202978.docx

  • Uploaded by: wahyuni salsabila
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 202978.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,442
  • Pages: 23
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar di bidang gerontik yang perlu mendapat perhatian serius. Masalah itu tampaknya akan menjadi salah satu masalah kesehatan dan psikososial yang sering dijumpai di masa mendatang seiring dengan makin banyaknya jumlah usia lanjut di Indonesia. Data di luar negeri menyebutkan bahwa 15 – 30 % usia lanjut yang tinggal di masyarakat dan 50 % usia lanjut yang di rawat menderita inkontinensia urun. Pada tahun 1999, dari semua pasien yang di rawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo di dapatkan angka kejadian inkontinensia urin sebesar 10%, dan pada tahun 2000, angka kejadian inkontinensia urin meningkat menjadi 12%. Inkontinensia urin seringkali menyebabkan pasien dan atau keluarganya frustasi, bahkan depresi. Bau yang tidak sedap, perasaan kotor, tidak suci untuk beribadah tentu menimbulkan masalah sosial dan psikologis. Selain itu, adanya inkontinensia urin juga akan mengganggu aktivitas fisik, seksual, dan pekerjaan. Secara tidak langsung masalah itu juga dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minumnya karena khawatir mengompol. Dekubitus, infeksai saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya perawatan yang tinggi untuk pembelian pampers, kateter adalah masalah yang juga dapat timbul akibat inkontinensia urin. Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002). Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri

pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

1.2

Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Inkontinensia Urine? 2. Apa klasifikasi dari Inkontinensia Urine? 3. Apa etiologi dari Inkontinensia Urine? 4. Bagaimana patofisiologi dari Inkontinensia Urine? 5. Bagaimana WOC dari Inkontinensia Urine? 6. Apa saja manifestasi klinis dari Inkontinensia Urine? 7. Apa saja pemeriksaan penunjang dari Inkontinensia Urine? 8. Bagaimana penatalaksanaan Inkontinensia Urine? 9. Apa saja komplikasi dari Inkontinensia Urine? 10. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Inkontinensia Urine? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan umum Untuk menjadikan salah-satu literatur bagi mahasiswa keperawatan dalam pembuatan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Inkontinensia Urine. 1.3.2 Tujuan khusus 2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Inkontinensia Urine. 3. Untuk mengetahui klasifikasi dari Inkontinensia Urine. 4. Untuk mengetahui etiologi dari Inkontinensia Urine. 5. Untuk mengetahui patofisiologi dari Inkontinensia Urine. 6. Untuk mengetahui WOC dari Inkontinensia Urine. 7. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Inkontinensia Urine. 8.

Untuk mengetahui pemerikasaan penunjang dari Inkontinensia Urine.

9. Untuk mengetahui penatalaksanaan Inkontinensia Urine. 10. Untuk mengetahui Komplikasi Inkontinensia Urine. 11. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan dari pasien dengan Inkontinensia Urine. 1.4 Manfaat Sebagai bahan acuan dan pemahaman konsep mengenai konsep dasar teori dan konsep dasar asuhan keperawatan pada pasien Inkontinensia Urine.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif. Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

2.2 Klasifikasi Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006 1. inkontinensia dorongan

Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat setelah berkemih. Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.

2. inkontinensia total

Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis, kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan, trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula, neuropati.

3. inkontinensia stress

tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa.

4. inkontinensia reflex

Keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan. Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur

5. inkontinensia fungsional

keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran urin secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

2.3 Etiologi Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran

kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan

lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009). 2.3.1

Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus 1. Usia Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008). 2. Diet Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol. Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun organ perkemihan(Asmadi, 2008). 3. Cairan

Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat(Asmadi, 2008). 4. Latihan fisik Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting bagi miksi (Asmadi, 2008). 5. Stres psikologi Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan mengalami diare ataupun beser (Asmadi, 2008). 6. Temperatur Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008). 7. Nyeri Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang seimbang, maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine (Asmadi, 2008). 8. Sosiokultural Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat Amerika Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi , sementara budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-sama (Potter & Perry,2006). 9. Status volume Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan, peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine. Cairan yang diminum akan meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi urina (Potter & Perry,2006). 10. Penyakit Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan hilangnya tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi

penuh kandung kemih, dan individu mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus dan sklerosis multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah fungsikandung kemih. Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau penyakit ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006). 11. Prosedur bedah Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi, yang memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga meningkatkan kadar aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam upaya mempertahankan volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006). 12. Obat-obatan Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006). 2.4 Patofisiologi Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat

mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter(refluks). Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada

posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. 2.5 WOC

2.6 Manifestasi Klinis 

Melaporkan merasa desakan berkemih, disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah mulai berkemih.



Desakan, frekuensi, dan nokturia.



Inkontinensia stress dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa, bersin, melompat, batuk atau membungkuk.



Inkontinensia overflow, dicirikan dengan volume dan aliran urine buruk atau lambat dan merasa menunda atau mengejan.



Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urine yang adekuat.



Hiegiene buruk atau tanda – tanda infeksi.



Kandung kemih terletak di atas sifisis pubis. (Uliyah, 2008).

2.7 Pemeriksaan Penunjang 

Urinallisis, digunakan untuk melihat apakan ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.



Uroflowmetry digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih



Cysometri digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuscular kandung kemih dengan mengukur efisiensi reflex otot detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.



Urografi ekskretorik, disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter, dan kandung kemih.



Volding cystourethrography digunakan untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung kemih dan uretra serta mengkaji hipertrofi lobus prostat, striktur uretra, dan tahap gangguan uretra prostatic stenosis ( pada pria ).



Uretrografi retrograde, digunakan hampir secara ekslusif pada pria, membantu diagnosis striktur dan obstruksi orifisium uretra.



Elektromiografi sfingter pada pasien pria dapat menunjukkan pembesaran prostat atau nyeri, kemungkinan menanndakan hipertrofi prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat menunjukkan impaksi yang mungkin menyebabkan inkontinensia.



Pemeriksaan vagina dapat memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis atrofi, yang menandakan kekuranagn estrogen.



Katerisasi residu pescakemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

2.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut : 1)

Pemanfaatan kartu catatan berkemih

Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu catat waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum. 2)

Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urine, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :   

 



3)

Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.

Terapi farmakologi Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah: 

antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine

Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu : 

pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti :



4)

Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapidiberikan secara singkat.

Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). Penatalaksanaan pembedahan Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan : perbaikan vagina, suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter artificial yang dimodifikasi dengan megunakan balon karet-silikon sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi dpat digunakan untuk menutup uretra. Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stress adalah aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator miniature yang dilengakapi electrode yang dipasang pada sumbat intraanal. 5)

Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan 6)

Kateter

Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karenadapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukanbatu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakanalat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkankandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi padasaluran kemih. 7)

Alat bantu toilet

Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjutyang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebutakan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikankemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet. 8)

Latihan Otot Dasar Panggul 

Posisi tidur telentang dengan kedua kaki ditekuk sehingga otot panggul sejajar dengan lantai.

   

Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh hitungan atau sesanggupnya. Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan. Lakukan lagi dan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan. Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang dan malam)

2.8 Komplikasi a. Infeksi saluran kemih resiko lebih tingii pada penderita inkontinensia urin. Dapat juga terjadi pada pemasangan kateter. b. Kelainan Kulit : Luka, ruam, atau infeksi kulit mungkin terjadi karena kulit menjadi basah sepanjang waktu. Pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti alergi c. Problem Psikososial : Problem ini dapat terjadi karena inkontinensia urin dapat merubah aktivitas yg dapat dilakukan (berhenti olahraga) d. Dehidrasi : ada kecenderungan untuk mengurangi minum dengan harapan mengurangi juga kemungkinan inkontinensianya. Hal ini selain mengganggu keseimbangan cairan yg sudah cenderung negatif pada lanjut usia. Dan juga dapat mengakibatkan menurunnya kapaasistas kandung kemih dan selanjutnya akan memperberat keluhan inkontinensianya.

BAB III Tinjauan Kasus

3. Pengkajian Teori 1) Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa mediss. 2) Riwayat kesehatan - Riwayat kesehatan sekarang Frekuansi berkemih berlebih > 10x/ hari, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin. - Riwayat kesehatan dahulu Klien memiliki / pernah terjadai cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, dan ISK. - Riwayat kesehatan keluarga riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan. 3) Pemeriksaan fisik - Keadaan umum Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia 4) Pemeriksaan Sistem : B1 (breathing)

: (Tidak ada masalah keperawatan)

B2 (blood)

: (Tidak ada masalah keperawatan)

B3 (brain)

: gangguan pola tidur akibat sering ke kamar mandi

B4 (bladder)

: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri), Frekuensi kencing, dan gangguan citra tubuh.

B5 (bowel)

: (Tidak ada masalah keperawatan)

B6 (bone)

: kerusakan integritas kulit di sekitar genetalia.

5) Pengkajian Psikososial • Bersedih • Murung • Mudah tersinggung • Isolasi social A. Analisa Data

No

Symptom

Etiologi

Problem

1

Ds :

Lansia

Gangguan eliminasi

-

-

klien mengatakan frekuensi

Urine

BAK berlebih / >10x/hari

Kehilangan fungsi

Klien mengatakan mudah

kognitif

mengompol pada saaat beraktivitas Do :

Penurunan fungsi otot Detrusor

-

Area genetalia lembab

-

Bau amoniak yg menyengat

-

Ttv :

Inkontinensia urin

o nadi >100x/mnt

Gangguan eliminasi

o RR >20x/mnt

urin

o Suhu 37-38 C o TD >120/90 mmHg

2

Ds : -

Inkontinensia urin Klien mengatakan gatal

Gangguan integritas kulit

diarea genetalia

Urine bersifat asam

-

Area genetalia lembab

Genetalia eksterna

-

Kebersihan area genetalia

basah

Do :

kurang -

-

Kulit kemerahan diarea

Urin tersisa di pakaian

genetalia

dalam

Terdapat luka iritasi akibat gesekan pakaian dalam

-

Mengiritasi kulit

Ttv : o nadi >100x/mnt

Area genetalia lembab

o RR >20x/mnt o Suhu 37-38 C

Menimbulkan lecet

o TD >120/90 mmHg Gangguan intergritas kulit 3

Ds : -

-

Lansia Klien mengatakan malu

tubuh

karena sering mengompol

Kehilangan fungsi

Klien mengatakan malu jika

kognitif

selalu memakai pampers -

Klien mengatakan malu

Penurunan fungsi otot

karena tubuh berbau pesing

detrusor

-

Area genetalia lembab

Inkontinensia urin

-

Berbau amoniak yg

Do :

-

Gangguan citra

menyengat

Genetalia eksterna

Klien murung

basah

-

Klien bersedih

-

Klien mudah tersinggung

-

Klien isolasi sosial

Urin tersisa di celana

Hygiene yg tidak baik

Tubuh berbau pesing

Gangguan citra tubuh

B. Diagnosa Keperawatan a) Gangguan Eliminasi Urine berhubungan dengan penurunan fungsi otot detrusor yg ditandai dengan klien mengatakan frekuensi BAK berlebih / >10x/hari, Klien mengatakan mudah mengompol pada saaat beraktivitas. Area genetalia lembab, Bau amoniak yg menyengat, Ttv : nadi >100x/mnt, RR >20x/mnt, Suhu 37-38 C, TD >120/90 mmHg b) Gangguan integritas Kulit berhubungan dengan urine bersifat asam mengiritasi kulit yg ditandai dengan Klien mengatakan gatal diarea genetalia, Area genetalia lembab, Kebersihan area genetalia kurang, Kulit kemerahan diarea genetalia, Terdapat luka iritasi akibat gesekan pakaian dalam, Ttv : nadi >100x/mnt, RR >20x/mnt, Suhu 3738 C, TD >120/90 mmHg c) Gangguan Citra tubuh berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol dan bau urine yg ditandai dengan Klien mengatakan malu karena sering mengompol, Klien mengatakan malu jika selalu memakai pampers, Klien mengatakan malu karena tubuh berbau pesing, Area genetalia lembab, Berbau amoniak yg menyengat, Klien murung, Klien bersedih, Klien mudah tersinggung, Klien isolasi sosial

NO

DX

TUJUAN DAN KRETERIA

INTERVENSI

RASIONAL

HASIL 1.

1j

Gangguan

Setelah dilakukan tindakan

Eliminasi

keperawatan selama 2×24

Urine

jam diharapakan masalah

berhubungan

gangguan eliminasi urin dapat

dengan

teratasi dengan kreteria hasil :

penurunan

1.klien dapat berkemih

fungsi otot

dengan baik 2. klien dapat d a p a t mengontrol pengeluaran urine tiap 2 jam.

detrusor

1. Jelaskan kepada klien tentang gangguan eliminasi urin. 2. Anjurkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari 3. Monitoring output urine meliputi frekuensi,baud an warna 4. Catat waktu terakhir berkemih

1.agar klien dan keluaraga mengetahui penyebab dari eliminasi urin 2.pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enuresis 3.Agar bisa mengetahui adanya ketidaknormalan saat berkemih 4.Agar mengetahui interval berkemih berikutnya

1 11

3.Bau dan Jumlah urine dalam batas normal

2.

Gangguan

Setelah dilakukan tindakan

integritas Kulit

keperawatan selama 2×24

berhubungan

jam diharapakan masalah

dengan urine

gangguan integritas kulit

bersifat asam

1j 1.Jelaskan kepada klien tentang gangguan Gangguan integritas Kulit 2. Anjurkan klien menggunakan pakaian yang longgar 3.Mobilisasi Klien (ubah posisi pasien) setiap 2 jam sekali

1.agar klien dan keluaraga mengetahui penyebab dari Gangguan integritas Kulit 2.Jika menggunakan baju yang ketat resikonya kulit akan mudah menempel pada kulit sehingga dapat juga meneyebabkan lecet pada kulit,dengan menggunakan

mengiritasi

dapat teratasi dengan kreteria

kulit

hasil : 1. integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi,

4.Oleskan lotion atau minyak / baby oil pada daerah yang tertekan 5Observasi luka : lokasi,dimensi,kedalaman luka karakteristik,warna cairan,tanda-tanda infeksi local.

baju yang longgar akan menetralisir terjadi penempelan kulit pada baju 3.Mencengah terjadinya luka pada bagian tubuh klien. 4. Agar daerah yang tertekan tidak lecet atau luka 5.Untuk menengtahui tindakan dan perawatan selanjutnya

elastisitas, temperature, 1 11

hidrasi dan pigmentasi) 2. Tidak ada luka / lesi pada kulit 3. mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit 4. Menunjukan terjadinya proses penyembuhan luka 3.

Gangguan

Setelah dilakukan tindakan

Citra tubuh

keperawatan selama 2×24

berhubungan

jam diharapakan masalah

dengan

gangguan gangguan citra

keadaan yang

tubuh dapat teratasi dengan

memalukan

kreteria hasil :

akibat

1. 1.Jelaskan kepada klien tentang gangguan Gangguan Citra tubuh 2.Bantu klien untuk mengenali tindakan yang akan meningkatkan penampilannya 3.Fasilitasi hubungan klien dengan individu yang mengalami perubahan citra tubuh yang serupa 4.Monitir frekuensi kalimat yang mengkritik diri sendiri 5.Anjurkan kontak mata dalam berkomunikasi dengan orang lain

1. 1.agar klien dan keluaraga mengetahui penyebab dari Gangguan Citra tubuh 2.Untuk meningkatkan percaya diri klien 3. Untuk meningkatkan percaya diri klien 4.Untuk mengetahui seberapa besar klien mampu menerima keadaan dirinya 5.Agar klien lebih percaya diri

mengompol

1. Mampu beradaptasi

dan bau urine

denganketerbatasan fungsional 2.Puas dengan penampilan tubuh 3.Mampu menyesuaikan dengan perubahan fungsi tubuh 4.Merasa dirinya berharga

Daftar pustaka Stockslager, Jaime L. 2007 . Buku Saku Gerontik edisi: 2 . Jakarta : EGC. Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC. Watson, Roger. 2003. Perawatan pada Lansia. Jakarta : EGC

More Documents from "wahyuni salsabila"