2015aha.pdf

  • Uploaded by: Insaniah Rahimah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 2015aha.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 65,967
  • Pages: 184
HABITAT, BIOLOGI REPRODUKSI DAN DINAMIKA POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI TELUK LASONGKO, SULAWESI TENGGARA

ABDUL HAMID

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Habitat, Biologi Reproduksi dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor,

Agustus 2015

Abdul Hamid NIM C261110021

RINGKASAN ABDUL HAMID. Habitat, Biologi Reproduksi dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, DJAMAR T.F. LUMBAN BATU dan ETTY RIANI. Rajungan bernilai ekonomis penting dan permintaannya yang tinggi sehingga dilakukan penangkapan secara intensif, diantaranya seperti yang terjadi di Teluk Lasongko. Untuk itu, perlu dilakukan pengelolaan sehingga keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini terjaga, namun data kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan belum tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, (2) karakteristik morfometrik dan distribusi frekuensi kelas ukuran populasi rajungan, (3) parameter biologi reproduksi rajungan, (4) distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan komposisi biokimia telur rajungan betina ovigerous, (5) struktur ukuran populasi, parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan, dan (6) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko. Pengambilan contoh rajungan dilakukan dengan menggunakan gill net dengan ukuran mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci pada tujuh stasiun dan dilakukan setiap bulan, yaitu dari bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi baik spasial maupun temporal, namun masih dalam batas kisaran yang optimal bagi kehidupan dan pertumbuhan rajungan. Keberadaan rajungan di perairan ini juga bervariasi secara spasial dan temporal, dan ditemukan tersebar pada tipe substrat pasir (dominan), pasir berlempung dan liat lempung berpasir dengan kedalaman berkisar antara 0.35 m hingga 31 m. Keempat jenis warna rajungan betina ovigerous juga ditemukan pada berbagai tipe habitat. Rajungan di perairan ini banyak tertangkap pada bulan Desember sampai Juli, sedangkan pada bulan Agustus sampai Oktober sedikit tertangkap. Kondisi substrat, kedalaman air dan padang lamun mempengaruhi distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko, dan sebagian besar variabel kualitas air berkorelasi dengan distribusi rajungan. Karakter morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko ditemukan bervariasi secara spasial dan temporal, yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 berukuran kecil dan yang tertangkap pada stasiun 7 berukuran besar dibandingkan dengan stasiun lainnya. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember berukuran besar, sedangkan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September, Februari dan Maret berukuran kecil. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Oktober, November, Maret, September dan Desember tergolong berukuran besar sedangkan yang tertangkap pada bulan April tergolong berukuran kecil. Karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur. Ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada penelitian ini lebih kecil dari pada rajungan betina, masing-masing terdistribusi pada 10 kelas ukuran lebar karapas untuk rajungan jantan dan rajungan betina tersebar pada 12 kelas ukuran. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh dan hubungan antar karakter morfometrik

rajungan jantan menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina umumnya bersifat allometrik negatif, sedangkan lebar/panjang-berat tubuh rajungan jantan dan betina bersifat isometrik. Tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-berat rajungan jantan dan betina bersifat allometrik negatif. Tipe pertumbuhan relatif lebar/panjang-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan tahap dewasa tidak mengalami perubahan, yaitu keduanya bersifat isometrik. Rasio kelamin, TKG dan IKG rajungan jantan dan betina yang ditemukan di Teluk Lasongko bervariasi secara spasial dan temporal. Rasio kelamin rajungan jantan dan betina secara spasial dan temporal umumnya seimbang, kecuali rasio kelamin total tidak seimbang. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad sedangkan rajungan betina sebagian besar didominasi oleh yang matang gonad, kecuali pada stasiun 1 dan 2. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan, serta pada musim timur dan barat sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad. Ukuran lebar karapas 50 % matang kelamin rajungan jantan 109.83 mm dan betina 115.71 mm. Rajungan betina ovigerous berwarna kuning dan orange didominasi oleh yang belum matang gonad, sedangkan yang berwarna coklat dan abu-abu gelap seimbang antara yang belum matang gonad dan yang matang gonad. Perkembangan gonad dan embrio rajungan betina ovigerous berlangsung paralel. IKG rajungan betina ovigerous lebih rendah dari pada IKG rajungan betina yang belum ovigerous. Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir, berkorelasi linear dengan ukuran tubuh dan berat telur, serta bervariasi terhadap ukuran tubuh dan warna telur rajungan. Kadar proksimat dan asam lemak selama perkembangan embrio rajungan mengalami perubahan seiring dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap. Jumlah kelompok ukuran rajungan yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari satu sampai dua kelompok, dan sebagian besar tergolong ukuran dewasa atau matang kelamin. Pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina. Rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko berlangsung setiap bulan dan tertinggi terjadi pada bulan Juli dan September, dan tingkat eksploitasi rajungan jantan dan betina di perairan ini telah tergolong tangkap lebih (overfishing). Potensi keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko tergolong tinggi dilihat dari aspek habitat, biologi reproduksi dan parameter dinamika populasi, namun karena tingkat eksploitasi yang tinggi, status stok rajungan di perairan ini cenderung tergolong kritis. Rajungan pada lokasi yang dangkal telah mengalami perubahan rasio kelamin jantan dan betina serta ukuran rajungan jantan dan betina semakin kecil. Konsep pengelolaan yang segera dilakukan untuk menjamin keberlanjutan populasi rajungan dan penangkapan berkelanjutan adalah pengaturan rajungan yang boleh ditangkap, pengaturan musim penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah penangkapan, perlindungan dan rehabilitasi habitat, restoking, mengembangkan suaka rajungan serta pemantauan dan evaluasi.

Kata kunci : Portunus pelagicus, habitat, reproduksi, dinamika populasi, pengelolaan, Teluk Lasongko.

SUMMARY ABDUL HAMID. Habitat, Reproductive Biology and Population Dynamics as in the a Management Based of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) in the Lasongko Bay, Southeast Sulawesi. Supervised by YUSLI WARDIATNO, DJAMAR T.F. LUMBAN BATU and ETTY RIANI. Blue swimming crabs have important economic value and high demand therefore catching of the crabs has been intensively, such as occurred in the Lasongko Bay. Therefore, management of the blue swimming crabs needs to be done to keep sustainability of the crab populations. Yet, data of habitat conditions, reproductive biology and population dynamics of the crabs have not been available. This study aims to analyze (1) the characteristics of the habitat and the crab population distribution based on catches, (2) the morphometric characteristics and the size class frequency distribution, (3) the parameters of reproductive biology of the crabs, (4) distribution, level of gonad maturity, fecundity and biochemical composition of ovigerous female crab eggs, (5) the structure of the population size, population dynamics parameters and the rate of exploitation crab, and (6) formulated of management concepts of blue swimming crab in the Lasongko Bay. Samplings of the crab using gill nets with mesh sizes 1.5, 2.5 and 3.5 inches taken place at seven stations and conducted monthly, from April 2013 to March, 2014. The results show that the characteristics of the crab habitat in the Lasongko Bay varied both spatially and temporally, but still within the optimal range for the survival life and growth of crab. The existence of the crabs in this waters also varied spatially and temporally, and were found scattered on the sand substrate type (dominantly), sand clay and sandy clay loam with a depth ranging from 0.35 m to 31 m. The fourth color ovigerous female crabs were also found at various habitat types. The blue swimming crabs in this water were mostly caught during periods from December to July, and only less crabs were caught in period from August to October. The condition of the substrate, water depth and seagrass affected the distribution of the crab populations in the Lasongko Bay, and most of the water quality variables correlated with the distribution of the crabs. Morphometric characters of the male and the female crabs in the Lasongko Bay were found to vary spatially and temporally, as well as caught at stations 1 and 2 was characterized by small size, and at station 7 was chracterized by larger size than other stations. The sizes of the male blue swimming crab caught in October to December were large, meanwhile in the April, May, July, September, February and March were small. The sizes of the female swimming crab captured in October, November, March, September and December were large while caught in April were small. Morphometric size characteristics of the male and the female crabs caught during west monsoon season were larger than during the east moonson season. Furthermore, the sizes of the male crabs caught in this study is smaller than the female crab, distributed respectively in 10 carapace width size classes for male and in 12 class sizes for the female. Relationship between carapace width/length with body weight and the relationship among the male crab morphometric characters were very significant,

strong and positive. Relative growth of morphometric characters for the male and the female crabs was generally negative allometric, while the width/length-weight of the male and the female crabs were isometric. Relative growth of crab carapace lengthweight for males and females are negative allometric. Types of the relative growth of the width/length-weight for the male and the female crabs at juvenile stage and adult stages were unchanged, both were isometric. Sex ratio, gonad maturity stages (GMS) and GSI of the male and the female crabs found in the Lasongko Bay varied spatially and temporally. Sex ratio of the male and the female crabs spatially and temporally generally balanced, except for the total sex ratio which was unbalanced. The male crabs caught at each station were dominated by immature crabs while the females were largely dominated by mature gonads, except at stations 1 and 2. The male crabs caught in each period of sampling, as well as during east and west season were largely dominated by small crabs with immature gonads. Carapace width size of 50 % sex maturity of crabs for the male and the female, respectively 109.83 mm 115.71 mm. Peak spawning season of the crabs in this water occurred in May-June, August, and October-November and the spawning was partial (partial spawner). The yellow and orange ovigerous females crabs were dominated by immature gonads, while the brown and dark gray had balanced composition between the immature and mature gonads. Embryonic and gonad development for the ovigerous female crabs were parallel. GSI of the ovigerous female crabs was lower than the GSI of non-ovigerous female crabs. Fecundity of the crabs in the Lasongko Bay ranged from 69,747 to 2,078,874 eggs, linearly correlated with body size and weight of eggs, and varied with body size and colours of the crab eggs. Proximate and fatty acid content during embryonic development of the crabs changed in accordance with the change of the crab egg colours, from yellow to dark gray colours. The sizes of the crabs found in this study consisted of one to two groups, and many were classified into the size of an adult or mature sex. The male crab population growth is faster than the female crabs. The recruitment of the crab population in the Lasongko Bay took place every month and the highest was in July. The population of both the male and the female crabs in this water has been overexploitated (overfishing). Sustainability potency of the crab populations in the Lasongko Bay was high, viewed from the aspect of habitat, reproductive biology and population dynamics parameters. However, due to high exploitation rates, the crab stocks in water has been in critical condition. The small crabs in the shallow location had undergone changes in the ratio of male and female. Also, both the male and the female crabs sizes had been getting smaller. Management concept is needed to ensure the sustainability of the crab population by setting the legal size of catch captured, setting the fishing season, controlling fishing gears and fishing areas, protecting and rehabilitating habitats, restocking, and developing crab sanctuary. Keywords : Portunus pelagicus, habitat, reproduction, population dynamics, management, Lasongko Bay

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

HABITAT, BIOLOGI REPRODUKSI DAN DINAMIKA POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN DI TELUK LASONGKO, SULAWESI TENGGARA

ABDUL HAMID

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc (Staf Pengajar Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB)

Dr Ir Toni Ruchimat, M.Sc (Direktur Pelabuhan Perikanan Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan) Penguji pada Sidang Promosi : Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc

Dr Ir Toni Ruchimat, M.Sc

PRAKATA Alhamdulillah dan puji syukur dihaturkan kepada Allah SWT atas rahmat kesehatan dan hidayah-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul disertasi ini adalah Habitat, Biologi Reproduksi dan Dinamika Populasi Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai Dasar Pengelolaan di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara. Saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumban Batu, M.Agr, dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani, M.S masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas kesediaannya untuk membimbing serta meluangkan waktu dan curahan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada : 1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas bantuan beasiswa BPPS 2011 dan Hibah Doktor 2014 yang diberikan kepada penulis, 2. Rektor Universitas Halu Oleo, atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3, 3. Bapak Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc sebagai Ketua Program Studi SDP, Bapak Dr. Ir. Enan Mulyana Adiwilaga dan staf PS SDP yang telah membantu kelancaran administrasi penyelesaian studi saya, 4. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc atas saran dan pertanyaan yang sangat berharga yang diberikan saat ujian pra kualifikasi Doktor, 5. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Toni Ruchimat, M.Sc sebagai penguji luar komisi ujian tertutup dan sidang promosi atas koreksi dan saran yang sangat berharga untuk perbaikan disertasi ini, 6. Bapak dan Ibu dosen pengasuh mata kuliah program Doktor di Program Studi SDP yang memberikan Ilmunya dengan tulus, 7. Dr. Bahtiar, S.Pi, M,Si atas bantuannya dalam mengolah data dinamika populasi rajungan, serta Pamaruddin, S.Pi dan Tarlan Subarno, S.Pi telah membuatkan peta, 8. Teman seangkatan SDP 2011, Eko Priyanto, Usman Madubun, Dadeh Jubaedah dan Ani Suriyanti, serta teman-teman Wancana Sulawesi Tenggara Bogor atas dukungan dan kerjasama yang terjalin selama masa studi, 9. Bapak La Mpiri, Kaharudin, ST atas bantunya selama pengambilan data di lapangan, dan para nelayan rajungan dan pengolah daging rajungan telah membantu mengumpulkan data hasil tangkapan rajungan, 10. Bapak Mertua H. Drs. Abdul Latief Hatman, kakak dan adik-adik saya, khususnya keluarga Ridwan, S.Pd dan istri Riyanti serta Nafisa, A.Md atas bantuan, doa dan dorongan semangat selama studi program Doktor, dan 11. Istri tercinta Umi Kalsum, telah setia, sabar dan pengorbanannya, serta sebagai asisten dalam analisis fekunditas dan TKG rajungan jantan, serta anakda tercinta Muhammad Hilmy, Nurul Hazriah dan Muhammad Ihza Raihan atas doa dukungan dan pengertiannya. Akhirnya semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor, Agustus 2015 Abdul Hamid

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

xiii xv xvi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Pendekatan Masalah Tujuan dan Kegunaan Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan Penelitian

1 1 3 3 4 4 5

2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN DISTRIBUSI POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) TERTANGKAP DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan

6 6 7 12 23 28

3 KARAKTERISTIK MORFOMETRIK DAN DISTRIBUSI FREKUENSI KELAS UKURAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan

29 29 30 33 50 55

4 BIOLOGI REPRODUKSI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan

57 57 58 62 75 81

5 DISTRIBUSI, FEKUNDITAS, TINGKAT KEMATANGAN GONAD DAN KADAR BIOKIMIA TELUR RAJUNGAN MENGERAMI TELUR (OVIGEROUS) DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Metode Penelitian Hasil

82 82 84 87

Pembahasan Simpulan

104 112

6 DINAMIKA POPULASI RAJUNGAN Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Pembahasan Simpulan

(Portunus

pelagicus 113 113 114 116 124 130

7 PEMBAHASAN UMUM

131

8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN

145

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

147 158

DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5

6 7 8 9 10 11 12

Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan stasiun dan tipe habitat rajungan di Teluk Lasongko Rataan kepadatan (tunas. m-2) padang lamun dan jenis lamun dominan pada setiap stasiun dan tipe habitat di Teluk Lasongko Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun di Teluk Lasongko Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap pada setiap kali penangkapan untuk setiap stasiun Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan dan musim Hasil tangkapan rajungan setiap bulan dan hari di Teluk Lasongko periode bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014 Nilai akar ciri, proporsi, dan kontribusi kumulatif variabel karakteristik habitat pada tiga sumbu utama (F1-F3) Koefisien korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah populasi rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko Rataan suhu, salinitas habitat rajungan pada beberapa lokasi perairan Hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang dianalisis Rataan karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan stasiun di Teluk Lasongko Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan musim di Teluk Lasongko

12 13 14 18

20 21 22 23 24 32 34 37

13 14

15

16

17

18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina berdasarkan musim di Teluk Lasongko Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji b, dan tipe pertumbuhan relatif (Al) antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa Persamaan allometrik power dan linear, koefisien korelasi (r), uji t nilai b, ANCOVA, dan tipe pertumbuhan relatif (Al) lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa Koefisien regresi (b), koefisien korelasi (r) dan lebar/panjang karapas-berat pada beberapa lokasi perairan Ciri penampakan setiap tingkat perkembangan gonad rajungan betina dan jantan secara makroskopik Jumlah dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan stasiun Jumlah, proporsi dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan periode waktu penangkapan dan musim Rataan proporsi (%) TKG rajungan betina dan jantan pada setiap musim Rataan IKG rajungan betina dan jantan pada setiap TKG dan stasiun Rataan IKG rajungan jantan pada setiap TKG berdasarkan periode penangkapan dan musim Rataan IKG rajungan betina pada setiap TKG berdasarkan periode penangkapan dan musim Nilai rasio kelamin (jantan: betina) dan IKG rajungan betina pada lokasi beberapa perairan Puncak musim pemijahan dan lebar karapas rajungan pertama matang kelamin (LKMK) pada beberapa lokasi perairan Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe habitat Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun, warna telur dan musim Berat, diameter, dan volume telur rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur Proporsi TKG rajungan betina ovigerous pada setiap periode penangkapan dan musim IKG rajungan betina ovigerous pada setiap TKG berdasarkan stasiun, warna telur dan musim

43

44

47

48

49 55 60 63 64 70 71 72 73 77 80 88 91 92 95 96

33 34 35 36 37 38 39 40 41

42 43 44 45

46 47 48 49 50

Fekunditas, berat telur, berat tubuh dan indeks masa telur rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun Rataan ukuran tubuh, berat telur, fekunditas dan indeks masa telur rajungan betina ovigerous berdasarkan kelas ukuran lebar karapas Rataan fekunditas, berat telur , berat tubuh, dan indeks masa telur rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur Rataan fekunditas, berat telur, berat tubuh, dan indeks masa telur rajungan betina ovigerous berdasarkan musim Rataan kadar proksimat telur rajungan berdasarkan warna telur Rataan kadar asam lemak telur rajungan berdasarkan warna telur Rataan fekunditas, berat telur dan lebar karapas rajungan betina ovigerous pada beberapa perairan di Asia Tenggara Distribusi frekuensi lebar karapas rajungan jantan dan betina pada setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko Parameter pertumbuhan, indeks perfoma dan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan di Teluk Lasongko Proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan di Teluk Lasongko sejak April 2013 sampai Maret 2014 Nilai kematian total, alami dan penangkapan serta eksploitasi populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko Parameter populasi rajungan yang digunakan dalam analisis hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dengan model Beverton dan Holt Tingkat eksploitasi, hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) pada tiga ukuran lebar karapas rajungan pertama tertangkap Ukuran dan modus lebar karapas rajungan pada beberapa perairan Parameter pertumbuhan populasi rajungan pada beberapa lokasi perairan Nilai kematian total (Z), alami (M) dan penangkapan (F) serta tingkat eksploitasi (E) rajungan pada beberapa lokasi perairan Penyebaran nelayan dan jenis alat tangkap rajungan pada setiap desa/ kelurahan di Teluk Lasongko tahun 2006 dan 2014 Rataan ukuran tubuh dan rasio kelamin rajungan (jantan: betina) di Teluk Lasongko selama bulan Oktober hingga bulan Desember 2006 dan 2013

97 97 98 101 102 103 110 117

119 121 122 122

124 125 126 128 136

137

DAFTAR GAMBAR 1 2 3

Bagan alir kerangka pendekatan masalah penelitian Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh di Teluk Lasongko Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran di Teluk Lasongko

4 8 15

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan Sebaran stasiun penelitian dan variabel karakteristik habitat pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2) Prosedur pengukuran morfometrik rajungan ( Sukumaran 1995) Rataan beberapa karakteristik morfometrik rajungan jantan (A) dan betina (B) berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina pada setiap stasiun di Teluk Lasongko Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan (A) dan betina (B) di Teluk Lasongko Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan (A) dan betina (B) tertangkap di Teluk Lasongko Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan jantan Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan betina Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap stasiun Proporsi TKG rajungan betina pada setiap stasiun Proporsi TKG rajungan jantan dan betina berdasarkan tipe habitat Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap periode penangkapan Proporsi TKG rajungan betina pada setiap periode penangkapan Proporsi rajungan betina ovigerous dan rataan IKG total rajungan jantan dan betina pada setiap bulan Kurva logistik pendugaan ukuran 50 % rajungan jantan dan betina pertama kali matang kelamin di Teluk Lasongko Pola rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina pada setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko Rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan kepadatan lamun dan kekeruhan di Teluk Lasongko Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe substrat dan kekeruhan di Teluk Lasongko Hubungan berat basah (Bb) dengan berat kering (Bk) telur rajungan betina ovigerous warna (a) kuning, (b) orange, (c) coklat, dan (d) abu-abu gelap Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) berdasarkan total contoh rajungan betina ovigerous Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina ovigerous warna kuning

17 19 22 31 36 39 41 45 48 61 61 65 66 67 68 69 74 75 76 84 89 90 92 93 94 96 98 99

32

33

34 35 36 37 38 39 40

41

Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina ovigerous warna orange Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina ovigerous warna kuning coklat muda Rataan fekunditas rajungan pada setiap periode penangkapan Peluang lebar karapas rajungan yang tertangkap dengan gillnet di Teluk Lasongko Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko Kurva pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko berdasarkan data frekuensi lebar karapas Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko Grafik kematian total rajungan jantan dan betina berdasarkan kurva konversi hasil tangkapan di Teluk Lasongko Hubungan tingkat eksploitasi dengan hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) pada LKc 97.20 mm (A), 105.11 mm (B) dan 113.95 mm (C) Keterkaitan antar variabel penentu keberlanjutan populasi rajungan tereksploitasi di Teluk Lasongko

100

100 101 118 119 120 121 121

123 132

DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6

Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode waktu pengukuran di Teluk Lasongko Karakter morfometrik rajungan jantan berdasarkan periode waktu penangkapan Karakter morfometrik rajungan betina berdasarkan periode waktu penangkapan Sebaran tingkat kematangan gonad rajungan betina dan juvenil di Teluk Lasongko Sebaran intensitas penangkapan rajungan di Teluk Lasongko Riwayat Hidup

159 160 161 162 163 164

DAFTAR ISTILAH AOAC Asam lemak

Musim pemijahan

: Association of Official Analysis Chemists : Hidro karbon rantai lurus yang mengandung gugus hidroksil pada salah satu ujungnya : Tingkat ekploitasi rajungan : Tingkat eksploitasi rajungan optimum : Kematian rajungan akibat penangkapan : Fatty acid methyl ester : Jumlah telur yang dihasilkan oleh rajungan pada setiap tahap pemijahan : Tempat hidup rajungan : Indeks kematangan gonad rajungan : Jumlah tangkapan diperbolehkan : Koefisien pertumbuhan von Bertalanffy rajungan : Kematian rajungan yang diakibatkan oleh penangkapan : Ukuran lebar karapas rajungan 50 % pertama tertangkap dengan gill net : Ukuran pertama matang kelamin, ukuran yang mana 50 % dari semua individu rajungan telah matang kelamin : Lebar karapas infinitif, lebar karapas maksimum secara teoritis oleh rajungan : Kematian alami rajungan, kematian disebabkan faktor alami (pemangsaan, penyakit atau faktor lingkungan) : Periode waktu rajungan melepaskan telur dan sperma

MSY

: Maximum sustainable yield, yaitu hasil tangkapan

E Eopt F FAME Fekunditas Habitat IKG JTB K Kematian penangkapan (F) LKc 50 % LKm 50 % LK∞ Kematian alami (M)

Pertumbuhan alometrik

untuk pembuahan

maksimum tanpa menggangu keberlanjutan rajungan

: Laju pertumbuhan antar karakter morfomertik rajungan tidak seimbang Pertumbuhan isometrik : Laju pertumbuhan antar karakter morfomertik rajungan seimbang Rajungan betina ovigerous : Rajungan betina sedang mengerami telur Suaka rajungan : Suatu kawasan lindung yang berada di daerah pantai berfungsi untuk melindungi rajungan dan habitatnya. Tangkap lebih (Overfishing) : Jumlah rajungan yang ditangkap melebihi potensi biologi tumbuh rajungan to : Umur teoritis, umur ketika lebar karapas rajungan nol TKG : Tingkat kematangan gonad, tahap perkembangan gonad rajungan TSS : Total suspended solid atau total padatan tersuspensi

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus1758) merupakan komoditas perikanan bernilai ekonomi dan permintaannya tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Rajungan dan kepiting merupakan komoditas ekspor utama perikanan Indonesia setelah udang dan ikan. Volume dan nilai ekspor kepiting (rajungan dan kepiting bakau) Indonesia pada tahun 2011, masing-masing mencapai 156.993 ton dan US$ 208.424 juta (KKP 2012). Sampai saat ini permintaan rajungan untuk diekspor dan memenuhi kebutuhan di dalam negeri sepenuhnya masih mengandalkan penangkapan di alam. Penangkapan rajungan yang intensif tanpa didukung dengan upaya pengelolaan yang baik, akan berdampak pada penurunan stok populasi rajungan di alam, dan pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan penangkapan rajungan. Data kondisi habitat, struktur kelompok ukuran, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan merupakan salah satu informasi yang sangat dibutuhkan untuk dijadikan sebagai dasar dalam menyusun strategi pengelolaan rajungan (Arshad et al. 2006; Johnson et al. 2010; Kamrani et al. 2010; Songrak et al. 2014; Green et al. 2014). Kajian biologi reproduksi rajungan meliputi rasio kelamin, tingkat dan indeks kematangan gonad, ukuran pertama matang kelamin, keberadaan rajungan betina mengerami telur (betina ovigerous), fekunditas dan musim pemijahan. Sebaliknya, kajian dinamika populasi (parameter populasi) meliputi pertumbuhan, rekrutmen dan kematian, serta struktur kelompok ukuran. Kajian biologi populasi rajungan selama ini masih terfokus pada tipe perairan, utamanya populasi rajungan di perairan estuari dan teluk (Kangas 2000; Potter et al. 2001; de Lastang et al. 2003; Dineshbabu et al. 2008). Kajian biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan berdasarkan tipe habitat relatif masih kurang dilakukan di perairan Indonesia. Penelitian biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan diantaranya telah dilakukan oleh (Pillay dan Nair 1971; Sukumaran 1995, Sukumaran dan Neelakantan 1996a, 1996b, 1997; Potter et al. 2001; de Lestang et al. 2003; Josileen dan Menon 2007; Dineshbabu et al. 2008; Kamrani et al. 2010; Johnson et al. 2010; Jazayeri et al. 2011; Josileen 2011; Sunarto 2012; Kembaren et al. 2012; Ernawati 2013; Ihsan et al. 2014; Liu et al. 2014). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fekunditas, musim puncak pemijahan, dan ukuran rajungan pertama kali matang kelamin, serta parameter pertumbuhan dan kematian rajungan bervariasi antar lokasi geografi dan tipe perairan. Adanya variasi paramater biologi reproduksi dan parameter populasi rajungan tersebut berkaitan dengan perbedaan kondisi habitat, suhu, salinitas, oksigen, kecerahan dan intensitas penangkapan (Batoy et al. 1987; Kangas 2000; de Lestang et al. 2003; Bellchambers et al. 2005; Kamrani et al. 2010; Johnston et al. 2011a; Ikhwanuddin et al. 2011; 2012a; Green et al. 2014). Kadar proksimat dan asam lemak telur dekapoda diantaranya juga dipengaruhi kondisi habitat (Rosa 2003; Rosa et al. 2005; Figueiredo et al. 2008a, 2008b). Kadar proksimat dan asam lemak telur dekapoda berperan menentukan siklus reproduksi, kelangsungan hidup telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan kelangsungan hidup larva (Rosa 2003; Ying et al. 2006; Rosa et al. 2007; Figueiredo et al. 2008a; Figueiredo et al. 2012; Li et al. 2012). Telur rajungan selama tahap perkembangan

2

embrio mengalami perubahan bentuk, ukuran, warna dan kadar proksimat dan asam lemak (Radhakrishnan 2000; Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Singh 2008; Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011; Khoei et al. 2012; Ravi dan Manisseri 2013). Penelitian kadar proksimat dan asam lemak telur masih relatif terbatas dan belum dibedakan berdasarkan perkembangan embrio atau perubahan warna telur seperti dilakukan oleh Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei et al. (2012). Teluk Lasongko secara administrasi termasuk dalam wilayah Kabupaten Buton Tengah Sulawesi Tenggara. Luas perairan ini sekitar 13.6 km2 dengan kedalaman berkisar antara 1 m hingga 50 m (adaptasi dari DKP Sulawesi Tenggara 2003; Supardan 2006). Rajungan di perairan ini dapat ditemukan pada daerah intertidal dan subtidal yang ditumbuhi padang lamun dengan substrat umumnya terdiri dari pasir halus sampai pasir kasar serta lokasi yang dalam dengan substrat berupa hamparan pasir halus. Suhu air habitat rajungan di Teluk Lasongko pada musim kemarau ditemukan berkisar antara 28 oC hingga 31 oC, dan salinitas berkisar antara 31 ppt hingga 35 ppt dan pH sekitar 8.0 (Hamid 2011), serta masih mendukung pertumbuhan rajungan. Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan sejak tahun 1970-an, namun intensitasnya masih rendah dan belum menggunakan alat tangkap (ditangkap dengan tangan) serta bertujuan untuk kebutuhan konsumsi keluarga nelayan. Pada awal tahum 1990-an penangkapan kepiting rajungan di perairan ini mulai menggunakan bubu dari anyaman bambu dan hasil tangkapannya untuk dijual. Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko semakin intensif sejak awal tahun 2000-an dengan menggunakan gill net (dominan) dan sebagian kecil dengan bubu rajungan, serta permitaan rajungan semakin tinggi karena di kawasan ini berkembang usaha pengolahan daging rajungan sebagai perwakilan perusahaan eksportir rajungan di Kota Bau-Bau dan Kendari (Hamid 2011). Sejak akhir 2008, penangkapan rajungan di perairan ini lebih banyak menggunakan bubu, dan hal ini akan berpengaruh kepada reproduksi, parameter dinamika populasi dan stok rajungan di Teluk Lasongko. Hasil tangkapan rajungan di Teluk Lasongko cenderung semakin menurun dan semakin kecil, serta hasil tangkapan rajungan di perairan ini setiap trip berkisar antara 0.7 kg hingga 1.9 kg per nelayan (Hamid 2011). Tingkat penangkapan krustasea (rajungan dan udang Penaeus sp.) di Teluk Lasongko telah mencapai 95 % dari potensi lestarinya atau telah melebihi jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) (Supardan 2006). Produksi kedua jenis krustasea tersebut pada tahun 2000 mencapai 242 ton serta tahun 2003 dan 2004 masing-masing mencapai 790 ton dan turun 640 ton (Supardan 2006). Hasil tangkapan rajungan yang diperoleh dari tiga pengolah daging rajungan di Teluk Lasongko selama Februari sampai November 2006 hanya sekitar 37 ton (Hamid 2011), dan selama bulan Mei 2013 sampai April 2014 sekitar 67 ton. Rajungan sebagai komoditas perikanan bernilai ekonomis penting, demikian juga permintaannya sangat tinggi hal ini yang menyebabkan dilakukan penangkapan yang intensif dan akhirnya akan berdampak pada penurunan populasi rajungan di Teluk Lasongko. Di sisi lain, data kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan merupakan data yang dibutuhkan sebagai dasar untuk menyusun konsep pengelolaan rajungan di perairan ini masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan ketiga jenis data tersebut.

3

Perumusan Masalah Kondisi habitat sangat menentukan biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan. Biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan saling berkaitan, misalnya antara pemijahan dan rekrutmen populasi rajungan. Pemijahan rajungan yang tinggi dan didukung oleh kondisi habitat serta kadar proksimat dan asam lemak telur yang tinggi dapat meningkatkan kelangsung hidup larva rajungan dan berpotensi meningkatkan rekrutmen populasi rajungan. Suhu, salinitas dan komposisi rajungan jantan dan betina adalah faktor yang menentukan keberhasilan pemijahan rajungan (de Lestang et al. 2003; Bellchambers et al. 2005; Jazayeri et al. 2011; Johnston et al. 2011; de Lestang et al. 2010; Gree et al. 2014). Kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan ditentukan oleh kondisi habitat, dan berpengaruh kepada siklus reproduksi, kelangsungan hidup telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan kelangsungan hidup larva rajungan (Rosa 2003; Ying et al. 2006, Rosa et al. 2007; Figueiredo et al 2008a, 2008b; Figueiredo et al. 2012; Li et al. 2012), dan secara tidak langsung menentukan rekrutmen rajungan. Rekrutmen rajungan yang tinggi berperan meningkatkan ketahanan dan daya pulih populasi rajungan dari tekanan penangkapan dan mendukung keberlanjutan populasi rajungan pada suatu perairan. Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan secara intensif sejak tahun 2000-an dan penangkapannya umumnya dilakukan di sekitar intertidal dan subtidal yang ditumbuhi lamun. Dampak dari penangkapan rajungan secara intensif tersebut adalah hasil tangkapan rajungan terindikasi semakin berkurang dan ukurannya semakin kecil (Hamid 2011), bahkan tingkat penangkapan rajungan dan udang Penaeus sp. di Teluk Lasongko telah melebihi JTB nya (Supardan 2006). Permintaan rajungan di daerah ini semakin tinggi sehingga mendorong penangkapan rajungan semakin intensif dan juga menangkap rajungan betina yang sedang bertelur (betina ovigerous). Kedua hal tersebut akan semakin meningkatkan tekanan terhadap populasi rajungan dan kesempatan rajungan melakukan reproduksi semakin menurun dan akibatnya dapat menurunkan rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko. Agar penangkapan rajungan optimum dan berkelanjutan di Teluk Lasongko, maka perlu dilakukan pengelolaan yang didasarkan pada informasi kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika rajungan. Namun, sampai saat ini ketersediaan ketiga jenis data ini masih sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian kondisi habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan di perairan ini. Pendekatan Masalah Masalah penelitian ini dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu pengendalian tekanan penangkapan dan perbaikan kondisi habitat rajungan. Tekanan penangkapan rajungan yang tinggi akan berpengaruh pada parameter biologi reproduksi dan paramater dinamika populasi rajungan di Teluk Lasongko, yaitu dapat dievaluasi dari ukuran pertama kali matang kelamin, pertumbuhan, rekrutmen, kematian penangkapan dan tingkat eksploitasi. Kondisi habitat rajungan (kondisi padang lamun, substrat dan kualitas air) yang baik akan mengoptimalkan pertumbuhan somatik dan reproduksi rajungan serta kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan sehingga akan meningkatkan rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko. Apabila penerapan konsep pengelolaan yang rasional dilakukan dengan benar maka akan menghasilkan tangkapan rajungan optimun dan berkelanjutan di perairan ini (Gambar 1).

4

Input

Proses

Habitat :

  

 Padang lamun  Kualitas air & Substrat

Rajungan

Output

Pertumbuhan : Somatik Reproduksi Kadar proksimat & Asam lemak telur

Biologi Reproduksi

Implikasi Pengelolaan

Ukuran I Matang Kelamin

Dinamika Populasi

Pertumbuhan Rekrutmen Kematian alami

Tekanan penangkapan

Eksploitasi

Tangkapan Optimum & Berkelanjutan

Status Stok

Penangkapan:  ∑ Nelayan

 ∑ Alat tangkap

Kematian Penangkapan

Gambar 1. Bagan alir kerangka pendekatan masalah penelitian Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa aspek, yaitu (1) karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, (2) karakteristik morfometrik, distribusi frekuensi kelas ukuran populasi rajungan dan hubungan serta tipe pertumbuhan antar karakter morfometrik, (3) parameter biologi reproduksi rajungan, (4) distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan komposisi biokimia telur rajungan betina ovigerous, (5) struktur ukuran populasi, parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan, dan (6) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko. Kegunaan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data habitat, kelas ukuran, biologi reproduksi, distribusi dan tingkat kematangan gonad rajungan betina ovigerous, komposisi biokimia telur rajungan, parameter dinamika populasi dan tingkat eksploitasi rajungan sebagai dasar dalam menyusun konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) sebagai dasar pengelolaan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah Sulawesi Tenggara meliputi enam bagian, yaitu sebagai berikut : Pertama mengkaji karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1)

5

karakateristik habitat rajungan, (2) distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, dan (3) keterkaitan variabel karakteristik habitat dengan jumlah rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko. Kedua meneliti karakteristik morfometrik dan distribusi kelas ukuran rajungan. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) karakteristik morfometrik, (2) distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas, dan (3) hubungan dan tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan di Teluk Lasongko. Ketiga mengkaji biologi reproduksi rajungan di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) rasio kelamin, (2) tingkat dan indeks kematangan gonad, (3) musim pemijahan, dan (4) ukuran pertama matang kelamin rajungan di Teluk Lasongko. Keempat mengkaji distribusi, tingkat kematangan gonad, fekunditas dan kadar biokimia telur rajungan mengerami telur di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) fekunditas rajungan, (2) distribusi, (3) tingkat kematangan gonad, serta (4) kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan berdasarkan perubahan warna telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko. Kelima mengkaji dinamika populasi rajungan di Teluk Lasongko. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) struktur kelompok ukuran, (2) pertumbuhan, rekrutmen dan kematian, serta (3) tingkat eksploitasi rajungan populasi di Teluk Lasongko. Keenam merupakan pembahasaan umum. Bagian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) keterkaitan antar parameter penentu keberlanjutan populasi rajungan, (2) potensi keberlanjutan populasi rajungan, (3) ancaman keberlanjutan populasi rajungan, (4) status stok dan penangkapan rajungan, dan (5) merumuskan konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko. Kebaruan Penelitian Kebaruan dari penelitian ini adalah untuk determinasi kadar proksimat, asam lemak telur, perkembangan kematangan gonad rajungan betina ovigerous berdasarkan perubahan warna telur, serta tipe pemijahan rajungan dan distribusi rajungan betina ovigerous yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menyusun konsep pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko.

6

2 KARAKTERISTIK HABITAT DAN DISTRIBUSI POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) TERTANGKAP DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Rajungan ditemukan pada habitat yang cukup beragam, yaitu mulai ditemukan di perairan pantai sampai pada landas kontinen dengan kedalaman 50 m (Edgar 1990), bahkan sampai kedalaman lebih 65 m (Juwana 1997). Di perairan pantai, rajungan dapat ditemukan di bagian intertidal, muara sungai kecil (creek), bagian sub litoral, teluk dangkal dan perairan pesisir yang dalam (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003) dan ditumbuhi padang lamun dan alga dengan tipe substrat lumpur, liat dan pasir (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003; Dineshbabu et al. 2008). Rajungan juga terdapat di mangrove dan di tambak-tambak air payau yang berdekatan dengan air laut (Juwana 1997). Setiap tipe habitat rajungan tersebut juga mempunyai kondisi lingkungan perairan bervariasi. Variabel lingkungan perairan sebagai penentu kondisi habitat rajungan meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, kecerahan, tipe substrat, kedalaman air, dan juga kondisi arus dapat mempengaruhi setiap tahap siklus hidup rajungan (Dhawan et al. 1976; Batoy et al.1987; Kangas 2000; de Lestang et al. 2003; Kamrani et al. 2010; Bellchambers et al. 2005; Ikhwanuddin et al. 2011). Rajungan dapat beradaptasi pada perubahan kondisi suhu, salinitas dan pH yang ekstrim (Hosseini et al. 2012). Rajungan di Perairan Brebes ditemukan pada suhu berkisar antara 27 oC hingga o 30 C, salinitas 30 ppt hingga 33 ppt dan kedalaman air berkisar antara 3 m hingga 12 m dengan kondisi substrat didominasi oleh fraksi pasir, fraksi lumpur dan fraksi liat dengan tipe substrat lempung berpasir dan lempung berliat (Sunarto 2012). Selanjutnya juga dilaporkan distribusi rataan ukuran rajungan di Perairan Brebes tidak dipengaruhi oleh fraksi sedimen (Sunarto 2012). Rajungan di Perairan Pati ditemukan pada suhu 27.5 oC hingga 31.5 oC dan salinitas 31.5 ppt hingga 35.5 ppt dengan tipe substrat mulai dari pasir berlumpur sampai lumpur, namun rajungan banyak tertangkap pada tipe substrat lumpur berpasir (Ernawati 2013). Rajungan jantan dan betina di Pantai Sarawak, Laut Cina Selatan umumnya ditemukan bermigrasi ke arah laut yang dalam selama musim memijah (Ikhwanuddin et al. 2012b). Temuan tersebut berlawanan dengan dilaporkan oleh peneliti sebelumnya (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000; Poter dan de Lestang 2000; de Lestang et al. 2003) bahwa hanya rajungan betina bermigrasi ke arah perairan laut yang lebih dalam sedangkan jantan tetap berada di perairan yang dangkal. Rajungan di perairan teluk sering tidak bermigrasi ketika memijah, dan pada keadaan tertentu ketika terjadi perubahan salinitas, rajungan memijah pada bagian perairan teluk yang bersalinitas tinggi (Sumpton et al.1994; Potter dan de Lestang 2000; de Lestang et al. 2003; Ikhwanuddin et al. 2011). Rajungan dapat mengatur kondisi osmotik di dalam tubuhnya yang hiposalin terhadap kondisi air laut yang hipersalin agar tetap sesuai dengan lingkungannya, sehingga rajungan dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas (11-53 ppt) untuk

7

waktu lama (Kangas 2000). Salinitas berperan penting dalam menentukan keberadaan rajungan di daerah asuhan selama musim dingin (Potter dan de Lestang 2000; Kangas 2000). Rajungan toleran terhadap fluktuasi oksigen terlarut yang besar seperti terjadi di estuari (Kangas 2000). Rajungan masih bertahan hidup di estuari dengan kondisi oksigen terlarut < 2 mgl-1 (Dhawan et al. 1976), dan masih dapat melakukan respirasi ketika terjadi anaerob dan dapat menahan kekurangan oksigen pada suhu rendah, 13 oC dan suhu lebih tinggi, 19 oC (Kangas 2000). Rajungan jantan dan betina mempunyai toleransi berbeda terhadap berbagai tipe habitat selama dalam setahun (Sumpton et al. 1994). Rajungan betina menyukai substrat pasir ketika melepaskan telur untuk mendukung keberhasilan penetasannya sehingga betina dewasa yang telah matang gonad bermigrasi ke dalam gundukan pasir (sand bank) untuk mengeluarkan telurnya (Sumpton et al. 1994). Distribusi spasial rajungan berkaitan dengan ukuran, yaitu rajungan berukuran lebih besar (panjang karapas 50 mm) biasanya tertangkap pada kedalaman > 6 meter sedangkan juvenil (panjang karapas 30 mm) ditemukan pada perairan lebih dangkal di dekat pantai (Batoy et al.1988). Pola distribusi tersebut diduga berkaitan dengan migrasi untuk memijah, molting dan mencari makan, serta dipengaruhi oleh salinitas dan substrat perairan (Batoy et al.1988; Ikhwanuddin et al. 2011). Salinitas dan suhu merupakan faktor utama yang mengontrol distribusi rajungan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011). Kajian karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan di Indonesia diantaranya telah dilakukan di Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013). Penelitian rajungan di Teluk Lasongko masih bersifat umum (Hamid 2011) dan belum mengkaji populasi rajungan berdasarkan karakteristik habitatnya. Rajungan di perairan Teluk Lasongko dapat ditemukan pada bagian yang dangkal atau pada daerah intertidal sampai subtidal yang ditumbuhi padang lamun dengan substrat umumnya terdiri dari pasir halus sampai pasir kasar (Hamid 2011) mulai dari bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk. Kondisi habitat merupakan salah satu informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan rajungan, namun informasi kondisi habitat di Teluk Lasongko masih terbatas sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) karakteristik habitat rajungan, (2) distribusi populasi rajungan berdasarkan hasil tangkapan, dan (3) keterkaitan variabel karakteristik habitat dengan jumlah rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko. Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah yang terletak pada posisi berkisar antara 05o15’LS hingga 05o27’ LS dan antara 122o27’BT hingga 122o33’ BT (Gambar 2). Perairan Teluk Lasongko meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lakudo dan Kecamatan Mawasangka Timur. Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014.

8

Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengambilan contoh di Teluk Lasongko Penentuan Stasiun Stasiun penelitian mulai pada bagian kepala teluk sampai bagian mulut Teluk Lasongko dan terbagi dalam tujuh stasiun, yaitu tiga stasiun berada pada bagian kepala teluk, tiga stasiun lain terletak pada bagian tengah teluk, dan satu stasiun berada di bagian mulut teluk (Gambar 2). Stasiun ditentukan berdasarkan kondisi padang lamun, tipe substrat, dan kedalaman perairan yang mewakili tipe habitat rajungan dan daerah penangkapan rajungan di Teluk Lasongko. Kondisi habitat rajungan dan merupakan lokasi setiap stasiun pengambilan contoh rajungan di Teluk Lasongko adalah sebagai berikut : Stasiun 1 : Terletak pada bagian kepala teluk, kondisi perairannya sempit, daerah intertidal ditumbuhi padang lamun Enhalus acoroides (dominan) dan Thalassia hemprichii dengan kepadatan rendah dan bibir pantainya ditumbuhi mangrove. Secara visual bersubstrat pasir kasar, pecahan kulit kerang dan lumpur, serta kondisi airnya keruh dengan kedalaman air berkisar 1 m hingga 5 m. Stasiun ini dengan posisi 05o16’23.4”LS hingga 05o16’48.3”LS; dan 122o31’37.3”BT hingga 122o31’48.9”BT, Stasiun 2 : Daerah intertidal sampai subtidal atas ditumbuhi oleh lamun E. acoroides dan T. hemprichii (dominan) dengan kepadatan relatif rendah. Secara visual bersubstrat pasir kasar dan sedang serta sebagian dengan substrat berbatu. Kondisi airnya agak keruh dan kedalamannya berkisar antara 1 m hingga 6 m. Stasiun ini terletak pada bagian kepala teluk sisi kiri dengan posisi 05o16’59.4”LS hingga 05o17’19.3”LS dan 122o30’01.1”BT hingga 122o31’08.3” BT,

9

Stasiun 3

: Daerah intertidal sampai subtidal bagian atas ditumbuhi oleh lamun jenis T. hemprichii (dominan) dan E. acoroides dengan kepadatan sedang sampai padat. Kedalaman airnya berkisar dari 1.5 m hingga 7.0 m, dan secara visual bersubstrat pasir kasar, pecahan kulit kerang dan lumpur, serta relatif jernih. Terletak pada bagian kepala teluk sisi kanan dengan posisi 05o18’10.”LS hingga 05o18’32.1” LS dan 122o30’58,3” BT hingga 122o31’09.5” BT, Stasiun 4 : Hamparan padang lamunnya luas dan padat terdiri atas jenis T. hemprichii (dominan) dan E. acoroides. Secara visual bersubstrat pasir halus, sedang, dan lumpur. Kondisi airnya relatif jernih dengan kedalaman air berkisar dari 1.5 m hingga 12 m. Terletak pada bagian tengah teluk sisi kanan dengan posisi 05o19’17.1” LS hingga 05o19’44.9” LS dan 122o31’21.7” BT hingga 122o31’47.7”BT, Stasiun 5 : Daerah intertidal sampai subtidal atas ditumbuhi oleh lamun jenis T. hemprichii (dominan) dan E. acoroides dengan kepadatan sedang. Secara visual bersubstrat pasir kasar, sedang dan lumpur, dan airnya relatif jernih dengan kedalaman berkisar 1.5 m hingga 7 m. Stasiun ini terletak pada bagian tengah teluk sisi kiri dengan posisi 05o19’37,8”LS hingga 05o20’06.1”LS dan 122o29’52.8” BT hingga 122o30’17.0”BT, Stasiun 6 : Stasiun ini tidak memiliki intertidal, kedalaman air berkisar antara 5 m hingga 10 m berupa hamparan pasir. Kondisi airnya relatif jernih dan secara visual bersubstrat pecahan karang, pasir sedang pasir halus dan lumpur. Terletak di bagian tengah teluk dengan posisi 05o18’11,4”LS hingga 05o18’28.6”LS dan 122o29’51.9” BT hingga 122o30’32.9” BT, Stasiun 7 : Stasiun ini juga tidak memiliki intertidal dan berada pada bagian mulut telur dengan kedalaman air berkisar antara 14 m hingga 31 m dan jernih. Secara visual bersubstrat pasir halus dan lumpur. Terletak pada posisi 05o22’8.9” LS hingga 05o22’10.0” LS dan 122o31’9.9” BT hingga 122o31’0.9” BT. Stasiun 1, 2, 3, 4 dan 5 terdiri dari tiga sub stasiun, sedangkan stasiun 6 dan 7 hanya terdiri dari dua sub stasiun. Stasiun 6 dan7 tidak berhubungan langsung dengan daratan dan daerah intertidal. Kelima stasiun yang disebutkan pertama, selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga tipe habitat rajungan berdasarkan kesamaan kondisi kedalaman air, tipe substrat dan padang lamun. Karakteristik ketiga tipe habitat rajungan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Habitat A, terletak pada daerah intertidal dengan kedalaman air pada saat air pasang berkisar 1.5 m hingga 2.5 m, ketika air surut terendah (paling besar) yaitu terjadi pada bulan Oktober dan November daerah ini kering, ditumbuhi padang lamun lebih padat dan bersubstrat didominasi fraksi pasir kasar, (2) Habitat T terdapat pada daerah peralihan antara habitat A dan B dengan kedalaman air ketika air pasang berkisar 2.5 m hingga 3.5 m, ditumbuhi lamun dengan kepadatan lebih rendah dibnadingkan dengan habitat A dan bersubstrat didominasi pasir, dan (3) Habitat B terdapat pada daerah subtidal bagian atas dengan kedalaman air berkisar 5 m hingga 12 m, bersubstrat lebih halus dan tidak ditumbuhi lamun.

10

Pengukuran Data Variabel Karakteristik Habitat Parameter karakteristik habitat yang diukur pada penelitian ini terdiri atas tekstur sedimen, kepadatan padang lamun, kedalaman air, suhu air, kecerahan, kekeruhan, total padatan tersuspensi (TSS), kecepatan arus, oksigen terlarut, salinitas, dan pH. Variabel karakteristik habitat rajungan yang diukur sebagian besar hanya pada bagian permukaan, kecuali padang lamun dan tekstur sedimen pada bagian dasar perairan. Setiap variabel tersebut diukur setiap bulan pada setiap stasiun, kecuali tekstur sedimen dan padang lamun hanya diukur sekali pada awal penelitian. Contoh sedimen pada setiap sub stasiun (tipe habitat) diambil dengan menggunakan Petersen grab untuk lokasi yang dalam dan lokasi yang dangkal (intertidal) digunakan sekop kecil. Substrat ketika dianalisis di laboratorium digunakan saringan bertingkat dan timbangan digital. Berat contoh sedimen yang diambil pada setiap tipe habitat sekitar 500 gram. Kepadatan lamun ditentukan dengan menggunakan transek kuadrat 100 x 100 cm dengan grid 25 x 25 cm dan diulang tiga sampai empat kali untuk setiap tipe habitat, tergantung pada hamparan padang lamun. Jenis lamun diidentifikasi berdasarkan Azkab (1996). Kedalaman air diukur dengan tali berskala dan kecerahan diukur dengan piring Secchi. Kadar kekeruhan air habitat rajungan diukur dengan turbidimeter (Hach tipe 21000). TSS dianalisis dengan metode gravimetrik dan alat yang digunakan antara lain pompa vacum, timbangan digital, dan kertas saring Wathman nomor 45. Kadar kekeruhan dan TSS dianalisis di laboratorium Lingkungan Balai Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan pelampung, tali dengan panjang 2 meter dan stop watch. Oksigen terlarut diukur dengan DO meter Jenway tipe 770 dan juga dilengkapi dengan sensor pengukuran suhu air. Salinitas air diukur dengan menggunakan refraktometer ATAGO dan pH air diukur dengan pH meter CE RoHS tipe pH-035 (ATC) dan dilengkapi dengan sensor pengukuran suhu air. Pengukuran setiap variabel habitat tersebut dilakukan pada pagi hari, yaitu antara pukul 06.30 hingga pukul 09.30. Suhu dan pH air sebagian besar juga diukur pada sore hari antara pukul 16.30 hingga pukul 17.30 WITA. Suhu air, kedalaman, kecerahan, kecepatan arus, salinitas, pH dan oksigen terlarut diukur langsung di lapangan bersamaan dengan penangkapan rajungan pada setiap stasiun atau tipe habitat. Posisi setiap stasiun atau tipe habitat ditentukan dengan GPS-Garmin, model 76CSx. Sarana transportasi yang digunakan pada setiap penangkapan rajungan dan pengukuran kualitas air adalah perahu motor kantiting. Pengukuran Data Populasi Rajungan Populasi rajungan dilihat dari jumlah hasil tangkapan rajungan pada setiap stasiun. Pengukuran data populasi rajungan pada setiap stasiun dilakukan sebanyak 12 kali dengan selang waktu satu bulan sekali untuk setiap stasiun. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan adalah gillnet dasar dengan ukuran mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci. Ketiga ukuran mata jaring tersebut dirangkai secara seri menjadi satu unit gillnet penangkap rajungan dengan tinggi sekitar 75 cm. Jumlah gillnet yang dipasang pada setiap sub stasiun atau tipe habitat sebanyak dua unit dan diletakkan sejajar dengan garis pantai untuk stasiun 1 sampai stasiun 5,

11

sedangkan pada stasiun 6 dan 7 memotong arah arus. Gillnet dipasang pada sore hari, yaitu antara pukul 16.30 hingga pukul 17.30 WITA dan diangkat kembali mulai pukul 06.30 hingga pukul 09.00 WITA. Rajungan yang tertangkap pada setiap sub stasiun dicatat jumlahnya menurut jenis kelamin. Data total hasil tangkapan rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap hari dan bulan diperoleh dari catatan harian pengolah daging rajungan di daerah ini. Data tersebut digunakan sebagai data pembanding. Penentuan Fraksi Sedimen dan Kepadatan Lamun Contoh tekstur sedimen dianalisis di Laboratorium Terpadu Universitas Halu Oleo dengan metode gravimetrik dan pipet. Contoh sedimen pada setiap sub stasiun dianalisis dalam tujuh ukuran fraksi sedimen, yaitu pasir kasar sekali = 2000-1000 µm, pasir kasar = 1000-500 µm, pasir sedang = 500-210 µm, pasir halus = 210-100 µm, pasir halus sekali = 100-62 µm, debu = 62-2 µm, dan liat < 2 µm (Brower et al. 1990). Ketujuh fraksi sedimen tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pasir, lempung (debu) dan liat yang digunakan untuk menentukan tipe substrat dengan segi tiga Milller (Brower et al. 1990). Kepadatan padang lamun pada setiap stasiun dan tipe habitat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : D=

......................................................... (1)

D adalah kepadatan padang lamun pada setiap tipe habitat (tunas m-2), Ni jumlah tunas jenis lamun ke-i (tunas), n jumlah ulangan pengambilan contoh, dan a luas transek kuadrat (m2). Analisis Data Data kualitas air habitat rajungan dikelompokkan berdasarkan stasiun dan periode pengukuran dan dianalisis secara deskriptif serta ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Data jumlah dan berat rajungan yang tertangkap dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, stasiun dan periode penangkapan. Total jumlah dan berat rajungan yang tertangkap selama penelitian dianalisis secara deskriptif. Jumlah dan berat rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun dan periode penangkapan serta hasil tangkapan rajungan harian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) satu arah, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torie 1992). Jumlah dan berat rajungan serta hasil tangkapan bulanan rajungan antara musim timur dan musim barat dianalisis dengan uji t dengan asumsi ragam tidak sama pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1991). Sebelum dilakukan uji ANOVA dan uji t, data jumlah, berat dan hasil tangkapan rajungan dilakukan uji kenormalan dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992) dan jika hasil uji t berbeda nyata, maka dilakukan ditransformasi ke log 10. Keterkaitan populasi rajungan dengan variabel karakteristik habitat dianalisis dengan analisis komponen utama (PCA) berdasarkan matriks korelasi dan jarak Euiclidean (Bengen 2001). Selain itu, juga dilakukan analisis korelasi untuk menentukan keterkaitan antara variabel kualitas air dengan jumlah populasi rajungan yang tertangkap. Setiap proses analisis data tersebut digunakan Minitab versi 15 dan Microsoft Excel 2007.

12

Hasil Karakteristik Habitat Kondisi Substrat dan Padang Lamun Komposisi fraksi sedimen habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan terdiri dari fraksi pasir sangat kasar (PSK) sampai fraksi liat (Li). Proporsi setiap fraksi sedimen pada setiap stasiun bervariasi dengan kisaran antara 0.75 % hingga 48.84 % (Tabel 1). Fraksi sedimen yang ditemukan pada setiap stasiun dan tipe habitat sebagian besar didominasi PSK dan pasir kasar (PK) dengan tipe substrat pasir, kecuali pada stasiun 6-2 dan stasiun 7 dan tipe habitat B. Stasiun 6-2 didominasi fraksi sedimen Li dan PSK dengan tipe substrat lempung liat berpasir sedangkan pada stasiun 7 didominasi oleh Li dan lempung (Le) dengan tipe substrat lempung (Tabel 1). Proporsi fraksi Le dan Li pada habitat B semakin meningkat dan tipe substrat pada tipe habitat ini sebagian besar lempung berpasir, kecuali pada habitat B pada stasiun 2 bertipe substrat pasir. Fraksi sedimen habitat rajungan di Teluk Lasongko cenderung semakin halus dengan semakin bertambahnya kedalaman. Tabel 1. Rataan proporsi (%) fraksi sedimen dan tipe substrat berdasarkan stasiun dan tipe habitat rajungan di Teluk Lasongko Stasiun Habitat 1

2

3

4

5 6 7

A T B A T B A T B A T B A T B 1 2 1

PSK

47.43 41.18 11.80 48.46 52.14 41.66 35.06 48.84 39.29 20.72 13.83 44.57 25.06 38.67 36.19 41.27 28.43 1.25

Proporsi setiap jenis fraksi sedimen (%) PK PS PH PSH Le 25.58 11.03 4.64 5.00 2.58 38.86 5.18 3.84 4.60 2.60 24.24 7.55 19.64 12.64 11.29 18.19 8.85 5.76 4.75 8.57 29.21 6.17 1.93 2.84 3.45 25.84 9.02 4.45 5.49 3.66 25.43 14.98 10.03 7.07 5.01 32.42 6.93 2.26 3.83 3.39 21.6 6.26 3.25 8.29 14.72 22.26 14.99 16.83 14.74 7.69 19.73 21.67 23.54 17.36 3.12 21.48 6.48 3.21 6.05 10.33 26.44 19.84 12.82 8.04 3.99 32.62 8.88 8.32 4.75 4.16 17.05 11.51 5.81 5.72 6.83 29.65 10.67 5.99 6.55 4.56 11.23 5.95 4.09 4.29 10.21 4.86 3.62 1.20 3.02 39.19

Tipe substrat Li 3.74 Pasir 3.74 Pasir 12.84 Pasir berlempung 5.42 Pasir 4.26 Pasir 9.88 Pasir 2.42 Pasir 2.33 Pasir Pasir berlempung 6.59 2.77 Pasir 0.75 Pasir Pasir berlempung 7.88 3.81 Pasir 2.60 Pasir 16.89 Pasir berlempung 1.31 Pasir 35.8 Lempung liat berpasir 46.86 Lempung

PSK pasir sangat kasar.; PK pasir kasar.; PS pasir sedang.; PH pasir halus.; PSH pasir sangat halus.; Le lempung.; Li liat.; habitat A dengan kedalaman air 1.5 m hingga 2.5 m dan ditumbuhi lamun yang padat.; habitat T dengan kedalaman air 2.5 m hingga 3.5 m dan ditumbuhi lamun dengan kepadatan lebih rendah dari habitat A.; habitat B dengan kedalaman air 5 m hingga 12 m dan tidak ditumbuhi lamun. ; 1 dan 2 sub stasiun.

13

Habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan pada padang lamun yang didominasi jenis E. acoroides dan T. hemprichii pada setiap habitat A dan T yang tersebar pada lima stasium. Kepadatan padang lamun pada habitat A berkisar antara 120 tunas m-2 hingga 416 tunas m-2 sedangkan pada habitat T berkisar antara114 tunas m-2 sampai 316 tunas m-2 (Tabel 2). Tabel 2. Rataan kepadatan (tunas m-2) padang lamun dan jenis lamun dominan pada setiap stasiun dan tipe habitat di Teluk Lasongko Stasiun 1 2 3 4 5

Kepadatan setiap tipe habitat A T 120 114 242 236 347 310 416 316 254 218

Jenis lamun dominan E. acoroides (dominan), T. hemprichii E. acoroides, T. hemprichii (dominan) E. acoroides, T. hemprichii (dominan) E. acoroides, T. hemprichii (dominan) E. acoroides, T. hemprichii (dominan)

Karakteristik Kualitas Air Habitat Rajungan Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun tertera pada Tabel 3 dan pada setiap periode pengukuran tertera pada Gambar 3 dan Lampiran 1. Kedalaman air habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar dari 35 cm hingga 3100 cm yang diukur pada saat surut terendah dan pasang tertinggi. Rataan kedalaman air habitat rajungan pada setiap stasiun berkisar antara 271.0 cm sampai 2250.1 cm (Tabel 3), dan habitat rajungan terdalam ditemukan pada stasiun 7 dan terdangkal ditemukan pada stasiun 1. Kedalaman air habitat rajungan terdangkal dan terdalam selama penelitian ditemukan pada bulan November karena pada bulan ini terjadi surut terendah dan pasang tertinggi di kawasan Teluk Lasongko. Suhu air habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 23.4 oC hingga 33.5 oC dengan rataan pada setiap bulan berkisar dari 27.7 oC hingga 29.1 oC (Tabel 3), suhu air terendah ditemukan pada stasiun 7 dan tertinggi ditemukan di stasiun 5. Suhu air terendah ditemukan pada stasiun 7, karena pada stasiun ini tidak dilakukan pengukuran suhu air pada waktu sore hari. Rataan suhu air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran berkisar antara 27.3 oC hingga 30.0 oC, terendah ditemukan pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan November (Gambar 3). Variasi suhu air harian habitat rajungan di Teluk Lasongko antara bulan Agustus sampai bulan Oktober lebih tinggi dari pada bulan lainnya, hal ini dapat dilihat dari simpangan baku suhu (Gambar 3). Variasi suhu air harian tertinggi selama penelitian terjadi pada bulan Agustus, yaitu pada waktu pagi (pukul 06.15 WITA) 23.8 oC dan menjelang siang hari (pukul 10.30 WITA) mencapai 35.6 oC (Lampiran 1). Kecerahan air habitat rajungan yang ditemukan di Teluk Lasongko berkisar antara 35 cm hingga 1532 cm dengan rataan berkisar antara 152.4 cm hingga 1345.5 cm (Tabel 3), tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 1 sedangkan berdasarkan periode pengukuran kecerahan air terendah dan tertinggi ditemukan pada bulan November. Kekeruhan air habitat rajungan yang ditemukan pada penelitian ini berkisar antara 0.20 NTU hingga 12.00 NTU dengan rataan berkisar antara 1.17 NTU hingga 2.40 NTU, tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan

14

terendah pada stasiun 4. Kekeruhan air habitat rajungan antara bulan Juli sampai bulan September ditemukan lebih rendah, yaitu dengan rataan <1.00 NTU sedangkan pada bulan Juni dan Oktober (dengan rataan > 2.00 NTU) lebih tinggi dibandingkan dengan periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3). Kekeruhan air habitat rajungan pada bulan Juni dan Oktober juga ditemukan lebih bervariasi dibandingkan dengan periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3). Tabel 3. Rataan kualitas air habitat rajungan pada setiap stasiun di Teluk Lasongko Variabel

Nilai

Kedalaman (cm)

Rataan Sd Rataan Sd Rataan Sd Rataan Sd Rataan Sd Rataan Sd Rataan Sd Rataan Sd Rataan Sd

Suhu (oC) Kecerahan (cm) Kekeruhan (NTU) TSS (mgl-1) Kecepatan arus

(cmdetik-1) Oksigen (mgl-1) Salinitas (ppt) pH

Stasiun 1

2

3

4

5

6

7

271.0 133.3 28.5 1.5 152.4 46.5 2.40 2.30 109.90 40.90 11.91 6.98 5.20 1.00 29.5 3.4 8.42 0.18

276.5 173.5 28.0 1.9 188.2 81.3 1.90 1.20 100.30 31.60 7.17 2.54 5.43 1.31 31.7 1.5 8.39 0.18

324.3 209.7 28.8 1.7 284.7 123.6 1.33 0.75 83.75 30.80 9.05 4.53 5.10 1.00 32.1 1.6 8.40 0.20

478.3 439.4 28.7 1.8 397.3 271.1 1.17 1.00 83.81 42.18 7.46 4.45 5.42 1.15 32.1 1.5 8.40 0.10

357.5 229.8 29.1 1.9 337.6 161.0 1.52 1.25 109.50 54.57 9.71 4.50 5.36 1.09 32.2 1.5 8.43 0.17

635.9 167.8 28.9 2.0 451.7 100.4 1.18 0.76 95.24 39.41 31.60 1.80 5.90 1.00 32.0 1.8 8.50 0.10

2250.1 477.1 27.7 1.8 1345.5 139.1 1.20 0.90 99.90 21.20 8.40 5.53 5.1 0.6 33.4 1.4 8.50 0.10

Sd simpangan baku

Total padatan tersuspensi (TSS) habitat rajungan yang ditemukan pada penelitian ini berkisar antara 15.0 mgl-1 hingga 292 mgl-1 dengan rataan pada setiap stasiun berkisar antara 83.75 mgl-1 hingga 109.90 mgl-1 (Tabel 3). Kadar TSS pada stasiun 1, 2 dan 5 ditemukan lebih tinggi sebaliknya pada stasiun 3 dan 4 lebih rendah dibandingkan dengan kadar TSS pada stasiun lainnya. Kadar TSS habitat rajungan terendah ditemukan pada bulan April (rataan 52.2 mgl-1) sedangkan tertinggi ditemukan pada bulan Desember (rataan 123.9 mgl-1). Kadar TSS habitat rajungan pada bulan September sampai bulan Desember dan bulan Maret (rataan >100 mgl-1) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar TSS pada bulan lainnya. Variasi kadar TSS pada bulan September dan Desember juga ditemukan lebih tinggi dari pada periode pengukuran pada bulan lainnya (Gambar 3).

15

32.5 30.0 27.5 25.0 22.5 20.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 200.0 150.0 100.0 50.0 0.0

TSS (mg.l-1)

Kekeruhan (NTU)

Suhu (oC)

Suhu

Kekeruhan

TSS

Kec. arus (cm.det-1)

30.00

Kecepatan arus

20.00 10.00 0.00

Salinitas (ppt)

40.0

Salinitas

35.0 30.0 25.0 20.0

Oksigen (mg.l-1)

10.00

Oksigen terlarut

7.50 5.00 2.50

pH

0.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00

pH

Waktu pengukuran (bulan)

Gambar 3. Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode pengukuran di Teluk Lasongko Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar antara 0.44 cm detik-1 hingga 38.25 cm detik-1 dengan rataan pada setiap stasiun sebagian besar <10.00 cm detik-1, kecuali pada stasiun 1 >10.00 cm detik-1 (Tabel 3). Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi antar stasiun dan periode waktu pengukuran. Keceparan arus tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan

16

ketika diukur bertepatan dengan puncak air laut bergerak surut. Kecepatan arus pada beberapa stasiun kadang sama dengan nol karena tidak terdeteksi dengan alat yang digunakan untuk mengukur kecepatan arus. Berdasarkan periode pengukuran, kecepatan arus habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan Desember, yaitu berkisar antara 4.77 cm detik-1 hingga 38.25 cm detik-1 dengan rataan 14.35 cm detik-1 dan terendah ditemukan pada bulan Juni, yaitu berkisar antara 0.44 cm detik-1 hingga 12.66 cm detik-1 dengan rataan 6.56 cm detik-1 (Gambar 3 dan Lampiran 1). Kecepatan arus habitat rajungan di Teluk Lasongko antara bulan Oktober sampai bulan Desember cenderung meningkat sedangkan antara bulan Januari sampai bulan Maret cenderung menurun (Gambar 3). Kadar oksigen terlarut habitat rajungan di perairan Teluk Lasongko berkisar antara 3.05 mgl-1 hingga 7.82 mgl-1 (Lampiran 1) dengan rataan pada setiap stasiun umumnya >5.00 mgl-1 (Tabel 3). Kadar oksigen terlarut pada stasiun 6 ditemukan cenderung lebih tinggi sedangkan pada stasiun 3 dan 7 cenderung lebih rendah dari pada stasiun lainnya (Tabel 3). Kadar oksigen terlarut habitat rajungan antara bulan April sampai bulan Maret ditemukan berkisar antara 3.05 mgl-1 hingga 8.34 mgl-1 dengan rataan berkisar antara 4.24 mgl-1 hingga 6. mgl-1. Rataan kadar oksigen terlarut habitat rajungan pada bulan April sampai Juli > 6.00 mgl-1, sedangkan antara bulan Agustus sampai bulan September hanya sekitar 4 mgl-1. Rataan kadar oksigen terlarut habitat rajungan dari bulan November sampai bulan Maret cenderung menurun, yaitu berkisar antara 6.11 mgl-1 hingga 4.53 mgl-1 (Gambar 3). Rataan kadar oksigen terlarut habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan Juni dan terendah pada bulan Oktober. Salinitas habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 16 ppt hingga 35 ppt dengan rataan pada setiap stasiun umumnya > 30 ppt, kecuali di stasiun 1 ditemukan < 30 ppt (Tabel 3). Salinitas habitat rajungan tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 1. Salinitas habitat rajungan di perairan ini antara bulan April sampai bulan September (musim timur) cenderung meningkat, sebaliknya antara bulan Oktober sampai bulan Maret (Musim barat) cenderung menurun (Gambar 3). Salinitas habitat rajungan tertinggi ditemukan pada bulan November dan terendah pada bulan Juli. Salinitas habitat rajungan di perairan ini selama bulan September sampai November lebih tinggi, sedangkan antara bulan April sampai bulan Juli dan Maret salinitas habitat rajungan lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya (Gambar 3). Rataan salinitas habitat rajungan berdasarkan waktu pengukuran >30 ppt, dan salinitas habitat rajungan pada bulan Juli, Agustus dan Oktober cenderung lebih bervariasi, sebaliknya pada periode pengukuran pada sembilan bulan lainnya salinitas habitat rajungan cenderung stabil. Nilai pH air habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 7.45 hingga 8.74 (Lampiran 1) dengan rataan pada setiap stasiun umumnya relatif sama, yaitu sekitar 8.4 (Tabel 3), sedangkan rataan pH berdasarkan periode pengukuran berkisar antara 8.15 hingga 8.62 (Gambar 3), tertinggi ditemukan pada bulan Maret dan terendah pada bulan Juni. Nilai pH air habitat rajungan di perairan ini cenderung meningkat dari awal sampai akhir penelitian, dan pada setiap periode pengukuran ditemukan cenderung lebih stabil bila dibandingkan dengan variabel kualitas air lainnya (Gambar 3), karena air laut memiliki kapasitas penyangga yang lebih besar.

17

Distribusi Populasi Rajungan Berdasarkan Jumlah yang Tertangkap Total jumlah rajungan yang tertangkap selama penelitian sebanyak 1178 ekor, terdiri atas 606 ekor jantan dan 572 ekor betina dengan total berat 54.27 kg untuk jantan dan betina 52.85 kg. Jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 52 ekor hingga 139 ekor dengan berat berkisar antara 5.51 kg hingga 10.04 kg, sedangkan jumlah rajungan betina berkisar antara 61 ekor hingga 128 ekor dengan berat berkisar antara 5.63 kg hingga 11.37 kg (Gambar 4). Jumlah rajungan jantan dan betina tertinggi ditemukan pada stasiun 2, serta terendah tertangkap pada stasiun 7 untuk jantan dan betina pada stasiun 6. Berat total rajungan jantan tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6, sedangkan rajungan betina tertinggi tertangkap pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 5 (Gambar 4). Jantan

Jumlah (ekor)

300

Betina

Gabunagn

A 200 100 0 Jantan

Berat (kg)

20

Betina

Gabungan

B

15 10 5 0 1

2

3

4

5

6

7

Stasiun

Gambar 4. Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun Rataan jumlah dan berat rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap stasiun untuk setiap kali penangkapan tertera pada Tabel 4. Jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap stasiun dan setiap kali penangkapan masingmasing berkisar antara 1 ekor hingga 29 ekor. Rajungan jantan tidak ditemukan pada tiga kali penangkapan selama penelitian, satu kali pada stasiun 4 dan dua kali pada stasiun 6. Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun untuk setiap kali penangkapan berkisar antara 5 ekor hingga 13 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.54 kg hingga 1.06 kg, sedangkan rajungan betina berkisar antara 5 ekor hingga 14 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.47 kg hingga 1.89 kg (Tabel 4). Rataan jumlah gabungan kedua jenis kelamin berkisar antara 9 ekor hingga 22 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.98 kg hingga 2.95 kg (Tabel 4).

18

Tabel 4. Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap pada setiap kali penangkapan untuk setiap stasiun Stasiun 1 2 3 4 5 6 7

Jantan Jumlah 13 +6a 12 +8ab 6 +5b 7+6ab 6+4b 5+ 5b 9 +4ab

Berat 0.91+0.41a 0.82+0.70a 0.59+0.43a 0.72+0.61a 0.62+0.46a 0.54+0.50a 1.06+0.50a

Betina Jumlah Berat ac 9+5 0.60+0.39a 11 +9a 0.66+0.44a bc 5+ 4 0.57+0.48a 6+4ac 0.71+0.44a 5+ 2bc 0.47+0.15a 5+4c 0.53+0.43a 14+6a 1.89+0.76a

Gabungan Jumlah Berat ab 20+12 1.51+0.74ab 22+15ab 1.47+1.00ab 11+8bc 1.16+0.87bc 13 + 10abc 1.37+0.90bc 11+4abc 1.09+0.47bc 10 + 9bc 0.98+0.89c 23 + 8ab 2.95+0.89a

Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)

Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap setiap kali penangkapan tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6, sedangkan rataan berat rajungan tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 6. Rataan jumlah dan berat rajungan betina tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 5, serta rataan jumlah dan berat gabungan kedua jenis kelamin tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 6. Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa jumlah rajungan jantan dan betina serta jumlah dan berat gabungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap kali penangkapan menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun, namun berat rajungan jantan dan betina tidak berbeda nyata (p>0.05) antar stasiun (Tabel 4). Distribusi Populasi Rajungan Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim Jumlah rajungan jantan yang tertangkap setiap periode penangkapan berkisar antara 20 ekor hingga 100 ekor dengan berat berkisar antara 1.69 kg hingga 8.38 kg, sedangkan rajungan betina berkisar antara 25 ekor hingga 86 ekor dengan berat berkisar antara 2.18 kg hingga 7.40 kg. Jumlah gabungan rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 45 ekor hingga 186 ekor dengan berat berkisar antara 3.87 kg hingga 15.78 kg, tertinggi tertangkap pada bulan Mei sedangkan terendah pada bulan September (Gambar 5). Jumlah dan berat rajungan jantan dan betina yang tertangkap dari bulan Mei sampai bulan September cenderung menurun sedangkan dari bulan September sampai bulan Januari cenderung meningkat. Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan berkisar antara 4 ekor hingga 17 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.37 kg hingga 1.40 kg (Tabel 5). Jumlah rajungan jantan tertinggi ditemukan pada bulan Mei sebanyak 29 ekor dengan berat 2.62 kg sedangkan yang tertangkap pada bulan September, Oktober dan November lebih rendah dari pada sembilan bulan lainnya (Gambar 5). Rajungan jantan tidak tertangkap ditemukan sebanyak tiga kali selama penelitian, yaitu dua kali pada bulan November dan satu kali pada bulan Desember. Rataan jumlah rajungan betina yang tertangkap pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan berkisar

19

antara 5 ekor hingga 14 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.44 kg hingga 1.23 kg, tertinggi ditemukan pada bulan Mei dan terendah pada bulan September (Tabel 5).

Jumlah (ekor)

200

Jantan

Betina

Gabungan

150 100 50

Berat (kg)

0 20.000 15.000

Jantan

Betina

Gabungan

10.000 5.000 0.000

Waktu penangkapan (bulan)

Gambar 5. Total jumlah (A) dan berat (B) rajungan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan Rataan jumlah gabungan rajungan jantan dan betina pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan berkisar antara 9 ekor hingga 31 ekor dengan rataan berat berkisar antara 0.77 kg hingga 1.92 kg (Tabel 5). Hasil analisis ragam menunjukkan jumlah dan berat rajungan jantan, betina dan gabungan keduanya yang tertangkap pada setiap kali penangkapan sebagian besar menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) antar periode penangkapan, kecuali untuk berat rajungan betina tidak berbeda nyata (p>0.05) antar periode penangkapan (Tabel 5). Rataan jumlah rajungan jantan dan betina serta gabungan keduanya pada setiap kali penangkapan yang tertangkap pada bulan April, Mei, dan Januari ditemukan lebih tinggi sedangkan yang tertangkap pada bulan September sampai bulan November ditemukan lebih rendah dibandingkan dengan bulan lainnya. Rataan berat rajungan jantan pada setiap kali penangkapan tertinggi ditemukan pada bulan Mei dan terendah pada bulan September, sedangkan rataan berat rajungan betina serta gabungan jantan dan betina yang tertangkap pada bulan Agustus dan September lebih rendah dari pada yang tertangkap pada bulan lainnya sedangkan tertinggi ditemukan pada bulan Mei (Tabel 5). Jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap kali penangkapan sangat bervariasi, hal ini terlihat dari simpangan bakunya mendekati bahkan melebihi nilai rataan jumlah rajungan yang tertangkap setiap periode penangkapan (Tabel 5). Rataan jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur dan barat masing-masing 52 ekor dan 49 ekor dengan rataan berat 4.54 kg dan 4.72 kg (Tabel 5). Rataan jumlah rajungan betina yang tertangkap pada musim timur 49 ekor dengan

20

rataan berat 4.05 kg sedangkan pada musim barat 47 ekor dengan rataan berat 4.81 kg. Rataan jumlah gabungan rajungan yang tertangkap pada musim timur cenderung lebih tinggi dari pada musim barat, namun rataan beratnya yang tertangkap pada musim barat lebih berat dari pada musim timur (Tabel 5). Berdasarkan uji t dengan ragam tidak sama menunjukkan bahwa jumlah dan berat rajungan jantan dan betina serta gabungan kedua jenis rajungan menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 5). Tabel 5. Rataan jumlah (ekor) dan berat (kg) rajungan yang tertangkap pada setiap kali penangkapan berdasarkan periode penangkapan dan musim Waktu April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret Musim timur Musim barat

Jantan Jumlah 10+ 5ab 17+8a 9 + 4ab 7 + 5abc 6 + 3abc 4 +5c 5+ 4bc 4 + 4bc 8+6abc 11+10ab 7+6abc 7 + 4bc 52 + 28a 49+18a

Berat 0.82+0.29a 1.40+0.73a 0.83+0.30ab 0.58+0,50ab 0.48+0.27ab 0.34+0.37b 0.62+043ab 0.37+0.41ab 0.76+0.63ab 1.06+0.85a 0.57+0.37ab 0.58+0.34ab 4.54+2.37a 4.72+1.6a

Betina Jumlah Berat 9+6ab 0.70+0.55a 14+8a 1.23+0.58a 9 +2ab 0.75+0.34a ab 7+ 3 0.56+0.25a 6 + 3ab 0.44+0.19a 5+ 6b 0.44+0.37a 6+7b 0.67+0.93a b 6+6 0.74+0.86a 7+ 4ab 0.66+0.41a 9 +7ab 0.86+0.64a 7 + 4ab 0.57+0.24a ab 6+4 0.62+0.60a 49 + 21a 4.05+1.86a 47 + 9a 4.81+0.73a

Gabungan Jumlah Berat 19 +10ab 1.52+0.77ab 31+15a 2.63+1.18a 18+5ab 1.58+0.56ab ab 14+4 1.14+0.50ab 11 +5ab 0.93+0.26ab 9+11b 0.77+0.73b 11 +11b 1.29+1.36ab 10 +7b 1.11+0.96b 14+8ab 1.42+0.88ab 21 +16ab 1.92+1.18ab 14 + 10ab 1.13+0.53ab 13 +8ab 1.20+0.89ab 101+49a 8.45+4.17a 96+27a 9.42+2.14a

Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05)

Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Lasongko Total hasil tangkapan rajungan antara bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014 sebanyak 66 926.6 kg, terdiri atas pada musim timur 35 934.2 kg dan pada musim barat 30 992.4 kg (Tabel 6). Hasil tangkapan rajungan setiap bulan di perairan ini berkisar antara 2 922.4 kg hingga 8 445.8 kg, tertinggi pada bulan Juli dan terendah pada bulan Oktober. Pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2013 ketiga pengolah daging rajungan tidak mendapatkan bahan baku rajungan atau hasil tangkapan harian rajungan sebesar 0 kg (Tabel 6) karena nelayan tidak melaut. Rataan hasil tangkapan rajungan bulanan di Teluk Lasongko pada musim timur sebesar 5 989.0 kg cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan musim barat, yaitu sebesar 5 165.4 kg, namun hasil uji t dengan ragam tidak sama menunjukkan hasil tangkapan rajungan bulanan tidak berbeda nyata (p>0.05) antara musim timur dan musim barat (Tabel 6).

21

Tabel 6. Hasil tangkapan rajungan setiap bulan dan hari di Teluk Lasongko periode bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014 Hasil tangkapan setiap hari (kg) Hasil tangkapan Bulan setiap bulan ( kg) Rataan Tertinggi Terendah bc Mei 2013 6584.5 212.4 354.3 126 a Juni 2013 7976.4 265.9 573.3 136.7 a Juli 2013 8445.8 272.5 366.8 172.3 Agustus 2013*) 3429.3 174.75c 231.4 63.9 d September 2013 3893.0 129.8 201.7 91.2 e Oktober 2013 2922.4 94.3 153.9 0 d November 2013 4010.7 133.7 190.1 83.1 Desember 2013 6014.4 203.7bc 306.3 114 bc Januari 2014 5835.4 194.4 270.6 136.3 b Februari 2014 6214.8 222.0 297.5 171.5 bc Maret 2014 5994.7 193.4 244.4 128.5 April 2014 5605.2 186.8c 340.8 10.6 a a Musim timur 5989.0 + 2070.4 206.5+55.5 573.3 10.6 a a Musim barat 5165.4 + 1365.5 194.4+54.8 306.3 0 Total 66926.6 M. timur 35934.2 M. barat 30992.4 Data diolah dari catatan harian tiga pengolah daging rajungan (Halik, Alimu dan La Hera 2014) di Teluk Lasongko; Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).; *) kegiatan penangkapan rajungan hanya 19 hari.

Hasil tangkapan rajungan harian di Teluk Lasongko selama bulan Mei 2013 sampai April 2014 berkisar antara 10.6 kg hingga 573.3 kg dengan rataan berkisar antara 94.3 kg hingga 272.5 kg, tertinggi ditemukan pada bulan Juli dan terendah pada bulan Oktober. Hasil analisis ANOVA menunjukkan hasil tangkapan harian rajungan di perairan ini berbeda nyata (p<0.05) antar periode bulan. Hasil uji Tukey menunjukkan hasil tangkapan rajungan harian pada bulan Juni dan Juli adalah sama, dan keduanya berbeda nyata (p<0.05) dengan hasil tangkapan rajungan harian pada sepuluh bulan lainnya. Hasil tangkapan rajungan pada bulan Oktober berbeda nyata (p<0.05) dengan kesebelas bulan lainnya. Hasil tangkapan rajungan harian pada bulan Mei dan Desember, serta pada bulan Januari dan Maret tidak berbeda nyata (p>0.05), namun berbeda nyata (p<0.05) dengan hasil tangkapan harian pada bulan September dan bulan November (Tabel 6). Keterkaitan Variabel Habitat dan Populasi Rajungan Tertangkap Hasil analisis komponen utama (PCA) menunjukkan bahwa sebaran variabel karakteristik habitat terhadap stasiun penelitian ditemukan tersebar pada tiga sumbu (F) utama dengan kontribusi kumulatif sebesar 0.835 atau 83.5 % (Tabel 7). Variabel karakteristik habitat rajungan yang berperan pada F1 meliputi kedalaman, kecerahan, pH, pasir kasar, lempung dan liat, sedangkan pada F2 dan F3 terdiri atas suhu air, TSS, oksigen terlarut, kecepatan arus, pasir sedang, pasir halus dan sangat halus, serta kepadatan lamun.

22

Tabel 7. Nilai akar ciri, proporsi, dan kontribusi kumulatif variabel karakteristik habitat pada tiga sumbu utama (F1-F3) Hasil PCA Sumbu 1 (F1) Sumbu 2 (F2) Sumbu 1 (F3) Akar ciri 0.421 3.100 1.672 Proporsi kontribusi 0.554 0.182 0.098 Kontribusi kumulatif 0.554 0.737 0.835 Pada Gambar 6 terlihat bahwa stasiun 1, 2 dan 3 dicirikan oleh pasir sangat kasar, pasir kasar, kekeruhan dan oksigen terlarut, stasiun 4 dan 5 dicirikan oleh pasir halus, pasir sedang dan pasir sangat halus, dan kepadatan lamun. Stasiun 6 dicirikan oleh TSS dan kecepatan arus, dan stasiun 7 dicirikan oleh kecerahan, kedalaman, liat dan lempung (Gambar 6). Variabel-variabel penciri tersebut merupakan variabel penciri karakteristik habitat yang berperan menentukan keberadaan dan distribusi populasi rajungan pada setiap stasiun. Suhu air, salinitas dan pH bukan merupakan penciri pada salah satu stasiun atau kelompok stasiun, karena penyebarannya antar stasiun ditemukan relatif sama.

Gambar 6. Sebaran stasiun penelitian dan variabel karakteristik habitat pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2) Hasil analisis korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah rajungan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan diperoleh nilai koefisien korelasi setiap variabel kualitas air relatif kecil dan sebagian besar bersifat negatif, kecuali suhu dan kecepatan air bersifat positif. Hasil uji statistik menunjukkan hanya kekeruhan yang tidak berkorelasi nyata (p>0.05) dengan jumlah rajungan jantan, betina dan gabungan keduanya yang tertangkap di Teluk Lasongko (Tabel 8), demikian juga antara pH dan

23

jumlah rajungan jantan tertangkap di perairan ini tidak berkorelasi nyata (p>0.05). Variabel kualitas air berkorelasi nyata (p<0.05) dengan jumlah populasi rajungan yang tertangkap di perairan ini dengan koefisien korelasi relatif besar dan positif adalah kecepatan arus (positif), serta salinitas dan kecerahan air, namun keduanya berkorelasi negatif dengan jumlah popualsi rajungan yang tertangkap. Tabel 8. Koefisien korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah populasi rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko Koefisien korelasi (r) Kualitas air Jantan Betina Gabungan Suhu 0.231* 0.3166* 0.269* Kedalaman air -0.340* -0.418* -0.375* Kecerahan -0.420* -0.477* -0.447* Kekeruhan -0.089 0.009 -0.049 TSS -0.273* -0.234* -0.259* Kecepatan arus 0.512* 0.631* 0.566* Oksigen terlarut -0.164* -0.153* -0.161* Salinitas -0.586* -0.540* -0.573* pH -0.088 -0.147* -0.113 *berkolerasi nyata (p<0.05).

Pembahasan Karakteristik Habitat Habitat rajungan di perairan Teluk Lasongko terdiri dari berbagai fraksi sedimen, yaitu mulai PSK sampai Li. Rajungan di perairan ini umumnya banyak ditemukan pada tipe substrat pasir, kecuali pada stasiun atau tipe habitat yang berada pada lokasi yang lebih dalam bertipe substrat pasir berlempung, lempung liat berpasir dan lempung. Kondisi fraksi sedimen dan tipe substrat habitat rajungan yang ditemukan pada penelitian ini identik dengan yang ditemukan di Perairan Brebes (Sunarto 2012). Sebaliknya, habitat rajungan di Perairan Pati yang terletak jauh dari pantai terdiri dari tipe substrat pasir berlempung, sedangkan yang dekat dengan pantai dan bagian tengah dengan tipe substrat lempung dan lempung berpasir (Ernawati 2013). Rajungan pada beberapa penelitian yang lain ditemukan pada tipe substrat lempung, liat dan pasir (Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003; Dineshbabu et al. 2008; Huang et al. 2011). Rajungan lebih menyukai tipe substrat pasir dan pasir berlempung (Kangas 2000; Kurnia et al. 2014) dan hal ini identik dengan tipe substrat yang dominan ditemukan pada penelitian ini. Rajungan pada penelitian ini banyak ditemukan tertangkap pada lokasi yang lebih dangkal dengan tipe subsrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat, dan ini identik dengan yang ditemukan di Perairan Brebes (Sunarto, 2012). Distribusi ukuran rajungan di Perairan Brebes tidak dipengaruhi oleh fraksi sedimen (Sunarto 2012) dan hasil tangkapan rajungan tidak dipengaruhi oleh tipe substrat (Ernawati 2013).

24

Rajungan di perairan Teluk Lasongko ditemukan pada berbagai kedalaman, yaitu mulai dari 35 cm hingga 3100 cm serta ditumbuhi lamun (E. acoroides dan T. hemprichi) dan juga berupa hamparan pasir. Pada beberapa perairan lainnya, rajungan ditemukan mulai pada daerah intertidal sampai landas kontinen dengan kedalaman 50 m (Edgar 1990), bahkan sampai kedalaman 65 m (Juwana 1997). Di perairan pantai, rajungan dapat ditemukan di bagian intertidal yang ditumbuhi lamun dan hamparan pasir, muara sungai kecil, bagian sublitoral, teluk dangkal, sekitar mangrove dan tambak (Juwana 1997; Chande dan Mgaya 2003; de Lestang et al. 2003; Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Berdasarkan informasi tersebut, dapat dikatakan bahwa kedalaman air pada lokasi penelitian ini masih berada pada kisaran kedalaman optimum untuk kehidupan dan pertumbuhan rajungan di Teluk Lasongko. Kualitas air habitat rajungan di perairan Teluk Lasongko umumnya ditemukan cukup bervariasi secara spasial dan temporal. Suhu air bervariasi secara spasial dan temporal, dan ini identik dengan yang ditemukan di Perairan Cirebon (Sumiono 2010), Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013). Rataan suhu air antar stasiun tertinggi ditemukan pada stasiun 5 (29.1 oC) dan lebih rendah pada stasiun 2 (28.0 oC) dan stasiun 7 (27.7 oC). Suhu air habitat rajungan antar waktu pengukuran, pada pagi hari dapat mencapai 23.4 oC dan pada sore hari mencapai 33.5 oC, bahkan menjelang siang hari pada bulan Agustus sampai bulan November suhu air lebih dari 35 oC. Suhu air terendah di Teluk Lasongko ditemukan pada bulan Juli. Suhu air pada musim timur lebih rendah dari pada musim barat. Rataan suhu di Teluk Lasongko pada penelitian sebelumnya, yaitu antara bulan September sampai November berkisar antara 28 oC hingga 31 oC (Hamid 2011). Rataan suhu air habitat rajungan yang ditemukan pada penelitian ini masih dalam kisaran suhu rataan yang ditemukan pada beberapa perairan (Tabel 9). Rataan suhu habitat rajungan pada musim timur pada penelitian ini identik dengan ditemukan di Perairan Pati sedangkan suhu pada musim barat lebih rendah dari pada ditemukan di Perairan Pati (Ernawati 2013). Rataan suhu air habitat rajungan di Teluk Kung Krabaen, Thailand antara musim kemarau dan hujan adalah sama, yaitu 29.5 oC (Kunsook 2011). Tabel 9. Rataan suhu, salinitas habitat rajungan pada beberapa lokasi perairan Lokasi Suhu (oC) Salinitas (ppt) Sumber Pantai Sarawak, Malaysia 28-30 28-31 Ikhwanuddin et al. 2011 Teluk Kung Krabaen, Thailand 29.5 29.5-32.2 Kunsook 2011 Perairan Cirebon 28.1-31.4 23.2-30.6 Sumiono 2010 Perairan Brebes 27-30 30-33 Sunarto 2012 Perairan Pati 28.2-30 32.2-34.8 Ernawati 2013 Teluk Lasangko 27.7-29.1 29.5-33.4 Penelitian ini Rataan kecerahan air habitat rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 152.4 cm hingga 1345.5 cm. Rataan kadar oksigen terlarut yang ditemukan pada penelitian ini berkisar antara 5.10 mgl-1 hingga 5.90 mgl-1, dan masih termasuk dalam kisaran oksigen terlarut habitat rajungan yang ditemukan di Perairan Cirebon, yaitu berkisar antara 4.28 mgl-1 hingga 6.60 mgl-1 (Sumiono 2010), serta berada pada batas optimum bagi kehidupan rajungan di Teluk Lasongko. Hewan air laut umumnya membutuhkan kadar oksigen terlarut >4 mgl-1 agar dapat hidup dan tumbuh secara

25

optimum. Rajungan betina dengan telur yang telah dibuahi umumnya bermigrasi ke perairan yang lebih dalam dengan kondisi air jernih dan kadar oksigen dan salinitas tinggi untuk mendukung perkembangan larva mereka (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000). Kecepatan arus di Teluk Lasongko sangat dipengaruhi oleh pasang surut, dan kecepatan arus tertinggi ditemukan ketika permulaan pasang atau surut. Kekeruhan dan TSS habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan secara spasial dan temporal cukup bervariasi. Kekeruhan dan TSS pada stasiun 3 dan 4 lebih rendah dari stasiun lainnya, karena kedua stasiun tersebut ditumbuhi padang lamun yang lebih padat sehingga substratnya lebih stabil dan tidak mudah teraduk oleh gelombang. Padang lamun antara lain berfungsi menstabilkan substrat dan menurunkan kekeruhan air di sekitarnya (Azkab 1996; Larkum et al. 2006). Kekeruhan dan kadar TSS habitat rajungan di Teluk Lasongko pada musim barat lebih tinggi dari pada musim timur. Hal ini disebabkan intensitas turun hujan pada musim barat lebih tinggi dari pada musim timur sehingga sedimen atau partikel yang terbawa aliran air hujan yang masuk ke perairan ini ketika musim barat lebih tinggi dari pada musim timur. Perairan Teluk Lasongko lebih dipengaruhi oleh angin barat dari pada angin timur, dan selama terjadi angin barat akan menghasilkan gelombang lebih tinggi dari pada musim timur sehingga substrat perairan teraduk secara intensif pada musim barat dan menyebabkan kadar TSS dan kekeruhan air meningkat. Salinitas habitat rajungan di Teluk Lasongko yang ditemukan secara spasial dan temporal umumnya dengan variasi relatif kecil, kecuali pada bulan Juli, Agustus dan Oktober. Salinitas pada bulan Juli (16 ppt), Agustus (19 ppt) dan Oktober (25 ppt) dan ketiganya ditemukan pada stasiun 1 dekat mangrove. Pada saat pengukuran salinitas di lokasi tersebut, kondisi laut dalam keadaan surut dengan kedalaman air berkisar antara 35 cm hingga 50 cm sehingga masuknya air tawar yang berasal dari kali kecil di sekitar lokasi ini lebih dominan untuk menurunkan salinitas. Salinitas habitat rajungan yang ditemukan pada sebagian besar stasiun dan pada periode pengukuran > 30 ppt, kecuali pada stasiun 1 < 30 ppt. Salinitas habitat rajungan pada stasiun 1 berkisar antara 16 ppt hingga 33 ppt dengan rataan 29.5 ppt. Salinitas yang ditemukan pada setiap stasiun pada bulan September sebesar 34 ppt. Rataan salinitas habitat rajungan yang ditemukan pada penelitian ini masih dalam kisaran salinitas habitat rajungan yang ditemukan pada beberapa perairan (Tabel 9) dan masih dalam kisaran optimum bagi kehidupan dan pertumbuhan rajungan. Rataan salinitas habitat rajungan ditemukan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari yang ditemukan di Perairan Cirebon (Sumiono 2010), Brebes (Sunarto 2012) dan Pati (Ernawati 2013). Rajungan lebih menyukai hidup pada kisaran salinitas yang lebih tinggi, yaitu 30-40 ppt (Potter et al. 1983; Romano dan Zeng 2006), serta pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva (zoea) rajungan yang optimum membutuhkan salinitas berkisar antara 27 ppt hingga 30 ppt (Juwana 2006). Rajungan jarang ditemukan pada salinitas yang rendah, yaitu < 10 ppt (Kurnia et al. 2014). Nilai pH air habitat rajungan di Teluk Lasongko ditemukan berkisar antara 7.45 hingga 8.74 (Lampiran 1). Nilai pH air habitat rajungan ditemukan cenderung meningkat dari awal sampai akhir penelitian, dan secara spasial dan temporal bervariasi lebih kecil dibandingkan dengan variabel kualitas air lainnya (Tabel 3 dan

26

Gambar 3). Nilai pH air < 8 hanya ditemukan pada stasiun 1 pada bulan Juni, sebaliknya pada stasiun lainnya >8. Rataan pH habitat rajungan di Teluk Lasongko selama bulan Oktober dan November 2006 sebesar 8.0 (Hamid 2011). Rataan pH air yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah dari pada di Perairan Cirebon, yaitu berkisar antara 8.0 hingga 8.81 (Sumiono 2010), namun lebih tinggi dari yang ditemukan di Perairan Brebes, yaitu berkisar antara 5.2 hingga 7.1 (Sunarto 2012). Distribusi Populasi Rajungan Berdasarkan Jumlah yang Tertangkap Rajungan yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko bervariasi secara spasial dan temporal, dan proporsi jumlah rajungan jantan cenderung lebih tinggi dari pada betina, yaitu dengan proporsi masing-masing 51.44 % dan 48.56 %. Proporsi jumlah rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini identik dengan ditemukan di Teluk Bone, yaitu jantan 51,8 % dan betina 48,1 % (Kembaren et al. 2012), dan di Perairan Pangkep, yaitu jantan 51.80 % dan betina 48.10 % (Ihsan et al. 2014), serta di Teluk Kung Karabaen, Thailand, yaitu jantan 51.96 % dan betina 48.04 % (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014), Sebaliknya, di Perairan Brebes proporsi rajungan betina lebih tinggi dari pada rajungan jantan, yaitu jantan 43.48 % dan betina 56.52 % (Sunarto 2012). Total jumlah jantan dan betina yang tertangkap pada setiap stasiun tidak sama (P<0.05), tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6. Total berat kedua jenis kelamin rajungan tersebut antar stasiun tidak berbeda nyata (P>0.05), hal ini menunjukkan bahwa rajungan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 sebagian besar berukuran lebih kecil dan lebih ringan dibandingkan dengan stasiun lainnya. Rajungan yang hidup pada habitat yang keruh dengan lebar karapas yang sama lebih ringan (keropos) dibandingkan dengan yang hidup pada habitat yang jernih. Stasiun 1 dan 2 mempunyai kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada habitat yang dangkal dan ditumbuhi oleh lamun yang padat dengan tipe substrat pasir lebih tinggi dibandingkan dengan habitat rajungan yang lebih dalam, ditumbuhi oleh lamun yang kurang padat dan juga pada habitat berupa hamparan dengan tipe substrat pasir dan pasir berlempung. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi rajungan di Teluk Lasongko terkait dengan kedalaman air, kepadatan lamun dan tipe substrat. Rajungan di perairan ini yang tertangkap pada bagian yang dangkal dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun cenderung lebih tinggi dari pada bagian yang dalam dengan tipe substrat pasir berlempung. Jumlah rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko yang tertangkap pada setiap kali penangkapan tidak sama (P<0.005) antar periode penangkapan (Tabel 5). Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko pada musim timur banyak tertangkap pada bulan April dan Mei, sedangkan pada musim barat banyak tertangkap pada bulan Desember dan Januari (Tabel 5 dan Gambar 5A). Sebaliknya, jumlah dan berat rajungan jantan dan betina tidak berbeda nyata (P>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat, dan identik dengan yang ditemukan di Perairan Pati (Ernawati 2013). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah dan berat rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko tidak dipengaruhi oleh musim, namun dipengaruhi oleh periode penangkapan.

27

Hasil analisis korelasi parsial menunjukkan nilai koefisien korelasi antara variabel kualitas air dengan jumlah rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara - 0.088 hingga 0.586, sedangkan untuk rajungan betina dan gabungan kedua jenis kelamin rajungan masing masing berkisar antara 0.009 hingga 0.631, dan -0.049 hingga 0.566 (Tabel 8). Kecepatan arus merupakan variabel kualitas air yang mempunyai nilai koefisien korelasi tertinggi dan positif dengan jumlah rajungan yang tertangkap. Salinitas dan kecerahan air juga mempunyai korelasi yang tinggi dengan jumlah rajungan yang tertangkap, namun bersifat negatif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kecepatan arus akan diikuti oleh peningkatan jumlah rajungan yang tertangkap, sedangkan keterkaitan salinitas dengan jumlah tangkapan rajungan terjadi pola yang sebaliknya (Gambar 3 dan 5A). Kecepatan arus dan jumlah rajungan yang tertangkap terendah terjadi pada bulan September, dan salinitas tertinggi juga ditemukan pada bulan September, namun kecepatan arus dan jumlah tangkapan rajungan tertinggi serta salinitas terendah tidak ditemukan pada periode waktu yang sama. Sebagian besar variabel kualitas air berkorelasi nyata dengan jumlah rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko. Kekeruhan tidak berkorelasi nyata (P>0.05) dengan jumlah hasil tangkapan rajungan jantan, betina dan gabungan kedua jenis kelamin rajungan, dan pH tidak berkorelasi nyata (P>0.05) dengan jumlah tangkapan rajungan jantan (Tabel 8). Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Lasongko Hasil tangkapan di Teluk Lasongko 2013 dan 2014 lebih tinggi dari pada 2006. Peningkatan hasil tangkapan di Teluk Lasongko selama bulan Mei 2013 sampai bulan April 2014 diantaranya dikarenakan oleh peningkatan dan perubahan penggunaan alat tangkap dari gillnet ke bubu rajungan. Jumlah alat tangkap bubu dan gillnet di Teluk Lasongko sampai akhir tahun 2006 masing-masing adalah 2149 buah dan 521 pis (Hamid 2011), dan sampai bulan April 2014 jumlahnya berubah menjadi 14 970 buah dan 294 pis. Sebaliknya, jumlah nelayan mengalami penurunan dari 226 orang pada tahun 2006 (Hamid 2011) menjadi 189 orang pada bulan April 2014. Hasil tangkapan rajungan pada musim timur cenderung lebih tinggi dari pada musim barat, namun hasil uji statistik menunjukkan hasil tangkapan rajungan setiap bulan dan harian yang tertangkap pada musim timur dan barat tidak berbeda (P>0.05). Hasil yang diperoleh tersebut identik dengan ditemukan di Perairan Pati, bahwa hasil tangkapan rajungan per satuan upaya tidak berbeda antara musim timur dan musim barat (Ernawati 2013). Sebaliknya, hasil tangkapan harian rajungan menunjukkan berbeda antar bulan selama periode bulan Mei 2013 sampai April 2014. Hasil tangkapan rajungan tiap bulan di Perairan Brebes berfluktuasi baik secara keseluruhan maupun berdasarkan jenis kelamin (Sunarto 2012). Hasil tangkapan rajungan tertinggi di Teluk Lasongko ditemukan pada Juli dan terendah terjadi pada bulan Oktober. Berdasarkan Tabel 6, terlihat musim puncak penangkapan rajungan di Teluk Lasongko berlangsung pada bulan Mei sampai Juli atau terjadi pada awal sampai pertengahan musim timur. Sebaliknya, musim hasil tangkapan rajungan sedikit (musim paceklik) di perairan ini terjadi selama bulan Agustus sampai bulan November atau akhir musim timur sampai awal musim barat.

28

Selama musim paceklik sebagian nelayan tidak melakukan penangkapan rajungan, bahkan berdasarkan catatan tiga pengolah daging rajungan di Teluk Lasongko pada tanggal 15 dan 16 Oktober 2013 tidak ada nelayan melakukan penangkapan rajungan (Tabel 6). Pada uraian sebelumnya disebutkan bahwa suhu air dan salinitas Teluk Lasongko lebih tinggi selama bulan Agustus hingga bulan November dibandingkan dengan delapan bulan lainnya. Disamping itu, fluktuasi suhu harian selama periode tersebut sangat tinggi. Berdasarkan informasi tersebut dapat dikatakan bahwa selama fluktuasi suhu harian tinggi dan salinitas tinggi rajungan diduga kurang aktif dan lebih banyak membenamkan diri dalam substrat, dan susah tertangkap akibatnya hasil tangkapan rajungan di Teluk Lasongko menurun. Simpulan 1. Karakteristik habitat rajungan di Teluk Lasongko bervariasi dilihat dari tipe substrat, kepadatan lamun dan kualitas air, serta didominasi oleh tipe substrat pasir dan kualitas air berada kisaran yang optimum untuk kehidupan dan pertumbuhan rajungan, 2. Distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko bervariasi baik secara spasial maupun temporal, dan 3. Kondisi substrat, padang lamun dan sebagian besar variabel kualitas air menentukan distribusi spasial populasi rajungan di perairan ini.

29

3 KARAKTERISTIK MORFOMETRIK DAN DISTRIBUSI FREKUENSI KELAS UKURAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Karakteristik morfometrik merupakan salah satu informasi yang dibutuhkan dalam penelitian populasi rajungan, khususnya untuk mendukung kajian genetik dan lingkungan dalam mengidentifikasi stok rajungan (Jossilen 2011). Karakteristik morfometrik kelompok kepiting (Portunidae) dapat digunakan untuk membandingkan stok populasi yang berbeda pada spesies yang sama dimana lokasi geografi perairannya berbeda (Atar dan Secer 2003; Josileen 2011). Karakteristik morfometrik jantan yang biasa digunakan untuk membandingkan populasi rajungan antar perairan meliputi lebar/panjang karapas dan panjang/tinggi propodus capit, sedangkan untuk rajungan betina terdiri atas lebar/panjang karapas dan lebar/panjang abdomen (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan 1996a; Josileen 2011). Rajungan yang telah dan belum dewasa biasanya menunjukkan adanya perubahan karakteristik morfometrik dan perbedaan pertumbuhan relatif (Sukumaran dan Neelakantan 1996a; de Lestang et al. 2003). Informasi tersebut berguna untuk menilai sejarah hidup, pengembangan perikanan, dan pengelolaan sumber daya rajungan (Jossilen 2011). Pertumbuhan rajungan sering dilihat dari beberapa perubahan dimensi tubuh antara satu bagian dengan bagian tubuh lainnya, dan biasanya dikenal dengan pertumbuhan relatif (Hartnoll 1978; Sukumaran dan Neelakantan 1996a; Josileen 2011). Pertumbuhan relatif kelompok kepiting biasanya dilihat dari perubahan beberapa karakter morfometrik, seperti perubahan bentuk dan ukuran abdomen, pleopod, dan capit selama ontogeni (Sukumaran dan Neelakantan 1996a; Jazayeri et al. 2011; Josileen 2011; Araujo et al. 2012). Pertumbuhan relatif didasarkan pada hubungan antara dua variabel karakter morfometrik. Salah satu variabel karakter morfometrik tersebut merupakan variabel bebas dan variabel karakter morfometrik lainnya bersifat relatif atau merupakan variabel terikat (Hartnoll 1978; Araújo et al. 2012). Kedua variabel tersebut biasanya dinyatakan dalam fungsi power atau fungsi linear (Sukumaran dan Neelakantan 1996a; Jazayeri et al. 2011; Josileen 2011; Araujo et al. 2012). Hubungan panjang-berat dapat dikonversi dari persamaan pertumbuhan panjang menjadi pertumbuhan berat dan dapat digunakan dalam model pendugaan stok (Josileen 2011). Informasi hubungan panjang/lebar-berat tubuh individu dalam populasi berguna untuk menduga ukuran populasi suatu stok, khususnya untuk kebutuhan eksploitasi (Sukumaran dan Neelakantan 1997; Atar dan Secer 2003; Josileen 2011). Hubungan panjang/lebar-berat dianggap lebih cocok untuk mengevaluasi populasi (Atar dan Secer 2003; Josileen 2011). Distribusi ukuran rajungan bervariasi antar jenis kelamin dan antar lokasi perairan, serta juga bervarasi pada lokasi perairan yang sama. Rajungan di Perairan Brebes terindikasi tidak berasal dari kohor yang sama karena variasi ukurannya lebar (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012). Distribusi ukuran rajungan yang tertangkap di

30

Perairan Brebes dan Pati berfluktuasi tiap bulan (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012; Ernawati 2013). Kedalaman perairan juga dapat mempengaruhi distribusi ukuran rajungan (Chande dan Mgaya 2003; Poter et al. 2001; Ernawati 2013). Karakteristik morfometrik dan distribusi frekuensi kelas ukuran rajungan di Teluk Lasongko sampai saat ini belum pernah dikaji, oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis aspek (1) karakteristik morfometrik, (2) distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas, serta (3) hubungan dan tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan di Teluk Lasongko. Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah, terletak pada posisi 05o15’-05o27’ LS dan 122o27’-122o33’ BT (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014. Pengambilan Contoh Pengambilan contoh rajungan dilakukan pada tujuh stasiun dengan letak stasiun mulai dari bagian kepala teluk sampai mulut teluk. Stasiun 1 sampai stasiun 5 terdiri atas tiga sub stasiun, sedangkan pada stasiun 6 dan 7 hanya terdiri dari dua sub stasiun. Setiap sub stasiun pada stasiun 1 sampai stasiun 5 memiliki karakteristik tipe habitat berbeda. Karakteristik setiap stasiun dan tipe habitat tersebut secara rinci telah diuraikan pada Bab 2 bagian penentuan stasiun. Contoh rajungan ditangkap dengan menggunakan gillnet dasar dengan tiga ukuran mata jaring, yaitu 1.5, 2.5 dan 3.5 inci supaya dapat menangkap berbagai ukuran rajungan. Ketiga ukuran mata jaring tersebut dirangkai secara seri menjadi satu unit gillnet penangkap rajungan dengan tinggi sekitar 75 cm. Selang waktu pengambilan contoh rajungan pada setiap stasiun selama satu bulan, sehingga total jumlah pengambilan contoh untuk setiap stasiun sebanyak 12 kali. Jumlah gillnet yang dipasang pada setiap tipe habitat sebanyak dua unit dan diletakkan sejajar dengan garis pantai untuk stasiun 1 sampai 5, sedangkan pada stasiun 6 dan 7 memotong arah arus. Gillnet dipasang pada sore hari (sekitar pukul 16.30 sampai pukul 17.30 WITA) dan diangkat kembali mulai pukul 06.30 sampai pukul 09.00 WITA. Pengukuran Morfometrik Hasil tangkapan rajungan pada setiap periode pengambilan contoh di setiap stasiun pertama dipisahkan antara jantan dan betina, kemudian spesimen rajungan diukur morfometriknya. Morfometrik rajungan jantan dan betina yang diukur meliputi lebar karapas (LK), panjang karapas (PK), panjang propodus capit (PC), tinggi propodus capit (TC), panjang abdomen (PA), lebar abdomen (LA). Prosedur pengukuran setiap variabel morfometrik tersebut berdasarkan pada Sukumaran (1995) dan Josileen (2011) (Gambar 7) dengan menggunakan jangka sorong atau kaliper (Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05). Morfometrik capit yang diukur adalah bagian kanan. Berat tubuh (BT) rajungan ditimbang dengan timbangan digital (Xon Med Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 gram. Lebar karapas diukur dari duri lateral terpanjang dari kedua sisi tubuh rajungan, sedangkan panjang karapas rajungan diukur dari letak mata (anterior) sampai ke letak abdomen (posterior).

31

Gambar 7. Prosedur pengukuran morfometrik rajungan ( Sukumaran 1995). A karapas (tampak atas).; B capit.; C abdomen.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC anjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.; LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen Penentuan Kelas Ukuran Lebar Karapas Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina ditentukan berdasarkan pada sebaran data lebar kelas antar kelas ukuran, dan diperoleh lebar kelas antar kelas sebesar 10 mm. Distribusi kelas lebar karapas rajungan jantan dan betina dikelompokkan berdasarkan spasial dan temporal. Hubungan antar Karakter Morfometrik Karakter morfometrik rajungan yang dianalisis dalam hubungan antar karakter morfometrik terdiri atas berat, lebar karapas, panjang karapas, panjang propodus capit, tinggi propodus capit, lebar abdomen dan panjang abdomen (Sukumaran dan Neelakantan 1996b; Jazayeri et al. 2011; Josileen 2011). Hubungan panjang-berat rajungan ditentukan dengan persamaan pertumbuhan relatif dalam bentuk persamaan power (Dineshbabu et al. 2008; Sawusdee dan Songrak 2009; Kamrani et al. 2010; Josileen 2011a) dengan persamaan sebagai berikut : BT = aPKb

......................................................... (2)

Persamaan (2) ditransformasi ke logatrima basis 10 (log 10) sehingga diperoleh persamaan seperti berikut : Log BT = log a + b Log PK ............................................. (3) BT berat tubuh rajungan (g), PK panjang karapas rajungan (mm), a intersep dan b koefisien regresi atau koefisien pertumbuhan. Persamaan (3) selanjutnya dapat dinyatakan sebagai persamaan pertumbuhan relatif linear seperti berikut : Y = a + bX ......................................................... (4) Y berat tubuh rajungan (g), X panjang karapas rajungan (mm), a intersep dan b koefisien regresi atau koefisien pertumbuhan rajungan.

32

Hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan yang lain ditentukan dengan persamaan pertumbuhan relatif bentuk linear (Sukumaran 1995; Jazayeri et al. 2011; Josileen 2011), seperti tertera pada persamaan (4). Tipe pertumbuhan relatif antar variabel karakter morfometrik rajungan digunakan persamaan (4), dan sebelum dilakukan analisis semua data variabel karakter morfometrik terlebih dahulu ditransformasikan ke log 10 (Sukumaran 1995). Beberapa hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang dianalisis dalam penelitian ini selengkapnya tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang dianalisis Variabel bebas (X) Lebar karapas (LK) Panjang karapas (PK) Panjang karapas (PK) Panjang propodus capit (PC) Lebar karapas (LK) Panjang karapas (PK) Lebar karapas (LK) Panjang karapas (PK) Panjang karapas (LK) Panjang karapas (PK) Lebar abdomen (LA) Lebar karapas (LK) Panjang karapas (PK)

Variabel terikat (Y) Jantan Panjang propodus capit (PC) Panjang propodus capit (PC) Tinggi propodus capit (TC) Tinggi propodus capit (TC) Berat tubuh (BT) Berat tubuh (BT) Betina Lebar abdomen (LA) Lebar abdomen (LA) Panjang abdomen (PA) Panjang abdomen (PA) Panjang abdomen (PA) Berat tubuh (BT) Berat tubuh (BT)

Persamaaan allometrik (Y = a + bX)

PC = a + bLK PC = a + bPK TC = a + bPK TC = a + bPC BT = a + bLK BT = a + bPK LA = a + bLK LA = a + bPK PA = a + bLK PA = a + bLK PA = a + bLA BT = a + bLK BT = a + bPK

Analisis Data Karakteristik morfometrik dan distribusi kelas ukuran rajungan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, spasial (stasiun), dan temporal (periode penangkapan dan musim). Data karakteristik morfometrik rajungan dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) satu arah, dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Setiap data karakteristik morfometrik rajungan diuji kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Jika hasil uji tersebut berbeda nyata, data karakteristik morfometrik rajungan ditransformasi ke log 10, kemudian dilakukan uji ANOVA. Data distribusi kelas ukuran rajungan dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Hubungan antar karakter morfometrik dianalisis berdasarkan total jumlah contoh dan juga berdasarkan juvenil dan dewasa untuk kedua jenis kelamin rajungan dengan persamaan seperti telah dijelaskan di atas. Analisis kovarian (ANCOVA)

33

dilakukan untuk menguji nilai koefisien regresi (b) dan intersep (a) setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina (Steel dan Torrie 1992). Tipe pertumbuhan relatif setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan ditentukan berdasarkan nilai b setelah dilakukan uji b dengan uji t pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan dihipotesiskan (Ho) b=3, sedangkan pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik lainnya dihipotesiskan b=1. Berdasarkan kedua hipotesis tersebut, tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan sebagai berikut : (i) Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan dengan tipe isometrik, jika nilai b= 3, allometrik negatif jika b<3, dan allometrik positif jika b>3 (Hartnoll 1978; Sukuraman 1995; Josileen 2011). (ii) Pertumbuhan antar variabel karakter morfometrik bertipe isometrik jika nilai b=1, allometrik negatif jika b <1, dan allometrik positif jika b >1 (Hartnoll 1978; Sukuraman 1995; Arujo et al. 2012). Dalam proses setiap analisis data karakteristik morfometrik rajungan tersebut digunakan Minitab versi 15 dan Microsoft Excel 2007. Hasil Karakteristik Morfometrik Berdasarkan Stasiun Berat rajungan jantan yang ditemukan pada setiap stasiun berkisar antara 6.06 g hingga 241.04 g dengan rataan berkisar antara 71.94 g hingga 120.99 g, sedangkan rajungan betina berkisar antara 23.27 g hingga 314.22 g dengan rataan berkisar antara 62.16 g hingga 135.32 g. Hasil analisis ANOVA menunjukkan berat rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun. Berat rajungan jantan dan betina tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 2, demikian juga variabel karakteristik morfometrik lainnya terbesar ditemukan pada stasiun 7 dan terkecil pada stasiun 2 (Tabel 11). Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap stasiun berkisar antara 49.80 mm hingga 147.70 mm dengan rataan berkisar antara 99.66 mm hingga 119.60 mm sedangkan lebar karapas rajungan betina berkisar antara 52.10 mm hingga 166.20 mm dengan rataan berkisar antara 96.53 mm hingga 125.46 mm. Panjang karapas rajungan jantan pada setiap stasiun berkisar antara 22.10 mm hingga 90.10 mm dengan rataan berkisar antara 45.65 mm hingga 55.99 mm sedangkan panjang karapas rajungan betina berkisar antara 25.40 mm hingga 78.30 mm dengan rataan berkisar antara 44.10 mm hingga 58.99 mm. Hasil analisis ANOVA menunjukkan lebar dan panjang karapas rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun. Panjang propodus capit rajungan jantan yang ditemukan pada setiap stasiun berkisar antara 30.10 mm hingga 126.20 mm dengan rataan berkisar antara 63.12 mm hingga 84.16 mm sedangkan untuk rajungan betina berkisar antara 26.70 mm hingga 92.40 mm dengan rataan berkisar antara 52.87 mm hingga 71.43 mm. Tinggi propodus capit rajungan jantan berkisar antara 6.20 mm hingga 23.60 dengan rataan berkisar antara 14.32 mm hingga 17.29 mm sedangkan untuk rajungan betina berkisar

34

antara 6.20 mm hingga 26.60 mm dengan rataan berkisar antara 14.16 mm hingga 18.87 mm. Hasil analisis ANOVA menunjukkan panjang dan tinggi propodus capit rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun (Tabel 11). Tabel 11. Rataan karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan stasiun di Teluk Lasongko Karakteristik morfometrik (g dan mm)

Stasiun

Kelamin

1

Jantan

2

Jantan

3

Jantan

4

Jantan

5

Jantan

6

Jantan

7

Jantan

1

Betina

2

Betina

3

Betina

4

Betina

5

Betina

6

Betina

7

Betina

Berat 72.90a +36.14 71.94a +33.16 101.11b +31.91 100.58b +38.71 99.71b +38.81 103.71b +42.35 120.99c 43.90 66.45a +30.65 62.16a +23.08 116.33cd +46.18 122.57de +46.75 96.31b +36.54 107.46cd +33.49 135.32e +43.46

LK 100.40a +15.24 99.66a +13.61 113.26b +10.79 112.63b +11.42 111.46b +12.22 113.05bc +14.43 119.60c +10.97 99.44a +15.85 96.53a +13.37 116.60bc +14.57 119.07c +14.33 111.99b +14.17 115.74bc +11.87 125.46d +11.57

PK 46.3a +8.25 45.65a + 6.48 52.06c +5.44 52.73b +6.09 51.21b +6.13 52.24b +7.00 55.99c +5.59 44.95a +7.01 44.10a +7.63 54.90b +7.35 55.67c +7.18 51.95b +6.76 54.88c +6.77 58.99d +5.78

PC 64.51a +16.47 63.12a + 3.29 75.42b +12.72 75.85b +13.28 74.36b +14.22 74.58b +17.10 84.16c +14.45 53.53a + 0.20 52.87a +9.18 66.90c +10.16 66.74c +10.47 62.33b +8.77 64.21bc +8.04 71.43d +7.91

TC 14.65a +3.09 14.32a +3.43 16.76b +2.85 16.74b +5.62 16.51b +2.94 16.13b +3.25 17.29b +2.69 14.65a +3.60 14.16a +3.60 19.23b +3.65 18.34b +3.83 17.55b +3.33 17.68b +3.47 18.87b +3.41

LA 21.77a + 4.87 21.46a +4.91 24.50b +4.72 24.93b +5.78 24.55b + 4.65 24.79bc +4.66 27.54c +2.98 28.25a +6.81 26.99a +6.58 37.18bc +6.71 37.72c +6.90 34.98b +7.14 36.62bc +5.43 41.69d +5.03

PA 32.08a + 5.41 30.99a +5.68 35.05b +4.98 35.03b +4.90 35.04b +4.96 34.70b +5.71 39.91c +4.57 31.71a +6.52 30.91a + 6.40 38.68bc +6.14 39.94c +7.47 37.21b +6.79 38.38bc +5.58 45.53d +5.42

Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen.

Lebar abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 6.00 mm hingga 36.30 m dengan rataan berkisar antara 21.46 mm hingga 27.54 mm, sedangkan lebar abdomen rajungan betina berkisar antara 12.20 mm hingga 54.30 mm dengan rataan berkisar antara 26.99 mm hingga 41.69 mm. Panjang abdomen rajungan jantan pada setiap stasiun berkisar antara 5.20 mm hingga 51.20 mm dengan rataan berkisar antara 30.99 mm hingga 39.91 mm, dan panjang abdomen rajungan betina berkisar antara 16.40 mm hingga 59.00 mm dengan rataan berkisar

35

antara 30.91 mm hingga 45.53 mm. Hasil analisis ANOVA menunjukkan lebar dan panjang abdomen rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun. Secara umum, karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan stasiun seperti tertera pada Tabel 11 dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 tergolong berukuran kecil, (2) karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap pada stasiun 3, 4, 5 dan 6 tergolong berukuran sedang, dan (3) karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap pada stasiun 7 tergolong berukuran besar. Karakteristik Morfometrik Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim Berat rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 6.06 g hingga 241.04 g dengan rataan berkisar antara 79.63 g hingga 117.35 g, sedangkan berat rajungan betina berkisar antara 9.95 g hingga 314.22 g dengan rataan berkisar antara 77.59 g hingga 125.16 g (Gambar 8 serta Lampiran 2 dan 3). Rataan berat rajungan jantan dan betina terbesar keduanya ditemukan pada bulan Oktober sedangkan rajungan jantan terkecil tertangkap pada bulan April dan betina pada bulan Agustus (Gambar 8). Rajungan jantan dan betina terberat yang tertangkap selama penelitian ditemukan pada musim barat, yaitu masing-masing tertangkap pada bulan Desember dan bulan November, sedangkan rajungan jantan dan betina terkecil tertangkap musim timur, yaitu masing-masing tertangkap pada bulan Juli dan bulan Agustus (Lampiran 2 dan 3). Rataan berat rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur sekitar 84.58 g dan pada musim barat sekitar 94.93 g, sedangkan rataan berat rajungan betina yang tertangkap pada musim timur sekitar 88.64 g dan pada musim barat sekitar 107.01 g (Tabel 12). Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 49.80 mm hingga 147.70 mm dengan rataan berkisar antara 103.00 mm hingga 117.57 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 52.10 mm hingga 166.20 mm dengan rataan berkisar antara 99.94 mm hingga 121.17 mm. Panjang karapas rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 22.10 mm hingga 90.10 mm dengan rataan berkisar antara 45.64 mm hingga 56.14 mm, sedangkan panjang karapas rajungan betina berkisar antara 25.40 mm hingga 89.10 mm dengan rataan berkisar antara 44.94 mm hingga 56.82 mm (Gambar 8, Lampiran 2 dan 3). Rataan lebar dan panjang karapas rajungan jantan terbesar masing-masing tertangkap pada bulan Oktober dan bulan Desember, sedangkan terkecil keduanya tertangkap pada bulan April (Gambar 7). Rataan lebar dan panjang karapas rajungan betina terbesar keduanya ditemukan pada bulan Oktober sedangkan terkecil ditemukan pada bulan April. Lebar dan panjang karapas rajungan jantan terbesar selama penelitian tertangkap pada musim barat ditemukan pada bulan Desember sedangkan terkecil tertangkap pada musim timur ditemukan pada bulan Juli. Sebaliknya, lebar dan panjang karapas rajungan betina terbesar dan terkecil keduanya tertangkap pada musim timur, yaitu terbesar tertangkap pada bulan Mei dan terkecil pada bulan Agustus (Lampiran 1 dan 2). Rataan lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur sekitar 105.53 mm dan pada musim barat sekitar 109.27 mm, sedangkan rataan lebar karapas rajungan betina pada musim timur dan musim barat

36

masing-masing sekitar 106.68 mm dan 114.88 mm (Tabel 12). Rataan panjang karapas rajungan betina pada musim timur dan musim barat masing-masing sekitar 49.87 mm dan 53.06 mm, sedangkan rataan panjang karapas jantan yang tertangkap pada musim timur sekitar 48.53 mm dan pada musim barat sekitar 50.70 mm (Tabel 12). 130

130

B

110 90 70

Berat tubuh Lebar Karapas

Morfometrik (g & mm)

Morfometrik (g & mm)

A

B

70

50 Panjang propodus capit Panjang Karapas

70

50 Panang karapas Panjang Propodus capit 30 50

30 50

B

30 20

0

Lebar abdomen Panjang abdomen Tinggi propodus capit

Waktu penangkapan (bulan)

Morfometrik (mm)

Morfometrik (mm)

A 40

10

Lebar Karapas Berat tubuh

70

90

A Morfometrik (mm)

Morfometrik (mm)

90

50

50 90

110

40 30 20 10

Tinggi Propodus capit Lebar abdomen Panjang abdomen

0

Waktu penangkapan (bulan)

Gambar 8. Rataan beberapa karakteristik morfometrik rajungan jantan (A) dan betina (B) berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko Panjang propodus capit rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 24.70 mm hingga 126.20 mm dengan rataan berkisar antara 64.71 mm hingga 83.30 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 26.70 mm hingga 95.90 mm dengan rataan berkisar antara 64.71 mm hingga 83.30 mm. Tinggi propodus capit rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara 8.40 mm hingga 24.30 mm dengan rataan berkisar antara 13.10 mm hingga 17.21 mm, sedangkan untuk rajungan betina berkisar antara 8.30 mm hingga 28.10 mm dengan rataan berkisar antara 13.18 mm hingga 19.36 mm (Gambar 8, Lampiran 2 dan 3. Panjang dan tinggi propodus capit rajungan jantan terbesar yang tertangkap pada musim barat, keduanya tertangkap pada bulan Desember, sedangkan terkecil

37

yang tertangkap pada musim timur, yaitu masing masing tertangkap pada bulan Juli dan April. Rataan panjang propodus capit rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur sekitar 68.70 mm sedangkan pada musim barat sekitar 72.59 mm. Rataan tinggi propodus capit rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim timur masing-masing sekitar 15.20 mm dan 16.07 mm. Rataan panjang dan tinggi propodus capit rajungan betina yang tertangkap pada musim barat masing-masing 63.90 mm dan 17.58 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim timur masingmasing sebesar 59.21 mm dan 16.23 mm (Tabel 12). Tabel 12. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina berdasarkan musim di Teluk Lasongko Musim

Kelamin

Timur

Jantan

Timur

Jantan

Timur

Betina

Barat

Betina

Berat 84.58b + 33.33 94.93a + 42.04 88.64b + 41.20 107.01a + 49.26

Karakteristik morfometrik ( g dan mm) LK PK PC TC LA 105.53b 48.53b 68.70b 15.20b 22.26b +13.66 +6.91 +14.19 +3.47 +5.68 109.27a 50.70a 72.59a 16.07a 24.87a + 15.79 +7.98 +17.14 +3.17 +4.08 106.68b 49.87b 59.21b 16.23b 32.13b + 16.41 +8.88 +10.94 +4.26 +7.94 a a a a 114.88 53.06 63.90 17.58 36.07a + 17.22 +8.73 +11.77 +3.78 +8.15

PA 31.69b +5.21 36.07a +5.54 33.62b +6.80 40.25a +7.76

Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05). ; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.; LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen.

Lebar abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 11.80 mm hingga 36.30 mm dengan rataan berkisar antara 13.73 mm hingga 27.47 mm sedangkan rajungan betina berkisar antara13.30 mm hingga 55.10 mm dengan rataan berkisar antara 27.84 mm hingga 39.92 mm. Panjang abdomen rajungan jantan pada setiap periode penangkapan berkisar antara 20.80 mm hingga 51.20 mm dengan rataan berkisar antara 28.33 mm hingga 36.61 mm sedangkan rajungan betina berkisar antara 16.40 mm hingga 59.00 mm dengan rataan berkisar antara 28.33 mm hingga 43.64 mm (Lampiran 1 dan 2). Rataan panjang dan tinggi abdomen rajungan jantan terbesar keduanya tertangkap pada bulan Oktober sedangkan terkecil tertangkap pada bulan April (Gambar 8). Panjang dan tinggi abdomen rajungan jantan terbesar ditemukan pada musim barat, yaitu keduanya tertangkap pada bulan Desember, sedangkan terkecil tertangkap pada musim timur, yaitu masing-masing tertangkap pada bulan Juli dan April. Rataan lebar dan panjang abdomen rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur masing-masing sebesar 22.26 mm dan 31.69 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim barat masingmasing 24.87 mm dan 36.07 mm. Rataan lebar dan panjang abdomen rajungan betina yang tertangkap pada musim timur masing-masing sebesar 32.13 mm dan 33.62 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim barat masing-masing sebesar 36.07 mm dan 40.25 mm (Tabel 12). Hasil analisis ANOVA menunjukkan ukuran setiap karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina yang diuraikan di atas berbeda nyata (p<0.05) antar periode penangkapan (Lampiran 2 dan 3). Ukuran karakteristik morfometrik rajungan

38

jantan terbesar umumnya tertangkap pada bulan Desember, dan rajungan betina tertangkap pada bulan Mei, kecuali lebar abdomen rajungan jantan terbesar tertangkap pada bulan Juni, dan tinggi abdomen rajungan betina terbesar tertangkap pada bulan Januari (Lampiran 2 dan 3). Ukuran karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina terkecil masing-masing tertangkap pada bulan Juli dan bulan Agustus (Lampiran 2 dan 3). Secara umum, rataan ukuran setiap karakteristik morfomotrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap dari awal sampai akhir penelitian terlihat cenderung meningkat (Gambar 8). Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama menunjukkan semua variabel karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina seperti diuraikan di atas berbeda sangat nyata (p<0.001) antara musim timur dan barat. Berdasarkan uraian sebelumnya dan hasil uji statistik tersebut dapat dikatakan bahwa semua variabel karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim barat lebih besar dibandingkan dengan yang tertangkap pada musim timur (Tabel 12). Secara umum, karakteristik morfometrik rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember tergolong berukuran besar, antara lain dicirikan oleh ukuran rataan berat tubuh > 100 g dan rataan lebar karapas berkisar antara 109 mm hingga 117 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Juni, Agustus, dan Januari tergolong berukuran sedang dengan rataan berat sekitar 90 g dan rataan lebar karapas < 109 mm, sedangkan rajungan jantan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September, Februari dan Maret tergolong berukuran kecil dengan rataan berat tubuh sekitar 80 g dan rataan lebar karapas berkisar 103 mm hingga < 107 mm. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada bulan Oktober, November, Maret, September dan Desember tergolong berukuran besar yang dicirikan oleh rataan berat tubuh berkisar antara 101 g hingga 125 g, serta rataan lebar karapas berkisar antara 112 mm hingga 121 mm. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Februari, Agustus, Juli, Mei dan Juni tergolong berukuran sedang dan memiliki rataan berat tubuh berkisar antara 87 g hingga 91 g, dan lebar karapas berkisar antara 107 mm hingga 109 mm, dan rajungan bertina yang tertangkap pada bulan April tergolong berukuran kecil dengan rataan berat tubuh < 80 g dan ratan lebar karapas <100 mm. Distribusi Kelas Ukuran Lebar Karapas Berdasarkan Stasiun Ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada stasiun 1 terdistribusi dari kelas ukuran 49.8-59.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, sedangkan yang tertangkap pada stasiun 2 terdistribusi pada kelas ukuran dari 59.9-69.8 mm hingga 129.9-139.8 mm. Frekuensi rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada kedua stasiun tersebut didominasi oleh empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 79.989.6 mm hingga 109.9-119.8 m (Gambar 9). Rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 3 terdistribusi pada kelas ukuran lebar karapas dari 89.9-99.6 mm hingga 129.9-139.8 mm, sedangkan rajungan betina terdistribusi pada kelas ukuran lebar karapas dari 79.9-89.6 mm hingga 159.9-169.8 mm. Pada stasiun 4, rajungan jantan yang tertangkap terdistribusi pada kelas ukuran dari 69.9-79.8 mm hingga 129.9139.8 mm, sedangkan rajungan betina tersebar pada kelas ukuran dari 79.9-89.6 mm hingga kelas ukuran 159.9-169.8 mm.

39

Jumlah (ekor)

40 30

Stasiun 1

Jantan Betina

20 10 0

Jumlah (ekor)

Stasiun 3

Jantan Betina

20

10

Jumlah (ekor)

Nilai tengah lebar karapas (mm) 60

30

Jantan Betina

Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

Stasiun 5

20

30

Stasiun 4

Jantan Betina

20 10 0 40

Stasiun 7

Jantan Betina

20 10 0

Jumlah (ekor)

0 40 Jumlah (ekor)

Jantan Betina

40

10

30

Stasiun 2

0

0 30

20

40

30 20

Stasiun 6

Jantan Betina

10 0

Nilai tengah lebar karapas (mm)

Nilai tengah lebar karapas (mm)

Gambar 9. Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina pada setiap stasiun di Teluk Lasongko Rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 5 hanya sebanyak enam kelas ukuran, yaitu dari 79.9-89.6 mm hingga 129.9-139.8 mm, sedangkan betina sebanyak delapan kelas ukuran sama dengan jumlah kelas ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 6, yaitu mulai dari 69.9-79.8 mm hingga 139.9-149.8 mm. Kelas ukuran rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 6 juga sebanyak delapan kelas ukuran, namun kisaran kelas ukuran rajungan jantan lebih kecil dari pada rajungan betina (mulai dari 79.9-89.6 mm hingga 149.9-159.8 mm). Rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada stasiun 3,4,5 dan 6 didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu kelas ukuran 99.9-109.8 mm, 109.9-119.8 mm dan 109.9-119.8 mm (Gambar 9).

40

Jumlah kelas ukuran rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 7 lebih banyak dari pada rajungan jantan. Jumlah kelas ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun ini hanya sebanyak enam kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.999.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, serta didominasi oleh dua kelas ukuran, yaitu 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm. Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 7 terdistribusi pada delapan kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-99.8 mm hingga 159.9-169.8 mm, serta didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 109.9-119.8 mm, 119.9-129.8 mm dan 129.9-139.8 mm. Secara umum, rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun selama penelitian ini ditemukan terdistribusi pada 10 kelas ukuran sedangkan rajungan betina tersebar pada 12 kelas ukuran, namun kedua jenis kelamin rajungan didominasi oleh empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.9-99.8 hingga 119.9-129.8 mm. Distribusi Kelas Ukuran Lebar Karapas Berdasarkan Periode Penangkapan Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan April tersebar pada delapan kelas ukuran, yaitu mulai dari 59.9-69.8 mm hingga 129.9-139.8 mm, dan didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8 mm dan 109.9-119.8 mm. Sebaliknya, rajungan betina tersebar pada sembilan kelas ukuran, yaitu mulai dari 59.9-69.8 hingga 159.9-169.8 mm, dan didominasi oleh kelas ukuran 99.9-109.8 mm dan 109.9-119.8 mm (Gambar 10). Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei terdistribusi pada delapan kelas ukuran, yaitu mulai dari 49.8-59.8 mm hingga 129.9-139.8 mm, dan didominasi oleh tiga kelas ukuran sama seperti tertangkap pada bulan April. Sebaliknya, lebar karapas rajungan betina tersebar pada 12 kelas ukuran (seluruh kelas ukuran), dan didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8 mm dan 109.9-119.8 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Juni dan September ada enam kelas ukuran, yaitu mulai 79.9-89.8 mm hingga 129.9-139.8 mm. Ada tiga kelas ukuran rajungan jantan yang dominan tertangkap pada bulan Juni, yaitu 89.9-99.8 mm, 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm, serta pada bulan September hanya satu kelas ukuran (89.9-99.8 mm). Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Juni dan September tersebar pada tujuh kelas ukuran, yaitu mulai dari 69.9-79.8 mm hingga 129.9-139.8 mm (Juni), dan pada bulan September mulai 79.989.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, serta didominasi oleh dua kelas ukuran, yaitu 99.9109.8 mm dan 109.9-119.8 mm (Gambar 10). Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober hanya ada empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 99.9-109.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, dan didominasi oleh satu kelas ukuran (109.9-119.8 mm). Sebaliknya, lebar karapas rajungan betina tersebar pada enam kelas ukuran, yaitu 69.9-79.8 mm hingga 139.9-149.8 mm, dan didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 109.9-119.8 mm, 119.9-129.8 mm dan 129.9139.8 mm. Ukuran lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap pada bulan November tersebar pada tujuh kelas ukuran, yaitu mulai dari 59.9-69.8 mm hingga 129.9-139.8 mm dan didominasi oleh satu kelas ukuran, yaitu 99.9-109.8 mm. Sebaliknya, lebar karapas rajungan betina tersebar pada sepuluh kelas ukuran, yaitu mulai dari 59.9-69.8 mm hingga 159.9-169.8 mm. Lebar karapas rajungan betina pada bulan November didominasi oleh dua kelas ukuran, yaitu 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm.

41

20

30 Jantan Betina

Oktober - 13

Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

April -13 10

20

0

0 15 Jantan Betina

Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

Mei - 13

20 10

10

Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

Jantan

10

Jantan

Betina

5

Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

Juli - 13

0

Desember - 13

Jantan Betina

5

20

Januari - 14

Jantan Betina

10

0 15 Jantan Betina

Agustus -13

5

Jumlah (ekor)

Jumlah (ekor)

10

30

15

10

Februari -14

Jantan Betina

5 0

0

20

September - 13

Jantan Betina

5 0

Jumlah (ekor)

15 Jumlah (ekor)

5

0

0 15

10

Jantan Betina

15

Juni - 13

10

November - 13

0

0 20

10

Betina

10

40 30

Jantan

15 10

Maret-14 Jantan Betina

5 0

Nilai tengah lebar karapas (mm)

Nilai tengah lebar karapas (mm)

Gambar 10. Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina berdasarkan periode penangkapan di Teluk Lasongko

42

Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Desember dan Januari tersebar pada delapan kelas ukuran yang sama, yaitu pada kelas ukuran dari 69.9-79.8 mm hingga 139.9-149.8 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Desember didominasi oleh dua kelas ukuran (89.9-99.8 mm dan 119.9-129.8 mm) dan pada bulan Januari ada tiga kelas ukuran (99.9-109.8 mm, 109.9-119.8 dan 119.9-129.8 mm). Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Desember juga tersebar pada delapan kelas ukuran sama dengan yang tertangkap pada bulan Februari. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Desember hanya satu kelas ukuran yang dominan (119.9-129.8 mm), sedangkan yang tertangkap pada bulan Februari didominasi oleh dua kelas ukuran, yaitu 99.9-109.8 mm dan 109.9-119.8 mm. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Februari tersebar pada sembilan kelas ukuran, yaitu pada kelas ukuran dari 49.8-59.8 mm hingga129.9-139.8 mm, dan yang tertangkap pada bulan Maret tersebar pada enam kelas ukuran. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Februari didominasi oleh dua kelas ukuran (89.9-99.8 mm dan 99.9-109.8 mm) sedangkan rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Maret didominasi oleh tiga kelas ukuran, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8 mm dan 109.9119.8 mm. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada bulan Januari dan bulan Maret tersebar pada sembilan kelas ukuran yang sama, yaitu, mulai dari kelas ukuran lebar karapas 69.9-79.8 mm hingga 149.9-159.8 mm, dan didominasi oleh dua kelas ukuran yang sama, yaitu, 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm (Gambar 10). Distribusi Kelas Ukuran Lebar Karapas Berdasarkan Musim Distribusi kelas lebar karapas ukuran rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim timur dan barat di Teluk Lasongko selengkapnya tertera pada Tabel 13. Secara umum, jumlah kelas ukuran lebar karapas rajungan betina lebih banyak dari pada kelas ukuran rajungan jantan. Rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur tersebar pada sembilan kelas ukuran, yaitu mulai dari 49.8-59.8 mm hingga 129.9-139.8 mm, sedangkan yang tertangkap pada musim barat bertambah satu kelas ukuran dari sebaran kelas ukuran lebar karapas yang tertangkap pada musim timur tersebut, yaitu 139.9-149.8 mm. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada musim timur tersebar pada seluruh kelas ukuran (12 kelas ukuran) rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko, sedangkan rajungan betina pada kelas ukuran lebar karapas 49.8-59.8 mm tidak tertangkap pada musim barat sehingga rajungan betina pada musim barat hanya tersebar pada 11 kelas ukuran (Tabel 13). Rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim timur dan musim barat didominasi oleh empat kelas ukuran lebar karapas, yaitu 89.9-99.8 mm, 99.9-109.8 mm, 109.9-119.8 mm dan 119.9-129.8 mm. Rajungan jantan dan betina berukuran kecil (nilai tengah <84.85 mm) jarang tertangkap. Jumlah rajungan jantan berukuran kecil yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 1 ekor hingga 5 ekor, dan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 7 ekor. Rajungan jantan berukuran terkecil (nilai tengah 54.80 mm) banyak tertangkap pada bulan Mei, Juli dan Februari. Jumlah rajungan jantan betina berukuran kecil yang tertangkap musim timur berkisar antara 2 ekor hingga 6 ekor sedangkan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 25 ekor. Rajungan betina berukuran terkecil tertangkap pada bulan Mei dan Agustus (Tabel 13).

43

Tabel 13. Distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina berdasarkan musim di Teluk Lasongko Nilai Musim Timur (ekor) Musim Barat (ekor) Kelas ukuran tengah (mm) Jantan Betina Jantan Betina (mm) 49.8-59.8 54.80 2 2 1 59.9-69.8 64.85 1 3 2 1 69.9-79.8 74.85 5 6 7 8 79.9-89.8 84.85 23 32 26 25 89.9-99.8 94.85 77 61 41 32 99.9-109.8 104.85 79 79 59 47 109.9-119.8 114.85 72 86 76 71 119.9-129.8 124.85 43 42 56 86 129.9-139.8 134.85 11 14 22 41 139.9-149.8 144.85 5 2 12 149.9-159.8 154.85 1 3 159.9-169.8 164.85 2 1 Jumlah (ekor) 313 333 292 327 Rajungan jantan dan betina berukuran besar (nilai tengah >144.85 mm) demikian juga berukuran kecil (nilai tengah < 74.85 mm) jarang tertangkap selama penelitian. Rajungan jantan dengan nilai tengah lebar karapas 144.85 mm tidak tertangkap pada musim timur, sedangkan pada musim barat hanya sebanyak 2 ekor, masing-masing tertangkap pada bulan Desember dan Januari. Sebaliknya, jumlah rajungan betina berukuran besar yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 1 ekor hingga 5 ekor, sedangkan yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 12 ekor. Rajungan betina terbesar (nilai tengah 164.85 mm) berjumlah 3 ekor, masingmasing tertangkap pada bulan April, Mei dan November. Jumlah rajungan jantan berukuran kecil yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 1 ekor hingga 5 ekor dan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 7 ekor, sedangkan jumlah rajungan betina berukuran kecil yang tertangkap musim timur berkisar antara 2 ekor hingga 6 ekor, dan pada musim barat berkisar antara 1 ekor hingga 8 ekor, namun kelas ukuran 49.8-59.8 mm tidak tertangkap (Tabel 13). Hubungan antar Karakter Morfometrik Berdasarkan Total Contoh Hubungan antar karakter morfometrik rajungan berdasarkan total contoh jantan dan betina dengan persamaan allometrik linear selengkapnya tertera pada Tabel 14 dan Gambar 11. Koefisien korelasi (r) hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina dengan persamaan tersebut umumnya > 0.9, kecuali hubungan panjang karapas-tinggi propodus capit dan panjang-tinggi propodus capit rajungan jantan < 0.9 (Tabel 14). Nilai koefisien regresi (b) dan intersep (a) dengan analisis kovarian (ANCOVA) menunjukkan sangat nyata (p<0.001). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko sangat nyata, kuat dan positif.

44

Tabel 14. Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina n

Persamaan allometrik linear (Y = a + bX)

LK - PC PK - PC PK - TC PC - TC LK - PK

579 579 578 579 583

PC = -36.546 + 0.999LK PC = -29.106 + 2.013PK TC = -1.550 + 0.346PK TC = 4.540 + 0.156PC PK = -2.930 + 0.491LK

LK - LA PK - LA LK - PA PK - PA LA - PA

655 656 656 656 655

LA = -15.997 + 0.452LK LA = -11.506 + 0.887PK PA = -10.447 + 0.428LK PA = -5.649 + 0.828PK PA = 6.397 + 0.895LA

Hubungan

r Jantan 0.934 0.932 0.744 0.727 0.962 Betina 0.947 0.946 0.923 0.910 0.923

Ancova

Uji t b

Al

62.748** 61.764** 25.203** 26.781** 90.844**

0.082tn 31.061* 50.666* 134.730* 101.823*

0 + -

75.556** 75.013** 61.179** 56.250** 61.427**

91.454* 3.245* 81.897* 11.697* 7.222*

-

a

b

-21.187** -17.819** -2.396** 10.196** -3.433** -23.830** -18.655** -7.360** -13.336** 12.519**

**sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05), tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.; + allometrik positif .; - allometrik negatif.; n jumlah contoh rajungan.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen

Hubungan lebar/panjang-panjang/tinggi propodus capit jantan pada penelitian ini diperoleh nilai b < 1, kecuali hubungan panjang karapas-panjang propodus capit > 2. Hasil uji t terhadap nilai b hubungan antar karakter morfometrik tersebut umumnya menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan b = 1, kecuali hubungan antara lebar karapas dengan panjang propodus capit rajungan jantan tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan b=1. Berdasarkan nilai b dan uji statistik tersebut, menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-panjang propodus capit, panjang-tinggi propodus capit, dan lebar-panjang karapas rajungan jantan bertipe allometrik negatif. Tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-panjang propodus capit rajungan jantan allometrik positif, sedangkan tipe pertumbuhan relatif lebar karapas-panjang propodus capit rajungan jantan isometrik (Tabel 14). Nilai b hubungan lebar karapas-lebar abdomen rajungan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko lebih kecil dari pada nilai b hubungan panjang karapas-lebar abdomen. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan lebar abdomen terhadap panjang karapas rajungan betina yang tertangkap di perairan ini lebih cepat dari pada pertumbuhan lebar abdomen terhadap pertumbuhan lebar karapas rajungan betina. Nilai b hubungan lebar karapas-panjang abdomen rajungan betina lebih kecil dari pada nilai b hubungan panjang karapas-panjang abdomen rajungan betina (Tabel 14).

45

Gambar 11. Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan (A) dan betina (B) di Teluk Lasongko

46

Hubungan lebar/panjang karapas-lebar/panjang abdomen serta hubungan lebarpanjang abdomen rajungan betina juga diperoleh nilai b <1, namun lebih besar dari pada nilai b hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan (Tabel 14). Pertumbuhan relatif antar kelima variabel karakter morfometrik rajungan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko bertipe allometrik negatif, dan hal ini juga didukung oleh hasil uji statistik nilai b (uji t) kelima hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan betina menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan b=1. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan lebar dan panjang karapas lebih cepat dari pertumbuhan lebar dan panjang abdomen, demikian juga pertumbuhan lebar abdomen lebih cepat dari pada pertumbuhan panjang abdomen rajungan betina Hubungan antar Karakter Morfometrik Berdasarkan Juvenil dan Dewasa Secara umum, koefisien korelasi setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan tahap juvenil dan dewasa yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara 0.500 hingga 0.916, sebaliknya untuk rajungan betina tahap juvenil dan dewasa berkisar antara 0.711 hingga 0.932 (Tabel 15). Koefisien korelasi (r) hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan tertinggi ditemukan pada hubungan lebar karapas-panjang propodus capit tahap dewasa dan terendah pada hubungan panjang-tinggi propodus capit tahap juvenil. Sebaliknya, untuk rajungan betina nilai r tertinggi ditemukan pada hubungan lebar karapas-lebar abdomen tahap dewasa, dan terendah pada hubungan lebar abdomen-panjang abdomen tahap juvenil. Nilai r hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina tahap juvenil untuk variabel yang sama lebih kecil dibandingkan dengan tahap dewasa (Tabel 15). Nilai b hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan juvenil berkisar antara 0.16 hingga 1.517 dan jantan dewasa berkisar antara 0.141 hingga 1.043, sedangkan nilai b rajungan betina juvenil berkisar antara 0.291 hingga 0.716, serta betina dewasa berkisar antara 0.421 hingga 0.985. Nilai b tertinggi hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan juvenil dan dewasa ditemukan pada hubungan antara panjang karapas-panjang propodus capit, dan terendah pada hubungan panjang capit-tinggi propodus capit. Sebaliknya, nilai b tertinggi rajungan betina juvenil ditemukan pada hubungan panjang karapas-lebar abdomen dan betina dewasa ditemukan pada hubungan lebar-panjang abdomen, sedangkan nilai b terendah betina juvenil ditemukan pada hubungan lebar karapas-panjang abdomen dan betina dewasa pada hubungan lebar karapas-lebar abdomen (Tabel 15). Hasil uji statistik (ANCOVA) terhadap nilai b setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina juvenil dan dewasa menunjukkan sangat nyata (p<0.001). Berdasarkan nilai koefisien korelasi dan hasil uji statistik seperti disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa yang tertangkap di Teluk Lasongko menunjukkan sangat nyata, berkolerasi kuat dan positif. Nilai b pada setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina tahap juvenil lebih kecil dibandingkan dengan tahap dewasa, hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan karakter morfometrik rajungan jantan dan betina dewasa lebih cepat dari pada pertumbuhan tahap juvenil.

47

Tabel 15. Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji b, dan tipe pertumbuhan relatif(Al) antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa Hubungan

LK-PC PK-PC PK-TC PC-TC

LK-LA PK-LA LK-PA PK-PA LA-PA

Tahap Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa Betina Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa Juvenil Dewasa

Persamaan allometrik linear (Y = a + bX)

r

Ancova a

b

Uji t b

Al

PC = -12.091+ 0.725LK PC = -41.345+1.043LK PC = -9.628+1.517PK PC = -28.000+1.998PK TC = -1.569+0.344PK TC = -0.307+ 0.324PK TC = 3.590+0.168PC TC = 5.816 +0.141PC

Jantan 0.878 0.916 0.861 0.907 0.578 0.679 0.500 0.656

-3.703** -15.662** -2.838** -11.214** -0.852tn -0.327tn 2.519** 9.060**

19.649** 44.540** 18.189** 41.763** 7.596 ** 17.961** 6.198** 16.905**

0.692tn -0.095tn -0.578tn -3.049* 1.353* 2.089* 2.843* 6.116*

0 0 0 + -

LA = -6.804+0.338LK LA =-11.959+0.421LK LA =-5.780 + 0.716PK LA =-6.304 + 0.802PK PA = 1.432 + 0.291LK PA =-12.364+0.442LK PA = 1.966 + 0.624PK PA = -4.412 + 0.805PK PA = 13.260+ 0.596LA PA = 2.684 + 0.985LA

0.740 0.929 0.782 0.932 0.760 0.882 0.815 0.843 0.711 0.891

-2.657** -9.158** -2.667** -5.547** 0.691nt -6.729* 1.164nt -2.354** 10.290** 2.123**

11.540** 38.785** 13.177** 39.684* 12.270** 28.941** 14.756** 24.181** 10.615** 30.265**

2.152* 3.463* 0.499tn 0.716 tn 2.850* 2.372* 0.846 tn 1.074tn -20.830* -3.355*

0 0 0 0 -

**sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05).; tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.; + allometrik positif.; - allometrik negatif.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC tinggi propodus capit.;LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen

Nilai b hubungan lebar karapas-panjang propodus capit tahap juvenil dan dewasa, serta panjang karapas-panjang capit tahap juvenil propodus rajungan jantan berdasarkan uji t tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan b=1. Walaupun hubungan lebar karapas-panjang propodus capit tahap dewasa dan hubungan panjang karapaspanjang propodus capit rajungan jantan juvenil dengan nilai b > 1, namun berdasarkan uji t tersebut, dan tipe pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik tersebut adalah isometrik. Hubungan panjang karapas-panjang propodus capit jantan dewasa dengan nilai b>1, dan hasil uji t menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan b =1, dan tipe pertumbuhannya allometrik positif. Sebaliknya, pertumbuhan relatif panjang karapas-tinggi propodus capit dan panjang-tinggi propodus capit rajungan jantan juvenil dan dewasa bertipe allometrik negatif (Tabel 15). Hubungan lebar karapas-lebar/panjang abdomen, dan hubungan lebar abdomenpanjang abdomen rajungan betina tahap juvenil dan dewasa dengan nilai b < 1 dan hasil uji t berbeda nyata (p<0.05) dengan b=1. Berdasarkan nilai b dan uji t tersebut, pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik tersebut bertipe allometrik negatif. Nilai b hubungan panjang karapas-lebar/panjang abdomen rajungan betina tahap juvenil dan dewasa dengan nilai b< 1, namun hasil uji t tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan b=1, sehingga pertumbuhannya bertipe isometrik (Tabel 15).

48

Hubungan Lebar/Panjang-Berat Tubuh Berdasarkan Total Contoh Hasil analisis hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh dari total contoh rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko dengan persamaan allometrik bentuk power dan linear dengan nilai r > 0.92 dan nilai b berkisar antara 2.646 hingga 3.052 (Tabel 16 dan Gambar 12). Hasil uji statistik (ANCOVA) terhadap nilai intersep (a) dan nilai b menunjukkan sangat nyata (p<0.001). Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina menunjukkan sangat nyata, berkolerasi kuat dan positif berdasarkan nilai b dan r serta uji statistik seperti disebutkan di atas. Tabel 16. Persamaan allometrik power dan linear, koefisien korelasi (r), uji t nilai b, ANCOVA, dan tipe pertumbuhan relatif (Al) lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina Hubungan

LK-BT

Persamaan allometrik Power (Y=abX) Linear (Y= a + bX)*) BT= 5E-5LK

3.052 2.820

PK-BT

BT= 0.001PK

LK-BT PK-BT

BT= 1E-4LK2.921 BT= 0.002PK2.646

r

Ancova a

b

Uji t b

Al

Jantan BT = -4.277 + 3.052LK 0.943

47.013** 68.048** 1.024 tn

0

BT=-2.858 + 2.820PK

-35.119** 58.645** 3.738*

-

-48.744** 72.305** 1.938tn -38.795** 68.110** 9.105*

0

0.925 Betina BT =-4.018 +2.921LK 0.942 BT=2.571+ 2.646PK 0.936

-

*) bentuk log10.; **sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05), tn tidak nyata (p>0.05).; 0 isometrik.; - allometrik negatif.; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; BT berat tubuh.

Gambar 12. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan (A) dan betina (B) tertangkap di Teluk Lasongko

49

Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina dengan nilai b< 3, sebaliknya nilai b >3 untuk hubungan lebar karapas-berat tubuh rajungan betina. Namun, nilai b hubungan lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina dengan uji t menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0.05) dengan b=3, sebaliknya nilai b hubungan panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina berbeda nyata (p<0.05) dengan b=3. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko bertipe isometrik, sebaliknya tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina allometrik negatif. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dengan nilai b lebih besar dari pada rajungan betina. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berat tubuh rajungan jantan lebih cepat dari pada pertumbuhan berat tubuh rajungan betina. Hubungan Lebar/Panjang-Berat Tubuh Berdasarkan Juvenil dan Dewasa Hasil analisis hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina pada tahap juvenil dan dewasa dengan persamaan allometrik linear diperoleh nilai r pada tahap juvenil berkisar antara 0.753 hingga 0.891, dan tahap dewasa berkisar antara 0.905 hingga 0.936 (Tabel 17). Koefisien korelasi tertinggi tahap juvenil dan dewasa ditemukan pada hubungan lebar karapas-berat rajungan jantan dan terendah ditemukan pada hubungan panjang karapas-berat tubuh rajungan betina. Tabel 17. Persamaan allometrik linear, koefisien korelasi (r), ANCOVA, uji t nilai b, dan tipe allometrik (Al) hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa Hubungan

Tahap

Persamaan allometrik linear (Y = a + bX)*)

r

Ancova a

Jantan Juvenil BT = -3.667+2.732 LK 0.891 -14.566** Dewasa BT = -4.202+3.019 LK 0.936 -35.346** PK-BT Juvenil BT = -2.495+2.576PK 0.854 -10.619** Dewasa BT = -2.531+2.635 PK 0.910 -24.173** Betina Juvenil BT= -3.00 5+ 2.390LK 0.794 -8.889** LK-BT Dewasa BT= -3.847 + 2.841LK 0.930 -25.522** PK-BT Juvenil BT= -1.764 + 2.124PK 0.753 -6.237** Dewasa BT= -2.196 + 2.435PK 0.905 -16.990** *) bentuk log10.; **sangat nyata (p<0.001).; * nyata (p<0.05), tn tidak LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; BT berat tubuh. LK-BT

b 21.074** 52.004** 17.594** 43.093**

Uji t b

Al

0.192tn 0.017tn 0.270tn 0.305tn

0 0 0 0

13.696** 0.333tn 0 39.114** 0.141tn 0 11.985** 0.471 tn 0 32.858** 0.493 tn 0 nyata (p>0.05).; 0 isometrik.;

Nilai a dan b hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa berdasarkan uji ANCOVA menunjukkan hubungan yang sangat nyata (p<0.001). Berdasarkan nilai r dan hasil analisis statistik tersebut menunjukkan hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina juvenil dan dewasa yang tertangkap di Teluk Lasongko sangat nyata, kuat dan positif. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil sebagian besar dengan nilai b < 3, kecuali hubungan lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan b>3. Hasil uji t menunjukkan bahwa nilai b antar karakter morfometrik tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan b=3, sehingga tipe

50

pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina tahap juvenil adalah isometrik (Tabel 17), yaitu menunjukkan pertumbuhan lebar/panjang karapas dengan pertumbuhan berat tubuh rajungan pada tahap juvenil dan dewasa adalah seimbang. Nilai b hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan tahap juvenil dan dewasa lebih besar dibandingkan dengan rajungan betina tahap juvenil dan dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berat tubuh rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina baik pada tahap juvenil maupun tahap dewasa. Pembahasan Karakteristik Morfometrik Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko secara spasial menunjukkan adanya variasi dan nilai yang tidak sama antar stasiun, hal ini disebabkan oleh kondisi habitat (tipe substrat dan kepadatan lamun) dan kualitas air antar stasiun juga bervariasi atau relatif tidak sama (Tabel 3). Rajungan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 mempunyai karakteristik morfometrik lebih kecil dibandingkan dengan stasiun lainnya, sebaliknya rajungan yang tertangkap pada stasiun 7 mempunyai karakteristik morfometrik lebih besar dari pada stasiun lainnya. Habitat rajungan pada stasiun 1 dan 2 terdiri dari substrat yang didominasi oleh fraksi sedimen pasir sangat kasar, kepadatan lamun yang relatif rendah, kecepatan arus dan kekeruhan yang tinggi, serta kedalaman dan salinitas yang rendah. Sebaliknya, habitat rajungan pada stasiun 7 terdiri dari substrat yang didominasi oleh fraksi sedimen lempung dan liat, kedalaman dan salinitas yang tinggi serta kekeruhan yang rendah. Karakteristik morfometrik rajungan yang tertangkap pada lokasi yang dangkal dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun cenderung lebih kecil dibandingkan dengan yang ditemukan pada lokasi yang dalam dengan tipe substrat pasir berlempung dan tidak ditumbuhi lamun (berupa hamparan pasir). Karakteristik morfometrik rajungan yang ditemukan pada penelitian ini identik dengan yang ditemukan di Perairan Pati, yaitu rajungan yang tertangkap di dekat pantai lebih kecil dari pada yang tertangkap pada bagian tengah atau lokasi yang lebih dalam (Ernawati 2013). Berat tubuh, lebar karapas dan panjang karapas sebagai contoh variabel karakter morfometrik rajungan. Berat rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara 6.06 g hingga 241.04 g dengan lebar karapas berkisar antara 49.80 mm hingga 147.70 mm dan panjang karapas berkisar antara 22.10 mm hingga 90.10 mm, sedangkan berat rajungan betina berkisar antara 62.16 g hingga 314.22 g dengan lebar karapas berkisar antara 52.10 mm hingga 166.20 mm, dan panjang karapas berkisar antara 25.40 mm hingga 78.30 mm. Ukuran karakter morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko masih dalam kisaran ukuran rajungan yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Indonesia. Panjang karapas rajungan jantan yang tertangkap di Perairan Brebes berkisar antara 22 mm hingga 75 mm dengan berat tubuh berkisar antara 10.12 g hingga 234.13 g, sedangkan rajungan betina berkisar antara 21 mm hingga 74 mm dengan berat tubuh berkisar antara 6.53 g hingga 253.24 g (Sunarto et al. 2010 ; Sunarto 2012). Lebar karapas rajungan jantan di Perairan Pati berkisar antara 58.0 mm hingga 176 mm, serta betina berkisar antara 60.1 mm hingga 189 mm (Ernawati 2013). Lebar karapas rajungan jantan dan betina

51

di Perairan Pangkep berkisar antara 45.5 mm hingga 177.5 mm (Ihsan et al. 2014) dan lebar karapas rajungan jantan dan betina di Teluk PGN (Perusahaan Gas Negara), Lampung Timur masing-masing berkisar antara 26.41 mm hingga 120.80 mm dan antara 31.35 mm hingga 99.89 mm (Kurnia et al. 2014). Karakteristik morfometrik rajungan betina yang ditemukan pada penelitian ini cenderung lebih besar dari pada rajungan jantan, dan hal ini serupa dengan ditemukan di Pantai Leyte dan Bohol, Filipina (Batoy et al. 1988). Ukuran rajungan jantan dan betina ditemukan relatif sama seperti tertangkap di Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan Pati (Ernawati 2013). Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko juga ditemukan bervariasi secara temporal. Karakteristik morfometrik rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Oktober sampai Desember tergolong berukuran besar, sedangkan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September, Februari dan Maret tergolong berukuran kecil. Karakteristik morfometrik rajungan betina yang tertangkap pada bulan Februari, Agustus, Juli, Mei dan Juni tergolong berukuran sedang. Adanya variasi karakteristik morfometrik rajungan tersebut diantaranya berkaitan dengan adanya variasi kualitas air habitat rajungan secara temporal selama penelitian di Teluk Lasongko. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur. Adanya variasi karakteristik morfometrik rajungan secara temporal juga ditemukan di Perairan Brebes (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013). Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Perairan Pati pada bulan Januari dan Februari tergolong berukuran kecil sedangkan tertangkap pada bulan September hingga November tergolong berukuran besar dibandingkan dengan pada bulan lainnya (Ernawati 2013). Distribusi Frekuensi Kelas Ukuran Lebar Karapas Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara 49.80 mm hingga 147.70 mm dan terdistribusi pada 10 kelas ukuran lebar karapas sedangkan lebar karapas rajungan betina berkisar dari 52.10 mm hingga 166.20 mm dan tersebar pada 12 kelas ukuran. Rajungan jantan tidak ditemukan pada dua kelas ukuran lebar karapas terakhir, yaitu 149.9-159.8 mm dan 159.9-169.8 mm (Gambar 9). Distribusi spasial kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina pada perairan ini terlihat bervariasi antar stasiun. Namun demikian, frekuensi distribusi kelas ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap setiap stasiun sebagian besar didominasi oleh empat kelas ukuran, yaitu mulai 89.9-99.6 sampai 119.9-129.8 mm atau dengan nilai tengah berkisar dari 94.85 mm hingga 124.85 mm (Gambar 9). Adanya variasi kelas ukuran lebar karapas tersebut berkaitan dengan variasi kondisi substrat (komposisi fraksi sedimen dan tipe substrat, kepadatan padang lamun dan kualitas air (khususnya kecepatan arus, salinitas dan kecerahan) antar stasiun. Peranan suhu air terhadap keberadaan rajungan, khususnya yang berkaitan dengan distribusi kelas ukuran rajungan di Teluk Lasongko lebih kecil dibandingkan dengan salinitas, karena penyebaran suhu air di perairan ini relatif sama sedangkan salinitas relatif bervariasi antar stasiun (Tabel 3).

52

Distribusi ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko lebih besar dari pada lebar karapas rajungan yang tertangkap di Perairan Lampung Timur. Lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lampung Timur berkisar antara 26.41 mm hingga 120.80 mm dan didominasi oleh kelas ukuran lebar karapas dengan nilai tengah berkisar antara 53.5 mm hingga 63.5 mm sedangkan lebar karapas rajungan betina berkisar antara 31.35 mm hingga 99.89 mm dan didominasi oleh kelas ukuran lebar karapas dengan nilai tengah 63.5 mm (Kurnia et al. 2014). Pada penelitian sebelumnya di lokasi yang sama ditemukan lebar karapas rajungan berkisar antara 45 mm hingga 130 mm dan didominasi oleh kelas ukuran lebar karapas dengan nilai tengah 81.0 mm (Wardiatno dan Zairion 2011). Distribusi kelas ukuran rajungan jantan yang tertangkap di Perairan Brebes didominasi oleh kelas ukuran panjang karapas 39-44 mm disusul dengan ukuran kelas panjnag karapas 45-50 mm, dan ukuran kelas 33-38 mm, sedangkan rajungan betina didominasi oleh kelas ukuran panjnag karapas 33-38 mm, 39-44 mm dan 45-50 mm (Sunarto 2012). Distribusi ukuran rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko pada tipe habitat yang berbeda ditemukan bervariasi. Rajungan jantan dan betina yang tertangkap dekat pantai dengan kedalaman 1.5 m sampai 2.5 m, bertipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat ditemukan lebih kecil dibandingkan dengan yang tertangkap pada lokasi yang dalam (5 m sampai 12 m) dengan tipe substrat pasir berlempung dan tidak ditumbuhi oleh lamun. Pada beberapa perairan lainnya, juga ditemukan distribusi kelas ukuran rajungan yang hidup pada kondisi habitat yang berbeda juga bervariasi. Rajungan jantan yang tertangkap di Perairan Pati yang terletak dekat pantai dengan tipe substrat lempung dan lempung berpasir (zona 2) didominasi oleh kelas ukuran lebar karapas dengan nilai tengah 106 mm, kemudian pada bagian tengah bertipe substrat lempung berpasir dan lempung (zona 3) didominasi oleh kelas ukuran dengan nilai tengah 136 mm dan 146 mm, serta rajungan yang tertangkap jauh dari pantai dengan tipe substrat pasir berlumpur (zona 1) didominasi oleh rajungan dengan ukuran lebar karapas dengan nilai tengah 136 mm dan 146 mm (Ernawati 2013). Distribusi ukuran rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko berdasarkan periode penangkapan dan musim juga ditemukan bervariasi. Distribusi ukuran rajungan setiap periode penangkapan umumnya didominasi oleh tiga kelas ukuran, namun distribusi kelas ukurannya berbeda. Rajungan jantan yang dominan tersebar mulai dari kelas ukuran 89.9-99.8 mm sampai 109.9-119.8 mm, sedangkan rajungan betina tersebar pada kelas ukuran 99.9-109.8 mm sampai 119.9-129.8 mm. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelas ukuran rajungan jantan banyak terdistribusi pada kelas ukuran lebar karapas yang lebih kecil dibandingkan dengan rajungan betina (Gambar 10), dan antar periode penangkapan terjadi pergeseran distribusi ukuran rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko. Rajungan jantan berukuran besar banyak tertangkap pada bulan Oktober, November dan Desember, sedangkan rajungan betina berukuran besar banyak tertangkap pada bulan Oktober, November, Maret, September dan Desember. Sebaliknya, ukuran rajungan jantan berukuran kecil banyak tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, September, Februari dan Maret, sedangkan rajungan betina berukuran kecil banyak tertangkap pada bulan April. Adanya pergeseran kelas ukuran rajungan antar periode

53

penangkapan juga ditemukan di Perairan Brebes dan Pati (Sunarto 2012; Ernawati 2013). Adanya variasi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina tersebut berkaitan dengan variasi kualitas air habitat secara temporal, khususnya suhu, salinitas dan kecepatan arus, serta faktor-faktor lain yang belum diamati. Distribusi frekuensi kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina pada kelas ukuran yang sama yang tertangkap pada bulan Mei dan Januari umumnya lebih tinggi dari pada yang tertangkap pada 10 bulan lainnya, karena jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada kedua bulan tersebut lebih banyak dibandingkan dengan yang tertangkap pada 10 bulan lainnya (Gambar 10). Jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei dan Januari masing-masing sebanyak 100 ekor dan 80 ekor, serta keduanya tersebar pada delapan kelas ukuran lebar. Rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Januari tersebar pada kelas ukuran lebih besar dibandingkan dengan yang tertangkap pada bulan Mei. Nilai tengah lebar karapas kelas ukuran rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei berkisar antara 54.8 mm hingga 134.85 mm, sedang yang tertangkap pada bulan Januari berkisar antara 74.85 mm hingga 144.85 mm. Jumlah rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei sebanyak 89 ekor dan tersebar pada semua kelas ukuran lebar karapas (12 kelas ukuran), dan yang tertangkap pada bulan Januari sebanyak 76 ekor dan tersebar pada sembilan kelas ukuran lebar karapas, yaitu dengan nilai tengah lebar karapas dari 74.85 mm hingga 154.85 mm (Gambar 10). Distribusi kelas ukuran rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko pada musim timur dan barat didominasi oleh empat kelas ukuran, yaitu mulai dari 89.999.8 mm sampai 119.9-129.8 mm. Rajungan jantan dan betina berukuran besar (nilai tengah >144.85 mm) demikian juga yang berukuran kecil (nilai tengah < 74.85 mm) jarang tertangkap baik pada musim timur maupun pada musim barat. Rajungan jantan dan betina di Perairan Brebes dengan panjang karapas masing-masing 52 mm dan 50 mm banyak tertangkap pada bulan September, sedangkan rajungan jantan dengan panjang karapas 6 mm tertangkap pada bulan Juli, demikian juga rajungan betina dengan panjang karapas 22 mm banyak tertangkap pada bulan Februari (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012). Rajungan jantan dan betina berukuran besar di Perairan Pati banyak tertangkap pada bulan September sampai bulan November, sebaliknya yang berukuran kecil banyak tertangkap pada bulan Januari dan Februari (Ernawati 2013). Hubungan antar Karakter Morfometrik Hubungan antar karakter morfometrik dari total contoh rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko berdasarkan hasil analisis persamaan linear menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Hal ini seperti ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi yang tinggi, yaitu berkisar antara 0.727 hingga 0.962 serta hasil ANCOVA nilai b setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina sangat nyata (p<0.001) yang dianalisis berdasarkan total contoh (Tabel 14). Demikian juga, nilai r hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina tahap juvenil dan dewasa berkisar antara 0.500 hingga 0.932 (Tabel 15) dan hasil uji t juga menunjukkan nilai b sangat nyata (p<0.001).

54

Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini umumnya dengan nilai b < 1, kecuali hubungan panjang karapas-panjang propodus capit rajungan jantan b > 2. Hasil uji statistik terhadap nilai b juga sebagian besar menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dengan b = 1 (Tabel 14), kecuali hubungan lebar karapas-panjang propodus capit rajungan jantan tidak berbeda nyata (p<0.05). Pertumbuhan relatif antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina sebagian besar bertipe allometrik negatif, kecuali pada tipe pertumbuhan relatif panjang karapas-panjang propodus capit rajungan jantan allometrik positif, dan tipe pertumbuhan relatif lebar karapas-panjang propodus capit rajungan jantan bertipe isometrik. Tipe pertumbuhan relatif antar variabel karakter morfometrik yang sama antara tahap juvenil dan dewasa pada rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko sebagian besar ditemukan tidak mengalami perubahan ketika tahap juvenil dan dewasa. Nilai b hubungan lebar karapas-lebar abdomen rajungan betina juvenil dan dewasa pada penelitian ini ditemukan lebih kecil dari pada nilai b hubungan panjang karapas-lebar abdomen. Nilai b hubungan lebar karapas-panjang abdomen juga lebih kecil dari pada nilai b hubungan panjang karapas-panjang abdomen rajungan betina juvenil dan dewasa. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai r setiap hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan tahap juvenil dan dewasa berkisar antara 0.500 hingga 0.916, sebaliknya untuk rajungan betina tahap juvenil dan dewasa berkisar antara 0.711 hingga 0.932 (Tabel 15) dengan nilai b hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan tahap juvenil berkisar antara 0.16 hingga 1.517, sedangkan untuk tahap dewasa berkisar antara 0.141 hingga 1.043. Hubungan antar karakter morfometrik rajungan betina tahap juvenil dengan nilai b berkisar antara 0.291 hingga 0.716, serta tahap dewasa berkisar antara 0.421 hingga 0.985. Koefisien korelasi hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan tertinggi ditemukan pada hubungan lebar karapas-panjang propodus capit tahap dewasa dan terendah pada hubungan panjang-tinggi propodus capit tahap juvenil. Sebaliknya, koefisien korelasi hubungan antar karakter morfometrik rajungan betina tertinggi ditemukan pada hubungan lebar karapas-lebar abdomen tahap dewasa, dan terendah pada hubungan lebar abdomen-panjang abdomen tahap juvenil. Koefisien korelasi hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina pada tahap juvenil lebih kecil dari pada tahap dewasa untuk variabel karakter morfometrik yang sama. Hubungan Lebar/Panjang Karapas-Berat Tubuh Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina berdasarkan total contoh serta tahap juvenil dan dewasa di Teluk Lasongko menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai koefisien korelasi (r) > 0.9 berdasarkan total contoh serta tahap juvenil dan dewasa nilai r umumnya > 0.75, serta hasil uji statistik nilai b rajungan jantan dan betina menunjukkan korelasi yang sangat nyata (p<0.001), walaupun nilai b umumnya < 3 (Tabel 16 dan 17). Nilai b, r dan tipe pertumbuhan lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina pada beberapa lokasi perairan di Indonesia dan Thailand tertera pada Tabel 18.

55

Tabel 18. Koefisien regresi (b), koefisien korelasi (r) dan lebar/panjang karapas-berat pada beberapa lokasi perairan Lokasi Provinsi Trang, Thailand Selatan Teluk Kung Krabaen, Thailand Perairan Brebes Perairan Pati Perairan Pangkep

Teluk Lasongko

Hubungan PK - BT Jantan PK - BT Betina PK - BT Total LK - BT Betina LK - BT Betina PK - BT Jantan PK - BT Betina PK - BT Total LK - BT Jantan LK - BT Betina LK - BT Jantan LK - BT Betina LK - BT Jantan PK - BT Jantan LK - BT Betina PK - BT Betina

b 3.2192 3.1860 3.2024 2.9211 2.8944 3.0398 2.8595 2.9407 3.342 3.259 2.7542 2.6508 3.052 2.820 2.921 2.646

r 0.938 0.933 0.935 0.981 0.967 0.974 0.981 0.977 0.957 0.948 0.860 0.817 0.942 0.925 0.916 0.941

Al 0 0 0 + + + 0 0 -

Sumber Sawusdee dan Songrak 2009

Kunsook 2011 Sunarto et al. 2010a; Sunarto 2012 Ernawati 2013 Ihsan et al. 2014

Penelitian ini

PK Panjang karapas.; LK Lebar karapas.; BT Berat tubuh.; 0 isometrik.; - allometrik negatif.; + allometrik positif

Pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina pada penelitian ini bertipe isometrik, sedangkan panjang karapas-berat tubuh bertipe allometrik negatif. Pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh di Perairan Brebes untuk jantan bertipe allometrik positif dan betina betipe isometrik (Sunarto et al. 2010; Sunarto 2012). Pertumbuhan relatif lebar/panjang karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina juvenil dan dewasa di Teluk Lasongko keduanya bersifat isometrik (Tabel 17). Pertambahan berat rajungan jantan dan betina yang relatif besar terjadi pada kisaran lebar karapas antara 70 mm hingga 80 mm diduga berdasarkan hubungan lebar karapas-berat dengan persamaan power, sedangkan pertumbuhan rajungan betina lebih besar dari pada rajungan jantan sampai lebar karapas rajungan betina terbesar yang ditemukan pada penelitian ini (166.20 mm). Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya (Sukumaran 1995; Josileen 2011). Simpulan 1. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko bervariasi secara spasial dan temporal, 2. Ukuran rajungan betina di Teluk Lasongko lebih besar dari pada rajungan jantan,

56

3. Hubungan lebar/panjang karapas-berat tubuh dan hubungan antar variabel karakter morfometrik rajungan jantan dan betina dari total contoh, tahap juvenil dan dewasa menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif, 4. Pertumbuhan relatif antar variabel karakter morfometrik jantan dan betina sebagian besar bersifat allometrik negatif, dan umumnya tidak mengalami perubahan selama tahap juvenil dan dewasa, dan 5. Pertumbuhan relatif lebar karapas-berat tubuh rajungan jantan dan betina bersifat isometrik, sedangkan antara panjang karapas-berat bersifat allometrik negatif, serta tidak mengalami perubahan selama tahap juvenil dan dewasa, keduanya bersifat isometrik.

57

4 BIOLOGI REPRODUKSI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Kajian biologi reproduksi rajungan meliputi rasio kelamin, tingkat dan indeks kematangan gonad, ukuran pertama matang kelamin, keberadaan betina mengerami telur (rajungan betina ovigerous), fekunditas dan musim pemijahan. Rasio kelamin berkaitan dengan kesuksesan perkawinan populasi rajungan dan dalam kondisi normal atau tanpa tekanan penangkapan rasio kelamin jantan : betina sebesar 1: 1 (Jazayeri et al. 2011). Kajian tentang rasio kelamin rajungan telah dilakukan oleh peneliti terdahulu (seperti Sukumaran dan Neelakantan 1997a; Poter dan Lestang 2000; Dineshbabu et al. 2008; Ikhwanuddin et al. 2009; Kamrani et al. 2010; Jazayeri et al. 2011; Kunsook 2011; Hosseini et al. 2012; Kembaren et al. 2012), dan hasilnya menunjukkan adanya suatu variasi antar lokasi perairan. Perubahan rasio jenis kelamin terhadap ukuran rajungan tidak memperlihatkan pola yang jelas, namun demikian rasio kelamin bervariasi dalam kelompok ukuran berbeda pada berbagai jenis alat tangkap di Pantai Karnataka, India (Sukumaran dan Neelakantan 1997a) dan beberapa perairan di Australia (Potter dan de Lestang 2000; Potter et al. 2001). Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan aspek penting dalam biologi reproduksi rajungan (Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al. 2012a). Perkembangan TKG rajungan dapat diamati dengan dua metode, yaitu secara kasar (makroskopis, yaitu dilihat dari perubahan morfologi dan warna gonad) dan secara histologis atau mikroskopis (Sumpton et al. 1994; Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan 1998; de Lestang et al. 2003; Kamrani et al. 2010; Ikhawanuddin et al. 2012a). Perkembangan TKG rajungan betina secara makroskopis ditentukan berdasarkan perubahan warna dan morfologi atau ukuran ovarium, dan pada rajungan jantan didasarkan pada perubahan ketebalan dan warna vas deferens, (de Lestang et al. 2003; Kamrani et al. 2010; Ikhawanuddin et al. 2012a). Perkembangan gonad rajungan dipengaruhi oleh suhu air dan nilai indeks kematangan gonad (IKG) sangat bervariasi dari waktu ke waktu bergantung pada perkembangan ovarium (de Lestang et al. 2003; Kamrani et al. 2010). Umumnya, kajian TKG rajungan lebih banyak difokuskan pada betina dibandingkan dengan jantan, termasuk di perairan Indonesia. Ukuran pertama matang kelamin merupakan informasi yang dibutuhkan dalam penentuan ukuran terkecil yang boleh ditangkap, sehingga informasi ini dibutuhkan dalam pengelolaan rajungan (Kamrani et al. 2010; Rasheed dan Mustaquim 2010). Ukuran pertama matang kelamin umumnya ditentukan berdasarkan pada dua kriteria, yaitu secara fisiologi dan morfologi (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan 1996a, 1998; de Lestang et al. 2003; Rasheed dan Mustaquim 2010). Rajungan matang secara fisiologi ditentukan berdasarkan perkembangan tingkat kematangan gonad rajungan jantan dan betina (Rasheed dan Mustaquim 2010) dan kriteria ini telah banyak digunakan dalam penelitian penentuan ukuran pertama matang kelamin rajungan. Ukuran terkecil dari rajungan mengerami telur (betina ovigerous) juga dapat digunakan sebagai kriteria ukuran pertama matang kelamin (Sukumaran 1995; Rasheed dan Mustaquim 2010; Liu et al. 2014).

58

Pemijahan rajungan di perairan tropis dan subtropis terjadi sepanjang tahun, sedangkan di perairan beriklim sedang hanya berlangsung pada musim panas (Kangas 2000; Potter dan de Lestang 2000; de Lestang et al. 2003; Johnson et al. 2010). Musim pemijahan rajungan dapat diduga berdasarkan IKG bulanan dan proporsi betina ovigerous, serta nilai maksimum dari keduanya menunjukkan puncak musim pemijahan rajungan (Sukumaran dan Neelakantan 1998; Kamrani et al. 2010). Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko telah dilakukan secara intensif dan hal ini akan berpengaruh kepada aspek biologi reproduksi rajungan terutama keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini. Upaya pengelolaan secara rasional terhadap rajungan di Teluk Lasongko perlu dilakukan yang didukung oleh data biologi reproduksi rajungan yang memadai. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis aspek (1) rasio kelamin, (2) tingkat dan indeks kematangan gonad, (3) musim pemijahan, dan (4) ukuran pertama matang kelamin rajungan. Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 2). Perairan ini, secara administratif terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lakudo dan Mawasangka Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai bulan Maret 2014. Stasiun Pengambilan Contoh Jumlah stasiun pengambilan contoh rajungan pada penelitian ini sebanyak tujuh stasiun yang tersebar mulai pada bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk. Setiap stasiun terdiri dari tiga sub stasiun atau tiga tipe habitat. Penentuan stasiun didasarkan kepada kondisi padang lamun, tipe substrat dan kedalaman perairan, serta karakteristik setiap stasiun seperti telah diuraikan pada Bab 2. Bahan dan Alat Hewan yang digunakan untuk dikaji dalam penelitian ini adalah rajungan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alkohol 70 %, kertas label dan es batu. Alat yang digunakan terdiri atas gillnet, jangka sorong (Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05), timbangan digital (Xon Med Digital Scale), styrofoom, alat offset dan mikroskop binokuler (Lecica), dan botol contoh. Pengambilan Contoh dan Penentuan Ukuran Tubuh Pengambilan data rajungan untuk analisis biologi reproduksi dilakukan sebulan sekali pada setiap stasiun. Alat tangkap yang digunakan untuk pengambilan data rajungan tersebut adalah gillnet dengan tiga ukuran mata jaring, yaitu 1.5, 2.5 dan 3.5 inci. Ketiga ukuran mata jaring tersebut dirangkai secara seri menjadi satu unit gillnet. Gillnet dipasang pada setiap stasiun sekitar pukul 17.00 sampai 17.45 dan diangkat kembali mulai pukul 06.15 sampai pukul 08.45 keesokan harinya.

59

Rajungan yang tertangkap pada setiap stasiun dan tipe habitat untuk setiap periode penangkapan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin dan betina ovigerous, serta dihitung jumlahnya. Selanjutnya, masing-masing ditimbang beratnya dengan dengan timbangan digital (Xon Med Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 g dan diukur lebar karapasnya dengan jangka sorong (Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05) dengan ketelitian 0.05 mm. Semua rangkaian kegiatan tersebut dilakukan di lapangan, kecuali rajungan yang tertangkap pada stasiun 2. Spesimen rajungan yang belum dianalisis di lapangan disimpan dalam styrofoom dan diberi es dan selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Penentuan Rasio Kelamin Rajungan yang tertangkap pada setiap pengambilan contoh dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, kemudian jumlah rajungan jantan dan betina dihitung dan dicatat. Rasio kelamin rajungan ditentukan berdasarkan rasio jumlah rajungan jantan terhadap jumlah rajungan betina yang tertangkap pada setiap pengambilan data rajungan dan juga dianalisis secara total selama penelitian untuk setiap stasiun penelitian. Persamaan untuk menentukan rasio kelamin rajungan adalah sebagai berikut : Rasio kelamin =

............................................. (5)

Penentuan Tingkat Kematangan Gonad Penentuan TKG rajungan jantan dan betina dilakukan pada lebar karapas > 60 mm, dan jumlah contoh yang dianalisis masing-masing 590 ekor jantan dan 487 ekor betina. Pengamatan TKG rajungan betina sebagian besar dilakukan di lapangan, kecuali yang tertangkap pada stasiun 2 dilakukan di laboratorium bersama-sama dengan pengamatan TKG rajungan jantan. Cara mengamati TKG rajungan, yaitu pertama membuka karapas rajungan, mengamati perkembangan gonad, dan terakhir berat gonad ditimbang dengan timbangan digital (Xon Med Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 g. TKG rajungan ditentukan secara makroskopik, yaitu dengan melihat perubahan morfologi dan warna gonad rajungan. TKG rajungan betina ditentukan dari perubahan morfologi, warna dan penyebaran ovarium menempati daerah hepatik (Tabel 19), dan dibagi dalam empat tingkatan mengikuti metode de Lestang et al. (2003), Kamrani et al. (2010) dan Ikhwanuddin et al. (2012a), yaitu: belum matang (TKG I), awal pematangan (TKG II), pematangan akhir (TKG III), dan matang (TKG IV). TKG rajungan jantan ditentukan dari perubahan morfologi, warna serta sebaran testis dan vas deferen secara visual (Tabel 19) dengan alat bantu kaca pembesar (lop). TKG rajungan jantan dibagi dalam tiga tingkatan mengikuti metode Sukumaran (1995), Sukumaran dan Neelakantan (1998) dan de Lestang et al. (2003), yaitu: belum matang (TKG I), sedang matang (TKG II), dan matang (TKG III). Kriteria dan ciri penampakan gonad pada setiap TKG rajungan jantan dan betina tersebut tertera pada Tabel 19 serta Gambar 13 dan 14.

60

Tabel 19. Ciri penampakan setiap tingkat perkembangan gonad rajungan betina dan jantan secara makroskopik TKG Penampakan ovarium rajungan betina secara makroskopis I Ovarium kecil atau tipis dan tidak berwarna atau transparan II Ovarium bertambah besar, berubah warna menjadi krem atau kuning muda, tetapi belum berkembang sampai ke daerah hepatik III Ovarium semakin bertambah besar, berwarna kuning tua atau gading, sekitar 1/3 sampai 1/4 menempati daerah hepatik IV Ovarium menempati sebagian besar daerah hepatik, adanya lobulus, ovarium berwana orange atau orange kemerahan. Penampakan gonad rajungan jantan secara makroskopis I Testis dan vas deferen tidak jelas dibedakan, tabung vas deferen tipis tembus pandang II Testis dan vas deferen berkembang dengan baik, tabung testis besar tergulung menyebar lateral dan posterior pada perut. Vas deferen buram atau massa putih tergulung memanjang sampai pada kedua sisi hepatik. III Testis membesar, vas deferen tebal dan massa putih susu meluas sampai mengisi sebagian besar rongga tubuh. Proporsi rajungan pada setiap tingkat kematangan gonad yang tertangkap pada setiap stasiun dan periode penangkapan ditentukan dengan persamaan berikut : RJi =

100

.............................................. (6)

RJi adalah proporsi jumlah rajungan pada TKG ke-i (%), ∑ Rji jumlah rajungan betina pada TKG ke-i (ekor), dan ∑ RTi jumlah total contoh rajungan betina (ekor). Penentuan Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad (IKG) rajungan ditentukan berdasarkan berat tubuh dan berat gonad rajungan jantan dan betina. Berat tubuh dan berat gonad jantan dan betina ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0.01 gram. IKG dihitung berdasarkan perbandingan berat gonad (Bg) terhadap berat tubuh total (Bt) rajungan (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan 1998; Kamrani et al. 2010; Jazayeri et al. 2011) dengan persamaan berikut : IKG =

x 100

.............................................. (7)

Penentuan Musim Pemijahan Musim pemijahan rajungan diduga berdasarkan pada keberadaan rajungan betina ovigerous (Sukumaran 1995; Kamrani et al. 2010; Sunarto 2011; Safaie et al. 2013; Songrak et al. 2014), sedangkan puncak musim pemijahannya diduga berdasarkan pada nilai rataan IKG total bulanan rajungan betina yang tertinggi (Sumpton et al. 1994; Sukumaran dan Neelakantan 1998; Potter dan de Lestang 2000; Kamrani et al. 2010; Kunsook 2011; Liu et al. 2014).

61

TKG I

TKG II TKG III Gambar 13. Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan jantan

TKG I

TKG II

TKG III TKG IV Gambar 14. Morfologi dan warna gonad pada setiap TKG rajungan betina

62

Penentuan Ukuran Pertama Matang Kelamin Data yang digunakan untuk menentukan ukuran rajungan pertama matang kelamin terdiri dari jumlah rajungan matang gonad dan lebar karapas rajungan. Dalam penentuan ukuran pertama matang kelamin rajungan betina digunakan contoh rajungan dengan TKG III dan IV (matang gonad), sedangkan untuk rajungan jantan telah mencapai TKG III. Kelas ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina dibuat dengan selang kelas 5 mm, dan selanjutnya ditentukan proporsi rajungan matang gonad pada setiap kelas ukuran. Ukuran rajungan pertama matang kelamin diduga dengan kurva logistik dengan menggunakan Sigma plot 6.0. Persamaan logistik untuk menduga ukuran pertama matang kelamin rajungan sebagai berikut : Y= .............................................. (8) ( ) Y adalah proporsi rajungan matang pada setiap kelas ukuran (%), WC lebar karapas rajungan matang gonad (mm), WCo lebar karapas rajungan 50 % matang kelamin (mm), a dan b adalah intersep dan koefisien kemiringan kurva logistik, dan Y o proporsi ukuran terkecil rajungan yang matang gonad (%). Analisis Data Data biologi reproduksi rajungan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, stasiun (spasial), periode penangkapan dan musim (temporal). Rasio kelamin rajungan diuji terhadap rasio kelamin rajungan 1:1 dengan uji chi-kuadrat (χ2) pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Sebaran proporsi setiap TKG rajungan betina dan jantan antar stasiun, tipe habitat dan periode penangkapan dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk grafik, sedangkan IKG rajungan betina dan jantan secara spasial dan temporal dianalisis dengan ANOVA. Data IKG rajungan terlebih dahulu diuji kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992). Jika hasil uji tersebut berbeda nyata, maka data IKG rajungan ditransformasi ke log 10, baru dilakukan uji ANOVA. Proporsi TKG dan IKG rajungan antara musim timur dan musim barat diuji dengan uji t dengan asumsi ragam tidak sama. Dalam analisis data tersebut digunakan Minitab versi 15 dan Microsoft Excel 2007. Hasil Rasio Kelamin Berdasarkan stasiun Jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap stasiun selama penelitian berkisar antara 52 ekor hingga 139 ekor sedangkan rajungan betina berkisar antara 60 ekor hingga 129 ekor, tertinggi tertangkap di stasiun 1 dan 2, sedangkan terendah di stasiun 6 dan 7. Rasio kelamin rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 0.62 : 1 hingga 1.34 : 1, tertinggi tertangkap di stasiun 1 dan terendah pada stasiun 7. Proporsi rajungan jantan pada setiap stasiun berkisar antara 38.24 % hingga 57.26 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 7. Proporsi rajungan betina berkisar antara 42.74 % hingga 61.76 %, tertinggi pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 1 (Tabel 20).

63

Tabel 20. Jumlah dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan stasiun Jumlah (ekor ) Proporsi (%) Rasio kelamin χ2hit p Stasiun Jantan Betina Jantan Betina jantan: betina 1 138 103 57.26 42.74 1.34 : 1 5.752 0.836 2 139 129 51.87 48.13 1.08 : 1 11.988 0.365 3 70 62 53.03 46.97 1.13 : 1 7.176 0.785 4 78 71 52.35 47.65 1.10 : 1 21.609* 0.028 5 75 61 55.15 44.85 1.23 : 1 17.736 0.088 6 54 60 47.37 52.63 0.90 : 1 6.235 0.716 7 52 84 38.24 61.76 0.62 : 1 9.490 0.091 Total 606 570 51.53 48.47 1.06 : 1 14.468* 0.025 * berbeda nyata (p<0.05) .; p taraf nyata

Pada Tabel 20 terlihat rasio kelamin dan proposi rajungan jantan yang tertangkap dari stasiun 1 ke stasiun 7 cenderung semakin menurun. Hasil uji chi-kuadrat (χ2) menunjukkan antara jumlah rajungan jantan dan betina seimbang (p>0.05), dan hanya yang tertangkap pada stasiun 4 dan rasio kelamin total tidak seimbang (p<0.05), yaitu rajungan jantan lebih banyak dari pada betina.

Rasio Kelamin Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim Jumlah rajungan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada musim timur relatif lebih banyak dari pada musim barat (Tabel 21). Pada musim timur, jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap bulan berkisar antara 20 ekor hingga 100 ekor sedangkan jumlah rajungan betina berkisar antara 25 ekor hingga 83 ekor. Rasio kelamin rajungan jantan dan betina rajungan yang tertangkap pada musim timur berkisar 0.80 : 1 dan 1.20 : 1. Jumlah tangkapan, rasio kelamin dan proporsi rajungan jantan dan betina tertinggi selama musim timur ditemukan pada bulan Mei dan terendah pada bulan September (Tabel 21). Hasil uji χ2 terhadap rasio kelamin menunjukkan jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada musim timur sebagian besar seimbang (p>0.05), kecuali rajungan yang tertangkap pada bulan Juli tidak seimbang (p<0.05). Jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Juli lebih banyak dari pada betina, sebaliknya rajungan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juni, Agustus dan September seimbang antara jumlah jantan dan betina. Demikian juga, jumlah total rajungan jantan dan betina yang tertangkap selama musim timur adalah seimbang. Jumlah rajungan betina yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 39 ekor hingga 64 ekor sedangkan untuk rajungan jantan berkisar antara 26 ekor hingga 80 ekor. Rajungan jantan dan betina banyak tertangkap pada bulan Januari sedangkan pada bulan Oktober dan November sedikit tertangkap (Tabel 21). Rasio kelamin jantan dan betina tertinggi ditemukan pada bulan Januari (1.25 : 1) dan terendah pada bulan November (0.62 : 1).

64

Tabel 21. Jumlah, proporsi dan rasio kelamin rajungan jantan dan betina berdasarkan periode waktu penangkapan dan musim Waktu (Bulan) April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret Musim timur Musim barat

Jumlah (ekor) Jantan Betina 62 54 100 83 54 53 44 42 33 33 20 25 37 39 26 42 53 47 80 64 50 46 47 42 313 290 293 280

Proporsi (%) Rasio kelamin Jantan Betina jantan:betina 53.45 54.64 50.47 51.16 50.00 44.44 48.68 38.24 53.00 55.56 52.08 52.81 51.91 51.13

46.55 45.36 49.53 48.84 50.00 55.56 51.32 61.76 47.00 44.44 47.92 47.19 48.09 48.87

1.15 1.20 1.02 1.05 1.00 0.80 0.95 0.62 1.13 1.25 1.09 1.12 1.08 1.05

: : : : : : : : : : : : : :

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

χ2hit

p

5.820 6.173 2.456 11.93* 6.407 1.926 4.851 16.65** 9.719 6.944 7.465 3.602 1.868 6.111

0.324 0.290 0.783 0.036 0.269 0.749 0.563 0.005 0.137 0.326 0.280 0.608 0.867 0.296

**Sangat berbeda nyata (p<0.01).; * berbeda nyata (p<0.05).; p taraf nyata

Proporsi rajungan jantan berdasarkan periode penangkapan tertinggi tertangkap pada bulan Januari dan tertendah pada bulan November, sebaliknya untuk rajungan betina proporsi tertinggi dan terendah merupakan kebalikan waktu dari rajungan jantan. Berdasarkan uji χ2 hanya yang tertangkap bulan November jantan dan betina tidak seimbang (p<0.05) atau jumlah rajungan betina lebih banyak dari pada rajungan jantan (Tabel 21). Sebaliknya, rasio kelamin rajungan yang tertangkap pada kelima bulan lainnya dan juga total rajungan jantan dan betina yang tertangkap selama musim barat adalah seimbang (p>0.05) antara rajungan jantan dan betina. Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Stasiun Jumlah contoh rajungan jantan yang digunakan dalam analisis perkembangan TKG sebanyak 590 ekor, yang terdiri dari 78.98 % (466 ekor) dengan TKG I sampai III dan sisanya 21.02 % (124 ekor) dengan kondisi gonad belum berkembang. Rajungan jantan dengan TKG I banyak tertangkap pada stasiun 2 dan stasiun 5, yaitu masing-masing dengan proporsi 22.58 % dan 22.86 %, sedangkan pada stasiun 6 dan 7 jarang tertangkap, yaitu dengan proporsi masing-masing 10.53 % dan 6.82 % (Gambar 15). Proporsi rajungan jantan dengan TKG II yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 32.76 % hingga 46.88 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 1, dan terendah tertangkap pada stasiun 3. Proporsi rajungan jantan dengan TKG III yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 35.42 % hingga 55.17 %, tertinggi tertangkap pada stasiun dan terendah pada stasiun 1 (Gambar 15). Secara umum, rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 1, 2 dan 5 didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (TKG I dan II) dengan proporsi berkisar antara 62.36 % hingga 64.59 %, sebaliknya rajungan jantan yang tertangkap

65

pada stasiun 3, 6 dan 7 didominasi oleh rajungan yang matang gonad (TKG III) dengan proporsi berkisar antara 52.27 % hingga 55.17 %. Rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 4 cenderung didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (56.72 %), sedangkan proporsi rajungan yang matang gonad (TKG III) sebesar 43.28 %. 100.00

Proporsi TKG (%)

80.00 TKG III 60.00 TKG II 40.00 TKG 1 20.00 0.00 1

2

3

4

5

6

7

Stasiun

Gambar 15. Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap stasiun Jumlah contoh rajungan betina yang digunakan dalam analisis TKG sebanyak 487 ekor, yaitu terdiri dari 68.38 % (333 ekor) rajungan betina dengan TKG I sampai IV dan 31.62 % (154 ekor) dengan kondisi gonad belum berkembang. Proporsi rajungan betina TKG I yang tertangkap pada stasiun 1 dan stasiun 2 masing-masing sekitar 40 % dan 39 %, sedangkan yang tertangkap pada stasiun 6 dan stasiun 7 masing-masing hanya sekitar 10 % dan 4 % (Gambar 15). Proporsi rajungan betina dengan TKG II yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 7.50 % hingga 32.26 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 2, dan terendah pada stasiun 1 (Gambar 16). Proporsi rajungan betina dengan TKG III yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 6.67 % hingga 28.57 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 6 dan terendah tertangkap pada stasiun 2. Rajungan betina dengan TKG IV banyak tertangkap pada stasiun 3 dan stasiun 7, yaitu masingmasing dengan proporsi sekitar 50 % dan 52 %. Sebaliknya, rajungan betina dengan TKG IV pada stasiun 1 dan 2 relatif jarang tertangkap dibandingkan dengan stasiun lainnya, yaitu masing-masing dengan proporsi sekitar 25 % dan 11 % dari jumlah contoh rajungan betina yang tertangkap (Gambar 16). Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 3, 4, 5, 6 dan 7 didominasi oleh TKG IV, sedangkan yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 didominasi oleh TKG I. Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 1, 3, 4, 6 dan 7 didominasi oleh rajungan yang matang gonad (TKG III dan IV) dengan proporsi berkisar antara 52.5 % hingga 81.13 %. Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 2 dan 5 didominasi oleh yang belum matang gonad (TKG I dan II), masing-masing dengan proporsi 70.97 % dan 52.38 %.

66

Propporsi TKG (%)

100.00

80.00 60.00

TKG IV

TKG III 40.00

TKG II TKG 1

20.00 0.00 1

2

3

4

5

6

7

Stasiun

Gambar 16. Proporsi TKG rajungan betina pada setiap stasiun Secara umum, proporsi rajungan jantan matang gonad (TKG III) yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan stasiun lebih rendah dari pada proporsi rajungan betina yang matang gonad. Proporsi rajungan jantan yang matang gonad pada setiap stasiun berkisar antara 35.42 % hingga 55.17 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 3, dan terendah pada stasiun 1 (Gambar 15). Proporsi rajungan betina matang gonad berkisar antara 29.03 % hingga 81.13 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 2 (Gambar 16). Sebaliknya, proporsi rajungan jantan yang belum matang gonad yang tertangkap pada setiap stasiun lebih tinggi dari pada rajungan betina. Proporsi rajungan jantan yang belum matang gonad pada setiap stasiun berkisar antara 47.37 % hingga 64.59 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 6. Proporsi rajungan betina yang belum matang gonad pada setiap stasiun berkisar antara 18.86 % hingga 70.97 %, tertinggi tertangkap pada stasiun 2 dan terendah pada stasiun 7 .

Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Tipe Habitat Jumlah contoh rajungan jantan yang digunakan dalam analisis TKG berdasarkan tipe habitat sebanyak 356 ekor, yaitu terdiri dari 79.21 % (282 ekor) merupakan rajungan jantan dengan TKG I sampai III dan 20.79 % (74 ekor) dengan gonad belum berkembang. Proporsi setiap TKG rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap tipe habitat tertera pada Gambar 17. Pada Gambar 17 terlihat bahwa rajungan jantan yang tertangkap pada habitat A, T dan B didominasi oleh TKG III (matang gonad) masing-masing dengan proporsi 43.84 %, 52.31 % dan 47.89 %, Rajungan jantan dengan TKG I mempunyai proporsi terendah yang tertangkap pada setiap tipe habitat, masing-masing dengan proporsi 15.75 %, 15.38 % dan 11.27 %. Proporsi rajungan betina yang tertangkap pada habitat A didominasi oleh TKG I (43.59 %), sedangkan yang tertangkap pada habitat T didominasi oleh TKG III (34.88 %), dan yang tertangkap pada habitat B didominasi oleh TKG IV (34.09 %). Proporsi TKG rajungan betina terendah yang tertangkap pada habitat A adalah TKG III (11.54 %), sedangkan yang tertangkap pada habitat T dan B adalah TKG II masing-masing dengan proporsi 16.28 % dan II 13.64 % (Gambar 17).

67

Proporsi TKG (%)

100 80 TKG IV TKG III

60 40

TKG II

20 0 A

A

T

T

B

B

Jantan

Betina

Jantan

Betina

Jantan

Betina

Tipe habitat dan jenis kelamin

Gambar 17. Proporsi TKG rajungan jantan dan betina berdasarkan tipe habitat Habitat A: bertipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat dengan kedalaman air 1.5 m hingga 2.5 m.; Habitat T : bertipe substrat pasir dengan kedalaman air 2.5 m hingga 3.5 m dan ditumbuhi lamun dengan kepadatan lebih rendah dari habitat A.; Habitat B: bertipe substrat pasir berlempung dengan kedalaman air 5 m hingga 12 m dan tidak ditumbuhi lamun. Secara umum, proporsi rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap tipe habitat cenderung bervariasi. Rajungan jantan yang tertangkap pada habitat A didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (TKG I dan II) dengan proporsi sekitar 56.16 %, dan yang matang gonad (TKG III) sebesar 43.84 %. Proporsi rajungan jantan yang belum matang gonad yang tertangkap pada habitat T dan B masing-masing sebesar 47.69 % dan 52.11 %, sedangkan proporsi rajungan yang matang gonad masing-masing sebesar 52.31 % dan 47.89 %. Rajungan betina yang tertangkap pada habitat A didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (TKG I dan II) dengan proporsi 64.10 %, sedangkan yang tertangkap pada habitat T dan B didominasi oleh rajungan yang matang gonad (TKG III dan IV), masing-masing dengan proporsi sebesar 65.12 % dan 63.64 %. Tingkat Kematangan Gonad Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim Total jumlah contoh rajungan jantan yang digunakan dalam analisis TKG berdasarkan periode penangkapan sebanyak 586 ekor, yang terdiri dari 78.67 % (461 ekor) ditemukan dengan kondisi gonad TKG I sampai III, dan sisanya 21.33 % (125 ekor) dengan kondisi gonad belum berkembang. Proporsi rajungan jantan TKG I yang tertangkap pada setiap periode penangkapan lebih rendah dari pada rajungan jantan TKG II dan III. Proporsi rajungan jantan TKG I yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 2.70 % hingga 35.00 %, tertinggi tertangkap pada bulan Maret dan terendah tertangkap pada bulan Oktober (Gambar 18).

68

Proporsi TKG (%)

100.00 80.00 60.00

TKG III

40.00

TKG II

20.00

TKG I

0.00

Periode penangkapan (bulan)

Gambar 18. Proporsi TKG rajungan jantan pada setiap periode penangkapan Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan sebagian besar didominasi oleh TKG II, kecuali yang tertangkap pada bulan Mei, September, Oktober, Desember dan Februari didominasi oleh TKG III (matang gonad). Proporsi rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 25.00 % hingga 69.57 %, tertinggi tertangkap pada bulan Agustus dan terendah pada bulan Februari. Proporsi rajungan jantan TKG III yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 15.00 % hingga 64.86 %, tertinggi tertangkap pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Maret. Proporsi rajungan jantan dengan TKG II dan III yang tertangkap pada bulan Desember cenderung seimbang, yaitu masing-masing dengan proporsi sebesar 42.50 % dan 45.00 % (Gambar 18). Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan sebagian besar didominasi oleh yang belum matang gonad (TKG I dan II), kecuali yang tertangkap pada bulan September, Oktober dan Februari didominasi oleh yang matang gonad (TKG III). Proporsi rajungan jantan belum matang gonad yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 35.14 % hingga 87.23 %, terendah tertangkap pada bulan Oktober dan tertinggi tertangkap pada bulan Juni. Proporsi rajungan jantan matang gonad yang tertangkap pada bulan September, Oktober dan Februari masing-masing sebesar 55.00 %, 64.86 % dan 59.38 %. Total jumlah contoh rajungan betina yang digunakan dalam analisis TKG berdasarkan periode penangkapan sebanyak 483 ekor, yang terdiri dari 68.32 % (330 ekor) dengan gonad TKG I sampai IV dan 31.68 % (153 ekor) dengan gonad belum berkembang. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Juli, Agustus dan Januari didominasi oleh TKG I. Proporsi rajungan betina dengan TKG I yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 3.70 % hingga 40.91 %, tertinggi tertangkap pada bulan Juli dan terendah pada bulan Oktober. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan September dan bulan Maret didominasi oleh TKG II. Proporsi rajungan betina TKG II yang tertangkap pada setiap periode penangkapan berkisar antara 0 % hingga 43.37 %, tertinggi tertangkap pada bulan September, dan pada bulan Agustus rajungan betina TKG II tidak tertangkap (Gambar 19).

69

Proporsi TKG (%)

100.00 80.00 60.00 TKG IV 40.00

TKG III TKG II

20.00

TKG 1 0.00

Periode penangkapan (bulan)

Gambar 19. Proporsi TKG rajungan betina pada setiap periode penangkapan Rajungan betina dengan TKG III selama penelitian dominan hanya pada bulan Februari. Proporsi rajungan betina TKG III pada setiap periode penangkapan berkisar antara 5.26 % hingga 44.00 %, tertinggi tertangkap pada bulan Februari dan terendah pada bulan September. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei, Juni, Oktober dan November didominasi oleh TKG IV. Proporsi rajungan betina TKG IV pada setiap periode penangkapan berkisar antara 18.18 % hingga 47.62 %, terendah tertangkap pada bulan Juli dan tertinggi pada bulan November. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan April, Juli, September, Januari dan Maret didominasi oleh yang belum matang gonad, sedangkan yang tertangkap pada bulan Mei, Juni, Agustus, Oktober, November, Desember dan Februari didominasi oleh rajungan yang matang gonad. Proporsi rajungan betina yang belum matang gonad pada setiap periode penangkapan berkisar antara 25.00 % hingga 68.42 %, terendah tertangkap pada bulan Juni dan tertinggi pada bulan September. Proporsi rajungan betina yang matang gonad pada setiap periode penangkapan berkisar antara 31.58 % hingga 75.00 %, tertinggi tertangkap pada bulan Juni dan terendah pada bulan September. Total jumlah contoh rajungan jantan ditemukan dengan TKG I sampai III pada musim timur dan barat masing-masing sebanyak 229 ekor dan 232 ekor. Proporsi rajungan jantan dengan TKG I pada musim timur berkisar antara 10.00 % hingga 21.54 % dengan rataan 16.43 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 2.70 % hingga 35.00 % dengan rataan 15.56 % (Tabel 22, Gambar 18 dan19). Proporsi rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 29.23 % hingga 69.57 % dengan rataan 51.50 %, sedangkan yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 25.00 % hingga 60.00 % dengan rataan 42.75 %. Proporsi rajungan jantan TKG III pada musim timur berkisar antara 12.77 % hingga 55.00 % dengan rataan 31.87 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 15.00 % hingga 64.86 % dengan rataan 41.70 %. Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama menunjukkan proporsi setiap TKG rajungan jantan tidak berbeda nyata (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 22).

70

Rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, kecuali pada bulan September didominasi oleh yang matang gonad. Rajungan jantan yang belum matang gonad dan matang gonad yang tertangkap pada musim barat relatif seimbang. Proporsi rajungan jantan yang belum matang gonad pada musim timur berkisar antara 45.00 % hingga 87.23 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 35.14 % hingga 85.00 %. Proporsi rajungan jantan pada musim timur dan barat sama dengan proporsi TKG III yang telah disebutkan di atas. Tabel 22. Rataan proporsi (%) TKG rajungan betina dan jantan pada setiap musim Proporsi setiap TKG (%) Jenis kelamin Musim I II III IV a a a Timur 23.18 27.51 21.51 32.38a Betina Barat 21.94a 19.97a 24.70a 33.40a Timur 16.43a 51.70a 31.87a Jantan Barat 15.56a 42.75a 41.70a Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Total jumlah contoh rajungan betina yang ditemukan dengan TKG I sampai IV yang tertangkap pada musim timur dan barat masing-masing sebanyak 168 ekor dan 162 ekor. Proporsi rajungan betina dengan TKG I pada musim timur berkisar antara 5.00 % hingga 40.91 % dengan rataan 23.18 %, dan pada musim barat berkisar antara 3.7 % hingga 37.84 % dengan rataan 21.94 % (Tabel 22 dan Gambar 16). Proporsi rajungan betina dengan TKG II yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 0 % hingga 47.37 % dengan rataan 27.51 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 12.00 % hingga 35.71 % dengan rataan 19.97 %. Proporsi rajungan betina TKG III yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 14.29 % hingga 44.00 % dengan rataan 24.70 %, sedangkan pada musim timur berkisar antara 5.26 % hingga 28.57 % dengan rataan 21.51 %. Proporsi rajungan betina TKG IV yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 18.18 % hingga 46.43 % dengan rataan 32.38 %, sedangkan pada musim barat berkisar antara 20.00 % hingga 47.62 % dengan rataan 33.40 % (Tabel 22 dan Gambar 16). Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama menunjukkan proporsi setiap TKG rajungan betina tidak berbeda nyata (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 22). Proporsi rajungan betina pada musim timur didominasi oleh yang matang gonad. Proporsi rajungan yang matang gonad pada musim timur berkisar antara 31.50 % hingga 75.00 %, sedangkan yang belum matang gonad berkisar antara 25.00 % hingga 68.42 %. Rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei, Juni dan Agustus didominasi oleh yang matang gonad, sedangkan pada bulan April, Juli dan September didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad. Rajungan betina yang tertangkap pada musim barat di dominasi oleh yang matang gonad. Proporsi rajungan betina yang matang gonad berkisar antara 43.24 % hingga 74.07 %, dan yang belum matang gonad berkisar antara 25.93 % hingga 56.76 %.

71

Indeks Kematangan Gonad Berdasarkan Stasiun Rataan indeks kematangan gonad (IKG) rajungan betina TKG I pada setiap stasiun berkisar antara 0.23 hingga 0.45, kemudian TKG II berkisar antara 0.61 hingga 1.13, TKG III berkisar antara 2.56 hingga 3.64, serta IKG rajungan betina TKG IV lebih dari 6 (Tabel 23). Nilai IKG rajungan betina TKG I, III dan IV cenderung bervariasi pada setiap stasiun, namun hasil uji statistik (ANOVA) menunjukkan bahwa IKG rajungan betina pada setiap TKG tidak berbeda nyata (p>0.05) atau seragam antar stasiun, kecuali IKG rajungan betina pada TKG II tidak sama (p<0.05) antar stasiun (Tabel 23). IKG rajungan betina TKG II tertinggi ditemukan pada stasiun 2 dan terendah ditemukan pada stasiun 3. IKG rajungan jantan pada TKG I dan II relatif sama dengan IKG rajungan betina. Rataan IKG rajungan jantan TKG I, II dan III masing-masing berkisar antara 0.24 hingga 0.46, antara 0.63 hingga 0.79, serta antara 1.07 hingga 1.99. Nilai IKG rajungan jantan TKG I dan II terlihat bervariasi pada setiap stasiun, namun berdasarkan uji ANOVA menunjukkan IKG rajungan jantan pada TKG I dan II adalah sama (p>0.05) antar stasiun, sebaliknya IKG rajungan jantan TKG III berbeda nyata (p<0.05 antar stasiun. Nilai IKG rajungan jantan TKG III terbesar tertangkap pada stasiun 6, dan terkecil pada stasiun 1 (Tabel 23). Tabel 23. Rataan IKG rajungan betina dan jantan pada setiap TKG IKG pada setiap TKG Stasiun I II III Rajungan jantan 1 0.31 + 0.16a 0.78 + 0.17a 1.07 + 0.27b a a 2 0.37 + 0.19 0.79 + 0.26 1.30 + 0.50b 3 0.29 + 0.07a 0.65 + 0.13 a 1.65 + 1.13a 4 0.46 + 0.32a 0.78 + 0.37 a 1.50 + 0.55ab a a 5 0.31 + 0.16 0.68 + 0.18 1.22 + 0.68b 6 0.29 + 0.12a 0.63 + 0.15 a 1.99 + 1.39a 7 0.24 + 0.06a 0.76 + 0.24 a 1.08 + 0.27b Rajungan betina a 1 0.29 + 0.18 0.78 + 0.41ab 3.64 + 1.36a 2 0.23 + 0.13a 1.13 + 0.61a 3.13 + 0.39a 3 0.45 + 0.08a 0.61 + 0.19b 3.03 + 1.50a 4 0.33 + 0.28a 0.86 + 0.13ab 3.02 + 1.78a a ab 5 0.30 + 0.25 0.86 + 0.50 2.56 + 0.52a 6 0.30 + 0.12a 0.66 + 0.25b 3.25 + 1.13a 7 0.41 + 0.10a 0.85 + 0.19ab 2.58 + 0.99a

dan stasiun IV

6.41 + 1.65a 6.16 + 1.59a 6.22 + 1.78a 6.07 + 2.16a 6.48 + 2.23a 6.91 + 1.45a 6.73 + 2.17a

Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).

Indeks Kematangan Gonad Berdasarkan Periode Penangkapan dan Musim Rataan IKG rajungan jantan TKG I yang tertangkap setiap bulan selama musim timur berkisar antara 0.17 hingga 0.48, dan pada musim barat berkisar antara 0.18

72

hingga 0.56. Rataan IKG rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada setiap bulan selama musim timur berkisar antara 0.71 hingga 0.89, sedangkan pada musim barat berkisar antara 0.71 hingga 0.86. Hasil uji t menunjukkan IKG rajungan jantan TKG I tidak berbeda nyata (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat, sebaliknya IKG rajungan jantan TKG II yang tertangkap pada musim timur lebih besar (p<0.05) dari pada yang tertangkap pada musim barat (Tabel 24). Tabel 24. Rataan IKG rajungan jantan pada setiap TKG berdasarkan periode penangkapan dan musim Bulan April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret Musim timur Musim barat

I 0.35 + 0.21 0.30 + 0.14 0.39 + 0.15 0.21 + 0.08 0.48 + 0.08 0.17 + 0.03 0.38 0.18 + 0.10 0.56 + 0.14 0.27 + 0.18 0.45 + 0.23 0.35 + 0.14 0.33 + 0.17a 0.36 + 0.19a

IKG pada setiap TKG II 0.89 + 0.43 0.71 + 0.31 0.88 + 0.43 0.78 + 0.19 0.83 + 0.42 0.76 + 0.32 0.80 + 0.17 0.74 + 0.58 0.86 + 0.37 0.71 + 0.16 0.85 + 0.26 0.78 + 0.22 0.84 + 0.38a 0.78 + 0.31b

III 1.47 + 0.45 2.57 + 1.27 1.60 + 0.34 1.47 + 1.01 0.86 + 0.28 1.16 + 0.48 1.21 + 0.33 0.91 + 0.19 0.97 + 0.28 1.07 + 0.22 1.21 + 0.44 1.02 + 0.15 1.84 + 1.07a 1.10 + 0.32b

Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Rataan IKG rajungan jantan TKG III yang tertangkap setiap bulan selama musim timur berkisar antara 0.86 hingga 2.57, sedangkan pada musim barat berkisar antara 0.91 hingga 1.21. Hasil uji t menunjukkan bahwa IKG rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur lebih besar (p<0.05) dibandingkan dengan yang tertangkap pada musim barat. Nilai IKG rajungan jantan tidak menunjukkan pola yang jelas terhadap perubahan TKG dan periode penangkapan baik yang tertangkap pada musim timur maupun pada musim barat. Rajungan betina dengan TKG I pada bulan Juni tidak tertangkap. Rataan IKG rajungan betina TKG I yang tertangkap setiap bulan selama musim timur berkisar antara 0.10 hingga 0.40, sedangkan pada musim barat berkisar antara 0.23 hingga 0.53. Hasil uji t menunjukkan IKG rajungan betina TKG I adalah sama (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 25). Rajungan betina dengan TKG II tidak ditemukan pada bulan Agustus. Pada musim timur, rataan IKG rajungan betina TKG II lebih dari 1 tertangkap pada tiga bulan pertama, sedangkan rataan IKG rajungan betina yang tertangkap pada bulan Juli dan September kurang dari 1. Rajungan betina TKG II yang tertangkap setiap

73

bulan selama musim barat umumnya dengan rataan IKG kurang dari 1, sebaliknya yang tertangkap pada bulan Desember lebih besar dari 1. Hasil uji t menunjukkan bahwa IKG rajungan betina TKG II berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan barat. IKG rajungan betina TKG II yang tertangkap pada musim timur lebih besar dari pada yang tertangkap pada musim barat (Tabel 25). Tabel 25. Rataan IKG rajungan betina pada setiap TKG penangkapan dan musim Bulan April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret Musim timur Musim barat

I 0.40 + 0.31 0.13 + 0.02 0.12 + 0.06 0.10 0.21 + 0.14 0.53 0.30 + 0.19 0.30 + 0.09 0.29 + 0.17 0.23 + 0.14 0.27 + 0.12 0.22 + 0.18a 0.30 + 0.14a

berdasarkan periode

IKG pada setiap TKG II III 1.36 + 0.84 2.32 + 0.89 1.53 + 0.72 3.75 + 1.34 1.28 + 0.89 3.50 + 1.18 0.75 + 0.03 3.38 + 1.52 2.48 + 1.00 0.64 + 0.26 1.95 0.80 + 0.58 3.32 + 1.47 0.57 + 0.04 3.03 + 2.03 1.18 + 0.36 2.98 + 0.62 0.69 + 0.22 2.53 + 1.16 0.81 + 0.06 2.71 + 1.36 0.77 + 0.25 2.86 + 1.89 a 1.16 + 0.53 3.27 + 1.29a 0.81 + 0.35b 2.90 + 1.34a

IV 5.85 + 2.41 6.37 + 1.39 6.25 + 1.69 6.58 + 2.27 5.98 + 2.54 5.12 + 1.41 7.57 + 2.05 5.83 + 2.02 7.05 + 2.09 7.35 + 1.75 6.09 + 2.78 6.18 + 2.00 6.17 + 1.70a 6.76 + 2.08b

Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

IKG rajungan betina dengan TKG III yang tertangkap setiap bulan selama musim timur cukup bervariasi dibandingkan dengan yang tertangkap pada musim barat. Rataan IKG rajungan betina TKG III yang tertangkap setiap bulan selama musim timur berkisar antara 1.95 hingga 3.75, sedangkan rataan IKG rajungan betina pada musim barat berkisar antara 2.53 hingga 3.32 (Tabel 25). Namun demikian, hasil uji t menunjukkan bahwa rataan IKG rajungan betina antara musim timur dan musim barat tidak berbeda nyata (p>0.05) atau IKG rajungan betina TKG III adalah sama dengan yang tertangkap pada musim berbeda. Rataan IKG rajungan betina TKG IV yang tertangkap setiap bulan selama musim timur berkisar antara 5.12 hingga 6.37, sedangkan yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 5.83 hingga 7.5. Hasil uji t menunjukkan bahwa IKG rajungan betina berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan barat. IKG rajungan betina yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur (Tabel 25). Secara umum, IKG rajungan betina jauh lebih besar dari pada IKG rajungan jantan. Namun, IKG rajungan betina TKG I lebih kecil dibandingkan dengan IKG rajungan jantan TKG I, sebaliknya pada TKG selanjutnya (TKG II, III dan IV) IKG rajungan betina lebih besar dari pada IKG rajungan jantan (Tabel 24 dan 25).

74

Proporsi betina ovigerous (%)

40.00

BO

IKG Jantan

35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00

IKG Betina

5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00

Nilai IKG Jantan/betina

Musim Pemijahan Rajungan Rataan IKG total rajungan jantan dan betina yang tertangkap setiap bulan selama penelitian selengkapnya tertera pada Gambar 20. Rataan IKG total rajungan betina di Teluk Lasongko yang tertangkap setiap bulan berkisar antara 1.80 hingga 4.55, tertinggi tertangkap pada bulan Oktober dan terendah pada bulan September. IKG total rajungan jantan lebih kecil dibandingkan dengan rataan IKG total rajungan betina. Rataan IKG rajungan jantan berkisar antara 0.73 hingga 1.35, tertinggi ditemukan pada bulan Mei dan terendah pada bulan November (Gambar 20).

Waktu pengukuran (bulan)

Gambar 20. Proporsi rajungan betina ovigerous dan rataan IKG total rajungan jantan dan betina pada setiap bulan Rajungan yang matang gonad dan betina ovigerous tertangkap setiap bulan selama penelitian, menunjukkan bahwa pemijahan rajungan di Teluk Lasongko terjadi sepanjang tahun. Pada Gambar 18 terlihat nilai IKG rajungan jantan dan betina serta proporsi rajungan betina ovigerous selama penelitian ditemukan ada tiga puncak. Puncak IKG rajungan jantan ditemukan pada bulan Mei, Oktober dan Februari, sedangkan puncak IKG rajungan betina ditemukan pada bulan Mei-Juni, Agustus dan Oktober. Puncak keberadaan rajungan betina ovigerous terjadi pada bulan Juli-Agustus, Oktober-November, dan Januari-Februari. Siklus reproduksi rajungan, khususnya musim pemijahan dapat ditentukan berdasarkan sebaran IKG dan proporsi rajungan betina ovigerous, dan nilai tertinggi kedua variabel reproduksi tersebut menunjukkan puncak musim pemijahan rajungan (Sukumaran dan Neelakantan 1998; Kamrani et al. 2010; Kunsook 2011). Puncak musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko terjadi sebanyak tiga periode waktu, yaitu pada bulan Mei-Juni, bulan Agustus dan pada bulan Oktober-November yang didasarkan pada nilai rataan IKG total bulanan rajungan betina (Gambar 20). Ukuran Rajungan Pertama Matang Kelamin Lebar karapas terkecil rajungan jantan yang telah matang gonad (TKG III) tertangkap di Teluk Lasongko adalah 83.7 mm dengan berat 37.14 g. Lebar karapas terkecil rajungan betina yang telah matang gonad pada TKG III dan TKG IV yang

75

tertangkap di perairan ini masing-masing sebesar 82.2 mm dengan berat 33.86 g dan 91.8 mm dengan berat 55.58 g. Lebar karapas terkecil rajungan betina ovigerous yang tertangkap di Teluk Lasongko adalah 86.6 mm dengan berat 42.75 g. Ukuran rajungan pertama kali matang kelamin adalah ukuran di mana 50 % dari semua individu rajungan telah matang kelamin (diadopsi dari King 1995). Hasil analisis ukuran rajungan pertama kali matang kelamin dengan persamaan logistik diperoleh lebar karapas rajungan jantan dan betina 50 % pertama kali matang kelamin adalah 109.83 mm untuk jantan dan 115.71 mm untuk betina (Gambar 21). Hal ini menunjukkan ukuran rajungan jantan pertama kali matang kelamin lebih kecil dari pada rajungan betina atau rajungan jantan lebih cepat matang kelamin dari pada rajungan betina.

Betina

Jantan

Gambar 21. Kurva logistik pendugaan ukuran 50 % rajungan jantan dan betina pertama kali matang kelamin di Teluk Lasongko Pembahasan Rasio Kelamin Rasio kelamin rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko bervariasi antar stasiun, yaitu berkisar antara 0.62 : 1 hingga 1.34 : 1. Rasio kelamin tertinggi ditemukan pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 7 (Tabel 20). Jumlah rajungan jantan umumnya cenderung lebih banyak dari pada rajungan betina, namun hasil uji statistik (uji χ2) menunjukkan rasio kelamin rajungan tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan rasio kelamin 1:1, kecuali pada stasiun 4 (Tabel 20). Hal ini menunjukkan komposisi antara jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap stasiun umumnya relatif seimbang, kecuali pada stasiun 4 tidak seimbang, yaitu jumlah rajungan jantan yang tertangkap lebih banyak dari pada betina. Sebaliknya, pada stasiun 6 dan 7 jumlah rajungan betina lebih banyak dibandingkan dengan rajungan jantan. Rasio kelamin rajungan sebagian besar tidak berbeda nyata (p>0.05) pada sebagian besar stasiun tersebut disebabkan komposisi antara jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap periode penangkapan adalah relatif sama, dan hanya pada waktu tertentu jumlah salah satu jenis kelamin cukup menonjol. Misalnya, jumlah rajungan jantan pada stasiun 1 pada bulan Desember sebanyak 17 ekor sedangkan betina hanya 6 ekor. Demikian halnya jumlah rajungan

76

jantan tertangkap di stasiun 7 pada bulan November hanya dua ekor sedangkan rajungan betina sebanyak 17 ekor. Nilai rasio rajungan jantan terhadap rajungan betina ditemukan pada setiap periode penangkapan sebagian besar >1, kecuali pada bulan September, Oktober dan November <1 (Gambar 22). Namun, hasil uji statistik (χ2) menunjukkan sebagian besar tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan 1:1, kecuali pada bulan Juli dan November berbeda nyata (p<0.05) dengan 1:1. Hal ini identik seperti ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011).

Rasio kelamin

1.50

1.00

0.50

0.00

Waktu penangkapan (bulan)

Gambar 22. Pola rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina pada setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko Rasio rajungan jantan terhadap betina pada musim timur dan musim barat juga >1, namun hasil uji χ2 menunjukkan rasio kelamin rajungan pada kedua musim tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan 1:1. dan ini identik dengan yang ditemukan pada musim barat di Perairan Pati, namun berlawanan dengan yang ditemukan pada musim timur di perairan yang sama (Ernawati 2013). Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik proporsi jumlah kedua jenis kelamin rajungan adalah seimbang, namun kenyataan di alam jumlah rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan cenderung lebih banyak dari pada rajungan betina. Rasio kelamin total rajungan jantan terhadap rajungan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko sebesar 1.06 : 1. Rasio rajungan jantan dan betina yang ditemukan di perairan ini masih berada pada kisaran rasio rajungan jantan terhadap rajungan betina yang ditemukan pada beberapa penelitian sebelumnya, yaitu berkisar antara 0.79 : 1 hingga 2.77:1 (Tabel 26). Rasio kelamin rajungan yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah dari pada beberapa perairan di Indonesia (Kembaren et al. 2012; Ernawati 2013; Ihsan et al. 2014), namun lebih tinggi dari pada yang ditemukan di Perairan Brebes (Sunarto 2012). Berdasarkan data rasio kelamin rajungan pada Tabel 26, menunjukkan bahwa rasio kelamin bervariasi antar lokasi perairan. Proporsi rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun dengan kondisi perairan yang lebih dalam (stasiun 6 dan 7) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan rajungan betina, diduga hal ini berkaitan dengan migrasi. Pada penelitian ini ditemukan rajungan jantan yang hidup di perairan yang lebih dalam (dicirikan oleh

77

warna karapasnya yang cerah) ditemukan tertangkap di daerah intertidal dan subtidal, demikian juga rajungan jantan dan betina yang hidup di daerah intertidal dan subtidal (dicirikan oleh warna karapasnya yang kusam) yang tertangkap pada bagian perairan yang lebih dalam. Tabe 26. Nilai rasio kelamin (jantan: betina) dan IKG rajungan betina pada lokasi beberapa perairan Lokasi Teluk Kung Krabaen, Thailand Pantai Trang,Thailand Selatan Pantai Sematan Sarawak, Malaysia Perairan Brebes Teluk Bone Perairan Pati Perairan Pangkep Teluk Lasongko

Rasio Kelamin 1.08 : 1 1.17 : 1 2.77 : 1 0.82 : 1 1.08 : 1 1.17 : 1 1.20 : 1 1.06 : 1

IKG 0.54-6.13 1.80 -4.55

Sumber Kunsook 2011 Nitiraswan et al. 2013 Ikhwanuddin et al. 2009 Sunarto 2012 Kembaren et al. 2012 Ernawati 2013 Ihsan et al. 2014 Penelitian ini

- Tidak ada data

Perkembangan Kematangan Gonad Perkembangan kematangan gonad rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko bervariasi secara spatial. Rajungan yang tertangkap pada stasiun 1, 2, 4 dan 5 didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad (berkisar antara 56.72 % hingga 64.59 %) dengan rataan IKG berkisar antara 0.24 hingga 0.79. Rajungan jantan yang tertangkap pada stasiun 3, 6 dan 7 didominasi oleh yang matang gonad (berkisar antara 52.27 % hingga 55.17 %) dengan rataan IKG berkisar antara 1.07 hingga 1.99 (Gambar 17 dan Tabel 23). Sebaliknya, rajungan betina yang tertangkap di setiap stasiun didominasi oleh yang matang gonad, kecuali pada stasiun 2 dan 5 dengan proporsi berkisar antara 52.50 % hingga 81.13 % (Gambar 18) dengan rataan IKG berkisar antara 2.56 hingga 6.91 (Tabel 23). Proporsi rajungan jantan dengan gonad belum berkembang yang tertangkap di Teluk Lasongko lebih rendah dari pada rajungan betina, yaitu masing-masing sebesar 21.33 % dan 31.68 %. Rajungan betina yang tertangkap pada stasiun 6 dan 7 (lokasi lebih dalam dan tidak berhubungan langsung dengan daratan) didominasi oleh rajungan yang matang gonad, sebaliknya di stasiun 1 dan 2 (bagian kepala teluk) didominasi oleh rajungan dengan gonad yang belum berkembang. Rajungan jantan dengan gonad yang belum berkembang banyak tertangkap pada stasiun 2, sebaliknya jarang ditemukan pada stasiun 7. Proporsi rajungan jantan yang tertangkap pada kedalaman 1.5 m hingga 2.5 m, dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat (habitat A) dan pada kedalaman 5 m hingga 12 m, bertipe substrat pasir berlempung dan tidak ditumbuhi oleh lamun (habitat B) cenderung didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, sedangkan rajungan jantan yang tertangkap pada kedalaman 2.5 m hingga 3.5 m, bertipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun yang kurang padat (habitat T) cenderung didominasi oleh rajungan yang matang gonad (Gambar 17). Rajungan betina yang tertangkap pada habitat A didominasi oleh rajungan yang belum matang

78

gonad, sebaliknya yang tertangkap pada habitat T dan B didominasi oleh rajungan yang matang gonad. Rajungan jantan yang tertangkap pada setiap periode penangkapan sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, kecuali yang tertangkap pada bulan September dan Oktober didominasi oleh rajungan yang matang gonad. Sebaliknya, rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Mei ditemukan cenderung seimbang antara rajungan yang belum matang gonad dan rajungan yang matang gonad (Gambar 16). Rajungan betina yang belum matang gonad ditemukan dominan selama lima bulan, namun tidak pada periode bulan yang tidak berurutan, sedangkan rajungan betina yang matang gonad ditemukan selama tujuh bulan dan dua kali ditemukan pada bulan yang berurutan. Rajungan betina yang belum matang gonad ditemukan dominan pada bulan April, Juli, September, Januari dan Maret, sedangkan rajungan betina yang matang gonad ditemukan dominan pada bulan Mei, Juni, Agustus, Oktober, November, Desember dan Februari. Hal ini menunjukkan pola perkembangan gonad rajungan betina yang dominan di Teluk Lasongko yang ditemukan dalam setahun terjadi silih berganti antara rajungan yang matang gonad dengan rajungan yang belum matang gonad. Perkembangan gonad rajungan jantan dan betina juga ditemukan bervariasi berdasarkan musim. Berdasarkan proporsi rajungan jantan yang tertangkap pada musim timur sebagian besar didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, sedangkan rajungan betina yang tertangkap pada musim timur dan barat didominasi oleh yang matang gonad. Namun, jika dilihat dari periode waktu, maka rajungan betina yang tertangkap pada musim timur antara rajungan yang matang gonad dan belum matang gonad adalah seimbang karena masing-masing ditemukan dominan pada tiga bulan yang berbeda. Rajungan betina yang belum matang gonad ditemukan pada bulan April, Juli dan September, sedangkan rajungan betina yang matang gonad ditemukan dominan pada bulan Mei, Juni dan Agustus. Proporsi perkembangan gonad rajungan jantan dan betina pada setiap TKG yang tertangkap pada musim timur dan barat cenderung bervariasi, namun hasil uji t menunjukkan proporsi perkembangan setiap TKG adalah sama (p>0.05) antara musim timur dan musim barat ( Tabel 22). Rajungan betina yang matang gonad di Teluk Lasongko ditemukan berlangsung sepanjang tahun dan terdapat tiga puncak, yaitu pada bulan Mei-Juni, OktoberNovember dan bulan Februari. Proporsi rajungan betina yang matang gonad pada bulan Juni dan Oktober lebih tinggi dibandingkan dengan sepuluh bulan lainnya (Gambar 19). Rataan IKG total bulanan rajungan betina pada penelitian ini juga ditemukan tiga puncak, yaitu pada bulan Mei-Juni (tertinggi), Agustus dan bulan Oktober-November (Gambar 20). Nilai rataan IKG total bulanan rajungan betina untuk ketiga puncak tersebut masing-masing sebesar 4.41 dan 4.49 untuk bulan Mei dan Juni, pada bulan Agustus sebesar 3.99, serta pada bulan Oktober dan November masing-masing sebesar 4.55 dan 3.46. Waktu puncak rajungan yang matang gonad dan IKG rajungan betina antar lokasi perairan berdasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya (Sumpton et al. 1994; Potter dan de Lestang 2000; Kamrani et al. 2010; Kunsook 2011; Kembaren et al. 2012; Sunarto 2012; Ernawati 2013; Safaie et al. 2013; Liu et al. 2014) ditemukan bervariasi.

79

IKG merupakan suatu indikator yang baik untuk menentukan perkembangan gonad atau ovarium dekapoda (Wu et al. 2007 dalam Liu et al. 2014). Proporsi rajungan jantan yang matang gonad (TKG III) berdasarkan periode penangkapan ditemukan berkisar antara 12.77 % hingga 64.86 %, sedangkan yang belum matang gonad berkisar antara 35.14 % hingga 87.23 % (Gambar 17). Proporsi rajungan jantan yang matang gonad pada penelitian ini juga ditemukan pada tiga puncak, yaitu pada bulan April-Mei, kemudian, September-Oktober (tertinggi), dan bulan Februari (Gambar 18). Pola fluktuasi IKG rajungan jantan dan betina tidak selalu sama karena rajungan betina dapat menyimpan dan menjaga spermatozoa yang matang di dalam spermatheca sampai sembilan bulan (Sumpton et al.1994; Batoy et al. 1987). Pola IKG rajungan dan betina pada penelitian ini juga tidak sama. Rataan IKG total bulanan rajungan jantan ditemukan pada penelitian ini juga terdiri dari tiga puncak seperti ditemukan pada rajungan betina, namun periode waktunya relatif tidak bersamaan, khususnya nilai IKG tertinggi. Ketiga puncak IKG rajungan jantan masing-masing ditemukan pada bulan April-Mei (tertinggi), bulan Oktober dan bulan Februari (Gambar 19). Rataan IKG total bulanan rajungan jantan pada ketiga puncak tersebut adalah 1.02 dan 1.35 untuk bulan April dan Mei, pada bulan Oktober sebesar 1.06 dan bulan Februari sebesar 1.00. IKG rajungan jantan lebih kecil dari pada IKG rajungan betina. Rataan IKG secara individu rajungan jantan TKG I sampai TKG III yang ditemukan pada penelitian ini berkisar antara 0.24 hingga 1.99 (Tabel 23), dan rataan IKG total bulanan rajungan jantan berkisar antara 0.73 hingga 1.35 (Gambar 18). Sebaliknya, rataan IKG secara individu rajungan betina TKG I sampai TKG IV temukan di Teluk Lasongko berkisar antara 0.23 hingga 6.91 (Tabel 23), dan rataan IKG total bulanan berkisar antara 1.80 hingga 4.49. Musim kawin rajungan di Teluk Lasongko berlangsung sepanjang tahun dengan puncak musim kawin pada tiga periode waktu yang berbeda, yaitu pada bulan April, Juli dan tertinggi pada bulan September (Gambar 20). Puncak musim kawin rajungan di Teluk Kung Krabaen, Thailand juga ada tiga periode waktu, yaitu berlangsung pada bulan bulan November, Januari dan Februari, serta April-Juni, dan pada bulan Juni yang tertinggi (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas dan pada beberapa penelitian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa proporsi perkembangan gonad dan IKG rajungan jantan dan betina ditemukan bervariasi secara spasial (stasiun dan tipe habitat) dan temporal (periode penangkapan dan musim). Musim Pemijahan dan Ukuran Pertama Matang Kelamin Puncak musim pemijahan rajungan pada penelitian ini diduga berdasarkan pada nilai IKG rajungan betina dan kehadiran betina ovigerous sebagai pendukung. Puncak musim pemijahan rajungan pada beberapa lokasi perairan di Indonesia, Filipina dan Thailand tertera pada Tabel 27. Musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko berlangsung sepanjang tahun, hal ini ditandai dengan ditemukan rajungan betina ovigerous setiap bulan selama penelitian (Gambar 20). Puncak musim pemijahan rajungan di perairan ini ditemukan tiga puncak, yaitu pada bulan Mei-Juni, Agustus, dan Oktober-November, hal ini sama

80

dengan periode waktu ketiga puncak nilai IKG rajungan betina seperti telah diuraikan sebelumnya (Gambar 20). Puncak musim pemijahan rajungan di Pantai Leyte dan Bohol, Filipina (Batoy et al. 1987), Teluk Ragay, Filipina (Ingles dan Braum 1989), dan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook et al. 2011) juga ditemukan tiga puncak. Sebaliknya, puncak musim pemijahan rajungan di Perairan Brebes (Sunarto 2012), Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), Perairan Pati (Ernawati 2013) dan Pantai Trang, Thailand (Songrak et al. 2014) hanya ditemukan dua puncak, namun periode waktunya cenderung bervariasi antar lokasi perairan (Tabel 27). Tabel 27. Puncak musim pemijahan dan lebar karapas rajungan pertama matang kelamin (LKMK) pada beberapa lokasi perairan Lokasi Leyte & Bohol, Filipina Teluk Ragay, Luzon, Filipina Pantai Trang, Thailand Selatan Teluk Kung Krabaen, Thailand

Puncak Musim Pemijahan (bulan) Jan, Apr, Jul

Terkecil 41

Feb-Apr, Jul, Okt

-

LKMK (mm) Lk 50 % Kelamin 55 PK Betina 105.6 Jantan 96.4 Betina

Des-Feb, Jul-Sept.

64.5

78.0- 80.2* 74.9- 80.9*

Jantan Betina

Des, Mar, Jul-Agu

58.2

106.2

Betina

101 128

Betina Jantan

71.63

Betina

Perairan Brebes

Apr, Sept

Teluk Bone

Mei, Des

Perairan Pati

Sept-Nov, Feb Jul , Agu, Sept, Okt

69.36

Sumber Batoy et al.1987 Ingles & Braum 1989 Songrak et al. 2013, 2014 Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014 Sunarto 2012 Kembaren et al 2012 Ernawati 2013 Ihsan et al. 2014

107.0 Betina 95.5 Jantan Perairan Pangkep 85.0 106.0 Betina 83.7 109.8 Jantan Mei-Jun, Agu, Penelitian ini Teluk Lasongko Okt-Nov 82.2** 115.7 Betina PK panjang karapas.; *ukuran karapas dalam (kedua ujung duri lateral tidak terukur).; **TKG III

Hasil analisis dengan kurva logistik diperoleh ukuran 50 % pertama matang kelamin rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko, yaitu masing-masing dengan lebar karapas 109.83 mm dan 115.71 mm (Gambar 2). Ukuran 50 % pertama matang kelamin rajungan jantan di perairan ini masih kisaran ukuran 50 % pertama matang kelamin rajungan jantan yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Asia Tenggara, yaitu dengan lebar karapas berkisar antara 95.00 mm hingga 128 mm, sedangkan rajungan betina lebih besar dari pada yang telah dilaporkan pada beberapa lokasi perairan tersebut, yaitu dengan lebar karapas berkisar antara 71.63 mm hingga 107.0 mm (Tabel 27). Ukuran 50 % pertama matang kelamin rajungan jantan dan betina berukuran lebih kecil ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), kemudian di pantai Trang, Thailand (Songrak et al. 2013, 2014). Ukuran lebar karapas terkecil rajungan betina yang telah matang gonad di Teluk Lasongko berkisar antara 82.2 mm (TKG III) hingga 91.8 mm (TKG IV), dan rajungan jantan sebesar 83.7 mm. Lebar karapas terkecil rajungan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014) dan Teluk Kung

81

Krabaen, Thailand (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014), berkisar antara 58.2 mm hingga 85.0 mm (Tabel 27). Simpulan 1. Rasio kelamin rajungan jantan terhadap rajungan betina di Teluk Lasongko secara spasial dan temporal umumnya seimbang, namun berbeda dengan rasio kelamin total, 2. Perkembangan kematangan gonad antara rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko cenderung berlangsung tidak seiring baik spasial maupun temporal, serta indeks kematangan gonad rajungan betina lebih besar dari pada rajungan jantan, 3. Musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya terjadi pada bulan Mei-Juni, Agusus, dan Oktober-November, dan 4. Ukuran lebar karapas rajungan jantan 50 % matang kelamin sebesar 109.83 mm dan rajungan betina sebesar 115.71 mm.

82

5 DISTRIBUSI, FEKUNDITAS, TINGKAT KEMATANGAN GONAD DAN KADAR BIOKIMIA TELUR RAJUNGAN MENGERAMI TELUR (OVIGEROUS) DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Rajungan (Portunus pelagicus) betina yang matang gonad dan juga mengerami telur (ovigerous) berlangsung di estuari dan perairan dangkal, kemudian bermigrasi ke perairan pesisir yang lebih dalam untuk melepaskan telurnya (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000). Rajungan betina ovigerous yang secara teratur melakukan migrasi ke perairan dengan dasar pasir untuk melakukan pemijahan (Xiao dan Kumar 2004), dan juga untuk mencari lokasi perairan yang jernih dengan kadar oksigen terlarut dan salinitas yang tinggi untuk mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup larva yang baru menetas (Sumpton et al. 1994; Kangas 2000). Rajungan betina ovigerous yang hidup di perairan estuari lebih kecil atau lebih muda dari pada yang ditemukan di perairan teluk (Kangas 2000). Penelitian distribusi rajungan betina ovigerous di Perairan Asia Tenggara telah dilakukan di Pantai Trang, Thailand (Nitiratsuwan et al. 2010, 2013) berdasarkan kedalaman, fraksi sedimen dan padang lamun. Kedua penelitian tersebut belum mengkaji distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur pada ketiga karaketristik habitat tersebut. Perkembangan gonad rajungan terjadi di dalam tubuh dan embrio berkembang berlangsung di luar tubuh rajungan. Perkembangan embrio rajungan dari telur sampai menjadi zoea terbagi dalam enam tahap (Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011), dan pada setiap tahap terjadi perubahan warna, bentuk dan ukuran telur (Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011; Ikhwanuddin et al. 2012a; Ravi dan Manisseri 2013). Perubahan warna telur selama perkembangan embrio rajungan bermula dari warna kuning, orange, coklat dan berakhir warna abu-abu atau hitam (Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Liao et al. 2011; Ravi dan Manisseri 2013), karena terjadi penyerapan warna kuning pada kuning telur dan pigmen mata warna gelap mulai berkembang (Samuel dan Soundarapandian 2009). Tingkat kematangan gonad (TKG) dan fekunditas merupakan aspek penting dalam kajian biologi reproduksi rajungan (Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al. 2012a). Data fekunditas dan tingkat kematangan gonad berguna untuk memahami biologi dan dinamika populasi rajungan (Arshad et al. 2006), dan mengevaluasi strategi penangkapan rajungan (Johnson et al. 2010; Songrak et al. 2014). Fekunditas dan tingkat kematangan gonad merupakan bagian dari kajian reproduksi rajungan. Penelitian tingkat kematangan gonad rajungan betina selama ini masih terfokus pada rajungan betina yang belum mengerami telur, sedangkan pada rajungan betina mengerami telur (rajungan betina ovigerous) masih terbatas, diantaranya baru dilakukan oleh Pillay dan Nair (1971) dan Sumpton et al. (1994). Namun, kedua penelitian tersebut hanya menganalisis aspek reproduksi rajungan betina ovigerous berkaitan dengan TKG dan IKG secara temporal, sedangkan yang berkaitan dengan perubahan warna telur belum dikaji, demikian pula kajian fekunditas rajungan

83

berdasarkan perubahan warna telur rajungan betina ovigerous baru dilakukan oleh Safaie et al. (2013). Telur mempunyai peran penting dalam sejarah hidup hewan air yang memijah secara bebas (Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008; Moran dan Mcalister 2009) dan merupakan salah satu bagian dalam siklus reproduksi dekapoda. Telur mengandung sejumlah nutrien yang dibutuhkan dalam perkembangan embrio. Nutrien tersebut digunakan secara bertahap sesuai keperluan sel spesifik yang ditentukan oleh program genetika embrio (Rosa et al. 2007; Figueiredo et al. 2008a). Siklus reproduksi, kebugaran telur dan perkembangan embrio, penetasan telur dan kelangsungan hidup larva dekapoda, termasuk rajungan dipengaruhi oleh kadar proksimat dan asam lemak telur (Ying et al. 2006; Rosa et al. 2007; Figueiredo et al 2008a, 2008b; Moran dan Mcalister 2009; Figueiredo et al. 2012). Umumnya, kadar proksimat dan asam lemak telur dekapoda ditentukan oleh ukuran telur, bahan kuning telur (Figueiredo dan Narciso 2008; Soundarapandian dan Singh 2008; Moran dan Mcalister 2009), kondisi habitat seperti suhu, salinitas, ketersediaan makanan, dan kedalaman (Rosa dan Nunes 2003; Figueiredo dan Narciso 2008; Moran dan Mcalister 2009; Garc’ıa-Guerrero 2010), dan perkembangan embrio (Radhakrishnan 2000; Rosa et al. 2007; Soundarapandian dan Singh 2008; Khoei et al. 2012; Li et al. 2012; Soundarapandian et al. 2013d, 2013e). Protein merupakan komponen utama yang terkandung dalam telur dekapoda, namun dalam proses metabolisme embrio, lemak lebih banyak dibutuhkan dari pada protein (Ying et al. 2006; Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008). Sumber energi utama dalam proses perkembangan embrio dekapoda adalah lemak (Ying et al. 2006; Figueiredo dan Narciso 2008; Figueiredo et al. 2008; Garc’ıaGuerrero 2010; Khoei et al. 2012), juga digunakan sebagai penyusun komponen struktur membran sel (Figueiredo et al. 2008a; Garc´ıa-Guerrero 2010). Penelitian kadar proksimat dan asam lemak rajungan selama ini masih banyak berkaitan dengan perkembangan gonad atau ovarium (Pillay dan Nair 1973; Soundarpandian dan Singh 2008; Rameshkumar et al. 2009; Ravi dan Manisseri 2010; Bhat et al. 2011, Sugumar et al. 2012; Priya et al. 2013; Muthuvelu et al. 2013), jenis kelamin (Hamsa 1978; Wu et al. 2010; Ayas dan Özoğul 2011), musim (Pillay dan Nair 1973; Akbar et al. 1998) dan jenis makanan (Oniam et al. 2012). Sebaliknya, penelitian kadar proksimat dan asam lemak pada telur rajungan sampai saat ini masih terbatas, yaitu baru dilakukan oleh Radhakrishnan (2000), Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei et al. (2012). Namun, mereka belum menganalisis kadar proksimat pada semua tahap perubahan warna telur selama perkembangan embrio rajungan. Kajian komposisi dan kadar asam lemak telur rajungan yang dilakukan oleh Soundarapandian dan Singh (2008) dan Khoei et al. (2012) belum dianalisis berdasarkan perbedaan warna telur pada rajungan. Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) fekunditas rajungan, (2) distribusi, (3) tingkat kematangan gonad, serta (4) kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan berdasarkan perubahan warna telur rajungan betina ovigerous.

84

Metode Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Maret 2014 di Teluk Lasongko. Teluk ini terletak pada posisi antara 05o15’hingga 05o27’ LS serta antara 122o27’ hingga 122o33’ BT (Gambar 2), dan secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Lakudo dan Mawasangka Timur Kabupaten Buton Tengah. Pengambilan Contoh Contoh rajungan betina ovigerous ditangkap dengan gill net dasar dengan ukuram mata jaring 1.5, 2.5 dan 3.5 inci, serta diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang menangkap di dekat setiap stasiun penelitian ini dengan menggunakan gill net dasar. Pengambilan contoh rajungan betina ovigerous dilakukan setiap bulan pada tujuh stasiun (Gambar 2). Rajungan betina ovigerous yang diperoleh tertangkap pada setiap periode penangkapan langsung disimpan dalam cold box berisi es dan dibawa ke laboratorium. Total jumlah contoh rajungan betina ovigerous 168 ekor, terdiri atas 57 ekor warna kuning, 48 ekor warna orange, 31 ekor warna coklat dan 32 ekor warna abuabu gelap dan semua contoh dianalisis TKG nya. Jumlah rajungan betina ovigerous untuk analisis fekunditas 113 ekor, terdiri atas 49 ekor warna kuning, 45 ekor warna orange dan 19 ekor coklat muda. Untuk analisis kadar proksimat dan asam lemak digunakan 95 ekor, terdiri atas 21 ekor warna kuning, 27 ekor warna orange, 26 ekor warna coklat dan 21 ekor warna abu-abu gelap. Keempat warna telur rajungan betina ovigerous tertera pada Gambar 23.

Warna Kuning

Warna Orange

Warna Coklat muda

Warna Abu-abu gelap

Gambar 23. Rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap

85

Semua contoh rajungan ditimbang berat tubuhnya dengan timbangan digital (Vernier Med Digital Scale) dengan ketelitian 0.01 g, dan lebar karapas diukur dengan jangka sorong (Vernier Caliper 0-150 mm x 0.05) dengan ketelitian 0.05 mm. Telur rajungan pada abdomen dilepas dari pleopod dengan gunting. Berat telur ditimbang dengan timbangan digital serta ditimbang contoh telur untuk analisis fekunditas. Telur rajungan dikeringkan dalam oven pada suhu 65 oC selama 24 jam, dan contoh telur yang akan digunakan untuk analisis fekunditas dipreservasi dengan larutan davidson dan alkohol 70 %. Penentuan Distribusi, Diameter dan Volume Telur Rajungan Betina Ovigerous Rajungan betina ovigerous terdiri dari warna kuning, orange, coklat, dan abuabu gelap. Distribusi rajungan betina ovigerous untuk setiap warna telur tersebut akan dianalisis berdasarkan karakteristik habitat, khususnya kedalaman, kondisi dasar (tipe substrat, terbuka atau berupa hamparan pasir, tertutup oleh padang lamun), dan kekeruhan. Diameter dan volume telur rajungan yang dianalisis terdiri atas telur rajungan betina ovigerous berwarna kuning, orange, coklat, dan abu-abu gelap. Jumlah contoh rajungan betina ovigerous yang dianalisis untuk setiap warna telur tersebut sebanyak tiga ekor, dan jumlah telur yang diukur unutk setiap ekor rajungan sebanyak 100 butir. Diameter telur diukur dengan menggunakan mikrometer obyektif dan mikroskop binokuler (Olympus). Volume telur rajungan dihitung dari data diameter telur dan dianggap sebagai embrio berbentuk bulat (Figueiredo dan Narciso 2008) dan ditentukan dengan persamaan berikut : V

.......................................................... (9)

V adalah volume telur (µm3), π (phi) 3.14,dan D diameter telur (µm). Penentuan Tingkat Kematangan Gonad Rajungan betina ovigerous yang digunakan dalam analisis tingkat kematangan gonad (TKG) sebanyak 168 ekor. Lebar karapas setiap rajungan betina ovigerous tersebut diukur dengan jangka sorong, lalu dibuka karapasnya, diamati TKG nya serta berat gonad ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0.01g. TKG rajungan betina ovigerous ditentukan seperti telah diuraikan pada Bab 4. Proporsi setiap TKG rajungan betina ovigerous ditentukan dengan persamaan (6), dan IKG rajungan betina ovigerous ditentukan dengan persamaan (7) yang telah diuraikan pada Bab 4. Penentuan Fekunditas Rajungan betina ovigerous yang digunakan dalam penentuan fekunditas sebanyak 113 ekor, terdiri dari warna kuning, orange dan coklat muda (jumlah setiap warna telah diuraikan sebelumnya). Fekunditas rajungan ditentukan dengan metode gravimetrik. Berat contoh telur untuk analisis fekunditas berkisar antara 0.20 g hingga 0.40 g, serta jumlah telur dihitung dengan mikroskop binokuler (Lecica), dan fekunditas rajungan dihitung dengan persamaan Jazayeri et al. (2011), yaitu sebagai berikut :

86

F= n

.................................................................... (10)

F adalah fekunditas (butir), G berat total telur (g), g berat contoh telur (g), dan n jumlah telur yang diamati dibawah mikroskop (butir). Indeks masa telur ditentukan berdasarkan (Sukumaran dan Neelakantan 1997a; Josileen 2013), yaitu sebagai berikut : Indeks masa telur =

x 100 ...................... (11)

Analisis Proksimat Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air, abu, protein, dan lemak serta karbohidrat untuk setiap warna telur rajungan dan dianalisis berdasarkan prosedur AOAC (1984). Kadar protein kasar ditentukan dengan metode Kjeldahl dengan indikator brom cresol green–methyl red dan kadar protein (%) dihitung dengan persamaan : Kadar Protein =

x 100 %

............... (12)

S adalah volume titran contoh (ml), B volume titran blanko (ml), w berat kering contoh (mg), N normalitas HCl, 14 berat atom nitrogen, dan 6.25 faktor konversi nitrogen menjadi protein. Lemak diekstraksi dari jaringan telur menggunakan metode ekstrasi soxhlet dengan pelarut heksan dan dikeringkan pada suhu 100 oC, serta kadarnya ditentukan dengan metode gravimetrik, dan dihitung dengan persamaan berikut : Kadar lemak =

x 100 % ......... (13)

Kadar air ditentukan dengan cara sampel telur dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama delapan jam, dan dihitung dengan persamaan berikut : Kadar air =

x 100 % ........ (14)

Kadar abu ditentukan secara gravimetrik, sampel telur disimpan dalam cawan porselin dan dibakar sampai tidak berasap, kemudian diabukan dalam tanur pada suhu 600 ºC selama dua jam, dan dihitung dengan persamaan berikut : Kadar abu =

x 100 %

...................... (15)

Karbohidrat ditentukan dengan metode Carbohydrate by difference (AOAC 1984) dengan persamaan berikut : 100 % - (kadar air + abu + protein + lemak)

...................... (16)

Analisis Asam Lemak Analisis asam lemak telur rajungan betina ovigerous dilakukan berdasarkan prosedur AOAC (1984). Lemak diekstraksi dengan metode mojonnier dan dikeringkan sampai beratnya konstan. Lemak hasil ekstraksi dihidrolisis menjadi

87

asam lemak dan diubah menjadi bentuk metil ester asam lemak (Fatty Acid Methyl Ester, FAME) yang mudah menguap. FAME dianalisis dengan mengggunakan kromatografi gas-2010 Plus merek Shimadzu dengan kolom kapiler cyanopropil metil yang panjangnya 60 meter dengan diameter dalam 0.25 ml dan 025 μm film tickness. Kecepatan aliran N2, H2, dan udara masing-masing 20 ml menit-1, 30 ml menit-1, dan 200-250 ml menit-1. Suhu injektor dan detektor 200 oC dan 230 oC, suhu awal 190 o C dan akhir 230 oC dengan laju 10 oC menit-1, volume injeksi 1 μl, rasio 1: 8 dan laju aliran linear 20 cm detik-1. Asam lemak diidentifikasi dengan membandingkan waktu retensi FAME dengan standarnya, dan kadar setiap komponen asam lemak ditentukan dari luas puncak dari kromatografi gas, dan digunakan persamaan berikut : .................................................................... (17) Ax adalah area contoh, As area standar dan C berat standar asam lemak

Analisis Data Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous dianalisis berdasarkan stasiun, warna telur dan musim sedangkan berat, diameter dan volume telur dianalisis berdasarkan warna telur. TKG dan IKG dikelompokkan berdasarkan stasiun, warna telur dan musim. Fekunditas dan berat masa telur rajungan dianalisis berdasarkan stasiun, kelas ukuran tubuh, warna telur dan musim, sedangkan kadar proksimat dan asam lemak berdasarkan warna telur. Distribusi, proporsi TKG berdasarkan stasiun dan periode penangkapan, serta fekunditas berdasarkan kelas ukuran dianalisis secara deskriptif. Ukuran tubuh dan diameter telur, IKG, fekunditas berdasarkan stasiun dan warna telur, serta kadar proksimat dan asam lemak berdasarkan warna telur dilakukan analisis varian (ANOVA) satu arah dan uji Tukey pada taraf nyata 0.05 (P<0.05). Ukuran tubuh, TKG, IKG, berat masa telur dan fekunditas berdasarkan musim dilakukan uji t dengan asumsi ragam tidak sama. Data-data tersebut diuji kenormalannya dengan uji Kolmogorov-Smirnov pada taraf nyata 0.05 (Steel dan Torrie 1992), dan jika hasil uji berbeda nyata, ditransformasi ke log 10, kemudian dilanjutkan uji ANOVA dan t. Analisis regresi linear digunakan untuk mengetahui hubungan berat basah dan berat kering telur rajungan. Analisis serupa juga digunakan untuk menentukan hubungan lebar karapas, berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas rajungan (Arshad et al. 2006; Johnson et al. 2010; Ikhwanuddin et al. 2012a; Safai et al. 2013). Selanjutnya dilakukan analisis korelasi dan ANOVA untuk mengetahui keeratan dan nyata atau tidak nyata setiap hubungan tersebut. Dalam proses analisis data tersebut digunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan Minitab versi 15. Hasil Distribusi Rajungan Betina Ovigerous Rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko ditemukan sepanjang tahun dengan proporsi berkisar antara 4.00 % hingga 35.71 % dari total jumlah rajungan betina yang tertangkap setiap bulan, tertinggi tertangkap pada bulan November dan terendah pada

88

September (Gambar 20). Proporsi rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 6.72 % hingga 35.00 %, tertinggi ditemukan pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 2. Proporsi rajungan betina ovigerous yang tertangkap selama penelitian pada kedalaman berkisar antara 1.5 m hingga 2.5 m dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi padang lamun yang padat (habitat A) sebesar 11.95 %, pada kedalaman berkisar 2.5 m hingga 3.5 m dengan tipe susbtrat pasir dan kondisi padang lamun yang kurang padat (habitat T) sebesar 13.33 %. Proporsi rajungan betina oveigerous pada kedalaman berkisar antara 5 m hingga 12 m bertipe substrat pasir berlempung dan tidak ditumbuhi lamun (habitat B) sebesar 10.14 %. Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur dan tipe habitat yang tertangkap selama penelitian dan ditambah dengan hasil tangkapan nelayan yang menangkap di sekitar lokasi penelitian selengkapnya tertera pada Tabel 28. Keempat warna telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dapat ditemukan mulai pada bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk pada kedalaman antara 0.35 m (surut) sampai 31.0 m (pasang) dengan tipe substrat mulai dari pasir sampai lempung dan dengan kondisi dasar perairan mulai dari yang tertutup padang lamun sampai berupa hamparan pasir (Tabel 28, Gambar 24 dan 25). Tabel 28. Distribusi rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe habitat Tipe Habitat Stasiun Kedalaman (m)

Distribusi rajungan betina ovigerous

Tipe substrat

Dasar perairan

1

0.35-2.35 1.60-3.65 2.65-6.10

Pasir pasir PL

Lamun ++ Lamun + Hmp. pasir

2.79 2.14 2.18

2

0.35-2.15 1.70-3.30 3.70-6.60

Pasir Pasir pasir

Lamun ++ Lamun + Hmp. pasir

3

0.62-2.25 2.00-3.71 4.00-8.85

Pasir Pasir PL

4

0.40-2.50 2.00-3.30 8.85-13.02

5

0.35-2.60 2.10-3.77 4.70-9.50

6 7

3.65-9.55 Pasir, LLP 14.0-31.0 Lempung

Kekeruhan Kuning (NTU)

Abu-abu gelap

Orange

Coklat

√ √ √

√ √ √

√ √ 0

0 √ √

1.99 2.27 1.60

√ √ √

√ √ 0

0 √ √

0 √ √

Lamun ++ Lamun + Hmp. pasir

1.36 0.99 1.55

√ 0 √

√ √ √

√ √ √

0 √ √

Pasir Pasir PL

Lamun ++ Lamun + Hmp. pasir

1.53 1.06 1.04

√ 0 √

√ 0 0

√ √ √

√ 0 √

Pasir Pasir PL

Lamun ++ Lamun + Hmp. pasir

1.44 1.39 1.17

√ 0 0

√ √ 0

0 √ 0

√ √ 0

Hmp. pasir Hmp. pasir

1.18 1.18

√ √

√ √

√ √

√ √

PL pasir berlempung.; LLP lempung liat berpasir.; ++ padat.; + kurang padat.; Hmp. pasir hamparan pasir.; √ ditemukan.; 0 tidak ditemukan.

Gambar 24. Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan kepadatan lamun dan kekeruhan di Teluk Lasongko

89

89

Gambar 25. Sebaran rajungan betina ovigerous berdasarkan tipe substrat dan kekeruhan di Teluk Lasongko

90

90

91

Ukuran Tubuh Rajungan Betina Ovigerous Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara 86.6 mm hingga 162.3 mm dengan berat tubuh berkisar antara 42.75 g hingga 314.22 g. Rataan lebar karapas rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 104.4 mm hingga 125.0 mm dengan berat tubuh berkisar antara 80.60 g hingga 150.72 g, terbesar ditemukan pada stasiun 7 dan terkecil pada stasiun 2. Hasil uji ANOVA dan Tukey menunjukkan bahwa ukuran tubuh rajungan betina ovigerous berbeda nyata (p<0.05) antar stasiun (Tabel 29). Tabel 29. Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun, warna telur dan musim Variabel Jumlah (ekor) Lebar karapas (mm) Berat tubuh (g) A. Berdasarkan stasiun 1 15 113.2 + 10.0bc 103.22 + 27.27b 2 8 104.4 + 6.0c 80.60 + 10.44b ab 3 27 118.3 + 15.0 137.42 + 50.35ac 4 48 122.5 + 9.2ab 139.14 + 35.82ac 5 20 116.7 + 10.7ab 118.98 + 34.75bac b 6 29 115.4 + 10.8 113.51 + 31.17b 7 21 125.0 + 13.3a 150.72 + 54.57a B. Berdasarkan warna telur Kuning 57 119.1 + 9.9a 123.62 + 33.39a Orange 48 119.2 + 10.2a 129.69 + 33.84a a Coklat 31 117.6 + 7.3 119.76 + 25.52a Abu-abu gelap 32 121.6 + 8.7a 142.16 + 33.83a C. Berdasarkan musim Musim timur 67 115.3 + 11.7a 118.72 + 36.72a Musim barat 101 121.2 + 11.8b 135.60 + 46.40b Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Rataan lebar karapas rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur yang tertangkap di Teluk Lasongko berkisar antara 117.6 mm hingga 121.6 mm dengan rataan berat tubuh berkisar antara 119.76 g hingga 142.16 g, terbesar adalah rajungan betina berwarna abu-abu gelap dan terkecil berwarna coklat. Hasil uji ANOVA menunjukkan ukuran tubuh rajungan betina ovigerous adalah seragam (p>0.05) antar warna telur (Tabel 29). Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur berkisar antara 87.6 mm hingga 144.7 mm dengan rataan 115.3 mm, dan berat tubuh berkisar antara 60.83 g hingga 241.53 g dengan rataan 118.72 g. Lebar karapas rajungan berina ovigerous yang tertangkap pada musim barat berkisar antara 86.6 mm hingga 162.3 mm dengan rataan 121.2 mm, dan berat tubuh berkisar antara 42.75 g hingga 314.22 g dengan rataan 135.60 g (Tabel 29). Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama menunjukkan ukuran tubuh rajungan betina ovigerous antara musim timur dan musim barat tidak seragam (p<0.05). Rajungan yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur.

92

Berat, Diameter dan Volume Telur Rajungan Berat basah telur rajungan betina ovigerous yang tertangkap selama penelitian berkisar antara 1.50 g hingga 46.47 g, sedangkan berat kering telur berkisar antara 0.17 g hingga 10.55 g. Berat basah telur rajungan betina ovigerous meningkat sebesar 36.35 % dengan perubahan warna telur dari warna kuning ke warna abu-abu gelap, sebaliknya berat kering telur menurun sebesar 1.86 %. Hasil uji ANOVA berat basah dan berat kering telur rajungan betina ovigerous menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar warna telur (Tabel 30). Hubungan berat basah dan berat kering telur untuk keempat warna telur rajungan betina ovigerous menunjukkan hubungan yang sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif (Gambar 26). Hal ini menunjukkan bahwa jika berat basah telur meningkat, maka berat kering telur rajungan juga meningkat. Dilihat dari nilai koefisien regresi (b) pertambahan berat kering telur tertinggi ditemukan pada telur berwarna kuning dan terendah pada telur berwarna abu-abu gelap (Gambar 26), hal ini menunjukkan kadar air telur rajungan berwarna kuning lebih rendah dari pada warna abu-abu gelap. Tabel 30. Berat, diameter, dan volume telur rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur ∑ Contoh (ekor) 30 29 26 25

Warna Telur

Berat telur basah (g) 17.14 + 8.08a 18.39 + 8.30a 20.00 + 7.55a 23.37 + 0.56a +36.35

Berat telur kering (g) 4.31 + 2.01a 4.18 + 1.61a 4.65 + 1.92a 4.23 + 1.78a -1.86

Diameter telur (µm) 249.2+26.5a 291.6+19.4b 310.3+17.8c 311.9+21.4c +25.16

Volume telur (µm3) 8.5 x 106 a 13.2 x 106 b 15.9 x 106 c 16.3 x 106 c +91.76

12 10 8 6 4 2 0

Bk = 0.23 Bb + 0.365 R² = 0.851 n= 30

0

10

20

Berat kering (g)

Berat kering (g)

Kuning Orange Coklat Abu-abu gelap Perubahan (%) + = naik - = turun Angka pada kolom dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

30

40

12 10 8 6 4 2 0

50

Bk = 0.195Bb+ 0.740 R² = 0.594 n = 29

0

10

Berat basah (g) (a) 10 Bk = 0.156Bb + 1.328 R² = 0.653 n = 29

8 6

Berat kerimg (g)

Berat kering (g)

10

4 2 0

20

30

Berat basah (g)

(c)

40

Bk = 0.151Bb + 0.694 R² = 0.805 n = 25

8 6 4 2 0

0

10

20

Berat basah (g)

30 (b)

40

0

10

20

30

Berat basah (g)

40

50

(d)

Gambar 26. Hubungan berat basah (Bb) dengan berat kering (Bk) telur rajungan betina ovigerous warna (a) kuning, (b) orange, (c) coklat, dan (d) abu-abu gelap

93

Diameter telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dari warna kuning sampai warna abu-abu gelap berkisar antara 180 µm hingga 400 µm dan meningkat sebesar 25.16 %. Volume telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap berkisar antara 3.1 x 106 µm3 hingga 33.5 x 106 µm3 dan meningkat sebesar 91.76 % (Tabel 30). Hasil uji ANOVA dan Tukey menunjukkan diameter dan volume telur berbeda nyata (p<0.05) antar warna telur rajungan ovigerous. Tingkat Kematangan Gonad Rajungan Betina Ovigerous Hasil analisis TKG dari 168 ekor contoh rajungan betina ovigerous ditemukan sekitar 76 % (128 ekor) dengan TKG I sampai IV dan sekitar 24 % (40 ekor) dengan kondisi gonad belum berkembang. Rajungan betina ovigerous dengan TKG I sampai TKG IV tersebut, cenderung didominasi oleh TKG II sedangkan proporsi TKG IV relatif kecil dibandingkan dengan tiga TKG lainnya. Jumlah rajungan betina ovigerous dengan TKG I sampai IV yang ditemukan pada setiap stasiun berkisar antara 7 ekor hingga 38 ekor. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada stasiun 1, 4, 5, 6 didominasi oleh TKG I dan II atau yang belum matang gonad, yaitu dengan proporsi berkisar antara 60.53 % hingga 75.00 % (Gambar 27). Sebaliknya, rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada stasiun 2 dan 3 antara rajungan yang matang gonad dengan yang belum matang gonad cenderung seimbang. Proporsi rajungan betina ovigerous yang matang gonad pada kedua stasiun tersebut berkisar antara 55.56 % hingga 57.14 %, sedangkan rajungan yang belum matang gonad berkisar antara 42.86 % hingga 44.44 % (Gambar 27). Proporsi rajungan betina ovigerous yang matang gonad dan belum matang gonad yang tertangkap pada stasiun 7 adalah seimbang masing-masing sebesar 50 %, namun tidak ditemukan rajungan betina ovigerous dengan TKG IV. 100.00

Proporsi TKG (%)

80.00 60.00

TKG IV TKG III

40.00

TKG II TKG I

20.00 0.00

1

2

3

4

5

6

7

Stasiun

Gambar 27. Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun Rajungan betina ovigerous warna kuning, orange dan abu-abu gelap didominasi oleh TKG II, yaitu masing-masing dengan proporsi sebesar 45.75 %, 34.29 % dan 32.14 %, sedangkan warna coklat didominasi oleh TKG III (33.33 %). Rajungan

94

betina ovigerous warna kuning dan orange didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, yaitu masing-masing dengan proporsi sebesar 77.50 % dan 80.00 %. Sebaliknya, rajungan betina ovigerous berwarna coklat dan abu-abu gelap proporsi rajungan yang matang gonad dan belum matang gonad adalah seimbang, yaitu keduanya masing-masing dengan proporsi 50 %. Proporsi rajungan betina ovigerous TKG IV cenderung meningkat dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Gambar 28). 100

Proporsi TKG (%)

80

60

TKG IV TKG III

40

TKG II TKG I

20

0 Kuning

Orange

Coklat

Abu-abu gelap

Warna telur

Gambar 28. Proporsi TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur Jumlah total contoh rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur sebanyak 67 ekor, terdiri atas 64.18 % (43 ekor) dengan gonad TKG I sampai IV, dan 35.82 % (24 ekor) dengan gonad belum berkembang. Sebaliknya, jumlah total rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat sebanyak 101 ekor, terdiri dari 84.16 % (85 ekor ) dengan gonad TKG I sampai IV dan 15.84 % (16 ekor) dengan gonad belum berkembang. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur dan barat didominasi oleh TKG II dan I (belum matang gonad), masing-masing dengan proporsi sebesar 72.10 % dan 57.65 % (Tabel 31). Rajungan betina ovigerous hanya yang tertangkap pada bulan November, Januari dan Februari ditemukan semua tahap perkembangan gonad (TKG I sampai IV), sedangkan pada bulan lainnya sebagian besar hanya ditemukan tiga tahap perkembangan gonad. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan Mei hanya terdiri dari TKG III dan IV. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan Mei, Oktober dan November didominasi oleh rajungan yang matang gonad, yaitu masing-masing dengan proporsi 100 %, 60.00 % dan 63.63 % dari jumlah contoh rajungan ovigerous dengan gonad yang telah berkembang (TKG I sampai IV) yang dianalisis. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan Januari adalah seimbang antara yang matang gonad dan yang belum matang gonad (Tabel 31). Rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko yang tertangkap di luar keempat

95

bulan tersebut didominasi oleh yang belum matang gonad, yaitu masing-masing dengan proporsi berkisar antara 58.33 % hingga 92.86 %. Indeks Kematangan Gonad Rajungan Betina Ovigerous Rataan IKG rajungan betina ovigerous TKG I yang tertangkap pada setiap stasiun berkisar antara 0.17 hingga 0.68, tertinggi tertangkap pada stasiun 1 dan terendah pada stasiun 2. Rataan IKG rajungan betina ovigerous TKG II berkisar antara 0.77 hingga 1.45, tertinggi tertangkap pada stasiun 6 dan terendah ditemukan pada stasiun 4. Rataan IKG rajungan betina ovigerous TKG III berkisar antara 1.22 hingga 2.55, dan pada TKG IV berkisar antara 2.22 hingga 3.84. IKG rajungan betina ovigerous TKG III dan IV tertinggi keduanya ditemukan pada stasiun 2 sedangkan terendah masing-masing ditemukan pada stasiun 6 dan stasiun 4 (Tabel 31). IKG rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada stasiun 3 umumnya cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rajungan yang tertangkap pada enam stasiun lainnya, namun hasil analisis ANOVA menunjukkan IKG pada setiap TKG tidak berbeda nyata (p>0.05) antar stasiun. Tabel 31. Proporsi TKG rajungan betina ovigerous pada setiap periode penangkapan dan musim Bulan Proporsi setiap TKG (%) Jumlah (ekor) I II III IV April 25.00 50.00 25.00 4 Mei 50.00 50.00 2 Juni 75.00 12.50 12.50 8 Juli 22.22 55.56 22.22 9 Agustus 77.78 11.11 11.11 9 September 27.27 45.45 27.27 11 Oktober 40 46.67 13.33 15 November 27.27 9.09 45.45 18.18 11 Desember 25.00 33.33 41.67 12 Januari 16.67 33.33 33.33 16.67 18 Februari 33.33 33.33 6.67 26.67 15 Maret 42.86 50.00 7.14 14 Musim timur 27.91 44.19 9.30 18.60 43 Musim barat 23.53 34.12 29.41 12.94 85 IKG rajungan betina ovigerous dengan TKG I tertinggi ditemukan pada warna coklat dan terendah pada warna kuning, sedangkan pada TKG II, IKG tertinggi ditemukan pada warna kuning dan terendah pada warna orange. IKG rajungan betina ovigerous TKG III dan IV tertinggi ditemukan pada warna abu-abu gelap sedangkan terendah ditemukan pada warna orange untuk TKG III dan warna kuning untuk TKG IV (Tabel 32). Hasil analisis ANOVA menunjukkan IKG rajungan betina ovigerous pada setiap TKG seragam (p>0.05) antar warna telur. Secara umum, nilai IKG rajungan betina ovigerous berwarna abu-abu gelap lebih tinggi dibandingkan dengan tiga warna telur lainnya.

96

Hasil uji statistik (uji t), hanya IKG rajungan betina ovigerous dengan TKG I dan II menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) antara musim timur dan musim barat (Tabel 31). IKG rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat sebagian besar lebih kecil dari pada musim timur (Tabel 32). Tabel 32. IKG rajungan betina ovigerous pada setiap TKG berdasarkan stasiun, warna telur dan musim IKG berdasarkan TKG Variabel I II III IV A. Stasiun 1 0.68 + 0.19a 1.01 + 0.73a 1.75 3.39 + 0.84a a a a 2 0.17 + 0.14 0.82 + 0.72 2.55 + 0.48 3.84 3 0.25 + 0.24a 1.29 + 1.15a 2.20 + 0.53a 3.62 + 0.70a 4 0.54 + 0.17a 1.02 + 0.37a 1.88 + 0.83a 2.22 + 1.00a 5 0.35 + 0.10a 0.81 + 0.24a 1.53 + 0.48a 2.82 + 0.87a a a a 6 0.50 + 0.34 1.45 + 0.42 1.22 + 0.18 3.57 a a a 7 0.43 + 0.19 0.77 + 0.23 1.63 + 0.67 B. Warna Telur Kuning 0.36 + 0.20a 1,23 + 0.72a 1.65 + 0.69a 1.85 + 1.33a Orange 0.45 + 0.20a 0.86 + 0.35a 1.36 + 0.33a 1.86 + 0.49a a a Coklat 0.85 1.15 + 0.63 1.87 + 0.48 2.98 + 1.46a Abu-abu gelap 0.40 + 0.34a 1.10 + 0.40a 1.99 + 1.04a 3.29 + 0.55a C. Musim Musim timur 0.29 + 0.24a 1.41 + 0.62a 2.36 + 1.16a 2.86 + 1.30a b b a Musim barat 0.48 + 0.20 0.91+ 0. 48 1.73 + 0.66 2.38 + 1.20a Angka pada kolom dan item yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous yang tertangkap selama penelitian ditemukan sangat bervariasi (Gambar 29). Pada Gambar 29 terlihat IKG rajungan betina ovigerous tertinggi tertangkap pada bulan Oktober (1.86) dan terendah pada bulan Agustus (0.45). Rataan IKG rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat cenderung menurun sedangkan yang tertangkap pada musim timur juga cenderung berfluktuasi (Gambar 29).

Gambar 29. Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous

97

Fekunditas dan Berat Telur Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko dari hasil analisis dari 113 ekor contoh rajungan betina ovigerous berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir (rataan 717 032 + 327 140 butir). Rataan fekunditas rajungan betina ovigerous pada setiap stasiun berkisar antara 436 142 butir hingga 841 595 butir dengan berat tubuh berkisar antara 78.98 g hingga 156.71 g, tertinggi tertangkap pada stasiun 7 dan terendah pada stasiun 2 (Tabel 33). Tabel 33. Fekunditas, berat telur, berat tubuh dan indeks masa telur rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun Stasiun 1 2 3 4 5 6 7

Jumlah (ekor) 10 6 19 29 18 22 9

Fekunditas (butir) 641 213a 436 142ac 822 090ab 796 436ab 584 138a 689 021a 841 595a

Berat telur (g) 16.47 + 5.32a 12.37 + 3.56abd 21.31+ 8.79a 22.99 + 7.74ac 16.32 + 7.36ab 18.60 + 7.82a 22.72 + 12.93a

Berat tubuh (g) 108.41 + 29.71 78.98 + 19.21 134.55 + 45.74 140.63 + 39.47 115.62 + 35.06 113.46 + 32.35 156.71 + 70.74

Indeks Telur 15.19 15.67 15.83 16.35 14.12 16.40 14.50

Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Rataan berat telur rajungan betina ovigerous pada setiap stasiun berkisar antara 12.37 g hingga 22.99 g, tertinggi ditemukan pada stasiun 4 dan terendah pada stasiun 2. Indeks masa telur rajungan pada setiap stasiun berkisar 14.12 hingga 16.40, tertinggi ditemukan pada stasiun 6 dan terendah pada stasiun 5. Hasil analisis ANOVA dan Tukey menunjukkan bahwa fekunditas dan berat telur rajungan betina ovigerous tidak sama (p<0.05) antar stasiun (Tabel 33). Tabel 34. Rataan ukuran tubuh, berat telur, fekunditas dan indeks masa telur rajungan betina ovigerous berdasarkan kelas ukuran lebar karapas Kelas Ukuran (mm) 86.6 - 96.6 96.7 - 106.6 106.7 - 116.6 116.7 - 126.6 126.7 - 136.6 136.7 - 146.6 156.7 - 166.6

Jumlah (ekor) 2 17 32 34 17 10 1

Lebar karapas (mm) 87.1 + 0.7 102.6 + 3.3 111.9 + 2.3 120.9 + 2.2 130.2 + 2.4 139.8 + 2.7 162.3

Berat tubuh Berat telur (g) (g) 89.09 + 65.53 13.76 + 13.49 78.20 + 9.72 12.25 + 4.15 103.31 + 14.91 15.89 + 4.37 127.49 + 15.95 19.58 + 5.57 164.16 + 30.57 27.17 + 5.75 194.98 + 30.48 27.59 + 10.14 314.22 54.46

Fekunditas (butir) 469 666 455 734 581 572 694 927 963 135 1 147 353 2 078 874

Indeks Telur 15.45 15.66 15.64 15.36 16.55 14.15 17.33

Rataan fekunditas rajungan berdasarkan kelas ukuran lebar karapas rajungan betina ovigerous berkisar antara 469 666 butir hingga 2 078 874 butir (Tabel 34), tertinggi ditemukan pada kelas ukuran karapas lebar 156.7-166.6 mm, dan terendah pada kelas ukuran lebar karapas 86.6-96.6 mm, namun kedua kelas ukuran rajungan tersebut jarang ditemukan. Rataan fekunditas rajungan yang sering tertangkap pada penelitian ini adalah 694 927 butir dan 581 572 butir atau pada kelas lebar karapas

98

25

Fekunditas x 100000

Fekunsitas x 100000

116.7-126.6 mm dan 106.7-116.6 mm (Tabel 34), sebaliknya kelas ukuran lebar karapas 146.7-156.6 mm tidak ditemukan pada penelitian ini. Rataan berat telur rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini berkisar antara 12.25 g hingga 54.46 g dan rataan indeks masa telur berkisar antara 14.13 hingga 17.33 (Tabel 34). Berat telur dan indeks telur rajungan betina ovigerous cenderung meningkat dengan bertambahnya kelas rajungan. Hubungan lebar karapas, berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas total contoh rajungan betina ovigerous menunjukkan hubungan yang sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif (Gambar 30), demikian juga antara berat tubuh dan berat telur rajungan. Nilai koefisien kolerasi (r) setiap hubungan tersebut berkisar antara 0.747 hingga 0.915. F = 19268 Lk - 2E+06 R² = 0.563 n = 113

20 15 10 5 0 50

100

150

50

200 (a)

150

250

Berat Tubuh (g)

350 (b)

60

25

F = 35433Be + 21145 R² = 0,837 n = 113

20

Berat Telur (g)

Fekunditas x 100000

Lebar Karapas (mm)

F = 6224.Bt- 53530 R² = 0,699 n =113

25 20 15 10 5 0

15 10 5

Be= 0,162 Bt - 0,461 R² = 0,714 n = 113

40 20 0

0 5

25

45

Berat Telur (g)

65

50

(c)

150

250

Berat Tubuh (g)

350 (d)

Gambar 30. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) berdasarkan total contoh rajungan betina ovigerous Fekunditas, berat telur dan berat tubuh bervariasi pada setiap kelompok warna telur rajungan ovigerous. Rajungan betina ovigerous berwarna kuning lebih bervariasi dibandingkan dengan dua warna telur lainnya. Namun demikian, hasil ANOVA menunjukkan bahwa fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous seragam (p>0.05) antar warna telur (Tabel 35). Tabel 35. Rataan fekunditas, berat telur , berat tubuh, dan indeks masa telur rajungan betina ovigerous berdasarkan warna telur Warna telur Kuning Orange Coklat muda

Jumlah (ekor) 49 45 19

Fekunditas (butir) 672289a 748179a 749481a

Berat telur (g) 18.67+8.66a 19.94+9.24a 21.35+5.46a

Berat tubuh (g) 122.38 + 44.73a 133.17+46.98a 115.32+27.42a

Indeks Telur 15.26 14.97 18.51

Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

99

25

25

F = 20405 Lk - 2E+06 R² = 0.651 n = 49

20

Fekunditas x 100000

Fekunditas x 100000

Fekunditas rajungan betina ovigerous berwarna kuning berkisar antara 326 848 butir hingga 2 078 874 butir dengan rataan 672 289 butir, serta berat telur berkisar antara 1.67 g hingga 54.46 g dengan rataan 18.67 g (Tabel 35). Hasil analisis regresi linear hubungan antara lebar karapas, berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas rajungan betina ovigerous berwarna kuning menunjukkan hubungan yang sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif, demikian juga antara berat tubuh dan berat telur (Gambar 31).

15 10 5 0 50

100

150

25

10 5 0 50

(a)

100

150

200

250

Berat tubuh (g) 60

F = 36288 Be - 7168. R² = 0.911 n = 49

20

15

200

Beret telur (g)

Fekunditas x 100000

Lebar karapas (mm)

F = 6455.Bt - 10027 R² = 0.823 n = 49

20

15 10

300

350

(b)

Be = 0,171 Bt - 1.778 R² = 0.840 n = 49

40 20

5 0

0 5

25 Berat telur (g)

45

65 (c)

50

150

250

Berat total tubuh (g)

350 (d)

Gambar 31. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina ovigerous warna kuning Fekunditas rajungan betina ovigerous berwarna orange berkisar antara 222 031 butir hingga 1 816 334 butir dengan rataan 748 179 butir. Berat telur rajungan betina ovigerous tersebut berkisar antara 4.22 g hingga 42.75 g dengan rataan 19.94 g, serta indeks masa telur sebesar 14.97 (Tabel 35). Hubungan lebar karapas, berat tubuh dan berat telur dengan fekunditas rajungan betina ovigerous warna orange menunjukkan hubungan yang sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif, dan hal yang sama juga terjadi pada hubungan antara berat tubuh dengan berat telur (Gambar 32). Fekunditas rajungan betina ovigerous warna coklat muda berkisar antara 401 137 butir hingga 1 106 030 butir dengan rataan 749 481 butir , dan berat tubuh berkisar antara 51.47 g hingga158.46 g dengan rataan 115.32 g, serta rataan berat telur 21.35 g (Tabel 35) dan indeks masa telur 8.51. Hubungan lebar karapas dan fekunditas rajungan betina ovigerous warna coklat muda menunjukkan hubungan nyata (p<0.05), berkorelasi cukup kuat dan positif. Hubungan lebar karapas, berat tubuh serta berat telur dan fekunditas rajungan menunjukkan hubungan sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif demikian juga antara berat tubuh dan berat telur juga menunjukkan sangat nyata (p<0.01), berkorelasi kuat dan positif (Gambar 33).

15

x 100000

20 F= 21582Lk - 2E+06 R² = 0.584 n = 45

10

Fekunditas

Fekunditas

x 100000

100

5 0 50

70

90

110

130

10

F = 6523.Bt - 13197 R² = 0.716 n = 45

15 10 5 0

150

50

100

150

200

Berat tubuh (g)

(a)

250

300

(b)

60 F = 33614Be + 62915 R² = 0.793 n = 45

15

Berat telur (g)

x 100000

20

Fekunditas

Lebar karapas (mm)

20

5

Be = 0,174Bt - 3.156 R² = 0.726 n = 45

40 20 0

0 5

15

25

35

Berat telur (g)

50

45

100

150

200

Berat tubuh (g)

(c)

250

300

(d)

15

15 F = 12774Lk - 76457 R² = 0.280 n= 19

Fekunditas x 100000

Fekunditas x 100000

Gambar 32. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina ovigerous warna orange

10 5 0 70

90

110

130

5 0

(a)

75

125

Berat tubuh (g)

15

40

F = 27451 Be + 16153 R² = 0.632 n = 19

10

10

25

150

Berat telur (g)

Fekunditas x 100000

Lebar karapas (mm)

F = 4155.Bt + 25206 R² = 0.405 n= 19

5

175 (b)

Be = 0.153 Bt + 3.292 R² = 0.679 n = 19

30 20 10 0

0 5

15 Berat telur (g)

25 (c)

35

50

100 Berat tubuh (g)

150

200

(d)

Gambar 33. Hubungan lebar karapas (a), berat tubuh (b) dan berat telur (c) dengan fekunditas, serta berat tubuh dan berat telur (d) rajungan betina ovigerous warna kuning coklat muda Fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada setiap musim ditemukan bervariasi. Fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat relatif lebih bervariasi

101

dari pada yang tertangkap pada musim timur. Hasil uji t dengan asumsi ragam tidak sama menunjukkan fekunditas, berat telur dan berat tubuh rajungan betina ovigerous seragam (p>0.05) antara yang tertangkap pada musim timur dan musim barat (Tabel 36).

Tabel 36. Rataan fekunditas, berat telur, berat tubuh, dan indeks masa telur rajungan betina ovigerous berdasarkan musim Jumlah (ekor) Musim timur 47 Koefisien variasi (%) Musim barat 66 Koefisien variasi (%) Musim

Fekunditas (butir) 709284a 41.09 722550a 48.78

Berat telur (g) 19.90+7.38a 30.91 19.43+9.19a 36.66

Berat tubuh (g) 120.16+37.14a 37.08 129.29+47.40a 47.29

Indeks Telur 16.56 15.03

Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Rataan fekunditas rajungan betina ovigerous pada setiap bulan selama penelitian tertera pada Gambar 34. Rataan fekunditas rajungan betina ovigerous yang tertangkap setiap bulan berkisar antara 556 248 butir hingga 868 261 butir, tertinggi tertangkap pada bulan Mei dan terendah pada bulan Agustus.

. Gambar 34. Rataan fekunditas rajungan pada setiap periode penangkapan Kadar Proksimat Telur Rajungan Kadar proksimat telur rajungan betina ovigerous tertinggi adalah kadar air dan terendah kadar lemak (Tabel 37). Rataan kadar air telur rajungan berkisar antara 73.56 % hingga 82.53 %, tertinggi pada telur warna abu-abu gelap dan terendah pada telur warna kuning. Hasil ANOVA menunjukkan kadar air berbeda nyata (p<0.05) antar warna telur, serta hasil uji Tukey hanya rataan kadar air telur berwarna kuning dan orange dengan telur berwarna abu-abu gelap berbeda nyata (p<0.05). Sebaliknya, rataan kadar air telur rajungan antar warna lainnya relatif sama (p>0.05). Kadar air telur rajungan betina ovigerous meningkat sekitar 12 % dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Tabel 37).

102

Rataan kadar abu telur rajungan berkisar antara 1.57 % hingga 1.94 %, tertinggi pada telur berwarna abu-abu gelap dan terendah pada warna coklat, serta kadar abu meningkat sebesar 23.03 % dengan perubahan warna telur dari warna kuning ke warna abu-abu gelap. Hasil uji ANOVA menunjukkan kadar abu dan lemak tidak berbeda nyata (p>0.05) antar warna telur rajungan. Rataan kadar lemak telur rajungan berkisar antara 1.31 % hingga 1.71 %, tertinggi pada telur warna coklat dan terendah pada telur warna abu-abu gelap. Kadar lemak menurun sebesar 20.12 % dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap. Tabel 37. Rataan kadar proksimat telur rajungan berdasarkan warna telur Kadar proksimat (% w/w) No.

Warna Telur

1. Kuning 2. Orange 3. Coklat 4. Abu-abu gelap Perubahan (%)

Air 73.56+4.41a 76.00+2.81a 81.24+4.04ab 82.53+4.31b +12.19

Abu 1.78+0.45a 1.94+0.24a 1.57+0.52a 2.19+0.43a +23.03

Lemak 1.64+0.33a 1.66+0.33a 1.71+0.43a 1.31+0.57a -20.12

Protein 15.97+2.93b 14.38+1.99ab 11.37+3.10ab 10.93+2.92a -31.56

Karbohidrat 7.06 +1.08b 6.01 +1.03b 4.23 +1.04a 3.09 +1.09a -54.82

+ kadarnya naik .; - = kadarnya turun.; w = berat basah.; Angka pada kolom yang sama dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).

Rataan kadar protein telur rajungan berkisar antara 10.93 % hingga 15.97 %, tertinggi ditemukan pada telur warna kuning dan terendah pada warna abu-abu gelap. Hasil ANOVA menunjukkan kadar protein telur berbeda nyata (p<0.05) antar warna telur. Berdasarkan uji Tukey, hanya antara telur warna kuning dan warna abu-abu gelap yang berbeda nyata (p<0.05) kadar proteinnya, sedangkan kadar protein antar warna lain tidak berbeda nyata (p>0.05). Kadar protein dan kadar karbohidrat menurun masing-masing sebesar 31.56 % dan 54.82 % dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Tabel 37). Rataan kadar karbohidrat telur rajungan berkisar antara 3.09 % hingga 7.06 %, tertinggi ditemukan pada telur warna kuning dan terendah abu-abu gelap. Hasil analisis ANOVA menunjukkan kadar karbohidrat berbeda nyata (p<0.05) antara warna telur rajungan. Namun, hasil uji Tukey menunjukkan kadar karbohidrat telur rajungan hanya antara warna abu-abu gelap dan coklat dengan warna kuning dan coklat berbeda nyata (p<0.05), sedangkan antar kedua pasang warna telur tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Jenis dan Kadar Asam Lemak Telur Rajungan Jumlah asam lemak yang ditemukan pada telur rajungan adalah 29 jenis (Tabel 38), terdiri atas 12 jenis asam lemak jenuh atau saturated fatty acid (SFA), delapan jenis asam lemak tak jenuh tunggal atau mono unsaturated fatty acid (MUFA), dan sembilan jenis asam lemak tak jenuh jamak atau poly unsaturated fatty acid (PUFA). Jenis SFA yang dominan adalah asam palmitik, asam stearik dan asam miristik, kemudian MUFA yang dominan terdiri dari asam oleik dan asam palmitoleid. Jenis PUFA yang dominan adalah asam arakhidonat (ARA), asam eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosaheksaenoat (DHA). Asam kaprat hanya ditemukan pada warna kuning dan orange, serta asam tridekanoat hanya ditemukan pada telur warna orange

103

dan coklat, dan asam miristoleat tidak ditemukan pada warna telur abu-abu gelap. Asam nervonat hanya ditemukan pada telur warna kuning dan coklat, serta asam linolelaidat hanya ditemukan pada telur warna orange (Tabel 38). Tabel 38. Rataan kadar asam lemak telur rajungan berdasarkan warna telur Jenis asam lemak A. SFA

Kadar asam lemak (%) /Warna telur Kuning Orange Coklat 26.42+0.42c 18.83+0.18a 0.08+0.06 0.02+0.00 0.04+0.01 0.06+0.01 td 0.02+0.00 1.43+0.05 1.27+0.08 0.99+0.26 0.64+0.00 15.39+1.49 11.46+0.25 1.21+0.19 0.66+0.03 6.17+0.49 4.06+0.01 0.55+0.09 0.34+0.02 0.18+0.00 0.08+0.01 0.29+0.04 0.18+0.03 0.12+ 0.02 0.07+0.01 14.17+2.57a 11.70+0.01a 0.05 + 0.03 0.04+0.00 6.15+1.88 5.34+0.19 0.08+0.02 0.07+0.01 0.31+0.07 0.26+0.01 7.23+0.77 5.76+0.25 0.21+0.01 0.21+0.03 0.10+0.00 0.03+0.01 0.05+0.02 td 13.22+2.30ab 9.34+1.41a td 0.04+0.00 0.75+0.04 0.70+0.03 0.34+0.02 0.19+0.03

28.45+0.11d td 0.06+0.01 0.02+0.00 1.49+0.07 0.72+0.21 16.25+0.63 1.31+0.01 7.20+0.33 0.74+0.04 0.18+0.01 0.38+0.02 0.13+.0.00 14.15+0.64a 0.05+0.02 5.56+0.74 0.07+0.01 0.34+0.04 7.77+0.10 0.26+0.06 0.05+0.00 0.05+0.02 17.72+0.77bc td 0.99+0.07 0.39+0.03

Abu-abu gelap 23.11+ 0.84b td 0.04+0.01 td 0.76+0.11 0.54+0.04 12.18+0.54 1.01+0.03 7.28+0.00 0.68+0.01 0.10+0.01 0.47+0.01 0.08+0.06 9.51+0.48a td 2.65+0.11 0.05+0.01 0.24+0.01 `6.31+0.31 0.25+0.07 0.02+0.01 td 23.02+0.39c td 0.85+0.02 0.21+0.01

Perubahan (%)

-12.56 -75 Capric acid, C10:0 Lauric acid, C12:0 0 Tridecanoic acid, C13:0 0 Myristic acid, C14:0 -46.67 Pentadecanoic acid, C15:0 -45.45 Palmitic acid, C16:0 -20.86 Heptadecanoic acid, C17:0 -16.60 Stearic acid, C18:0 +17.60 Arachidic acid, C20:0 +24.77 Heneicosanoic acid, C21:0 -44.44 Behenic acid, C22:0 +63.79 Lignoceric acid, C24:0 -33.33 B. MUFA -32.89 Myristoleic acid, C14:1 0 Palmitoleic acid, C16:1 -56.88 Cis-10-Heptadecanoic acid, C17:1 -43.75 Elaidic acid, C18:1n9t -22.95 Oleic acid, C18:1n9c -12.79 Cis-11-Eicosenoic acid, C20:1 +16.28 Erucic acid, C22:1n9 -75 Nervonic acid, C24:1 0 C. PUFA +74.23 Linolelaidic acid, C18:2n9t 0 Linoleic acid, C18:2n6c +14.09 Linolenic acid, C18:3n3 -38.24 Cis-11,14-Eicosedienoic acid, 0.70+0.15 0.31+0.03 0.85+0.24 0.78+0.17 +12.23 C20:2 Cis-8,11,14-Eicosetrienoic acid, 0.20+0.02 0.16+0.01 0.25+0.02 0.16+0.00 -17.95 C20:3n6 Cis-11,14,17-Eicosetrienoic acid, 0.06+0.01 0.04+0.01 0.07+0.02 0.08+0.02 +25.00 C20:3n3 ARA, C20:4n6 3.26+0.75 2.90+0.49 3.91+0.39 7.38+0.29 +126.73 EPA, C20:5n3 3.23+0.88 2.76+0.17 4.98+0.09 7.26+0.65 +124.61 DHA, C22:6n3 4.70+0.56 2.25+0.73 6.30+0.24 6.32+0.58 +34.50 D. Total asam lemak 53.81+0.70b 39.87+1.56a 60.32+0.03c 55.64+0.93b +3.40 ∑(n-3) 8.39 5.29 11.79 13.93 +66.13 ∑(n-6) 4.39 3.91 5.395 8.55 +94.76 ∑(n-3)/∑(n-6) 1.91 1.35 2.19 1.63 -14.70 EPA/DHA 0.69 1.23 0.79 1.15 +66.99 EPA/ARA 0.99 0.96 1.27 0.98 -0.93 td tidak terdeteksi.; - kadarnya turun.; +kadarnya naik.; Angka pada baris yang sama dengan huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05).

104

Rataan kadar total asam lemak telur rajungan berkisar antara 39.87 % hingga 60.32 %, dan terbagi atas kadar SFA berkisar 18.83 % hingga 28.45 %, kadar MUFA berkisar antara 9.51 % hingga 14.17 %, dan kadar PUFA berkisar antara 9.34 % hingga 23.02 % (Tabel 38). Kadar total asam lemak dan SFA telur rajungan tertinggi ditemukan pada telur warna coklat, kadar PUFA tertinggi ditemukan pada telur warna abu-abu gelap, sedangkan kadar total asam lemak, SFA dan PUFA terendah ditemukan pada telur warna orange. Kadar MUFA tertinggi ditemukan pada telur warna kuning, dan terendah pada telur warna abu-abu gelap. Kadar SFA menurun sebesar 12.56 % dan MUFA sebesar 32.89 %, sebaliknya kadar PUFA meningkat sebesar 74.23 % dan total asam lemak sebesar 3.40 % seiring dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke abu-abu gelap (Tabel 38). Hasil uji ANOVA kadar SFA, PUFA dan total asam lemak telur berbeda nyata (p<0.05) antar warna telur rajungan, sebaliknya MUFA tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil uji Tukey menunjukkan kadar SFA antar warna telur rajungan berbeda nyata (p<0.05), dan juga kadar PUFA antara telur warna kuning dan orange dengan telur warna abu-abu gelap, serta antara telur warna orange dengan warna coklat berbeda nyata (p<0.05). Hasil uji Tukey menunjukkan kadar total asam lemak telur rajungan hanya antara warna kuning dan warna abu-abu gelap yang tidak berbeda nyata (p<0.05) (Tabel 38). Jenis SFA yang mengalami penurunan kadar terbesar adalah asam kaprik, sedangkan jenis MUFA adalah asam erucik, yaitu keduanya turun 75 % akibat perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Tabel 38). Jenis SFA yang juga menurun kadarnya adalah asam meristik, pentadecanoik, heneicosanoik dan asam lignocerik, sedangkan kadar asam behenik, asam arachidik dan asam stearik meningkat, dan kadar asam laurik dan asam tridecanoik tidak berubah dengan perubahan warna telur rajungan tersebut. Asam palmitoleik dan heptadecanoik adalah kelompok MUFA ditemukan kadarnya menurun, serta kadar asam eicosenoik meningkat, namun kadar asam miristoleik dan asam nervonik relatif tidak mengalami perubahan dengan perubahan warna telur rajungan tersebut. Kadar PUFA umumnya meningkat seiring perubahan warna telur rajungan dari kuning ke abu-abu gelap, kecuali asam linolenik dan asam eicosetrienoik (Tabel 38). Jenis PUFA yang kadarnya meningkat tajam selama perkembangan embrio rajungan adalah ARA, EPA dan DHA. Jumlah kadar asam lemak omega-3 (n-3) telur rajungan lebih tinggi dari pada asam lemak omega-6 (n-6), namun kadar kedua kelompok asam lemak tersebut meningkat dengan perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke abu-abu gelap. Rasio asam lemak n-3 terhadap asam lemak n-6 menurun dengan perubahan warna telur rajungan dari kuning ke abu-abu gelap (Tabel 38). Rasio EPA terhadap DHA meningkat sekitar 67 % dengan perubahan warna telur rajungan dari kuning ke abu-abu gelap, sebaliknya rasio EPA terhadap ARA menurun < 1 % (Tabel 38) dengan perubahan warna telur rajungan tersebut. Pembahasan Keberadaan dan Distribusi Rajungan Betina Ovigerous Keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko serupa dengan yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Asia Tenggara (Batoy et al. 1987, Ingles dan

105

Braum 1989; Nitiratsuwan et al. 2010; Ikhwanuddin et al. 2011; Kunsook 2011; Sunarto 2012; Songrak et al. 2014), yaitu dapat ditemukan sepanjang tahun. Proporsi rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini lebih kecil dari yang ditemukan di Teluk Kung Krabaen dan di Pantai Trang, Thailand, yaitu berkisar antara 4.4 % hingga 55.56 % (Kunsook 2011; Nitiratsuwan et al. 2013; Songkrak et al. 2014). Puncak keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko yang terjadi pada bulan Oktober-November lebih tinggi dibandingkan yang tertjadi pada bulan Juli-Agustus dan bulan Februari (Gambar 20). Periode waktu puncak tertinggi keberadaan rajungan betina ovigerous tersebut bersamaan juga ditemukan suhu dan salinitas lebih tinggi. Suhu dan salinitas di perairan ini pada bulan Oktober dan November lebih tinggi dari pada sepuluh bulan lainnya (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa puncak keberadaan rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko berkaitan dengan suhu dan salinitas. Hal ini didukung oleh pernyataan de Lestang et al. (2003) bahwa suhu dan salinitas sangat menentukan siklus reproduksi dan perkembangan gonad rajungan. Secara umum, proporsi rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bagian tengah (stasiun 6) dengan kedalaman berkisar antara 3.65 m hingga 9.55 m dan tipe substrat pasir dan lempung liat berpasir, pada stasiun 7 dengan kedalaman 14.0 m hingga 31.0 m dan tipe substrat lempung, dan kondisi dasar perairan berupa hamparan pasir lebih tinggi dari pada yang tertangkap pada lima stasiun lainnya. Kondisi habitat rajungan betina ovigerous pada kelima stasiun tersebut sebagian besar bertipe substrat pasir (Tabel 1 dan Gambar 25) dan ditumbuhi lamun (Tabel 2 dan Gambar 24). Distribusi rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko berdasarkan pada warna telur yang dierami tidak memperlihatkan pola yang jelas terhadap kedalaman, tipe substrat, kondisi dasar perairan dan kekeruhan (Tabel 28). Hal ini bertentangan dengan yang ditemukan pada penelitian sebelumnya (Kangas 2000; Potter dan de Lestang 2000; Potter et al. 2001; de Lestang et al. 2003; Nitiratsuwan et al. 2013) bahwa distribusi rajungan betina ovigerous dipengaruhi oleh kedalaman dan tipe substrat dan kekeruhan air. Rajungan betina ovigerous dengan warna telur dari kuning sampai abu-abu gelap hampir ditemukan pada semua tipe habitat, yaitu mulai dari bagian intertidal yang ditumbuhi oleh lamun yang padat dengan tipe substrat pasir dan relatif keruh sampai pada bagian mulut teluk dengan dasar perairan berupa hamparan pasir dengan tipe substrat lempung (Tabel 28). Keempat warna telur rajungan ovigerous ditemukan pada bagian tengah teluk (stasiun 6) dan pada bagian yang dalam (stasiun 7). Pada beberapa penelitian sebelumnya (Potter et al. 1983; Sumpton et al. 1994; Kangas 2000; Xiao dan Kumar 2004) dilaporkan bahwa rajungan betina ovigerous melakukan migrasi ke bagian perairan yang dalam dan jernih dengan kondisi substrat berpasir untuk melakukan pemijahan. Sebaliknya, pada penelitian ini rajungan betina ovigerous warna abu-abu gelap dapat ditemukan di padang lamun dengan kondisi air yang relatif keruh. Pada bagian kepala teluk (stasiun 1 dan 2) yang relatif keruh hanya pada kedalaman berkisar antara 0.35 m hingga 2.35 m dan ditumbuhi lamun yang padat tidak ditemukan betina ovigerous warna abu-abu gelap, dan juga tidak ditemukan pada stasiun 3 (Tabel 28). Rajungan betina ovigerous warna abu-abu

106

gelap juga tidak ditemukan pada stasiun 4, khususnya pada kedalaman 2.0 m hingga 3.30 m dengan kondisi lamun yang kurang padat. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi pemijahan rajungan di Teluk Lasongko tidak selamanya berlangsung pada lokasi yang dalam dengan kondisi air yang jernih, namun diduga dapat berlangsung di daerah padang lamun yang dangkal (kedalaman berkisar antara 0.40 m hingga 3.71 m) dan juga pada lokasi yang keruh (stasiun 1). Dugaan tersebut didasarkan pada hasil penelitian Arshad et al. (2006) bahwa telur rajungan berwarna abu-abu gelap tidak ada lagi perkembangan yang berarti dan telur siap menetas dalam periode waktu 12 jam hingga 24 jam. Namun, untuk membuktikan dugaan tersebut dapat dilakukan dengan mengkaji pola migrasi rajungan betina ovigerous, diantaranya dengan metode penandaan (tagging), dan juga mengalisis distribusi larva rajungan di Teluk Lasongko. Ukuran Tubuh, Diameter dan Volume Telur Ukuran lebar karapas tubuh rajungan betina ovigerous yang tertangkap di Teluk Lasongko bervariasi, yaitu berkisar antara 86.6 mm hingga 162.3 mm dengan berat tubuh berkisar antara 42.75 g hingga 314.22 g. Koefisien variasi lebar karapas rajungan betina ovigerous berkisar antara 7.56 % hingga 9.94 % dan berat tubuh berkisar antara 24.55 % hingga 32.57 %. Hal ini menunjukkan bahwa berat tubuh rajungan betina ovigerous lebih bervariasi dari pada lebar karapas. Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur dan barat lebih bervariasi dari pada berdasarkan stasiun dan warna telur yang dierami. Ukuran rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada stasiun 7 lebih besar, sebaliknya yang tertangkap pada stasiun 1 dan 2 lebih kecil dibandingkan dengan yang tertangkap pada stasiun lainnya. Stasiun 7 terletak pada bagian mulut teluk dan perairannya lebih dalam (>14 m sampai 31 m) sedangkan stasiun 1 dan 2 terletak di bagian kepala teluk dengan kondisi perairan lebih keruh dan dangkal (1 m sampai 4 m). Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous TKG I ditemukan lebih kecil dibandingkan dengan ukuran rajungan dengan TKG II, III dan IV. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim barat lebih besar dari pada musim timur. Rajungan betina ovigerous terbesar tertangkap di stasiun 7 pada bulan November dengan telur berwarna kuning muda dan kondisi gonad TKG III, sedangkan yang terkecil tertangkap di stasiun 3 pada bulan Maret dengan telur berwarna orange dan kondisi gonad TKG I. Rajungan betina ovigerous terkecil tersebut tertangkap pada bagian intertidal dan jarak dari garis pantai sekitar 100 m dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi lamun yang padat dan kedalaman air sekitar 100 cm. Ukuran lebar karapas rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini menunjukkan ukuran lebar karapas rajungan betina dewasa dan telah mampu melakukan reproduksi. Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini masih dalam kisaran lebar karapas rajungan betina ovigerous yang ditemukan beberapa lokasi perairan di Asia Tenggara. Lebar karapas rajungan betina ovigerous di Perairan Malaysia Timur dan Barat, yaitu berkisar antara 96.4 mm hingga 193 mm (Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al. 2011, 2012a), ukuran terkecil ditemukan di Pantai Johor Baru, Malaysia Barat (Ikhwanuddin et al. 2012a), dan ukuran terbesar ditemukan di Pantai Sematan, Serawak, Malaysia Timur (Ikhwanuddin et al. 2011). Lebar karapas rajungan betina ovigerous yang ditemukan

107

di perairan Thailand berkisar antara 64.5 mm hingga 141.5 mm (Nitiratsuwan et al. 2010; Kunsook et al. 2011; Songrak et al. 2014), ukuran terbesar dan terkecil ditemukan di Pantai Trang (Nitiratsuwan et al. 2010). Ukuran rajungan betina ovigerous yang ditemukan pada penelitian ini lebih kecil dari yang ditemukan di Perairan Malaysia Timur dan Barat, namun lebih besar dari yang ditemukan di Perairan Thailand. Adanya perbedaan ukuran rajungan betina ovigerous tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan tipe perairan, kondisi habitat dan tekanan penangkapan antar lokasi perairan. Hal ini didukung oleh Kangas (2000) dan Potter (2000) bahwa rajungan betina ovigerous yang ditemukan di estuari lebih kecil atau lebih muda dari pada yang ditemukan di perairan teluk. Diameter telur pada setiap warna yang ditemukan pada penelitian ini lebih kecil dari yang dilaporkan pada penelitian sebelumnya, yaitu berkisar antara 300 µm hingga 420 µm (Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Ikhwanuddin et al. 2011, 2012a; Safaie et al. 2013). Volume telur rajungan yang ditemukan pada penelitian ini lebih kecil dari yang dilaporkan oleh Ravi dan Manisseri (2013). Namun demikian, pola perubahan ukuran telur yang ditemukan pada penelitian ini identik dengan yang ditemukan pada penelitian sebelumnya (Arshad et al. 2006; Soundarapandian dan Tamizhazhagan 2009; Ikhwanuddin et al. 2011, 2012a; Ravi dan Manisseri 2013; Safaie et al. 2013) bahwa selama perkembangan embrio rajungan diantaranya mengalami perubahan ukuran dan warna telur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran telur selama perkembangan embrio yang ditandai dengan perubahan warna telur dari warna kuning ke abu-abu gelap masingmasing sebesar 25.16 % untuk diameter telur dan volume telur sebesar 91.76 %. Peningkatan diameter dan volume telur tersebut disebabkan oleh ukuran embrio yang dierami semakin bertambah besar dan juga karena volume air dalam telur semakin meningkat (Arshad et al. 2006; Liao et al. 2011; Ravi dan Manisseri 2013). Tingkat Kematangan Gonad Rajungan betina ovigerous ditemukan dengan TKG I sampai TKG IV mencapai sekitar 76 % dari total contoh rajungan, dan 24 % dengan kondisi gonad belum berkembang. Rajungan betina ovigerous dengan TKG I sampai IV yang tertangkap pada musim barat lebih tinggi dari pada musim timur, yaitu masing-masing sekitar 50 % dan 26 %. Sebaliknya, rajungan betina ovigerous dengan gonad belum berkembang yang tertangkap pada musim timur lebih tinggi dari pada musim barat, yaitu masing-masing dengan proporsi 14 % dan 10 %. Proporsi rajungan betina ovigerous dengan TKG IV cenderung meningkat dari warna kuning ke warna abuabu gelap, dan proporsi rajungan betina ovigerous dengan gonad belum berkembang semakin menurun. Proporsi setiap TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun, warna telur serta periode dan musim penangkapan ditemukan bervariasi (Tabel 32, Gambar 25 dan 26). Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada setiap stasiun sebagian besar cenderung didominasi oleh rajungan yang belum matang gonad, kecuali yang tertangkap pada stasiun 7 antara rajungan yang matang gonad dan belum matang gonad adalah seimbang, namun tidak ditemukan TKG IV.

108

Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa ada perbedaan warna telur pada setiap stadia kematangan gonad. Rajungan betina ovigerous berwarna kuning dan orange umumnya merupakan rajungan yang belum matang gonad, sedangkan rajungan betina dengan telur warna coklat dan abu-abu gelap antara yang matang gonad dengan yang belum matang gonad adalah seimbang. Namun, demikian proporsi rajungan betina ovigerous yang matang gonad meningkat dengan perubahan warna telur dari warna kuning ke warna abu-abu gelap (Gambar 26). Berdasarkan warna telur menunjukkan bahwa peningkatan TKG rajungan betina ovigerous terjadi seiring dengan perubahan warna telur rajungan, yaitu dari warna kuning ke warna abu-abu gelap. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan gonad dalam tubuh rajungan betina ovigerous terjadi bersamaan (paralel) dengan perkembangan embrio yang ada di luar tubuhnya. Adanya perkembangan kematangan gonad dan embrio rajungan betina ovigerous berlangsung paralel yang ditemukan pada penelitian ini, merupakan suatu bukti bahwa rajungan dapat mengeluarkan telur lebih dari satu tahap (batch) telur dalam satu musim pemijahan atau dengan kata lain rajungan memijah secara parsial (partial spawner). Gonad yang sedang berkembang dalam tubuh rajungan betina ovigerous akan dikeluarkan pada tahap berikutnya dalam musim pemijahan yang sama, dan hal ini berpotensi meningkatkan hasil reproduksi rajungan. TKG dan proporsi setiap TKG rajungan betina ovigerous yang ditemukan dalam penelitan ini pada setiap periode penangkapan cukup bervariasi. Rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur dan barat didominasi oleh TKG I dan II (belum matang gonad), namun proporsi rajungan betina ovigerous dengan TKG III dan IV yang tertangkap pada musim barat lebih tinggi dari pada yang tertangkap pada musim timur, sedangkan untuk TKG I dan II (belum matang gonad) terjadi sebaliknya (Tabel 31). Hal ini memperkuat bukti yang dinyatakan pada bagian sebelumnya (Bab 4) bahwa puncak musim pemijahan rajungan tertinggi di Teluk Lasongko terjadi pada bulan Oktober-November atau pada musim barat (Gambar 20). Rataan IKG setiap TKG rajungan betina ovigerous berdasarkan stasiun, warna dan musim berkisar antara 0.17 hingga 3.39 (Tabel 31), dan ditemukan cukup bervariasi, namun antar stasiun dan warna telur rajungan tidak berbeda nyata (p>0.05), kecuali antar musim. Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous pada penelitian ini berkisar antara 0.45 hingga 1.93 (Gambar 20), lebih rendah dari yang ditemukan di Pantai Cochin, yaitu berkisar antara 0.50 dan 3.16 (Pillay dan Nair 1971). Rataan IKG total bulanan rajungan betina ovigerous pada penelitian ini lebih rendah dari pada rataan IKG total bulanan rajungan betina yang belum ovigerous, yaitu berkisar antara 1.80 hingga 4.55 (Gambar 19) dan mirip dengan yang ditemukan di Pantai Cochin, India, yaitu berkisar 0.17 hingga 6.85 (Pillay dan Nair 1971). Hal ini diduga karena alokasi penggunaan energi untuk reproduksi pada rajungan betina ovigerous terbagi untuk perkembangan embrio dan perkembangan gonad sehingga berat gonad yang dihasilkan lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa berat gonad rajungan betina ovigerous pada TKG II, III dan IV umumnya lebih rendah dari pada rajungan betina yang belum mencapai ovigerous. Hal ini didukung oleh penelitian Oniam et al. (2014) bahwa fekunditas rajungan yang

109

dihasilkan pada pemijahan pertama lebih tinggi dari pada yang dihasilkan pada pemijahan kedua untuk rajungan betina ovigerous yang sama. IKG rajungan betina ovigerous pada penelitian ini juga lebih rendah dari IKG Scylla olivacea, yaitu berkisar antara 0.66 hingga 10.22 (Azmie et al. 2012) dan P. sanguinolentus yang belum ovigerous, berkisar 1.26 hingga 4.90 (Soundarapandian et al. 2013b). IKG rajungan betina ovigerous semakin besar dengan meningkatnya tingkat kematangan gonad karena ukuran gonad semakin bertambah besar. IKG rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada musim timur lebih tinggi dari pada yang tertangkap pada musim barat (Tabel 31), karena diduga ketersediaan makanan rajungan pada musim timur lebih tinggi dari pada musim barat. IKG rajungan betina ovigerous tertinggi tertangkap pada bulan April dan terendah tertangkap pada bulan Agustus (Gambar 20). IKG rajungan betina ovigerous pada bulan Agustus lebih rendah dibandingkan dengan pada bulan lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh delapan ekor rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada bulan tersebut, tujuh ekor diantaranya ditemukan dengan TKG I dan satu ekor dengan TKG II. Fekunditas Rataan berat basah masa telur rajungan betina ovigerous yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap stasiun berkisar antara 16.32 g hingga 22.99 g, dan berdasarkan kelas ukuran berkisar antara 12.25 g hingga 54.46 g, serta berdasarkan warna telur berkisar antara 18.67 g hingga 21.35 g. Berat telur rajungan yang diperoleh pada penelitian ini lebih ringan dari pada yang dilaporkan sebelumnya (Arshad et al. 2006; Josileen 2013), yaitu berkisar antara 11.96 g hingga 61.5 g, namun lebih berat dari yang dilaporkan oleh Sukumaran dan Neelakantan (1997, 1998), yaitu berkisar antara 1.99 g hingga 25.29 g. Ukuran tubuh (berat tubuh dan lebar karapas) dan berat basah telur rajungan betina ovigerous pada penelitian ini ditemukan bervariasi, dan menjadi penyebab bervariasinya fekunditas rajungan di Teluk Lasongko. Namun, hasil uji statistik (ANOVA) menunjukkan bahwa berat basah dan berat kering telur rajungan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar warna telur rajungan betina ovigerous (Tabel 30). Indeks masa telur rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko cenderung meningkat dengan meningkatnya ukuran tubuh dan perubahan warna telur. Indeks masa telur pada penelitian ini lebih tinggi dari Sukumaran dan Neelakantan (1997a) dan Josileen (2013), namun indeks masa telur dari kedua penelitian ini tidak memperlihatkan pola yang jelas terhadap perubahan ukuran tubuh rajungan betina ovigerous. Hubungan linear berat tubuh dan berat telur rajungan betina ovigerous menunjukkan hubungan yang sangat nyata, berkorelasi kuat serta positif. Secara umum, rajungan betina ovigerous yang tubuhnya lebih berat memiliki bobot telur yang lebih tinggi juga, namun pada kasus tertentu anggapan tersebut tidak berlaku. Berat telur rajungan terkecil (1.67 g) pada penelitian ini ditemukan pada rajungan betina ovigerous dengan berat tubuh 166.23 g dan lebar karapas 136.9 mm. Fekunditas rajungan yang ditemukan di Teluk Lasongko cukup bervariasi, yaitu berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir dengan rataan 717 032 butir, dan rataan fekunditas tersebut lebih rendah dari pada di Pantai Pati (Ernawati 2013). Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko masih dalam kisaran fekunditas rajungan

110

yang ditemukan pada beberapa lokasi di Asia Tenggara, yaitu berkisar 105 443 butir hingga 2 132 924 butir (Batoy et al. 1987, 1988; Arshad et al. 2006; Ikhwanuddin et al. 2011, 2012a; Oniam et al. 2012; Songrak et al. 2014). Fekunditas rajungan tertinggi ditemukan di Pantai Sematan, Sarawak, Malaysia Timur (Ikhwanuddin et al. 2011), dan terendah di Pantai Johor, Malaysia Barat (Ikhwanuddin et al. 2012a). Hasil penelitian fekunditas pada beberapa penelitian di Asia Tenggara menunjukkan bahwa fekunditas rajungan bervariasi antar lokasi perairan (Tabel 39). Tabel 39. Rataan fekunditas, berat telur dan lebar karapas (LK) rajungan betina ovigerous pada beberapa perairan di Asia Tenggara Lokasi Teluk Kung Krabaen, Thailand Pantai Trang, Thailand Port Dickson, Malayasia Sematan-Sawarak, Malayasia Pantai Johor, Malaysia Pantai Pati, Indonesia Teluk Lasongko, Indonesia *)

Fekunditas Berat telur LK (butir) (g) (mm) 572 138 26.62 118.8 472 357 80.9 *) 766 651 44.77 141.04 2 132 924 16.5 105 443 112.88 957 200 124.88 717 032 19.71 118.87

Sumber Kunsook 2011 Songrak et al. 2014 Arshad et al. 2006 Ikhwanuddin et al. 2011 Ikhwanuddin et al. 2012a Ernawati 2013 Penelitian ini

lebar karapas dalam.; - tidak ada data.

Variasi fekunditas rajungan terbesar pada penelitian ini ditemukan berdasarkan kelas ukuran, yaitu dengan koefisien variasi berkisar antara 23.13 % hingga 71.49 %, sedangkan yang terkecil berdasarkan warna telur rajungan betina ovigerous, yaitu berkisar antara 23.98 % hingga 49.67 %. Hal ini menunjukkan bahwa ada kecederungan fekunditas meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran rajungan, namun besarnya peningkatan tersebut bervariasi pada kelas ukuran yang sama. Rataan fekunditas rajungan yang dominan ditemukan di Teluk Lasongko berkisar antara 694 927 butir hingga 599 717 butir dengan kelas ukuran lebar karapas rajungan betina ovigerous 116.7-126.6 mm dan 106.7-116.6 mm (Tabel 34). Fekunditas rajungan di Pantai Karnataka didominasi oleh 324 218 butir dan 541 610 butir pada kelas ukuran lebar karapas rajungan betina ovigerous 110-120 mm dan 140-150 mm (Sukumaran 1995; Sukumaran dan Neelakantan1997a), dan di Pantai Mandapan, India 640 431 butir dengan lebar karapas 120-129 mm (Josileen 2013). Rataan fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berdasarkan warna telur rajungan betina ovigerous berkisar antara 700 698 butir hingga 733 794 butir dengan rataan lebar karapas berkisar antara 117.2 mm hingga 120.0 mm (Tabel 7), tertinggi ditemukan pada warna coklat muda dan terendah pada warna kuning. Hubungan antara lebar karapas, berat tubuh rajungan betina ovigerous dan berat telur dengan fekunditas menunjukkan hubungan linear yang sangat nyata, berkolerasi kuat dan positif. Hal ini menunjukkan bahwa pertambahan lebar karapas, berat tubuh dan berat masa telur akan diikuti oleh peningkatan fekunditas rajungan. Nilai koefisien determinasi (R2) hubungan berat telur dengan fekunditas rajungan lebih tinggi dari pada hubungan lebar karapas dan berat tubuh tubuh rajungan betina ovigerous. Hal ini disebabkan oleh lebar karapas berhubungan sangat kuat dengan

111

ukuran lebar dan panjang abdomen rajungan betina (Tabel 14 dan Gambar 11). Ukuran abdomen rajungan betina dewasa semakin besar, karena berfungsi untuk menampung telur selama dierami atau perkembangan embrio. Oleh karena itu, untuk memprediksi fekunditas rajungan secara empiris dengan persamaan regresi linear lebih tepat apabila menggunakan berat telur dari pada lebar karapas dan berat total tubuh rajungan betina ovigerous sebagai variabel penduga. Kadar Proksimat Telur Kadar abu telur rajungan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu telur Podophthalmus vigil (Soundarapandian et al. 2013f) dan daging rajungan betina (Hamsa 1978; Chaiyawat et al. 2008). Kadar abu telur rajungan pada penelitian ini juga ditemukan meningkat (23.03 %) selama perkembangan embrio yang ditandai dengan perubahan warna telur dari kuning ke warna abu-abu gelap. Hal ini identik dengan yang ditemukan pada telur Hyas araneus (Petersen dan Anger 1997) dan Chionoecetes opilio (Reppond et al. 2008). Kadar lemak, protein dan karbohidrat telur rajungan pada penelitian ini ditemukan menurun selama perkembangan embrio, hal ini terlihat dari perubahan warna telur rajungan dari warna kuning ke abu-abu gelap. Sebaliknya, pada penelitian Radhakrishnan (2000) dan Khoei et al. (2012) ditemukan kadar lemak telur rajungan meningkat akibat perubahan warna telur rajungan dari kuning ke coklat, namun kadar protein dan karbohidrat menurun. Jenis dan Kadar Asam Lemak Telur Jenis asam lemak telur rajungan selama perkembangan embrio yang ditandai oleh perubahan warna telur dari kuning ke abu-abu gelap juga mengalami perubahan jumlah jenis dan kadar. Jumlah jenis asam lemak telur rajungan yang ditemukan pada penelitian ini 29 jenis. Jenis-jenis asam lemak telur rajungan yang penting dan berperan sebagai sumber energi dan materi yang utama dalam perkembangan embrio rajungan yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari asam palmitat, stearat, palmitoleat, oleat, ARA, EPA dan DHA. Kadar ketujuh jenis asam lemak tersebut ditemukan lebih tinggi dari pada jenis asam lemak lainnya, yaitu berkisar antara 2.25 % hingga 7.77 % (Tabel 38). Penurunan kadar total asam lemak, SFA dan PUFA telur rajungan terbesar ditemukan pada telur warna orange, sedangkan MUFA terjadi pada telur berwarna abu-abu gelap (Tabel 38). Kadar MUFA, khususnya asam palmitoleik ditemukan menurun drastis pada telur rajungan warna abu-abu gelap. Hal ini menunjukkan bahwa MUFA banyak digunakan sebagai sumber energi dan materi pada akhir perkembangan embrio rajungan. Kadar SFA dan MUFA telur rajungan selama perkembangan embrio yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna telur dari warna kuning ke warna abuabu gelap umumnya menurun, kecuali asam arakhidat, asam stearat dan asam behenat untuk SFA, dan asam eikosenoat untuk MUFA. Selama perkembangan embrio rajungan pada penelitian ini ditemukan kadar SFA menurun 12.56 % dan MUFA 32.89 %, sebaliknya kadar PUFA meningkat 74.23 %. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok SFA dan MUFA digunakan sebagai sumber energi selama perkembangan embrio rajungan, namun pemanfaatan MUFA lebih besar dari pada SFA. Temuan ini

112

identik dengan ditemukan pada beberapa jenis dekapoda yang hidup di laut, Polybius henslowii, Macropipus tuberculatus dan Plesionika narval (Rosa et al. 2007). PUFA telur rajungan pada penelitian ini sebagian besar cenderung kurang dimanfaatkan selama perkembangan embrio dilihat dari kadar PUFA dengan perubahan warna telur dari warna kuning ke abu-abu gelap ditemukan meningkat, kecuali asam linolenik dan asam eicosetrienoik (Tabel 38). PUFA, khususnya jenis asam lemak esensial (ARA, EPA dan DHA) umumnya digunakan sebagai sumber energi pada larva rajungan yang baru menetas. Kadar ARA, EPA dan DHA pada telur rajungan warna orange menurun drastis, namun pada telur rajungan warna coklat dan abu-abu gelap kadarnya meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga jenis asam lemak tersebut banyak dimanfaatkan pada tahap gastrula dan pembentukan placode mata embrio rajungan, dan pada tahap selanjutnya sebagian besar disimpan sebagai cadangan energi dan digunakan pada tahap awal larva (zoea) rajungan. Hal ini merupakan strategi rajungan untuk meningkatkan kelangsungan hidup larva yang baru ditetaskan.

1.

2.

3. 4. 5.

Simpulan Distribusi rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dari warna kuning sampai warna abu-abu gelap ditemukan pada berbagai tipe habitat, dan frekuensi tertangkap pada stasiun 6 dan 7 cenderung lebih tinggi dari pada lima stasiun lainnya, Tingkat kematangan gonad rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko cenderung meningkat seiring dengan perubahan warna telur dari warna kuning menjadi warna abu-abu gelap, Tipe pemijahan rajungan di Teluk Lasongko bersifat parsial (partial spawner), Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir (rataan 717 032 + 327 140 butir), dan Kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan mengalami perubahan seiring dengan perubahan warna telur.

113

6 DINAMIKA POPULASI RAJUNGAN (Portunus pelagicus Linnaeus 1758) DI TELUK LASONGKO Pendahuluan Parameter dinamika populasi atau yang lazim disebut dengan parameter populasi meliputi parameter pertumbuhan, rekrutmen dan kematian. Jika salah satu parameter tersebut berubah, maka akan mempengaruhi perubahan struktur dan keberadaan populasi rajungan pada suatu perairan, sehingga keberadaan data struktur dan parameter populasi rajungan merupakan informasi yang dibutuhkan dalam menyusun kebijakan pengelolaan rajungan (Potter et al. 2001; Dineshbabu et al. 2008; Kamrani et al. 2010; Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Nilai parameter populasi rajungan diantaranya dipengaruhi oleh intensitas penangkapan yang terjadi pada suatu perairan. Penelitian pendugaan parameter populasi rajungan di Indonesia sebelum tahun 2010 masih jarang dilakukan (Kembaren et al. 2012). Data parameter populasi rajungan sangat dibutuhkan dalam pengelolaan yang rasional untuk mendukung kelestarian populasi rajungan dan keberlanjutan penangkapannya. Penelitian parameter populasi rajungan di Indonesia, diantaranya telah dilakukan di Perairan Bangkalan (Muhsoni dan Abida 2009), Perairan Brebes (Sunarto 2012), Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), Perairan Pati (Ernawati 2013), dan Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014). Hasil dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa parameter populasi rajungan juga bervariasi antar lokasi perairan. Teluk Lasongko terletak di Pulau Muna dan secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Buton Tengah Provinsi Sulawesi Tenggara. Perairan ini merupakan daerah penangkapan rajungan di Kabupaten Buton Tengah dan telah lama dilakukan penangkapan oleh nelayan di kawasan Teluk Lasongko. Penangkapan rajungan secara intensif di perairan ini telah terjadi sejak awal tahun 2000-an, akibat permintaan pasar rajungan semakin tinggi (Hamid 2011). Sejak kurun waktu tersebut telah terjadi perubahan penggunaan alat tangkap rajungan dari bubu yang terbuat dari anyaman bambu ke gillnet dasar. Jenis alat tangkap rajungan yang dominan digunakan di Teluk Lasongko pada saat ini adalah bubu lipat. Dampak dari penangkapan intensif dan perubahan jenis alat tangkap yang digunakan tersebut dapat berpengaruh terhadap struktur populasi dan parameter populasi serta keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko. Parameter populasi dan tingkat eksploitasi rajungan di Teluk Lasongko sampai saat ini belum diketahui. Keadaan ini merupakan salah satu hambatan untuk melakukan upaya pengelolaan rajungan yang rasional di perairan ini. Oleh karena itu, penelitian tentang parameter-parameter populasi dan tingkat eksploitasi rajungan di Teluk Lasongko perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek (1) struktur kelompok ukuran, (2) pertumbuhan, rekrutmen dan kematian, serta (3) tingkat eksploitasi populasi rajungan.

114

Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Tengah. Perairan ini secara administratif terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lakudo dan Mawasangka Timur, dan teluk ini terletak pada posisi 05o15’-05o27’ LS dan 122o27’-122o33’ BT (Gambar 2). Penelitian berlangsung mulai dari bulan April 2013 sampai Maret 2014. Penentuan Stasiun Lokasi stasiun pengambilan contoh rajungan dilakukan mulai pada bagian kepala teluk sampai bagian mulut teluk, lokasi ini merupakan daerah penangkapan rajungan di Teluk Lasongko. Jumlah stasiun pengambilan contoh rajungan pada penelitian ini sebanyak tujuh stasiun. Stasiun ditentukan berdasarkan kondisi padang lamun, tipe substrat dan kedalaman perairan. Rincian kondisi setiap stasiun telah dijelaskan pada Bab 2. Pengukuran Parameter Dinamika Populasi Rajungan Populasi rajungan yang tersebar di Teluk Lasongko dianggap berasal dari satu populasi, karena tidak terpisah oleh hambatan geografis (mulai dari bagian mulut sampai kepala teluk) sehingga saling berinteraksi untuk melakukan aktivitas reproduksi, khususnya untuk melangsungkan perkawinan dan pemijahan secara acak. Rajungan di perairan ini mempunyai pola reproduksi (pemijahan), pertumbuhan dan kematian yang sama pada seluruh perairan Teluk Lasongko. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam analisis parameter dinamika populasi rajungan tidak dipisahkan menurut stasiun dan tipe habitat. Data yang digunakan untuk analisis parameter dinamika populasi rajungan menggunakan data lebar karapas rajungan yang diperoleh pada setiap periode penangkapan. Data ini telah ditabulasi dalam bentuk distribusi frekuensi ukuran lebar karapas pada setiap kelas ukuran seperti dijelaskan pada Bab 3 bagian distribusi frekuensi kelas ukuran. Parameter populasi rajungan yang dianalisis berdasarkan data tersebut meliputi kelompok ukuran, parameter pertumbuhan (lebar karapas infinitif, koefisien pertumbuhan dan umur teoritis), parameter kematian (kematian total, alami, dan penangkapan), rekrutmen dan tingkat eksploitasi. Penentuan Kelompok Ukuran Pemisahan kelompok ukuran rajungan berdasarkan ukuran lebar karapas kedua jenis kelamin rajungan dan dianalisis dengan metode Bhattacharya. Metode ini merupakan salah satu metode grafis untuk memisahkan data sebaran frekuensi lebar karapas rajungan ke dalam beberapa distribusi normal dengan menggunakan FISAT II pada sub program modal progression analysis (Gayanilo et al. 2005). Pendugaan Parameter Pertumbuhan Parameter pertumbuhan rajungan jantan dan betina ditentukan dengan persamaan pertumbuhan panjang von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) dan

115

dalam menganalisis parameter pertumbuhan rajungan jantan dan betina dilakukan secara terpisah. Parameter pertumbuhan rajungan diduga dengan ELEFAN I sebagai sub program FISAT II (Gayanilo et al. 2005). Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy didasarkan pada lebar karapas rajungan sebagai berikut : LKt = LK∞ [1-e-K(t-to)] ...……….…................................... (18) LKt lebar karapas rajungan pada saat t (mm), LK∞ lebar karapas infinitif rajungan (mm), K koefisien pertumbuhan von Bertalanffy (tahun-1), t umur dugaan rajungan (tahun), dan to umur teoritis rajungan (tahun). Umur teoritis rajungan diduga dengan menggunakan persamaan empiris (Pauly 1984), yaitu sebagai berikut : Log-to = -0.3952 - 0.2752 log LK∞ - 1.038 log K

...................... (19)

Indeks performa pertumbuhan berdasarkan Pauly (1984) digunakan untuk membedakan performa pertumbuhan antara rajungan jantan dan betina dengan persamaan seperti berikut : Ø = log K+2 log LK∞

............................................. (20)

Ø adalah indeks performa pertumbuhan rajungan, LK∞ lebar karapas infinitif rajungan (mm), dan K koefisien pertumbuhan (tahun-1). Pendugaan Rekrutmen Rajungan Data yang digunakan untuk menduga nilai rekrutmen terdiri dari data frekuensi ukuran panjang karapas gabungan jantan dan betina, nilai LK∞, nilai K, dan nilai to. Rekrutmen dihitung secara teoritis dengan menggunakan sub program recruitment patterns dari FISAT II (Gayanilo et al. 2005), yaitu dengan memasukkan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy (LK∞, K dan to), dan akan dihasilkan grafik puncak-puncak rekrutmen rajungan setiap bulan. Pendugaan Tingkat Kematian dan Eksploitasi Tingkat kematian total (Z) rajungan juga ditentukan dengan menggunakan program FISAT II (Gayanilo et al. 2005). Data yang digunakan untuk menduga nilai kematian total (Z) rajungan adalah berdasarkan data distribusi frekuensi ukuran lebar karapas rajungan jantan dan betina dengan kurva hasil tangkapan yang dikonversi ke panjang linear dengan interval waktu yang sama (Pauly 1984; Sparre dan Venema 1999; Gayanilo et al. 2005) dan persamaannya sebagai berikut : ln (N/Δt) = a + bt

.............................................. (21)

N jumlah rajungan dalam kelas ukuran tertentu (ekor), Δt waktu yang dibutuhkan rajungan untuk tumbuh dalam kelas ukuran (tahun), t umur relatif (tahun), a intersep dan b koefisien regresi. Nilai Z sama dengan nilai b yang diperoleh dari persamaan regresi antara logaritma natural dari kurva hasil tangkapan dikonversi ke dalam lebar karapas rajungan yang dihasilkan dengan program FISAT II. Tingkat kematian alami rajungan (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1984) dengan persamaan berikut : Log (M) = -0,0066-0,279 Log (LK∞) +0,6543 Log (K) +0,4637 log (T) ... (22)

116

LK∞ lebar karapas infinitif rajungan (mm), K koefisien pertumbuhan rajungan (tahun-1), dan T suhu rataan tahunan perairan Teluk Lasongko (oC). Kematian penangkapan (F) ditentukan berdasarkan pengurangan kematian total (Z) dengan kematian alami (M), dan dihitung dengan persamaan berikut : F=Z-M

.......................................................... (23)

Tingkat eksploitasi (E) merupakan rasio antara kematian penangkapan (F) dengan kematian total (Z) (Pauly 1984; Sparre dan Venema 1999; Sawusdee dan Songrak 2009; Kamrani et al. 2010 ), sehingga nilai E diduga dengan persamaan berikut : E=

..................................................................... (24)

Jika nilai E> 0.5 menunjukkan tingkat eksploitasi rajungan tergolong tangkap lebih (overfishing), E=0.5 menandakan tingkat eksploitasi rajungan optimum, dan E<0.5 berarti tingkat eksploitasinya masih rendah (Pauly 1984). Analisis Hasil Per Rekrutmen Relatif Rajungan Hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) rajungan dianalisis dengan model Beverton dan Holt 966 dalam Gayanilo et al. 2005 yang terdapat dalam program FISAT II dengan pendekatan rekrutmen mata pisau (knife-edge recruitment fishery) (Sparre dan Venema 1999). Data yang digunakan dalam analisis Y’/R rajungan adalah data distribusi frekuensi lebar karapas gabungan rajungan jantan dan betina berdasarkan periode penangkapan. Persamaan yang digunakan dalam analisis Y’/R tersebut adalah sebagai berikut : Y’/R = E.UM/K(

............... (25)

Nilai U dan m dimasukan dalam persamaan (19) masing-masing diperoleh dari persamaan (26) dan (27) sebagai berikut : U=( m =(



)

......................................................... (26)

)=

)

............................................. (27)

U adalah bagian dari pertumbuhan yang harus dicapai setelah masuk ke dalam fase eksploitasi tertentu, E tingkat eksploitasi, K koefisien pertumbuhan von Bertalanffy (tahun-1), m koefisien pertumbuhan terhadap kematian total, Lk∞ lebar karapas rajungan infinitif (mm), LKc lebar karapas rajungan pertama kali tertangkap dengan gill net, F kematian penangkapan, M kematian alami, dan Z kematian total (M+F).

Hasil Kelompok Ukuran dan Peluang Ukuran Tertangkap Berdasarkan modal progress analysis dengan metode Bhattacharya diperoleh kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap periode penangkapan seperti tertera pada Tabel 40. Rajungan jantan yang tertangkap

117

pada bulan April, Mei, Juli, Agustus, Oktober, November, Februari dan Maret hanya satu kelompok ukuran dengan nilai tengah lebar karapas berkisar antara 99.50 mm hingga 119.10 mm. Nilai tengah lebar karapas jantan terbesar tertangkap pada bulan Oktober, dan terkecil tertangkap pada bulan Februari. Sebaliknya, rajungan jantan yang tertangkap pada bulan Juni, September, Desember dan Januari terdiri dari dua kelompok ukuran. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok pertama berkisar antara 89.00 mm hingga 97.30 mm, dan kelompok kedua berkisar antara 116.49 mm hingga 124.48 mm. Ukuran rajungan jantan terbesar kelompok pertama tertangkap pada bulan September, dan kelompok kedua tertangkap pada bulan Desember, sedangkan ukuran terkecil tertangkap pada bulan Januari. Jumlah populasi kelompok kedua umumnya lebih banyak dari pada kelompok pertama, kecuali rajungan jantan tertangkap pada bulan September. Tabel 40. Distribusi frekuensi lebar karapas rajungan jantan dan betina pada setiap periode penangkapan di Teluk Lasongko Bulan April-13 Mei-13 Juni-13 Juli-13 Agus-13 Sept-13 Okto-13 Nov-13 Des-13 Jan-14 Feb-14 Mar-14

∑ Kelompok Jantan Betina 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 1 2 2 1 1 1 1 2

Nilai tengah (mm) Jantan Betina 107.09 104.80 139.80 104.80 107.39 96.00 104.80 120.72 104.80 107.00 106.02 106.41 97.30 114.80 123.54 119.10 123.82 114.80 118.45 139.80 97.00 89.80 124.48 125.49 89.00 97.54 116.49 124.29 99.50 111.77 104.80 97.24 123.10

Sd (mm) Jantan Betina 11.11 12.47 12.35 12.80 13.40 5.88 14.76 9.09 13.04 16.81 8.77 12.42 6.01 13.89 6.72 8.52 8.66 11.92 10.26 8.10 8.86 10.45 8.94 8.25 8.74 12.01 8.89 8.52 13.09 14.36 12.59 10.71 14.73

∑ Populasi Jantan Betina 61 52 7 100 81 28 58 31 43 52 28 40 14 36 7 38 46 25 35 10 23 12 30 31 25 30 57 45 39 46 45 21 33

Struktur ukuran populasi rajungan betina yang tertangkap pada bulan April, November, Desember, Januari dan Maret ditemukan dua kelompok ukuran dengan nilai tengah lebar karapas rajungan betina kelompok pertama berkisar antara 89.80 mm hingga 118.45 mm, serta kelompok kedua antara 123.10 mm hingga 139.80 mm. Rajungan betina terbesar pada kelompok pertama tertangkap pada bulan November dan terkecil tertangkap pada bulan Desember. Sebaliknya, ukuran terbesar pada kelompok kedua tertangkap pada bulan November dan bulan April, serta ukuran terkecil tertangkap pada bulan Maret. Jumlah populasi rajungan betina kelompok kedua tertangkap pada bulan Desember, Januari dan Maret lebih banyak dari pada kelompok pertama, sebaliknya jumlah populasi rajungan betina kelompok pertama tertangkap pada bulan April dan November lebih banyak dari pada kelompok kedua. Populasi rajungan betina yang tertangkap pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus,

118

September, Oktober dan Februari satu kelompok ukuran dengan nilai tengah lebar karapas berkisar antara 104.80 mm hingga 123.82 mm. Rajungan betina terbesar tertangkap pada bulan Oktober dan terkecil tertangkap pada bulan Juni. Distribusi frekuensi kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko cenderung berbeda. Populasi rajungan jantan yang terdiri dari dua kelompok ukuran ditemukan selama empat bulan dan tidak berada pada periode waktu yang berurutan. Sebaliknya, populasi rajungan betina yang terdiri dari dua kelompok ukuran ditemukan selama lima bulan dan umumnya terjadi pada periode waktu yang berurutan, yaitu mulai dari bulan November hingga Maret (Tabel 40). Secara umum, struktur populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko bervariasi antar periode penangkapan. Rajungan jantan dan betina tertangkap di perairan ini terdiri dari satu sampai dua kelompok ukuran, namun lehih didominasi oleh satu kelompok ukuran. Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko selama penelitian terdiri atas kelompok juvenil, dewasa dan tua, namun didominasi oleh kelompok ukuran dewasa atau matang kelamin. Ukuran rajungan jantan tertangkap di Teluk Lasongko relatif lebih kecil dari pada rajungan betina. Hasil analisis FISAT II diperoleh peluang ukuran populasi rajungan yang tertangkap dengan gillnet di Teluk Lasongko seperti tertera pada Gambar 35. Lebar karapas populasi rajungan yang tertangkap dengan peluang 25 % , 50 % dan 75 % masing-masing sebesar 97.20 mm, 105.11 mm dan 113.95 mm.

Gambar 35. Peluang ukuran lebar karapas rajungan tertangkap dengan gillnet di Teluk Lasongko Parameter dan Pola Pertumbuhan Populasi Rajungan Nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko tertera pada Tabel 41. Nilai K dan to rajungan jantan lebih besar dibandingkan dengan rajungan betina, sebaliknya lebar karapas infinitif (LK∞) rajungan jantan lebih kecil dari pada rajungan betina. Berdasarkan nilai-nilai parameter pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa laju pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina, dan lebih cepat mencapai lebar karapas infinitif dibandingkan dengan rajungan betina.

119

Tabel 41. Parameter pertumbuhan, indeks performa dan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan di Teluk Lasongko Parameter pertumbuhan Indeks performa Jenis -1 LK∞ (mm) K (tahun ) to (tahun) pertumbuhan Kelamin Jantan 152.04 0.93 -0.963 4.309 Betina 173.04 0.68 -0.837 4.332 Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy Umur maksimum Jantan

Lkt = 152.04 [1-e-0.93(t+0.963)]

3.21 tahun

Betina

Lkt = 173.04 [1-e-0.68(t+0.837)]

4.40 tahun

Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko tertera pada Gambar 36. Indeks performa pertumbuhan rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini relatif sama, yaitu sekitar 4.3 (Tabel 41). Lebar karapas maksimum (0.95 LK∞) rajungan jantan dan betina masing-masing 144.44 mm dan 164.39 mm, serta dicapai pada umur 3.21 tahun untuk jantan dan betina pada umur 4.40 tahun.

Gambar 36. Performa pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan betina tertera pada Tabel 41, dan kurva pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina tertera pada Gambar 37. Nilai to rajungan menunjukkan bahwa lebar karapas rajungan sama dengan nol. Nilai to rajungan jantan dan betina pada penelitian ini diperoleh masing-masing sebesar -0.963 tahun dan -0.837 tahun. Pada Gambar 37 terlihat pada umur 0.01 tahun sampai 0.41 tahun kecepatan pertumbuhan rajungan jantan dan betina relatif sama, dan pada umur >0.41 tahun sampai 1.61 tahun kecepatan pertumbuhan rajungan jantan relatif lebih cepat dari pada rajungan betina, sebaliknya pada umur >2.01 tahun kecepatan pertumbuhan rajungan betina lebih cepat

120

dibandingkan dengan pertumbuhan rajungan jantan. Proses pertumbuhan rajungan jantan berlangsung lebih cepat ketika berumur 0.01 tahun sampai 1.65 tahun, dan rajungan betina terjadi pada kisaran umur 0.01 tahun hingga 1.51 tahun. 180 Lebar kaparas (mm)

160 140 120 100 80

Jantan

60

Betina

40

20 0.01 0.37 0.73 1.09 1.45 1.81 2.17 2.53 2.89 3.25 3.61 3.97 4.33 4.69 5.05 5.41 5.77 6.13 6.49 6.85 7.21 7.57 7.93

0

Umur (tahun)

Gambar 37. Kurva pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko berdasarkan data frekuensi lebar karapas Berdasarkan lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko selama penelitian, maka umur rajungan jantan berkisar antara 0.4221 tahun hingga 3.819 tahun, serta umur rajungan betina berkisar antara 0.5205 tahun hingga 4.067 tahun. Rajungan jantan dan betina mencapai lebar karapas infinitif masing-masing pada umur sekitar 13.69 tahun dan rajungan betina 17.68 tahun. Namun demikian, pertumbuhan kedua jenis kelamin rajungan ditemukan pada penelitin ini setelah berumur > 3.61 tahun sudah bersifat stasioner (Gambar 37). Rekrutmen Rajungan Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko yang didasarkan kepada data frekuensi lebar karapas gabungan jantan dan betina hanya terdiri dari satu puncak (Gambar 38). Pada Tabel 42 dan Gambar 38 terlihat bahwa rekrutmen rajungan di perairan ini berlangsung hampir sepanjang tahun dengan proporsi berkisar antara 1.00 % hingga 19.17 %. Proporsi rekrutmen rajungan yang tinggi terjadi mulai dari bulan Juni sampai Oktober, dan tertinggi terjadi pada bulan Juli (19.17 %), sedangkan terendah terjadi pada bulan Desember (1.00 %). Tingkat Kematian dan Eksploitasi Rajungan Tingkat kematian rajungan jantan dan betina dengan analisis FISAT II di Teluk Lasongko seperti tertera pada Tabel 43 dan Gambar 39. Tingkat kematian total, alami dan penangkapan rajungan jantan masing-masing sebesar 2.80 tahun-1, 1.09 tahun-1 dan 1.71 tahun-1, serta rajungan betina sebesar 2.95 tahun-1, 0.86 tahun-1 dan 2.09 tahun-1. Hal ini menandakan bahwa tingkat kematian rajungan jantan lebih

121

rendah dari pada rajungan betina, sebaliknya kematian alami dan penangkapan rajungan jantan lebih tinggi dari pada rajungan betina Tabel 42. Proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan di Teluk Lasongko sejak April 2013 sampai Maret 2014 Bulan April 2013 Mei 2013 Juni 2013 Juli 2013 Agustus 2013 September 2013

Rekrutmen (%) 4.17 5.12 13.75 19.17 14.61 18.58

Bulan Oktober 2013 November 2013 Desember 2013 Januari 2014 Februari 2014 Maret 2014

Rekrutmen (%) 12.69 4.72 1.00 4.01 2.17 0

Gambar 38. Pola rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko

Gambar 39. Grafik kematian total rajungan jantan dan betina berdasarkan kurva konversi hasil tangkapan di Teluk Lasongko

122

Tingkat eksploitasi populasi rajungan jantan diperoleh di Teluk Lasongko lebih rendah dari pada rajungan betina, yaitu dengan nilai masing-masing 0.61 tahun-1 untuk jantan dan betina 0.71 tahun-1. Hal menunjukkan bahwa populasi rajungan betina yang tertangkap di perairan ini lebih banyak dibandingkan dengan populasi rajungan jantan. Tabel 43. Nilai kematian total, alami dan penangkapan serta eksploitasi populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko Parameter kemtian (tahun-1) Eksploitasi Jenis Kelamin Total Alami Penangkapan (tahun-1) Jantan 2.80 1.09 1.71 0.61 Betina 2.95 0.86 2.09 0.71 Analisis Hasil Per Rekrutmen Relatif Rajungan Analisis hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) merupakan salah satu model yang digunakan dalam penentuan stok ikan, termasuk rajungan. Ukuran rajungan pertama tertangkap (LKc) merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam analisis hasil per rekrutmen relatif dengan model Berverton dan Holt. Dalam analisis hasil per rekrutmen relatif rajungan digunakan tiga nilai ukuran rajungan pertama kali tertangkap gillnet dengan peluang 25 % (LKc 25 %), 50 % (LKc 50 %), dan 75 % (LKc 75 %) masing-masing sebesar 97.20 mm, 105.11 mm dan 113.95 mm. Parameter populasi rajungan lainnya yang digunakan dalam analisis hasil per rekrutmen relatif model Berverton dan Holt semuanya tertera pada Tabel 44. Dengan memasukkan nilai parameter populasi tertentu, khususnya LKc, M dan K (Tabel 44) dalam model, maka diperoleh tingkat eksploitasi maksimun dalam model, yaitu nilai yang menunjukkan besaran dari tingkat eksploitasi yang aman (tingkatan maksimum lestari). Tabel 44. Parameter populasi rajungan yang digunakan dalam analisis hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dengan model Beverton dan Holt Parameter populasi Satuan Nilai

Lebar karapas infinitif (LK∞) Koefisien pertumbuhan von Bertalanffy (K ) Tingkat kematian total (Z) Tingkat kematian alami (M) Tingkat kematian penangkapan (F) Tingkat eksploitasi (E) Ukuran pertama tertangkap (LKc) Umur teoritis (to) *)

mm tahun-1 tahun-1 tahun-1 tahun-1 tahun-1 mm tahun

173.04 0.69 3.42 0.87 2.55 0.75*) 105.11 -0.844

tingkat eksploitasi gabungan jantan dan betina

Hasil analisis hasil per rekrutmen relatif dan biomasa per rekrutmen relatif model Berverton dan Holt tertera pada Tabel 45 dan Gambar 37. Pada LKc sebesar

123

97.20 mm (Gambar 40A) tingkat eksploitasi maksimum (E max) sebesar 0.76 tahun-1 dan Y’/R (MSY relatif) sebesar 0.056, tingkat eksploitasi pada E 0.1 sebesar 0.67 tahun-1 dan tingkat eksploitasi pada E0.50 sebesar 0.38 tahun-1. Biomasa per rekrutmen pada saat E max sebesar 0.130 atau sebesar 13 % dari biomasa virgin atau biomasa awal (biomasa tidak ada penangkapan).

E 0.1 ...

E 0.5 ...

E max ...

Gambar 40. Hubungan tingkat eksploitasi dengan hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) pada LKc 97.20 mm (A), 105.11 mm (B) dan 113.95 mm (C) Apabila LKc rajungan berubah menjadi 105.11 mm (Gambar 40B) terjadi perubahan kecepatan tumbuh, maka MSY relatif bertambah sebesar 12.5 % menjadi 0.063 dan E max bertambah 0.83 tahun-1, serta E 0.1 dan E 0.5 masing-masing menjadi 0.71 tahun-1dan 0.39 tahun-1. Sebaliknya, biomasa per rekrutmen relatif mengalami penurunan menjadi 0.091 atau 9.1 % dari biomasa awal. Ketika ukuran rajungan pertama tertangkap (LKc) meningkat menjadi 113.95 mm (Gambar 40C), maka diperoleh E 0.1, E 0.5 dan Emax meningkat masing-masing menjadi 0.81 tahun-1, 0.41 tahun-1 dan 0.91 tahun-1, sebaliknya MSY relatif turun menjadi 0.059, demikian juga biomasa per rekrutmen relatif turun menjadi 0.038 (3.8 % dari biomasa awal).

124

Tabel 45. Tingkat eksploitasi, hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dan biomasa per rekrutmen relatif (B’/R) pada tiga ukuran lebar karapas rajungan pertama tertangkap Ukuran rajungan tertangkap (mm) Parameter populasi 97.20 105.11 113.95 LKc/ LK∞ 0.56 0.61 0.66 M/K 1.261 1.261 1.261 E 0.10 = saat ini 0.67 0.71 0.81 E.0.50 = optimum 0.38 0.39 0.41 E max 0.76 0.83 0.91 Y’/R 0.056 0.063 0.059 B’/R 0.130 0.091 0.038 Pembahasan Struktur Kelompok Ukuran Struktur kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko berdasarkan analisis gerak maju modus dengan metode Battacharya terdiri dari satu sampai dua kelompok ukuran atau kelompok umur (kohor). Namun demikian, ukuran rajungan betina cenderung lebih besar dibandingkan dengan rajungan jantan. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan berkisar antara 89.00 mm hingga 124.48 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 89.80 mm hingga 139.80 mm. Struktur kelompok ukuran rajungan yang tertangkap di Teluk Bone terdiri dari satu sampai tiga kelompok ukuran dengan nilai tengah berkisar antara 32,5 mm hingga 147.5 mm (Kembaren et al. 2012), dan di Perairan Brebes terdiri dari dua kelompok ukuran (Sunarto 2012). Kelompok ukuran dan ukuran modus populasi rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada beberapa perairan di Indonesia juga ditemukan bervariasi antar lokasi perairan (Tabel 46). Adanya variasi kelompok ukuran dan modus tersebut berkaitan dengan perbedaan pertumbuhan, kondisi habitat dan lingkungan perairan pada antar lokasi perairan. Struktur ukuran rajungan jantan dan betina di Perairan Pati yang tertangkap setiap bulan ditemukan lebih dari empat modus (Ernawati 2013). Struktur ukuran rajungan jantan di Perairan Lampung Timur terdiri dari dua modus sedangkan rajungan betina hanya satu modus, masing-masing dengan lebar karapas 53.5 mm dan 63.5 mm untuk jantan, dan betina 53.5 mm dan 63.5 mm (Kurnia et al. 2014). Struktur kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko bervariasi atau terjadi pergerakan modus antar periode penangkapan. Populasi rajungan jantan yang tertangkap pada bulan April, Mei, Juli, Agustus, Oktober, November, Februari dan Maret hanya terdiri dari satu kelompok ukuran, sedangkan yang tertangkap pada bulan Juni, September, Desember dan Januari ditemukan dua kelompok ukuran. Sebaliknya, populasi rajungan betina yang tertangkap pada bulan April, November, Desember, Januari dan Maret ditemukan dua kelompok ukuran, sedangkan yang tertangkap pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan Februari hanya satu kelompok ukuran. Lebar karapas

125

rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap stasiun berkisar antara 49.80 mm hingga 147.70 mm sedangkan lebar karapas rajungan betina berkisar antara 52.10 mm hingga 166.20 mm. Hal ini menunjukkan bahwa rajungan jantan dan betina yang tertangkap di perairan ini selama penelitian terdiri atas kelompok juvenil, dewasa dan tua, namun didominasi oleh kelompok ukuran dewasa. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok ukuran pertama berkisar antara 89.00 mm hingga 97.30 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 89.80 mm hingga 118.45 mm. Nilai tengah lebar karapas rajungan jantan kelompok ukuran kedua berkisar antara 116.49 mm hingga 124.48 mm, sedangkan betina berkisar antara 123.10 mm hingga 139.80 mm. Tabel 46. Ukuran dan modus lebar karapas rajungan pada beberapa perairan Lebar karapas (mm) Jenis Lokasi Sumber Kelamin Kisaran Modus Teluk PGN, Jantan + Wardiatno dan 45-130 81.0 Lampung Timur betina Zairion 2011 Jantan 22-75 41.5 Perairan Brebesa) Sunarto 2012 betina 21-74 47.5 Jantan 58-159.4 106 Pantai Pati*) Ernawati 2013 betina 60.1-148.3 106 Jantan 26.41-120.80 53.5, 63.5 Lampung Timur Kurnia et al. 2014 betina 31.35-99.89 63.5 Teluk Lasongko Jantan 49.80-147.70 89.00, 124.48 Penelitian ini betina 52.10-162.20 89.00, 139.80 *) pada zona 2 (dekat pantai).; a) panjang karapas

Ukuran rajungan pertama tertangkap dengan peluang 50 % ditemukan pada penelitian ini 105.11 mm, dan ini lebih kecil dari yang ditemukan di Perairan Pati, 108 mm (Ernawati 2013) dan lebih besar dari pada di Teluk PGN Lampung Timur, yaitu 103.5 mm (Kurnia et al. 2014) masing-masing tertangkap dengan bubu lipat dan gill net. Hal ini menunjukkan tekanan penangkapan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada yang ditemukan di Perairan Pati (Ernawati 2013), namun lebih rendah dari pada yang terjadi Teluk PGN, Lampung Timur (Kurnia et al. 2014). Pertumbuhan dan Panjang Umur Populasi Rajungan Hasil analisis FISAT II diperoleh koefisien pertumbuhan von Bertalanffy (K) jantan lebih besar (0.930 tahun-1) dari pada rajungan betina (0.680 tahun-1). Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina sehingga rajungan jantan lebih cepat mencapai lebar karapas infinitif (LK∞) dari pada rajungan betina. Adanya perbedaan laju pertumbuhan antara rajungan jantan dan betina, juga ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013 (Tabel 47). Perbedaan laju pertumbuhan tersebut disebabkan oleh perbedaan lebar karapas maksimum dan

126

pemanfaatan energi yang bersumber dari makanan untuk mendukung proses metabolisme antara rajungan jantan dan betina (Kembaren et al. 2012). Tabel 47. Parameter pertumbuhan populasi rajungan pada beberapa lokasi perairan Parameter Pertumbuhan Jenis Lokasi perairan Sumber K LK∞ to Kelamin (tahun-1) (mm) (tahun) Tang, Thailand Selatan Teluk Kung Krabaen, Thailand Teluk Kung Krabaen, Thailand

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1.5 1.6 0.56 1.10 2.75 1.13

179.0 171.0 122.3 112.3 142.6 167.3

-0.041 -0.041 -

Bangkalan

Total

1.51

62.0*)

-0.1599

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1.20 0.78 1.27 1.08 1.26 1.13 1.2 1.5 0.93 0.68

81.38*) 81.10*) 159.0 154.0 185 187 173.78 186.38 152.04 173.04

-0.1459 -0.0933 -0.08 -0.09 -0.0034 -0.0038 -0.081 -0.63 -0.963 -0.837

Perairan Brebes Teluk Bone Perairan Pati Perairan Pangkep Teluk Lasongko *)

Sawusdee dan Songrak 2009 Raungprataungsuk 2010 Kunsook et al. 2014 Muhsoni & Abida 2009 Sunarto 2012 Kembaren et al. 2012 Ernawati 2013 Ihsan et al. 2014 Penelitian ini

panjang karapas.; - tidak ada data

Lebar karapas maksimum rajungan jantan (144.44 mm) yang ditemukan pada penelitian ini lebih kecil dari pada rajungan betina (164.39 mm). Indeks performa pertumbuhan rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko relatif sama, yaitu sekitar 4.3 (Tabel 42 dan Gambar 36). Parameter pertumbuhan populasi rajungan jantan dan betina pada beberapa perairan di Indonesia ditemukan bervariasi (Tabel 47). Koefisien pertumbuhan (K) rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah, namun nilai to lebih besar dari pada yang ditemukan pada empat lokasi perairan di Indonesia (Tabel 47). Lebar karapas infinitif (Lk∞) rajungan jantan yang ditemukan di Teluk Lasongko lebih kecil dari yang ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), di Perairan Pati (Ernawati 2013) dan di Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014), namun lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Raungprataungsuk 2010; Kunsook et al. 2014). Sebaliknya, nilai LK∞ rajungan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih besar dari yang ditemukan di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012), Pantai Trang, Thailand dan Teluk Kung Krabaen, Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009; Raungprataungsuk 2010; Kunsook et al. 2014), namun lebih kecil dari pada di Perairan Pati (Ernawati 2013) dan Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014). Nilai to rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih tinggi dari pada beberapa perairan di Indonesia (Tabel 47).

127

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian stok rajungan adalah panjang umur atau umur maksimum (Sukumaran 1995; Kangas 2000), hal ini diantaranya berkaitan dengan rekrutmen rajungan. Umur rajungan diduga berdasarkan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy populasi rajungan (Tabel 42) sehingga diperoleh umur rajungan jantan pada saat mencapai lebar karapas infinitif sekitar 13.69 tahun dan rajungan betina 17.68 tahun. Laju pertumbuhan rajungan jantan dan betina ketika berumur > 3.61 tahun sudah mendekati pertumbuhan stasioner (Gambar 37). Umur populasi rajungan jantan yang tertangkap di Teluk Lasongko selama penelitian berkisar antara 0.4221 tahun hingga 3.819 tahun, dan rajungan betina berkisar antara 0.5205 tahun hingga 4.067 tahun. Lebar karapas maksimum (0.95 LK∞ =144.44 mm) rajungan jantan dicapai pada umur 3.21 tahun sedangkan rajungan betina dicapai pada umur 4.40 tahun dengan lebar karapas maksimum 164.39 mm. Dugaan lebar karapas dan umur maksimum rajungan jantan tersebut lebih rendah dari pada umur rajungan jantan terbesar yang ditemukan selama penelitian. Umur maksimum populasi rajungan jantan dan betina yang diperoleh pada penelitian ini lebih lama dari yang ditemukan di Perairan Pati, yaitu masing-masing 2.38 tahun dan 2.65 tahun (Ernawati 2013). Sebaliknya, umur maksimum rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih singkat dari pada di Perairan Brebes, yaitu masing-masing dengan umur 5.66 tahun dan 5.63 tahun (Sunarto 2012). Rekrutmen Rajungan Rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko berlangsung hampir sepanjang tahun, kecuali pada bulan Maret dan proporsinya bervariasi antar bulan, yaitu berkisar antara 1.00 % hingga 19.17 %. Rekrutmen rajungan berlangsung hampir sepanjang tahun juga ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011) dan di Perairan Brebes (Sunarto 2012), namun pola rekrutmen di Perairan Brebes dan di Teluk Kung Krabaen ditemukan sebanyak dua puncak, sedangkan di Teluk Lasongko hanya satu puncak (Gambar 38). Puncak pertama rekrutmen rajungan di Teluk Kung Krabaen, Thailand terjadi antara bulan Oktober dan April, dan puncak kedua terjadi antara bulan Mei dan September 2009 (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Puncak pertama rekrutmen rajungan di Perairan Brebes terjadi antara bulan Januari dan September, serta puncak kedua terjadi antara bulan Agustus dan November (Sunarto 2012). Proporsi rekrutmen rajungan tertinggi di Teluk Kung Krabaen, Thailand masing-masing terjadi pada bulan Desember, April, Mei, dan Juni, sedangkan terendah pada bulan Agustus (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014) sedangkan proporsi rekrutmen tertinggi di Perairan Brebes terjadi pada bulan Maret sampai Mei (Sunarto 2012). Proporsi rekrutmen yang ditemukan pada penelitian ini lebih tinggi dari pada di Perairan Pangkep, yaitu 17.45 % (Ihsan et al. 2014) dan di Teluk Kung Krabaen, Thailand, yaitu berkisar antara 0.22 % hingga 17.32 % (Kunsook 2011), namun lebih rendah dari pada Perairan Brebes, yaitu berkisar antara 0.11 % hingga 21.24 % (Sunarto 2012). Proporsi rekrutmen rajungan yang tinggi di Teluk Lasongko ditemukan pada lima bulan berurutan, yaitu dari bulan Juni sampai Oktober dan puncak tertinggi terjadi pada bulan Juli (19.17 %) dan bulan September (18.58 %), sedangkan

128

proporsi rekrutmen terendah pada bulan Desember (1.00 %) dan bulan Februari (2.17 %). Sebaliknya, di Perairan Brebes proporsi rekrutmen tertinggi terjadi pada tiga bulan berturut-turut, yaitu Maret (16.1 %), April (21.34 %), dan Mei (18.13 %) sedangkan rekrutmen terendah terjadi pada bulan Oktober dan November dengan proporsi masing-masing 0.11 % dan 0.19 % (Sunarto 2012). Tingkat Kematian dan Eksploitasi Rajungan Tingkat kematian populasi rajungan pada sejumlah lokasi perairan di Indonesia ditemukan bervariasi antar lokasi perairan, dan tingkat kematian populasi jantan cenderung lebih besar dari pada populasi rajungan betina (Tabel 48). Tingkat kematian total dan penangkapan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko relatif lebih rendah dari pada populasi rajungan betina (Tabel 44), dan hal ini identik dengan di Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014). Tingkat kematian total populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada di Perairan Pangkep untuk populasi rajungan betina (Ihsan et al. 2014), dan lebih rendah dari pada tingkat kematian total rajungan jantan pada sejumlah perairan di Indonesia (Tabel 48). Tabel 48. Nilai kematian total (Z), alami (M) dan penangkapan (F) serta tingkat eksploitasi (E) rajungan pada beberapa lokasi perairan Jenis Kelamin Trang, Thailand Jantan Selatan Betina Teluk Kung Krabaen, Jantan Thailand Betina

Kematian (tahun-1) Z M F 9.23 1.61 7.62 8.85 1.61 7.24 8.15 3.98 4.53 6.95

2.07

4.88

Bangkalan

Total

17.46

3.67

13.69

Perairan Brebes

Total Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

2.52 9.21 6.90 6.24 6.19 2.53 3.22 2.80 2.95

0.98 1.33 1.21 1.27 1.18 1.44 1.27 1.09 0.86

1.53 7.88 5.69 4.97 5.01 1.09 1.95 1.71 2.09

Lokasi perairan

Teluk Bone Perairan Pati Perairan Pangkep Teluk Lasongko

E Sumber (tahun-1) 0.83 Sawusdee dan Songrak 2009 0.82 0.556 Kunsook 2011 0.702 Muhsoni & Abida 0.788 2009 0.391 Sunarto 2012 0.86 Kembaren et al. 2012 0.82 0.80 Ernawati 2013 0.81 0.43 Ihsan et al. 2014 0.60 0.61 Penelitian ini 0.71

Tingkat kematian penangkapan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih rendah dari pada tingkat kematian populasi rajungan betina (Tabel 44), dan hal ini identik dengan ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011) dan di Perairan Pati (Ernawati 2013). Tingkat kematian alami populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada populasi rajungan betina, dan ini identik dengan yang ditemukan pada beberapa lokasi perairan di Indonesia dan Thailand (Tabel 48).

129

Tingkat kematian alami populasi rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah dari pada yang ditemukan pada sejumlah lokasi perairan di Indonesia (Tabel 48). Sebaliknya, tingkat kematian penangkapan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada di Perairan Pangkep (Ihsan et al. 2014) dan lebih rendah dari pada di Teluk Bone (Kembaren et al. 2012) dan Perairan Pati (Ernawati 2013), di Pantai Trang dan Teluk Kung Krabaen, Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009; Kunsook 2011). Kematian penangkapan rajungan yang ditemukan pada penelitian ini dan juga pada beberapa penelitian sebelumnya lebih tinggi dari pada kematian alami (Tabel 48). Tingkat eksploitasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko telah melewati tingkat eksploitasi optimum (E >0.5), dan ini menunjukkan bahwa telah terjadi tangkap lebih (overfishing) untuk kedua jenis kelamin rajungan. Tingkat eksploitasi rajungan di Perairan Indonesia sebagian besar telah berada pada kondisi tangkap lebih (Tabel 48), kecuali di Perairan Brebes (Sunarto 2012) dan di Perairan Pangkep untuk rajungan jantan (Ihsan et al. 2014), masih berada di bawah tingkat eksploitasi optimum (E<0.5). Tingkat eksploitasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih rendah dari pada rajungan betina (Tabel 48), dan hal ini identik dengan yang ditemukan di Perairan Pati (Ernawati 2013) dan Pangkep (Ihsan et al. 2014), dan di Teluk Kung Krabaen, Thailand (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014). Sebaliknya, tingkat eksploitasi rajungan jantan di Teluk Bone lebih tinggi dari pada rajungan betina (Kembaren et al. 2012) dan juga di Pantai Trang, Thailand (Sawusdee dan Songrak 2009). Bubu merupakan alat tangkap rajungan yang dominan di Teluk Lasongko pada saat ini, sedangkan delapan tahun yang lalu yang dominan adalah gillnet. Kondisi ini akan semakin meningkatkan tekanan terhadap populasi rajungan di perairan ini, sehingga perlu dilakukan pengaturan. Hal ini didukung oleh pernyataan de Lestang et al. (2010) dan Johnston et al. (2011a) bahwa perubahan alat tangkap rajungan dari gillnet ke bubu meningkatkan tekanan pada populasi rajungan di Cockburn Sound, Australia. Analisis Hasil per Rekrutmen Relatif Rajungan Kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko tergolong kegiatan perikanan yang pengelolaannya belum dilakukan dengan benar, hal ini dapat dilihat dari ukuran rajungan yang tertangkap masih berada di bawah ukuran pertama matang kelamin, dan juga menangkap rajungan betina ovigerous. Jumlah rajungan di Teluk Lasongko yang telah mencapai ukuran rekrutmen dan masuk ke daerah penangkapan belum diketahui dengan pasti sehingga rekrutmen rajungan di perairan ini diduga berdasarkan hasil per rekrutmen relatif, Y’/R dan biomasa per rekrutmen relatif, B’/R model Beverton dan Holt (Pauly 1984; Sparre dan Venema 1999; Saputra 2005). Berdasarkan analisis Y’/R menunjukkan bahwa peningkatan ukuran (lebar karapas) rajungan yang tertangkap dapat meningkatkan tingkat eksploitasi maksimum (E max), tingkat eksploitasi optimum (E 0.05) dan tingkat eksploitasi berlangsung saat ini (E 0.10) di Teluk Lasongko. Namun, Y’/R atau MSY (Maximum Sustainable Yield) relatif rajungan mengalami peningkatan hanya sampai ukuran tertangkap 105.11 mm, sedangkan pada ukuran tertangkap 113.95 mm menurun (Tabel 46).

130

Peningkatan ukuran rajungan yang tertangkap dapat menurunkan nilai B’/R dari biomasa awal jika tidak dilakukan penangkapan. Tingkat eksploitasi maksimum (E max) dan optimum (E 0.5) rajungan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada yang ditemukan di Teluk Kung Krabaen, Thailand yaitu masing-masing 0.81 tahun-1 dan 0.37 tahun-1 (Kunsook 2011; Kunsook et al. 2014), sedangkan tingkat eksploitasi saat ini (E 0.1) sama dengan yang ditemukan pada penelitian ini, yaitu 0.71 tahun-1. Nilai E max pada analisis Y’/R tersebut sama dengan tingkat eksploitasi rajungan betina (E= 0.71 tahun-1) dan telah melampaui tingkat eksploitasi rajungan jantan (E= 0.61 tahun-1). Para ahli lebih memilih prinsip kehatian-hatian dalam menentukan kuota penangkapan, mereka menyarankan tingkat eksploitasi pada tingkat E 0.1 atau hanya menangkap rajungan sebesar 10 % dari biomasa awal (Saputra 2005). Berdasarkan prinsip tersebut, jika diterapkan lebar karapas rajungan yang tertangkap pertama kali sebesar 97.20 mm maka biomasa rajungan yang dieksploitasi di Teluk Lasongko sebesar 13 %, berarti telah melebihi 10 %. Sebaliknya, jika rajungan yang tertangkap pertama kali berukuran 105.11 mm dan 113.95 mm (LKc) maka biomasa rajungan yang dieksploitasi keduanya <10 %, tetapi MSY relatif rajungan pada ukuran LKc 113.95 mm lebih rendah dari pada LKc 105.11 mm (Tabel 45). Oleh karena itu, ukuran lebar karapas rajungan pertama kali yang tertangkap di Teluk Lasongko disarankan sebesar 105.11 mm. Berdasarkan analisis Y’/R relatif juga menunjukkan bahwa nilai Y’/R dan B’/R rajungan di Teluk Lasongko sensitif terhadap perubahan ukuran lebar karapas dan intensitas penangkapan. Simpulan 1. Struktur ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko terdiri dari satu sampai dua kelompok ukuran, dan didominasi oleh kelompok dewasa, 2. Laju pertumbuhan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih cepat dari pada rajungan betina dilihat dari nilai K, 3. Rekrutmen populasi rajungan di Teluk Lasongko berlangsung setiap bulan dan yang terjadi pada bulan Juli dan September lebih tinggi dari pada bulan lainnya, 4. Kematian penangkapan populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada kematian alami, dan 5. Tingkat eksploitasi populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko telah mengalami tangkap lebih (overfishing).

131

7 PEMBAHASAN UMUM Keterkaitan antar Parameter Penentu Keberlanjutan Populasi Rajungan Parameter yang berkaitan dengan keberadaan populasi rajungan dan telah dikaji dalam penelitian ini meliputi karakteristik habitat, biologi reproduksi dan parameter dinamika populasi rajungan. Ketiga parameter tersebut dianggap merupakan hal yang sangat menentukan keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko. Beberapa fakta empiris yang ditemukan pada penelitian ini yang telah dibahas pada Bab 2 sampai Bab 6, yaitu sebagai berikut : 1. Karakteristik habitat dan distribusi populasi rajungan di Teluk Lasongko bervariasi serta distribusi populasi rajungan berkaitan dengan karakteristik habitat, 2. Karakteristik morfometrik rajungan betina lebih besar dari pada rajungan jantan serta bervariasi secara spasial dan temporal. Hubungan antar karakter morfometrik menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif, serta pertumbuhan relative antar karakter morfometrik sebagian besar tidak mengalami perubahan pada tahap juvenil dan dewasa, 3. Variabel reproduksi rajungan di Teluk Lasongko ditemukan bervariasi, namun tergolong mempunya potensi reproduksi yang tinggi dilihat dari rasio kelamin, tipe dan periode pemijahan, serta fekunditas, keberadaan rajungan yang matang gonad dan rajungan betina ovigerous, 4. Distribusi rajungan betina ovigerous dari warna kuning sampai abu-abu gelap di Teluk Lasongko dapat ditemukan pada berbagai tipe habitat. TKG rajungan betina ovigerous meningkat serta kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan mengalami perubahan seiring dengan perubahan warna telur dari warna kuning sampai warna abu-abu gelap, dan 5. Struktur ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko didominasi oleh ukuran dewasa, dan pertumbuhan populasi rajungan jantan lebih cepat dari pada rajungan betina. Rekrutmen rajungan di perairan ini berlangsung setiap bulan, kematian penangkapan lebih tinggi dari pada kematian alami dan tingkat eksploitasinya tergolong tangkap lebih (overfishing). Berdasarkan fakta-fakta empiris tersebut, dibuat suatu skema keterkaitan antara ketiga parameter penentu keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko seperti tertera pada Gambar 41. Pertumbuhan dan rekrutmen berpengaruh positif terhadap populasi rajungan, sedangkan kematian alami dan kematian rajungan akibat penangkapan menyebabkan pengurangan pada populasi rajungan. Kondisi habitat, khususnya kualitas dan kuantitas ketersediaan makanan serta kualitas air berpengaruh langsung kepada kondisi populasi rajungan di Teluk Lasongko dengan cara mempengaruhi keberhasilan reproduksi, pertumbuhan, rekrutmen dan kematian alami rajungan di perairan ini. Struktur ukuran dan kepadatan populasi rajungan berperan dalam menentukan keberhasilan proses reproduksi rajungan, selanjutnya akan berpengaruh pada rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko. Keberlanjutan populasi rajungan yang tereksploitasi di Teluk Lasongko dapat tercipta, jika tingkat kematian penangkapan dan alami sama dengan laju pertumbuhan dan rekrutmen rajungan. Disamping itu, habitat rajungan harus dalam kondisi baik

132

dan optimum sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan rekrutmen rajungan berlangsung optimal, serta dapat menurunkan kematian alami rajungan. Tingkat kematian rajungan akibat penangkapan merupakan variabel penentu keberlanjutan populasi rajungan dan merupakan faktor yang dapat dikendalikan secara langsung. Oleh karena itu, kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko perlu diatur sesuai dengan potensi populasi rajungan di perairan ini. Selain itu, juga perlu melindungi keutuhan habitat rajungan sehingga terjadi keseimbangan populasi rajungan antara jumlah yang dieksploitasi dengan penambahan baru melalui rekrutmen dan pertumbuhan biomasa rajungan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Biologi reproduksi Rekrutmen

Populasi Rajungan

Pertumbuhan

Kematian penangkapan Kematian alami

Kondisi habitat Gambar 41. Keterkaitan antar variabel penentu keberlanjutan populasi rajungan tereksploitasi di Teluk Lasongko Potensi Keberlanjutan Populasi Rajungan Potensi keberlanjutan populasi rajungan yang dikaji hanya berdasarkan informasi kajian karakteristik habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan yang diperoleh selama penelitian. Rajungan di Teluk Lasongko ditemukan tersebar pada beberapa tipe habitat mulai dari fraksi sedimen pasir sangat kasar sampai fraksi sedimen sangat halus (liat) atau dengan tipe substrat mulai dari pasir sampai liat (Tabel 1), dengan kedalaman bervariasi, yaitu mulai dari 35 cm sampai 3100 cm. Habitat rajungan yang bersubstrat pasir merupakan tipe habitat yang dominan dan terletak pada lokasi yang dangkal (intertidal sampai sub tidal bagian atas) dengan kedalaman dari 35 cm sampai 500 cm, sebaliknya tipe substrat pasir berlempung, lempung berpasir dan liat ditemukan pada lokasi yang dalam, yaitu pada kedalaman >500 cm sampai 3100 cm. Rajungan di perairan ini juga ditemukan di dekat mangrove (bagian kepala teluk, stasiun 1). Semua variabel kualitas air habitat yang menentukan pada setiap tahap siklus rajungan seperti suhu, salinitas, oksigen terlarut, tipe substrat, kecerahan, kedalaman air, dan arus telah dikaji dan berada dalam kisaran yang optimum bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan rajungan di Teluk Lasongko, walaupun bervariasi secara spasial dan temporal (Tabel 3 dan Gambar 3). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa potensi keberlanjutan populasi

133

rajungan di Teluk Lasongko tergolong tinggi dilihat dari keragaman karakteristik habitat rajungan yang ditemukan di perairan ini. Padang lamun sebagai habitat potensial rajungan tersebar pada sebagian besar intertidal sampai sub tidal perairan Teluk Lasongko. Luas padang lamun di perairan ini sekitar 573.03 ha, yaitu tersebar pada bagian utara teluk sekitar 183.87 ha, sebelah barat sekitar 209.89 ha, bagian timur seluas 130.56 ha, bagian barat dekat mulut teluk sekitar 20.15 ha, dan pada bagian timur dekat mulut teluk sekitar 28.56 ha (DKP Provinsi Sulawesi Tenggara 2003). Kepadatan lamun di perairan ini bervariasi, yaitu berkisar 114 tunas m-2 hingga 416 tunas m-2 (Tabel 2). Jika keutuhan padang lamun sebagai habitat rajungan selalu terjaga dan didukung oleh kondisi kualitas air yang optimum maka akan meningkatkan potensi keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko. Oleh karena itu, keutuhan padang lamun tersebut perlu dipertahankan sehingga fungsinya sebagai daerah asuhan juvenil rajungan dan daerah mencari makanan rajungan dewasa selalu dalam keadaan optimun. Kualitas air habitat rajungan yang ditemukan selama penelitian ini perlu dipertahankan sehingga dapat menopang kelangsungan hidup dan pertumbuhan rajungan yang optimum di perairan ini. Aspek reproduksi rajungan yang ditemukan pada penelitian ini sangat potensial untuk mendukung keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko, jika tidak mendapat gangguan dari luar. Potensi reproduksi rajungan di Teluk Lasongko seperti dijelaskan di atas tergolong tinggi. Rasio kelamin rajungan jantan dan betina di perairan ini secara spasial dan temporal ditemukan sebagian besar dalam kondisi seimbang (Tabel 20 dan 21). Kondisi ini akan meningkatkan keberhasilan perkawinan dan pemijahan rajungan serta berpotensi meningkatkan rekrutmen rajungan dan keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini. Tipe pemijahan rajungan di Teluk Lasongko tergolong partial spawner, yaitu rajungan dapat memijah lebih dari satu kali pada setiap musim pemijahan, hal ini dilihat dari perkembangan gonad dan embrio rajungan betina ovigerous berlangsung simultan (paralel). Fekunditas rajungan di Teluk Lasongko pada setiap kali memijah berkisar antara 69 747 butir hingga 2 078 874 butir dengan rataan 717 032 butir (Tabel 39). Musim pemijahan rajungan di perairan ini berlangsung sepanjang tahun dengan tiga puncak musim pemijahan (Gambar 20). Rajungan jantan dan betina yang matang gonad dan rajungan betina ovigerous ditemukan pada semua stasiun penelitian dan pada setiap bulan, serta dalam setahun ditemukan tiga puncak (Gambar 19 dan 20). Potensi keberlanjutan rajungan di Teluk Lasongko berdasarkan parameter dinamika populasinya tergolong cukup tinggi. Struktur kelompok ukuran populasi rajungan di perairan ini ditemukan terdiri dari kelompok juvenil (<80 mm), dewasa (>80 mm hingga 125 mm) dan tua (> 125 mm), dan didominasi oleh kelompok rajungan dewasa. Rentang waktu hidup (life span) rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko tergolong panjang atau lama, yaitu rajungan jantan 3.21 tahun dan betina sebesar 4.40 tahun yang diduga berdasarkan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (Tabel 41). Anggapan tersebut didukung oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya (Sukumaran dan Neelakantan 1997; Kangas 2000; Josileen dan Menon 2007; Dineshbabu et al. 2008; Ernawati 2013) bahwa rentang waktu hidup rajungan

134

berkisar antara 2.4 tahun hingga 3.0 tahun. Rentang waktu hidup rajungan jantan dan betina yang ditemukan pada penelitian ini lebih lama dari pada di Perairan Pati, yaitu masing-masing 2.38 tahun dan 2.65 (Ernawati 2013), namun lebih singkat dari yang ditemukan di Perairan Brebes, yaitu rajungan jantan 5.66 tahun dan betina 5.63 tahun (Sunarto 2012). Rekrutmen rajungan di Teluk Lasongko berlangsung hampir sepanjang tahun dengan proporsi berkisar antara 1.00 % hingga 19.17 %, dan selama lima bulan berturut-turut ditemukan tinggi (Tabel 42 dan Gambar 38). Potensi keberlanjutan rajungan di Teluk Lasongko juga tergolong cukup tinggi dilihat dari pola dan proporsi rekrutmen rajungan setiap bulan. Anggapan ini didukung oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya (Kunsook 2011; Sunarto 2012; Ihsan et al. 2014) bahwa rekrutmen rajungan berlangsung hampir sepanjang tahun dengan proporsi rekrutmen berkisar antara 0.11 % hingga 21.24 %. Tingkat kematian alami rajungan di Teluk Lasongko lebih rendah dibandingkan dengan kematian akibat penangkapan (Tabel 43). Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini lebih banyak ditentukan oleh kegiatan penangkapan dari pada faktor alami. Ancaman Keberlanjutan Populasi Rajungan Beberapa ancaman keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko antara lain tingkat penangkapan yang tinggi, penangkapan rajungan ukuran kecil dan betina ovigerous, dan kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan (budidaya rumput laut dan penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan). Tingkat eksploitasi (E) rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko ditemukan masing-masing sebesar 0.61 tahun-1dan 0.71 tahun-1. Hal ini menunjukkan tingkat eksploitasi rajungan di perairan ini telah melewati tingkat ekspoitasi optimum atau telah terjadi tangkap lebih (overfishing). Tingkat eksploitasi rajungan betina di perairan ini lebih tinggi dari pada rajungan jantan, dan jika hal ini terus berlangsung akan menyebabkan proporsi rajungan jantan dan betina semakin tidak seimbang. Kondisi seperti ini berdampak pada penurunan keberhasilan perkawinan dan pemijahan rajungan, sehingga berpotensi menurunkan keberlanjutan populasi rajungan Teluk Lasongko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rajungan yang tertangkap pada bagian yang dangkal (100-250 cm) dengan tipe substrat pasir dan ditumbuhi oleh padang lamun yang padat, utamanya di stasiun 1 dan 2 sebagian besar berukuran kecil. Nelayan di Teluk Lasongko juga menangkap rajungan betina ovigerous. Rajungan yang ditangkap berukuran kecil (< LKm 50 %) berarti rajungan belum sempat bereproduksi telah mengalami kematian. Penangkapan rajungan betina ovigerous menyebabkan pada kematian telur yang sedang dierami dan gonad yang sedang berkembang dalam tubuh sehingga keduanya gagal menjadi larva. Fekunditas beberapa rajungan betina ovigerous di perairan ini pada setiap kali pemijahan dapat mencapai sekitar 2 juta butir. Oleh karena itu, penangkapan rajungan betina ovigerous dan rajungan berukuran kecil berakibat pada penurunan rekrutmen rajungan. Di sisi lain, intensitas penangkapan rajungan di Teluk Lasongko terus berlangsung tanpa pengendalian, dan pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan populasi rajungan di perairan ini. Asosiasi Pengelola Rajungan Indonesia (APRI) telah melarang anggotanya untuk membeli rajungan betina ovigerous, namun pada tingkat pengolah daging di

135

lapangan kebijakan tersebut belum berjalan dengan baik. Para pengolah daging rajungan di Teluk Lasongko masih membeli dan mengolah rajungan betina ovigerous. Telur rajungan betina ini tidak dimanfaatkan, bahkan menjadi limbah pengolahan daging rajungan, karena pengolah daging rajungan di Teluk Lasongko belum mengetahui adanya larangan tersebut. Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 1 Tahun 2015 yang melarang menangkap rajungan betina ovigerous. Permen tersebut perlu disuluhkan sampai ke tingkat nelayan dan pengolah daging rajungan di desa-desa pesisir. Disamping itu, juga harus disertai dengan pengawasan dan pemantauan secara berkala dari instansi terkait sehingga Permen tersebut dapat memberikan dampak positif pada keberlanjutan rajungan di seluruh Perairan Indonesia. Kegiatan budidaya rumput laut di Teluk Lasongko sekitar tahun 2004 sampai 2010 dilakukan secara intensif. Sebagian besar perairan ini, termasuk di atas padang lamun ditanami rumput laut dengan metode apung. Sampai saat ini, pembudidaya di daerah ini merendam bibit rumput laut dalam larutan pupuk sebelum ditanam untuk memacu pertumbuhannya, dan sisa pupuk yang digunakan dibuang ke laut. Volume buangan sisa pupuk tersebut yang masuk ke perairan teluk cukup besar dan secara kontinu serta didukung air lingkungan yang baik sehingga pada 2009 dan 2010 terjadi red tide fitoplankton jenis Pyminidum bahamense (Hamid et al. 2010). Dampak dari red tide tersebut adalah terjadi penurunan kualitas air, seperti pH air berkisar antara 6.5 hingga 6.6, nitrat dan fosfat sangat rendah bahkan tidak terdeteksi, kecerahan air berkisar antara 40 cm hingga 230 cm, air laut berbau busuk, dan fitoplankton didominasi oleh satu jenis, serta beberapa jenis ikan mati, termasuk bulu babi (Hamid et al. 2010). Intensitas penggunaan bom dalam penangkapan ikan di Teluk Lasongko telah berkurang, namun masih merupakan ancaman bagi keberlanjutan rajungan di perairan ini. Selama penelitian masih terdengar bunyi ledakan bom ikan di perairan Teluk Lasongko sekitar 1-3 ledakan hari-1, sedangkan pada tahun 2001 terdengar sekitar 1213 ledakan hari-1 (DKP Sulawesi Tenggara 2003). Dampak bom ikan secara langsung mematikan semua stadia rajungan yang berada di sekitar ledakan bom, sedangkan secara tidak langsung adalah merusak habitat rajungan, karena bom ikan kadang diledakan di padang lamun karena ikan target berada di lokasi ini. Status Stok dan Penangkapan Rajungan Tingkat kematian rajungan akibat penangkapan di Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada tingkat kematian alami (Tabel 43 dan Gambar 39). Hal ini menunjukkan status stok rajungan di Teluk Lasongko dalam kondisi mengalami tekanan penangkapan, dan ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa stok rajungan tereksploitasi berada pada kondisi optimum, jika kematian alami dan kematian penangkapan adalah seimbang dengan tingkat eksploitasi (E) sebesar 0.5 (Pauly 1984). Dari analisis hasil per rekrutmen relatif (Y’/R) dengan asumsi ukuran lebar karapas rajungan yang tertangkap di perairan ini sama dengan peluang 50 % ukuran lebar karapas rajungan (LKc 50 %) yang tertangkap dengan gillnet sebesar 105.11 mm, maka tingkat eksploitasi optimum (EMSY) sebesar 0.39 tahun-1 (Tabel 45 dan Gambar 40). Tingkat eksploitasi stok rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko

136

pada saat ini masing-masing sebesar 0.61 tahun-1 dan 0.71 tahun-1 (Tabel 43 dan Gambar 39). Berdasarkan hasil analisis stok tersebut, tingkat eksploitasi stok rajungan di Teluk Lasongko pada saat ini telah melebihi tingkat eksploitasi optimum atau telah mengalami overfishing. Proporsi tingkat eksploitasi rajungan jantan pada saat ini sebesar 156.4 % dan rajungan betina sebesar 182.1 % dari tingkat eksploitasi optimum (EMSY). Jenis alat tangkap rajungan yang digunakan di Teluk Lasongko juga mengalami perubahan, yaitu dari gillnet beralih ke bubu. Selama periode tahun 2006 hingga 2014, jumlah gillnet yang digunakan dalam penangkapan rajungan turun sebesar 40.50 %, sedangkan jumlah penggunaan bubu meningkat drastis selama periode waktu tersebut, yaitu sebesar 600.09 %. Jumlah nelayan yang menangkap rajungan di perairan ini pada tahun 2006 sebanyak 226 orang (Hamid 2011), sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 187 orang (Tabel 49) atau mengalami penurunan sebesar 17.26 %. Jumlah nelayan penangkap rajungan di Desa Lolibu dan Desa Wajogu turun drastis, sebaliknya di Desa Batubanawa bertambah jumlahnya (Tabel 49). Tabel 49. Penyebaran nelayan dan jenis alat tangkap rajungan pada setiap desa/ kelurahan di Teluk Lasongko tahun 2006 dan 2014 Desa/kelurahan Lakudo Wanepa-Nepa Wongko Lakudo** Matawine* Nepa Mekar Teluk Lasongko** Mone* Wajogu Lolibu Boneoge Batubanawa Jumlah a)

Jumlah nelayan/ jenis alat tangkap (orang) Gillnet Bubu 2006a) 2014 2014 2 9 4 7 13 1 12 7 7 11 1 16 19 4 8 50 25 38 167 2 1 5 36 33 65 122 291

Jumlah alat tangkap 2014 Gillnet Bubu (pis)b (buah) 6 14 18 3 1100 61 18 660 3 1102 20 1172 148 5504 6 75 13 5432 310 15045

Jumlah alat tangkap 2006a) Gillnet Bubu (pis)b (buah) 35 39 23 156 167 101 521

436 1713 2149

Hamid 2011.; b) 1 pis dipotong menjadi 9-12 lembar gillnet **desa pemekaran.; *desa induk

Jumlah penggunaan alat tangkap rajungan di Teluk Lasongko dari tahun 2006 sampai 2014 mengalami perkembangan yang sangat pesat. Jumlah alat tangkap rajungan yang digunakan pada tahun 2006 sekitar 2 670 unit, terdari dari 521 pis gillnet dan 2149 buah bubu (Hamid 2011) dan sampai bulan April 2014 meningkat sebesar 475.09 % atau sebanyak 15 355 unit, terdiri dari 310 pis gillnet dan 15 045 buah bubu (Tabel 49). Hasil tangkapan rajungan di Teluk Lasongko selama periode Februari sampai November 2006 sebesar 36 828.8 kg (Hamid 2011) atau sebesar 44 194.56 kg selama tahun 2006. Hasil tangkapan selama bulan Mei 2013 hingga bulan

137

April 2014 sekitar 66 926.6 kg atau hanya meningkat sebesar 51.44 % selama periode waktu tersebut. Peningkatan jumlah alat tersebut tidak proporsional dengan peningkatan hasil tangkapan rajungan selama periode waktu yang sama. Kondisi penangkapan rajungan yang demikian merupakan salah satu ciri dari penangkapan rajungan yang telah mengalami overfishing (Pauly 1984). Ciri lainnya, telah terjadi overfishing penangkapan rajungan di Teluk Lasongko adalah ukuran lebar karapas rajungan pertama kali tertangkap, LKc 50 % (105.11 mm) lebih kecil dari pada ukuran lebar karapas pertama kali matang kelamin, LKm 50 % rajungan jantan (109.83 mm) dan rajungan betina (115.71 mm). Rasio kelamin rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko pada lokasi yang dangkal (100 cm hingga 350 cm) atau pada padang lamun selama bulan Oktober hingga Desember 2006 sebesar 0.96:1, dan pada lokasi yang dalam (>500 cm hingga 1200 cm) dan tidak ditumbuhi lamun sebesar 0.74:1( (Hamid 2011). Pada bulan Oktober hingga bulan Desember 2013 pada kedua lokasi tersebut ditemukan rasio kelamin rajungan jantan dan betina masing-masing sebesar 1.46:1 dan 0.70:1 (Tabel 50). Selama tujuh tahun terakhir, telah terjadi perubahan komposisi rajungan di Teluk Lasongko pada lokasi yang dangkal (100 cm hingga 350 cm) atau sekitar padang lamun, yaitu jumlah rajungan betina semakin menurun dibandingkan dengan rajungan jantan. Sebaliknya, komposisi pada lokasi yang dalam (>500 cm hingga 1200 cm) dan tidak ditumbuhi lamun selama periode waktu tersebut cenderung stabil (tidak berubah). Perubahan rasio kelamin rajungan tersebut disebabkan oleh intensitas penangkapan yang tinggi dan juga karena perubahan jenis alat tangkap yang dominan dalam penangkapan rajungan, yaitu dari gillnet ke bubu yang berlangsung sejak bulan Desember 2006 hingga bulan Mei 2014 (Tabel 49). Hal ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya (Johnston et al. 2011a, 2011b; Kunsook 2011) bahwa perubahan jenis alat tangkap rajungan dapat menyebabkan perubahan komposisi jenis dan rasio kelamin rajungan, serta struktur ukuran rajungan yang tertangkap. Tabel 50. Rataan ukuran tubuh dan rasio kelamin rajungan (jantan: betina) di Teluk Lasongko selama bulan Oktober hingga bulan Desember 2006 dan 2013 Tahun 2006*) Lokasi/ jenis dan Jumlah Lebar Berat rasio kelamin (ekor) karapas (mm) tubuh (g) Dangkal (100-350 cm): Jantan 1003 112.2 99.72 Betina 1049 113.6 101.36 Rasio kelamin 0.96:1 Betina ovigerous 103 119.5 126.33 Dalam (>500-1200 cm): Jantan 145 123.2 116.5 Betina 195 120.5 109.5 Rasio kelamin 0.74:1 Betina ovigerous 43 125.1 147.37 *)

diolah dari Hamid et al. (2006) dan Hamid (2011).;

a)

Tahun 2013 Jumlah Lebar karapas Berat (ekor) (mm) tubuh (g) 73 48 1.46:1 23a)

109.6 108.8

97.4) 88.95

121.5

138.90

17 20 0.70:1 8a)

112.6 117.9

97.58 113.86

125.0

132.63

tidak termasuk ditangkap nelayan.

138

Penangkapan rajungan di Teluk Lasongko pada lokasi yang dangkal (di sekitar lamun) telah lama dilakukan, dan rajungan betina mengalami tekanan penangkapan lebih tinggi dari pada rajungan jantan. Hal ini terlihat dari kematian penangkapan dan tingkat eksploitasi rajungan betina lebih tinggi dari pada rajungan jantan (Tabel 43 dan Gambar 39). Struktur kelompok ukuran populasi rajungan jantan dan betina yang tertangkap di Teluk Lasongko pada setiap bulan terdiri dari satu sampai dua kelompok ukuran, dan sebagian besar merupakan rajungan yang telah dewasa (Tabel 40). Nilai tengah (rataan) lebar karapas rajungan jantan yang tertangkap di perairan ini berkisar antara 89.00 mm hingga 123.54 mm, sedangkan rajungan betina berkisar antara 89.80 mm hingga 139.80 (Tabel 40). Ukuran tubuh rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko terlihat cenderung mengalami perubahan selama periode 2006 sampai 2013. Lebar karapas dan berat tubuh rajungan jantan dan betina yang tertangkap pada periode bulan Oktober hingga Desember 2013 pada lokasi yang dangkal lebih kecil dari pada yang terangkap pada tahun 2006 untuk periode waktu yang sama (Tabel 50). Ukuran tubuh rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada lokasi yang dangkal selama periode waktu tersebut semakin bertambah besar, sedangkan lebar karapas rajungan betina ovigerous yang tertangkap pada lokasi yang dalam cenderung tidak mengalami perubahan, tetapi berat tubuhnya semakin ringan (Tabel 50). Kunsook et al. (2014) menyebutkan, ada lima indikator untuk menentukan status stok rajungan pada suatu perairan dalam keadaan kritis, yaitu tingkat kematian akibat penangkapan tinggi, tingkat eksploitasi melebihi tingkat eksploitasi optimum (E>0.5), ukuran rajungan betina dewasa semakin kecil, jumlah rajungan betina ovigerous yang tertangkap meningkat, dan rataan fekunditas menurun. Berdasarkan pada indikator tersebut dan fakta-fakta yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa status stok rajungan di Teluk Lasongko pada saat ini cenderung pada kondisi kritis. Kondisi stok rajungan tersebut akan semakin kritis, jika tidak segera dilakukan upaya pengelolaan. Konsep Pengelolaan Rajungan Kajian pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko ditekankan pada keberlanjutan stok alami rajungan dan keberlanjutan penangkapannya. Oleh karena itu, prinsip dasar konsep pengelolaan rajungan di perairan ini, harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying capacity) alaminya. Besar kecilnya hasil tangkapan rajungan tergantung pada kondisi stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk menghasilkan biomasa rajungan yang didasarkan pada hasil kajian karakteristik habitat, biologi reproduksi dan dinamika populasi rajungan yang dilakukan secara berkala. Berdasarkan pada potensi dan ancaman keberlanjutan, serta status stok dan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko yang telah dijelaskan sebelumnya, maka beberapa konsep pengelolaan rajungan yang segera dilakukan dan akan dikembangkan di perairan ini terdiri dari pengaturan rajungan yang boleh ditangkap, pengaturan musim penangkapan, pengendalian alat tangkap dan daerah penangkapan, perlindungan dan rehabilitasi habitat, restoking, mengembangkan suaka rajungan,

139

serta pemantauan dan evaluasi secara berkala. Konsep pengelolaan yang dapat diterapkan secara efektif dan berkelanjutan, yaitu terdiri dari : 1. Pengaturan Rajungan yang Boleh Ditangkap Pengaturan rajungan yang boleh ditangkap didasarkan pada teori bahwa untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya rajungan pada suatu perairan, maka rajungan yang boleh ditangkap adalah rajungan yang minimal satu kali telah melakukan pemijahan sehingga dapat menghasilkan keturunan sebelum mengalami kematian. Selain itu, rajungan betina ovigerous harus dilindungi agar dapat menetaskan telurtelur yang sedang dierami sebelum mengalami kematian. Upaya pengelolaan yang dapat segera dilakukan untuk menjaga keberlanjutan populasi rajungan adalah melarang menangkap rajungan betina ovigerous dan membatasi ukuran minimum rajungan yang boleh ditangkap di Teluk Lasongko. Pemerintah baru saja mengeluarkan Permen KP Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur rajungan yang boleh ditangkap secara nasional, yaitu larangan menangkap rajungan dalam kondisi bertelur (betina ovigerous) dan ukuran lebar karapas rajungan yang boleh ditangkap >100 mm. Ketentuan larangan menangkap rajungan betina ovigerous sifatnya berlaku seragam di semua wilayah perairan Indonesia. Sebaliknya, ketentuan ukuran lebar karapas rajungan yang boleh ditangkap bersifat umum, karena ukuran lebar karapas rajungan matang kelamin (LKm 50 %) antar lokasi perairan bervariasi, dan LKm 50 % antara rajungan jantan dan betina juga berbeda (Tabel 27). Ukuran lebar karapas rajungan terkecil yang boleh ditangkap pada setiap lokasi perairan bersifat spesifik untuk setiap lokasi perairan. Oleh karena itu, penerapan Permen KP tersebut di lapangan harus dilakukan dengan prinsip kehatian-hatian. Sebaiknya, setiap lokasi atau kawasan perairan perlu ada ketentuan batas ukuran lebar karapas rajungan betina dan jantan terkecil yang boleh ditangkap yang didasarkan pada hasil penelitian biologi reproduksi dan dievaluasi secara berkala. Ketentuan seperti tersebut telah diterapkan dalam pengelolaan rajungan di perairan Australia (Johnston et al. 2011b; Harris et al. 2014). Ukuran rajungan terkecil yang boleh ditangkap pada suatu perairan harus melebihi ukuran LKm 50 % yang matang kelamin supaya keberlanjutannya terjaga. Ukuran lebar karapas rajungan jantan terkecil yang boleh ditangkap di Teluk Lasongko >109.8 mm dan betina >115.7 mm. Salah satu upaya untuk meningkatkan ukuran rajungan yang tertangkap dengan bubu adalah dengan menambahkan pintu meloloskan diri (ventilasi) untuk rajungan berukuran kecil. Penggunaan bubu berventilasi berbentuk persegi (35×45 mm) pada kedalaman 4 m hingga 6 m dapat menurunkan tertangkapnya rajungan berukuran kecil (belum dewasa) berkisar dari 46.7 % hingga 72.3 %, dan tidak mempengaruhi jumlah rajungan dewasa yang tertangkap (Boutson 2008). Bubu yang dilengkapi dengan ventilasi juga dapat meningkatkan ukuran LKm 50 % (Songrak et al. 2013). 2. Pengaturan Musim Penangkapan Musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko telah diketahui, yaitu terjadi sepanjang tahun dengan tiga puncak musim pemijahan, yaitu pada bulan Mei-Juni, Agustus, dan bulan Oktober-November. Puncak musim keberadaan rajungan betina

140

ovigerous di perairan ini terjadi pada bulan Juli dan Agustus, Oktober dan November, dan Februari. Untuk memberikan kesempatan rajungan melakukan pemijahan secara optimal dan mengurangi rajungan betina ovigerous yang tertangkap, maka kegiatan penangkapan pada bulan Juli, Agustus, Oktober, November, dan Februari intensitas penangkapan harus dikurangi, bahkan bila perlu pada bulan Mei-Juni, Agustus serta Oktober-November tidak dilakukan penangkapan rajungan (ditutup sementara). Nelayan pada periode waktu tersebut lebih diarahkan untuk menangkap ikan atau budidaya rumput laut. Penutupan kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko ketika puncak musim pemijahan dan keberadaan rajungan betina ovigerous pada saat ini masih diperlukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya nelayan penangkap rajungan dan pengolah daging rajungan di kawasan Teluk Lasongko untuk menghindari adanya gejolak sosial dan ekonomi di daerah ini. Penutupan penangkapan rajungan ketika puncak musim pemijahan baru akan dilakukan setelah nelayan dan pengolah daging rajungan memahami tujuan dan manfaat dari penutupan kegiatan penangkapan rajungan pada periode waktu tertentu, sehingga dapat berjalan efektif dan berkelanjutan. Periode waktu penutupan penangkapan rajungan di Teluk Lasongko sebaiknya dilakukan pada bulan Oktober-November, karena pada bulan Oktober merupakan puncak musim pemijahan tertinggi rajungan, dan pada bulan November puncak tertinggi keberadaan rajungan betina ovigerous (Gambar 20). 3. Pengendalian Alat Tangkap dan Daerah Penangkapan Pengendalian alat tangkap merupakan salah satu upaya pengelolaan rajungan yang dapat segera diterapkan di Teluk Lasongko meliputi pengendalian jenis dan jumlah alat tangkap yang boleh digunakan, yaitu cara mengurangi jumlah bubu sampai 50 % dari jumlah yang digunakan saat ini sedangkan gillnet dipertahankan jumlahnya seperti yang ada saat ini. Jadi jumlah alat tangkap yang boleh digunakan untuk menangkap rajungan di Teluk Lasongko hanya sebanyak 7 288 unit, yang terdiri dari 65 pis gillnet dan 7 223 buah. Jumlah gillnet dan bubu rajungan yang digunakan di perairan ini perlu dievaluasi secara berkala, sehingga diperoleh jumlah gillnet dan bubu yang optimum (upaya optimum) yang dapat digunakan untuk menangkap rajungan di Teluk Lasongko. Penetapan jumlah upaya optimum tersebut didasarkan pada potensi lestari (MSY) stok alami rajungan yang boleh ditangkap sehingga tidak mengganggu keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko. Rajungan jantan dan betina yang tertangkap di lokasi yang dangkal dan di tumbuhi lamun (habitat A dan T) di stasiun 1 dan 2 sebagian besar (75 %) berukuran kecil (80 mm hingga 90 mm) yang masih dalam katogeri juvenil (Lampiran 4) dan umumnya tertangkap dengan gillnet dengan ukuran mata jaring 1.5 inci dan 2.5 inci. Beberapa nelayan mengatakan, bahwa ukuran mata jaring gillnet yang digunakan untuk menangkap rajungan di kedua lokasi tersebut adalah 2.5 inci, karena jika menggunakan ukuran matang jaring 3.5 inci, rajungan yang tertangkap sedikit. Berdasarkan informasi tersebut, maka nelayan dilarang menggunakan gillnet dengan ukuran mata jaring 2.5 inci untuk menangkap rajungan di dua lokasi tersebut, dan bila perlu kedua lokasi tersebut (Lampiran 4) dinyatakan tertutup bagi kegiatan penangkapan rajungan, karena diduga merupakan daerah asuhan rajungan yang

141

potensial di Teluk Lasongko. Selain itu, keempat warna telur rajungan betina ovigerous sebagian besar dapat ditemukan di kedua lokasi tersebut (Tabel 28), dan diduga lokasi tersebut merupakan daerah pemijahan dan pelepasan larva rajungan. Ukuran mata jaring gillnet rajungan yang digunakan nelayan di Teluk Lasongko pada saat ini adalah 3.5 inci dan 4.0 inci, serta bubu adalah 1.25 inci (dominan) dan 1.50 inci. Gillnet berukuran mata jaring 3.5 inci digunakan pada lokasi yang dangkal (sekitar padang lamun), sedangkan yang berukuran 4 inci digunakan di lokasi yang dalam. Ukuran mata jaring gillnet yang digunakan di perairan ini serupa dengan yang digunakan di Perairan Cirebon (Sumiono et al. 2010), dan lebih besar dari pada yang digunakan di Lampung timur, yaitu 3 inci (Kurnia et al. 2014). Ukuran mata jaring bubu serupa dengan yang digunakan di Pantai Trang, Thailand (Songrak et al. 2013). Daerah penangkapan rajungan di Teluk Lasongko sampai saat ini sebagian besar masih terkonsentrasi pada lokasi yang dangkal dan di sekitar padang lamun, serta telah menimbulkan dampak negatif bagi keberlanjutan populasi rajungan, yaitu terjadi perubahan rasio kelamin rajungan dan ukuran yang tertangkap semakin kecil (Tabel 50). Untuk menjaga keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko, maka daerah penangkapan rajungan lebih diarahkan ke bagian yang dalam, khususnya di sekitar mulut teluk. Intensitas penangkapan rajungan di sekitar mulut Teluk Lasongko sampai saat ini masih rendah (Lampiran 5), sedangkan rajungan yang tertangkap berukuran besar (Tabel 11 dan Gambar 9). 4. Perlindungan dan Rehabilitasi Habitat Distribusi rajungan, khususnya rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko dapat ditemukan pada berbagai tipe habitat. Lokasi-lokasi yang merupakan habitat potensial rajungan betina ovigerous, demikian juga daerah pemijahan dan daerah asuhan rajungan perlu dilindungi sehingga dapat mendukung keberlanjutan rajungan di perairan ini. Padang lamun di Teluk Lasongko merupakan habitat potensial bagi rajungan karena merupakan daerah asuhan dan pembesaran rajungan, bahkan diduga sebagai daerah pemijahan rajungan (Gambar 21). Oleh karena itu, padang lamun di Teluk Lasongko perlu dijaga keutuhannya, dilindungi serta direhabilitasi. Perlindungan habitat rajungan di Teluk Lasongko, juga perlu dilakukan pada lokasi yang dalam yang merupakan habitat potensial bagi pemijahan rajungan. Perlindungan habitat rajungan di Teluk Lasongko dapat dilakukan dengan pembentukan daerah perlindungan laut (DPL) yang sifatnya identik dengan suaka rajungan. Kegiatan masayarakat, khususnya nelayan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap habitat dan keberlanjutan populasi rajungan di Teluk Lasongko perlu dicegah dan dikendalikan. Ada dua kegiatan perikanan yang berpotensi mengancam keberlanjutan rajungan di Teluk Lasongko, yaitu penggunaan bom ikan dan budidaya rumput laut. Seperti dijelaskan sebelumnya, intensitas penggunaan bom dalam menangkap ikan di perairan ini pada saat ini semakin berkurang, namun hal ini masih merupakan ancaman bagi keberlanjutan rajungan di Teluk Lasongko. Dalam rangka melindungi habitat rajungan dan ancaman rajungan dari kematian akibat penggunaan bom ikan, perlu dilakukan penyuluhan dan penyadaran serta menyediakan mata pencaharian alternatif bagi pengguna bom.

142

Untuk menjaga dan melindugi keutuhan padang lamun di Teluk Lasongko, diantaranya perlu dilakukan penataan dan pengaturan lokasi budidaya rumput laut dan penggunaan pupuk dalam kegiatan budidaya rumput. Padang lamun sebaiknya tidak dijadikan sebagai lokasi budidaya rumput laut, khususnya pada lokasi yang keruh dan dangkal untuk menghindari terjadinya persaingan pemanfaatan cahaya dan unsur hara antara rumput laut dengan lamun. Penggunaan pupuk dalam budidaya rumput laut perlu dikaji untuk menentukan tingkat efektifitasnya dalam memacu pertumbuhan rumput laut dan juga dampaknya terhadap kondisi kualitas air di Teluk Lasongko. Upaya yang perlu dilakukan berkaitan dengan rehabilitasi habitat rajungan dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu rehabilitasi lunak dan rehablitasi keras. Rehabilitasi lunak berkaitan dengan penanganan sumber masalah yang menyebabkan terjadinya degradasi habitat dan populasi rajungan di Teluk Lasongko dan menekankan pada pengendalian perilaku manusia. Rehabilitasi lunak dikembangkan dengan asumsi bahwa jika sumber masalah penyebab degradasi habitat dan populasi rajungan di Teluk Lasongko dapat dikendalikan, maka habitat dan populasi rajungan di perairan ini akan mempunyai kesempatan untuk merehabilitasi dan memulihkan dirinya sendiri secara alami. Beberapa permasalahan yang berpotensi dapat menyebabkan terjadinya degradasi habitat rajungan di Teluk Lasongko antara lain, kesadaran dan tingkat pengetahuan nelayan dan masyarakat yang masih rendah, adanya kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan, tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang perairan, penangkapan rajungan yang intensif dan belum adanya upaya pengelolaan sumber daya rajungan. Pemecahan permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui rehabilitasi habitat dengan pendekatan lunak. Pendekatan lunak dilakukan melalui kegiatan penyadaran masayarakat (public awareness), penataan ulang pemanfaatan ruang perairan Teluk Lasongko, pengendalian penangkapan rajungan seperti dijelaskan di atas, dan penetapan dan penegakan aturan yang berkaitan dengan pengelolaan rajungan serta mengembangkan mata pencaharian alternatif. Penyadaran masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan formal, penyuluhan, sosialisasi melalui media cetak dan elektronik, poster, leaft leat dan stiker tentang pelestarian habitat dan populasi rajungan di Teluk Lasongko. Rehabilitasi keras adalah berkaitan dengan kegiatan langsung perbaikan lingkungan di lapangan. Rehabilitasi habitat rajungan dengan pendekatan rehabilitasi keras di Teluk Lasongko adalah berkaitan dengan rehabilitasi padang lamun. Beberapa metode rehabilitasi padang lamun yang telah dikenal, yaitu TERFs (transplanting eelgrass remotely with frame system), plug, sod/turfs dan modifikasi peat pot (Hutomo et al. 2010). Kepadatan padang lamun yang ditemukan di stasiun 1 dan 2 pada kedalaman 150 cm hingga 250 cm (Gambar 21) telah mengalami degradasi. Untuk mengembalikan keutuhan padang lamun pada kedua lokasi tersebut perlu dilakukan upaya rehabilitasi. Padang lamun berfungsi sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi rajungan. Disamping itu, untuk menjaga keutuhan padang lamun di Teluk Lasongko maka sebaiknya budidaya rumput laut tidak dilakukan di padang lamun. Budidaya rumput laut yang dilakukan di atas padang lamun menyebabkan persaingan antara rumput laut dengan lamun dalam pemanfaatan unsur hara dan cahaya matahari, sehingga mengganggu pertumbuhan dan bahkan mematikan lamun.

143

5. Restoking Restoking atau pemacuan stok rajungan adalah salah satu upaya pengelolaan rajungan yang bertujuan untuk memperbaiki stok alami dan meningkatkan hasil tangkapan rajungan. Namun, upaya pengelolaan ini sangat tergantung pada ketersediaan benih rajungan yang diproduksi secara massal melalui pembenihan. Produksi massal pembenihan rajungan telah berhasil dilakukan Balai Budidaya Air Payau Takalar dengan tingkat kelangsungan hidup dari telur hingga burayak (crablet 10) dengan lebar karapas berkisar 5 mm hingga 20 mm sebesar 50 % (BBAP Takalar 2012). Kondisi habitat Teluk Lasongko layak untuk dijadikan sebagai lokasi restoking rajungan. Kualitas air dan kondisi padang lamun sangat mendukung restoking tersebut. 6. Mengembangkan Suaka Rajungan Konsep pendekatan pengelolaan rajungan yang telah dijelaskan sebelumnya masih bersifat parsial dan lebih ditekankan pada pendekatan keberlanjutan potensi sumberdaya rajungan sehingga perlu dikembangkan konsep pengelolaan yang bersifat komprehensif yang melibatkan semua komponen pada kegiatan perikanan rajungan di Teluk Lasongko melalui pendekatan berbasis ekosistem. Konsep pengelolaan rajungan dengan pendekatan suaka rajungan merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem yang ditujukan untuk melindungi rajungan dan juga secara langsung dapat melindungi habitat rajungan (Roberst et al. 2005), yaitu padang lamun dan hamparan pasir sebagai habitat rajungan di Teluk Lasongko. Kawasan suaka rajungan harus mempertimbangkan variasi sebaran spasial dan temporal populasi rajungan di Teluk Lasongko, khususnya yang berkaitan dengan pola distribusi rajungan betina ovigerous, larva dan pola migrasi rajungan di perairan ini. Luas areal suaka rajungan yang akan dikembangkan di Teluk Lasongko setidaknya harus dapat melindungi daerah asuhan dan pemijahan rajungan. Kedua lokasi tersebut dinyatakan sebagai zona inti. Zona inti suaka rajungan secara permanen dinyatakan tertutup dari kegiatan penangkapan rajungan serta kegiatan lain yang berpotensi merusak keutuhan habitat rajungan. Di luar zona inti tersebut, dibuat zona penangkapan rajungan dan ikan serta budidaya rumput laut. Dalam pengembangan suaka rajungan di Teluk Lasongko, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu lokasi dan luas kawasan suaka rajungan yang akan dikembangkan, partisipasi nelayan dan masyarakat, dukungan kelembagaan, serta kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia pengelola suaka rajungan. Lokasi suaka rajungan ditentukan berdasarkan pada kondisi habitat rajungan yang meliputi parameter fisika, kimia dan biologi yang menentukan setiap tahap siklus hidup rajungan, khusus daerah pemijahan dan asuhan rajungan. Penetapan lokasi dan luas kawasan suaka rajungan harus disepakati oleh nelayan dan pembudidaya rumput laut, tokoh masyarakat di kawasan Teluk Lasongko dan didukung oleh instansi terkait. Oleh karena penetapan lokasi dan luas perairan yang akan dikembangkan sebagai kawasan suaka rajungan harus ditetapkan melalui musyawarah atau workshop yang dihadiri oleh unsur-unsur yang terlibat dalam pengelolaan suaka rajungan di Teluk Lasongko diantaranya nelayan rajungan, nelayan umum, pengolah daging rajungan, pembudidaya rumput laut, tokoh masyarakat,

144

instansi terkait seperti Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton Tengah, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Model kelembagaan pengelolaan suaka rajungan di Teluk Lasongko bersifat kolaboratif dengan prinsip kemitraan. Dalam operasi pengelolaan suaka rajungan di perairan ini berbasis kepada masyarakat dan didukung oleh pihak-pihak terkait. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia dalam pengelolaan suaka rajungan dapat dilakukan melalui sosialisasi, pelatihan dan workshop yang dilakukan sebelum dan setelah suaka rajungan terbentuk. Sasaran yang diharapkan dari ketiga kegiatan tersebut antara lain (1) meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat di Teluk Lasongko tentang pentingnya suaka rajungan bagi keberlanjutan populasi rajungan untuk mendukung keberlanjutan penangkapan rajungan dan pengolahan daging rajungan di daerah ini, (2) meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia sebagai pihak yang terkait dengan pengelolaan suaka rajungan di perairan ini, dan (3) pihak terkait dengan pengelolaan suaka rajungan dapat mengetahui peran dan fungsinya dalam pengelolaan suaka rajungan sehingga dapat berjalan efektif. 7. Pemantauan dan Evaluasi Secara Berkala Pemantuan dan evaluasi perlu dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk mengetahui apakah strategi pengelolaan yang telah diterapkan berjalan efektif atau tidak.

145

8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN Simpulan 1. Karakteristik habitat dan distribusi rajungan di Teluk Lasongko bervariasi dilihat dari tipe substrat, kepadatan lamun dan kualitas air, serta kecepatan arus, salinitas dan kecerahan menentukan distribusi spasial populasi rajungan di Teluk Lasongko, 2. Karakteristik morfometrik rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko bervariasi secara spasial dan temporal, serta rajungan jantan dan betina masingmasing terdistribusi pada 10 kelas ukuran dan 12 kelas ukuran lebar karapas, 3. Hubungan antar karakter morfometrik rajungan jantan dan betina menunjukkan hubungan yang sangat nyata, kuat dan positif, serta tipe pertumbuhan pada tahap juvenil dan dewasa tidak mengalami perubahan yaitu masing-masing bersifat allometrik negatif untuk antar karakter morfometrik dan lebar/panjang karapasberat tubuh bersifat isometrik. 4. Rasio kelamin rajungan jantan terhadap betina di Teluk Lasongko umumnya seimbang, perkembangan kematangan gonadnya cenderung berlangsung tidak seiring antara rajungan jantan dan betina, serta indeks kematangan gonad rajungan betina lebih besar dari pada rajungan jantan, 5. Rajungan betina ovigerous yang berwarna kuning sampai abu-abu gelap dapat ditemukan pada berbagai tipe habitat di Teluk Lasongko, pada stasiun 6 dan 7 cenderung ditemukan lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya; 6. Puncak musim pemijahan rajungan di Teluk Lasongko terjadi pada bulan MeiJuni, Agusus dan Oktober-November dengan tipe pemijahan parsial dan fekunditas berkisar 69747 butir hingga 2078874 butir, serta ukuran lebar karapas rajungan jantan 50 % matang kelamin sebesar 109.83 mm dan betina 115.71 mm, 7. Tingkat kematangan gonad rajungan betina ovigerous di Teluk Lasongko cenderung meningkat seiring dengan perubahan warna telur, serta kadar proksimat dan asam lemak telur rajungan mengalami perubahan dengan perubahan warna telur dari warna kuning sampai warna abu-abu gelap, 8. Struktur ukuran populasi rajungan jantan dan betina di Teluk Lasongko terdiri dari satu sampai dua kelompok ukuran, dan didominasi oleh kelompok dewasa, 9. Laju pertumbuhan populasi rajungan jantan di Teluk Lasongko lebih cepat dari pada rajungan betina, rekrutmen berlangsung setiap bulan dan kematian penangkapan rajungan jantan betina lebih besar dari pada kematian alami, serta telah mengalami tangkap lebih (overfishing), dan 10. Konsep pengelolaan rajungan yang segera dan akan dikembangkan di Teluk Lasongko meliputi mengatur rajungan yang boleh ditangkap, mengatur musim penangkapan, mengendalikan alat tangkap dan daerah penangkapan, melindungi dan merehabilitasi habitat, melakukan restoking, mengembangkan suaka rajungan, serta melakukan pemantuan dan evaluasi secara berkala.

146

Saran Mengingat saat ini status populasi rajungan di Teluk Lasongko cenderung berada pada kondisi kritis, maka beberapa saran yang diajukan, yaitu adalah sebagai berikut : 1. Ukuran lebar karapas rajungan jantan yang boleh ditangkap adalah >109.83 mm dan rajungan betina > 115.71 mm, serta melarang menangkap rajungan betina ovigerous, 2. Mengurangi intensitas penangkapan rajungan ketika musim puncak pemijahan rajungan, 3. Penangkapan rajungan di daerah yang dangkal perlu dikurangi dan diarahkan ke lokasi yang lebih dalam dan di sekitar mulut Teluk Lasongko , 4. Melarang pembudidaya rumput membuang sisa air rendaman bibit ke laut, tidak menggunakan padang lamun sebagai lokasi budidaya rumput laut, dan perlu merehabilitasi padang lamun pada beberapa lokasi di stasiun 1 dan 2, 5. Perlu penelitian lebih lanjut tentang distribusi larva dan pola migrasi rajungan untuk mendukung pengembangan suaka rajungan di Teluk Lasongko, 6. Perlu pencatatan secara berkala jumlah penggunaan gillnet dan bubu, ukuran rajungan yang tertangkap dan hasil tangkapan rajungan untuk dijadikan dasar menentukan potensi dan mengevaluasi strategi pengelolaan, dan 7. Perlu dilakukan kajian genetika populasi rajungan untuk mendukung penentuan unit stok rajungan dan pengembangan pembenihan rajungan untuk mendukung restoking dan pengelolaan rajungan di Teluk Lasongko.

147

DAFTAR PUSTAKA Akbar Z, Qasim R, and Siddiqui PJA. 1998. Seasonal variations in biochemical composition of edible crab (Portunus pelagicus Linneaus). J. Islamic Acad. Sci. 1(2): 127-133 [AOAC] Association of Official Analysis Chemists. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analysis Chemists. Washington (US): Association of Official Analytical Chemists. 14th Ed. 1102pp Araújo MSC, Coelho PA and Castiglioni DS. 2012. Relative growth and determination of morphological sexual maturity of the fiddler crab Uca thayeri Rathbun (Crustacea, Ocypodidae) in two mangrove areas from Brazilian tropical coast. Pan-American J. Aqu. Sci. 7(3): 156-170 Arshad A, Efrizal, Kamarudin MS and Saad CR. 2006. Study on fecundity, embryology and larval development of blue swimming crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Res.J.Fish.&Hydrobiol. 1(1): 35-44 Atar HH, Secer S. 2003. Width/length-weight relationships of the blue crab (Callinectes sapidus Rathbun 1896) population living in Beymelek Lagoon Lake. Turk J Vet Anim Sci. 27: 443-447 Ayas D, and Özoğul Y. 2011. The chemical composition of sexually mature blue swimmer crab (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) in the Mersin Bay. J Fish. Sci. 5(4):308-316 doi: 10.3153/jfscom.2011035 Azkab MH. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana 24(1): 1-16 Azmie G, Abol-Munafi AB, Faizal WWYM and Ikhwanuddin M. 2012. Ovarian maturation stages of orange mud crab, Scylla olivacea. Paper presented at UMT 11th International Annual Symposium on Sustainability Science and Management, Terengganu, Malaysia 09th - 11th July 2012. Balasubramanian CP and Suseelan C. 2001. Biochemical composition of the deepwater crab Charybdis smithii. Indian J. Fish 48(3):333-335 Baklouti S, Derbali A, Dhieb K, Kammoun W and Jarboui O. 2013. Proximate composition and its seasonality of the Mediterranean green crab: Carcinus aestuarii Nardo,1847 (Brachyura, Portunidae), in Southern Tunisian waters (Central Mediterranean). J. Mar.Biol., 6p http://dx.doi.org/10.1155/2013/989467 Batoy CB, Sarmago JF, Pilapil BC. 1987. Breeding season, sexual maturity and fecundity of the blue crab, Portunus pelagicus (L.) in selected coastal waters in Leyte and vicinity, Philippines. An.Trop. Res. 9(3):157-177. Batoy CB, Pilapil BC, Sarmago JF. 1988. Size composition, distribution, lengthweight relationship and natural food of the blue crab, Portunus pelagicus (L.) in selected coastal waters in Leyte and vicinity, Philippines. An.Trop. Res. 10(3 dan 4): 127-142 [BBAP Takalar] Balai Budidaya Air Payau Takalar. 2012. Restoking 100 000 ekor benih rajungan.[diunduh 20Januari 2015]. Tersediapada: http://crabcenterbbapt. blogspot.com/2012/07/restocking-100000-ekor-benih-rajungan.html Bellchambers L, Sumner N and Melville-Smith R. 2005. Final Report Development of Stock Allocation and Assessment Techniques in WA Blue Swimmer Crab Fisheries. North Beach (AU): Department of Fisheries, Research Division.

148

Bellchambers L. 2010. The Effect of Western Rock Lobster Fishing on the Deepwater Ecosystems of the West Coast of Western Australia. [Final FRDC Report, Project 2004/049]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Government of Western Australia. 96pp Bengen DG. 2001. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 41 hal Bertini G, Teixeira GM, Fransozo V and Fransozo A. 2010. Reproductive period and size at the onset of sexual maturity of mottled purse crab, Persephona mediterranea (Herbst, 1794) (Brachyura, Leucosioidea) on the southeastern Brazilian coast. Invert. Repro. Devel. 54(1): 7-17. Bhat BA, Ravichandran S and Allayie SA. 2011. Influence of the eyestalk hormone on the metabolism and ionic regulation of the crab Portunus pelagicus (Linneaus, 1857). J. Biol. Sci. 11(2): 203-209 doi: 10.3923/jbs.2011.203.209 Blankenhorn SU. 2007. Seaweed Farming and Artisanal Fisheries In An Indonesian Seagrass Bed Complementary Or Competitive Usages?. [Dr. rer. nat. Thesis] Bremen (NL): Faculty 2 Biology, University Bremen. 118pp Boutson A. 2008. Behavior of Blue Swimming Crab for Improving Catch Selectivity and Efficiency of Collapsible Pot in Thailand. [Dissertation]. Tokyo(JP): Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT). 101 p. Brower J, Jerrold HZ and Ende NVE. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Dubuque, Iowa (US): Wm. C. Brown Publishers. Campbell S. 2009. Seaweed farms and seagrass can they co exist?. [diunduh 19 Februari 2015]; 3:12-13. Tersedia pada: www.seagrasswatch. org/.../SW Magazine . Caputi N, Pearce A and Lenanton R. 2010. Fisheries-Dependent Indicators of Climate Change in Western Australia WAMSI Sub-Project 4.2.3. [Fisheries Research Report No. 213]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Western Australia. 36pp Chande I and Mgaya YD. 2003. The fishery of Portunus pelagicus and species diversity of portunid crabs along the Coast of Dar es Salaam, Tanzania. Western Indian Ocean. J. Mar. Sci. 2(1): 75-84 Cobo VJ and Fransozo A. 2003. External factors determining breeding season in the red mangrove crab Goniopsis cruentata (Latreille) (Crustacea, Brachyura, Grapsidae) on the São Paulo State Northern Coast, Brazil. Revta bras. Zool. 20 (2): 2013-2017 Chaiyawat M, Eungrasamee I and Raksakulthai N. 2008. Quality characteristics of blue swimming crab (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) meat fed Gracilaria edulis (Gmelin) Silva. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 42: 522-530 de Lestang S, NG Hall, IC Potter. 2003. Reproductive biology of the blue swimmer crab (Portunus pelagicus, Decapoda: Portunidae) in five bodies of water on the West Coast of Australia. Fish.Bull. 101: 745-757 de Lestang S, Bellchambers LM, Caputi N, Thomson AW, Pember MB, Johnston DJ and Harris DC. 2010. Stock-Recruitment-Environment Relationship in a Portunus pelagicus Fishery in Western Australia. in: Kruse GH, Eckert GL, Foy RJ, Lipcius RN, Sainte-Marie B, Stram DL, and Woodby D (eds.). Biology

149

and Management of Exploited Crab Populations Under Climate Change. Fairbanks (AU): Alaska Sea Grant, University of Alaska. doi: 10.4027/ bmecpcc.2010.06 Dhawan RM, Dwivedi SN and Rajamanickam GV. 1976. Ecology of the blue crab Portunus pelagicus (Linnaeus) and its potential fishery in Zuari estuary. Indian J. Fish. 23(1-2): 57-64. Dineshbabu AP, Shridhara B and Muniyappa Y. 2008. Biology and exploitation of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758), from South Karnataka Coast, India. Indian J. Fish. 55(3): 215-220. Dixon C and Hooper GE. 2010. Blue Crab (Portunus pelagicus) Fishery 2008/2009. [Stock Assesment Report to PIRSA Fisheries]. Adelaide (AU): South Australian Research and Developmemt Institute (Aquatic Science). SARDI Publication No. F2007/000729-6. SARDI Report Series No. 428. [DKP Sulawesi Tenggara] Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara. 2003. Penyusunan Detail Rencana Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Kendari (ID): Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara. Edgar GJ. 1990. Predator-prey interactions in seagrass beds. II. Distribution and diet of the blue manna crab Portunus Pelagicus linnaeus at Cliff Head, Western Australia. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 139 (1-2): 23-32. Ernawati T. 2013. Dinamika Populasi dan Pengkajian Stok Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Kabupaten Pati dan Sekitarnya. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 80 hal Figueiredo J and Narciso L. 2008. Egg volume, energy content and fatty acid profile of Maja brachydactyla (Crustacea: Brachyura: Majidae) during embryogenesis. J. Mar. Biol. Ass. U.K. 88(7): 140-1405 Figueiredo J, Penha-Lopes G, Anto J, Narciso L, and Lin J. 2008a. Potential fertility And Egg Development (Volume, Water, Lipid, And Fatty Acid Content) Through embryogenesis of Uca rapax (Decapoda: Brachyura: Ocypodidae). J. Crus. Biol. 28(3): 528-533 Figueiredo J, Penha-Lopes G, Anto J, Narciso L, and Lin J. 2008b. Fecundity, brood loss and egg development through embryogenesis of Armases cinereum (Decapoda: Grapsidae). Mar. Biol. 154: 287-294 Figueiredo J, Anto J, Lin J and Narcico L. 2012. The consumption of DHA during embryogenesis as an indicative of the need to supply DHA during early larval development: Areview. J Aquacult Res Dev 3:5 doi:10.4172/2155-9546.1000140 Garc´ıa-Guerrero M. 2010. Effect of temperature on consumption rate of main yolk components during embryo development of the prawn Macrobrachium americanum (Crustacea: Decapoda: Palaemonidae). J. World Aqua. Soc. 41(S1): 84-92 Gayanilo FCJr., Sparre P, Pauly D. 2005. FAO-ICLARM Stok Assessment Tolls (FISAT II). Revised Version. [User's Guide]. Rome (IT): FAO Computerized Information Series (Fisheries), No 8, Revised version. 168 pp

150

Gerami MH, Ghorbani R, Paighmabari SY, Momeni M. 2013. Reproductive season, maturation size (LM 50) and sex ratio of Metapenaeus affinis (Decapoda: Penaeidae) in Hormozgan shrimp fishing grounds, South of Iran. Inter. J. Aquatic Biol. 1(2): 48-54 Green BS, Gardner C, Hochmuth JD, Linnane A. 2014. Environmental effects on fished lobsters and crabs. Rev Fish Biol Fisheries 24 (1): 1-26 doi: 10.1007/ s11160-014-9350-1 Halik, Alimu dan La Hera. 2014. Catatan Harian Penggunaan Bahan Baku Rajungan Tiga Pengolah Daging Rajungan di Teluk Lasongko Selama Bulan Mei 2013 sampai Bulan April 2014. Lolibu, Buton Tengah (ID): Pengolah Daging Rajungan di Teluk Lasongko. 66 hal Hamid A, La Sara dan Halili. 2006. Pembentukan Daerah Suaka Perikanan Kepiting Rajungan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton. Laporan Penelitian Inti Daerah. Kendari (ID): Konsorsium Mitra Bahari RC Sulawesi Tenggara. 68 hal Hamid A. 2011. Kondisi kepiting rajungan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Mitra Bahari 5(2):75-86. Hamid A, Yusnaini, Nur I and Halili. 2010. Red tide phenomenon in Lasongko Bay, Buton District. Di dalam: Jompa J, Riyanto B, Suraji, Lestari ET, Editor. Proceeding of International Conference on Small Islands and Coral Reefs; 2010 Agustus 4-5; Ambon, Indonesia. Jakarta (ID): COREMAP II, Kementerian Kelautan dan Perikanan. hlm 1-10. Hamsa KMSA. 1978. Chemical composition of the swimming crab Portunus pelagicus Linnaeus. Indian J. Fish., 25(1):27-273 Harris D, Johnston D, Sporer E, Kangas M, Felipe N and Caputi N. 2014. Status of the Blue Swimmer Crab Fishery in Shark Bay, Western Australia. [Fisheries Research Report No. 233]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Western Australia. 84pp Hartnoll RG. 1978. The determination of relative growth in Crustacea. Crustaceana, 34(3): 281-293. Hosseini M, Vazirizade A, Parsa Y and Mansori A. 2012. Sex ratio, size distribution and seasonal abundance of blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in Persian Gulf Coasts, Iran. World Applied Sciences Journal 17(7): 919-925 Huang JR, CL Brown and TB Yang. 2011. Spatio-temporal patterns of crab fisheries in the main bays of Guangdong Province, China. Iranian J Fish Scie. 10(3): 425-436 Hutomo H, Bengen DG, Kuriandewa TE, Taurusman AA, Haryani EBS (Editor). 2010. Prosiding Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Bogor (ID): PKSPL, Institut Pertanian Bogor. 227 hal Ihsan, Wiyono ES, Wisudo SH, Haluan J. 2014. A study of biological potential and sustainability of swimming crab in the waters of Pangkep Regency South Sulawesi Province. Inter. J. Sci.: Bacic Appl. Res. 16 (1): 351-363 Ikhwanuddin M, Shabdin ML and Abol-Munafi AB. 2009. Cath information of blue swimming crab (Portunus pelagicus) from Sarawak coastal water of South China Sea. J. Sustain .Sci. Manage. 4(1): 93-103

151

Ikhwanuddin AP, Muhamad JH, Shabdin ML and Abol-Munafi AB. 2011. Fecundity of blue swimming crab, Portunus pelagicus Linnaeus, 1758 from Sematan Fishing District, Sarawak coastal water of South China Sea. Borneo J. Resour. Sci. Tech 1: 46-51 Ikhwanuddin M, M. Azra, H Siti-Aimuni and AB Abol-Munafi, 2012a. Fecundity, Embryonic and Ovarian Development of Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in Coastal Water of Johor, Malaysia. Pak. J. Biol. Sci. 15:720-728. doi: 10.3923/pjbs.2012.720.728 Ikhwanuddin M, Nurfaseha AH, Abol-Munafi AB, and Shabdin ML. 2012b. Movement patterns of blue swimming crab, Portunus pelagicus in the Sarawak coastal water, South Cina Sea. J. Sustain .Sci. Manage. 7(1): 8-15 Ingles, JA and Braum E. 1989. Reproduction and larval ecology of the blue swimming crab Portunus pelagicus in Ragay Gulf, Philippines. Int. Rev. Hydrobiol., 74(5): 471-490. Jazayeri A, Papan F, Savari A, Nejad TS. 2011. Biological investigation of Persian Gulf blue swimmer crab (Portunus pelagicus) in Khuzestan coasts. J. American Sci. 7(2): 7-13 Johnson DD, Charles GA and Macbeth WG. 2010. Reproductive biology of Portunus pelagicus in a South-East Australian Estuary. J.Crus. Biol. 30(2): 200-205 Johnston D, Harris D, Caputi N, Thomson A. 2011a. Decline, contributing factors and future management strategy. Fish. Res. 109(1): 119-130 Johnston D, Harris D, Caputi N, de Lestang S, and Thomson A. 2011b. Status of The Cockburn Sound Crab Fishery. [Fisheries Research Report No. 219]. North Beach (AU): Department of Fisheries, Western Australia. 104pp. Josileen J and Menon NG. 2007. Fishery and growth parameters of the blue swimmer crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) along the Mandapam Coast, India. J. Mar. Biol. Assoc. India 49(2): 159-165 Josileen J. 2011. Morphometrics and length-weight relationship in the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Brachyura) from the Mandapam Coast, India. Crustaceana 84 (14): 1665-1681 Josileen J. 2013. Fecundity of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Brachyura, Portunidae) along the coast of Mandapam, Tamil Nadu, India. Crustaceana 86(1):48-55. Juwana S. 1997. Tinjauan tentang perkembangan penelitian budidaya rajungan (Portunus pelagicus). Oseana 22 (4):1-12 Juwana S. 2006. Petunjuk Praktis Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Jakarta [ID]: Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 45 hal Kamrani E, Sabili AN, Yahyavi M. 2010. Stock assessment and reproductive biology of the blue Swimming crab, Portunus pelagicus in Bandar Abbas Coastal Waters, Northern Persian Gulf. Journal of the Persian Gulf (Marine Science) 1(2): 11-22. Kangas MI. 2000. Synopsis of the Biology and Exploitation of the Blue Swimmer Crab Portunus pelagicus Linnaeus in Western Australia. Fisheries Research Report No. 121]. Perth (AU) : Fisheries Western Australia. 29 pp

152

Kembaren DD, Ernawati T dan Suprapto. 2012. Biologi dan parameter populasi rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Bone dan sekitarnya. J.Lit.Perikan.Ind.18 (4):273-281 King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Oxford (GB): Blackwell Scientific. 341 p. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan, Buku 1. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. 182 hal [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.). Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan. 5 hal Khoei JK, Bastami AA and Esmailian M. 2012. The biochemical composition of the eggs blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in the Persian Gulf Coasts, Iran. Middle-East J. Sci. Res. 12(7): 915-920 Kumar M, Xiao Y, Venema S. 2003. Reproductive cycle of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus, of Southern Australia. J.Mar.Biol. Assoc.U.K. 83: 983-994. doi.org/10.1017/S0025315403008191h Kunsook C. 2011. Assessment of Stock and Movement Pattern for Sustainable Management of Blue Swimming Crab Portunus Pelagicus (Linnaeus, 1758): Case study in Kung Krabaen Bay, Chanthaburi Province, Thailand. [PhD thesis]. Bangkok (TH): Chulalongkorn University. 166pp Kunsook C, Gajaseni N and Paphavasit N. 2014. A stock assessment of the blue swimming crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) for sustainable management in Kung Krabaen Bay, Gulf of Thailand. Trop. Life Sci. Res. 25(1): 41-59 Kurnia R, Boer M, Zairion. 2014. Biologi populasi rajungan (Portunus pelagicus) dan karakteristik lingkungan habitat esensialnya sebagai upaya awal perlindungan di Lampung Timur. JIPI 19 (1): 22-28 Larkum AD, Orth RJ and Duarte CM (eds). 2006. Seagrasses: Biology, Ecology and Conservation. Dordrecht (NL): Springer. 649 pp Li X, Li Z, Liu J, Zhang T, Zhang C. 2011. Effects of light intensity on molting, growth, precocity, digestive enzyme activity, and chemical composition of juvenile Chinese mitten crab Eriocheir sinensis. Aquacult Int 19:301-311 doi: 10.1007/s10499 -010-9414-8 Li S, Cheng Y, Zhou B and Hines AH. 2012. Changes in biochemical composition of newly spawned eggs, prehatching embryos and newly hatched larvae of the blue crab Callinectes sapidus. J. Shellfish Res. 31(4):941-946 doi: http://dx. doi.org/10.2983/035.031.0405 Liao Y, Li F, and Dong X. 2011. External morphological characteristics during the embryonic development of Portunus pelagicus. Zoological Research 32(6): 657-662 (Bahasa Cina) doi: 10.3724/SP.J.1141.2011.06657 Liu Z, Wu X, Wang W, Yen B, Cheng Y. 2014. Ovariun development, size distribution and monthy variation of the female blue swimmer crab, Portunus pelagicus in Beibu Gulf, off South Cina. Sci.Mar. 78 (2):257-268. doi: 10.3989/scimar.03919.24A

153

Mehanna SF, Khvorov S, Al-Sinawy M, Al-Nadabi YS and Al-Mosharafi MN. 2013. Stock assessment of the blue swimmer crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1766) from the Oman Coastal Waters. Int. J. Fish. Aquat. Sci. 2(1):1-8 Muhsoni FF dan Abida IW. 2009. Analisis potensi rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Bangkalan-Madura. Embryo, 6 (2): 140-147 Muthuvelu S, Sundhari S, Purusothaman S and Sivaraj S. 2013. Biochemical and enzymatic fluctuation during ovarian development of edible marine crab Portunus pelagicus (Linnaeus,1758). Int J Pharm Pharm Sci 5(4):638-642 Moran AL and Mcalister JS. 2009. Egg size as a life history character of marine invertebrate: is it all it’s cracked up to be?. Biol Bull. 216:226-242 Nitiratsuwan T, Nitithamyong C, Chiayvareesajja S and Somboonsuke B. 2010. Distribution of blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in Trang Province. Songklanakarin J Sci Technol. 32(3): 207-212. Nitiratsuwan T, Tanyaros S and Panwanitdumrong K. 2013. Distribution of berried female blue swimmer crabs (Portunus pelagicus Linneaus, 1758) in the coastal waters of Trang Province, Southern Thailand. Maejo Int. J. Sci. Technol. 7 (special issue): 52-59. Oniam V, U Buathee, L Chuchit and T Wechakama. 2010. Growth and sexual maturity of blue swimming crab (Portunus pelagicus, 1758) reared in earthen ponds. Kasetsart Fish. Res. Bull. 34 (1): 20-27 Oniam V, Chuchit L and Arkronrat W. 2012. Reproductive perfomace and larval quality of blue swimming crab (Portunus pelagicus) broodstock, fed with different feeds. Songklanakarin J. Sci. Technol. 34(4): 381-386 Pauly D. 1984. Fish Population Dynamics in Tropical Waters: A Manual for Use Programmable Calculators. Manila (PH): ICLARM. 325pp Petersen S and Anger K. 1997. Chemical and physiological changes during the embryonic development of the spider crab, Hyas araneus L. (Decapoda: Majidae). Comp. Biochem. Physiol. 117B(2):299-306 Pinheiro MAA and Fransozo A. 2002. Reproduction of the speckled swimming crab Arenaeus cribrarius (Brachyura: Portunidae) on the Brazilian Coast near 23°30's. J. Crus. Biol. 22(2):416-428 Pillay K and Nair NB. 1971. The annual reproductive cycles of Uca annulipes, Portunus pelagicus and Metapenaeus affinis (Decapoda : Crustacea) from the South-West Coast of India. Mar Biol 11:152--166 Pillay K and Nair NB. 1973. Observations on the biochemical changes in gonads and other organs of Uca annulipes, Portunus pelagicus and Metapenaeus affinis (Decapoda: Crustacea) during the reproductive cycle. Mar Biol 18:167-198 Potter IC, Chrystal PJ and Loneragan NR. 1983. The biology of the blue manna crab Portunus pelagicus in an Australian estuary. Mar Biol., 78:75-85 Potter IC and de Lestang S. 2000. Biology of the blue swimmer crab Portunus pelagicus in Leschenault Estuary and Koombana Bay, South-Western Australia. Journal of the Royal Society of Western Australia, 83: 443-458 Potter IC, de Lestang S and Melville-Smith R. 2001. The Collection of Biological Data Required for Management of The Blue Swimmer Crab Fishery in The

154

Central and Lower West Coasts of Australia. Murdoch (AU): Centre for Fish and Fisheries Research, Murdoch University. 56p Priya ER, Jeyalakshmi K, Ravichandran S and Chandran M. 2013. Variation of lipid concentration in some edible crabs. World J. Fish & Marine Sci. 5(1):110-112 Radhakrishnan CK. 2000. The eggs of marine crabs an unexploited resource. Naga, The ICLARM Quarterly 23(3):4-5 Rameshkumar G, Ravichandran S, Chandan K and Ajithkumar TT. 2009. Comparison of fatty acid profile in the edible crabs Scylla serrata and Portunus pelagicus. Global J Env. Res. 3(1):42-45 Rasheed S, Mustaquim J. 2010. Size at sexual maturity, breeding season and fecundity of three-spot swimming crab Portunus sanguinolentus (Herbst, 1783) (Decapoda, Brachyura, Portunidae) occurring in the coastal waters of Karachi, Pakistan. Fish.Res. 103: 56–62 doi:10.1016/j.fishres.2010.02.002 Ravi R and Manisseri MK. 2010. Biochemical Changes during Gonadal Maturation Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758). Fishery Technology, 47(1): 27-34 Ravi R and Manisseri MK. 2013. Alterations in size, weight and morphology of the eggs of blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linnaeus, 1758 (Decapoda, Brachyura, Portunidae) during incubation. Turk. J. Fish. Aquat. Sci. 13:509-515 Razek AFA, Taha SM and Ameran AA. 2006. Population biology of the edible crab Portunus pelagicus (Linnaeus) from Bardawil Lagoon, Northern Sinai, Egypt. Egyptian J. Aquat. Res. 32( 1): 401-418. Reppond K, Rugolo L and de Oliveira ACM. 2008. Change in biochemical composition during development of snow crab, Chionoecetes opilio, embryos. J. Crus. Biol 28(3):519-527 Roberts CM, Hawkins PJ and Gell FR. 2005. The role of marine reserves in achieving sustainable fisheries. Phil. Trans. R. Soc. B. 360, 123-132 Romano N and Zeng C. 2006. The effects of salinity on the survival, growth and haemolymph osmolality of early juvenile blue swimmer crabs, Portunus pelagicus. Aquaculture 260: 151-162 Rosa R, Calado R, Narciso L and Nunes ML. 2007. Embryogenesis of decapod crustaceans with different life history traits, feeding ecologies and habitats: a fatty acid approach. Mar Biol 151:935-947 doi 10.1007/s00227-006-0535-6 Safaie M, Pazooki J, Kiabi B and Shokri MR. 2013. Reproductive biology of blue swimming crab, Portunus segnis (Forskal, 1775) in coastal waters of Persian Gulf and Oman Sea, Iran. Iranian J Fish Sci. 12(2): 430-444. Samuel MJ, Kannupandi T and Soundarapandian P. 1998. Fatty acid profile during embryonic development of the cultivable freshwater prawn Macrobrachium malcolmsonii (H. Milne Edwards). Indian J Fish 45(2): 141-148 Samuel NJ and Soundarapandian P. 2009. Embryonic development of commercially important portunid crab Portunus sanguinolentus (Herbst). Int.J.Anim.Veter.Adv. 1(2): 32-38 Santos S, Negreiros-Fransozo ML. 1999. Reproductive cycle of the swimming crab Portunus spinimanus Latreille (Crustacea, Oecapoda, Brachyura) from Ubatuba, Sao Paulo, Brazil. Revta bras. Zool. 16(4): 1183 -1193.

155

Saputra SW. 2005. Dinamika Populasi Udang Jari (Metapenaeus elegans de Man 1907) dan Pengelolaannya di Laguna Segara Anakan Cilacap Jawa Tengah. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 213 hal Sawusdee A and Songrak A. 2009. Population dynamics and stock assessment of blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in the coastal area of Trang Province, Thailand. Walailak J Sci & Tech 6(2): 189-202. Songrak A, Bodhisuwan W and Thapanand-Chaidee T. 2013. Selectivity of traps for blue swimming crab in Trang province. Maejo Int. J. Sci. Technol. 7 (Special Issue): 36-42 Songrak A, Bodhisuwan W, Yoocharern N, Udomwong W and Darbanandana T. 2014. Reproduction biology of the blue swimming crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in the coastal waters of Trang Province, Southern Thailand. Kasetsart Fish. Res. Bull. 38 (2): 27-40 Soundarapandian P and Singh RK. 2008. Biochemical composition of the eggs of commercially important crab Portunus pelagicus (Linnaeus). Int. J. Zool. Res. 4:53-58 Sounndarapandian P and Dey SS. 2008. Proximate composition of the eggs of commercially important crab Portunus sanguinolentus (Herbst). J. Fish. Aquatic Scie.. 3:60-65 doi: 10.3923/jfas.2008.60.65 Soundarapandian P and Tamizhazhagan T. 2009. Embryonic development of commercially important swimming crab Portunus pelagicus (Linnaeus). Curr. Res. J. Biol. Sci. 1(3):106-108 Soundarapandian P, Varadharajan D, Anand T. 2013a. Male Reproductive System of Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758). J Cytol Histol. 5: 206. doi:10.4172/2157-7099.1000206 Soundarapandian P, Varadharajan D, Boopathi A. 2013b. Biology of the commercially important portunid crab, Portunus sanguinolentus (Herbst). J Marine Sci Res Dev 3: 124. doi: 10.4172/2155-9910.1000124. Soundarapandian P, Ilavarasan N, Varadharajan D. 2013c. Reproductive System of Flower Crab, Charybdis feriata (Linnaeus). Open Access Scientific Reports 2: 701 doi:10.4172/scientificreports.701 Soundarapandian P, Sudhakar S, Varadharajan D and Dinakaran GK. 2013d. Biochemical Composition during the Embryonic Development and Freshly Hatched Zoea of Macrobrachium idae (Heller, 1862). J Earth Sci Clim Change 5:171 doi: 10.4172/2157-7617.1000171 Soundarapandian P, Dinakaran GK and Varadharajan D. 2013e. Biochemical composition during the embryonic development and freshly hatched zoea of Macrobrachium idella idella (Hilgendorf, 1898). Adv Tech Biol Med. 1:111. doi:10.4172/atbm.1000111 Soundarapandian P, Ravichandran S and Varadharajan D. 2013f. Biochemical composition of edible crab, Podophthalmus vigil (Fabricius). J Marine Sci Res Dev 3:119. doi:10.4172/2155-9910.1000119 Sparre P and Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Widodo J, Merta IKG, Nurhakim S, Badrudin M., penerjemah. Jakarta (ID): Badan

156

Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Terjemahan dari: Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. 438 pp Srijaya TC, Pradeep PJ, Shaharom F and Chatterji A. 2011. A study on the energy source in the developing embryo of the mangrove horseshoe crab, Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille). Invertebrate Reproduction and Development. 1: 1-10 doi:10.1080/07924259.2011.633621 Steel RGD and Torire JH. 1992. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Sumantri B., penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia. Terjemahan dari: Principles and Procedure of Statistic: Biometric Aproach. 451 hal Sugilar H, Park Y-C, Lee N-H, Han D-W and Han K-N. 2012. Population dynamics of the swimming crab Portunus trituberculatus (Miers, 1876) (Brachyura, Portunidae) from the West Sea of Korea. Int. J.Oceanogr. Marine Ecol.Sys. doi: 10.3923/.ijomes Sumiono B. 2010. Penelitian Sumberdaya Rajungan (Pendugaan Stok, Teknologi dan Lingkungan Perairan) di Perairan Cirebon dan Sekitarnya. Laporan program insentif peningkatan kemampuan penelitian dan perekayasa 2010. Jakarta (ID): Balai Riset Perikanan Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. 31 hal Sukumaran KK. 1995. Fishery, Biology and Population Dynamics of the Marine Crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) Along the Karnataka Coast. [PhD Thesis]. Karwar (IN): School of Ocean Sciences, Karnataka University. 403pp Sukumaran KK dan Neelakantan B. 1996a. Relative growth and sexual maturity in the marine crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Southwest Coast of India. Indian J. Fish 43(3): 215-223 Sukumaran KK dan Neelakantan B. 1996b. Mortality and stock assesment of two marine portunid crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Southwest Coast of India. Indian J. Fish 43 (3): 225-240 Sukumaran KK. dan Neelakantan B. 1996c. Spawning Biology of Two Marine Portunid Crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) From the Karnataka Coast. The fourth Asian Fisheries Forum Proceedings, Kochi; 24-28 November 1996. Sukumaran, KK and Neelakantan B. 1997a. Sex ratio, fecundity and reproductive potential in two marine portunid crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Karnataka Coast. Indian J. Mar. Sci. 6: 43-48 Sukumaran, KK and Neelakantan B. 1997b. Age and growth in two marine portunid crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Southwest Coast of India. Indian J. Fish. 44(2): 111-131 Sukumaran KK dan Neelakantan B. 1998. Maturation process and reproductive cycle in two marine crabs, Portunus (Portunus) sanguinolentus (Herbst) and Portunus (Portunus) pelagicus (Linnaeus) along the Karnataka Coast. Indian J. Fish. 45(3): 257-264

157

Sumpton WD, Potter MA and Smith GS. 1994. Reproduction and growth of the commercial sand crab, Portunus pelagicus (L.) in Moreton Bay, Queensland. Asian Fisheries Science 7:103-113. Sunarto, Soedharma D, Riani E dan Martasuganda S. 2010. Hubungan panjang berat dan lebar dengan berat tubuh serta faktor kondisi populasi rajungan (Portunus pelagicus) jantan dan betina di perairan pantai Brebes. Jurnal Akuatika 1(1): 83-92 Sunarto. 2012. Karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Laut Kabupaten Brebes. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 175 hal Supardan A. 2006. Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Aplikasinya pada Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 324 hal Wardiatno Y, Zairion. 2011. Study on Bio-Ecology of The Blue Swimming Crab and BioEconomic Perfomace of Crab Fishery in Order to Propose of Spawning Ground Protection. [Report]. Jakarta (ID): Indonesian Blue Swimming Crab Management Association in cooperation with Department of ARM-FFMS-IPB. 77p. Wu X, Zhou B, Cheng Y, Zeng C, Wang C and L Feng. 2010. Comparison of gender differences in biochemical composition and nutritional value of various edible parts of the blue swimmer crab. Journal of Food Composition and Analysis 23:154-159 Yao J, Zhao Y, Wang Q, Zhou Z, Hu X, Duan X and An C. 2006. Biochemical compositions and digestive enzyme activities during the embryonic development of prawn, Macrobrachium rosenbergii. Aquaculture 253:573-582. Ying X, Yang W and Zhang Y. 2006. Comparative studies on fatty acid composition of the ovaries and hepatopancreas at different physiological stages of the Chinese mitten crab. Aquaculture 256: 617-623

158

LAMPIRAN

Oksigen (mg.l-1)

pH

Salinitas (ppt)

Kec. Arus (cm.detik-1)

TSS (mg.l-1)

Kekeruhan (NTU)

Suhu (oC)

Variabel

Min.

Rataan Sd Maks. Min. Rataan Sd Maks. Min. Rataan Sd Maks. Min. Rataan Sd Maks. Min. Rataan Sd Maks. Min. Rataan Sd Maks. Min. Rataan Sd Maks.

Nilai

Waktu pengukuran (bulan) Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agu-13 Sep-13 Okt-13 Nov-13 28.5 28.3 28.3 27.3 27.5 28.7 28.8 30.0 1.9 1.5 1.4 1.2 2.4 2.5 2.2 1.5 30.1 30.7 32.5 30.5 35.6 34.6 33.4 34.0 26.2 25.6 24.5 25.2 23.8 24.3 24.9 25.5 1.5 1.0 2.0 0.9 1.0 0.8 2.7 2.0 0.8 0.5 2.2 0.4 0.6 0.6 1.8 0.9 3.39 2.24 7.47 1.48 2.3 2.65 6.78 3.44 0.46 0.2 0.37 0.38 0.23 0.41 0.67 0.52 52.2 84.6 97.9 74.9 55.3 120.6 115.7 111.7 21.1 29.0 38.6 26.6 27.6 63.1 37.3 30.9 95.5 130 165.5 120.0 119.0 239.0 183.0 175.0 19.0 38.0 50.0 38.0 15.0 33.0 46.0 52.5 7.24 6.56 7.40 8.55 6.63 9.37 11.79 1.69 4.23 3.43 4.15 3.58 4.06 5.39 10.41 12.66 14.55 17.11 13.28 16.09 20.31 5.15 0.44 2.75 1.10 3.42 2.76 4.49 30.1 29.7 30.1 30.2 31.3 34.0 32.7 33.6 0.3 0.5 0.5 3.9 3.3 0.0 2.1 0.7 31.0 30.0 31.0 32.0 34.5 34.0 34.0 35.0 30.0 28.5 29.0 16.0 19.0 34.0 25.0 32.0 8.15 8.21 8.23 8.17 8.38 8.35 8.36 8.41 0.09 0.05 0.16 0.10 0.10 0.08 0.13 0.10 8.29 8.29 8.41 8.33 8.56 8.47 8.52 8.57 7.91 8.12 7.45 8.01 8.13 8.12 7.84 8.11 6.71 6.43 6.22 4.60 4.53 4.24 6.11 0.57 1.22 0.74 0.86 0.47 0.56 0.74 7.36 7.6 7.77 6.53 5.87 5.39 7.12 5.74 4.11 5.15 4.03 3.59 3.05 4.72 Des-13 Jan-14 28.7 29.6 1.4 1.5 31.5 32.9 25.6 26.6 1.5 1.7 0.8 1.0 2.91 4.21 0.31 0.67 123.9 95.1 48.9 15.9 292.0 120.0 74.0 71.0 14.35 9.95 9.08 3.72 38.25 18.75 4.77 4.36 32.6 32.1 1.1 0.7 34.0 33.0 30.0 31.0 8.53 8.56 0.08 0.05 8.7 8.68 8.32 8.4 5.52 4.77 0.67 0.54 6.93 6.35 4.44 3.96

Lampiran 1. Kualitas air habitat rajungan berdasarkan periode waktu pengukuran di Teluk Lasongko Feb-14 29.1 1.4 31.8 25.9 1.2 0.6 2.19 0.45 97.2 22.6 134.0 59.0 9.52 4.55 16.22 3.40 32.0 1.1 33.0 30.0 8.55 0.09 8.67 8.25 5.21 0.82 6.97 3.66

159

Mar-14 28.8 1.2 31.2 25.6 1.4 0.8 3.25 0.52 111.8 35.6 203 64 9.73 3.92 17.06 4.59 30.0 0.3 31.0 29.5 8.62 0.06 8.74 8.4 4.53 0.57 6.15 3.64

159

160

Lampiran 2. Karakter morfometrik rajungan jantan berdasarkan periode waktu penangkapan Karakter morfometrik (g dan mm) Berat (g) LK PK PC TC LA PA Rataan 79.63b 103.00b 45.64c 64.71c 13.10a 13.73c 28.33d SD 31.52 13.17 6.32 13.01 3.10 2.73 4.90 April-13 Maks. 162.12 134.50 61.70 93.50 21.10 20.50 40.00 Min 18.8 59.50 26.90 33.10 6.40 6.00 5.20 Rataan 84.49b 105.59b 48.71bc 67.64c 15.25b 24.01b 31.76c SD 31.62 13.08 6.93 13.57 3.68 4.50 5.34 Mei-13 Maks. 173.96 131.30 63.50 104.20 24.50 34.60 44.80 Min 10.99 52.70 26.10 27.20 6.20 11.90 15.70 Rataan 92.52b 108.88b 50.39b 72.27bc 16.70ab 24.85b 33.49bc SD 37.04 13.71 6.50 14.33 2.88 4.07 4.29 Juni-13 Maks. 170.73 133.00 63.90 100.00 22.20 36.30 42.10 Min 33.86 86.90 39.70 49.40 10.30 11.40 25.90 Rataan 79.57b 104.36b 48.59bc 69.16bc 15.08b 24.05b 32.29bc SD 35.23 16.39 7.75 16.01 3.53 3.83 4.66 Juli-13 Maks. 154.33 136.80 66.30 102.10 23.20 32.10 44.10 Min 6.06 49.80 22.10 24.70 8.40 11.80 20.80 Rataan 88.07b 106.39b 49.38bc 71.28bc 16.62ab 24.71b 33.09bc SD 32.74 12.82 6.04 14.09 2.69 3.25 4.37 Agustus-13 Maks. 172.85 131.50 60.30 101.50 21.30 31.90 41.40 Min 33.48 79.50 37.50 45.10 11.10 18.10 24.90 Rataan 83.62b 105.09b 49.91bc 72.09abc 15.17abc 24.74ab 33.14bc SD 32.61 12.21 7.05 14.01 2.84 2.56 5.90 September-13 Maks. 151.29 131.40 68.50 96.10 18.80 29.50 51.50 Min 51.06 89.80 42.10 54.10 5.30 20.20 26.70 Rataan 117.35a 117.57a 56.14a 83.30a 17.21a 27.47a 36.61ab SD 25.50 7.60 7.38 9.99 2.51 2.15 2.88 Oktober-13 Maks. 176.71 137.50 90.10 108.90 22.10 31.60 43.50 Min 63.21 100.70 43.60 63.50 13.60 22.10 30.30 Rataan 101.16ab 111.26ab 51.29ab 74.84abc 16.89ab 25.31ab 36.15ab SD 40.66 15.22 7.68 16.97 3.01 4.79 5.59 November-13 Maks. 181.97 134.10 64.10 105.30 22.10 32.10 44.20 Min 12.46 63.50 27.30 31.10 8.10 11.40 19.60 Rataan 98.88ab 111.10ab 51.02b 75.14ab 16.30ab 25.14b 38.12a SD 55.50 17.49 8.60 19.79 3.32 4.29 6.20 Desember-13 Maks. 241.04 147.70 71.50 126.20 24.30 34.40 51.20 Min 27.12 74.10 34.80 39.60 9.40 17.30 25.40 Rataan 92.20b 108.98b 50.14b 71.76bc 15.94ab 24.56b 36.19ab SD 40.13 15.85 7.49 16.66 2.85 3.64 5.38 Januari-14 Maks. 208.38 144.60 67.60 116.10 21.10 31.80 46.80 Min 29.11 73.20 31.60 42.50 10.00 17.10 25.50 Rataan 81.66b 103.04b 48.07bc 65.52c 14.83bc 23.41b 34.54b SD 43.54 18.07 8.48 18.27 4.11 4.84 6.27 Februari-14 Maks. 193.09 136.10 64.30 102.40 23.60 32.00 48.80 Min 11.34 57.80 27.10 28.10 7.30 9.10 19.60 Rataan 80.25b 106.95b 49.67bc 69.18bc 16.02ab 24.45b 34.77b SD 35.49 13.25 6.43 13.51 2.52 3.56 5.10 Maret-14 Maks. 199.38 132.50 64.90 99.10 20.60 33.50 46.10 Min 32.26 80.70 36.80 45.40 11.00 17.50 20.70 Angka-angka pada kolom dan item yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0.05).; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC panjang propodus capit.; LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen.

Waktu

Nilai

161

Lampiran 3. Karakter morfometrik rajungan betina berdasarkan periode waktu penangkapan Karakter morfometrik (g dan mm) Berat LK PK PC TC LA PA Rataan 77.59c 99.94c 44.94c 54.17d 13.18d 27.84c 28.33e SD 34.59 15.86 8.56 10.15 3.87 7.70 5.60 April-13 Maks. 231.66 156.00 74.50 91.00 26.20 54.30 46.50 Min 33.32 61.90 27.50 35.20 5.70 10.50 19.80 Rataan 88.31bc 106.90bc 50.33b 59.47c 15.72c 32.19b 32.79d SD 46.10 17.96 10.29 12.30 4.53 8.80 6.80 Mei-13 Maks. 268.75 166.20 89.10 95.90 28.10 55.10 49.70 Min 27.59 56.70 26.80 30.30 7.50 12.20 17.20 Rataan 87.19bc 107.79bc 50.73b 60.78c 17.13bc 32.49b 34.29cd SD 33.58 14.06 7.41 10.30 3.70 7.23 5.10 Juni-13 Maks. 156.93 138.20 69.40 87.40 24.80 45.00 43.20 Min 31.07 75.20 36.20 39.40 7.20 18.00 23.60 Rataan 88.82bc 106.89bc 50.24b 59.16cd 17.97ab 32.72b 34.23cd SD 43.95 16.77 8.21 9.91 3.46 7.49 6.77 Juli-13 Maks. 227.17 148.90 68.60 84.20 28.10 48.60 53.40 Min 23.27 72.10 33.10 38.50 10.70 16.50 21.10 Rataan 91.23bc 107.47bc 50.95b 59.20cd 16.65bc 33.27b 35.10cd SD 44.02 16.42 8.42 10.62 4.25 7.30 6.55 Agustus-13 Maks. 241.53 144.70 70.20 85.10 24.40 50.80 53.20 Min 9.95 52.10 25.40 26.70 8.30 13.30 16.40 Rataan 104.78ab 113.01ab 52.86ab 63.31abc 18.04ab 35.60ab 39.45ab SD 38.45 13.68 6.86 9.05 3.70 5.78 5.53 September-13 Maks. 191.46 139.90 68.90 83.30 25.90 48.20 51.50 Min 39.16 85.30 38.60 44.00 9.80 23.10 25.50 Rataan 125.16a 121.17a 56.82a 69.46a 19.36a 39.92a 43.64a SD 35.96 11.56 6.18 8.32 3.15 5.69 5.56 Oktober-13 Maks. 222.52 138.70 65.90 83.70 25.30 48.10 53.10 Min 31.79 79.10 30.40 43.10 11.90 20.10 23.80 Rataan 122.26a 120.34ab 55.64a 66.88ab 18.33ab 38.73ab 42.54a SD 55.41 17.58 8.44 11.51 3.53 7.48 7.11 November-13 Maks. 314.22 162.30 73.90 92.40 26.60 53.70 58.70 Min 16.89 64.70 28.80 33.10 10.10 14.40 21.90 Rataan 103.72ab 114.13ab 52.57ab 63.22abc 16.85bc 35.46b 39.84ab SD 50.90 18.16 9.11 11.99 4.46 9.06 8.36 Desember-13 Maks. 249.33 145.90 68.20 85.10 25.50 50.40 55.80 Min 28.44 77.90 34.80 39.10 9.40 18.60 23.10 Rataan 101.42b 112.56b 50.97b 62.72cb 17.07bc 34.35b 38.54b SD 50.36 17.01 10.65 11.78 3.61 9.06 9.14 Januari-14 Maks. 248.06 155.20 70.50 90.30 26.20 49.70 59.00 Min 27.4 77.20 35.10 39.70 9.90 18.50 23.30 Rataan 91.01bc 108.95bc 50.05b 59.91cd 16.47bc 32.99b 37.66bc SD 44.06 17.35 8.34 12.41 3.76 7.88 7.65 Februari-14 Maks. 207.69 142.70 65.30 84.50 25.20 47.50 52.80 Min 23.55 70.70 33.40 35.50 9.70 17.70 21.70 Rataan 105.74ab 114.89ab 53.22ab 63.31abc 17.77ab 35.96ab 40.06ab SD 49.89 18.05 9.21 11.73 4.13 8.24 7.89 Maret-14 Maks. 202.71 153.30 72.40 86.30 26.50 52.30 56.30 Min 32.01 78.70 36.50 39.20 8.50 19.10 24.20 Angka-angka pada kolom dan item yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0.05).; LK lebar karapas.; PK panjang karapas.; PC panjang propodus capit.; TC panjang propodus capit.; LA lebar abdomen.; PA panjang abdomen.

Waktu

Nilai

Lampiran 4. Sebaran tingkat kematangan gonad rajungan betina dan juvenil di Teluk Lasongko

162

162

Lampiran 5. Sebaran intensitas penangkapan rajungan di Teluk Lasongko

163

163

164

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gu-Buton pada tanggal 22 Desember 1964 sebagai anak ketiga dari pasangan La Ende (alm) dan Zariah (alm). Penulis menikah dengan Umi Kalsum pada tahun 1995, dan dikarunia tiga orang putra-putri, yaitu Muhammad Hilmy, Nurul Hazriah, dan Muhammad Ihza Raihan. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada bulan Januari 1989. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Ilmu Perairan Program Pascasarjana IPB dengan Minat Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan lulus pada bulan Agustus 1996. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2011 dengan bantuan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo sejak tahun 1991 hingga 2006, dan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo sejak tahun 2006 sampai sekarang. Penulis pernah dipercaya mengelola administrasi akademik, (1) sebagai Sekretaris Jurusan Perikanan dari tahun 1998 hingga 2001, (2) Ketua Jurusan Perikanan dari tahun 2001 hingga 2005, dan (3) Kepala Pusat Penelitian Wilayah Pesisir dan Laut Universitas Halu Oleo dari tahun 2010 hingga 2011. Penulis dari tahun 2004 hingga 2011 dipercaya sebagai Ketua Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tenggara, dan atas prestasinya dalam mengembangkan Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tenggara, pada tahun 2006 mendapat penghargaan Adhi Bakti Mina Bahari bidang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dari Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Konsorsium Mitra Bahari Teladan Tingkat Nasional. Selama mengikuti Pendidikan S3, penulis berpartisipasi dalam beberapa kegiatan ilmiah, diantaranya sebagai peserta TOT Perencanaan Adaptasi Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Batam pada tahun 2011, Workshop Penulisan Karya Ilmiah Internasional di Bogor pada tahun 2012, serta TOT dan Workshop IUCN Red List Assessor Training and Workshop di Bogor pada tahun 2013. Artikel berjudul “Changes in Proximate and Fatty Acids of the Eggs during Embryos Development in the Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus 1758) at Lasongko Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia” diterbitkan pada Indian Journal of Science and Technology volume 8 nomor 6 halaman 501–509, Maret 2015. Artikel kedua berjudul “Fekunditas dan Tingkat Kematangan Gonad Rajungan (Portunus Pelagicus) Betina Mengerami Telur di Teluk Lasongko, Sulawesi Tenggara” diterbitkan pada Jurnal Bawal Widya Riset Perikanan Tangkap volume 7 nomor 1 halaman 43-50, April 2015 (Terakreditasi LIPI). Kedua karya ilmiah tersebut adalah bagian dari program S-3 penulis.

More Documents from "Insaniah Rahimah"