BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Dasar Teori
1.
Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dan
bagian tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun sel tumbuhan dan hewan memiliki perbedaan begitu pula ketebalannya sehingga diperlukan metode ekstraksi dan pelarut tertentu untuk mengekstraksinya ( Tobo F, 2001). Ekstraksi adalah pemurnian suatu senyawa. Ekstraksi cairan-cairan merupakan suatu teknik dalam suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang pada dasarnya tidak saling bercampur dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut (solut) ke dalam pelarut kedua itu. Pemisahan itu dapat dilakukan dengan mengocok-ngocok larutan dalam sebuah corong pemisah selama beberapa menit (Shevla, 1985). Ada beberapa metode sederhana yang dapat dilakukan untuk mengambil komponen berkhasiat ini; diantaranya dengan melakukan perendaman, mengaliri simplisia dengan pelarut tertentu ataupun yang lebih umum dengan melakukan perebusan dengan tidak melakukan proses pendidihan (Makhmud, 2001). Umumnya zat aktif yang terkandung dalam tumbuhan maupun hewan lebih mudah tarut dalam petarut organik. Proses terekstraksinya zat aktif dimulai ketika pelarut organik menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga set yang mengandung zat aktif, zat aktif akan terlarut sehingga terjadi perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi ke luar sel, dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Tobo F, 2001). 2.
Pemilihan pelarut Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus diperhatikan sifat
kandungan kimia (metabolit sekunder) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting
adalah sifat kepolaran, dapat dilihat dari gugus polar senyawa tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut (Ditjen POM, 1992). Syarat-syarat pelarut adalah sebagai berikut (Ditjen POM, 1992) : 1.
Kapasitas besar
2.
Selektif
3.
Volabilitas cukup rendah
4.
Harus dapat diregenerasi
5.
Relative tidak mahal
6.
Non toksik, non korosif, tidak memberikan kontaminasi serius dalam keadaan uap
7.
Viskositas cukup rendah
3.
Pemilihan metode ekstraksi Pemilihan metode ekstraksi tergantung bahan yang digunakan, bahan yang
mengandung mucilago dan bersifat mengembang kuat hanya boleh dengancara maserasi. sedangkan kulit dan akar sebaiknya di perkolasi. Untuk bahan yang tahan panas sebaiknya diekstrasi dengan cara refluks sedangkan simplisia yang mudah rusak karna pemanasan dapat diekstrasi dengan metode soxhlet (Agoes, 2007). Hal-hal yang dipertimbangkan dalam pemilihan metode ekstraksi (Agoes, 2007): 1.
Bentuk/tekstur bahan yang digunakan
2.
Kandungan air dari bahan yang diekstrasi
3.
Jenis senyawa yang akan diekstraksi
4.
Sifat senyawa yang akan diekstraksi
4.
Pembagian Jenis Ekstraksi Ekstraksi Secara Dingin Proses ektraksi secara dingin pada prinsipnya tidak memerlukan
pemanasan. Hal ini diperuntukkan untuk bahan alam yang mengandung komponen kimia yang tidak tahan pemanasan dan bahan alam yang mempunyai
tekstur yang lunak. Yang termasuk ekstraksi secara dingin adalah (Ditjen POM, 1986) : 1.
Metode Maserasi Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya (Ditjen POM, 1986). Metode ini digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang seperti benzoin, stiraks dan lilin. Penggunaan metode ini misalnya pada sampel yang berupa daun, contohnya pada penggunaan pelarut eter atau aseton untuk melarutkan lemak/lipid (Ditjen POM, 1986). Maserasi umumnya dilakukan dengan cara: memasukkan simplisia yang sudah diserbukkan dengan derajat halus tertentu sebanyak 10 bagian dalam bejana maserasi yang dilengkapi pengaduk mekanik, kemudian ditambahkan 75 bagian cairan penyari ditutup dan dibiarkan selama 5 hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari, cairan penyari disaring ke dalam wadah penampung, kemudian ampasnya diperas dan ditambah cairan penyari lagi secukupnya dan diaduk kemudian disaring lagi sehingga diperoleh sari 100 bagian. Sari yang diperoleh ditutup dan disimpan pada tempat yang terlindung dari cahaya selama 2 hari, endapan yang terbentuk dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Ditjen POM, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Selain itu, kerusakan pada komponen kimia sangat minimal. Adapun kerugian cara maserasi ini adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Ditjen POM, 1986). 2.
Metode Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkanpenyari melalui serbuk
simplisia yang telah dibasahi. Prinsip ekstraksi dengan perkolasi adalah serbuk simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui
sampel dalam keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya beratnya sendiri dan tekanan penyari dari cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan gerakan ke bawah (Ditjen POM, 1986). Adapun kerugian dari cara perkolasi ini adalah serbuk kina yang mengadung sejumlah besar zat aktif yang larut, tidak baik bila diperkolasi dengan alat perkolasi yang sempit, sebab perkolat akan segera menjadi pekat dan berhenti mengalir (Ditjen POM, 1986). Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosa, adesi, daya kapiler dan daya geseran (friksi) (Ditjen POM, 1986). Alat yang digunakan untuk perkolasi disebut perkolator, cairan yang digunakan untuk menyari disebut cairan penyari atau menstrum, larutan zat aktif yang keluar dari perkolator disebut sari atau perkolat, sedangkan sisa setelah dilakukannya penyarian disebut ampas atau sisa perkolasi (Ditjen POM, 1986). 2.2
Uraian Tanaman
2.2.1
Maserasi Daun Sirih (Piper bettle L.folium)
1.
Klasifikasi Tanaman (Tjitrosoepomo, 1993) Regnum
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Classis
: Dicotyledoneae
Ordo
: Piperales
Familia
: Piperaceae
Genus
: Piper
Spesies
: Piper bettle L
Gambar 2.2.1 Daun Sirih
2.
Morfologi Tanaman
(Piper bettle L.folium)
Sirih adalah nama sejenis tumbuhan merambatyang bersandar pada batang pohon lain. Tinggi 5-15m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal
berbentuk jantung, berujung runcing, tepi rata, tulang daun melengkung, lebar daun 2,5-10 cm, panjang daun 5-18cm, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Menurut Van Steenis (1997), tanaman sirih memiliki bunga majemuk berkelamin 1, berumah 1 atau 2. Bulir berdiri sendiri, di ujung dan berhadapan dengan daun. panjang bulir sekitar 5 - 15 cm dan lebar 2 - 5 cm. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 2,5 - 6 cm dimana terdapat kepala putik tiga sampai lima buah berwarna putih dan hijau kekuningan. 3.
Khasiat Tanaman Daun sirih mempunyai bau aromatik khas, bersifat pedas, dan hangat.
Sirih berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, antibakteri. Bagian tanaman yang dapat digunakan adalah daun, akar, dan bijinya. Daunnya digunakan untuk mengobati bau mulut, sakit mata, keputihan, radang saluran pernapasan, batuk, sariawan, dan mimisan (Mooryati,1998). Sirih juga berpotensi sebagai insektisida alami yang bersifat sebagai pestisida yang ramah lingkungan (Wijaya, dkk, 2004). 4.
Kandungan Senyawa Kimia Sirih merupakan tanaman yang berasal dari famili Piperaceae yang
memiliki ciri khas mengandung senyawa metabolit sekunder yang biasanya berperan sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh hewan(hama) ataupun
sebagai
agen
untuk
bersaing
dengan
tumbuhanlain
dalam
mempertahankan ruang hidup. Menurut Hutapea (2000), senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman sirih berupa saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri triterpenoid, minyak atsiri (yang terdiri atas khavikol, chavibetol, karvakrol, eugenol, monoterpena, estragol), seskuiterpen, gula, dan pati. Kandungan minyak atsiri yang terdapat pada daun sirih juga berkhasiat sebagai insektisida alami. Disamping itu, kandungan minyak atsiri yang terkandung di dalam daun sirih juga terbukti efektif digunakan sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006).
2.2.3
Perkolasi Bunga kertas (Bougainvillea spinosa)
1.
Klasifikasi Tanaman (Tjitrosoepomo, 1993) Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
2.
Divisi
: Tracheobionta
Sub Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Caryophyllanae
Famili
: Nytaginaceae
Genus
: Bougainvillea.
Spesies
: Bougainvillea spinosa
Gambar 2.2.2 Bunga kertas
Morfologi Tanaman Akar bunga kertas tunggang, tumbuh vertikal, berserabut, dan melebar.
Perakaran bunga kertas ini akan menembus media tanah mencapai kedalaman 5080 cm bahkan lebih tergantung varietesnya. Batang bunga kertas perdu, tegak lurus mencapai ketinggian 2-3 m bahkan lebih, dengan permukaan halus hingga kasar dan berwarna kecoklatan. Selain itu, batang juga berkayu, berbentuk bulat memanjang dan berduri kecil serta memiliki percabangan banyak. Daun bunga kertas bulat oval memanjang dengan panjang 1-4 cm, bagian tepi permukaan daun rata, pertulangan menyirip antara 3-5 bahkan lebih, dan juga daun berwarna kehijauan muda hingga tua. Daun tanaman ini juga memiliki pertangkaian pendek dengan panjang 0,5-1 cm berwarna kecoklatan muda. Bunga kertas tidak lengkap, yang terdiri dari beberapa macam diantaranya tangkai, tenda bunga, kepala putik, tangkai putik, benang sari dan tangkai sari. Bunga ini biasanya muncul pada ketiakdaun, dengan berbentuk majemuk atau payung yang tersusun.Bunga kertas ini juga tersusun dalam anakan payung yang bertangkai dengan jumlah 1-7 anakan, masing – masing anakan memiliki 3 bunga. Pada umumnya, bunga kertas ini memiliki warna yang sangat beragam mulai dari putih, merah mudah dan tua, jingga, unggu dan lain – lain ( Tobo F, 2001).
3.
Khasiat Tanaman Khasiat kembang kertas : Tanaman ini bersifat menyejukkan dan
menenangkan. Biasa dimanfaatkan sebagai obat disentri, kencing nanah, bisul, dan sakit pada puting susu (papilla mammae) (Huttapea, 2000). 4.
Kandungan Senyawa Kimia Kembang kertas atau bougainville atau bugenfil mempunyai rasa pahit,
kelat, dan hangat. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam bugenfil di antaranya
betanidin,
isobetanidin,
6-o-P-saphoroside,
dan
6-o-
rhamnosysophoroside (Huttapea, 2000). 2.3
Uraian Bahan
1. Alkohol (FI III, 1979) Nama resmi
: Aethanolum
Nama lain
: Alkohol, etanol, ethyl alkohol
Rumus molekul
: C2H5O
Rumus struktur
:
Berat molekul
: 46,07
Pemerian
: Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah terbakar
bergerak; dan
bau
khas
memberikan
rasa
nyala
panas, mudah biru yang tidak
berasap. Kelarutan
: Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P.
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya, ditempat sejuk jauh dari nyala api.
Kegunaan
: Sebagai zat tambahan, juga dapat membunuh kuman.
Agoes. Goeswin, 2007, Teknologi Bahan Alam. Penerbit ITB: Bandung. Anonim. 2014. Penuntun dan Buku Kerja Praktikum Fitokimia I. Universitas Muslim Indonesia : Makassar Ditjen POM, 1986. Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan RI : Jakarta. Ditjen POM, 1990, Cara Pembuatan Simplisia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Ditjen POM, 1992, Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. Gembong T., 1998, Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta, UGM UI Press :, Yogyakarta. Harborne. J.B. 1987. Metode Fitokimia. ITB Press. Bandung Makhmud, AI. 2001. Metode Pemisahan. Departemen Farmasi Fakultas Sains Dan tekhnologi, Universitas Hasanuddin : Makassar. Shevla. 1985. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimakro. Cetakan Pertama. Penerbit PT Kalman Media Pustaka : Jakarta Tobo, F. 2001. Buku Pengangan Laboratorium Fitokimia I. Universitas Hasanuddin : Makassar. Hutapea, J. R., 2000, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, Edisi I, 19-20, Bhakti Husada, Jakarta. Tjitrosoepomo, G. 1993. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Dalimartha, Setiawan dr. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid V. Jakarta: Trubus Agriwidya Wijaya, S. dan Soemartojo. 2004. Uji Efek Bioinsektisida Ekstrak Daun Sirih (Piper bettle L.) Terhadap Nyamuk Aedes aegypti Linn. Dalam Pelarut Polar dan Non Polar. Fakultas Farmasi Unika Widya Mandala. Universitas Airlangga. Surabaya. Van Steenis, C. G. G.J. 1997. Flora (Cetakan ke-7). PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Hal 163-164. Tebal buku 485 hlm.