BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang Konstruksi perkerasan jalan umumnya terbagi atas dua jenis yaitu perkerasan lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid Pavement). Kinerja dari kedua perkerasan tersebut ditentukan berdasarkan keamanan dan kenyamanan mengemudi (riding quality) terhadap fungsi jalan. Jalan raya merupakan prasarana transportasi darat untuk melayani pergerakan manusia dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain secara aman, nyaman, dan ekonomis. Perkembangan pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan berkurangnya jaringan jalan yang disebabkan oleh peningkatan jumlah kendaraan yang terus meningkat setiap tahunnya yaitu berkisar antara 10 % - 55 % per tahun dan tidak berimbang dengan perkembangan panjang jalan yang hanya berkisar 1,9 % pertahun (Waldijono, 1992). Lapis perkerasan lentur jalan terbagi atas lapis permukaan (surface course), lapis pondasi atas (base course), lapis pondasi bawah (subbase course) dan tanah dasar (subgrade). Faktor utama yang mempengaruhi tebal lapis perkerasan tersebut adalah beban lalulntas (LHR), kondisi lingkungan dan karakteristis material (Paquetee, 1987). Jumlah LHR dihitung berdasarkan angka pertumbuhan lalulintas pada saat, sebelum dan sesudah perkerasan jalan dilakukan. Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang digunakan untuk beban lalu lintas. Agregat yang dipakai : a. Batu pecah b. Batu kali c. Batu belah d. Hasil samping peleburan baja
Bahan ikat yang dipakai : a. Aspal
b. Semen c. Tanah liat
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan – lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan – lapisan tersebut adalah : 1. Lapisan permukaan (surface coarse) 2. Lapisan pondasi atas (base coarse) 3. Lapisan pondasi bawah (sub base coarse) 4. Tanah dasar (sub grade)
Gambar 2.1 Susunan pekerjaan perkerasan jalan
2.2
Perkerasan kaku (Rigid Pavement) Perkerasan yang menggunakan bahan ikat semen portland, pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
Gambar 2.2 Struktural perkerasan kaku
Jenis – jenis perkerasan kaku : a. Perkerasan beton semen Yaitu perkerasan kaku dengan beton semen sebagai lapis atas. Terdapat 4 jenis perkerasan beton semen : a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan c. Perkerasan beton semen bersambung menerus dengan tulangan d. Perkerasan beton semen pratekan b. Perkerasan komposit Yaitu perkerasan kaku dengan pelat beton semen sebagai lapis pondasi dan aspal beton sebagai sebagai lapis permukaan. Perkerasan kaku ini sering digunakan sebagai run away lapangan terbang.
2.3
Perancangan Tebal Perkerasan A. Konsep Kerusakan Pada Perkerasan Karena Kelelahan Akibat Beban Berulang Lapisan permukaan merupakan suatu lapisan yang “boud” (terikat), sehingga bahan lapisan tersebut dapat menahan gaya tekan tarik. Umumnya karena lapisan perkerasan ini dapat mendukung tegangan tekan yang lebih besar dari pada tegangan tarik, maka tegangan tarik dibagian bawah lapisan biasanya lebih menentukan dalam umur ketahanan terhadap tekanan beban berulang.
Gambar 2.3 Tegangan tekan dan titik pada perkerasan jalan.
Masing – masing lapisan memiliki batas maksimum, Emax sendriri – sendiri dimana bila batas regangan tersebut dicapai akan terlihat adanya suatu tingkat kerusakan tertentu yang nyata. Batas regangan maksimum, Emax ini dapat dianggap sebagai batas kelainan dari perkerasan akibat beban berulang. Batas regangan maksimum umumnya tergantung dari 2 hal : a. Mutu/kualitas bahanya sendiri, yang juga tergantung antara lain dari jenis material yang dipakai, kualitas pekerjaan, suhu dan iklim. b. Ketentuan kondisi tingkat perkerasan yang disyaratkan : persyaratan ini biasa dikenal dengan final seviceability performance Pt (AASHTO, 1972) atau sebagai indeks permukaan akhir (IPt) (Bina Marga 1987). Makin rendah harga Pt atau IPt, makin besar tingkat kerusakan yang terjadi dan makin besar harga Emax yang di syaratkan. Pada umumnya, lapisan yang lebih atas terbuat dari material yang lebih baik sehingga dapat menerima tegangan yang lebih besar. Kerusakan perkerasan jalan akan terjadi / dimulai dari lapisan yang berakibat beban berulang mencapai Emax yang lebih dahulu. Jadi kerusakan bisa terjadi dari subgrade dahulu, sub base dahulu, base dahulu, atau surface dahulu, tergantung dari bagaimana perencanaan nya. B. Faktor Beban
Beban Ekivalen dan Damage Factor Pada suatu lapisan perkerasan tertentu, misalnya pada surface, atau base ataupun pada subgrade, maka tegangan yang lebih kecil akan menghasilkan regangan yang jauh lebih kecil pula. Jadi diperlukan repitisi beban yang jauh lebih banyak untuk mencapai batas kelelahan Emax .
Beban As Standar dan Ekivalen Beban As Lainnya Pada AASHTO road test dinegara bagian illinois. USA (AASHTO 1960) telah dilakukan pengujian bermacam-macam jenis dan struktur perkerasan jalan, lentur maupun kaku, untuk diketahui kekuatannya. Pengujian dilakukan dengan menggunakan beban as 18000 lbs (8,16 ton) pada as tunggal beroda ganda. Dengan beban tersebut dapat diketahui jumlah repetisi yang dapat ditanggung oleh bermacammacam struktur perkerasan sampai pada berbagai tingkat kerusakan
yang ditinjau. Dari hasil tersebut keluarlah perumusan perhitungan tebal perkerasan oleh AASHTO (1972) yang pada prinsip nya masih digunakan sampai sekarang dan menjadi dasar bagi cara Bina Marga (1987). 1 beban as standar lewat 1x menghasilkan DF = 1 dan ini berarti telah terjadi repitisi sebanyak 1 EAL pada perkerasan tersebut. C. Jenis kendaraan dan konfigurasi roda kendaraan Jenis kendaraan yang beroperasi dijalanan indonesia bervariasi mulai dari sedan, pick-up, mini bus, bus ringan, truk ringan, bus besar, truk besar, truk gandeng. Bina marga (1979) memberikan patokan jenis kendaraan berikut harga angka ekivalen beban as standar (=E=EAL). AASHTO umumnya melakukan survey beban kendaraan dengan cara WIM (weight in motion ) pada loadometer station. Dari survey ini dapat langsung diperoleh jenis beban-beban yang melintasi suatu jalan dan jumlahnya masing-masing. Data as tersebut dapat langsung dipakai untuk menghitung tebal perkerasan.
Gambar 2.4 Angka ekivalen
2.3.1 Cara AASHTO
Pendahuluan Salah satu metoda perencanaan untuk tebal perkerasan jalan yang sering
digunakan adalah metoda AASHTO’93. Metoda ini sudah dipakai secara umum di seluruh dunia untuk perencanaan serta di adopsi sebagai standar perencanaan di berbagai negara. Metoda AASHTO’93 ini pada dasarnya adalah metoda perencanaan yang didasarkan pada metoda empiris. Parameter yang dibutuhkan pada perencanaan menggunakan metoda AASHTO’93 ini antara lain adalah : a. Structural Number Structural Number (SN) merupakan fungsi dari ketebalan lapisan, koefisien relatif lapisan (layer coefficients), dan koefisien drainase (drainage coefficients). Persamaan untuk Structural Number adalah sebagai berikut : SN = a1D1 + a2D2m2 + a3D3m3 ………………………………..(Pers. 1) Dimana : SN = nilai Structural Number. a1, a2, a3 = koefisien relatif masing‐masing lapisan. D1, D2, D3 = tebal masing‐masing lapisan perkerasan. m1, m2, m3 = koefisien drainase masing‐masing lapisan. b. Lalu Lintas Prosedur perencanaan untuk parameter lalu lintas didasarkan pada kumulatif beban gandar standar ekivalen (Cumulative Equivalent Standard Axle, CESA). Perhitungan untuk CESA ini didasarkan pada konversi lalu lintas yang lewat terhadap beban gandar standar 8.16 kN dan mempertimbangkan umur rencana, volume lalu lintas, faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu lintas (growth factor). 1
Artikel ini merupakan bagian dari Laporan Penelitian Hibah Bersaing
Tahun 2007 di bawah proyek penelitian: Pengembangan Metode Integrated‐ Spectral‐Analysis‐of‐Surface‐Wave (SASW) untuk Evaluasi Nilai Modulus Elastisitas Struktur Perkerasan Jalan di Indonesia; dengan pendanaan dari Departemen Pendidikan Nasional, Indonesia.
2
Peneliti Senior, Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan
Jembatan, Bandung 3
Staf LATEI; Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta c. Reliability Konsep reliability untuk perencanaan perkerasan didasarkan pada beberapa ketidaktentuan (uncertainties) dalam proses perencaaan untuk meyakinkan alternatif‐alternatif berbagai perencanaan. Tingkatan reliability ini yang digunakan tergantung pada volume lalu lintas, klasifikasi jalan yang akan direncanakan maupun ekspetasi dari pengguna jalan. Reliability didefinisikan sebagai kemungkinan bahwa tingkat pelayanan dapat tercapai pada tingkatan tertentu dari sisi pandangan para pengguna jalan sepanjang umur yang direncanakan. Hal ini memberikan implikasi bahwa repetisi beban yang direncanakan dapat tercapai hingga mencapai tingkatan pelayanan tertentu. Pengaplikasian dari konsep reliability ini diberikan juga dalam parameter standar deviasi yang mempresentasikan kondisi‐kondisi lokal dari ruas jalan yang direncanakan serta tipe perkerasan antara lain perkerasan lentur ataupun perkerasan kaku. Secara garis besar pengaplikasian dari konsep reliability adalah sebagai berikut: a. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan klasifikasi dari ruas jalan yang akan direncanakan. Klasifikasi ini mencakup apakah jalan tersebut adalah jalan dalam kota (urban) atau jalan antar kota (rural). b. Tentukan tingkat reliability yang dibutuhkan dengan menggunakan tabel yang ada pada metoda perencanaan AASHTO’93. Semakin tinggi tingkat reliability yang dipilih, maka akan semakin tebal lapisan perkerasan yang dibutuhkan. c. Satu nilai standar deviasi (So) harus dipilih. Nilai ini mewakili dari kondisi‐ kondisi lokal yang ada. Berdasarkan data dari jalan percobaan AASHTO ditentukan nilai So sebesar 0.25 untuk rigid dan 0.35 untuk flexible pavement. Hal ini berhubungan dengan total standar deviasi sebesar 0.35 dan 0.45 untuk lalu lintas untuk jenis perkerasan rigid dan flexible. d. Faktor Lingkungan
Persamaan‐persamaan yang digunakan untuk perencanaan AASHTO didasarkan atas hasil pengujian dan pengamatan pada jalan percobaan selama lebih kurang 2 tahun. Pengaruh jangka panjang dari temperatur dan kelembaban pada penurunan serviceability belum dipertimbangkan. Satu hal yang menarik dari faktor lingkungan ini adalah pengaruh dari kondisi swell dan frost heave dipertimbangkan, maka penurunan serviceability diperhitungkan selama masa analisis yang kemudian berpengaruh pada umur rencana perkerasan. Penurunan serviceability akibat roadbed swelling tergantung juga pada konstanta swell, probabilitas swell, dll. Metoda dan tata cara perhitungan penurunan serviceability ini dimuat pada Appendix G dari metoda AASHTO’93. d. Serviceability Serviceability merupakan tingkat pelayanan yang diberikan oleh sistem perkerasan yang kemudian dirasakan oleh pengguna jalan. Untuk serviceability ini parameter utama yang dipertimbangkan adalah nilai Present Serviceability Index (PSI). Nilai serviceability ini merupakan nilai yang menjadi penentu tingkat pelayanan fungsional dari suatu sistem perkerasan jalan. Secara numerik serviceability ini merupakan fungsi dari beberapa parameter antara lain ketidakrataan, jumlah lobang, luas tambalan, dll. Nilai serviceability ini diberikan dalam beberapa tingkatan antara lain : a. Untuk perkerasan yang baru dibuka (open traffic) nilai serviceability ini diberikan sebesar 4.0 – 4.2. Nilai ini dalam terminologi perkerasan diberikan sebagai nilai initial serviceability (Po). b. Untuk perkerasan yang harus dilakukan perbaikan pelayanannya, nilai serviceability ini diberikan sebesar 2.0. Nilai ini dalam terminologi perkerasan diberikan sebagai nilai terminal serviceability (Pt). c.
Untuk perkerasan yang sudah rusak dan tidak bisa dilewati, maka nilai serviceability ini akan diberikan sebesar 1.5. Nilai ini diberikan dalam terminologi failure serviceability (Pf).
Persamaan AASHTO’93 Dari hasil percobaan jalan AASHO untuk berbagai macam variasi kondisi
dan jenis perkerasan, maka disusunlah metoda perencanaan AASHO yang
kemudian berubah menjadi AASHTO. Dasar perencanaan dari metoda AASHTO baik AASHTO’72, AASHTO’86, maupun metoda terbaru saat sekarang yaitu AASHTO’93 adalah persamaan seperti yang diberikan dibawah ini :
Dimana: W18
= Kumulatif beban gandar standar selama umur perencanaan (CESA).
ZR
= Standard Normal Deviate.
So
= Combined standard error dari prediksi lalu lintas dan kinerja.
SN
= Structural Number.
Po
= Initial serviceability.
Pt
= Terminal serviceability.
Pf
= Failure serviceability.
Mr
= Modulus resilien (psi)
Langkah-Langkah Perencanaan Dengan Metoda AASHTO’93 Langkah-langkah perencanaan dengan metoda AASHTO’93 adalah
sebagai berikut: 1. Tentukan lalu lintas rencana yang akan diakomodasi di dalam perencanaan tebal perkerasan. Lalu lintas rencana ini jumlahnya tergantung dari komposisi lalu lintas, volume lalu lintas yang lewat, beban aktual yang lewat, serta faktor bangkitan lalu lintas serta jumlah lajur yang direncanakan. Semua parameter tersebut akan dikonversikan menjadi kumulatif beban gandar standar ekivalen (Cumulative Equivalent Standard Axle, CESA). 2. Hitung CBR dari tanah dasar yang mewakili untuk ruas jalan ini. CBR representatif dari suatu ruas jalan yang direncanakan ini tergantung dari klasifikasi jalan yang direncanakan. Pengambilan dari data CBR untuk perencanaan jalan biasanya diambil pada jarak 100 meter. Untuk satu ruas jalan yang panjang biasanya dibagi atas segmen‐segmen yang mempunyai nilai CBR yang relatif sama. Dari nilai CBR representatif ini kemudian
diprediksi modulus elastisitas tanah dasar dengan mengambil persamaan sebagai berikut: 3. Kemudian tentukan besaran‐besaran fungsional dari sistem perkerasan jalan yang ada seperti Initial Present Serviceability Index (Po), Terminal Serviceability Index (Pt), dan Failure Serviceability Index (Pf). Masing‐ masing besaran ini nilainya tergantung dari klasifikasi jalan yang akan direncanakan antara lain urban road, country road, dll. 4. Setelah itu tentukan reliability dan standard normal deviate. Kedua besaran ini ditentukan berdasarkan beberapa asumsi antara lain tipe perkerasan dan juga klasifikasi jalan. 5. Menggunakan data lalu lintas, modulus elastisitas tanah dasar serta besaran‐besaran fungsional Po, Pt, dan Pf serta reliability dan standard normal deviate kemudian bisa dihitung Structural Number yang dibutuhkan untuk
mengakomodasi
lalu
lintas
rencana.
Perhitungan
ini
bisa
menggunakan grafik‐grafik yang tersedia atau juga bisa menggunakan rumus AASHTO’93 seperti yang diberikan pada Persamaan 2 diatas. 6. Langkah selanjutnya adalah menentukan bahan pembentuk lapisan perkerasan. Masing‐masing tipe bahan perkerasan mempunyai koefisien layer yang berbeda. Penentuan koefisien layer ini didasarkan pada beberapa hubungan yang telah diberikan oleh AASHTO’93. 7. Menggunakan keofisien layer yang ada kemudian dihitung tebal lapisan masing‐masing dengan menggunakan hubungan yang diberikan pada Persamaan 1 diatas dengan mengambil koefisien drainase tertentu yang didasarkan pada tipe pengaliran yang ada. 8. Kemudian didapat tebal masing‐masing lapisan. Metoda AASHTO’93 memberikan rekomendasi untuk memeriksa kemampuan masing‐masing lapisan untuk menahan beban yang lewat menggunakan prosedur seperti yang diberikan pada langkah berikut ini :
Gambar 2.4 Ketentuan Perencanaan Menurut AASHTO 93.
Dimana: ai
= Koefisien layer masing‐masing lapisan.
Di
= Tebal masing‐masing lapisan.
SNi
= Structural Number masing‐masing lapisan. Keterangan : D dan SN yang mempunyai asterisk (*) menunjukkan nilai
aktual yang digunakan dan nilainya besar atau sama dengan nilai yang dibutuhkan.
Perancangan tebal perkerasan lentur Prosedur AASHTO adalah mengkonversi beban sumbu yang bermacam
macam tersebut terhadap beban standar dan mengungkapkan jumlah lalu lintas campur tersebut diatas sebagai jumlah beban sumbu yang telah dikonversi. Beban sumbu standar yang dipakai adalah beban sumbu tunggal 18 kips (80 kN). jadi lalu lintas dinyatakan sebagai beban ekivalen sumbu tunggal 18 kip atau 80 kN. Perhitungan EAL pada lajur rencana selama umur rencana Persamaan perencanaan untuk perkerasan lentur : Log wt = 5.93 + 9.36 log (SN + 1) – 4,79 log (L1 –L2) + 4.331 log L2 + Gt/B (2-1)
Dengan : Wt
= jumlah pengulangan beban pada akhir waktu t
L1
= beban pada satu sumbu tunggal atau pada sumbu ganda kip
L2
= kode sumbu ( 1 untuk sumbu tunggal dan 2 untuk sumbu ganda)
SN
= structural number
Gt = 𝑙𝑜𝑔
4,2−𝑃𝑡 4,2−1,5
= fungsi logaritma dari ratio
Kehilangan pelayanan pada waktu t terhadap kehilangan pelayanan pada saat t = 1,5 β
= fungsi variabel perancangan dan beban yang mempengaruhi bentuk grafik pelayanan p vs w
= 0,04 +
0,081 (𝐿1+𝐿2 )3,23 (𝑆𝑁+1)5,19 𝐿2 3,23
Perhitungan tebal perkerasan -
Perhitungan dimulai dengan penentuan nilai Pt (terminal serviceability index). Pemilihan nilai Pt didasarkan pada pelayanan terendah yang masih dapat diterima sebelum pelapisan ulang. Untuk jalan utama Pt = 2,5 dan jalan sekunder Pt = 2,0
-
Setelah nilai Pt ditetapkan maka selanjutnya pilih nomogram yang sesuai dan selanjutnya perhitungan tebal perkerasan akan mengikuti prosedur sebagai berikut : 1. Tetapkan daya dukung tanah dari tanah dasar 2. Asumsikan nilai SN 3. Tentukan EAL total atau harian untuk jalur rencana 4. Tentukan faktor regional yang sesuai 5. Pakai nomogram untuk menentukan SN 6. Bandingkan SN yang diperoleh dengan SN asumsi, yang dan jika belum sama, ulangi prosedur 2 hingga 5 sampai SN yang diperoleh sama dengan SN asumsi 7. Pilih material surface , base dan sub base yang akan dipakai sehingga koefisien kekuatan relatif masing-masing lapisan dapat diperoleh dari tabel .
8. Dengan
mempertimbangkan
masalah
pelaksaan
dan
operasi
pemeliharaan maka peransangan perlu memperhatikan tebal minimum masing-masing lapisan sebagai berikut : Lapisan permukaan 50 mm Lapisan pondasi 100 mm Lapisan pondasi 100 mm 9. Hitung tebal masing-masing lapisan dengan rumus : SN = a1D1 + a2D2 + a3D3
Perancangan tebal perkerasan Kaku Prosedure perancangan tebal perkerasan kaku : a. Penentuan tebal pelat beton semen
-
Plot beban ekivalen sumbu tunggal 18 kip harian atau total pada skala paling kiri
-
Plot nilai tegangan yang bekerja pada beton semen pada skala kedua
-
Tarik garis lurus yang melewati kedua titik diatas hingga memotong “turning line 1”
-
Plot nilai k (modulus reaksi tanah dasar) dan nilai E (modulus elastisitas beton semen) pada skala masing-masing
-
Tarik garis lurus yang melewati kedua titik diatas hingga memotong “turning line 2”
-
Tari garis lurus yang menghubungkan kedua titik potong pada turning line 1 dana 2 hingga memotong garis teal pelat.
-
Titik potongnya adalah total pelat beton semen dibulatkan ke nilai bulat selanjutnya ke dalam inchi)
b. Perancangan siar dan penulangannya Jika permukaan atas adan bawah menerima perbedaan temperatur, maka pelat akan melenting (wrap) dan jika pelat menerima perbedaan temperatur yang uniform (seragam) pelat akan menyusut dan memuai.pergerakan pelat ini ditahan oleh berat sendiri pelat dan oleh gesekan antara pelat dan tanah dasar atau sub base. Tahanan ini akan menyebabkan pelat mengalami retak kecuali diadakan perlengkapan untuk menahan retak seperti adanya siar atau tulangan. 1) Siar memuai (expansi joint) Fungsi utama siar muai adalah mencegah berkembangnya tegangantegangan tekan yang merusak akibat perubahan volume pada pelat perkerasan dan mencegah pemindahan tegangan yang terlalu besar pada struktur sebelahnya. 2) Siar susut (contruction joint) Tujuan siar susut adalah menyiapkan tempat bagi terjadi retak. Jika siar ini direncanakan dengan baik, retak-retak diluar siar akan minimmum. Kedalaman siar tidak boleh kurang dari ¼ tebal perkerasanpada siar ini harus disiapkan alat pemindah beban. 3) Siar panjang ini gunakan untuk mencegah terjadinya retak memanjang yang tidak teratur, lajur yang berdampingan harus dijaga tetap terpisah dengan tie bar yang berjarak sesuai. 4) Alat pemindah beban Alat pemidah beban yang dipakai biasanya dowel baja bulat polos yang memenuhi syarat AASHTO. Syarat pemasangan dowel
Tabel
Dowel
Panjang
Jarak
perkerasan
diamter
dowel
dowel in
in
in
in
6
¾
18
12
7
1
18
12
8
1
18
12
9
1¼
18
12
10
1¼
18
12
11
1¼
18
12
12
1¼
18
12
Sumber AASHTO (1981) 5) Tie bar Tie bar dirancang untuk memegang pelat sehingga teguh, dan dirancang untuk menahan gaya-gaya tari maksimum. Tie bar tidak dirancang untuk memindah beban 6) Kriteria penulangan Tujuan penulangan pada perkerasan beton bertulang bukan untuk mencegah retak, tetapi lebih menjaga unit struktur yang integral. pelat perkerasan cenderung memendek jika temperatur menurun. Susut ini ditahan oleh tanah dasar melalui gesekan antara pelat dan tanah dasar. Tahanan pergerakan harus diimbangi oleh tahanan dari baja yang melintang terhadap gerak.
2.3.2 Cara Bina Marga (1987) Dalam hal ini sama dengan AASHTO, karena metode ini bersumber dari metode AASHTO’72 yang sekarang telah disempurnakan menjadi AASHTO’81 dan telah di modifikasi sesuai dengan kondisi jalan di indonesia.
Perhitungan equivalent axle load (EAL)
Angka ekivalen sumbu tunggal (E/EAL) = ( Angka ekivalen sumbu ganda (E/EAL) =
𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑔 )4 8160
𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑘𝑔 ( )4 8160
Perhitungan tebal perkerasan Langkah perancangan tebal lapisan perkerasan : 1. Tentukan nilai daya dukung tanah dasar dengan pemeriksaan CBR lalu tentukan CBR segmen 2. Tentukan umur rencana dari jalan yang hendak direncanakan. Umumnya jalan baru mempergunakan umur 20 tahun, dapat dengan konstruksi bertahap atau tidak. 3. Tentukan faktor pertumbuhan lalu lintas selama masa pelaksanaan dan massa umur rencana, i% 4. Tentukan faktor ragional (FR). Bina marga memberikan angka yang bervariasi antara 0,5 dan 4
5. Tentukan lintas ekivalen rencana (LER) 𝑖=𝑛
𝐿𝐸𝑃 = ∑ 𝐴 𝑥 𝐸 𝑥 𝐶 𝑥 (1 + 𝑎)𝑛 𝑖=1
𝐿𝐸𝐴 = 𝐿𝐸𝑃 (1 + 𝑟)𝑛 𝐿𝐸𝑇 =
1 (𝐿𝐸𝑃 + 𝐿𝐸𝐴) 2
𝐿𝐸𝑅 = 𝐿𝐸𝑇 𝑥 𝐹𝑃
Dimana : LEP
= lintas ekivalen permulaan
LEA
= lintas ekivalen akhir
LET
= lintas ekivalen tengah
FP
= faktor penyesuaian (FP) = UR/10
UR
= umur rencana
r
= faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana
n
= umur rencana jalan tersebut
Ei
= angka ekivalen beban sumbu untuk satu jenis kendaraan
Ci
= koefisien distribusi kendaraan pada lajur rencana
Ai
= jumlah kendaraan untuk satu jenis kendaraan, dinyatakan
dalam kendaraan/ hari /2 arah untuk jalan tanpa median dan kendaraan/hari / 1 arah untuk jalan dengan median 6. Tentukan indeks permukaan awal (Ipo) dengan mempergunakan tabel yang ditentukan
sesuai
dipergunakan.
dengan
jenis
lapisan
permukaan
yang
akan
7. Tentukan indeks permukaan akhir (IPt) dari perkerasan rencana tabel :
8. Tentukan indeks tabel perkerasan (ITP) dengan mempergunakan nomogram. ITP dapat diperoleh dari nomogram dengan mempergunakan LER selama umur rencana. 9. Tentukan jenis lapisan perkerasan yang akan diperguanakan, bisa ditentukan dari :
Material yang tersedia
Dana awal yang tersedia
Tenaga kerja dan peralatan yang tersedia
Fungsi jalan
10. Tentukan koefisien kekuatan relatif bahan dari setiap jenis lapisan perkerasan yang dipilih Dengan mempergunakan rumus : ITP = = a1D1 + a2D2 + a3D3 Dapat diperoleh dari masing-masing tebal masing lapisan, dimana :
a1, a2, a3 adalah kekuatan relatif. untuk lapisan permukaan. (a1), lapis pondasi atas (a2) dan lapis pondasi bawah (a3).
D1, D2, D3 adalah tebal masing-masing lapisan dalam cm untuk lapis permukaan (D1), lapis pondasi atas (D2) dan lapis pondasi bawah (D3)
BAB 3 SOAL DAN PEMBAHASAN
3.1
Data Perencanaan Jalan 2 Jalur/ 2 Arah CBR Tanah Dasar/Subgrade
: 3,9 ; 4,0 ; 4,5 ; 4,8 ; 5,0 ; 5,4 5,5 ; 6,0 ; 6,5 ; 7,0 ; 7,2 ; 7,5 8,0 ; 8,5 ; 8,7 ; 9,0 ; 9,5 ; 10
Data Lalu Lintas
:
1. Kendaraan Ringan
(1+1)
= 22313
Kend/hari/2 Jalur
2. Bus
(3+5)
= 125
Kend/hari/2 Jalur
3. Truck 2 As
(5+8)
= 980
Kend/hari/2 Jalur
4. Truck 3 As
(6+2.7)
= 151
Kend/hari/2 Jalur
5. Truck 5 As
(6+2.5+2.7) = 40
Kend/hari/2 Jalur
Pertumbuhan Lalu Lintas -
Masa Pelaksanaan
: 5% /tahun
-
Setelah Masa Pelaksanaan
: 6% /tahun
Masa Pelaksanaan : 4 tahun ; Indeks Perkerasan Awal
3.2
Faktor Regional
: 2 tahun ; Indeks Perkerasan Awal
Umur Rencana
:
-
Konstruksi Tak Bertahap
: 10 Tahun
-
Konstruksi Bertahap
: 5 Tahun
-
Pelapisan Tambahan
: 4 tahun
Konstruksi Tak Bertahap a. Data Lalu Lintas 1. Kendaraan Ringan (1+1)
= 5225
Kend/hari/2 Jalur
2. Bus
(3+5)
= 125
Kend/hari/2 Jalur
3. Truck 2 As
(5+8)
= 980
Kend/hari/2 Jalur
4. Truck 3 As
(6+2.7)
= 151
Kend/hari/2 Jalur
5. Truck 5 As
(6+2.5+2.7) = 40
b. Masa Pelaksanaan
: 4 Tahun
Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas dalam %/tahun
Kend/hari/2 Jalur
c. LHR pada saat jalan tersebut dibuka, LHR2 = LHR1 (1+i)n Dimana : *i *n Jadi LHR2
= Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas = Tahun Pelaksanaan = LHR1 (1+0,05)4 = (1.050)4 LHR1
1. Kendaraan Ringan = 5225 (1.050)4
= 6351.2
Kend/hari/2 Jalur Kend/hari/2 Jalur
2. Bus
= 125 (1.050)4
= 151.938
3. Truck 2 As
= 980 (1.050)4
= 1191.196 Kend/hari/2 Jalur
4. Truck 3 As
= 151 (1.050)4
= 183.541
Kend/hari/2 Jalur
5. Truck 5 As
= 40 (1.050)4
= 48.620
Kend/hari/2 Jalur
d. LHR sampai akhir umur rencana jalan (10 Tahun) n
= 10 tahun
i
= 10% /tahun
Jadi, LHR3
= LHR2 (1+0,1)10 = (1.1)10 LHR2
1. Kendaraan Ringan = 6351.2 (1.01)10
= 7015.477 Kend/hari/2 Jalur
2. Bus
= 151.938 (1.01)10 = 167.834
3. Truck 2 As
= 1191.196 (1.01)10 = 1315.822 Kend/hari/2 Jalur
4. Truck 3 As
= 183.541 (1.01)10 = 202.7439 Kend/hari/2 Jalur
5. Truck 5 As
= 48.620 (1.01)10
= 53.707
Kend/hari/2 Jalur
Kend/hari/2 Jalur
e. Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Untuk Jalan 2 Jalur / 2 Arah : *Kendaraan Ringan (Berat < 5 Ton), c = 0,50 *Kendaraan Berat (Berat > 5 Ton), c = 0,50 Nilai koefisien (C), diperoleh dari tabel (daftar II : Koef. Distribusi Kendaraan)
f.
Angka Ekivalen (E)
1. Kendaraan Ringan 2 ton (1+1) : As depan
: 1 ton, E
= 0.0002
As belakang : 1 ton, E
= 0.0002
ΣE
+
= 0.0004
2. Kendaraan Berat
Bus (3+5)
:
As depan
: 3 ton, E
= 0.0183
As belakang
: 5 ton, E
= 0.1410
ΣE
Truck 2 As (5+8)
= 0.1593
:
As depan
: 5 ton, E
= 0.1410
As belakang
: 8 ton, E
= 0.9328
ΣE
Truck 3 As (6+2.7)
+
+
= 1,0738
:
As depan
: 6 ton, E
= 0.2933
As belakang
: 2.7 ton, E
= 0.7452
ΣE
= 1,0385
Truck 5 As (6+2.5+2.7)
:
As depan
: 6 ton, E
= 0.2933
As belakang
: 14 ton, E
= 0.7452
As Gandengan : 10 ton, E ΣE
+
= 0,1940 + = 1,2325
(Nilai Ekivalen (E) diperoleh dari Daftar III “Pedoman Penentuan Tebal Perekerasan Lentur Jalan Raya Bina Marga No. 01/PD/BM/1983)
g. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
LEP
=
Dimana :
𝐋𝐇𝐑 𝟐 . C . E ∑ = Jumlah kendaraan, berat + ringan
C = Koefisien distribusi E = Angka ekivalen 1. Kendaraan ringan = 6351.2 . 0,50 . 0,0004
= 1.2702
2. Bus
= 151.938 . 0,50 . 0,1593 = 12.101
3. Truck 2 As
= 1191.196 . 0,50 . 1,0738 = 639.5532
4. Truck 3 As
= 183.541 . 0,50 . 1,0385 = 120.082
5. Truck 5 As
= 48.620. 0,50 . 1,2325 ∑
= 29.96223 + = 802.9695 ≈ 803 803 Kendaraan
h. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) 𝐋𝐇𝐑 𝟑 . C . E
LEA =
Dimana : ∑ = Jumlah kendaraan, berat + ringan C = Koefisien distribusi E = Angka ekivalen 1. Kendaraan ringan = 7015.477 . 0,50 . 0,0004= 1,4031 2. Bus
= 167.834 . 0,50 . 0,1593 = 13,368
3. Truck 2 As
= 1315.822 . 0,50 . 1,0738 = 706,4646
4. Truck 3 As
= 202.7439 . 0,50 . 1,0385 = 132,6452
5. Truck 5 As
= 53.707 . 0,50 . 1,2325 ∑
+
= 33,09694 = 886.9779 ~887 887 Kendaraan
i.
Lintas Ekivalen Tengah (LET) LET LET
= =
j.
𝟏
= 𝟐 . ( LEP + LEA ) 1 2
. ( 930 + 2409 )
1669,5 ~ 1670 Kendaraan
Lintas Ekivalen Rencana (LER)
LER = Dimana Fp1 =
LET . 𝐅𝐩𝟏 Faktor penyelesaian = Ur/10 Ur = Umur rencana
Ur untuk konstruksi bertahap diketahui 10 tahun Maka :
-
LER1
LER1
1670 . 10/10
=
1670 kendaraan
=
LEP . Fp2
=
=
930 .
1 i n 1 10. i
1 0,110 1
=
930 .
=
1482,180 ~ 1483 kendaraan
10. 0,1
Angka LER diambil yang terbesar, yaitu 1670kendaraan
k. Indeks Permukaan Nilai Indeks Permukaan (IP) jalan rencana pada akhir umur rencana dapat diketahui dari Daftar V “Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana” dengan cara mencari nilai dan klasifikasi jalan pada daftar V yang sesuai untuk nilai LER (Lintas Ekivalen Rencana) yang telah dihitung. Dengan berpedoman pada daftar V, pada kolom LER tercatat bahwa angka LER masuk kedalam golongan LER > 1000, (yaitu 1670), dengan klasifikasi jalan kolektor didapat nilai Indeks Perkerasan akhir umur rencana 𝐈𝐏𝒕 = 2,0 – 2,5 Maka dari itu di ambi nilai 𝐈𝐏𝒕 sebesar 2.5)
l.
Faktor Regional Faktor Regional ditentukan oleh pengaruh bentuk alinement (lendutan dan tikungan), presentase kendaraan berat dan yang berhenti, juga iklim (curah hujan). Angka Faktor Regional (FR) dapat diketahui dengan berpedoman pada daftar IV “Faktor Regional” (Pedoman Persatuan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Bina Marga Nomor : 01/PD/BM/1983).
Persentase Kendaraan Berat
=
=
kendaraanberat
kendaraan
x100
2031 x100 4045
= 50,21 % Persentase kendaraan berat 50,21 % (> 30%)
Dengan persentase kendaraan 50,21% (> 30%) , kelandaian 10% dan beriklim I <900 mm/th , dari Daftar IV diperoleh nilai FR 1,52,0 maka di ambil 2,0
m. Daya Dukung Tanah
no
CBR
Jumlah yang
%yang sama atau lebih besar
sama/lebih besar 1
5,1
16
16/16.100% = 100
2
5,4
15
15/16.100% = 93,75
3
6,3
14
14/16.100% = 87,5
4
6,6
13
13/16.100% = 81,25
5
6,9
12
12/16.100% = 75
6
7,2
11
11/16.100% = 68,75
7
7,6
10
10/16.100% = 62,5
8
7,9
9
9/16.100% = 56,25
9
8,0
8
8/16.100% = 50
10
8,3
7
7/16.100% = 43,75
11
8,7
6
6/16.100% = 37,5
12
8,9
5
5/16.100% = 31,25
13
9,2
4
4/16.100% = 25
14
9,6
3
3/16.100% = 18,75
15
9,8
2
2/16.100% = 12,5
16
10
1
1/16.100% = 6,25
Dari data daya dukung tanah di atas, digambarkan dalam hubungan presentase dan CBR. Untuk nilai CBR design (CBR rencana) diambil nilai untuk harga presentase 90%. Yang paling mendekati 90%.
120
100
persentase
80
60
Series1 Linear (Series1)
40
20
0 0
2
4
6
8
nilai CBR
Di dapat nilai CBR 90 adalah 6,02
10
12
Gambar 1 Korelasi DDT danCBR
Pengecekan DDT
= 4,3.(log CBR)+ 1,7 = 4,3.log CBR 90+1,7 =4,3.log6,02+1,7 =5,04
untuk IPt =2,5 dan IPo= 3,9 – 3.5
Di dapat data: -
ITP
= 10,5
-
ITP
= 11,9
untuk IPt = 2,5 dan IPo ≥ 4
Di dapat data: -
ITP
= 9,8
-
ITP
= 11,1
n. Indeks Permukaan Awal (IP0 ) Ipt = 2.5 Diperoleh dari daftar VI, jenis lapisan perkerasan yang digunakan untuk :
IP0
IP0
=
=
3,9 – 3,5
≥4
-
LASTON
-
LASBUTAG
-
BURDA
-
HRA
-
LASTON
o. Indeks Tebal Perkerasan (ITP) Dengan Lintas Ekivalen Rencana (LER) 1670, dan Faktor Regional (FR) : 2.0, dan DDT = 4.995 , maka :
IP0 =
3,9 – 3,5
IT𝑝 = 10,5
; IT𝑝 = 11.9
Karena IT𝑝 ≥ 10, maka lapisan permukaan digunakan “LASTON”
IP0 =
≥4
Karena ITP
IT𝑝 = 9,8
; IT𝑝 = 11,1
7,50-9,99, maka lapisan permukaan digunakan
“LASBUTAG atau LASTON”
p. Menentukan Tebal Perkerasan denfan berpedoman pada daftar VII, koefisien kekuatan relatif
IP0
=3,9 – 3,5
-
LAPISAN PERMUKAAN
=LASTON MS.454
a1 = 0.32
-
LAPISAN PONDASI ATAS = LASTON MS.454
a2= 0.32
-
LAPISAN PONDASI BAWAH =SIRTU/PIRTU A
IP0
a3 = 0.13
= ≥4
-
LAPISAN PERMUKAAN
=LASTON MS.744
a1 = 0.40
-
LAPISAN PONDASI ATAS = LASTON MS.454
a2= 0.32
-
LAPISAN PONDASI BAWAH =SIRTU/PIRTU A
a3 = 0.13
q. Tebal minimum lappisan Dengan berpedoman pada daftar VIII,
Lapis permukaan IT𝑝 ≥ 10
LASTON
Lapis pondasi atas IT𝑝 ≥ 10,12,14
D1 min = 10 cm
LASTON ATAS
D2 min = 20 cm
Lapis pondasi bawah Untuk setiap nilai ITP, bila menggunakan lapisan pondasi bawah. Tebal minimum yang dipakai adalah 10 cm. (D3 = 10 cm)
GAMBAR LAPISAN PERKERASAN KONTRUKSI TAK BERTAHAP
Apabila menggunakan IPO = 3,9 – 3,5 maka : IT𝑝
= a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
11.9
= 0,32 . 10 + 0,32 . 20 + 0.13 . D3
11.9
= 3,2 + 6,4 + 0,13.D3
11.9
= 6 + 0,13.D3
D3
=
D3
=18 cm
11,9 9,6 = 17,7 ~ 18 0,13
LASTON MS 454
(D1 = 10cm)
BATU PECAH KELAS A(D2 = 20cm) SIRTU/PITRUN A
(D3 = 46cm)
Apabila menggunakan IPO = ≥ 4 maka : IT𝑝
= a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
11.1
= 0,40 . 10 + 0,32 . 20 + 0.13 . D3
11.1
= 4 + 6,4 + 0,13.D3
11.1
= 10,4 + 0,13.D3
D3
=
D3
= 6 cm
11,1 10,4 = 5,38 ~ 6 0,13
LASTON MS 744
(D1 = 10cm)
LASTON ATAS 454 (D2 = 20cm) SIRTU/PITRUN A
(D3 = 6cm)
3.2 Kontruksi Bertahap
LEP₁
LEA₁ - LEP₂
LEA₂
LHR₁
LHR₂
LHR₃
LHR₄
0
4 tahun
9 tahun
14 tahun
İ - 5,0 % 4 tahun
İ - 10 % 5 tahun
İ - 10 % 5 tahun
Masa pelaksanaan
Setelah Masa Pelaksanaan
a. LHR Pada Masa Awal Pelaksanaan (LHR₁)
Kendaraan ringan 2 ton
(1+1
)
=
2010 kend/hari/2
=
705 kend/hari/2
jur
Bus
8 ton
(3+5)
jur
Truck 2 As
13 ton ( 5 + 8 )
Truck 3 As
20 ton ( 6 + 2.7 )
Truck 5 As
30 ton ( 6 + 2.7 + 2.5 )
= =
∑ LHR₁=
800 kend/hari/2 jur
500 kend/hari/2 jur =
30
kend/hari/2 jur +
4045 kend/hari/2jur
b. LHR Pada Saat Jalan Tersebut Dibuka (LHR₂) LHR₂
i = 5,0 %
= LHR₁ ( 1 + İ)ⁿ
n = 4 tahun dimana : i = faktor pertumbuhan lalu lintas dalam % tahun n = tahun pelaksanaan / masa pelaksanaan
i = 0,050 n = 4 tahun
jadi LHR₂ : LHR₂
= LHR₁ ( 1 + İ)ⁿ = LHR₁ ( 1 + 0,050 )⁴ = (1,050 )⁴ LHR₁
Kendaraan ringan =2010 ( 1.050 )4
=
2443 kend/hari/2jur
Bus
=
705 ( 1.050 )4
=
857
kend/hari/2jur
Truck 2 As
=
800 ( 1.050 )4
=
972
kend/hari/2jur
Truck 3 As
=
500 ( 1.050 )4
=
608
kend/hari/2jur
Truck 5 As
=
30
( 1.050 )4
=
36
kend/hari/2jur
+ ∑ LHR₂ =
4916 kend/hari/2jur
c. LHR Pada 5 Tahun Pertama Sejak Jalan Dibuka (LHR₃) i = 10 %
LHR₃ = LHR₂ ( 1 + İ)ⁿ n = 4 tahun
i = 0,1
n = 5 tahun
Maka LHR₃: LHR₃
= LHR₂ ( 1 + İ)ⁿ = LHR₂ ( 1 + 0,1 )⁵ = (1,1 )⁵ LHR₁
Kendaraan ringan
2 ton : 2443 (1,1 )⁵ = 3935 kend/hari/2jur
Bus
8 ton : 857 (1,1 )⁵ = 1409 kend/hari/2jur
Truck 2 As
13 ton :972 (1,1 )⁵
= 1566kend/hari/2jur
Truck 3 As
20 ton :608 (1,1)⁵
= 979 kend/hari/2jur
Truck 5 As
30 ton : 36 (1,1 )⁵
= 58 kend/hari/2jur +
∑ LHR₃
= 7947kend/hari/2jur
d. LHR Pada Akhir Umur Rencana (LHR ₄) i =LHR₄ 6,0 % =i = 0,060 LHR₃ ( 1 + İ)ⁿ
i = 10 %
n = 4 tahun
i = 0,1
n = 5 tahun
Maka LHR₄ : LHR₄
= LHR₃ ( 1 + İ)ⁿ = LHR₃ ( 1 + 0,1 )⁵ = (1,1 )⁵ LHR₁
Kendaraan ringan
2 ton : 3935 (1,1 )⁵ = 6337 kend/hari/2jur
Bus
8 ton : 1409 (1,1 )⁵ = 2269 kend/hari/2jur
Truck 2 As
13 ton :1566 (1,1 )⁵ = 2522kend/hari/2jur
Truck 3 As
20 ton :979 (1,1)⁵
= 1577kend/hari/2jur
Truck 5 As
30 ton : 58 (1,1 )⁵
= 93 kend/hari/2jur +
∑LHR₄
= 12798kend/hari/2jur
e. Koefisien Distribus Kendaraan (C) Dengan berpedoman pada daftar II “ Koefisien Distribusi Kendaraan (C)”.
Untuk Jalan 2 jalur / 2 arah *Kendaraan Ringan ( berat total < 5 ton ) ; C = 0,50 *Kendaraan Berat ( berat total ≥ 5ton ) ; C = 0,50
f. Angka Ekivalen (E) Dari Daftar III ( Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan ) : a. Kendaraan Ringan 2 ton ( 1 + 1 ) : As depan
:
1 ton,
E = 0.0002
As belakang
:
1 ton,
E = 0.0002 +
∑
E = 0.0004
b. Kendaraan Berat
Bus 8 ton (3 + 5) : As depan
:
3 ton,
E = 0.0183
As belakang
:
5 ton,
E = 0.1410 +
∑
E = 0.1593
Truck 2 As (5 + 8)
:
As depan
:
5 ton,
E = 0.1410
As belakang
:
8 ton,
E = 0.9328 +
∑
E = 1.0738
Truck 3 As (6 + 2.7)
:
As depan
:
6 ton,
E = 0.2933
As belakang
:
14 ton,
E = 0.7452 +
∑
E = 1.0385
Truck 3 As (6 + 2.7 + 5.2)
:
As depan
6 ton,
:
E = 0.2933
As belakang
:
14 ton,
E = 0.7452
As gandengan
:
10 ton,
E = 0.1940 +
∑
E = 1.2325
(Nilai Ekivalen (E) diperoleh dari Daftar III “Pedoman penentuan tebal perkerasan lentur jalan raya Bina Marga No. 01/PD/BM/1983)
g. Lintas Ekivalen Permulaan ( LEP₁) LEP₁ = E . C . LHR awalUR
Dimana : E
= Koefisien Ditribusi
C
= Angka Ekivalen
LHRawalRU
LEP₁ = E . C . LHR awalUR
= LHR2
Kendaraan ringan
0,0004 . 0,50 . 2443
Bus
0,1593 . 0,50 . 857 = 69,69
Truck 2 As
1,0738 . 0,50 . 972 = 521,87
Truck 3 As
1,0385
Truck 5 As
1,2325 . 0,50 . 36 =22,2
= 0,5
. 0,50 . 608 = 315,7 +
∑
= 929,96 ~ 930 930 kendaraan
h. Lintas Ekivalen Akhir (LEA1) LEA₁ =LEP2 E . C . LHR3 awalUR
Kendaraan ringan
0,0004 . 0,50 . 3935
= 0,787
Bus
0,1593 . 0,50 . 1409
= 112,2
Truck 2 As
1,0738 . 0,50 . 1566
= 840,78
Truck 3 As
1,0385
Truck 5 As
1,2325 . 0,50 . 58 =35,74
. 0,50 . 979 = 508,35 ∑
+
= 1497,857 ~ 1498 1498 kendaraan
i. Lintas Ekivalen Akhir (LEA2) LEA2 = E . C . LHR4
Kendaraan ringan
0,0004 . 0,50 . 6337
= 1,28
Bus
0,1593 . 0,50 . 2269
= 180,73
Truck 2 As
1,0738 . 0,50 . 2522
= 1354,06
Truck 3 As
1,0385
Truck 5 As
1,2325 . 0,50 . 93 =57,31
. 0,50 . 1577 = 818,85 ∑
= 2412,23 ~ 2413 2413 kendaraan
j.
Lintas Ekivalen Tengah(LET)
LET 1 = 1/2 . ( LEP1 + LEA1 ) = 1/2 . ( 930 + 1498 ) = 1214 kendaraan
LET 2 = 1/2 . ( LEP2 + LEA2 ) = 1/2 . ( 1498 + 2431 )
+
= 1964,5 ~ 1965 kendaraan
k. Lintas Ekivalen Rencana (LER) Dimana : Umur Rencana 1 (UR1) : 5 Tahun Umur Rencana 2 (UR2) : 5 Tahun Pertumbuhan Lalu lintas (i) setelah masa pelaksanaan : 10 % I = 0,1
Tahap 1
LER1 = 1/10 . LET1 . UR1 = 1/10 . 1214 . 5 =607 kendaraan
LER2 = LEP1 . FP1 = LEP1 .
= 930 .
( 1+𝑖 )ⁿ−1 10 .𝑖
( 1+0,1 )⁵−1 10 .0,1
= 567,77 ~ 568 kendaraan
Tahap 2
LER1 = 1/10 . LET2 . UR2 = 1/10 . 1965 . 5 = 982,5 ~ 983 kendaraan
LER2 = LEP2 . FP2 = LEP2 .
= 1498 .
( 1+𝑖 )ⁿ−1 10 .𝑖
( 1+0,10 )⁵−1 10 .0,10
= 914,543 ~ 914 kendaraan
l.
Berdasarkan Data yang didapat sebelumnya : -
CBR
-
Indeks Permukaan (IP) = 2,5
-
Faktor Regional (FR)
= 2,0
-
DDT
=5,04
-
= 6,2
untuk IPt =2,5 dan IPo= 3,9 – 3.5
Di dapat data: Tahap I -
ITP
= 9,1
-
ITP
= 10,5
Tahap II -
ITP
= 9,8
-
ITP
= 11,5
untuk IPt = 2,5 dan IPo ≥ 4
Di dapat data: Tahap I -
ITP
= 8,60
-
ITP
= 9,6
Tahap II -
ITP
= 9,2
-
ITP
= 10,5
m. Indeks Permukaan Awal Rencana (IP0) IPt = 2,5 Dengan berpedoman pada daftar VI, jenis lapisan perkerasan yang digunakan untuk : * IP0
= 3,9 – 3,5
- LASTON - LASBUTAG - BURDA - HIRA
* IP0
=≥4
- LASTON
n. Indeks Tabel Perkerasan (ITP)
Tahap I -
IP0 =
3,9 – 3,5
ITP = 9,1 ;
ITP= 10,5
Karena ITP 7,50-9,99, maka lapisan permukaan digunakan “LASBUTAG atau LASTON” -
IP0 =
≥4
ITP = 8,60 ;
ITP= 9,6
Karena ITP 7,50-9,99, maka lapisan permukaan digunakan “LASBUTAG atau LASTON”
Tahap II -
IP0 =
3,9 – 3,5
ITP= 9,8 ;
ITP= 11,5
Karena ITP 7,50-9,99, maka lapisan permukaan digunakan “LASBUTAG atau LASTON” -
IP0 =
≥4
ITP = 9,2 ;
ITP= 10,5
Karena ITP 7,50-9,99, maka lapisan permukaan digunakan “LASBUTAG atau LASTON”
o. Menentukan Tabel Perkerasan Dengan berpedoman pada daftar VII “Koefisien Kekuatan Relatif (a), maka koefisien kekuatan relatif :
* IP0
= 3,9 – 3,5
-Lapis permukaan
Laston MS 590
- Lapisan pondasi atas
a1 = 0,35
Batu pecah (kelas A)
a2 =
0,14 - Lapisan pondasi bawah Sirtu/Pitrum (kelas A) * IP0
a3 = 013
= ≥4
-Lapis permukaan
Laston MS 590
- Lapisan pondasi atas
a1 = 0,35
Laston MS 454
a2 =
0,26 - Lapisan pondasi bawah Sirtu/Pitrum (kelas A)
a3 = 013
p. Tebal Minimum Lapisan Dengan melihat Daftar VIII “ Batas – batas Minimum Tabel Lapisan Perkerasan”, maka :
Lapis permukaan ITP 7,50-9,99
Lasbutag atau Laston
D1 min = 7,5 cm
Lapis pondasi bawah ITP 7,50-9,99
Laston atas dan batu pecah
D2min = 15-20
cm 15 cm apabila lapisan laston atas,apabila selain itu menggunakan 20 cm
Lapis pondasi bawah Untuk setiap nilai ITP, bila menggunakan lapisan pondasi bawah. Tabel minimum yang dipakai adalah : 10 cm ( D3 = 10 cm )
Apabila menggunakan IP0 = 3,9 – 3,5 maka :
Tahap I IT𝑝
= a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
10,5
= 0,35 . 7,5 + 0,14 . 20 + 0.13 . D3
10,5
= 2,63 + 2,8 + 0,13.D3
10,5
= 5,43 + 0,13.D3
D3
=
D3
= 39 cm
10,5 5,43 = 39 0,13
Tahap II IT𝑝
= a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
11,5
= 0,35 . 7,5 + 0,14 . 20 + 0.13 . D3
11,5
= 2,63 + 2,8 + 0,13.D3
11,5
= 5,43 + 0,13.D3
D3
=
D3
= 47 cm
11,5 5,43 = 46,6 0,13
∆ ITP = ITPII - ITPI
D1
= 11,5 – 10,5 =1
= =
D1
∆ ITp 𝑎1 1 0,35
= 2,857
= 2,847 ~ 3 cm
Apabila menggunakan IP0 = ≥ 4 maka :
Tahap I IT𝑝
= a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
9,6
= 0,35 . 7,5 + 0,26 . 15 + 0.13 . D3
9,6
= 2,63 + 3,9 + 0,13.D3
9,6
= 6,53 + 0,13.D3
D3
=
D3
= 24 cm
9,6 6,53 = 23,6 ~ 24 0,13
Tahap II IT𝑝
= a1 . D1 + a2 . D2 + a3 . D3
10,5
= 0,35 . 7,5 + 0,26 . 15 + 0.13 . D3
10,5
= 2,63 + 3,9 + 0,13.D3
10,5
= 6,53 + 0,13.D3
D3
=
D3
= 31 cm
10,5 6,53 = 30,5 ~ 31 0,13
∆ ITP = ITPII - ITPI
D1
∆ ITp 𝑎1 0,9
= 10,5 – 9,6 = 0,9
=
= 0,35 = 2,57 D1
= 2,57 ~ 3 cm
GAMBAR LAPISAN PERKERASAN KONTRUKSI BERTAHAP
IPO = 3,9-3,5
Tahap I = 3 cm
LASTON MS 590 ( D1 = 7,5 cm ) BATU PECAH (A) ( D2 = 20 cm ) SIRTU/PITRUN (A) ( D3 = 39 cm )
Tahap II
LASTON MS 590 ( D1 = 7,5 cm ) BATU PECAH (A) ( D2 = 20 cm ) SIRTU/PITRUN (A) ( D3 = 47 cm )
IPO = ≥ 4
Tahap I = 3 cm
LASTON MS 590 ( D1 = 7,5 cm ) LASTON MS 454 ( D2 = 15 cm ) SIRTU/PITRUN (A) ( D3 = 24 cm )
Tahap II
LASTON MS 590 ( D1 = 7,5 cm ) LASTON MS 454 ( D2 = 15 cm ) SIRTU/PITRUN (A) ( D3 = 31 cm )
3.3 PELAPISAN TAMBAHAN
a. * Umur rencana
: 4 Tahun
* Pertumbuhan lalu lintas (i)
: 10 %
b. LHR Pada Saat Setelah Masa Pelaksanaan (LHR3) LHR3
i = 10 %
= LHR2 ( 1 + İ)ⁿ
n = 10 tahun Maka LHR3 = LHR2 . (1 + 10% )10 = LHR2 . (1 + 0,1 )10 = LHR2 . (1,1 )10 LHR2 , adalah LHR pada masa pelaksanaan konst. Tak bertahap 6. Kendaraan ringan =2443(1,1)10
=
6337 kend/hari/2jur
7. Bus
=
857 (1,1)10 =
2223 kend/hari/2jur
8. Truck 2 As
=
972 (1,1)10 =
2521 kend/hari/2jur
9. Truck 3 As
=
608 (1,1)10
=
=
36
1577
kend/hari/2jur 10. Truck 5 As
(1,1)10 =
93
∑LHR3
=
kend/hari/2jur
+
c. LHR Sampai Akhir Umur Rencana (LHR4) LHR4
= LHR3 ( 1 + İ)ⁿ
i = 10 % n = 4 tahun
12751 kend/hari/2jur
Maka LHR4 = LHR3 . (1 + 10% )4 = LHR3 . (1 + 0,1 )4 = LHR3 . (1,1 )4
Kendaraan ringan
=
6337 . (1,1 )4 =
9278 kend/hari/2jur
Bus
=
2223 . (1,1 )4 =
3255 kend/hari/2jur
Truck 2 As
=
2521 . (1,1 )4 =
3691kend/hari/2jur
Truck 3 As
=
1577 . (1,1 )4 =
2309 kend/hari/2jur
Truck 5 As
=
93. (1,1 )4
136 kend/hari/2jur
=
∑LHR4
=
+
18669
kend/hari/2jur d. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP ) LEP
= LHR3 . C . E
Dimana : C = Koefisien Distribusi Untuk jalan 2 jalur / 2 arah : -
Kendaraan ringan (< 5 ton ), C = 0,50
-
Kendaraan berat (>5 ton ), C = 0,50
E= Angka Ekivalen (dilihat dari kontruksi tak bertahap )
11. Kendaraan ringan =
6337 . 0,50 . 0,0004
=
1,2674
12. Bus
=
2223 . 0,50 . 0,1593
=
177,06
13. Truck 2 As
=
2521 . 0,50 . 1,0738
=
1353,5
14. Truck 3 As
=
1577 . 0,50 . 1,0385
=
818,9
15. Truck 5 As
=
93 . 0,50 . 1,2325
=
57,311
∑
=
+
2408,0384
~ 2409
2409 Kendaraan
e. Lintas Ekivalen Akhir (LEA) LEA
= LHR4 . C . E
16. Kendaraan ringan =
9278 . 0,50 . 0,0004
=
1,8556
17. Bus
=
3255 . 0,50 . 0,1593
=
259,26
18. Truck 2 As
=
3691 . 0,50 . 1,0738
=
1981,7
19. Truck 3 As
=
2309 . 0,50 . 1,0385
=
1198,94
20. Truck 5 As
=
136 . 0,50 . 1,2325
=
83,81
=
3525,06 ~ 3525
∑
3525 Kendaraan
f. Lintas Ekivalen Tengah (LET) LET = 1/2 . (LEP + LEA)
LET = 0,5 (2409 + 3525 ) = 2967 kendaraan
g. Lintas Ekivalen Rencana Diketahui : UR(n) = 4 tahun i = 10 %
LER
= 1/10 . LET . UR
LER
= LEP . Fp
= 1/10 . 2967 . 4
=LEP.
= 1187 kendaraan
=2409.
( 1+𝑖 )ⁿ−1 10 .𝑖 ( 1+0.10)⁴−1 10 .0,10
+
= 1118 kendaraan Diambil angka LER terbesar, yaitu : 1187 kendaraan
untuk IPt =2,5 dan IPo= 3,9 – 3.5
Di dapat data: -
ITP
= 10,2
-
ITP
= 11,5
untuk IPt = 2,5 dan IPo ≥ 4
Di dapat data: -
ITP
= 10,5
-
ITP
= 10,7
h. Indeks Permukaan Awal Rencana (IP0) IPt = 2,5 Dengan berpedoman pada daftar VI, jenis lapisan perkerasan yang digunakan untuk : * IP0 = 3,9 – 3,5
- LASTON - LASBUTAG - BURDA - HIRA
* IP0 = ≥ 4
i.
- LASTON
Indeks Tabel Perkerasan (ITP) Dengan melihat daftar VIII “ Batas – batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan “ :
IP0 =
3,9 – 3,5
IT𝑝 = 10,2
; IT𝑝 = 11.5
Karena IT𝑝 ≥ 10, maka lapisan permukaan digunakan “LASTON”
IP0 =
≥4
IT𝑝 = 10,5
; IT𝑝 = 10,7
Karena IT𝑝 ≥ 10, maka lapisan permukaan digunakan “LASTON”
j.
Kekuatan Jalan Lama Diambil dari salah satu contoh dari hasil perhitungan “Kontruksi Bertahap” :
IP0
= 3.9 – 3,5 :
-
LASTON MS 590 (D1 = 10 cm)
= 60 % . 10 . 0,35= 2,10
-
BATU PECAH (KELAS A) (D2 = 20 cm)
= 65 % . 20 . 0,14= 1,82
-
SIRTU/PITRUN (KELAS A) (D3 = 33 cm)
= 70 % .33 . 0,13 =
3,003 ∑Itp ada= 7
IP0
= ≥4:
-
LASTON MS 590 (D1 = 10 cm)
= 60 % . 10 . 0,35= 2,4
-
LASTON ATAS MS 454 (D2 = 20 cm)
= 65 % . 20 . 0,36= 4,68
-
SIRTU/PITRUN (KELAS A) (D3 = 17 cm) = 70 % . 17 . 0,13 = 1,547 ∑Itp ada= 8,627
k. Perhitungan Tebal Perkerasan Lapisan Tambahan IP0 = 3,9 – 3,5 : ∆ ITp = ITp – ITp ada
D1
∆ ITp 𝑎1
4,5
= 11,5 – 7 = 4,5
=
= 0,35 = 12,85 D1
= 12,85 ~ 13 cm
IP0 = ≥ 4 : ∆ ITp = ITp – ITp ada
D1
= 10,7 – 8,627 = 2,073
= =
D1
∆ ITp 𝑎1 2,073 0,35
= 5,9
= 5,9 ~6 cm
GAMBAR LAPISAN PERKERASAN TAMBAHAN IP0 = 3,9 – 3,5 : LASTON MS 590
13 cm 10 cm
LASTON MS 590
20 cm
BATU PECAH (KELAS A)
33 cm
SIRTU/PITRUN [kelasA]
IP0 = ≥ 4 : 6 cm
LASTON MS 590
10 cm
LASTON MS 590
20cm
LASTON ATAS (MS 454)
17 cm
SIRTU/PITRUN [kelas A]
3.4. PERENCANAAN CROSS SECTIONS STA 0+350 Diketahui dengan data: -
Rencana lebar jalan
-
Elevasi
-
Kemiringan
-
Arah tikungan
= 7 meter
= 67,00 meter di atas permukaan laut =8% =ke arah kiri
Mencari kemiringan jalan: =
𝑘𝑒𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 100
𝑥𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛
8
=100 𝑥 7 =0,56 meter Menentukan elevasi awal bisa di bagian dalam jalan atau tegah jalan,maka di ambil elevasi awal berada di kiri (bagian dalam),jadi elevasi di pinggir kanan jalan adalah: 67,00 + 0,56 = 67,56 meter
STA 0+359,62 Diketahui dengan data: -
Rencana lebar jalan
-
Elevasi
-
Kemiringan
-
Arah tikungan
= 7 meter
= 67,00 meter di atas permukaan laut =10% =ke arah kiri
Mencari kemiringan jalan: =
𝑘𝑒𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 100 10
=100 𝑥 7
𝑥𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛
=0,7 meter Menentukan elevasi awal bisa di bagian dalam jalan atau tegah jalan,maka di ambil elevasi awal berada di kiri (bagian dalam),jadi elevasi di pinggir kanan jalan adalah: 67,00 + 0,7 = 67,7 meter
STA 0+475 Diketahui dengan data: -
Rencana lebar jalan
-
Elevasi
-
Kemiringan
-
Arah tikungan
= 7 meter
= 67,00 meter di atas permukaan laut = 2% = lurus
Mencari kemiringan jalan: =
𝑘𝑒𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 100
𝑥0,5. 𝑟𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛
2
=100 𝑥 3,5 =0,07 meter Karna jalan lurus maka patokan elevasi awal berada di tegah,jadi elevasi di pinggir kiri dan kanan jalan adalah: 67,00-0,07 = 66,93 meter
BAB IV PENUTUP 4.1.
Kesimpulan 1. Metode yang di gunakan adalah metode Bina Marga 2. Dengan persentase kendaraan 50,21% (> 30%) , kelandaian 10% dan beriklim I < 900 mm/th , dari Daftar IV diperoleh nilai FR 1,5-2,0 maka di ambil 2,0 3. Untuk menentukan elevasi awal atau elevasi rencana bisa di gunakan titik dalam jalan atau titik tegah jalan sebagai patokan. 4. Perhitungan Tebal Perkerasan Lapisan Tambahan untuk ipo 3,5-3,9 terlalu besar yaitu mencapai 13 cm.
4.2.
Saran
Dalam waktu asistensi,asisten dosen yang di tunjuk,tolong lebih bisa berbagi waktu dengan mahasiswa,agar mahasiswa tidak mengerjakan hitungan secara sendiri tampa bingbingan.