2 Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Muhammad Munirruzzaman
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 2 Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,234
  • Pages: 31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. RUANG RAWAT INAP 1. Lingkup Kegiatan di Ruang Rawat Inap Lingkup kegiatan di Ruang Rawat Inap rumah sakit meliputi kegiatan asuhan dan pelayanan keperawatan, pelayanan medis, gizi, administrasi pasien, rekam medis, pelayanan kebutuhan keluarga pasien (berdoa, menunggu pasien, mandi, BAB, dapur kecil/pantry, konsultasi medis). Rawat inap merupakan suatu bentuk perawatan, dimana pasien dirawat dan tinggal di rumah sakit untuk jangka waktu tertentu. Selama pasien dirawat, Rumah Sakit harus memberikan pelayanan yang terbaik kepda pasien (Posma 2001 dalam Anggraini 2016). Standar Minimal Pelayanan kesehatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit mencakup antara lain: a. Pemberian pelayanan rawat inap adalah dokter spesialis dan perawat dengan minimal pendidikan D3 keperawatan. b. Penanggungjawab pasien rawat inap 100% adalah dokter c. Pelayanan medik (Pra dan Pasca Tindakan Medik). d. Pelayanan penunjang medik : 1) Konsultasi Radiologi. 2) Pengambilan Sample Laboratorium. 3) Konsultasi Anestesi. 4) Gizi (Diet dan Konsultasi). 5) Farmasi (Depo dan Klinik). 6) Rehab Medik (Pelayanan Fisioterapi dan Konsultasi). 2. Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas

No. 1.

Tabel 2.1 Kebutuhan Ruang, Fungsi dan Luasan Ruang serta Kebutuhan Fasilitas di Rumah Sakit Nama Besaran Ruang Kebutuhan Fungsi Ruangan / Luas Fasilitas Ruang Ruang untuk pasien yang Tergantung Tempat tidur Perawatan memerlukan asuhan dan Kelas & pasien, lemari, pelayanan keperawatan keinginan nurse call, meja, dan pengobatan secara desain, kursi, televisi, tirai

10

berkesinambungan dari 24 jam.

2

3

4

5

6

7

lebih kebutuhan ruang pemisah bila ada, 1 tt min. 7.2 m2 (sofa untuk ruang perawatan VIP). Ruang Stasi Ruang utk melakukan Min. 8 m2 Meja, Kursi, lemari Perawat (Nurse perencanaan, (Ket : arsip, lemari obat, Station) pengorganisasian asuhan perhitungan 1 telepon/intercom dan pelayanan stasi perawat Tersedia peralatan keperawatan (pre dan untuk melayani keperawatan sesuai post-confrence, maksimum 25 dengan pengaturan jadwal), tempat tidur) kemampuan dokumentasi sampai pelayanan yang dengan evaluasi pasien. ada, alat monitoring untuk pemantauan terus menerus fungsi2 vital pasien. Ruang Ruang untuk melakukan 9-16 m2 Meja, Kursi, lemari Konsultasi konsultasi oleh profesi arsip, kesehatan kepada pasien telepon/intercom, dan keluarganya. peralatan kantor lainnya Ruang Ruangan untuk 12-25 m2 Lemari alat periksa Tindakan melakukan tindakan pada & obat, tempat pasien baik berupa tidur periksa, tindakan invasive ringan tangga roolstool, maupun non-invasive wastafel, lampu periksa, tiang infus dan kelengkapan lainnya. R. Administrasi Ruang untuk 3~5 m2/ petugas Meja, Kursi, lemari / Kantor menyelenggarakan (min.9 m2) arsip, telepon/ kegiatan administrasi intercom, khususnya pelayanan komputer, printer pasien di Ruang Rawat dan peralatan Inap, yaitu berupa kantor lainnya registrasi & pendataan pasien, penandatangan-an surat pernyataan keluarga pasien apabila diperlukan tindakan operasi. R. Dokter Ruang Dokter terdiri dari 9-16 m2 Tempat tidur, sofa, 2 bagian : lemari, meja/kursi, 1. Ruang kerja. wastafel. 2. Ruang istirahat/kamar jaga. Ruang Perawat Ruang istirahat perawat 9-16 m2 Sofa, lemari, meja/kursi, wastafel

11

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Ruang kepala Ruang tempat kepala instalasi rawat ruangan melakukan inap manajemen asuhan dan pelayanan keperawatan diantaranya pembuatan program kerja dan pembinaan. Ruang Linen Tempat penyimpanan Bersih bahan-bahan linen steril/ bersih. Ruang Linen Ruangan untuk Kotor menyimpan bahan-bahan linen kotor yang telah digunakan di r. perawatan sebelum dibawa ke r. cuci (;Laundry). Gudang Kotor Fasilitas untuk membuang (Spoolhoek/Dir kotoran bekas pelayanan ty Utility). pasien khususnya yang berupa cairan. Spoolhoek berupa bak/ kloset yang dilengkapi dengan leher angsa (water seal). KM/WC KM/WC (pasien, petugas, pengunjung) Dapur Kecil Sebagai tempat untuk (;Pantry) menyiapkan makanan dan minuman bagi petugas di Ruang Rawat Inap RS. Gudang Bersih Ruangan tempat penyimpanan alat-alat medis dan bahan-bahan habis pakai yang diperlukan. Janitor/ Ruang Ruang untuk menyimpan Petugas alat-alat Kebersihan kebersihan/cleaning service. Pada ruang ini terdapat area basah. Ruang Ruangan untuk evakuasi Evakuasi pasien bila terjadi Pasien bencana internal pada ruang perawatan.

8-16 m2

Lemari, meja/kursi, sofa, komputer, printer dan peralatan kantor lainnya.

Min. 4 m2

Lemari

Min. 4 m2

Bak penampungan linen kotor

4-6 m2

Kloset leher angsa, keran air bersih (Sink) Ket : tinggi bibir kloset + 80-100 m dari permukaan lantai @ KM/WC Kloset, wastafel, pria/wanita luas bak air 2 2 2m –3m Min. 6 m2

Min. 6 m2

Kursi+meja untuk makan, sink, dan perlengkapan dapur lainnya. Lemari

Min. 4-6 m2

Lemari/rak

Sesuai kebutuhan

Instalasi telepon, kamera CCTV

12

3. Persyaratan Khusus 1. Perletakan ruangannya secara keseluruhan perlu adanya hubungan antar ruang dengan skala prioritas yang diharuskan dekat dan sangat berhubungan/ membutuhkan. 2. Kecepatan

bergerak

merupakan

salah

satu

kunci

keberhasilan

perancangan, sehingga blok unit sebaiknya sirkulasinya dibuat secara linier/lurus (memanjang). 3. Konsep Rawat Inap yang disarankan “Rawat Inap Terpadu (Integrated Care)” untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan ruang. 4. Apabila Ruang Rawat Inap tidak berada pada lantai dasar, maka harus ada tangga landai (;Ramp) atau Lift Khusus untuk mencapai ruangan tersebut. 5. Bangunan Ruang Rawat Inap harus terletak pada tempat yang tenang (tidak bising), aman dan nyaman tetapi tetap memiliki kemudahan aksesibilitas dari sarana penunjang rawat inap. 6. Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ruangan. 7. Alur petugas dan pengunjung dipisah. 8. Masing-masing ruang Rawat Inap 4 spesialis dasar mempunyai ruang isolasi. 9. Ruang Rawat Inap anak disiapkan 1 ruangan neonatus. 10. Lantai harus kuat dan rata tidak berongga, bahan penutup lantai dapat terdiri dari bahan vinyl yang rata atau terasso keramik dengan nat yang rata sehingga abu dari kotoran-kotoran tidak tertumpuk, mudah dibersihkan, bahan tidak mudah terbakar. 11. Pertemuan dinding dengan lantai disarankan berbentuk lengkung agar memudahkan pembersihan dan tidak menjadi tempat sarang debu/kotoran. 12. Plafon harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan debu/kotoran lain. 13. Tipe R. Rawat Inap adalah Super VIP, VIP, Kelas I (2 tempat tidur), Kelas II (4 tempat tidur) dan Kelas III (6 tempat tidur) 14. Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan seperti : a) Pasien yang menderita penyakit menular.

13

b) Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau (seperti penyakit tumor, ganggrein, diabetes, dsb). c) Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam ruangan) 15. Stasi perawat harus terletak di pusat blok yang dilayani agar perawat dapat mengawasi pesiennya secara efektif, maksimum melayani 25 tempat tidur. Bagan 2.1 Alur Kegiatan Rawat Inap

4. Persyaratan Ruangan Tabel 2.2 Persyaratan Ruangan di Rumah Sakit No. 1.

Nama Ruangan Ruangan Perawatan

Persyaratan Ruangan a. Ukuran ruangan rawat inap tergantung kelas perawatan dan jumlah tempat tidur. b. Jarak antar tempat tidur 2,4 m atau antar tepi tempat tidur minimal 1,5 m. c. Bahan bangunan yang

Keterangan Jumlah tempat tidur menyesuaikan dengan klasifikasi RS dan kajian kebutuhan pelayanan

14

d.

e.

f. g.

h.

i.

j.

digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi. Antar tempat tidur yang dibatasi oleh tirai maka rel harus dibenamkan/ menempel di plafon, dan sebaiknya bahan tirai non porosif. Setiap tempat tidur disediakan minimal 2 (dua) kotak kontak dan tidak boleh ada percabangan/ sambungan langsung tanpa pengamanan arus. Harus disediakan outlet oksigen. Ruangan harus dijamin terjadinya pertukaran udara baik alami maupun mekanik. Untuk ventilasi mekanik minimal total pertukaran udara 6 kali per jam, untuk ventilasi alami harus lebih dari nilai tersebut. Ruangan perawatan pasien harus memiliki bukaan jendela yang aman untuk kebutuhan pencahayaan dan ventilasi alami. Ruangan harus mengoptimalkan pencahayaan alami. Untuk pencahayaan buatan dengan intensitas cahaya 250 lux untuk penerangan, dan 50 lux untuk tidur. Ruang perawatan harus menyediakan nurse call untuk masing-masing tempat tidur yang terhubung

15

2.

3.

4.

ke pos perawat (nurse station). k. Di setiap ruangan perawatan harus disediakan kamar mandi. Kamar mandi ini mengikuti persyaratan kamar mandi aksesibilitas. Ruangan Pos a. Luas ruangan pos perawat Perawat (Nurse minimal 8 m2 atau 3-5 m2 Station) per perawat, disesuaikan dengan kebutuhan. Satu pos perawat melayani maksimal 25 tempat tidur. b. Luas ruangan harus dapat mengakomodir lemari arsip dan lemari obat. c. Disediakan instalasi untuk alat komunikasi. d. Disediakan fasilitas desinfeksi tangan (handsrub). e. Ruangan harus mengoptimalkan pencahayaan alami. Untuk pencahayaan buatan dengan intensitas cahaya 200 lux untuk penerangan. Ruangan Konsultasi Umum RS Kelas C dan D dapat bergabung dengan ruangan pos perawat Ruangan Tindakan a. Luas ruangan per tempat Jumlah ruangan tidur resusitasi 12-20 m2. tindakan b. Bahan bangunan yang menyesuaikan digunakan tidak boleh dengan kajian memiliki tingkat porositas kebutuhan kapasitas yang tinggi. pelayanan. c. Setiap tempat tidur disediakan minimal 5 (lima) kotak kontak dan tidak boleh ada percabangan/ sambungan langsung tanpa

16

pengamanan arus. d. Harus disediakan outlet gas medik yang terdiri dari oksigen, udara tekan medik dan vakum medik. e. Ruangan harus dijamin terjadinya pertukaran udara baik alami maupun mekanik dengan total pertukaran udara minimal 15 kali per jam. f. Ruangan harus mengoptimalkan pencahayaan alami. Untuk pencahayaan buatan dengan intensitas cahaya 300 lux. Kepala Umum RS Kelas D ruangan ini dapat terpusat.

5.

Ruangan Rawat Inap

6.

Ruangan Bersih

7.

Gudang Bersih

8.

Gudang Kotor a. Dilengkapi dengan sloop (Spoolhoek/Dirty sink dan service sink. Utility) b. Letak ruang spoolhoek berada di area servis. c. Persyaratan ventilasi udara : 1. Tekanan udara dalam ruangan negatif. 2. Total pertukaran volume udara min. 10 kali per jam. KM/WC (Toilet) a. Toilet petugas mengikuti persyaratan toilet umum (lihat poin di atas). b. Satu toilet melayani satu ruangan perawatan. c. Toilet di ruangan rawat inap harus aksesibel untuk pasien (Persyaratan tentang toilet akesibel melihat poin

9.

Linen Disediakan lemari atau rak.

Umum

RS Kelas C dan D ruangan ini dapat digabung

17

10.

Dapur (Pantry)

Kecil a. b.

11.

Ruangan Perawatan Isolasi

a. b. c.

d.

e. f. g. h.

di atas) dan tersedia tombol panggil bantuan perawat Dilengkapi dengan sink dan meja pantri. Dilengkapi meja dan kursi makan sesuai dengan kebutuhan. Ukuran ruangan perawatan isolasi minimal 3x4 m2. Satu ruangan untuk satu tempat tidur. Bahan bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi. Setiap ruangan disediakan minimal 2 (dua) kotak kontak dan tidak boleh ada percabangan/ sambungan langsung tanpa pengamanan arus. Harus disediakan outlet oksigen dan vakum medik. Disediakan toilet pasien. Dilengkapi wastafel pada ruangan antara. Persyaratan ventilasi udara sebagai berikut : 1. Ruangan bertekanan lebih negatif dari ruangan disebelahnya. 2. Ruangan harus dijamin terjadinya pertukaran udara baik alami maupun mekanik. Untuk ventilasi mekanik minimal total pertukaran udara 6 kali/jam. 3. Dilengkapi ruangan antara (airlock) jenis sink, dimana airlock bertekanan lebih negatif

Ruangan ini dapat terpusat di RS

Untuk RS kelas C dan D, ada/tidak ruangan ini disesuaikan kajian kebutuhan pelayanan.

18

dibandingkan ruanganruangan disebelahnya. 4. Ruangan harus mengoptimalkan pencahayaan alami. Untuk pencahayaan buatan dengan intensitas cahaya 200 lux untuk penerangan, dan 50 lux untuk tidur. 5. Ruang perawatan isolasi harus menyediakan nurse call yang terhubung ke pos perawat (nurse station). B. MODEL PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL (MPKP) 1. Pengertian MPKP Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) adalah suatu sistem (struktur, proses dan nilai-nilai profesional) yang memungkinkan perawat profesional

mengatur

pemberian

asuhan

keperawatan

termasuk

lingkungan, yang dapat menopang asuhan tersebut diberikan (Ratna Sitorus & Yuli, 2006). 2. Tujuan a. Menjaga konsistensi asuhan keperawatan b. Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan oleh tim keperawatan c. Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan d. Memberikan pedoman dalam menentukan kebijakan dan keputusan e. Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap tim keperawatan. 3. Macam-macam Metode Penugasan MPKP dalam Keperawatan a. Metode Kasus Metode kasus merupakan metode pemberian asuhan yang pertama kali digunakan. Sampai perang dunia II metode tersebut merupakan metode pemberian asuhan keperawatan yang paling banyak digunakan. Pada

19

metode ini satu perawat akan memberikan asuhan keperawatan kepada seorang klien secara total dalam satu periode dinas. Jumlah klien yang dirawat oleh satu perawat bergantung pada kemampuan perawat tersebut dan kompleksnya kebutuhan klien. (Sitorus, 2006). Setelah perang dunia II, jumlah pendidikan keperawatan dari berbagai jenis program meningkat dan banyak lulusan bekerja di rumah sakit. Agar pemanfaatan tenaga yang bervariasi tersebut dapat maksimal dan juga tuntutan peran yang diharapkan dari perawat sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran, kemudian dikembangkan metode fungsional. (Sitorus, 2006). b. Metode Fungsional Pada metode fungsional, pemberian asuhan keperawatan ditekankan pada penyelesaian tugas atau prosedur. Setiap perawat diberi satu atau beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada semua klien di satu ruangan. (Sitorus, 2006). Pada metode ini, kepala ruang menentukan tugas setiap perawat dalam satu ruangan. Perawat akan melaporkan tugas yang dikerjakannya kepada kepala ruangan dan kepala ruangan tersebut bertanggung jawab dalam pembuatan laporan klien. Metode fungsional mungkin efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas apabila jumlah perawat sedikit, tetapi klien tidak mendapatkan kepuasan asuhan yang diterimanya. (Sitorus, 2006).

Metode ini kurang efektif karena (Sitorus, 2006) : 1) Proritas utama yang dikerjakan adalah kebutuhan fisik dan kurang menekankan pada pemenuhan kebutuhan holistik 2) Mutu asuhan keperawatan sering terabaikan karena pemberian asuhan keperawatan terfragmentasi 3) Komunikasi antar perawat sangat terbatas sehingga tidak ada satu perawat yang mengetahui tentang satu klien secara komprehensif, kecuali mungkin kepala ruangan.

20

4) Keterbatasan itu sering menyebabkan klien merasa kurang puas terhadap pelayanan atau asuhan yang diberikan karena seringkali klien tidak mendapat jawaban yang tepat tentang hal-hal yang ditanyakan. 5) Klien kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan perawat. Selama beberapa tahun menggunakan metode fungsional beberapa perawat pemimpin (nurse leader) mulai mempertanyakan keefektifan metode tersebut dalam memberikan asuhan keperawatan profesional kemudian pada tahun 1950 metode tim digunakan untuk menjawab hal tersebut. (Sitorus, 2006). c. Metode tim Metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang

perawat

profesional

memimpin

sekelompok

tenaga

keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok klien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif (Douglas, 1992). Metode tim didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok memberikan

mempunyai asuhan

kontribusi

keperawatan

dalam

merencanakan

dan

sehingga

menimbulkan

rasa

tanggung jawab yang tinggi. (Sitorus, 2006). Pelaksanaan metode tim berlandaskan konsep berikut (Sitorus, 2006) : 1) Ketua

tim,

sebagai

perawat

profesional

harus

mampu

menggunakan berbagai teknik kepemimpinan. Ketua tim harus dapat membuat keputusan tentang prioritas perencanaan, supervisi, dan evaluasi asuhan keperawatan. Tanggung jawab ketua tim adalah : a) Mengkaji setiap klien dan menetapkan renpra b) Mengkoordinasikan renpra dengan tindakan medis c) Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota kelompok dan memberikan bimbingan melalui konferensi d) Mengevaluasi pemberian askep dan hasil yang dicapai serta mendokumentasikannya

21

2) Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas renpra terjamin. Komunikasi yang terbuka dapat dilakukan melalui berbagai cara, terutama melalui renpra tertulis yang merupakan pedoman pelaksanaan asuhan, supervisi, dan evaluasi. 3) Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim. 4) Peran kepala ruangan penting dalam metode tim. Metode tim akan berhasil baik apabila didukung oleh kepala ruang untuk itu kepala ruang diharapkan telah : a) Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf b) Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan c) Memberi kesempatan pada ketua tim untuk pengembangan kepemimpinan d) Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim keperawatan e) Menjadi narasumber bagi ketua tim f) Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset keperawatan g) Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka Hasil

penelitian

Lambertson

dalam

Douglas

(1992)

menunjukkan bahwa metode tim jika dilakukan dengan benar adalah metode pemberian asuhan yang tepat untuk meningkatkan kemanfaatan tenaga keperawatan yang bervariasi kemampuannya. (Sitorus, 2006). Kekurangan metode ini, kesinambungan asuhan keperawatan belum

optimal sehingga pakar menge mbangkan metode

keperawatan primer. (Sitorus, 2006). d. Metode perawatan primer Menurrut Gillies (1989) “Keperawatan primer merupakan suatu metode pemberian asuhan keperawatan, dimana terdapat hubungan yang dekat dan berkesinambungan antara klien dan seorang perawat tertentu yang bertanggungjawab dalam perencanaan, pemberian, dan koordinasi asuhan keperawatan klien, selama dirawat.” (Sitorus, 2006).

22

Pada metode keperawatan primer perawat yang bertanggung jawab terhadap pemberian asuhan keperawatan disebut perawat primer (primary nurse) disingkat dengan PP. (Sitorus, 2006). Metode keperawatan primer dikenal dengan ciri yaitu akuntabilitas, otonomi, otoritas, advokasi, ketegasan, dan 5K yaitu kontinuitas, komunikasi, kolaborasi, koordinasi, dan komitmen. (Sitorus, 2006). Setiap PP biasanya merawat 4 sampai 6 klien dan bertanggungjawab selama 24 jam selama klien tersebut dirawat dirumah sakit atau di suatu unit. Perawat akan melakukan wawancara mengkaji secara komprehensif, dan merencanakan asuhan keperawatan. Perawat yang peling mengetahui keadaaan klien. Jika PP tidak sedang bertugas, kelanjutan asuhan akan di delegasikan kepada perawat lain (associated nurse). PP bertanggungjawab terhadap asuhan keperawatan klien dan menginformasikan keadaan klien kepada kepala ruangan, dokter, dan staff keperawatan. (Sitorus, 2006). Seorang PP bukan hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan

asuhan

keperawatan,

tetapi

juga

mempunyai

kewengangan untuk melakukan rujukan kepada pekerja sosial, kontrak dengan lembaga sosial di masyarakat, membuat jadwal perjanjian klinik, mengadakan kunjungan rumah dan lain lain. Dengan diberikannya kewenangan, dituntut akuntabilitas perawat yang tinggi terhadap hasil pelayanan yang diberikan. Metode keperawatan primer memberikan beberapa keuntungan terhadap klien, perawat, dokter, dan rumah sakit (Gillies, 1996). (Sitorus, 2006). Keuntungan yang dirasakan klien ialah mereka merasa lebih dihargai sebagai manusia karena terpenuhi kebutuhannya secara individu, asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan tercapainya layanan

yang efektif terhadap pengobatan, dukungan,proteksi,

informasi, dan advokasi. Metode itu dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan karena (Sitorus, 2006) : 1) Hanya ada 1 perawat yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan koordinasi asuhan keperawatan

23

2) Jangkauan observasi setiap perawat hanya 4-6 klien 3) PP bertanggung jawab selama 24 jam 4) Rencana pulang klien dapat diberikan lebih awal 5) Rencana asuhan keperawatan dan rencana medik dapat berjalan paralel. Keuntungan yang dirasakan oleh PP adalah memungkinkan bagi PP untuk pengembangan diri melalui implementasi ilmu pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena adanya otonomi dalam membuat keputusan tentang asuhan keperawatan klien. Staf medis juga merasakan kepuasannya dengan metode ini karena senantiasa mendapat informasi kondisi klien yang mutakhir dan komprehensif. (Sitorus, 2006). Informasi dapat diperoleh dari satu perawat yang benar-benar mengetahui keadaan klien. Keuntungan yang diperoleh oleh rumah sakit adalah rumah sakit tidak harus memperkerjakan terlalu banyak tenaga keperawatan, tetapi harus merupakan perawat yang bermutu tinggi. (Sitorus, 2006). Huber (1996) menjelaskan bahwa pada keperawatan primer dengan asuhan berfoukus pada kebutuhan klien, terdapat otonomi perawat dan kesinambungan asuhan yang tinggi. Hasil penelitian Gardner (1991) dan Lee (1993) dalam Huber (1996) mengatakan bahwa mutu asuhan keperawatan lebih tinggi dengan keperawatan primer daripada dengan metode tim. Dalam menetapkan seseorang menjadi PP perlu berhatihati karena memerlukan beberapa kriteria, yaitu perawat yang menunjukkan kemampuan asertif, perawat yang mandiri, kemampuan menmgambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klini, akuntabel, bertanggung jawab serta mampu berkolaborasi dengan baik dengan berbagai disiplin. Di negara maju pada umumnya perawat yang ditunjuk sebagai PP adalah seorang spesialis perawat klinis (clinical nurse specialist) dengan kualifikasi master keperawatan. Menurut Ellis dan Hartley (1995), Kozier et al (1997) seorang PP bertanggung jawab untuk membuat keputusan yang terkait dengan asuhan keperawatan

24

klien oleh karena itu kualifikasi kemampuan PP minimal adalah sarjana keperawatan/Ners. (Sitorus, 2006). e. Differentiated practice National League for Nursing (NLN) dalam kozier et al (1995) menjelaskan baha differentiated practice adalah suatu pendekatan yang bertujuan menjamin mutu asuhan melalui pemanfaatan sumber-sumber keperawatan yang tepat. Terdapat dua model yaitu model kompetensi dan model pendidikan. Pada model kompetensi, perawat terdaftar (registered nurse) diberi tugas berdasarkan tanggung jawab dan struktur peran yang sesuai dengan kemampuannya. Pada model pendidikan, penetapan tugas keperawatan didasarkan pada tingkat pendidikan. Bedasarkan pendidikan, perawat akan ditetapkan apa yang menjadi tnggung jawab setiap perawat dan bagaimana hubungan antar tenaga tersebut diatur (Sitorus, 2006). f. Manajemen kasus Manajemen kasus merupakan system pemberian asuhan kesehatan secara multi disiplin yang bertujuan meningkatkan pemanfaatan fungsi berbagai anggota tim kesehatan dan sumber-sumber yang ada sehingga dapat dicapai hasil akhir asuhan kesehatan yang optimal. ANA dalam Marquis dan Hutson (2000) mengatakan bahwa manajemen kasus merupakan proses pemberian asuhan kesehatan yang bertujuan mengurangi fragmentasi, meningkatkan kualitas hidup, dan efisiensi pembiayaan. Focus pertama manajemen kasus adalah integrasi, koordinasi dan advokasi klien, keluarga serta masyarakat yang memerlukan pelayanan yang ektensif. Metode manajemen kasus meliputi beberapa elemen utama yaitu, pendekatan berfokus pada klien, koordinasi asuhan dan pelayanan antar institusi, berorientasi pada hasil, efisiensi sumber dan kolaborasi (Sitorus, 2006). 4. Komponen dari MPKP Berdasarkan MPKP ysng sudah dikembangkan diberbagai rumah sakit Hoffart dan Woods menyimpulkan bahwa MPKP terdiri dari lima komponen, yakni:

25

a. Nilai-nilai profesional Nilai-nilai profesional menjadi komponen utama pada suatu praktik keperawatan profesional. Nilai-nilai profesional ini merupakan inti dari MPKP. Nilai-nilai seperti penghargaan atas otonomi klien, menghargai klien, dan melakukan yang terbaik untuk klien harus tetap ditingkatkan dalam suatu proses keperawatan. b. Pendekatan manajemen Dalam melakukan asuhan keperawatan adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, yang bilamana ingin memenuhi kebutuhan dasar tersebut seorang perawat harus melakukan pendekatan penyelesaian masalah, sehingga dapat diidentifikasi masalah klien, dan nantinya dapat diterapkan terapi keperawatan yang tepat untuk masalah klien. c. Metode pemberian asuhan keperawatan Dalam

perkembangan

profesional,

digunakan

keperawatan,

misalnya

keperawatan

primer,

keperawatan

profesional,

keperawatan beberapa metode

serta

metode kasus,

manajemen

metode

menuju

yang

layanan

pemberian

fungsional,

yang asuhan

tim,

dan

kasus.

Dalam

praktik

paling

memungkinkan

pemberian asuhan keperawatan profesional adalah metode yang menggunakan the breath of keperawatan primer. d. Hubungan profesional Pemberian asuhan kesehatan kepada klien diberikan oleh beberapa anggota tim kesehatan. Namun, fokus pemberian asuhan kesehatan adalah klien. Karena banyaknya anggota tim kesehatan yang terlibat, maka dari itu perlu kesepakatan tentang cara melakukan hubungan kolaborasi tersebut. e. Sistem kompensasi dan penghargaan Pada suatu layanan profesional, seorang profesional mempunyai hak atas kompensasi dan penghargaan. Pada suatu profesi, kompensasi yang didapat merupakan imbalan dan kewajiban profesi yang terlebih dahulu dipenuhi. Kompensasi dan penghargaan yang diberikan pada

26

MPKP dapat disepakati di setiap institusi dengan mengacu pada kesepakatan bahwa layanan keperawatan adalah pelayanan profesional. 5. Karakteristik MPKP a. Penetapan jumlah tenaga keperawatan. Penetapan jumlah tenaga keperawatan berdasarkan jumlah klien sesuai dengan derajat ketergantungan klien. b. Penetapan jenis tenaga keperawatan. Pada suatu ruang rawat MPKP, terdapat beberapa jenis tenaga yang memberikan asuhan keperawatan yaitu Clinical Care Manager (CCM), Perawat Primer (PP), dan Perawat Asosiet (PA). Selain jenis tenaga tersebut terdapat juga seorang kepala ruang rawat yang bertanggung jawab terhadap manajemen pelayanan keperawatan di ruang rawat tersebut. Peran dan fungsi masing-masing tenaga sesuai dengan kemampuannya dan terdapat tanggungjawab yang jelas dalam sistem pemberian asuhan keperawatan. c. Penetapan standar rencana asuhan keperawatan (renpra). Standar renpra perlu ditetapkan, karena berdasarkan hasil obsevasi, penulisan renpra sangat menyita waktu karena fenomena keperawatan mencakup 14 kebutuhan dasar manusia (Potter & Perry, 1997). d. Penggunaan metode modifikasi keperwatan primer. Pada MPKP digunakan metode modifikasi keperawatn primer, sehingga terdapat satu orang perawat profesional yang disebut perawat primer yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas asuhan keperawatan yang diberikan. 6. Langkah-langkah dalam MPKP a. Tahap Persiapan Pada tahap persiapan penerapan MPKP ini ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu (Sitorus, 2006).: 1) Pembentukan Tim 2) Jika MPKP akan diimplementasikan di rumah sakit yang digunakan sebagai tempat proses belajar bagi mahasiswa keperawatan, sebaiknya kelompok kerja ini melibatkan staf dari

27

institusi yang berkaitan. Sehingga kegiatan ini merupakan kegiatan kolaborasi antara pelayanan/rumah saklit dan institusi pendidikan. Tim ini bisa terdiri dari seorang koordinator departemen, seorang penyelia, dan kepala ruang rawat serta tenaga dari institusi pendidikan. (Sitorus, 2006). 3) Rancangan Penilaian MutuPenilaian mutu asuhan keperawatan meliputi kepuasan klien/keluarga kepatuhan perawat terhadap standar yang diniali dari dokumentasi keperawatan, lama hari rawat dan angka infeksi noksomial. (Sitorus, 2006). 4) Presentasi MPKPSelanjutnya dilakukan presentasi tentang MPKP dan hasil penilaian mutu asuhan kepada pimpinan rumah sakit, departemen,staf keperawtan, dan staf lain yang terlibat. Pada presentasi ini juga, sudah dapat ditetapkan ruang rawat tempat implementasi MPKP akan dilaksanakan. (Sitorus, 2006). 5) Penempatan Tempat Implementasi MPKPAdapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penempatan tempat implementasi MPKP, antara lain (Sitorus, 2006) : a) Mayoritas tenaga perawat merupakan staf baru di ruang tersebut. Hal ini diperlukan sehingga dari awal tenaga perawat tersebut akan mendapat pembinaan tentang kerangka kerja MPKP b) Bila terdapat ruang rawat, sebaiknya ruang rawat tersebut terdiri dari 1 swasta dan 1 ruang rawat yang nantinya akan dikembangkan sebagai pusat pelatihan bagi perawat dari ruang rawat lain. 6) Penetapan Tenaga Keperawatan Pada MPKP, jumlah tenaga keperawatan di suatu ruang rawat ditetapkan

dari

klasifikasi

klien

berdasarkan

derajat

ketergantungan. Untuk menetapkan jumlah tenaga keperawtan di suatu ruangrawat didahului dengan menghitung jumlah klien derdasarkan derajat ketergantungan dalam waktu tertentu, minimal selama 7 hari berturut-turut. (Sitorus, 2006). 7) Penetapan Jenis Tenaga

28

Pada MPKP metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan adalah metode modifikasi keperawatan primer. Dengan demikian, dalam suatu ruang rawat terdapat beberapa jenis tenaga, meliputi (Sitorus, 2006).: a) Kepala ruang rawat b) Clinical care manager c) Perawat primer d) Perawat asosiet b. Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan MPKP dilakukan langkah-langkah berikut ini (Sitorus, 2006) : 1) Pelatihan tentang MPKP Pelatihan MPKP diberikan kepada semua perawat yang terlibat di ruang yang sudah ditentukan. 2) Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan konferensi.Konferensi merupakan pertemuan tim yang dilakukan setiap hari. Konferensi dilakukan setelah melaukan operan dinas, sore atau malam sesuai dengan jadwal dinas PP. Konferensi sebaiknya

dilakukan

di

tempat

tersendiri

sehingga

dapat

mengurangi gangguan dari luar. (Sitorus, 2006). 3) Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan ronde dengan porawat asosiet (PA).Ronde keperawatan bersama dengan PA sebaiknya juga dilakukan setiap hari. Ronde ini penting selain untuk supervisi kegiatan PA, juga sarana bagi PP untuk memperoleh tambahan data tentang kondisi klien. (Sitorus, 2006). 4) Memberi bimbingan kepada PP dalam memanfaatkan standar renpra.Standar

renpra

merupakan

acuan

bagi

tim

dalam

melaksanakan asuhan keperawatan. Semua masalah dan tindakan yang direncenakan mengacu pada standar tersebut. (Sitorus, 2006). 5) Memberi bimbingan kepada PP dalam membuat kontrak/orientasi dengan klien/keluarga.Kontrak antara perawat dan klien/keuarga

29

merupakan kesepakatan antara perawat dan klien/keluarganya dalam pemberian asuhan keperawatan. c. Tahap Evaluasi Evaluasi proses dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen evsluasi MPKP oleh CCM. Evaluasi prses dilakukan oleh CCM dua kali dalam seminggu. Evaluasi ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara dini maslah-masalah yang ditemukan dan dapat segera diberi umpan balik atau bimbingan. Evluasi hasil (outcome) dapat dilakukan dengan (Sitorus, 2006) : 1) Memberika instrumen evaluasi kepuasan klien/keluarga untuk setiap klien pulang. 2) Mengevaluasi kepatuhan perawat terhadap standar yang dinilai berdasarkan dokumentasi. 3) Penilaian infeksi nosokomial (biasanya ditetapkan per ruang rawat). 4) Penilaian rata-rata lama hari rawat. 7. Pilar-pilar MPKP a) Pilar 1: Pendekatan manajemen keperawatan, Terdiri dari : 1) Perencanaan dengan kegiatan perencanaan yang dipakai di ruang MPKP meliputi ( perumusan visi, misi, filosofi, kebijakan dan rencana jangka pendek, harian, bulanan dan tahunan). 2) Pengorganisasian dengan menyusun struktur organisasi, jadwal dinas, dan daftar alokasi pasien. 3) PengarahanTerdapat kegiatan delegasi, supervisi, menciptakan iklim motivasi, manajemen waktu, komunikasi efektif yang mencakup pre dan post conference, dan manajemen konflik. b) Pilar 2: Sistem penghargaan Manajemen sumber daya manusia diruang MPKP berfokus pada proses rekruitmen, seleksi kerja orientasi, penilaian kerja, staf perawat. Proses ini selalu dilakukan sebelum membuka ruang MPKP dan setiap ada penambahan perawatan baru.

30

c) Pilar 3: Hubungan profesional Hubungan profesional dalam pemberian pelayanan keperawatan (tim kesehatan) dalam penerimaan pelayanan keperawatan (klien dan keluarga). Pada pelaksanaannya hubungan profesional secara internal artinyahubungan yang terjadi antara pembentuk pelayanan kesehatan misalnya perawat dengan perawat, perawat dengan tim kesehatan lain, sedangkan hubungan profesional secara eksternal adalah hubungan antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. d) Pilar 4: Manajemen asuhan keperawatan Manajemen asuhan keperawatan yang diterapkan di MPKP adalah asuhan keperawatan dengan menerapkan proses keperawatan.

C. AUDIT MUTU KEPERAWATAN 1. Indikator Penilaian Mutu Keperawatan Mutu asuhan kesehatan sebuah rumah sakit akan selalu terkait dengan struktur, proses, dan outcomesistem pelayanan RS tersebut. Mutu asuhan pelayanan RS juga dapat dikaji dari tingkat pemanfaatan sarana pelayanan oleh masyarakat, mutu pelayanan dan tingkat efisiensi RS. Secara umum aspek penilaian meliputi evaluasi, dokumen, instrumen, dan audit (EDIA) (Nursalam, 2014). a. Aspek struktur (input) Struktur adalah semua input untuk sistem pelayanan sebuah RS yang meliputi M1 (tenaga), M2 (sarana prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana), M5 (pemasaran), dan lainnya. Ada sebuah asumsi yang menyatakan bahwa jika struktur sistem RS tertata dengan baik akan lebih menjamin mutu pelayanan. Kualitas struktur RS diukur dari tingkat kewajaran, kuantitas, biaya (efisiensi), dan mutu dari masing-masing komponen struktur b. Proses Proses adalah semua kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain yang mengadakan interaksi secara professional dengan pasien. Interaksi ini diukur antara lain dalam bentuk penilaian tentang penyakit

31

pasien, penegakan diagnosis, rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan penyakit, dan prosedur pengobatan. c. Outcome Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain terhadap pasien. 2. Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi: a. Angka infeksi nosocomial: 1-2% b. Angka kematian kasar: 3-4% c. Kematian pasca bedah: 1-2% d. Kematian ibu melahirkan: 1-2% e. Kematian bayi baru lahir: 20/1000 f. NDR (Net Death Rate): 2,5% g. ADR (Anasthesia Death Rate) maksimal 1/5000 h. PODR (Post Operation Death Rate): 1% i. POIR (Post Operative Infection Rate): 1% 3. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS: a. Biaya per unit untuk rawat jalan b. Jumlah penderita yang mengalami decubitus c. Jumlah penderita yang mengalami jatuh dari tempat tidur d. BOR: 70-85% e. BTO (Bed Turn Over): 5-45 hari atau 40-50 kali per satu tempat tidur/tahun f. TOI (Turn Over Interval): 1-3 hari TT yang kosong g. LOS (Length of Stay): 7-10 hari (komplikasi, infeksi nosocomial; gawat darurat; tingkat kontaminasi dalam darah; tingkat kesalahan; dan kepuasan pasien) h. Normal tissue removal rate: 10% 4. Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan jumlah keluhan pasien/keluarganya, surat pembaca dikoran, surat kaleng, surat masuk di kotak saran, dan lainnya. 5. Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri atas:

32

a. Jumlah dan presentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS dengan asal pasien. b. Jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan dan jumlah kunjungan SMF spesialis. c. Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut di atas dibandingkan dengan standar (indicator) nasional. Jika bukan angka standar nasional, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan hasil penacatatan mutu pada tahun-tahun sebelumnya di rumah sakit yang sama, setelah dikembangkan kesepakatan pihak manajemen/direksi RS yang bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staff lainnya yang terkait. 6. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien: a. Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi b. Pasien diberi obat salah c. Tidak ada obat/alat emergensi d. Tidak ada oksigen e. Tidak ada suction (penyedot lendir) f. Tidak tersedia alat pemadam kebakaran g. Pemakaian obat h. Pemakaian air, listrik, gas, dan lainnya

33

Indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap : 1. BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur) Menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005). Rumus : (jumlah hari perawatan di rumah sakit) × 100% (jumlah tempat tidur × jumlah hari dalam satu periode) 2. ALOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat) ALOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut.Secara umum nilai ALOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005). Rumus : (jumlah lama dirawat) (jumlah pasien keluar (hidup + mati)) 3. TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran) TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya.Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur.Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari. Rumus : ((jumlah tempat tidur × Periode) − Hari Perawatan) (jumlah pasien keluar (hidup + mati)) 4. BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur) BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu

34

tertentu.Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali. Rumus : Jumlah pasien dirawat (hidup + mati) (jumlah tempat tidur) 5. NDR (Net Death Rate) NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit. Rumus : Jumlah pasien mati > 48 jam

× 100%

(jumlah pasien keluar (hidup + mati)) 6. GDR (Gross Death Rate) GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar. Rumus : Jumlah pasien mati seluruhnya × 100% (jumlah pasien keluar (hidup + mati)) Menurut Nursalam (2014), ada enam indikator utama kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit: a. Keselamatan pasien (patient safety), yang meliputi: angka infeksi nosokomial, angka kejadian pasien jatuh/kecelakaan, dekubitus, kesalahan dalam pemberian obat, dan tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan b. Pengelolaan nyeri dan kenyamanan c. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan d. Perawatan diri e. Kecemasan pasien f. Perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) pasien.

35

D. SASARAN KESELAMATAN PASIEN (SKP) atau International Patient Safety Goals (IPSG) Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variable untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan yang berdampak terhadap pelayanan kesehatan.Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan angka kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien selama dirawat di rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien itu sendiri maupun pihak rumah sakit. KTD bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain beban kerja perawat yang tinggi, alur komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana yang kurang tepat dan lain sebagainya. Berikut ini merupakan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/Menkes/Per/Viii/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit: 1. SASARAN I

: KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN

Standar SKP I Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/ meningkatkan ketelitian identifikasi pasien. Elemen Penilaian Sasaran I : a. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien. b. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah atau produk darah. c. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis. d. Pasien

diidentifikasi

sebelum

pemberian

pengobatan

dan

tindakan/prosedur. e. Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki / meningkatkan ketelitian identifikasi pasien. f. Warna Gelang Pasien 1) GELANG IDENTITAS a) Biru: Laki Laki b) Pink: Perempuan 2) GELANG PENANDA: a) Merah: Alergi

36

b) Kuning: Risiko Jatuh c) Ungu : Do Not Resucitate g. Petugas Harus Melakukan Identifikasi Pasien Saat: 1) pemberian obat 2) pemberian darah / produk darah 3) pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis 4) Sebelum memberikan pengobatan 5) Sebelum memberikan tindakan h. Elemen Penilaian SKP I. 1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien 2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah. 3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis (lihat juga AP.5.6, EP 2) 4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan / prosedur 5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi 2. SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI EFEKTIF Standar SKP II Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antar para pemberi pelayanan. Elemen Penilaian Sasaran II : a. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah. b. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dibacakan secara lengkap oleh penerima perintah. c. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan. d. Kebijakan

dan

prosedur

mengarahkan

pelaksanaan

verifikasi

keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.

37

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi layanan. 1) Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan Terjadi pada saat: 2) Perintah diberikan secara lisan 3) Perintah diberikan melalui telpon 4) Saat pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis. Perintah Lisan/Lewat Telepon a) Tulis Lengkap b) Baca Ulang- Eja untuk NORUM/LASA c) Konfirmasi lisan dan tanda tangan d) ISI PERINTAH e) NAMA LENGKAP DAN TANDA TANGAN PEMBERI PERINTAH f) NAMA

LENGKAP

DAN

TANDA

TANGAN

PENERIMA

PERINTAH g) TANGGAL DAN JAM Elemen Penilaian SKP.II yaitu : (1) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan kritis dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah (lihat juga MKI.19.2, EP 1) (2) Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan kritis dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah. (lihat AP 5.3.1 maksud dan tujuan) (3) Perintah atau hasil pemeriksaan kritis dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan (4) Kebijakan

dan

prosedur

mengarahkan

pelaksanaan

verifikasi

keakuratan komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten 3. SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DIWASPADAI (HIGH ALERT) Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high alert).

38

Elemen Penilaian Sasaran III : a. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label dan penyimpanan elektrolit konsentrat. b. Implementasi kebijakan dan prosedur. c. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan. 4. SASARAN IV : KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR, TEPAT-PASIEN OPERASI Standar SKP IV Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur dan tepat-pasien. Elemen Penilaian Sasaran IV : a. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien didalam proses penandaan. b. Rumah sakit menggunakan suatu cheklist atau proses lain untuk memverifikasi saat pre operasi tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepatpasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat dan fungsional. c. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur sebelum "incisi/time out" tepat sebelum dimulainya suatu prosedur tindakan pembedahan. d. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung suatu proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepatpasien, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi. 5. SASARAN V

: PENGURANGAN RESIKO INFEKSI TERKAIT

PELAYANAN KESEHATAN Standar SKP V Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi resiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.

39

Elemen Penilaian SasaranV : a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (a.l dari WHO Guidelines on Patient Safety. b. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif. c. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan resiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. 6. SASARAN VI : PENGURANGAN RESIKO PASIEN JATUH Standar SKP VI Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi resiko pasien dari cidera karena jatuh. Elemen Penilaian Sasaran VI : a. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap resiko jatuh dan melakukan asesmen ulang bila pasien diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan dan lain-lain. b. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi resiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap beresiko jatuh. c. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan, pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian yang tidak diharapkan. d. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan resiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.

Related Documents

Bab 2
June 2020 19
Bab 2
May 2020 26
Bab 2
May 2020 40
Bab 2
June 2020 23
Bab 2
April 2020 32
Bab 2
April 2020 37

More Documents from ""