BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tetanus neonatorum merupakan penyebab kematian paling sering terjadi akibat penanganan tali pusat tidak bersih.1 Tetanus neonatorum terjadi pada neonatus (bayi berusia 0-28 hari) yang disebabkan oleh bakteri Clostridum tetani. Spora Clostridium tetani masuk melalui pintu masuk satu-satunya ke tubuh bayi baru lahir, yaitu tali pusat. Peristiwa tersebut dapat terjadi pada saat pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun saat perawatannya sebelum puput (lepas tali pusat).2 Di negara-negara berkembang angka kejadian tetanus neonatorum 85%, dengan mortalitas akibat tetanus neonatorum akan mendekati 100% terutama kasus dengan masa inkubasi pendek.2 Menurut laporan kerja WHO pada bulan April 1994, dari 8,1 juta kematian bayi di dunia, sekitar 48% adalah kematian neonatal. Dari seluruh kematian neonatal, sekitar 42% kematian neonatal disebabkan oleh infeksi tetanus neonatorum. Sedangkan angka kejadian tetanus neonatorum di Indonesia, pada tahun 1997 terdapat 570 kasus, meninggal 106 dengan CFR (Case Fatality Rate)18,6%.2 Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia menurut SDKI tahun 2007 adalah 34 kematian per 1000 kelahiran hidup, dan kematian yang tertinggi terjadi pada periode neonatal. Angka kematian neonatal di Indonesia adalah 19 per 1000 kelahiran hidup, dan Tetanus Neonatorum (TN) merupakan salah satu penyebab utamanya, sehingga tetanus merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.1
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus pada neonatus yang disebabkan oleh spora Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau tindakan yang tidak bersih.3 Tetanus neonatorum (TN) terjadi pada masa neonatal (<28 hari) dimana masa inkubasi dari tetanus neonatorum adalah berkisar 3-28 hari.4
2.2. Epidemiologi Menurut laporan kerja WHO pada bulan April 2004, dari 8,1 juta kematian bayi di dunia, sekitar 48% adalah kematian neonatal. Dari seluruh kematian neonatal, sekitar 42% kematian neonatal disebabkan oleh infeksi tetanus neonatorum.2 Angka kematian tetanus neonatorum masih sangat tinggi. Di Indonesia, berdasarkan SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 2001, penyebab kematian neonatal dini adalah asfiksia neonatorum (33,6%) dan tetanus neonatorum (4,2%).5 Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan oleh WHO di 15 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pada tahun 1978 – 1982 menekankan bahwa penyakit tetanus neonatorum banyak dijumpai di daerah pedesaan negara berkembang termasuk Indonesia yang memiliki angka proporsi kematian neonatal akibat penyakit tetanus neonatorum mencapai 51%. Pada kasus tetanus neonatorum yang tidak dirawat, hampir dapat dipastikan CFR (Case Fatality Rate) akan mendekati 100%, terutama pada kasus yang mempunyai masa inkubasi kurang dari 7 hari.2 WHO menunjukkan bahwa kematian akibat TN di negara-negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi daripada negara maju. Pada tahun 2006, 2007, dan 2008 jumlah kasus TN di Indonesia menempati urutan kedua di ASEAN dengan jumlah penderita lebih dari 100 orang.6
2
2.3. Etiologi Penyakit tetanus pada neonatus disebabkan oleh Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau tindakan yang tidak memenuhi syarat kebersihan, misalnya pemotongan tali pusat dengan bambu atau gunting tidak steril, atau setelah tali pusat dipotong dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dan sebagainya.3 Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, lurus, berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron, bersifat gram positif dan tidak berkapsul, membentuk spora, bersifat obligat anaerob dan mudah tumbuh pada nutrien media yang biasa. Kuman ini membentuk eksotoksin yang disebut tetanospasmin, suatu neurotoksin yang kuat. Clostridium tetani berkembang cepat pada jaringan yang rusak dan dalam suansana anaerob basil tetanus berubah dari bentuk spora ke dalam bentuk vegetatif. Pada keadaan
itu,
Clostridium
tetani
mengeluarkan
eksotoksin
yang
menyebabkan penyakit tetanus.2
2.4. Faktor Risiko 2.4.1. Pemeriksaan Antenatal Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu hamil dan janin secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan, dan nifas dengan baik serta menghasilkan bayi yang sehat.2 Dari rangkaian pemeriksaan antenatal, pemberian imunisasi TT (Tetanus Toksoid) adalah hal yang paling penting dilakukan untuk mencegah infeksi tetanus neonatorum.2 Menurut Kemenkes RI, tetanus neonatorum terjadi dikarenakan ibu hamil tidak memperoleh imunisasi TT, sehingga bayi yang dilahirkan rentan terhadap infeksi tetanus neonatorum.7
3
Pemberian
imunisasi
tetanus
toksoid
pada
ibu
hamil
dimaksudkan agar bayi yang dilahirkan sudah mempunyai kekebalan terhadap toksin tetanus yang didapatkan secara pasif sewaktu masih berada dalam kandungan. Dua dosis TT sekurangnya dengan jarak waktu satu bulan serta sekurangnya sebulan menjelang persalinan, hampir 100% efektif mencegah tetanus neonatorum. Jadi tidak adanya imunisasi tetanus pada ibu merupakan faktor risiko yang berarti untuk tetanus pada neonatus yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.2 2.4.2. Penolong Persalinan Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu sekitar 50%, selebihnya ditolong oleh dukun bayi baik yang terlatih maupun yang tidak terlatih. Hal ini menyebabkan masih banyak ditemukan persalinan yang tiba-tiba mengalami komplikasi dan memerlukan penanganan yang professional.2 Kasus TN berada banyak terjadi pada ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke bidan/perawat. Namun di sisi lain pertolongan persalinan pada kasus TN justru terjadi lebih banyak pada ibu hamil yang persalinannya ditolong secara tradisional. Bila seorang ibu hamil yang tinggal di perkotaan atau daerah dengan akses pelayanan kesehatan cukup baik, pemeriksaan kehamilan dilakukan oleh tenaga kesehatan. Akan tetapi pada menjelang persalinan, ibu hamil kembali ke daerah asal yang mungkin akses pelayanan kesehatannya sulit sehingga persalinan ditolong secara tradisional. Hal lainnya adalah adanya asumsi bahwa persalinan yang ditolong secara tradisional oleh dukun/paraji lebih mendapat perhatian hingga masa nifas.1 2.4.3. Tempat Persalinan Persalinan di rumah memiliki risiko tetanus neonatorum yang tinggi, tetapi persalinan di rumah sakit tidak menjamin perlindungan untuk tidak terjadinya tetanus neonatorum, karena lamanya tinggal di
4
rumah sakit sangatlah pendek. Sampai di rumah, biasanya perawatan ibu dan bayi diserahkan kepada dukun beranak.2 Meskipun persalinan itu berlangsung di pusat pelayanan kesehatan atau klinik bersalin, tidak jarang sekembalinya ke rumah, para wanita yang baru melahirkan itu menjalani perawatan secara tradisional. Di daerah pedesaan terlebih yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan ibukota kecamatan, proses persalinan selalu berlangsung di rumah.2 2.4.4. Alat Pemotong Tali Pusat Penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat sampai kini masih dilakukan oleh beberapa dukun bayi terutama di pedesaan. Tali pusat bayi yang baru lahir dipotong dengan cara mengikat bagian pangkal dan kira-kira tiga jari di bagian atasnya, kemudian dipotong bagian tengahnya dengan sembilu yang terbuat dari irisan kulit bambu yang diambil dari rangka atap rumah bagian depan.2 Penelitian di Desa Kmantan Kebalai Kabupaten Kerinci menunjukkan bahwa masih terdapat penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir, sembilu diambil dari bambu yang merupakan alat penghembus api milik keluarga yang sedang digunakan di dapur. Sembilu tidak perlu dicuci karena dianggap sudah bersih. Meskipun pemotong tali pusat telah dilakukan dengan gunting atau benang, para dukun masih sering tidak membersihkan alat-alat itu lebih dahulu, sama halnya saat mereka menggunakan sembilu.2 2.4.5. Perawatan Tali Pusat Tiga segi perawatan pusar dan tali pusat mempunyai pengaruh terhadap risiko tetanus neonatorum, yaitu: alat pemotong tali pusat, praktek menyimpul, atau membuka simpulnya, serta bahan yang diurapkan atau dioleskan pada pangkal potongan tali pusat yang belum kering.2 Merawat tali pusat berarti menjaga agar luka tersebut tetap bersih, tidak terkena kencing, kotoran bayi, atau tanah. Bila kotor,
5
luka tali pusat dicuci dengan air bersih yang mengalir dan segera keringkan dengan kain/kasa bersih dan kering. Tidak boleh membubuhkan atau mengoleskan ramuan, abu dapur, dan sebagainya pada luka tali pusat sebab dapat menyebabkan infeksi dan tetanus yang dapat berakhir dengan kematian neonatal. Infeksi tali pusat merupakan faktor risiko untuk terjadinya tetanus neonatorum.2 Ramuan tradisional umumnya masih banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan, terutama oleh dukun bayi atau keluarga. Telah didapati bahwa 60% dukun bayi memakai ramuan seperti kunyit, kapur, dan abu sebagai bahan perawatan tali pusat. Alasan digunakannya obat/bahan tradisional pada masyarakat yaitu karena dianggap manjur dan cocok, sudah merupakan kebiasaan keluarga, mudah didapat, murah, dan masyarakat lebih yakin terhadap khasiat obat atau bahan tradisional tersebut.2 Penggunaan abu dapur bekas pembakaran kayu di tungku untuk melumuri bekas potongan tali pusat agar luka cepat kering, sering mengakibatkan pusar bayi menjadi bengkak dan berwarna merah. Jika tidak dirawat dengan baik, keadaan ini dapat mengakibatkan kematian. Adanya kematian bayi akibat serangan tetanus neonatorum banyak terjadi karena praktek perawatan luka dengan cara seperti di atas.2
2.5. Patofisiologi Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani, bakteri ini bersifat obligat anaerob, terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada ujung potongan umbilikus pada neonatus. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin
6
adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.8 Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat.2 Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditranspor secara retrograd menuju sistem saraf pusat.8 Kandungan zinc-dependent metalloprotease yang terdapat pada toksin tetanus akan merusak synaptobrevin yang dibutuhkan dalam proses transportasi
neurotransmitter.
Hal
ini
menyebabkan
pelepasan
neurotransmitter inhibitori terutama Gamma Amino Butric Acid (GABA) tidak dapat dilakukan, seperti pada gambar 1. Dihambatnya transport GABA ini menyebabkan refleks antagonis otot skeletal menjadi hilang, akibatnya terjadi kontraksi otot tidak terkontrol dan spasme dari otot-otot skeletal.9
Gambar 1. Mekanisme C. tetani dalam menghambat neurotransmitter (available on https://bio.libretexts.org)
7
2.6. Gejala Klinis Menurut Depkes RI, gejala klinis tetanus neonatorum adalah: bayi yang semula bisa menetek dengan baik tiba-tiba tidak bisa menetek, mulut bayi mencucu seperti mulut ikan, sering kejang terutama karena rangsangan sentuhan, rangsangan sinar dan rangsangan suara, wajahnya mungkin kebiruan, kadang-kadang disertai demam.4 Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek. Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus.2 Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual, auditori, atau emosional. Spasme laring juga dapat terjadi, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi.2. Ablett mengklasifikasikan derajat manifestasi klinis Tetanus sebagai berikut (tabel 1) 10 : Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk derajat manifestasi klinis Tetanus 10 Grade 1 : Ringan Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yang membahayakan respirasi, tidak ada spasme, tidak ada disfagia. Grade 2 : Sedang Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan respirasi sedang, frekuensi pernapasan >30. Grade 3 : Berat Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat, serangan apneu, denyut nadi >120, frekuensi pernapasan >40. Grade 4 : Sangat Berat Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat.
8
2.7. Diagnosis a. Anamnesis Anamnesis yang didapatkan pada tetanus neonatorum antara lain 5 : - Persalinan yang kurang higienis terutama yang ditolong oleh tenaga nonmedis yang tidak terlatih. - Perawatan tali pusat yang tidak higienis, pemberian dan penambahan suatu zat pada tali pusat. - Bayi sadar, sering mengalami kekakuan (spasme), terutama bila terangsang atau tersentuh. - Bayi sulit minum.
b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain 5 : - Bayi sadar, terjadi spasme otot berulang. - Trismus (mulut sukar dibuka). Dapat dilakukan dengan pemeriksaan uji spatula seperti pada gambar 2. Dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
Gambar 2. Trismus dengan uji spatula (pdfcoke.com)
9
Pemeriksaan fisik lain yang dapat ditemukan yaitu : - Mulut mencucu seperti mulut ikan (carper mouth). - Perut teraba keras (perut papan). - Opistotonus (ada sela antara punggung bayi dengan alas, saat bayi ditidurkan). - Periksa tali pusat, apakah ada infeksi, berbau busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak steril. - Anggota gerak spastik (boxing position).
Gambar 3. Gejala klinis tetanus neonatorum berupa trismus dan spasme otot. (https://flowvella.com)
c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis antara lain 5,8 : - Pemeriksaan darah Nilai hitung leukosit dapat tinggi. Pemeriksaan elektrolit dan glukosa biasanya didapatkan normal. - Pungsi lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal akan menunjukkan hasil yang normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. - Mikrobiologi Kultur C. tetani sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.
10
2.8. Komplikasi Laringospasme yaitu spasme dari laring dan/atau otot pernapasan menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama kematian pada kasus tetanus neonatorum. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, di mana pembentukan dan kepadatan tulang masih belum sempurna.11 Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saaraf otonom yang dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Sepsis akibat infeksi nosokomial sering kali terjadi.11
2.9. Diagnosis Banding Diagnosis banding pada tetanus neonatorum ditampilkan dala tabel 2 di bawah ini.12 Tabel 2. Dignosis banding pada tetanus neonatorum 12 Kemungkinan
Anamnesis
Pemeriksaan
diagnosis Hipoglikemia
Pemeriksaan penunjang
- Timbul saat lahir - Kejang, letargi, sampai dengan hari
tremor, atau tidak
ke-3
sadar
- Riwayat ibu
Kadar glukosa <45 g/dL
- Bayi kecil
diabetes
- Bayi besar
Curiga meningitis - Timbul pada hari ke-2 atau lebih
- Kejang atau tidak sadar - Ubun-ubun membonjol - Letargi
11
Sepsis
2.10. Tatalaksana Prinsip penatalaksanaan tetanus neonatorum meliputi terapi suportif selama
tubuh
berusaha
memetabolisme
neurotoxin,
mencegah
bertambahnya toxin yang mencapai CNS dan berusaha membunuh kuman yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah produksi tetanospasmin yang berkelanjutan. Perawatan di NICU mutlak diperlukan. Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.8 1) Membuang sumber tetanospasmin Eliminasi
kuman
dalam
bentuk
vegetatif
dilakukan
dengan
membersihkan situs luka; debridement merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk membersihkan tali pusat, diharapkan dengan tindakan tersebut, suasana anaerobik yang dibutuhkan kuman untuk germinasi dapat dihilangkan. Pemberian antibiotik diperlukan untuk membunuh kuman bukan untuk netralisasi toksin.8 - Lini 1: Metronidazol 30 mg/kg /hari dengan interval setiap enam jam (oral/parenteral) selama 7-10 hari; atau - Lini 2: Penisilin procain 100.000 U/kg IV dosis tunggal selama 7-10 hari.5
Gambar 4. Sediaan Metronidazole
12
2) Menetralisasi toksin yang tidak terikat Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan pemberian Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif.8 Pada suatu penelitian ditemukan bahwa dosis sebesar 500 unit memiliki efektifitas yang sama dengan pemberian dosis yang lebih besar.11 Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra muskular.8 Jika sediaan HTIG tidak tersedia, pemberian anti-tetanus serum (ATS) atau sediaan TAT (Tetanus Antitoxin) seperti pada gambar 5 dapat menjadi alternatif. ATS dapat diberikan dengan dosis 5.000 unit.5 Sedangkan untuk TAT biasanya diberikan dengan dosis 50.000 – 100.000 U, dengan pemberian setengah dosis secara intramuskular dan setengah dosis lagi secara intravena. Dosis minimal yang dapat digunakan adalah 10.000 U.13 Selain di atas, dapat juga digunakan sediaan tetagam seperti yang ditampilkan pada gambar 6. Tetagam berisikan Human Tetanus Antiglobulin. Sediaan yang tersedia biasanya adalah 250 IU dalam 1 ml.
Dosis
yang
digunakan
intramuskular.14
Gambar 5. Sediaan TAT
13
yaitu
250
IU,
diberikan
secara
Gambar 6. Sediaan Tetagam
3) Perawatan suportif a. Jalan Napas Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi.8 Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering. Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.8 Bila frekuensi napas kurang dari 30 kali/menit dan tidak tersedia fasilitas tunjangan napas dengan ventilator, obat dihentikan meskipun bayi masih mengalami spasme. Bila bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis sentral setelah spasme, berikan oksigen, bila belum bernapas lakukan resusitasi, bila tidak berhasil dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas NICU.5 b. Terapi Cairan Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun terapi.8 Diberikan cairan intravena (IVFD) dengan larutan glukosa 5% : NaCl fisiologis – 4:1 selama 48-72 jam sesuai dengan kebutuhan cairan, sedangkan
14
selanjutnya IVFD hanya untuk memasukkan obat.3 Berikut adalah kebutuhan cairan neonatus perharinya ditampilkan dalam tabel 3.15 Tabel 3. Kebutuhan cairan neonatus 15 BBLR
Aterm
(ml/kgBB/hari)
(ml/kgBB/hari)
1
80
60
2
100
80
3
120
100
4
140
120
5
160
140
6
180
160
7
180
180
Umur (hari)
c. Penanganan Kejang Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.8 Berikan diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau dengan bolus IV setiap 3-6 jam (dengan dosis 0,10,2 mg/kg per kali pemberian), maksimum 40 mg/kg/hari. Setelah 57 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara bertahap 5-10 mg/hari dan diberikan melalui rute orogastrik.5 Sediaannya dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Sediaan Diazepam
15
2.11. Pencegahan Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan pemberian ATS/HTIG profilaksis. Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan 10 : - Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut: o Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil. o Dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. o Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. o Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan. - Perawatan
luka
mencegah
timbulnya
jaringan
anaerob.
Untuk
pencegahan tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, dan perawatan tali pusat. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan adalah jangan membungkus puntung tali pusat/mengoleskan cairan atau bahan apapun ke dalam puntung tali
16
pusat, mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab. - Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (<6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. - Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, terutama pemotongan tali pusat dengan alat steril.
2.12. Prognosis Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya gejala hingga spasme tetanik yang pertama. Terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Dakar score pada tabel 4 dan Phillips score pada tabel 5. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien.8 Pada sistem Dakar score, apabila skor 0-1, derajat keparahan ringan dengan mortalitas 10%; skor 2-3, derajat keparahan sedang dengan mortalitas 10-20%; skor 4, derajat keparahan berat dengan mortalitas 2040%; dan skor 5-6, derajat keparahan sangat berat.8 Tabel 4. Dakar Score 8 Faktor Prognosis
Score 1
Score 2
Periode inkubasi
<7 hari
≥7 hari atau tidak diketahui
Periode onset
<2 hari
≥2 hari
Tempat masuk
Umbilikus, luka bakar,
Selain dari yang telah
uterus, fraktur terbuka,
disebut atau tidak diketahui
luka operasi, injeksi IM Spasme
Ada
Tidak ada
Demam
>38,40C
<38,40C
>150x/menit
<150x/menit
Takikardi
17
Untuk sistem Phillips score, apabila didapatkan skor <9, derajat keparahan ringan; 9-18, derajat keparahan sedang; dan >18, derajat keparahan berat.8 Tabel 5. Phillips Score 8 Faktor
Skor
Masa inkubasi <48 jam 2-5 hari 5-10 hari 10-14 hari >14 hari Lokasi Infeksi Organ dalam dan umbilikus Kepala, leher, dan badan Perifer proksimal Perifer distal Tidak diketahui Status Proteksi Tidak ada Mungkin ada atau imunisasi pada ibu bagi pasienpasien neonatus Terlindungi >10 tahun Terlindungi <10 tahun Proteksi lengkap Faktor Komplikasi Cedera atau penyakit yang mengancam nyawa Cedera berat atau penyakit yang tidak segera mengancam nyawa Cedera atau penyakit yang tidak mengancam nyawa Cedera atau penyakit minor ASA grade I
5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 10 8 4 2 0 10 8 4 2 0
Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna,
18
beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis sebaiknya tidak dilupakan.8
2.13. Tindak Lanjut Bayi perlu dirawat di ruang yang tenang dan gelap untuk mengurangi rangsangan yang tidak perlu. Lanjutkan pemberian cairan IV dengan dosis rumatan sesuai dengan kebutuhannya. Pasang pipa lambung bila belum terpasang dan beri ASI perah di antara periode spasme. Mulai dengan jumlah setengah kebutuhan per hari dan dinaikkan secara perlahan hingga mencapai kebutuhan penuh dalam dua hari. Nilai kemampuan minum dua kali sehari dan dianjurkan untuk menyusu ASI secepatnya begitu terlihat bayi siap untuk mengisap. Bila sudah tidak terjadi spasme selama dua hari, bayi dapat minum baik, dan tidak ada lagi masalah yang memerlukan perawatan di rumah sakit, maka bayi dapat dipulangkan.5 Meskipun angka kematian tetanus neonatorum masih sangat tinggi (50% atau lebih), tetapi kalau bayi bisa bertahan hidup tidak akan mempunyai dampak penyakit di masa datang. Pemantauan tumbuh kembang diperlukan terutama untuk asupan gizinya yang seimbang dan stimulasi mental.5
19
BAB III KESIMPULAN
Tetanus neonatorum adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang kejang otot rangka pada masa neonatal (<28 hari) dimana masa inkubasi adalah berkisar 3-28 hari. Angka kematian tetanus neonatorum masih sangat tinggi. Dari seluruh kematian neonatal, sekitar 42% kematian neonatal disebabkan oleh infeksi tetanus neonatorum. Tetanus merupakan suatu masalah kesehatan di berbagai belahan dunia dengan taraf ekonomi rendah. Jumlah kasus tetanus neonatorum dapat dikatakan berbanding terbalik dengan kondisi sosial ekonomi suatu negara. Semakin baik taraf sosial ekonomi suatu negara semakin sedikit pula jumlah kasus tetanus neonatorum di negara tersebut, demikian juga sebaliknya. Diagnosis tetanus neonatorum ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik yang ditemukan. Pemeriksaan penunjang untuk tetanus neonatorum tidak ada yang spesifik. Pada pemeriksaan kultur bakterinya pun hanya dapat ditemukan 30% positif pada kasus tersebut. Pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding lain. Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus yakni membuang sumber tetanospasmin, menetralisasi toksin yang tidak terikat, perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme. Faktor risiko terjadinya tetanus pada neonatus mencakup 5 aspek yaitu pemeriksaan antenatal, penolong persalinan, tempat persalinan, alat pemotong tali pusat, dan perawatan tali pusat. Sedangkan untuk pencegahan tetanus neonatarum terdiri dari 3 aspek yaitu imunisasi, perawatan luka, dan pemberian ATS/HTIG profilaksis.
20