182985771-pbl-blok-22-kasus-5-bppv.docx

  • Uploaded by: EdoSarjo Seringmaindijamban
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 182985771-pbl-blok-22-kasus-5-bppv.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,313
  • Pages: 18
Penanganan dan Terapi pada Vertigo Perifer: Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Fridolyn Edgar 102014063 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 - Jakarta Barat 11470 Emai : [email protected]

Pendahuluan Rasa pening atau pusing (dizziness), merupakan gejala yang sering dijumpai dan seringkali mengganggu. Pasien menggunakan istilah ini untuk menyebutkan sejumlah perasaan (termasuk misalnya kepala terasa ringan berputar, kelemahan, perasaan mabuk, dan lain-lain) dan istilah yang tidak sesuai seperti kekacauan mental, penglihatan yang kabur, nyeri kepala, rasa kesemutan, dan lainnya. Sementara vertigo, diartikan sebagai suatu perasaan (ilusi) berputar pada diri penderita atau sekeliling penderita. Meskipun vertigo dapat dibedakan dengan dizziness adanya perasaan berputar pada vertigo, kadang-kadang secara klinis keduanya sulit dibedakan dan dianggap sebagai suatu kesatuan. Vertigo dibedakan atas fisiologis dan patologis. Vertigo patologis dibagi menjadi lesi sentral dan perifer, di mana lesi sentral diduga akibat tumor, maupun lesi vaskuler, dan lainnya. Sementara lesi perifer mungkin berkaitan dengan tuli dan tinitus (gejala gangguan fungsi saraf kranial ke VIII).1 Kemudian akan dibahas lebih lanjut mengenai jenis yang perifer, yakni vertigo paroksismal posisional jinak atau yang disebut BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo).

Anamnesis Kelainan di sistem saraf bisa menimbulkan berbagai macam gejala, di antaranya adalah nyeri kepala, kejang, pingsan, atau gerakan aneh, pening atau vertigo, masalah penglihatan, penurunan penciuman/pengecapan, kesulitan berbicara, masalah menelan, kesulitan berjalan, ekstremitas lemah, gangguan sensoris, nyeri, gerakan involunter atau tremor, masalah pengendalian sfingter (buang air kecil/besar), bahkan gangguan fungsi mental luhur, seperti bingung atau perubahan kepribadian. Riwayat penyakit dahulu. Adakah riwayat gangguan neurologis sebelumnya? Adakah riwayat penyakit sistemik, khususnya kelainan kardiovaskular, karena salah satu penyebab defisit neurologis yang paling umum, Obat-obatan. Pertimbangkan terapi gangguan neurologis dan pengobatan yang mungkin merupakan penyebab timbulnya gejala. Riwayat keluarga. Adanya riwayat gangguan neurologis dalam keluarga? (Terdapat banyak kelainan neurologis penting yang diturunkan, misalnya korea Huntington.) Riwayat sosial. Gali ketidakmampuan apa saja yang dimiliki pasien, lalu mengapa pasien tidak dapat melakukan apa yang ia ingin lakukan, apakah pasien menggunakan alat bantu untuk bergerak, dan bantuan apa saja yang didapat oleh pasien. Penyelidikan fungsional. Pertimbangkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala yang diperberat saat mengejan, batuk, bangun di pagi hari, dan gangguan penglihatan). Adakah gejala neurologis sebelumnya seperti gangguan penglihatan atau mati rasa. 2

2|Blok 22 – Neuroscience; BPPV

Pemeriksaan Fisik Khusus vertigo, ada beberapa pemeriksaan fisik yang harus dilakukan. 1. Pemeriksaan fisik umum termasuk perhatian yang lebih besar pada sistem kardiovaskuler (perhatikan adanya aritmia). 2. Periksa liang telinga dan pendengaran (mendengar detik arloji, suara pembicaraan, dan gesekan jari). 3. Lakukan pemeriksaan neurologis lengkap dengan perhatian khusus pada sara kranialis, fungsi serebelum, dan adanya nistagmus (horisontal, vertikal, atau rotasional). 4. Periksa kemungkinan adanya vertigo dan nistagmus posisional dengan perasat NylanBarany/manuver Dix-Hallpike (penderita dari posisi duduk ke telentang sambil dengan cepat kepala menoleh ke satu sisi). Perhatikan adanya nistagmus, waktu untuk timbulnya nistagmus, waktu untuk timbulnya nistagmus, dan adanya vertigo maupun reaksi kelelahan. 5. Tes kalorik (minimal tes kalorik air es). Penderita dalam posisi tidur telentang dengan posisi kepala terangkat 30˚. Irigasi tiap telinga dengan 0,2 ml air es (gunakan jarum tuberkulin, periksa tiap telinga saat akan melakukan irigasi). Komponen cepat nistagmus akan ke arah telinga yang tidak diirigasi dan harus berhenti dalam 1 menit (pemeriksaan sesungguhya terdiri dari irigasi air es dan air hangat). Simetris atau tidaknya reaksi antar kedua telinga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. 2

Pemeriksaan neurologis lengkap Tujuan utama pemeriksaan sistem saraf adalah mengungkapkan dan menjelaskan defisit fungsi, dan untuk menjelaskan kemungkinan lokasi anatomis dari lesi. Apakah masalah disebabkan oleh lesi pada otak, sumsum tulang belakang, saraf perifer, atau otot? Bagaimana tingkat kesadaran pasien? Tentukan dengan skor koma Glasgow. Perhatikan cara berjalan pasien. Minta pasien untuk berjalan, mencoba berjalan dari tumit-ke jari kaki, periksa tanda Romberg. Apakah pasien kidal atau tidak. Pandanglah pasien, adakah kelainan postur yang jelas, pengecilan otot atau tremor. 3|Blok 22 – Neuroscience; BPPV

Periksa ekstremitas atas. Lakukan inspeksi untuk mencari pengecilan otot yang jelas, tremor, fasikulasi, deformaitas, dan perubahan pada kulit. Periksa simpangan piramidalis dengan kedua lengan terentang, posisi supinasi, dan mata tertutup. Periksa tonus di pergelangan tangan dan siku. Periksa kekuatan, bandingkan kedua lengan. Periksa abduksi bahu, fleksi, dan ekstensi siku, ekstensi pergelangan tangan, genggaman, abduksi dan aduksi jari tangan, dan abduksi ibu jari tangan. Gunakan skala MRC (0-5): 0 – lumpuh sempurna 1 – masih terlihat kontraksi 2 – gerak aktif tanpa gravitasi 3 – Bergerak melawan gravitasi. 4 – Bergerak melawan tahanan. 5 – Kekuatan normal. Periksa koordinasi dengan tes telunjuk-hidung, gerak cepat jari-jari, gerak cepat bergantian (jika ada kesulitan = disdiadokoninesis pada gangguan cerebelum), tes cubit, dan ‘bermain piano’. Periksa refleks dengan ketukan pada biseps, triseps, dan supinator (dengan penguatan jika perlu, misalnya dengan menggeretakkan gigi). Periksa sensasi; tes raba halus, tusuk jarum, rasa getar, rasa posisi sendi, dan reaksi panas/dingin. Cari kelainan yang mungkin berhubungan dengan gangguan dermatom atau saraf perifer. Periksa juga sensasi pada toraks dan abdomen dan periksa refleks abdomen. Periksa ekstremitas bawah. Lakukan inspeksi untuk mencari pengecilan otot yang jelas, fasikulasi, deformitas, dan perubahan pada kulit. Periksa tonus pada lutut dan dengan tes “menggulingkan tungkai” dan tes mengangkat tungkai lurus-lurus (straight leg raises, SLR), cari adanya kemungkinan penekanan nervus iskiadikus. Periksa kekuatan, bandingkan kedua sisi. Periksa fleksi, ekstensi, abduksi, dan aduksi panggul, ekstensi dan fleksi lutut, plantar fleksi, dorsofleksi, inversi, eversi, dan dorsofleksi ibu jari kaki.

4|Blok 22 – Neuroscience; BPPV

Periksa koordinasi dengan tes tumit- jari kaki. Periksa refleks. Periksa respons lutut, pergelangan kaki dan telapak kaki, dan periksa adanya klonus pergelangan kaki. Periksa sensasi; tes raba halus, tusuk jarum, rasa getar, rasa posis sendi, dan reaksi panas dingin. Cari kelainan yang mungkin berhubungan dengan gangguan dermatom atau saraf perifer. Periksa saraf kranial. 

I – Olfaktorius Periksa sensasi penghidu di kedua lubang hidung.



II – Optikus Periksa ketajaman penglihatan, lapang pandang, dan cari bintik buta. Perika pupil dan perikda reaksi cahaya langsung dan tak langsung (konsensuail serta akomodasi). Bila perlu, periksa dengan oftalmoskop.



III, IV, VI – Okulomotorius, troklearis, dan abdusens Cari adanya ptosis (sebelah atau kedua kelopak mata menutup). Periksa gerak bila mata dan cari nistagmus. Tanyakan ada penglihatan ganda atau tidak.



V – Trigeminus Periksa sensasi wajah terhadap raba halus dan tusuk jarum. Periksa kekuatan otot pengunyah dan temporalis (geretakkan gigi, buka mulut, dan lawan gerakan dokter menutup mulut pasien). Lakukan juga tes refleks kornea, dan tes ketuk rahang.



VII – Fasialis Periksa otot-otot ekspresi wajah (angkat alis, tutup mata kuat-kuat, dan tunjukkan gigi).



VIII – Vestibulokoklearis Tes pendengaran. Lakukan tes Rinne (letakkan garpu tala yang bergetar dengan frekuensi 512 Hz pada prosesus mastoideus dan bandingkan kerasnya suara dengan suara pada jarak beberapa sentimerter dari meatus auditorius eksternus. Pada telinga normal, konduksi udara [air conduction, AC] lebih baik daripada konduksi tulang [bone conduction, BC]. Jika BC > AC berarti terdapat tuli konduktif. Gangguan pendengaran dengan AC > BC menunjukkan tuli sensorineural). Lakukan tes Weber (letakkan garpu tala yang bergetar dengan frekuensi 512 HZ di bagian tengah kening dan tanyakan pada pasien ke sisi mana penjalaran suara. Pada telinga normal, suara terdengar di tengah; pada tuli konduktif ke arah telinga yang sakit; dan tuli sensorineural ke arah telinga yang sehat). 5|Blok 22 – Neuroscience; BPPV

Tes keseimbangan (berdiri dengan mata tertutup, berjalan sepanjang garis lurus). 

IX, C X – Glosofaringeus dan vagus Periksa gerak palatum, refleks muntah, dan batuk.



XI – Aksesorius Periksa kekuatan otot sternokleidomastoidesus dan mengangkat bahu.



XII – Hipoglossus Periksa lidah untuk mencari pengecilan otot, fasikulasi, dan uji kekuatan. Periksa lidah saat istirahat, julurkan keluar, kemudian gerakkan dari sisi ke sisi. Tes fungsi mental luhur (Mini Mental Test Examination). Nilailah kemampuan bicara,

periksa ingatan, dan kemampuan pemahaman. Defisit lokalis. Pertimbangkan kemungkinan defisit lokalis pada tempat berikut: 

Fungsi

serebelum.

Periksa

cara

berjalan,

koordinasi

telunjuk

hidung,

disdiadokokinesis. 

Fungsi ekstrapiramidal. Periksa cara berjalan, tonus, cari adanya tremor, bradikinesia, dan gerak distonik.



Lobus temporal. Periksa ingatan dan pemahaman bahasa.



Lobus parietal. Periksa pengenalan benda, tugas-tugas, seperti berpakaian, menggunakan sikat gigi, menulis, membaca dan aritmatika.



Lobus oksipital. Periksa ketajaman penglihatan dan lapang pandang (catatan: pada kebutaan oksipital, makan refleks cahaya pada pupil akan utuh).



Lobus frontal. Periksa fungsi mental luhur, sensasi penghidu, afek, refleks primitif (menggenggam, mencucu, refleks palmo-menyal). Adakah disinhibisi dan atau perubahan kepribadian? Adakah tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan tingkat

kesadaran, tanda lokal palsu (misalnya kelumpuhan N. III dan VI), edema papil, hipertensi, bradikardi. 1

6|Blok 22 – Neuroscience; BPPV

Penunjang Pemeriksaan MRI dengan kontras merupakan pilihan, karena lebih sensitif dibandingkan CT scan. Dapat juga dilakukan pemeriksaan laboratorium (yakni darah lengkap, profil lipid, asam urat, dan hemostasis), foto rontgen servikal, neurofisiologi sesuai indikasi (misalnya elektroensefalografi/EEG, elektronistagmografi/ENG, elektromiografi/EMG,BAEP/Brainstem Auditory Evoked Potential, dan audiometri). 1,3

Diagnosis Working Diagnosis Vertigo posisional paroksismal (BPPV) biasanya menyebabkan serangan transien (berlangsung beberapa detik) yang rekurens dan berhubungan dengan perubahan posisi kepala, misalnya berbaring dengan bantal pada malam hari, ekstensi leher, dan sejenisnya. Diagnosis BPPV ditegakkan melalui anamnesis lengkap, serta tes provokasi spesifik, yakni manuver Hallpike, karena pada pemeriksaan fisik konvensional biasanya tidak ditemukan apapun; dan pemeriksaan penunjang bila perlu. Jika positif, akan tampak nistagmus dengan rotasi ke sisi lesi dan gejala menjadi bertambah. Hal ini disebakan oleh adanya debris dalam kanalis semisirkularis. 4 Sentral

Perifer

Rasa mual berlebihan

+

+++

Muntah

+

+

Diperburuk oleh pergerakan kepala tidak spesifik

++

-

Dicetuskan oleh pergerakan kepala spesifik (mis: posisi Dix-

+

+++

-

+++

++

+

+

++

Hallpike, perputaran kepala dalam posisi telentang) Timbulnya nistagmus paroksismal ke atas dan rotatoar dengan manuver Dix-Hallpike Timbulnya nistagmus paroksismal ke bawah dengan manuver DixHallpike Nistagmus

dengan

perubahan

posis

horizontal

paroksismal

(geotropik/agetropik) yang dibangkitkan oleh perputaran posisi horizontal kepala 7|Blok 22 – Neuroscience; BPPV

Nistagmus persisten ke bawah pada semua posisi

+++

-

Hilangnya nistagmus dengan pengulangan posisi

-

+++

Membaik setelah perawatan dengan manuver posisional

-

+++

Tabel 1. Perbedaan antara Vertigo Sentral dan Perifer. Sumber: Buku Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Differential Diagnosis Vertigo Sentral. Pusing pada keadaan ini jauh lebih sedikit rotasional dan tidak intermiten, Mual dan muntah biasanya tidak ditemukan. Seringkali disebabkan oleh tumor fossa posterior, yang paling sering adalah neuroma akustika (periksa gejala serebelar dan batang otak lain, periksa adanya peningkatan TIK pada penderita yang merasa pusing dengan pemeriksaan fundus okuli). Selain itu, penyakit aterosklerosis (insufisiensi vertebrobasilaris) dapat menyebabkan vertigo akibat adanya iskemia. Serangannya singkat, biasanya berhubungan dengan perubahan mendadak dari posisi kepala. Stroke batang otak juga biasanya menyebabkan timbulnya gejala fisik lain. Untuk memastikan bahwa insufisiensi vertebrobasilaris sebagai penyebab, perhatikan gejala-gejala gangguan fungsi batang otak lainnya (diplopia, disartria, rasa baal, gangguan menelan), atau gejala lainnya (gangguan fungsi saraf kranialis, motorik, dan sensorik). Pusing pasca trauma juga sering terjadi sesudah cedera kepala, mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Selain itu, beberapa hal penting lainnya adalah: 1, 4, 5 

“Dizziness” atau vertigo itu sendiri dapat merupakan gejala pertama insufisiensi vertebrobasilaris, tetapi sebagian besar penderita disertai gejala dan tanda gangguan fungsi batang otak dalam waktu 1 bulan setelah gejala vertigo.



Sindrome medula oblongata lateral (sindroma Wallenberg) dapat diawali dengan vertigo.



Infark atau perdarahan serebelum dapat diawali dengan serangan akut “dizziness”, muntah, ketidakmampuan untuk berdiri atau berjalan, dan nyeri kepala hebat.



Bila “dizziness” hanya disertai disfugsi N. VIII saja, kemungkinan tidak disebabkan oleh kelainan vaskuler.



Vertigo jarang terjadi pada kelainan arteri karotis.



Migren bisa menyebabkan vertigo transien. 8|Blok 22 – Neuroscience; BPPV



Penyakit batang otak, termasuk multiple sklerosis dapat juga menyebabkan vertigo. Meniere’s Disease. Mempunyai trias gejala utama, yaitu vertigo, tinitus, dan tuli.

Pembengkakan pada ruang endolimfe, kemungkinan merupakan faktor yang mendasari kelainan ini. Tinitus dan rasa penuh pada telinga timbul melalui vertigo, hal ini biasanya tidak dirasakan mengganggu oleh penderita, diikuti mual, muntah, berkeringan, serta penurunan pendengaran. Penderita sering mengetahui adanya rasa penuh pada telinga yang mengalami kelainan. Nistagmus hanya timbul saat serangan dengan arah yang bervariasi. Prenyakit Meniere, terjadi pada penderita usia 30-60 tahun, bersifat paroksismal, dan disertai tinitus serta hilangnya pendengaran setelah berulang kali serangan. Serangan terjadi dalam hitungan menit, berlangsung selama beberapa jam dan kemudian berangsur-angsur mereda. Pengobatan penyakit Meniere pada saat serangan adalah istirahat baring, sedativa, cairan, anti histamin, dan anti muntah. Upaya pencegahan dilakukan dengan pemberian diuretika dan penggunaan natrium. Terapi operatif (“shunt” endolimfatika) dianjurkan untuk beberapa kasus kronis. 1, 4-7 Acute vestibular neuritis. Biasanya disebut dengan neuronitis vestibularis. Ditandai dengan serangan mendadak vertigo dan mual tanpa gejala atau tanda gangguan pendengaran. Timbul pada dewasa muda dan kelompok usia pertengahan dan biasanya unilateral. Vertigo biasanya hilang secara spontan sesudah beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering berhubungan dengan infeksi viral yang terbaru. Tes kalorik menunjukkan adanya hipofungsi sisi yang sakit, yang dapat membedakannya dengan labirinitis. Pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. 1, 4-6

Epidemiologi BPPV merupakan jenis vertigo vestibuler perifer yang paling umum ditemukan, 75 % dari persentase kasus vertigo perifer. Prevalensi angka kejadian BPPV di Amerika serikat adalah 64 dari 100.000 orang dengan kecenderungan terjadi pada wanita (64 %). BPPV diperkirakan sering terjadi pada usia rata-rata 51 – 57,2 tahun dan jarang pada usia di bawah 35 tahun tanpa riwayat trauma kepala. BPPV kanal posterior merupakan tipe terbanyak dari seluruh BPPV. 3

9|Blok 22 – Neuroscience; BPPV

Etiologi Kebanyakan vertigo jenis perifer berhubungan dengan manifestasi patologis di telinga, biasanya akibat adanya debris (otokonia) pada kanalis semisirkularis posterior akibat dari degenerasi organ sensorik keseimbangan utrikulus yang disebabkan oleh idiopatik (49 %), trauma (18 %), ototoksisitas (2 %), dan lainnya. Beberapa faktor predisposisi lain yang mencetuskan terjadinya vertigo adalah kurangnya pergerakan aktif, sehingga saat mengalami perubahan posisi mendadak akan timbul sensasi vertigo; alkoholisme akut; atau pascaoperasi mayor. 3, 8

Patofisiologi Gangguan sistem aferen. Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan proprioseptik, jarasjaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV, dan VI, susunan vestibuloretikularis dan vestibulospinalis. Adapun tiga gerakan yang dikendalikan dalam pemeliharaan keseimbangan tersebut adalah: 1. Gerakan volunter dari reflektorik kepala, leher, badan dan keempat anggota gerak. 2. Gerakan volunter dan reflektorik kedua bola mata. 3. Gerakan involunter visceral. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi yang paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik. Dalam kondisi fisologis/normal, informasi yang tiba di pusat Integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot 10 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Dalam mekanisme pelaksanaan gerakangerakan tersebut, korteks serebri merencanakan dan mengatur bangunan-bangunan di batang otak dan medulla spinalis. Dalam pengendalian viseromotorik, korteks serebri memberikan pesannya kepada inti vestibularis yang meneruskan ke inti glossofaringeus dan vagus. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejela vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehinggan muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia (kecenderungan untuk jatuh penyimpangan gerakan volunteer ke arah lesi) saat berdiri/berjalan dan gejala lainnya. Gangguan pemrosesan sentral. Informasi yang diterima diproses/diinterpretasikan secara salah. Hal ini menyebabkan kesan sensorik yang saling berkonflik dan menimbulkan vertigo. Gangguan pemrosesan dapat disebabkan oleh perubahan difus seperti abnormalitas metabolik atau sirkulasi, infeksi, trauma, dan intoksikasi. 9 Ada 2 teori yang menjelaskan lebih lanjut mengenai patofisiologi BPPV, yakni teori cupulolithiasis dan teori canalithiasis. Teori cupulolithiasis. Pada tahun 1962 Horald Scuknecht mengemukakan teori ini. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari macula utrikulus yang sudah berdegenerasi, menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra menyebabkan tiang sulit tetap untuk stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel ototlith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sbelum timbulnya pusing dan nistagmus. Teori canalithiasis. Tahun 1980 Epley mengemukakan teori tersebut, partikel otolith bergerak bebas di dalam Kanalis semi sirkularis. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan 11 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

partikel ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang, partikel ini berotasi ke atas sampai ± 90˚ di sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan kembali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawananan. Model gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan “delay” (latency) nystagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yang dapat menerangkan konsep kelelahan “fatigability” dari gejala pusing. 10

Gejala Klinis Serangan vertigo berlangsung singkat (kurang dari 1 menit), namun bila ditanyakan pada pasien, biasanya dianggap lebih lama hingga beberapa menit. Bila serangan vertigo datang bertubi-tubi, pasien akan merasakan kepala ringan, merasa tidak stabil dan rasa mengambang yang menetap selama beberapa hari. Perjalanan penyakit BPPV bermacam-macam, pada sebagian besar kasus, gangguan hilang secara spontan dalam waktu beberapa minggu, namun dapat kambuh setelah beberapa waktu kemudian. Nistagmus yang dilihat pada waktu terjadinya BPPV bersifat torsional (rotatoar). Kadang tidak terdeteksi adanya gangguan pendengaran. Selain itu terdapat pandangan gelap, jantung berdebar, hilang keseimbangan, tidak mampu konsentrasi, otot terasa sakit, mual dan muntah, sensitif pada cahaya terang, serta memori menurun. 1

Komplikasi Jarang menimbulkan komplikasi yang berarti, kebanyakan hanya ditemukan rekurensi pada beberapa kasus setelah pengobatan pertama. 9 12 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Penatalaksanaan Bila diagnosis telah ditegakkan, maka kepada pasien harus disampaikan mengenai penyakitnya beserta prognosis yang umumnya baik karena banyak pasien yang merasa cemas dan khawatir. Medikamentosa Obat anti vertigo dapat diberikan sebagai terapi simptomatik sewaktu melakukan latihan atau bila muncul eksaserbasi akut. Obat ini berguna untuk menekan rasa mual atau pusing berputar. 1, 3 Aktivitas antihistamin yang dapat menekan vertigo adalah akibat adanya efek menekan muntah di batang otak, walaupun tujuan utamnya bukan untuk hal tersebut. Anti histamin yang memiliki sifat antivertigo juga memiliki aktivitas antikolinergik di SSP. Efek samping yang dapat dijumpai adalah mulut kering dan penglihatan kabur, sedangkan efek samping yang lebih umum adalah mengantuk.

Golongan

Dosis Oral

Anti Emetik

Sedasi

Mukosa Kering

Gejala Ekstrapiramidal

Penyekat Kalsium Flunarisin

5-10 mg;

+

+

-

+

+

+

-

+

+

++

++

-

+

+

+

+

1x1 Sinarisin

25 mg; 3x1

Antihistamin Prometasin

25-50 mg; 3x1

Dimenhidrinat

50 mg; 3x1

Antikolinergik Skopolamin

0,6 mg; 3x1

+

+

+++

-

Atropin

0,4 mg; 3x1

+

-

+++

-

+

+

Monoaminergik Amfetamin

5-10 mg;

+

-

3x1 13 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Efedrin

25 mgl 3x1

+

-

+

-

+++

+

+

+

++

+++

+

+++

-

-

Phenotiazine Proklorperasin

3 mg; 3x1

Klorpromasin

Benzodiazepin Diazepam

2-5 mg; 3x1

+

+++

Tabel 2. Obat-obat Antivertigo: Golongan, Dosis, Khasiat, dan Efek Samping. Sumber: Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.

Non-Medikamentosa Latihan vestibular. Latihan ini termasuk fisioterapi rehabilitasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri terhadap gangguan keseimbangan. Bentuk latihannya adalah dengan melatih gerakan kepala yang mencertuskan vertigo untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara perlahan, melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan, dan meningkatkan kemampuan keseimbangan. Contoh latihan: 

Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian mata ditutup.



Olahraga yang menggerakan kepaka (fleksi, rotasi, ekstensi, gerak miring).



Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian tertutup.



Jalan di kamar dengan mata terbuka kemudian mata tertutup.



Berjalan tandem.



Melirikkan mata ke arah horizontal dan vertikal.



Melatih gerakan mata untuk memfiksasi objek yang bergerak maupun diam.

Bentuk latihan lain adalah di tempat tidur, dengan memiringkan badan ke kanan dan kiri secara bergantian. Latihan ini dilakukan hingga vertigo hilang perlahan-lahan. Manuver Epley. Baru-baru telah dikembangkan untuk menghancurkan atau melepaskan debris otokonial, yang merupakan penyebab dari BPPV. Prosedur ini lebih efektif dari prosedur di ruangan, karena diulang setiap malam selama seminggu. Metode ini (untuk sisi kiri), seseorang menetap pada posisi supine selama 30 detik dan pada posisi duduk tegak 14 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

selama 1 menit. Dengan demikian siklus ini membutuhkan waktu 2,5 menit. Pada dasarnya 3 siklus hanya mengutamakan untuk beranjak tidur, sangat baik dilakukan pada malam hari daripada pagi atau siang hari, karena jika seseorang merasa pusing setelah latihan ini, dapat teratasi sendiri dengan tidur. Lebih baik dibantu dan diawasi oleh seorang dokter. 8, 9 Latihan Brandt Daroff. Merupakan suatu metode latihan untuk mengobati BPPV, biasanya digunakan jika penanganan di praktek dokter gagal. Latihan ini 95 % lebih berhasil. Dilakukan dalam 3 set perhari selama 2 minggu. Pada tiap-tiap set, sekali melakukan manuver dibuat dalam 5 kali. Satu pengulangan manuver dilakukan pada masing-masing sisi berbeda (membutuhkan waktu 2 menit). Jadwal latihan Brandt Daroff yang disarankan: 

Pagi 5 kali pengulangan 10 menit.



Sore 5 kali pengulangan 10 menit.



Malam 5 kali pengulangan 10 menit. Mulai dengan posisi duduk kemudian berubag menjadi posisi baring miring pada satu

sisi, dengan sudut kepala maju sekitar setengah. Tetap pada posisi baring miring selama 30 detik, atau sampai pusing di sisi kepala. Kemudian kembali ke posisi duduk. Tetap pada keadaan ini selama 30 detik, dan kemudian dilanjutkan ke posisi berlawanan dan ikuti rute yang sama. Latihan ini harus dilakukan selama 2 minggu, 3 kali sehari, atau selama 3 minggu, 2 kali sehari. Pada sekitar 30 % pasien, BPPV dapat muncul kembali dalam 1 tahun. Terapi bedah. Dapat dilakukan untuk mereposisi kanalith (canalith reposition). Pada kasus yang parah, dapat saja dilakukan pemutusan koneksi neural ke kanalis posterior (singular neurotomi) atau memblok kanal posterior. Selain itu untuk mempertahankan pendengaran, dapat dilakukan miringotomi dan pemasangan grommet untuk mengurangi terulangnya vertigo, dan dekompresi sakus endolimfatikus untuk mengurangi tekanan di dalam labirin membranosa, yang dapat menghilangkan vertigo. 9

15 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Gambar 1. Manuver Epley. Sumber: http://medicastore.com/images/manuver%20epley1.jpg.

Pencegahan Langkah-langkah berikut dapat meringankan atau mencegah gejala vertigo: 

Tidur dengan posisi kepala yang agak tinggi.



Bangun secara perlahan dan duduk terlebih dahulu sebelum berdiri dari tempat tidur.



Hindari posisi membungkuk bila mengangkat barang.



Hindari posisi mendongakkan kepala, misalnya untuk mengambil suatu benda dari ketinggian.



Gerakkan kepala secara hati-hati, jika kepala kita dalam posisi datar (horizontal) atau bila leher dalam posisi mendongak. 9

Prognosis Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik, dapat terjadi remisi spontan dalam 6 minggu, meskipun beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25 %. 9

16 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Kesimpulan BPPV merupakan salah satu jenis vertigo perifer yang penyebabnya idiopatik. Diduga akibat trauma, faktor degeneratif, ototoksik dan sebagainya sehingga terjadi degenerasi organ sensorik keseimbangan utrikulus yang menimbulkan debris (otokonia) pada kanalis semisirkularis posterior. Gejalanya Serangan vertigo berlangsung singkat (kurang dari 1 menit) yang terjadi saat perpindahan posisi kepala, nistagmus yang dilihat pada waktu terjadinya BPPV bersifat torsional (rotatoar). Kadang tidak terdeteksi adanya gangguan pendengaran. Selain itu terdapat pandangan gelap, jantung berdebar, hilang keseimbangan, tidak mampu konsentrasi, otot terasa sakit, mual dan muntah, sensitif pada cahaya terang, serta memori menurun. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik khusus yaitu manuver Dix-Hallpike, dan pemeriksaan penunjang bila perlu. Pengobatan BPPV adalah dengan obat antivertigo atau antiemetik. Dapat juga dengan manuver Epley (CTR), latihan vestibular, maupun tindakan bedah. Prognosis BPPV baik, dapat terjadi remisi spontan.

17 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

Daftar Pustaka 1. Weinner, Levitt. Buku saku neurologi. Edisi ke-V. Jakarta: EGC; 2001. h. 106-14. 2. Gleadle Jonathan. At a glance: Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007. h. 36-9. 3. Dewanto, Suwono, Riyanto, Turana. Panduan praktis diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009. h. 111-4. 4. Davey Patrick. At a glance: Medicine. Jakarta: Erlangga; 2006. h. 92-3. 5. Eliastam, Sternbach, Bresler. Penuntun kedaruratan medis. Edisi ke-V. Jakarta: EGC; 2001. h. 125-7. 6. Sabiston. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC; 2004. h. 292-3. 7. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam Harrison Volume I. Jakarta: EGC; 2008. h. 115-8. 8. Ginsberg. Lecture notes: Neurologi. Jakarta: Erlangga; 2008. h. 38. 9. Eka. Saraf – Vertigo. 7 September 2012. Diunduh dari http://www.docstoc.com/docs/124085576/Syaraf---Vertigo, 31 Desember 2012. 10. Johnson, Lalwani. Vestibular disorders. New York: Mc Graw Hill Companies; 2004. p. 761-5.

18 | B l o k 2 2 – N e u r o s c i e n c e ; B P P V

More Documents from "EdoSarjo Seringmaindijamban"