikaji Data Yang Perlu Dikaji Masalah Keperawatan Risiko bunuh diri Subjektif :  Mengungkapkan keinginan bunuh diri.  Mengungkapkan keinginan untuk mati.  Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.  Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga.  Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat yang mematikan.  Mengungkapkan adanya konflik interpersonal.  Mengungkapkan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil. Objektif :  Impulsif  Menunjukan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).  Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan penyalahgunaan alkohol).  Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal).  Umur 15 – 19 tahun atau di atas 45 tahun.  Status perkawinan yang tidak harmonis (mengalami kegagalan dalam perkawinan).  Penganguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau mengalami kegagalan dalam karier). Y. Diagnosis Keperawatan Risiko bunuh diri

53

Z. Rencana Tindakan Keperawatan  Ancaman/percobaan bunuh diri yang dengan diagnosis: risiko bunuh diri. 1. Tindakan keperawatan klien yang mengancam atau mencoba bunuh diri a. Tujuan

: Klien tetap aman dan selamat.

b. Tindakan

: Melindungi klien.

Perawat dapat melakukan hal-hal berikut untuk melindungi klien yang mengancam atau mencoba bunuh diri a. Tetap menemani klien sampai dipindahkan ke tempat yang lebih aman. b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, ikat pinggang dan lain-lain. c. Memastikan bahwa klien benar-benar telah meminum obatnya, jika mendapatkan obat. d. Menjelaskan dengan lembut pada klien bahwa saudara akan melindungi klien sampai klien melupakan keinginan untuk bunuh diri. 2. Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan klien percobaan bunuh diri  Tujuan Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunuh diri.  Tindakan a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi klien serta jangan pernah meninggalkan klien sendirian. b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-barang berbahaya di sekitar klien. c. Mendiskusikan dengan keluarga untuk menjaga klien agar tidak sering melamun sendiri. d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya klien minum obat secara teratur.

54

 Isyarat bunuh diri dengan diagnosis: harga diri rendah kronis. 3. Tindakan keperawatan untuk klien yang menunjukan isyarat bunuh diri.  Tujuan: a. Klien mendapar perlindungan dari lingkungannya. b. Klien dapat mengungkapkan perasaannya. c. Klien dapat meningkatkan harga dirinya. d. Klien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.  Tindakan keperawatan: a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman. b. Meningkatkan harga diri klien, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1) Member kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya. 2) Berikan pujian bila klien dapat mengungkapkan perasaan yang positif. 3) Meyakinkan klien bahwa dirinya berarti untuk orang lain. 4) Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh klien. 5) Merencanakan aktivitas yang dapat klien lakukan. c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara sebagai berikut 1) Mendiskusikan

dengan

klien

cara

menyelesaikan

masalahnya. 2) Mendiskusikan dengan klien efektifitas masing-masing cara penyelesaian masalah. 3) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik. 4. Tindakan keperawatan untuk keluarga denga anggota keluarga yang menunjukan isyarat bunuh diri.  Tujuan: keluarga mampu merawat klien dengan risiko bunuh diri.  Tindakan keperawatan:

55

a. Mengajarkan klien tentang tanda dan gejala bunuh diri. 1) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang pernah muncul pada klien. 2) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya muncul pada klien berisiko bunuh diri. b. Mengajarkan keluarga cara melindungi klien dari perilaku bunuh diri. 1) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila klien memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri. 2) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi klien, seperti berikut ini.  Memberikan tempat yang aman, menempatkan klien di tempat yang mudah diawasi, jangan biarkan klien mengunci diri di kamar, jangan meninggalkan klien sendirian di rumah.  Menjauhkan barang-barang yang bias digunakan untuk bunuh diri. Jauhkan klien dari barang-barang seperti tali, bahan bakar minyak/bensin, api, pisau atau benda tajam lainnya, zat yang berbahaya seperti obat nyamuk atau racun serangga.  Selalu

mengadakan

pengawasan

dan

meningkatkan

pengawasa apabila tanda dan gejala bunuh diri meningkat. Jangan pernah melonggarkan pengawasan, walaupun klien tidak menunjukan tanda dan gejala untuk bunuh diri. c. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila klien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain dengan cara sebagai berikut 1) Mencari

bantuan

pada

tetangga

sekitar

atau

pemuka

masyarakat untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut. 2) Segera membawa klien ke rumah sakit atau Puskesmas untuk mendapatkan bantuan medis.

56

d. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi klien. e. Memberikan informasi tentang nomor telepon gawat darurat. f. Menganjurkan keluarga untuk mengatarkan klien berobat/kontrol secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya.

57

LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN

58

LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN

A. Masalah Utama Perilaku kekerasan

B. Proses Terjadinya Masalah 1. Pengertian  Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuar dan Sundeen, 1995).  Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz dalam Harnawati, 1993).  Setiap aktivitas bila tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Stuart dan Sundeen, 1998).  Suatu keadaan dimana individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998).  Suatu

keadaan

dimana

klien

mengalami

perilaku

yang

dapat

membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain, dan barang-barang (Maramis, 1998).  Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan secara verbal dan fisik (Ketner et al.,1995).

2. Tanda dan Gejala  Fisik: mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.  Verbal: mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.  Perilaku: Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.

59

 Emosi: tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.  Intelektual: mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.  Spiritual: merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat.  Sosial: menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.  Perhatian: bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual

3. Rentang Respon

Respon Adaptif

Asertif

Respons Maladaptif

Frustasi

Pasif

Agresif

Kekerasan

Gambar 6.1. Rentang Respons Perilaku Kekerasan Sumber: Keliat (1999)

Keterangan: 1. Asertif: individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan. 2. Frustasi: individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif. 3. Pasif: individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya. 4. Agresif: perilaku yang menyertai marah. 5. Kekerasan: perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.

60

Tabel 6.1. Perbandingan antara perilaku asertif, pasif dan agresif/kekerasan Isi Pembicaraan

Tekanan suara Posisi badan Jarak

Penampilan Kontak mata

Pasif Negatif dan merendahkan diri, contohnya perkataan: “Dapatkah saya?” “Dapatkah kamu?” Cepat lambat, mengeluh Menundukkan kepala Menjaga jarak dengan sikap acuh/mengabaikan Loyo, tidak dapat tenang Sedikit/sama sekali tidak

Asertif Positif dan menawarkan diri, contohnya perkataan: “Saya dapat…” “Saya akan…” Sedang

Agresif Menyombongkan diri, merendahkan orang lain, contoh perkataan: “Kamu selalu…” “Kamu tidak pernah…”

Tegap dan santai Mempertahankan jarak yang aman

Kaku, condong ke depan Siap dengan jarak akan menyerang orang lain

Sikap tenang

Mengancam, posisi menyerang Mata melotot dan dipertahankan

Mempertahankan kontak mata sesuai dengan hubungan

Keras dan ngotot

Sumber: Keliat (1999)

4. Faktor Predisposisi Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku kekerasan, diantaranya adalah sebagai berikut:  Teori Biologik Berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan yaitu sebagai berikut: a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. System limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif. b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6

61

dan 7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang. c. Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak criminal (narapidana) d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.  Teori Psikologik a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan. b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang diperlajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik.  Teori Sosiokultural Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.

62

5. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi faktor internal dan eksternal.  Internal adalah semua faktor yang dapat menimbulkan kelemahan, menurunnya percaya diri, rasa takut sakit, hilang control, dan lain-lain.  Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai, krisis, dan lain-lain.

Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut:  Kesulitan kondisi sosial ekonomi  Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu  Ketidaksiapan

seorang

ibu

dalam

merawat

anaknya

dan

ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa  Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisocial seperti penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa frustasi  Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga

6. Mekanisme Koping Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu

klien

untuk

mengembangkan

mekanisme

koping

yang

konstruktif dalam mengekspresikan kemarahannya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif, denial, dan reaksi formasi. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998, hal 83)  Sublimasi: Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat

untuk

suatu

dorongan

yang

mengalami

hambatan

penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah

63

melampiaskan kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.  Proyeksi: Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.  Represi: Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.  Reaksi formasi: Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.  Displacement: Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya. Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (harga diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan memunculkan halunasi berupa suara-suara atau bayangan yang meminta klien untuk melakukan

64

tindak kekerasan. Hal tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan). Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat memengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen terapeutik inefektif).

C. Pohon Masalah

Resiko Tinggi Mencederai Diri, Orang Lain, dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan

PPS: Halusinasi

Regimen Terapeutik Inefektif

Harga Diri Rendah Kronis

Koping Keluarga

Isolasi Sosial: Menarik Diri

Berduka Disfungsional

Tidak Efektif

Gambar 8.2. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

D. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul 1. Perilaku kekerasan. 2. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. 3. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.

65

4. Harga diri rendah kronis. 5. Isolasi sosial. 6. Berduka disfungsional. 7. Penatalaksanaan regimen teurapeutik inefektif. 8. Koping keluarga inefektif.

E. Data yang Perlu Dikaji Masalah keperawatan Perilaku Kekerasan

Data yang perlu dikaji Subjektif:  Klien mengancam.  Klien mengumpat dengan kata-kata kotor.  Klien mengatakan dendam dan jengkel.  Klien mengatakan ingin berkelahi.  Klien menyalahkan dan menuntut.  Klien meremehkan. Objektif:  Mata melotot/pandangan tajam.  Tangan mengepal.  Rahang mengatup.  Wajah memerah dan tegang.  Postur tubuh kaku.  Suara keras.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan antara lain sebagai berikut: 1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah. 2. Stimulus lingkungan. 3. Konflik interpersonal. 4. Status mental. 5. Putus obat. 6. Penyalahgunaan narkoba/alkohol.

F. Diagnosis Keperawatan Perilaku kekerasan.

66

G. Rencana Tindakan Keperawatan 1. Tindakan keperawatan untuk klien  Tujuan a. Klien dapat menidentifikasi penyebab perilaku kekerasan b. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan c. Klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya d. Klien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya e. Klien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya f. Klien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.  Tindakan a. Bina hubungan saling percaya Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar klien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan saudara. Tindakan yang harus kita lakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah mengucapkan salam terapeutik, berjabat tangan, menjelaskan tujuan interaksi, serta membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien. b. Diskusikan bersama klien penyebab perilaku kekerasan yang terjadi dimasa lalu dan saat ini. c. Diskusikan perasaan klien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan. Diskusikan bersama klien mengenai tanda dan gejala perilaku kekerasan, baik kekerasan fisik, psikologis, sosial, spiritual amupun intelektual. d. Diskusikan bersama klien perilaku secara verbal yang biasa dilakukan pada saat marah baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. e. Diskusikan bersama klien akibat yang ditimbulkan dari perilaku marahnya.

67

Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan baik secara fisik (pukul kasur atau bantal serta tarik napas dalam), obatobatan, sosial atau verbal (dengan mengungkapkan kemarahannya secara asertif), ataupun spiritual (shalat atau berdoa sesuai keyakinan klien).

2. Tindakan keperawatan untuk keluarga  Tujuan Keluarga dapat merawat klien di rumah  Tindakan a. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan meliputi penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul, serta akibat dari perilaku tersebut. b. Latih keluarga untuk merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan 1. Anjurkan keluarga untuk selalu memotivasi klien agar melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat. 2. Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada klien bila anggota keluarga dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat. 3. Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila klien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan. c. Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.

68

DAFTAR PUSTAKA

Basten, Ronald. 2014. Laporan Pendahuluan 7 (Tujuh) Kasus : Harga Diri Rendah Kronis, Isolasi Sosial, Halusinasi, Waham, Defisit Perawatan Diri, Resiko Bunuh Diri, dan Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sambang Lihum. Banjarmasin : STIKES Suaka Insan Banjarmasin. Damayanti, Mukhripah & Iskandar.2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama Dermawan, Deden, & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa Konsep & Kerangka Kereja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Gosyen Publishing Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar & Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Keliat, Budi Anna, dkk. 2012. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta. EGC Keliat, Budi Anna, & Akemat.2012. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC Towsend, Mary C. 2010. Buku Saku Diagnosis Keperawatan PsikiatriRencana Asuhan & Medikasi & Psikotrofik. Edisi 5. Jakarta: EGC

69

More Documents from "Ra Selviana"