Pengertian Moral - Secara Etimologi Moral berasal dari bahasa Latin “mos” (jamak: mores) yang berarti kebiasaan, adat. Kata “mos” (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan etos dalam bahasa Yunani. Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan “aturan kesusilaan” ataupun suatu istilah yang digunakan untuk menentukan sebuah batas-batas dari sifat peran lain, kehendak, pendapat atau batasan perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik maupun buruk. - Menurut KBBI Pengertian moral menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bisa diartikan sebagai berikut, (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila: kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan: ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita; - Menurut Para Ahli : Selain pengertian moral secara umum, etimologi dan menurut KBBI seperti yang tercantum diatas, para ahli dan pakar memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda beda dalam mendefinisikan apa itu moral. Untuk lebih jelasnya, berikut ini pengertian moral menurut para ahli secara lengkap 1) Menurut Merriam-webster Moral adalah mengenai atau berhubungan dengan apa yang benar dan salah dalam perilaku manusia, dianggap benar dan baik oleh kebanyakan orang sesuai dengan standar perilaku yang tepat pada kelompok atau masyarakat tersebut. 2) Menurut Hurlock Definisi moral adalah perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Moral sendiri berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep konsep moral atau peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. 3) Menurut Dian Ibung Moral adalah nilai (value) yang berlaku dalam suatu lingkungan sosial dan mengatur tingkah laku seseorang. Maria Assumpta menambahkan bahwa pengertian moral adalah aturan aturan (rule) mengenai sikap (attitude) dan perilaku manusia (human behavior) sebagai manusia. 4) Menurut Sonny Keraf Pengertian moral adalah Moral dapat digunakan untuk mengukur kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai anggota masyarakat (member of society) atau sebagai manusia yang memiliki posisi tertentu atau pekerjaan tertentu. Menurut Zainuddin Saifullah Nainggolan
Pengertian moral adalah suatu tendensi rohani untuk melakukan seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku seseorang dan masyarakat. 5) Menurut Chaplin (2006) Moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku. 6) Menurut Wantah (2005) Pengertian moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku. 7) Menurut W. J. S. Poerdarminta Menyatakan bahwa ajaran moral dari perbuatan baik dan buruk dan perilaku. 8) Menurut Dewey Mengatakan bahwa masalah moral yang berkaitan dengan nilai-nilai moral. 9) Menurut Maria Assumpta Pengertian moral adalah aturan aturan (rule) mengenai sikap (attitude) dan perilaku manusia (human behavior) sebagai manusia. 10) Menurut Baron dkk, Mengatakan bahwa moral yang terkait dengan pelarangan dan mendiskusikan tindakan yang benar atau salah. 11) Menurut Magnis-Susino Mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik orang miskin sebagai manusia, sehingga aspek moral kehidupan manusia dalam hal kebaikan sebagai manusia. 12) Menurut Shaffer Moral merupakan kaidah norma yang dapat mengatur perilaku suatu individu dalam menjalankan hubungan dan kerjasama di lingkungan masyarakat berdasarkan aturan yang berlaku. 13) Menurut A. Mustafa Mengungkapkan moral sebagai penentuan dasar perilaku mana yang baik dan yang buruk melalui pengamatan pada perbuatan manusia sejauh akal pikiran mereka. 14) Menurut Russel Swanburg Moral merupakan pernyataan dari pemikiran yang berhubungan dengan keantusiasan seseorang dalam bekerja dimana hal itu dapat merangsang perilaku seseorang tersebut. 15) Menurut Gunarsa Arti moral adalah seperangkat nilai-nilai berbagai perilaku yang harus dipatuhi. Menurut Imam Sukardi Moral adalah kebaikan bahwa seorang pria dengan langkah-langkah yang diadopsi oleh aksi bersama. 16) Menurut Wiwit Wahyuning (2003)
Menurutnya, ketika seseorang berbicara tentang nilai moral pada umumnya akan terdengar sebagai sikap dan perbuatan setiap inividu terhadap kehidupan orang lain. Demikianlah pembahasan mengenai pengertian moral menurut para ahli dan secara umum [Terlengkap]. Semoga penjalasan ini bermanfaat dan bisa menjadi referensi ilmu pengetahuan dalam memahami apa itu moral. Asal usul perkembangan moral A. Makna Perkembangan Moral Perkembangan sosial merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan. Seperti dalam proses perkembangan yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Dalam dunia psikologi belajar terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan perkembangan moral. Diantara ragam mazhab perkembangan sosial ini paling menonjol dan layak dijadikan rujukan adalah: 1. Aliran teori cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg. 2. Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters. Pada tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitia yang mana pada penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori menurut Kohlberg. B. Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg. Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg
sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anakanak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer: ” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.” Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut : Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional. Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moralpenalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman. Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap II. Individualisme dan tujuan Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anakanak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah. Tingkat Dua : Penalaran Konvensional Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat. Tahap III. Norma-norma Interpersonal Yaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik. Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional Yaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode. Tingkat IV : Moralitas Sistem Sosial Yaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukumhukum, keadilan, dan kewajiban. Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual Yaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal Yaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati. Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum. Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu : 1) Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman. Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orangorang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman. 2) Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan. Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Tingkat Dua : Moralitas Konvensional Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 1013 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu : 1) Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman. Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak. Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik. 2) Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan. - Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan. - Hukum harus ditaati oleh semua orang. Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu : 1) Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
- Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial. - Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik. - Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alsan-alasan tertentu. 2) Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika - Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain. - Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri Pengertian Etika Etika atau ethics berasal dari bahasa yunani yaitu “Ethos” yang berarti adat, kebiasan, perilaku atau karakter. Menurut KBBI, etika memiliki 3 pengertian : 1) Ilmu tentang yang baik dan buruk , serta ada kewajiban moral. 2) Kumpulan asa atau nilai yang berkenang dengan akhlak. 3) Nilai tentang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Menurut para ahli : 1) Etika berasal dari kata ethos yang pada bentuk tunggal berarti kebiasaan, adat istiadat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Sedangkan dalam bentuk jamak berarti adat kebiasaan dengan kata lain etika diartikan sebagai ilmu tantang apa yang bisa dilalkukan atau imu tantang adat kebiasaan(Bertens K,2000) 2) Etika merupakan terminology dengan berbagai makna, etika berhubungan dengan bagaimana seseorang harus bertindak dan bagaimana mereka melakukan hubungan dengan orang lain. (Potter dan Perry , 2009) 3) Dalam ahli fisiologi , etika sebagai sutu studi formal tentang moral. Dalam ahli sosiologi, etika memandang sebagai adat istiadat, kebiasaan, budaya dalam perilaku etik yang selalu merujuk pada standar moral terutama yang berkaitan dengan kelompok profesi seperti dokter dan perawat (Dark K, 1997) 4) Etika adalah penerapan dari proses dan teori filsafat moral pada situasi nyata. Etika berpusat pada perinsip dasar dan konsep bahwa manusia dalm berfikir dan tindakanya didasri nilai – nilai (Wahyuningsih,2008)
Jadi, bisa disimpulkan pengertian etika secara umum adalah suatu peraturan atau norma yang bisa digunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang yang berkaitan dengan sifat benar dan salah, baik dan buruk , serta merupakan sutu kewajiban dan tanggung jawab moral. Etika Keperawatan adalah suatu ungkapan tentang bagaimana perawat wajib bertingkah laku dengan pasien, keluarga, kolega, atau tenaga kesehatan lainnya disutu pelayanan keperawatan yang bersifat profesional. Menurut Fry,1994, etika keperawatan menunjuk pada standar etik yang menentukan dan menuntun perawat dalam peraktik sehari – hari. Prinsip – prinsip moral dalam praktik keperawatan. 1) Autonony (otonomi) , kemampuan untuk menemukan sendiri atua mengatur diri sendiri, berarti menghargai manusia sehingga harapannya perawat memperlakukan mereka sebagai seseorang yang mempunyai harga diri dan martabat serta mampu menentukan sesuatu bagi dirinya. 2) Benefisience (kemurahan hati) , berkaitan dengan kewajiban untuk melakukan hal yang baik dan tidak membahayakan orang lain. 3) Justice (keadilan) , berkaitan dengan kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Pendekatan adil berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah ini bertujuan untuk melaksanakan keadilan dalam transaksi dan pelayanan/perlakuan yang sama sesuai kebetuhannya. Dampak dari perinsip ini antara lain adalah tuntunan masyarakat kepada pemerintah untuk dapat menyediakan pelayaa kesehatan sesuai dengan kebutuhan yang tidak dapat mereka penuhi sendiri. 4) Veracity (kejujuran) , berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran , tidak berbohong atau menipu orang lain. Kejujuran merupakan landasan untuk “infom consent” yang baik. Perawat harus mampu menyikap semua informasi yang diperlukan oleh pasien maupun keluarganya sebelum mereka membuat keputusan 5) Fidelity (kesetiaan) , berkaitan dengan kewajiban untuk selalu setia pada kesepakatan dan tanggung jawab yang telah diperbuat. 6) Konfidensialitas ( Kerahasiaan ) , berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua indormasi tentang pasien/klien yang dirawatnya. Pasien/klien harus dapat menerima bahwa informasi yang diberikan kepada tenaga professional kesehatan akan dihargai dan tidak disampaikan kepada pihak lain yang tidak berkepentingan. 7) Non-maleficence (tidak merugikan) , berkaitan dengan kewajban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian atau cidera seperti nyeri, kecacatan, kematian atau gangguan emosi yang antara lian adalah perasaan tidak berdaya, merasa terisolasi atau kekesalan. 8) Respek , diartikan sebagai perilaku perawat yang menghargai klien./pasien dan keluarganya. Perawat menghargai hak – hak pasien, penghargaan perawat sebgai pasien diwujudkan
dalam pemberihan asuhan keperawatan yang bermutu secara rahmah dan penuh perhatian. Kode Etik Keperawatan Kode etik keperawatan adalah rangkaian prinsip etik profesi keperawatan secara professional yang dijadikan pedoman bagi setiap perawat. Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagaipedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Adanya kode etik, akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Standar etik dalam keperawatan memperhatikan otonomi, kebaikan (beneficence), tidak mencederai, keadilan (justice), kesetiaan (fidelity). Prinsip dasar etik dalam keperawatan menekankan advokasi bagi pasien, tanggung jawab, akuntabilitas, kerahasiaan (confidentiality). 1) Kode Etik Keperawatan Menurut PPNI (Persatuan Perawat Nasioanal Indonesia) Kode etik adalah pernyataan standar profesional yang digunakan sebagai pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan. Membuat seorang perawat selalu berpegang teguh pada kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Kode etik keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan DPP PPNI) melalui Munas PPNI di Jakarta pada tangal 29 November 1989. Kode etik keperawatan Indonesia tersebut terdiri dari 5 bab dan 17 pasal yaitu: - Bab 1 (4 pasal) tentang tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat. - Bab 2 (5 pasal) tentang tanggungjawab terhadap tugas. - Bab 3 (2 pasal) tentang tanggungjawab terhadap sesama perawat dan profesi kesehatanlainnya. - Bab 4 (4 pasal) tentang tanggungjawab terhadap profesi keperawatan. - Bab 5 (2 pasal) tentang tanggungjawab pemerintah, bangsa dan Negara. 2) Kode Etik Keperawatan Menurut ICN (International Council of Nurse) ICN adalah suatu federasi perhimpunan perawat di seluruh dunia yang didirikan pada tanggal 1 Juli 1899 oleh Mrs.Bedford Fenwich di Hanover Square, London dan direvisi pada tahun 1973. Adapun kode etik keperawatan ICN sebagai berikut : - Tanggung jawab utama perawat Tanggung jawab utama perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah timbulnya penyakit,memelihara kesehatan dan mengurangi penderitaan. - Perawat,individu, dan anggota masyarakat Tanggung jawab utama perawat adalah melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
- Perawat dan pelaksanaan praktik keperawatan Perawat memegang peranan penting dalam menentukan dan melaksanakan standar praktik keperawatan untuk mencapai kemampuan yang sesuai dengan standar pendidikan keperawatan. - Perawat dan lingkungan masyarakat Perawat dapat memprakarsai pembaharuan,tangap,mempunyai inisiatif dan dapat berperan serta secara aktif dalam menemukan masalah kesehatan dan masalah social yang terjadi di masyarakat. - Perawat dan sejawat Perawat dapat menopang hubungan kerjasama dengan teman sekerja, baik tenaga keperawatan maupun tenaga profesi lain diluar keperawatan. - Perawat dan profesi keperawatan Perawat diharapkan ikut aktif dalam mengembangkan pengetahuan dalam menopang pelaksanaan perawat secara profesional. Tujuan Kode etik keperawatan Menginformasikan kepada masyarakat mengenai standar minimum profesi dan membantu mereka memahami tindakan keperawatan professional. Memberikan tanda bukti komitmen profesi kepada masyarakat yang dilayani. Menguraikan pertimbangan etik utama profesi. Memberi standar etik untuk tindakan professional. Memberikan panduan kepada profesi mengenai regulasi secara mandiri. Mengingatkan perawat mengenai tanggung jawab khusus yang mereka miliki saat merawat orang sakit.
Masalah dan Dilema Etik Keperawatan Timbul saat perawat harus memutuskan sesuatu terkait dengan etik keperawatan. Menurut Redman dan Fry, 1998, mengemukakan bahwa perawat mengalami masalah dan dilema dari kurangnya kebijakan instansi dalam mengatur praktik keperawatan. Masalah dan dilema perawat, yaitu menahan informasi, berkata jujur, menahan dan menghentikan tindakan, alokasi sumber daya yang terbatas, dan pelanggaran kerahasiaan pasien.
a. Menahan informasi dan berkata jujur Perawat tentu mengetahui keadaan dan perkembangan pasien. Informasi terhadap pasien bersifat rahasia. Maka dari itu, perawat merasa harus menyimpan kebenaran saat klien menanyakannya bahwa tidak mengatakan kabar buruk tentang pasien adalah tindakan yang benar. b. Menahan dan menghentikan tindakan Menahan tindakan berarti tidak ada harapan bagi keberhasilan tindakan, sedangkan menghentikan tindakan berarti berakhirnya sebuah harapan. c. Alokasi sumber daya yang terbatas Saat banyak pasien yang memerlukan tindakan keperawatan, tetapi jumlah perawat atau peralatan terbatas. d. Pelanggaran kerahasiaan Kerahasiaan merupakan landasan bagi hubungan perawat dan pasien karena mencerminkan kepercayaan yang diberikan pasien kepada perawat. Perawat yang membuka informasi pasien berarti melanggar hak pasien dan membahayakan hubungan perawat dan pasien. Model dalam mengambil keputusan etik ada beberapa tahap, diantaranya : 1. Mengumpulkan, menganalisa, dan menafsirkan data. 2. Mengatakan dilema yang dialami. 3. Mempertimbangkan tindakan yang akan dilakukan. 4. Menganalisis keuntungan dan kerugian dari setiap tindakan. 5. Membuat keputusan. Etic of care a. Pengertian Etika Etika merupakan kata yang berasal dari Yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan David (1978) berarti kebiasaan atau model prilaku, atau standar yang diharapkan dan kriteria tertentu untuk sesuatu tindakan, dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pertimbangan pembuatan keputusan, benar atau tidaknya suatu perbuatan. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Curret English, AS Hornby mengartikan etika sebagai sistem dari prinsip-prinsip moral atau aturan-aturan prilaku. Menurut definisi AARN (1996), etika berfokus pada yang seharusnya baik salah atau benar, atau hal baik atau buruk. Sedangkan menurut Rowson, (1992).etik adalah Segala sesuatu yang berhubungan/alasan tentang isu moral. b. Ethic
Etic Of Care (Etika dalam Perawatan) adalah teori normatif tentang apa yang membuat tindakan secara moral benar atau salah. Ini adalah salah satu dari sekelompok teori etika normatif yang dikembangkan oleh kaum feminis pada paruh kedua abad kedua puluh. ( Toronto J. 1999) membagi Etic Of Care dalam 4 teori dasar dalam keperawatan, Yaitu : a. Perhatian : Bentuk partisipasi diri dalam menjalin hubungan dengan klien. Perhatian penting dalam etic of care, karena perawat membutuhkan pengakuan dari orang lain untuk menanggapi kebutuhan mereka. b.
Tanggung Jawab : Merupakan bentuk tingkah laku atau perbuatan yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Dalam Etic of care penting saat mengemban tugas merawat klien.
c.
Kompetensi : Suatu aspek penilaian akan kemampuan dalam mengasuh klien. Hal ini saling terkait tidak hanya memberi perhatian, menerima tanggung jawab, tetapi juga menindak lanjuti dengan kecakapanya berpraktik sebagai perawat.
d.
Responsive : Bentuk kepekaan akan situasi yang di alami oleh pasien. Besar pengaruhnya dalam memberi tidakan keperawatan karena menjadi penentu untuk bertindak sesuai dengan kondisi klien tersebut.
Etika berasal dari filosofi yang dalam bentuk yang paling sederhana berarti usaha mencapai kebenaran. Seperti ilmu yang memberikan kita pengetahuan, filosofi membantu kita menggunakan pengetahuan untuk hal yang baik. Menurut Durant (1961), filosofi mencakup lima hal: logika, estetika, politik, metafisika, dan etika. Logika terfokus pada penelitian sedangkan estetika lebih berfokus pada keindahan. Politik dicirikan dengan organisasi sosial. Metafisika berfokus pada persepsi dan pengetahuan, serta surealis atau realita mutakhir dari segala hal. Etika adalah ilmu yang mempelajari perilaku ideal, dan ilmu tertinggi, kata Socrates, merupakan pengetahuan tentang baik dan buruk, pengetahuan tentang kebijakan kehidupan. (Durant hal. 3) Etika keperawatan adalah sub-kategori dari etika dan lebih terlibat dalam praktek keperawatan, serta sedikit berfokus pada pengaplikasian aturan filosofis untuk berurusan dengan masalahmasalah yang dihadapi oleh perawat. Praktik keperawatan setidaknya melibatkan empat cara untuk memperoleh pengetahuan. Cara pertama yaitu empiris, atau ilmu keperawatan. Seni dalam keperawatan atau estetis merupakan cara kedua. Pengetahuan pribadi dalam keperawatan merupakan cara ketiga dalam meningkatkan rasa saling mengerti, dan etika merupakan cara keempat (Collaborative Nursing Program in British Columbia, 2004). Seringkali perawat harus lebih menekankan kepada empiris atau ilmu keperawatan dibandingkan dengan tiga aspek yang lainnya. Tetapi pada intinya, semua cara penting untuk memperoleh pengetahuan dalam keperawatan; setiap cara mewakili rodanya masing-masing. Jika satu cara dari keempat cara tersebut tidak diperhatikan, maka roda tersebut tidak akan seimbang.
Ethic of care merupakan penyokong khusus dalam pengaplikasian etika keperawatan dan pertama kali diperkenalkan hampir 30 tahun yang lalu oleh Gilligan (1982). Gilligan mengartikan konsep dari kepedulian sebagai “melihat dan merespon pada kebutuhan dan merawat dunia dengan mempertahankan jaringan koneksi” (Gilligan, 1982, hal. 62). Ia mengemukakan bahwa pengetahuan moral yang hanya berasal dari pengaplikasian peraturan dan prinsip-prinsip abstrak, tidak cukup dalam praktik keperawatan. Menyadari dan merasakan kebutuhan orang lain dianggap sama pentingnya dengan kemampuan untuk menggunakan teori universal (Smolkin, Bourgeolis & Findler, 2010). Gilligan menegaskan bahwa kepedulian adalah tentang perhatian terhadap hubungan dan tanggung jawab untuk orang lain, sebuah tanggung jawab yang mengutuk eksploitasi dan niatan menyakiti orang lain. Banyak teoritis keperawatan yang kemudian dengan cepat mengikuti Gilligan dan menegaskan bahwa ethic of care sangat cocok dengan praktek keperawatan, terutama karena etika keperawatan sangat jauh berbeda dari cara tradisional dalam mengambil keputusan dalam beretika. Watson (1985) mengemukakan bahwa perskpektif ilmu kepedulian bersandar pada fondasi ontologi rasional makhluk hidup, hubungan dan pandangan dunia terhadap kesatuan dan keterhubungan. “Ontologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat-sifat dasar manusia,” (Stephany, 2007, hal. 63). Kepedulian, hubungan satu sama lain, dan keterhubungan dilihat sebagai hal yang penting dalam praktek keperawatan. The ethic of care as a lived virtue Kebajikan berkaitan dengan keunggulan moral. Etika kebajikan "umumnya diambil untuk mewakili pendekatan etika yang sangat berbeda. Alih-alih berfokus pada tindakan yang benar atau salah, atau prinsip yang dibenarkan atau tidak dibenarkan, etika kebajikan dikatakan berfokus pada karakter moral.” (Smolkin et. al., 2010). Etika kebajikan berkaitan dengan karakter manusia. Aristoteles, filsuf Yunani, yang mempromosikan kebajikan sebagai kebiasaan baik yang kita jadikan bagian dari jalan kita sebagai manusia. Para teoritis barat yang mempelajari advokat kebajikan menyatakan bahwa kita harus menghindari sifat-sifat karakter yang tidak diinginkan, serta Macintyre (2007) mendorong kita untuk memiliki etika melakukan tugasnya melalui cara kita melakukan kehidupan kita. Etika kebajikan kurang menekankan pada 'doing' dan lebih kepada ‘being’ atau manusia. Moralitas dilihat sebagai bendungan dari disposisi seseorang daripada membimbing perilaku individu. Walaupun para ahli teori kebajikan berbeda dalam sudut pandang khusus mereka, sebagian besar setuju dengan satu hal: perilaku etis terjadi sebagai hasil dari kebajikan yang berasal dari motivasi internal. Florence Nightingale, salah satu perawat yang dikenal dalam sejarah, mendukung bahwa kebajikan merupakan kunci dari keperawatan (Burkhardt, Nathaniel, & Walton, 2008). “Kebajikan dan perbuatan bajik telah disorot dalam sejarah keperawatan dan menjadi fondasi untuk ethic of care dan caring,” (Ray, 2010, hal. 68). Keperawatan sangat jauh dari keahlian. Banyak orang yang telah mengatakan bahwa sebuah profesi merukapan panggilan seseorang. Miller-Tiedeman (1999) menekankan hal penting dalam melihat pekerjaan kita sebagai sebuah misi. Sebuah pekerjaan seharusnya tidak hanya semata-mata untuk mencari nafkah.
Masyarakat akan terlayani lebih baik jika maksud dari pekerjaan kita memperhatikan kapasitas untuk terbuka. “Perhatian kita terhadap lapangan kita yang sesungguhnya, dan pekerjaan yang tersedia bagi kita benar-benar memperbolehkan kita untuk mengekspresikan identitas kita yang paling otentik serta peran kita di kehidupan asli” (Miller-Tiedeman, hal 256). Panggilan merupakan jalan yang kita hidupi dengan semangat, martabat, integritas, dan dalam melayani kebaikan yang lebih besar untuk semua. Keinginan untuk membuat perbedaan yang positif dalam kehidupan orang lain harus ada di hati setiap perawat. Hal ini disertai dengan keikhlasan dan semangat yang membara untuk menginspirasi perawat yang lain agar tidak hanya mengadopsi ethic of care ke dalam praktek mereka, tetapi juga menyerapnya ke dalam kehidupan sehari-hari; untuk menyuratkan the ethic of care ke dalam perlakuan untuk mewujudkan kebajikan.
Kode etik keperawatan Fungsi Kode Etik Keperawatan Kode etik perawat yang berlaku saat ini berfungsi sebagai landasan bagi status profesional dengan cara sebagai berikut: 1) Kode etik perawat menunjukkan kepada masyarakat bahwa perawat diharuskan memahami dan menerima kepercayaan dan tanggungjawab yang diberikan kepada perawat oleh masyarakat. 2) Kode etik menjadi pedoman bagi perawat untuk berperilaku dan menjalin hubungan keprofesian sebagai landasan dalam penerapan praktek etikal. 3) Kode etik perawat menetapkan hubungan-hubungan profesional yang harus dipatuhi yaitu hubungan perawat dengan pasien/klien sebagai advokator, perawat dengan tenaga profesional kesehatan lain sebagai teman sejawat, dengan profesi keperawatan sebagai seorang kontributor dan dengan masyarakat sebagai perwakilan dari asuhan kesehatan. 4) Kode etik perawat memberikan sarana pengaturan diri sebagai profesi.
1. Tujuan Kode Etik Keperawatan Pada dasarnya, tujuan kode etik keperawatan adalah upaya agar perawat dalam menjalankan setiap tugas dan fungsinya dapat menghargai dan menghormati marabat manusia. Tujuan kode etik keperawatan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Merupakan dasar dalam mengatur hubungan antar-perawat, klien/pasien, teman sebaya, masyarakat dan unsur profesi, baik dalam profesi keperawatan sendiri maupun hubungannya dengan profesi lain di luar profesi keperawatan. 2) Merupakan standar untuk mengatasi masalah yang dilakukan oleh praktisi keperawatan yang tidak mengindahkan dedikasi moral dalam pelaksanaan tugasnya. 3) Untuk mempertahankan bila praktisi yang dalam menjalankan tugasnya diperlakukan secara tidak adil oleh institusi maupun masyarkat. 4) Merupakan dalam menyusun kurikulum pendidikan keperawatan agar dapat menghasilkan lulusan yang berorientasi pada sikap profesional keperawatan. 5) Memberikan pemahaman kepada masyarakat pemakai/pengguna tenaga keperawatan akan pentingnya skap professional dalam melaksanakan tugas praktik keperawatan.
2. Standar Etik dan Legal dalam Keperawatan Setiap saat bekerja dan berhubungan dengan klien, rekan kerja, dan seluruh komunitas tertentu saja perawat selalu dihadapkan dengan pengambilan keputusan dalam setiap tindakan yang dilakukan berkaitan dengan etika dan moral. Terdapat dua aturan yang harus ditaati oleh perawat professional dalam mengambil tindakan yaitu : a. Standar Etik Panduan perilaku moral yaitu seseorang yang memberikan layanan kesehatan harus bersedia secara suka rela dalam mengikuti standar etik. b. Hukum Legal Panduan berperilaku sesuai hukum yang sah. Jika aturan tersebut tidak dipatuhi maka perawat wajib menerima tanggung gugatnya. Kode etik disusun dan disahkan oleh organisasi atau wadah yang membina profesi tertentu baik secara nasional maupun internasional. Kode etik keperawatan di Indonesia telah disusun oleh Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia melalui Musyawarah Nasional PPNI di jakarta pada tanggal 29 November 1989. Kode etik keperawatan Indonesia tersebut terdiri dari 4 bab dan 16 pasal.
Bab 1, terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga, dan masyarakat. Bab 2, terdiri dari lima pasal menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap tugasnya. Bab 3, terdiri dari dua pasal, menjelaskan tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain. Bab 4, terdiri dari empat pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap profesi keperawatan. Bab 5, terdiri dari dua pasal, menjelaskan tentang tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa, dan tanah air.
Dengan penjabarannya sebagai berikut : 1) Tanggung jawab Perawat terhadap klein Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan tentang hubungan antara perawat dengan masyarakat, yaitu sebagai berikut : a) Perawat, dalam melaksanakan pengabdiannya, senantiasa berpedoman pada tanggung jawab yang bersumber pada adanya kebutuhan terhadap keperawatan individu, keluarga, dan masyarakat. b) Perawat, dalam melaksanakan pengabdian dibidang keperawatan, memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga dan masyarakat. c) Perawat, dalam melaksanakan kewajibannya terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, senantiasa dilandasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan. d) Perawat, menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga dan masyarakat, khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan, serta upaya kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi kepentingan masyarakat.
2) Tanggung jawab Perawat terhadap tugas a) Perawat, memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat. b) Perawat, wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya, kecuali diperlukan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c) Perawat, tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang dimilikinya dengan tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan. d) Perawat, dalam menunaikan tugas dan kewajibannya, senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, dan kedudukan sosial. e) Perawat,
mengutamakan
perlindungan
dan
keselamatan
pasien/klien
dalam
melaksanakan tugas keperawatannya, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.
3) Tanggung jawab Perawat terhadap Sejawat Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain sebagai berikut : a) Perawat, memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara keserasiaan suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluru. b) Perawat, menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya kepada sesama perawat, serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan.
4) Tanggung jawab Perawat terhadap Profesi
a) Perawat, berupaya meningkatkan kemampuan profesionalnya secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi perkembangan keperawatan. b) Perawat, menjungjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan sifat-sifat pribadi yang luhur. c) Perawat, berperan dalammenentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan, serta menerapkannya dalam kagiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan. d) Perawat, secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya. 5) Tanggung jawab Perawat terhadap Negara a) Perawat, melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijsanaan yang telah digariskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan. b) Perawat, berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat.
3. Perilaku Etik dalam Tindakan Keperawatan Perilaku etik dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan, mencegah kesalahpahaman antara tim kesehatan lainnya maupun dengan pasien, dan untuk meningkatkan ke professionalan perawat dalam melakukan tindakan keperawatan. Dua perilaku etik yang harus dimiliki oleh perawat professional yaitu : a. Etik yang berorientasi pada kewajiban Dalam hal ini, pedoman perawat adalah apa saja yang harus wajib dilakukan dan kewajibannya dalam bertindak. b. Etik yang berorientasi pada larangan Pedoman yang digunakan adalah apa yang dilarang dan tidak boleh dilakukan untuk mencapai suatu kebaikan dan kebajikan.
4. Azas Etik daam Keperawatan Terdapat enam asas etik dalam keperawatan yaitu: 1) Azas Menghormati Otonomi Klien (Principle of Respect to the Klien’s Autonomy) Autonomy yaitu klien memiliki hak untuk memutuskan sesuatu dalam pengambilan tindakan terhadapnya. Seorang perawat tidak boleh memaksakan suatu tindakan pengobatan kepada klien. 2) Azas Manfaat (Principle of Beneficence) Beneficence yaitu semua tindakan dan pengobatan harus bermanfaat bagi klien. Oleh karena itu, perlu kesadaran perawat dalam bertindak agar tindakannya dapat bermanfaat dalam menolong klien.
3) Azas Tidak Merugikan (Principle of Non Maleficence) Non- maleficence yaitu setiap tindakan harus berpedoman pada prinsip primum non nocere ( yang paling utama jangan merugikan). Resiko fisik, psikologis, dan sosial hendaknya diminimalisir semaksimal mungkin. 4) Azas Kejujuran (Principle of Veracity) Veracity yaitu dokter maupun perawat hendaknya mengatakan sejujur-jujurnya tentang apa yang dialami klien serta akibat yang akan dirasakan oleh klien. Informasi yang diberikan hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan klien agar klien mudah memahaminya. 5) Azas Kerahasiaan (Principle of Confidentiality) Confidentiality yaitu perawat maupun dokter harus mampu menjaga privasi klien meskipun klien telah meninggal dunia. 6) Azas Keadilan (Principle of Justice) Justice yaitu seorang perawat profesional maupun dokter harus mampu berlaku adil terhadap klien meskipun dari segi status sosial, fisik, budaya, dan lain sebagainya. Isu Etik dalam Praktik Keperawatan A. Euthanasia Istilah euthanasia berasal dari bahasa yunani “euthanathos”. Eu artinya baik, tanpa penderitaan; sedangkan thanathos artinya mati atau kematian. Dengan demikian, secara
etimologis, euthanasia dapat diartikan kematian yang baik atau mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada pula yang menyebutkan bahwa euthanasia merupakan praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Groupdari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yaitu : “Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri”. Klasifikasi Euthanasia Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi : a. Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit.Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematiansegera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang. b. Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain. Seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis. c. Assisted Suicide, tindakan ini bersifat individual yang pada keadaan tertentu danalasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri. d. Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan meringankanpenderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak untukmewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi agak berbedapengertiannya karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan. Jenis-Jenis Euthanasia Euthanasia dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, dilihat dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibedakan atas : a. Euthanasia Pasif Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidup pasien. Dengan kata lain, euthanasia pasif merupakan tindakan tidak memberikan pengobatan lagi kepada pasien terminal untuk mengakhiri hidupnya. Tindakan pada euthanasia pasif ini dilakukan secara sengaja dengan tidak lagi memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, seperti tidak memberikan alat-alat bantu hidup atau obat-obat penahan rasa sakit, dan sebagainya. Penyalahgunaan euthanasia pasif biasa dilakukan oleh tenaga medis maupun keluarga pasien sendiri. Keluarga pasien bisa saja menghendaki kematian anggota
keluarga mereka dengan berbagai alasan, misalnya untuk mengurangi penderitaan pasien itu sendiri atau karena sudah tidak mampu membayar biaya pengobatan. b. Euthanasia Aktif atau Agresif Euthanasia aktif atau euthanasia agresif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Dengan kata lain, Euthanasia agresif atau euthanasia aktif adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk mnimbulkan kematian dengan secara sengaja melalui obat-obatan atau dengan cara lain sehingga pasien tersebut meninggal. Euthanasia aktif ini dapat dibedakan atas : 1. Euthanasia aktif langsung (direct) adalah dilakukannnya tindakan medis secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini juga dikenal sebagai mercy killing. 2. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect) adalah saat dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya risiko tersebut. Ditinjau dari permintaan atau pemberian izin, euthanasia dibedakan atas : a. Euthanasia Sukarela (Voluntir) Euthanasia yang dilakukan oleh tenaga medis atas permintaan pasien itu sendiri. Permintaan pasien ini dilakukan dengan sadar atau dengan kata lain permintaa pasien secara sadar dn berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun juga. b. Euthanasia Tidak Sukarela (Involuntir) Euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan oleh keluarga pasien. Ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental, kekurangan biaya, kasihan kepada penderitaan pasien, dan lain sebagainya. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia ini seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya hanya seorang wali dari pasien dan mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi pasien tersebut.
B. Aborsi Aborsi adalah cara menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah abortus yang berarti mengeluarkan hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Abortus adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Pada saat ini aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan adalah perdarahan ,infeksi dan eklampsia. Hal itu terjadi karena hingga saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di masyarakat. Di satu pihak aborsi dianggap ilegal dan dilarang oleh agama sehingga masyarakat cenderung menyembunyikan kejadian aborsi, di lain pihak aborsi terjadi di masyarakat. Ini terbukti dari berita yang ditulis di surat kabar tentang terjadinya aborsi di masyarakat. Pandangan tentang abortus Ada 3 pandangan secara umum tentang abortus, yaitu : a. Pandangan konservatif, berpendapat bahwa abortus secara moral salah dan dalam situasi apapun tidak boleh dilakukan, termasuk dengan alasan penyelamatan. b. Pandangan moderat berpendapat bahwa abortus tidak mutlak kesalahan moral dan hambatan penentang abortus dapat diabaikan dengan suatu pertimbangan moral yang kuat. c. Pandangan liberal berpendapat bahwa abortus secara moral diperbolehkan atas dasar permintaan. Pandangan ini secara umum menganggap bahwa fetus belum menjadi manusia. Secara genetik fetus sebagai bakal manusia, tetapi secara moral bukan manusia. Tatanan Hukum Conscience Clauses, memperbolehkan dokter, parawat atau rumah sakit untuk menolak membantu pelaksanaan abortus. Di Indonesia dilarang sejak tahun 1918 dalam KUHP pasal 346 s/d 349, dinyatakan bahwa Barang siapa melakukan sesuatu dengan sengaja yang menyebabkan keguguran atau matinya kandungan dapat dikenai penjara. Jenis-Jenis Aborsi Dalam dunia kedokteran dikenal 3 jenis aborsi, yaitu : a. Aborsi spontan atau alamiah. Berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. b. Aborsi buatan atau sengaja atau kriminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi. Misalnya dengan bantuan obat aborsi. c. Aborsi terapeutik atau medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medis. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapa membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapiini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
C. Transplansi Organ Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan kondisi tertentu. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan ganguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong penderita/pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dengan pengobatan biasa atau dengan cara terapi. Hingga dewasa ini transplantasi terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medik ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medik, yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan moral. Kendala lain yang dihadapi Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplatasi, adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor, LRD) dan donasi organ jenazah. Karena itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para pakar terkait (hukum, kedokteran, sosiologi, pemuka agama, pemuka masyarakat), pemerintah dan swata. Banyak sekali kasus dimana tim kesehatan berhasil mencangkokkan organ terhadap klien yang membutuhkan. Dalam kasus tumor ginjal, gagal ginjal, ginjal dari donor ditransplantasikan kepada ginjal penerima. Tidak semua perawat terlibat dalam tindakan tranplantasi, perawat hanya berperan seperti merawat dan meningkatkan kesehatan pemberi donor, membantu di kamar operasi dan merawat klien setelah operasi (Megan, 1991). Pelaksaan transplantasi di Indonesia diatur dalam PP No. 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis/transplantasi alat atau jaringan tubuh, merupakan pemindahan alat/jaringan tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat. Tindakan transplantasi tidak menyalahi aturan semua agama dan kepercayaan sepanjang penentuan saat mati dan penyelenggaraan jenazah terjamin dan tidak terjadi penyalahgunaan (Est. Tanxil, 1991). Jenis-Jenis Transplansi Organ a. Autograf (Autotransplatasi) yaitu, pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri. Misalnya operasi bibir sumbung, imana jaringan atau organ yang diambil untuk menutup bagian yang sumbing diambil dari jaringan tubuh pasien itu sendiri. b. Allograft (Homotransplantasi) yaitu, pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh yang lan yang sama spesiesnya, yakni manusia dengan manusia. Homotransplantasi yang sering terjadi dan tingkat keberhasilannya tinggi, antara lain : transplantasi ginjal dan kornea mata. Disamping itu terdapat juga transplantasi hati, walaupun tingkat kebrhsilannya belum tinggi. Transfusi darah sebenarnya merupakan bagian dari transplntasi ini, karena melalui transfusi darah,
bagian dari tubuh manusia (darah) dari seseorang (donor) dipindahkan ke orang lain (recipient). c. Xenograft (Heterotransplatasi) yaitu, pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain yang berbeda spesiesnya. Misalnya antara species manusia dengan binatang. Yang sudah terjadi contohnya daah pencangkokan hati manusia dengan hati dari baboon (sejenis kera), meskipun tingkat keberhasilannya masih sangat kecil. d. Isograft yaitu, Transplantasi Singenik yaitu pempindahan suatu jaringan atau organ dari seseorang ke tubuh orang lain yang identik. Misalnya masih memiliki hubungan secara genetik. D. Donor organ Orang yang berkompeten secara legal bebas untuk mendonorkan tubuh atau organ mereka untuk manfaat medis. Format persetujuan disediakan untuk tujuan ini. Di banyak Negara bagian orang dewasa dapat mendatangani bagian belakang surat izin mengemudi yang menunjukkan persetujuan ini. Hukum negara bagian memastikan bahwa perawat dapat bertindak sebagai saksi ketika individu ingin memberikan persetujuan untuk donor organ atau tubuh. Perawat harus mewaspadai tentang kebijakan prosedur institusi dan hokum di negara ketika mereka diminta untuk melayani sebagai saksi untuk indvidu yang ingin memberi persetujuan untuk donor. Banyak hukum Required Request negara bagian menetapkan bahwa pada waktu kematian seseorang, pemberi perawatan kesehatan yang berkualitas harus meminta anggota keluarga untuk mempertimbangkan donasi organ atau jaringan. Dahulu, pilihan ini belum ditawarkan secara teratur untuk keluarga. Hukum Required Request terjadi karena kekurangan organ yang tersedia untuk transplantasi. The Uniform Anatomical Gift Act menampung banyak masalah donasi organ. Dokter yang memberi sertifikat kematian tidak boleh terlibat dalam pengangkatan atau transplantasi organ. The National Organ Transplant Act tahun 1984 melarang pembelian atau penjualan organ. Public Law 99-509, Sec.93-18 menetapkan protocol tertulis untuk identifikasi donor organ potensial. Hukum ini meningkatkan kesadaran tentang pilihan untuk mendonorkan atau membatalkan donasi. The Social Security Act mempersyaratkan rumah sakit untuk mengimplementasikan kebijakan ini untuk menerima reimbursement Medicare atau Medicaid (Transplantation Proceedings, 1990).
E. Supporting devices
Supporting Devices adalah perangkat tambahan atau pendukung. Jika di tinjau dari segi keperawatan, maka dapat kita simpulkan kalau supporting devices itu adalah perangkat tambahan yang digunakan dalam dunia kesehatan pada para perawat dalam melakukan praktik. Peralatan pendukung yang sering digunakan Adapun peralatan pendukung yang sering digunakan oleh perawat atau tenaga medis adalah : a. Cusa (pisau pemotong yang menggunakan gelombang ultrasonografi) b. Meja operasi c. Gunting d. Pisau operasi e. Bedah minor set f. Slang-slang pembius g. Drap (kain steril yang digunakan untuk menutup bagian tubuh yang tidak dioperasi) h. Plastik steril berkantong yang fungsinya menampung darah yang meleleh dari tubuh pasien i. Retractor j. Penghangat darah dan cairan k. Lampu operasi, dan lain-lain. Prinsip-prinsip Legal dalam praktik keperawatan Pengertian prinsip-prinsip etis dalam keperawatan Etika merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ethos, yang berarti kebiasaaan atau model perilaku, atau standar yang diharapkan dan criteria tertentu untuk sesuatu tindakan, dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pertimbangan pembuatan keputusan, benar atau tidaknya suatu perbuatan. Etika merupakan pengetahuan moral dan susila, falsafah hidup, kekuatan moral, sistem nilai, kesepakatan, serta himpunan hal-hal yang diwajibkan, larangan untuk suatu kelompok atau masyarakat dan bukan merupakan hukum atau undangundang. Dan hal ini menegaskan bahwa moral merupakan bagian dari etik, dan etika merupakan ilmu tentang moral sedangkan moral satu kesatuan nilai yang dipakai manusia sebagai dasar perilakunya. Maka etika keperawatan (nursing ethic) merupakan bentuk ekspresi bagaimana perawat seharusnya mengatur diri sendiri, dan etika keperawatan diatur dalam kode etik keperawatan. Isi Prinsip-prinsip etis dalam keperawatan Praktik keperawatan yang aman memerlukan pemahaman tentang batasan legal yang ada dalam praktik perawat. Sama dengan semua aspek keperawatan, pemahaman tentang implikasi hukum dapat mendukung pemikiran kristis perawat. Perawat perlu memahami hukum untuk melindungi hak kliennya dan dirinya sendiri dari masalah. Perawat tidak perlu takut hukum, tetapi lebih
melihat hukum sebagai dasar pemahaman terhadap apa yang masyarakat harapkan dari penyelenggara pelayanan keperawatan yang profesional.
1. Justice Merujuk pada kejujuran. Penyelenggaraan layanan kesehatan setuju untuk berusaha bersikap adil dalam memberikan pelayanan kesehatan. Istilah ini sering digunakan dalam diskusi tentang sumber daya pelayanankesehatan. Menentukan apa yang terkait dengan keadilan tidaklah selalu jelas.Sebagai contoh,jumlah kandidat yang menunggu transplantasi hati di Amerika adalah sekitar 93.000,jumlah kandidat lebih banyak dibandingkan pendonornya (United Network for Organ Sharing [UNOS],2006). Distribusi yang adil seperti apa yang bisa dilakukan dalam keterbatasan sumber daya ini? Kriteria yang ditentukan oleh Komite multidisiplin nasional melakukan upaya untuk menjamin dengan mengurutkan resipien berdasarkan kebutuhan. Di Amerika, sistem ini tetap menjadi pilihan yang lebih baik dibandingkan penjualan organ untuk mendapatkan keuntungan dimana yang terpilih adalah resipien yang memiliki banyak uang, atau pemilihan distribusi dengan undian yang akan menghasilkan distribusi acak tanpa menghargai keadilan. Contohnya : Salah seorang perawat yang ditugaskan untuk menangani klien yang kurang mampu dan berada pada ruangan kelas III. Perawat ini awalnya merawat klien tersebut ini dengan baik. Namun, suatu hari keluarga dari perawat ini dirawat di rumah sakit yang sama juga tapi di ruang VIP.Setiap hari perawat ini selalu berkunjung ke ruangan VIP tersebut sampai-sampai melupakan klien yang ada di kelas III yang sudah menjadi tanggung jawab sepenuhnya untuk perawat itu.Ketika ditanya kenapa perawat itu sering berkunjung ke ruangan klien yang VIP tersebut,perawat itu menjawab karena yang dirawat itu tantenya. Jadi dia harus setiap saat mengecek keadaan tantenya itu dan melupakan tanggung jawabnya yang terdahulu yaitu klien di ruangan kelas III. Tentu saja ini melanggar prinsip etik keperawatan justice karena perawat itu sudah mebeda-bedakan perawatan pada keluarga dan klien yang sudah menjadi tanggung jawabnya dimana dia lebih sering mengecek keadaan tantenya tersebut dan melupakan klien yang berada di ruangan kelas III tersebut. 2. Non Maleficence ( Tidak Mencederai ) Maleficence merujuk kepada tindakan yang melukai atau berbahaya.Oleh karena itu,non maleficence berarti tidak mencederai orang lain. Dalam pelayanan kesehatan,praktik etik tidak hanya melibatkan keinginan untuk melakukan kebaikan, tetapi juga janji untuk tidak mencederai. Pelayanan kesehatan yang profesional mencoba untuk menyeimbangkan antara resiko dan keuntungan dari rencana pelayanan dengan berusaha melakukan tindakan mencederai yang sekecil mungkin. Sebagai contoh,prosedur transplantasi sumsum tulang memberikan kesempatan untuk sembuh, tetapi di dalam prosesnya akan melibatkan rasa
sakit.Penyelenggaraan pelayanan perlu mempertimbangkan hubungannya dengan rasa tidak nyaman,rasa sakit akibat penyakit itu sendiri, atau mungkin melakukan intervensi yang melukai menggambarkan sikap non maleficence. Contohnya : Ketika sudah selesai operasi, Tn.W mengalami penurunan kesadaran serta meronta meronta.Perawat P meminta ijin kepada pihak keluarga untuk dipasangkan side driil atau pengaman agar Tn.W tidak terjatuh dari tempat tidurnya. Lalu pihak keluarga mengijinkan dilakukannya tindakan tersebut. Dalam kasus ini Perawat P telah menerapkan etik non maleficence karena telah berusaha untuk tidak menyebabkan cedera pada Tn.W. 3. Beneficience Beneficence adalah tindakan positif untuk membantu orang lain. Melakukan niat baik mendorong keinginan untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Setuju untuk melakukan niat baik juga membutuhkan ketertarikan terhadap klien melebihi ketertarikan terhadap diri sendiri. Seorang anak lebih menyukai tablet yang dihaluskan dan dicampur dengan makanan kesukaan mereka, meskipun Anda mengetahui kalau anak tersebut dapat menelan tablet. Janji anda untuk melakukan kebaikan terhadap orang lain membantu Anda dalam memenuhi keinginan anak, meskipun Anda sedang sibuk. Contoh: seorang pasien mengalami perdarahan setelah melahirkan, menurut program terapi, pasien tersebut harus diberikan tranfusi darah, tetapi pasien mempunyai kepercayaan bahwa pemberian tranfusi bertentangan dengan keyakinanya, dengan demikian perawat mengambil tindakan yang terbaik dalam rangka penerapan prinsip moral ini yaitu tidak memberikan tranfusi setelah pasien memberikan pernyataan tertulis tentang penolakanya. Perawat tidak memberikan tranfusi, padahal hal tersebut membahayakan pasien, dalam hal ini perawat berusaha berbuat yang terbaik dan menghargai pasien. 4. Autonomy Autonomy berarti komitmen terhadap klien dalam mengambil keputusan tentang semua aspek pelayanan. Persetujuan yang dibaca dan ditandatangani klien sebelum operasi menggambarkan penghargaan terhadap otonomi. Persetujuan yang ditandatangani merupakan persetujuan dari klien sebelum operasi dilakukan. Contoh: seorang perawat apabila akan menyuntik harus memberitahu untuk apa obat tersebut, prinsip otonomi ini dilanggar ketika seorang perawat tidak menjelaskan suatu tindakan keperawatan yang akan dilakukannya, tidak menawarkan pilihan misalnya memungkinkan suntikan atau injeksi bisa dilakukan di pantat kanan atau kiri dan sebagainya. Perawat dalam hal ini telah bertindak sewenang-wenang pada orang yang lemah.
5. Fidelity Fidelity (Menepati janji) tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan penderitaan. Untuk mencapai itu perawat harus memiliki komitmen menepati janji dan menghargai komitmennya kepada orang lain, Kewajiban memperatankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien yang meliputi menepati janji dan menyimpan rahasia serta caring (Sitorus, 2000 : 3). Prinsip fidelity ini dilanggar ketika seorang perawat tidak bisa menyimpan rahasia pasien kecuali dibutuhkan, misalnya sebagai bukti di pengadilan, dibutuhkan untuk menegakan kebenaran seperti penyidikan dan sebagainya. Contoh : Penerapan prinsip fidelity dalam praktik keperawatan misalnya, seorang perawat tidak menceritakan penyakit pasien pada orang yang tidak berkepentingan, atau media lain baik diagnosa medisnya (Carsinoma, Diabetes Militus) maupun diagnosa keperawatanya (Gangguan pertukaran gas, Defisit nutrisi). Selain contoh tersebut yang merupakan rahasia pasien adalah pemeriksaan hasil laboratorium, kondisi ketika mau meninggal dan sebagainya 6. Veracity Veracity (Kejujuran) nilai ini bukan cuman dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki oleh seluruh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien untuk meyakinkan agar klien mengerti. Informasi yang diberikan harus akurat, komprehensif, dan objektif. Kebenaran merupakan dasar membina hubungan saling percaya. Klie memiliki otonomi sehingga mereka berhak mendapatkan informasi yang ia ingin tahu. Contoh kasus : Ny. S masuk rumah sakit dengan berbagai macam fraktur karena kecelakaan mobil, suaminya juga ada dalam kecelakaan tersebut dan meninggal dunia. Ny. S selalu bertanya-tanya tentang keadaan suaminya. Dokter ahli bedah berpesan kepada perawat untuk belum memberitahukan kematian suaminya kepada klien perawat tidak mengetahui alasan tersebut dari dokter dan kepala ruangan menyampaikan intruksi dokter harus diikuti. Perawat dalam hal ini dihadapkan oleh konflik kejujuran. 7. Confidencient Menurut Ismani(2001) aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan.
Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari. Sedangkan menurut Aiken(2003) confidentiality yaitu melindungi informasi yang bersifat pribadi, prinsip bahwwa perawat menghargai semua informsi tentang pasien dan perawat menyadari bahwa pasien mempunyai hak istimewa dan semua yang berhubungan dengan informasi pasien tidak untuk disebarluaskan secara tidak tepat. Contoh: Perawat tidak boleh menceritakan rahasia klien pada orang lain, kecuali seijin klien atau seijin keluarga demi kepentingan hukum. 8. Accountability Menurut Ismani(2001) akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. Contoh: perawat bertanggung jawab terhadap diri sendiri, profesi, klien, sesame karyawan dan masyarakat. Jika salah member dosis obat kepada klien perawat tersebut dapat digugat oleh klien yang menerima obat, oleh dokter yang memberi tugas delegatif, dan masyarakat yang menuntut kemampuan professional. Sedangkan menurut Efendy(2009) accountability yaitu tanggung gugat terhadap apa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan bertanggung jawab terhadap klien, diri sendiri, dan profesi serta mengambil keputusan sesuai dengan asuhan. Jika perawat profesional dalam melakukan tindakan atau praktik keperawatan tidak sesuai etik, maka kita dapat menyelesaikannya dengan: a. D= Define the problem b. E= Ethical review c. C= Consider the option d. I= Investigate outcome e. D= Decide on action f. E= Evaluate result contoh kasus : Seorang perawat tidak sengaja menggunting jari bayi. Dan konyolnya, perawat itu tidak meminta pertolongan dokter tetapi membuang jari tersebut ke bak sampah. Kejadian tersebut mungkin tidak akan segera diketahui jika tidak ada seorang staf RS anak di Inggris salford yang melihat tangan bayi tersebut berdarah. Bayi tersebut baru berusia tiga minggu. Pencarian masih tetap dilakukan dan beruntung jari bayi tersebut masih ditemukan di bak sampah. Melanggar akuntabilitas
KONSEP UMUM HUKUM
Hukum adalah “seluruh aturan dan undang-undang yang mengatur sekelompok masyarakat. Dengan demikian, hukum dibuat oleh masyarakat dan untuk mengatur semua anggota masyarakat” (Guido, 2001)
Fungsi hukum dalam keperawatan Fungsi hukum dalam keperawatan, anatara lain : Hukum memberikan kerangka kerja untuk menetapkan jenis tindakan keperawatan yang sah dalam asuhan klien Hukum membedakan tanggung jawab perawat dari tenaga profesional kesehatan lain Hukum membantu memberikan batasan tindakan keperawatan yang mandiri Hukum membantu mempertahankan standar praktik keperawatan dengan membuat perawat bertanggung gugat di bawah hukum yang berlaku
Pengertian Tanggung Jawab Perawat Tanggung jawab perawat berarti keadaan yang dapat dipercaya dan terpercaya. Sebutan ini menunjukkan bahwa perawat professional menampilkan kinerja secara hati – hati, teliti dan kegiatan perawat dilaporkan secara jujur.(Koziers 1983:25) Klien merasa yakin bahwa perawat bertanggung jawab dan memiliki kemampuan, pengetahuan dan keahlian yang relevan dengan disiplin ilmunya.
Kepercayaan tumbuh dalam diri klien, karena kecemasan akan muncul bila klien merasa tidak yakin bahwa perawat yang merawatnya kurang terampil, pendidikannya tidak memadai dan kurang berpengalaman. Klien tidak yakin bahwa perawat memiliki integritas dalam sikap, keterampilan, pengetahuan (integrity) dan kompetensi.
Beberapa cara dimana perawat dapat mengkomunikasikan tanggung jawabnya : 1. Menyampaikan perhatian dan rasa hormat pada klien (sincere intereset) Contoh : “Mohon maaf bu demi kenyamanan ibu dan kesehatan ibu saya akan mengganti balutan atau mengganti spreinya”. 2. Bila perawat terpaksa menunda pelayanan, maka perawat bersedia memberikan penjelasan dengan ramah kepada kliennya (explanantion about the delay). Misalnya ; “Mohon maaf pak saya
memprioritaskan dulu klien yang gawat dan darurat sehingga harus meninggalkan bapak sejenak”. 3. Menunjukan kepada klien sikap menghargai (respect) yang ditunjukkan dengan perilaku perawat. misalnya mengucapkan salam, tersenyum, membungkuk, bersalaman dsb. 4. Berbicara dengan klien yang berorientasi pada perasaan klien (subjects the patiens desires) bukan pada kepentingan atau keinginan perawat misalnya “Coba ibu jelaskan bagaimana perasaan ibu saat ini”. Sedangkan apabila perawat berorientasi pada kepentingan perawat ; “ Apakah bapak tidak paham bahwa pekerjaan saya itu banyak, dari pagi sampai siang, mohon pengertiannya pak, jangan mau dilayani terus”
5. Tidak mendiskusikan klien lain di depan pasien dengan maksud menghina (derogatory) ,misalnya “ pasien yang ini mungkin harapan sembuhnya lebih kecil dibanding pasien yang tadi” 6. Menerima sikap kritis klien dan mencoba memahami klien dalam sudut pandang klien (see the patient point of view). Misalnya perawat tetap bersikap bijaksana saat klien menyatakan bahwa obatnya tidak cocok atau diagnosanya mungkin salah.
Pengertian Tanggung Jawab menurut Barbara kozier (dalam Fundamental of nursing 1983:25) Tanggung jawab perawat berarti keadaan yang dapat dipercaya dan terpercaya. Sebutan ini menunjukan bahwa perawat professional menampilkan kinerja secara hati-hati, teliti dan kegiatan perawat dilaporkan secara jujur.
Pengertian Tanggung jawab perawat menurut ANA Penerapan ketentuan hukum (eksekusi) terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam Pengetahuan, Sikap dan bekerja sesuai kode etik (ANA, 1985). Menurut pengertian tersebut, agar memiliki tanggung jawab maka perawat diberikan ketentuan hukum dengan maksud agar pelayanan perawatannya tetap sesuai standar.Misalnya hukum mengatur apabila perawat melakukan kegiatan kriminalitas, memalsukan ijazah, melakukan pungutan liar dsb. Tanggung jawab perawat ditunjukan dengan cara siap menerima hukuman (punishment) secara hukum kalau perawat terbukti bersalah atau melanggar hukum.
Pengertian Responsibility menurut Berten , (1993:133) Keharusan seseorang sebagai mahluk rasional dan bebas untuk tidak.mengelak serta memberikan penjelasan mengenai perbuatannya, secara retrosfektif atau prosfektif (Bertens, 1993:133). Berdasarkan pengertain di atas tanggung jawab diartikan sebagai kesiapan memberikan jawaban atas tindakan-tindakan yang sudah dilakukan perawat pada masa lalu atau tindakan yang akan berakibat di masa yang akan datang. Misalnya bila perawat dengan sengaja memasang alat kontrasepsi tanpa persetujuan klien maka akan berdampak pada masa depan klien. Klien tidak akan punya keturunan padahal memiliki keturunan adalah hak semua manusia. Perawat secara retrospektif harus bisa mempertanggung-jawabkan meskipun tindakan perawat tersebut diangap benar menurut pertimbangan medis. Jenis atau macam-macam tanggung jawab perawat Tanggung jawab (Responsibility) perawat dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Responsibility to God (tanggung jawab utama terhadap Tuhannya) 2. Responsibility to Client and Society (tanggung jawab terhadap klien dan masyarakat) 3. Tanggung Jawab Perawat terhadap Tugas 4. Responsibility to Colleague and Supervisor (tanggung jawab terhadap rekan sejawat dan atasan) 5. Tanggung Jawab Perawat terhadap Profesi 6. Tanggung Jawab Perawat terhadap Negara
1. Tanggung jawab perawat terhadap Tuhannya saat merawat klien Dalam sudut pandang etika Normatif, tanggung jawab perawat yang paling utama adalah tanggung jawab di hadapan Tuhannya. Sesungguhnya penglihatan, pendengaran dan hati akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Tuhan.
2. Tanggung Jawab Perawat terhadap Klien Dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga, atau komunitas, perawat sangat memerlukan etika keperawatan yang merupakan filsafat yang mengarahkan tanggung
jawab moral yang mendasar terhadap pelaksanaan praktik keperawatan, dimana inti dari falsafah tersebut adalah hak dan martabat manusia. Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan tentang hubungan antara perawat dengan masyarakat, yaitu sebagai berikut : 1. Perawat, dalam melaksanakan pengabdiannya, senantiasa berpedoman pada tanggung jawab yang bersumber dari adanya kebutuhan terhadap keperawatan individu, keluarga, dan masyarakat. 2. Perawat, dalam melaksanakan pengabdian dibidang keperawatan, memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adapt istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga, dan masyarakat. 3. Perawat, dalam melaksanakan kewajibannya terhadap individu, keluarga, dan masyarakat, senantiasa diladasi rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan. 4. Perawat menjalin hubungan kerjasama dengan individu, keluarga, dan masyarakat, khususnya dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan, serta upaya kesejahteraan pada umumnya sebagai bagian dari tugas dan kewajiban bagi kepentingan masyarakat.
3. Tanggung Jawab Perawat terhadap Tugas 1. Perawat memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat. 2. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya sehubungan dengan tugas yang diprcayakan kepadanya, kecuali jika diperlukan oleh pihak yang berwenang sesuai denagan ketentuan hokum yang berlaku. 3. Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan yang dimilikinya untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusian. 4. Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya, senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, agama yang dianut, dan kedudukan sosial.
5. Perawat mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien atau klien dalam melaksaakan tugas keerawatannya, serta matang dalam mempertimbangkan kemempuan jika menerima atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan kaperawatan.
4. Tanggung Jawab Perawat terhadap Sejawat Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain adalah sebagai berikut : 1. Perawat memelihara hubungan baik antar sesama perawat dan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh. 2. Perawat menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya kepada sesame perawat, serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam bidang keperawatan.
5. Tanggung Jawab Perawat terhadap Profesi 1. Perawat berupaya meningkatkan kemampuan profesionalnya secara sendiri-sendiri dan bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang bermanfaat bagi perkembangan keperawatan. 2. Perawat menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukan perilaku dan sifat-sifat pribadi yang luhur. 3. Perawat berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan, serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan. 4. Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.
6. Tanggung Jawab Perawat terhadap Negara 1. Perawat melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang telah digariskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
2. Perawat berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat. Pengertian Tanggung Gugat Perawat Barbara kozier (dalam Fundamental of nursing 1983:7, 25) Acountability : dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya.
Tanggung Gugat dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya. Perawat harus mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan yang dilakukannya. 2.4 Jenis atau macam-macam tanggung gugat perawat Istilah tanggung gugat, merupakan istilah yang baru berkembang untuk meminta pertanggung jawaban seseorang karena kelalaiannya menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Di bidang pelayanan kesehatan, persoalan tanggung gugat terjadi sebagai akibat adanya hubungan hukum antara tenaga medis ( dokter, bidan, perawat) dengan pengguna jasa (pasien) yang diatur dalam perjanjian. Tanggung Gugat dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya.Perawat harus mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan yang dilakukannya. Macam-Macam Jenis Tanggung Gugat a.
Contractual Liability. Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Dalam kaitannya dengan hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Karena itu dokter atau tenaga kesehatan lain hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice
b.
Liability in Tort
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum . Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang berlawanan dengan kesusilaan yang baik & berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad, 31 Januari 1919). c.
Strict Liability Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability whitout fault) mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut
d.
Vicarious Liability Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate).Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka RS (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). a.
Hubungan Hukum Dengan Profesi Keperawatan
Masyarakat profesi dengan masyarakat umum telah mengadakan suatu kontrak ( social contract) yang memberikan hak otonomi profesi untuk melakukan self regulation, self governing dan self disciplining. Dengan kewajiban memberikan jaminan profesional yang kompeten dan melaksanakan praktik sesuai etika dan standar profesinya. Profesi perawat memiliki kewajiban untuk mampu memberikan jaminan pelayanan keperawatan yang profesional kepada masyarakat umum. Kondisi demikian secara langsung akan menimbulkan adanya konsekuensi hukum dalam praktik keperawatan. Sehingga dalam praktik profesinya dalam melayani masyarakat perawat terikat oleh aturan hukum, etika dan moral. Di Indonesia salah satu bentuk aturan yang menunjukan adanya hubungan hukum dengan perawat adalah UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 1 angka 2 menyebutkan bahwa ”Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Berdasarkan PP No. 32/1996 Pasal 2 ayat (1) jo, ayat (3) perawat dikatagorikan sebagai tenaga keperawatan.
Ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 23 tahun 1992 jo. Pasal 21 ayat (1) PP No. 32 tahun 1996 tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Standar profesi merupakan pedoman bagi tenaga kesehatan/perawat dalam menjalankan upaya pelayanan kesehatan, khususnya terkait dengan tindakan yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap pasien, sesuai dengan kebutuhan pasien, kecakapan, dan kemampuan tenaga serta ketersediaan fasilitas dalam sarana pelayanan kesehatan yang ada. b.
Instrumen Normatif Bagi Perawat Dalam Upaya Menjalankan Pelayanan Keperawatan
Perawat dalam menjalankan proses keperawatan harus berpedoman pada Lafal Sumpah Perawat, Standar Profesi Perawat, Standar Asuhan Keperawatan, dan Kode Etika Keperawatan. Keempat instrumen tersebut berisi tentang norma-norma yang berlaku bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi perawat disebut instrumen normatif, karena keempatnya meskipun tidak dituangkan dalam bentuk hukum positif/Undang-Undang, tetapi berisi norma-norma yang harus dipatuhi oleh perawat agar terhindar dari kesalahan yang berdampak pada pertanggungjawaban dan gugatan ganti kerugian apabila pasien tidak menerima kegagalan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. 1)
Lafal Sumpah Perawat
Lulusan pendidikan keperawatan harus mengucapkan janji/sumpah sesuai dengan program pendidikannya, D3 atau S1. Lafal sumpah ada dua macam yaitu lafal Sumpah/Janji Sarjana Keperawatan dan lafal Sumpah/Janji Ahli Madya Keperawatan. 2)
Standar Profesi Perawat
Pasal 24 ayat (1) PP 23/1996 tentang Tenaga Kesehatan menentukan bahwa perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugas sesuai dengan Standar Profesi tenaga kesehatan. Standar profesi merupakan ukuran kemampuan rata-rata tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya (Praptianingsih, 2006). Dengan memenuhi standar profesi dalam melaksanakan tugasnya, perawat terbebas dari pelanggaran kode etik. Sebagai tolak ukur kesalahan perawat dalam melaksanakan tugasnya, dapat dipergunakan pendapat Leenen dalam Koeswadji (1996) sebagai standar pelaksanaan profesi keperawatan, yang meliputi : terapi harus dilakukan dengan teliti; harus sesuai dengan ukuran ilmu pengetahuan keperawatan; sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimilki oleh perawat dengan kategori keperawatan yang sama; dengan sarana dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan kongkret upaya pelayanan yang dilakukan. Dengan demikian, manakala perawat telah berupaya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannyadan pengalaman rata-rata
seorang perawat dengan kualifikasi yang sama, maka dia telah bekerja dengan memenuhi standar profesi.
3)
Standar Asuhan Keperawatan
Pelayanan keperawatan dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakanfaktor penentu citra dan mutu rumah sakit. Di samping itu, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan perawatan yang bermutu semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran akan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanan keperawatan harus terus ditingkatkan sehingga upaya pelayanan kesehatan dapat mencapai hasil yang optimal. Salah satu upaya untuk menjaga mutu kualitas pelayanan keperawatan adalah dipergunakannya Standar Asuhan Keperawatan dalam setiap pelayanan keperawatan. Standar ini dipergunakan sebagai pedoman dan tolak ukur mutu pelayanan rumah sakit. Di dalamnya berisi tentang tahapan yang harus dilakukan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan terdiri dari delapan standar yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan, khsusunya pelayanan keperawatan, yang terdiri dari : a)
Standar I berisi falsafah keperawatan,
b)
Standar II berisi tujuan asuhan keperawatan,
c)
Standar III menentukan pengkajian keperawatan,
d)
Standar IV tentang diagnosis keperawatan,
e)
Standar V tentang perencanaan keperawatan,
f)
Standar VI menentukan intervensi keperawatan,
g)
Standar VII menentukan evaluasi keperawatan,
h)
Standar VIII tentang catatan asuhan keperawatan.
4.
Batas Tanggung Jawab dalam Keperawatan
Menjalan Pesanan Dokter Menurut Becker (Dlm Kozier,Erb 1990) empat hal yg hrs di tanyakan perawat untuk melindungi mereka secara hukum: a)
Tanyakan pesanan yg di tanyakan pasien
b)
Tanyakan setiap pesanan setiap kondisi pasien berubah
c)
Tanyakan dan catat pesan verbal untuk mencegah kesalahan komunikasi.
d)
Tanyakan pesanan (Standing Order ), terutama bila perawat tdk berpengalaman.
5.
Fungsi Hukum Dalam Praktek Keperawatan
a) Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum. b)
Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi yang lain.
c)
Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri.
d) Membantu dalam mempertahankan standar praktik keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum (Kozier, Erb, 1990) e) 6.
Undang-Undang yang berkaitan dengan Praktik Keperawatan
Undang-undang praktik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para perawat. PPNI pada kongres Nasional ke duanya di Surabaya tahun 1980 mulai merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-undangan untuk perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan. Tidak adanya Undang-Undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan. Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering tejadi dan beberapa perawat lulus pendidikan tinggi merasa prustasi karena tidak adanya kejelasan tentang peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat dianggap sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang mereka miliki. UU dan peraturan lainnya yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktek keperawatan : A. UU KESEHATAN 1)
UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan Bab II (tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
2)
UU No. 6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, doter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidik rendah dapat diberikan kewenangan terbats untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung. UU ini boleh dikatakan sudah using karena hanya mengklaripikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan lainnya. 3)
UU kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang wajib keja paramedis Pada pasal 2,ayat (3) dijelasakan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun. Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga kesehatan yang dimaksut pada pasal 2 memiliki kedudukan sebagain pegawai negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya. UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Yang perlu diperhatikan dalam UU ini,lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek propesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
4)
SK Menkes No. 262/per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan para medis menjadi dua golongan yaitu paramedic keperawatan (termasuk bidan) dan paramedic non keperawatan. Dari aspek hukum, sartu hal yang perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk kategori tenaga keperawatan. 5)
Permenkes. No. 363/ Menkes/ per/XX/1980 tahun 1980 Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawatan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diizinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diizinkan. Dokter dapat membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidan dapat menolong persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil bagi propesi keperawatan. Kita ketahuai Negara lain perawat diizinkan membuka praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggantikan atau mengisi kekujrangan tenaga dokter untuk mengobati penyakit terutam dipuskesmas- puskesmas tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan dirumah. Bila memang secara resmi tidak diakui, maka seharusnya perawat dibebaskan dari pelayanan kuratif atau pengobatan untuk benar-benar melakuan nursing care.
6)
UU kesehatan No. 23 tahun 1992 Merupakan UU yang banyak member kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan professional karena dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan, maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk keperawatan.Beberapa pernyataan UU kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan pembuatan UU praaktik keperawatan adalah :
a)
Pasal 32 ayat 4 Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
b)
Pasal 53 (1) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan 1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan profesinya. 2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. 3) Tenaga kesehatan untuk kepentingan pembuktian dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan. 4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien diatur dalam peraturan pemerintah.
c) Pasal 54 1) Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksankan tugas profesinya dapat dikenakan tindakan sangsi 2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan 3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ditetapkan dengan keputusan presiden. d) Pasal 24 (1) PP 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yg melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan. e) Pasal 344 KUHP “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selamalamanya duabelas tahun.” f)
Pasal 299 KUHP 1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa dengan pengobatan itu kandungannya dapat digugurkan, diancam pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah. 2) Bila yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pekerjaan atau kebiasaan, atau bila dia seorang dokter, bidan atau juru-obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. 3) Bila yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pekerjaannya, maka haknya untuk melakukan pekerjaan itu dapat dicabut.
B. UU Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 a). Keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat. b). Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di Iuar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang - undangan. c). Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.
d). Praktik Keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan oleh Perawat dalam bentuk Asuhan Keperawatan.
e). Asuhan Keperawatan adalah rangkaian interaksi Perawat dengan Klien dan Iingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian Klien dalam merawat dirinya. f). Uji Kompetensi adalah proses pengukuran, pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi Keperawatan. g). Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakua terhadap kompetensi Perawat yang telah lulus Uji Kompetensi untuk melakukan Praktik Keperawatan h). Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik Keperawatan yang diperoleh lulusan pendidikan profesi. i). Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap Perawat yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta telah diakui secara hukum untuk menjalankan Praktik Keperawatan.
j). Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan kepada Perawat yang telah diregistrasi. k). Surat lzin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Perawat sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan Praktik Keperawatan. l). Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. m). Perawat Warga Negara Asing adalah Perawat yang bukan berstatus Warga Negara Indonesia. n). Klien adalah perseorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang menggunakan jasa Pelayanan Keperawatan.
o). Organisasi Profesi Perawat adaiah wadah yang menghimpun Perawat secara nasional dan berbadan hukum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
p). Kolegium Keperawatan adalah badan yang dibentuk oleh Organisasi Profesi Perawat untuk setiap cabang disiplin ilmu Keperawatan yang bertugas mengampu dan meningkatkan mutu pendidikan cabang disiplin ilmu tersebut. q). Konsil Keperawatan adalah lembaga yang melakukan tugas secara independen. r). lnstitusi Pendidikan adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan Keperawatan. s). Wahana Pendidikan Keperawatan yang selanjutnya disebut wahana pendidikan adalah fasilitas, selain perguruan tinggi, yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan Keperawatan. t). Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
u). Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan. v). Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. C. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.220/MENKES/SK/III/1992
pedoman umum Tim Pembina, Pengarah, Pelaksana kesehatan Jiwa Masyarakat. Kesehatan jiwa masyarakat (Community Mental Health) merupakan suatu orientasi kesehatan jiwa yang dilaksanakan di masyarakat. Kesehatan jiwa masyarakat ini dititik beratkan pada upaya promotif dan preventif tanpa melupakan upaya kuratif dan rehabilitative . Upaya promotif yang dimaksud merupakan suatu rangkaian atau kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa yang bersifat promosi kesehatan jiwa . Upaya promotif dilaksanakan dilingkungan : a. Keluarga Upaya promotif di lingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola asuh dan pola komunikasi dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat a. lembaga pendidikan dilakukan untuk Ø menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa; dan Ø keterampilan hidup terkait Kesehatan Jiwa bagi peserta didik sesuai dengan tahap perkembangannya b. tempat kerja Dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa, serta menciptakan tempat kerja yang kondusif untuk perkembangan jiwa yang sehat agar tercapai kinerja yang optimal. c. Masyarakat Dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa, serta menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat d. fasilitas pelayanan kesehatan; dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa dengan sasaran kelompok pasien, kelompok keluarga, atau masyarakat di sekitar fasilitas pelayanan kesehatan e. media massa; Ø penyebarluasan informasi bagi masyarakat mengenai Kesehatan Jiwa, pencegahan, dan penanganan gangguan jiwa di masyarakat dan fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa;
Ø pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwa dan ODGJ dengan tidak membuat program pemberitaan, penyiaran, artikel, dan/atau materi yang mengarah pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODGJ; dan Ø pemberitaan, penyiaran, program, artikel, dan/atau materi yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan Kesehatan Jiwa f. lembaga keagamaan dan tempat ibadah; dan g. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan dan gangguan jiwa. Upaya preventif Kesehatan Jiwa dilaksanakan di lingkungan: a. keluarga; b. lembaga; dan c. masyarakat 4. Faktor keadaaan Sosial Pemerintah telah menyediakan konsep kesehatan jiwa masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan jiwa masyarakat . Namun upaya pemerintah tidak akan terealisasi jika keadaan lingkungan tersebut tidak bisa dijangkau . untuk itu Lingkungan tempat tinggal berpengaruh dalam pelaksanaan konsep kesehatan jiwa masyarakat . Status kesehatan masyarakat dan cakupan pelayanan kesehatan masih rendah . Masyarakat secara umum belum mempunyai pengetahuan dan perilaku hidup sehat dan kondisi lingkungan yang kurang baik .Penggunaan fasilitas kesehatan di daerah terpencil yang tidak memadai yang dipengaruhi oleh askses jarak . namun bukan hanya disebabkan oleh jarak tapi terdapat dua factor yaitu determinan penyediaan yang merupakan factor pelayanan dan determinan permintaan yang merupakan factor pengguna . Determinan penyediaan meliputi infrastruktur fisik , tempat pelayanan, ketersediaan ,pemanfaatan dan distribusi petugas , biaya pelayanan serta mutu pelayanan . sedangkan determinan permintaan meliputi rendahnya pendidikan dan factor social budaya masyarakat serta tingkat pendapatan yang rendah atau miskin Pemerintah Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang kesehatan mental, yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 1966 mengenai kesehatan jiwa. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan pengertian kesehatan jiwa adalah satu kondisi yang memungkinkan perkembangan physik, intelektuil dan emosionil yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang-orang lain. Dalam pasal 2, juga ditegaskan bahwa usaha-usaha kuratif maupun preventif demi kepentingan penderita penyakit jiwa adalah tugas pemerintah. Pemeliharaan kesehatan jiwa, disebutkan bahwa usaha-usaha pemeliharaan kesehatan jiwa pemerintah meliputi: a) Memelihara kesehatan jiwa dalam pertumbuhan dan perkembangan anak-anak; b) menggunakan keseimbangan jiwa dengan menyesuaikan penempatan tenaga selaras dengan bakat dan kemampuannya;
c) perbaikan tempat kerja dan suasana kerja dalam perusahaan dan sebagainya sesuai dengan ilmu kesehatan jiwa d) mempertinggi taraf kesehatan jiwa seseorang dalam hubungannya dengan keluarga dan masyarakat e) usaha-usaha lain yang dianggap perlu oleh Menteri Kesehatan. Dalam penerapannya di masyarakat, program preventif dalam kesehatan mental dapat dilakukan dengan berbagai cara. Menurut Commission on Chronic Illness (1957) dalam Psikologi Klinis (2007) terdapat tiga tingkat program prevensi yaitu: prevensi primer, prevensi sekunder, dan prevensi tersier. Prevensi primer bertujuan untuk mengurangi terjadi gangguan mental pada masyarakat secara umum atau individu. Prevensi sekunder bertujuan untuk mengurangi durasi atau meringankan gangguan yang sudah mulai terjadi. Prevensi tersier bertujuan untuk mengurangi efek dari gangguan yang sudah berkembang dan mencegah kekambuhan. (Sundberg, 2007) Dari penjelasan di atas kita dapat mengadakan program preventif dalam masyarakat. Langkah pertama yang dapat kita lakukan adalah melakukan pendekatan dengan masyarakat untuk mengetahui lebih dalam masalah kesehatan mental dalam setiap kelompok masyarakat. Selain itu kita dapat melakukan prevensi lain yaitu dengan memberikan pengetahuan dan melatih kemampuan problem solving masyarakat; kemampuan untuk menghadapi masalah dalam hidup; kemampuan interpersonal; kemampuan menghadapi stress, terutama pada orangtua; peningkatan aspek spiritual; pengembangan faktor protektif pada anak-anak; dan promosi kesehatan mental. Dalam hal yang lebih khusus, misalnya, program preventif terhadap kasus bunuh diri dalam masyarakat, yaitu dengan memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa bunuh diri bukan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Masyarakat dilatih untuk mampu menghadapi masalah yang sulit dan menumbuhkan rasa kepercayaan mereka terhadap diri mereka sendiri bahwa mereka mampu menjalani kehidupan ini. Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya, dapat dilakukan pemberdayaan kaum ibu, pengembangan kemampuan dalam mengatasi masalah rumah tangga, untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, bentuk preventif yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, terutama kesehatan psikis mereka. Dalam hal ini, diperlukan kerjasama antara dokter, psikolog, pemerintah, terutama departemen kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Kesadaran dari masyarakat sangat diperlukan. Jika masyarakat sudah sadar akan kesehatan mental maka program preventif yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Diperlukan adanya kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaan program prenventif ini. Program ini tidak akan berhasil tanpa adanya kerjasama antara masyarakat dan pemerintah.
Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga, dan masyarakat.
C. Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan konsep kesehatan jiwa pada masyarakat 1. Kurangnya pengetahuan masyarakat Keberadaan pasien gangguan jiwa di tengah- tengah masyarakat sampai saat ini masih belum mendapat tempat seperti orang normal . penderita gangguan jiwa sering dianggap mengganggu keberadaan orang lain . kondisi tersebut dapat disebabkan karena masih kurangnya pengetahuan serta sikap individu maupun masyarakat dalam menilai pasien gangguan jiwa . Akibatnya keterlambatan dalam penanganan pasien gangguan jiwa terjadi dan menyebabkan bertambahnya jumlah penderita sakit jiwa dimasyarakat 2. Minimnya fasilitas penunjang kesehatan Kesehatan jiwa masih menjadi persoalan serius di Indonesia . data riset kesehatan 2013 mencatat prevelensi gangguan jwa berat di Indonesia mencapai 1,7 miliar . artinya 1-2 orang dari 1000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat . hal ini diperburuk dengan minimnya pelayanan kesehatan jiwa di Negara Indonesia sehingga banyak penderita gangguan kesehatan mental yang belum tertangani dengan baik . 3. Fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau Keterjangkauan fasilitas kesehatan atau pelayanan kesehatan dan jaringannya di daerah terpencil masih rendah meskipun pemerintah telah berupaya melakukan pemenuhan sarana prasarana . Masalahnya berada pada jarak tempat tinggal pengguna dari tempat pelayanan, kekurangan alat- alat dan persediaan di tempat pelayanan , kekurangan dana dan biaya transportasi dan kekurangan dana untuk biaya pengobatan
Kesimpulan Untuk melindungi tenaga perawat akan adanya tuntutan dari klien/pasien perlu ditetapkan dengan jelas apa hak dan kewajiban serta kewenangan perawat agar tiadak terjadi kesalahan dalam melakukan tugasnya Saran 1. Sebagai seorang perawat hendaknya mengetahui dengan jelas hak dan kewajiban serta kewenangannya 2. Sebagai seorang perawat hendaknya tidak perlu takut hukum, tetapi lebih melihat hukum sebagai dasar pemahaman terhadap harapan masyarakat pada penyenggara pelayanan keperawatan yang professional 1. Definisi Nursing Advocacy Advokasi secara harfiah berarti pembelaan, sokongan atau bantuan terhadap seseorang yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi mula-mula
digunakan di bidang hukum atau pengadilan. Advokasi diartikan sebagai upaya pendekatan terhadap orang lain yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang dilaksanakan. Oleh karena itu yang menjadi sasaran advokasi adalah para pemimpin atau pengambil kebijakan (policy makers) atau pembuat keputusan (decision makers) baik di institusi pemerintah maupun swasta. Arti advokasi menurut ANA adalah melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapa pun. FRY mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiaap hal yang memiliki penyebab atau dampak penting. Sebagai advokat klien, perawat berfungsi sebagai penghubung antara klien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien, membela kepentingan klien dan membantu klien memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan dengan pendekatan tradisional maupun professional. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat bertindak sebagai nara sumber dan fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh klien. Dalam menjalankan peran sebagai advocat (pembela klien) perawat harus dapat melindungi dan memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalam pelayanan keperawatan. Selain itu, perawat juga harus dapat mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, hak-hak klien tersebut antara lain : a. hak atas informasi; pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit/sarana pelayanan kesehatan tempat klien menjalani perawatan. Hak mendapat informasi yang meliputi hal-hal berikut : 1) Penyakit yang dideritanya; 2) Tindakan medik apa yang hendak dilakukan; 3) kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya; 4) Alternatif terapi lain beserta resikonya; 5) Prognosis penyakitnya; 6) Perkiraan biaya pengobatan/rincian biaya atas penyakit yang dideritanya; b. hak atas pelayanan yang manusiawi, adil, dan jujur; c. hak untuk memperoleh pelayanan keperawatan dan asuhan yang bermutu sesuai dengan standar profesi keperawatan tanpa diskriminasi; d. hak menyetujui/ memberi izin persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan oleh perawat/ tindakan medik sehubungan dengan penyakit yang dideritanya (informed consent);
e. hak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.
1. Tanggung jawab perawat advokat Nelson (1988) dalam Creasia & Parker (2001) menjelaskan bahwa tanggung jawab perawat dalam menjalankan peran advokat pasien adalah : a.
b.
c.
Sebagai pendukung pasien dalam proses pembuatan keputusan, dengan cara : memastikan informasi yang diberikan pada pasien dipahami dan berguna bagi pasien dalam pengambilan keputusan, memberikan berbagai alternatif pilihan disertai penjelasan keuntungan dan kerugian dari setiap keputusan, dan menerima semua keputusan pasien. Sebagai mediator (penghubung) antara pasien dan orang-orang disekeliling pasien, dengan cara : mengatur pelayanan keperawatan yang dibutuhkan pasien dengan tenaga kesehatan lain, mengklarifikasi komunikasi antara pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lain agar setiap individu memiliki pemahaman yang sama, dan menjelaskan kepada pasien peran tenaga kesehatan yang merawatnya. Sebagai orang yang bertindak atas nama pasien dengan cara : memberikan lingkungan yang sesuai dengan kondisi pasien, melindungi pasien dari tindakan yang dapat merugikan pasien, dan memenuhi semua kebutuhan pasien selama dalam perawatan.
2. Nilai-nilai Dasar yang Harus Dimiliki oleh Perawat Advokat Menurut Kozier & Erb (2004) untuk menjalankan perannya sebagai advokasi pasien, perawat harus memiliki nilai-nilai dasar, yaitu : a. Pasien adalah makhluk holistik dan otonom yang mempunyai hak untuk menentukan pilihan dan mengambil keputusan b. Pasien berhak untuk mempunyai hubungan perawat-pasien yang didasarkan atas dasar saling menghargai, percaya, bekerja sama dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan kebutuhan perawatan kesehatan, dan saling bebas dalam berpikir dan berperasaan c. Perawat bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasien telah mengetahui cara memelihara kesehatannya.
Selain harus memiliki nilai-nilai dasar di atas, perawat harus memiliki sikap yang baik agar perannya sebagai advokat pasien lebih efektif. Beberapa sikap yang harus dimiliki perawat, adalah:
a. Bersikap asertif Bersikap asertif berarti mampu memandang masalah pasien dari sudut pandang yang positif. Asertif meliputi komunikasi yang jelas dan langsung berhadapan dengan pasien. b. Mengakui bahwa hak-hak dan kepentingan pasien dan keluarga lebih utama walaupun ada konflik dengan tenaga kesehatan yang lain c. Sadar bahwa konflik dapat terjadi sehingga membutuhkan konsultasi, konfrontasi atau negosiasi antara perawat dan bagian administrasi atau antara perawat dan dokter d. Dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain Perawat tidak dapat bekerja sendiri dalam memberikan perawatan yang berkualitas bagi pasien. Perawat harus mampu berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain yang ikut serta dalam perawatan pasien. e. Tahu bahwa peran advokat membutuhkan tindakan yang politis, seperti melaporkan kebutuhan perawatan kesehatan pasien kepada pemerintah atau pejabat terkait yang memiliki wewenang/otoritas. 3. Tujuan dan Hasil yang Diharapkan dari Peran Advokat Pasien Tujuan dari peran advokat berhubungan dengan pemberdayaan kemampuan pasien dan keluarga dalam mengambil keputusan. Saat berperan sebagai advokat bagi pasien, perawat perlu meninjau kembali tujuan peran tersebut untuk menentukan hasil yang diharapkan bagi pasien. a. Menjamin bahwa pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lain adalah partner dalam perawatan pasien. Pasien bukanlah objek tetapi partner perawat dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Sebagai partner, pasien diharapkan akan bekerja sama dengan perawat dalam perawatannya. b. Melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan Pasien adalah makhluk yang memiliki otonomi dan berhak untuk menentukan pilihan dalam pengobatannya. Namun, perawat berkewajiban untuk menjelaskan semua kerugian dan keuntungan dari pilihan-pilihan pasien. c. Memiliki saran untuk alternatif pilihan
Saat pasien tidak memiliki pilihan, perawat perlu untuk memberikan alternatif pilihan pada pasien dan tetap memberi kesempatan pada pasien untuk memilih sesuai keinginannya. d. Menerima keputusan pasien walaupun keputusan tersebut bertentangan dengan pengobatannya. Perawat berkewajiban menghargai semua nilai-nilai dan kepercayaan pasien. e. Membantu pasien melakukan yang mereka ingin lakukan Saat berada di rumah sakit, pasien memiliki banyak keterbatasan dalam melakukan berbagai hal. Perawat berperan sebagai advokat untuk membantu dan memenuhi kebutuhan pasien selama dirawat di rumah sakit.
5. Hasil yang diharapkan dari pasien saat melakukan peran advokat adalah pasien akan : a. Mengerti hak-haknya sebagai pasien b. Mendapatkan informasi tentang diagnosa, pengobatan, prognosis, dan pilihanpilihannya c. Bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya d. Memiliki otonomi, kekuatan, dan kemampuan memutuskan sendiri e. Perasaan cemas, frustrasi, dan marah akan berkurang f. Mendapatkan pengobatan yang optimal g. Memiliki kesempatan yang sama dengan pasien lain h. Mendapatkan perawatan yang berkesinambungan i. Mendapatkan perawatan yang efektif dan efisien. 6. Sejarah Ethuanasia Menurut Wikipedia, kata euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu” (=baik) dan “thanatos” (=maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah euthanasia ini pada sumpah Hippokrates, yang ditulis pada masa 300-400 SM. Sumpah tersebut berbunyi, “Saya tidak akanmenyarankan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu.” Dalam sejarah hokum Inggris, yaitu common law sejak tahun 1300, hingga saat bunuh diri ataupun membantu pelaksanaan bunuh diri tidak diperbolehkan. 7. Definisi Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dah thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu, euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing, a good death, enjoy the death (mati dengan tenang). Secara etimologis,euthanasia berarti kematian dengan tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia, bukan untuk menyebabkan kematian. Akan tetapi, untuk mengurangi/meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu, euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya, dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya. Akan tetapi, dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
8. Klasifikasi Euthanasia a. Euthanasia Ditinjau dari Sudut Cara Pelaksanaan 1. Eutanasia Aktif Eutanasia aktif adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan olehdokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidupseorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawayang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan.Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganasdengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian doktermemberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapatmenghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus(Utomo, 2003;178).
2. Eutanasia pasif Eutanasia Pasif adalah suatu tindakan dokter menghentikan pengobatanpasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagidapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematianpasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomipasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangattinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidakefektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif,yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurutpenelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokterumumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampulagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003;176).Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis,orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otakyang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena seranganpenyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapatmempercepat kematiannya (Utomo, 2003;177). 3. Eutanasia non agresif atau autoeuthanasia Merupakan (eutanasia otomatis) yang termasuk kategori eutanasianegatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadaruntuk menerima perawatan medis dan si pasien mengetahui bahwapenolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Denganpenolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan. b. Euthanasia Ditinjau dari Pemberian Izin 1. Eutanasia di luar kemauan pasien Suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasienuntuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan denganpembunuhan, dan pelakunya dapat dikenakan ancaman tindakan pidana. 2. Eutanasia secara tidak sukarela
Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dandianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadiapabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatukeputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien. Namun disisilain, si pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin dikarenakankondisinya, misalnya sipasien koma atau tidak sadar. 3. Eutanasia secara sukarela Dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masihmerupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipeyang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnyasebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum. 9. Ethuanasia Dilihat dari Aspek Hukum
Di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang secara jelas mengatur tentang euthanasia.namun demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab undangundang hukum pidana (KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara tersirat,yaitu : pasal 304,pasal 306,dan pasal 344 KUHP. Pasal 304 KUHP Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ratus ribu rupiah. Pasal 306 KUHP Jika salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang mati, salah itu dihukum penjara paling lama 9 tahun.
Catatan.
Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur dalam pasal 306 KUHP ayat 2. Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.
Pasal 344 KUHP Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,yang disebutnya dengannya dengan nyata dan bersungguh sungguh,dihukum penjara paling lama 12 tahun. Catatan Pasal 344 KUHP ini isinya mirip dengan tindakan euthanasia aktif,karena ada tindakan menghilangkan nyawa orang lain.
Dalam kaitannya baik dengan euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan terdapat ketentuan dalam pasal pasal berikut. Pasal 388 KUHP Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,dihukum karena makar mati,dengan penjara paling lama 15 tahun.
Pasal 340 KUHP Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain,dihukum,karena pembunuhan yang direncanakan,dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun.
Pasal 359 KUHP Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang lain dihukum penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun.
Pasal 345 KUHP Barang siapa dengan sengaja mengasut orang lain untuk bunuh diri,membantunya dalam perbuatan itu,atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,dihukum penjara selama lamanya 4 tahun.
Berkaca dari pengalaman di Belanda,menurut pakar hukum pidana Universitas Padjajaran, Komariah Emong mengatakan prosedur euthanasia yang diberlakukan di Belanda tidak sembarangan. Diperlukan penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan tersebut. Meskipun keluarga pasien menyatakan kehendaknya untuk melakukan euthanasia, namun pengadilan bisa saja menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di Belanda, kata Komariah, seorang keluarga pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak oleh pengadilan walaupun akhirnya dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak ada jalan lain, tidak lagi ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut nyawanya melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses tersebut. Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau pihak yang memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter dan perawat, sehingga mereka dan pihak rumah sakit tidak bisa disebut malpraktik. Selain penetapan pengadilan, keterangan dari kejaksaan juga harus diminta agar di kemudian hari negara tidak menuntut masalah euthanasia tersebut. Terlepas dari masalah di atas, menurutnya hidup mati seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan. Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di penghujung 2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, tindakan euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan euthanasia tidak sewenang-wenang. Jadi, euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia aktif dapat dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak mudah menjerat pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi.
10. Ethuanasia Dilihat dari Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ahli-ahli agama secara tegas melsrsng tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dan perawat bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yang memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadangkadang dalam keadaan sekarat, dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.
11. Ethuanasia Dilihat dari Aspek Budaya
Di Indonesia, tindakan euthanasia masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Ditambah pula, belum adanya kesepakatan antara pakar hukum, agama, dan budaya dalam melegalkan tindakan euthanasia di Indonesia. Euthanasia dianggap merampas hak asasi manusia, dimana manusia memiliki hak untuk hidup. Bahkan sampai saat ini, kasus euthanasia menjadi suatu dilema, karena tidak adanya hak untuk mati di Indonesia.
12. Ethuanasia Dilihat dari Aspek Etik Keperawatan
Sebagai perawat advokat, tentulah berkewajiban untuk melindungi pasien atau klien terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan yang melanggar kode etik yang ada. Namun, bagaimana jika pasien meminta untuk dilakukan tindakan euthanasia? Hal ini merupakan suatu dilema bagi seorang perawat advokat itu sendiri, mengingat ilegalnya tindakan euthanasia dalam segi hukum, budaya, dan etik. Jika perawat ikut membantu dalam tindakan euthanasia, meskipun merupakan suatu permohonan dari keluarga pasien, perawat tetap dinyatakan melanggar kode etik keperawatan,yaitu : 1. Benificence : kewajiban untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien dan orang lain dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasiennya.
2. Non-Maleficence : kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian/cidera. Prinsip dalam non-malificence yang dilanggar adalah membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain. Berdasarkan kode etik keperawatan menurut PPNI, perawat telah menghilangkan tanggung jawabnya dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, serta tidak menghargai hak pasien untuk hidup.
13. Kelebihan dan Kekurangan Tindakan Euthanasia Sebagaimana definisi dari euthanasia, yaitu kematian yang baik, tindakan euthanasia mengurangi rasa sakit yang berlebihan yang dialami pasien menjelang kematiannya. Pasien akan menghadapi kematiannya dengan tidak mengalami kesengsaraan, obat-obatan, serta peralatan medis yang hanya memperlambatnya untuk pulang. Namun, kekurangannya adalah tindakan euthanasia masih dianggap sebagai kasus pembunuhan. Sebagaimana seperti penjelasan sebelumnya, belum ada hukum yang melegalkan tindakan euthanasia, sehingga jika dokter dan perawat tetap melakukan hal ini meskipun berdasarkan permohonan dari keluarga pasien, dokter dan perawat tersebut bisa saja dikategorikan ke dalam malpraktik, serta keluarga dengan tim medis bekerja sama dalam melakukan pembunuhan.
14. Pendapat Mahasiswa tentang Peran Perawat Advokat dengan kasus 3 Bagaimana peran perawat advokat dalam mengatasi keluarga pasien yang meminta permohonan untuk dilakukannya euthanasia pada pasien? Dilema ini menuntut profesionalisme seorang perawat dalam mengambil keputusan. Euthanasia sudah secara jelas tidak dilegalkan dalam hukum Indonesia, meskipun hanya secara tersirat dibicarakan dalam KUHP pasal 304, 306, 344, 388, 340, 359, dan 345. Ditambah pula, pro dan kontra di kalangan masyarakat terhadap kasus euthanasia. Euthanasia masih digolongkan ke dalam tindakan pembunuhan, membantu terjadinya sebuah pembunuhan serta malpraktik. Meskipun, terdapat kelebihan di dalamnya yaitu membantu mengurangi kesengsaraan, kesakitan yang berlebihan yang dialami pasien menjelang kematiannya. Perawat seharusnya mengidentifikasi terlebih dahulu bagaimana kondisi pasien tersebut? Apakah memang seharusnya harus dilakukan tindakan euthanasia pada pasien atau tidak? Berkolaborasi dengan dokter, tim medis lain, serta pihak rumah sakit,
apakah kasus pasien memang sudah seharusnya dilakukan tindakan euthanasia? Melihat kondisi pasien yang mengalami kematian batang otaknya yang menyebabkan ia tak lagi bisa melakukan kebutuhan dasarnya secara mandiri dan tidak ada kemungkinan untuk sembuh, euthanasia adalah tindakan yang tepat agar pasien tidak mengalami kesengsaraan yang berkepanjangan dalam menghadapi kematiannya. Euthanasia pasif lebih tepat diberikan, yaitu denga cara menghentikan segala pengobatan, dan mencabut seluruh peralatan medis yang membantunya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Namun, berkaca dari aturan euthanasia di Belanda, sebelum melakukan tindakan euthanasia tersebut, perawat advokat serta pihak rumah sakit haruslah mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri, dan keterangan kepada kejaksaan. Karena, diperlukan penetapan pengadilan dan keterangan kejaksaan untuk melakukan tindakan tersebut, agar dokter, perawat dan pihak rumah sakit tidak dikategorikan dalam kasus malpraktik. Selain itu, agar di kemudian hari, negara tidak menuntut kasus euthanasia tersebut. Melihat dari aspek agama, menurut kami tindakan euthanasia tidak bisa dikategorikan ke dalam suatu bentuk keputus-asaan. Seluruh tenaga medis beserta keluarga pasien sudah melakukan yang terbaik demi kesembuhan pasien. Tindakan euthanasia direkomendasikan oleh tenaga medis jikalau memang pasien sudah tidak ada lagi harapan untuk hidup dan kesembuhan. Seperti pada kasus 3, pasien sudah mengalami kematian batang otak. Jika diteruskan untuk memberi obat-obatan dan peralatan medis lainnya, tindakan tersebut hanya akan memperlambat kematian pasien. Dalam kata lain, pasien akan mengalami kesengsaraan dan kesakitan yang lebih lama. Jika euthanasia dilakukan, maka pasien akan menghadapi kematiannya secara perlahan dan tenang. Begitu pula dalam aspek hukum dan etik, menurut kami, euthanasia tidak bisa digkategorikan sebagai bentuk pembunuhan. Semata-mata, tindakan euthanasia dilakukan demi kebaikan pasien. Semoga saja, ke depannya, euthanasia bisa dilegalkan dalam hukum dan kode etik di Indonesia dengan aturan-aturan yang berlaku. Pengambilan keputusan legal etis Pengambilan keputusan legal etik adalah cara mengambil keputusan dari suatu permasalahan ya ng disesuaikan dengan keabsahan suatu tata cara pengambilan keputusan baik secara umum m aupun secara khusus. engambilan keputusan merupakan suatu tindakan yang melibatkan berbagai komponen yang ha rus dipertimbangkan secara matang oleh perawat , terutama yang terkait dengan permasalahan pada tatanan klinik.
alam Sumijatun(2009), dikatakan bahwa pembuatan keputusan selalu dihubungkan dengan suat u masalah atau suatu kesulitan, dalam arti keputusan dan penerapannya diharapkan akan menja wab persoalan atau menyelesaikan konflik. Pendapat Kepner dan George tentang pengambilan k eputusan adalah “A decision is always choice between various ways of getting a particular thing done on end accomplished”. Pengambilan keputusan adalah suatu rangkaian kegiatan memilih a lternatif atau kemungkinan. Pengambilan keputusa dalam keperawatan diaplikasikan dengan cara membangun model dari b eberapa disiplin ilmu antara lain ekonomi, filosofi, politik, psikologi, sosiologi, budaya, kesehatan , dan ilmu kperawatan itu sendiri. Teori Dasar Pembuatan keputusan 1. Teori Teleology Teori teleology merupakan suatu dokrin yang menjelaskan fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan. Teleologi dibedakan menjadi : 1. Rule Utilitarianisme 2. Act Utilitarianisme 2. Teori Deontology Deontologi berperinsip pada aksi atau tindakan, perhatian difokuskan pada tindakan mel akukan tanggung jawab moral yang dapat menjadi penentu apakah suatu tindakan benar atau salah Berpikir Kritis Untuk dapat mengambil keputusan yang benar perawat harus dapat menerapkan pola berpikir k ritis. Marriner A-Tomey(1996) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan elemen-elemen ya ng yang berasal dari dimensi dasar yang memberikan logika umum untuk suatu alasan mengapa kegiatan tersubut dilakukan. Elemen-elemen tersebut meliputi tujuan, pusat masalah atau perta nyaan yang mengarah pada isu yang berkembang, sudut pandang atau kerangka referensi, dime nsi empiris, dimensi konsep, asumsi, implikasi dan konsekuensi yang ada, serta kesimpulan. Analisis Kritis Analisis kritis merupakan instrumen yang digunakan dalam berpikir kritis dengan mengembangk an beberapa pertanyaan tentang isu yang ada dan validitasnya, karena pertanyaan-pertanyaan t ersebut dapat membantu dalam menganalisis tahap-tahap dalam pengambilan keputusan. Pertanyaan dalam analisis kritis 1. Apakah isu tersebut nyata? 2. Asumsi apa yang paling utama? 3. Apakah ada bukti nyata yang valid dan dapat dipercaya?
a. Yang harus dicari · · · · · ·
Akurasi data Konsistensi Adanya hubungan/keterkaitan Efek dari kasus Masukkan dalam bingkai pertimbangan Identifikasi secara jelas tentang nilai dan perasaan
b. Apa yang keluar/tampak ·
Bias
· · · ·
Apa yang menimbulkan munculnya emosi Tidak konsisten Kontradiksi klise
c. Apakah ada konflik dengan sistem yang dianut? Berpikir logis dan kreatif Hernacki M. dan Bobbi D.P (2001) menyatakan bahwa berpikir logis dan kreatif mempunyai keu ntungan-keuntungan seperti memaksimalkan proses-proses pemecahan masalah secara kreatif, membiarkan otak kanan bekerja pada situasi-situasi yang menantang, memahami peran paradig ma pribadi dalam proses-proses kreatif, mempelajari bagaimana curah-gagasan(brain Storming) dapat memberikan pemecahan inovatif bagi berbagai masalah, dan menemukan keberhasilan d alam “berpikir tentang hasil(outcome thinking)”. Pemecahan Masalah Marriner A-Tomey (1996), dalam Sumijatun (2009) menyatakan bahwa mekanisme berpikir dari otak manusia telah dikonsepkan dalam dua sisi, sisi kanan adalah intuitif dan konseptualyang di gunakan untuk mendorong kreativitas berpikir; sedangkan sisi kiri adalah analisis dan rangkaianrangkaian. Hernacki M. dan Bobbi D.P (2001) menyatakan bahwa pemecahan masalah dikenal adanya 7 isti lah yang sering digunakan, yakni berpikir vertikal, lateral, kritis, analitis, strategis, berpikir tentan g hasil, dan juga berpikir kreatif. Kedudukan etika dalam pengambilan keputusan Pengambilan keputusan etik merupakan salah satu proses dari pengambilan keputusan, yang di dalamnya terdapat ilmu, kedudukan, dan etika. Proses ini mencakup ara pemecahan masalah, si tuasi dari permasalahan dan/ dilema yang dapat dicapai. Jadi proses pengambilan keputusan m
erupakan hal yang sama dan di temukan di berbagai situasi yang bermasalah, dengan demikian situasi sangat bergantung dari norma yang diacu masyarakat seperti etika, interaksi sosial, dan si tuasional kontekstual. Prinsip etik sebagai panduan pengambilan keputusan Dalam Sumijatun (2009) dikatakan bahwa praktik keperawatan melibatkan interaksi yang kompl eks antara nilai individu, sosial dan politik, serta hubungannya dengan masyarakat tertentu. Seb agai dampaknya perawat sering mengalami situasi yang berlawanan dengan hati nuraninya. Mes kipun demikian, perawat tetap akan menjaga kewajibannya sebagai pemberi pelayanan yang leb ih bersifat kemanusiaan. Dalam membuat keputusan, perawat akan berpegang teguh pada pola pikir rasional serta tanggung jawab moral dengan menetapkan prinsip etik dan hukum yang berl aku. Model pengambilan keputusan etik Kozier, dkk(1997) · Mengidentifikasi fakta dan situasi spesifik · Menerapkan prinsip dan teori etika keperawatan · Mengacu kepeda kode etik keperawatan · Melihat dan mempertimbangkan kesesuaiannya untuk klien · ·
Mengacu pada nilai yang dianut Mempertimbangkan faktor lain seperti nilai, kultur, harapan, komitmen, penggunaan w aktu, kurangnya pengalaman, ketidaktahuan atau kecemasan terhadap hukum, dan a danya loyalitas terhadap publik. 2. Potter dan Perry (2005) Menunjukkan maksud baik, mempunyai anggapan bahwa semua orang mempunyai maksud yang baik untuk menjelaskan masalah yang ada. • Mengidentifikasi semua orang penting, menganggap bahwa semua orang yang terli bat dalam proses pengambilan keputusan merupakan orang penting dan perlu dide ngar pendapatnya. • Mengumpulkan informasi yang relevan, informasi yang relevan meliputi data tentan g pilihan klien, sistem keluarga, diagnosis dan prognosis medis, pertimbangan sosial, dan dukungan lingkungan. • Mengidentifikasi prinsip etik yang dianggap penting • Mengusulkan tindakan alternative • Melakukan tindakan terpilih •
Kode etik perawat Indonesia
Keputusan Munas VI PPNI di Bandung, Nomor: 09/MUNAS-VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik Kep erawatan Indonesia. Yaitu: · Perawat dan Klien · Perawat dan Praktik · Perawat dan Masyarakat · Perawat dan Teman Sejawat · Perawat dan Profesi Tahap – tahap pengambilan keputusan 1. Mengidentifikasi masalah 2. Mengumpulkan data masalah 3. Mengidentifikasi semua pilihan atau alternative 4. Memikirkan masalah etis secara berkesinambungan 5. Membuat keputusan 6. Melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil evaluasi tindakan Faktor – faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan etis dalam keperawatan 1. Factor agama dan adat istiadat 2. Factor sosial 3. Factor IPTEK 4. Factor Legislasi dan eputusan yuridis 5. Factor dana atau keuangan 6. Factor pekerjaan atau posisi klien atau perawat 7. Factor kode etik keperawatan