18 Tinggalkan Spekulasi

  • Uploaded by: H Masoed Abidin bin Zainal Abidin Jabbar
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 18 Tinggalkan Spekulasi as PDF for free.

More details

  • Words: 498
  • Pages: 1
Tinggalkan Spekulasi Bila kita menyimak lebih mendalam, bahwa ibadah dalam Islam tidak menyebabkan kegiatan-kegiatan rutin mesti dihentikan sepenuhnya. Agama Islam tidak mengenal adanya penyendirian dalam ibadah. Berjamaah (bersama-sama) memiliki nilai lebih dibandingkan sendiri-sendiri. Contohnya shalat berjamaah. Sungguhpun dianjurkan melaksanakan shalat tahajjud (shalat malam), tetapi dilakukan sejenak setelah tertidur, tidak dengan mengasingkan diri. Hidup terpisah dari lingkungan bukan begitu ajaran Islam. Seruan untuk shalat Jum'at dilakukan bersama-sama pula. "Wahai orang yang ber- iman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. AL Jumu'ah, 62 : 9) Perintah Allah memberikan dorongan besar, bahwa shalat Jum'at lebih baik dari pekerjaan jual beli, maka laksanakanlah shalat Jum'at itu, karena labanya lebih besar dari perdagangan (jual beli), menggambarkan kehidupan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi. Setelah selesai beribadah laksanakan tugas-tugas rutin, dengan panduan mencari redha Allah. Sebenarnya orang-orang mukmin itu menghitung secara matematis. Ibadah shalat Jum'at sebagai contoh, yang waktunya hanya beberapa puluh menit, menjanjikan keuntungan ukhrawi yang berkali-kali lipat. Sementara perdagangan yang memakan waktu lebih panjang, masih keuntungan yang spekulatif. Secara sistematis, seorang mukmin dengan dorongan iman, dan ilmu, memilih hal yang pasti, dan meninggalkan hal yang bersifat spekulasi. Motivasi ibadah adalah mencari redha Allah. Redha Allah ini mutlak, karena Allah telah menyediakan segala-galanya untuk hidup manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, yang berperikemanusiaan. Hikmah terselubung dalam ibadah puasa Ramadhan, adalah arif dalam memanfaatkan segala sesuatu, termasuk apa pun yang dihalalkan bagi kita. Puasa mengajarkan banyak hal. Tidak sekadar menahan lapar dan dahaga, termasuk soal mengalokasikan waktu, ruang, dan alokasi pilihan kemungkinan-kemungkinan. Semuanya, selalu mesti dipertautkan dengan petunjuk, dan keredhaan Allah yang menciptakan semua yang dapat dimanfaatkan. Mengingat puasa wajib itu sebulan dalam setahun, agaknya dapat kita “menafsirkan” bahwa sekurang-kurangnya seperduabelas (8,33%) dari seluruh ruang-waktu-kemungkinan yang ada dalam sumber daya alami dan sumber daya insani, mesti “ditahan”, semacam tabungan alias saving, sehingga ekosistem semua hal masih mungkin dipertahankan untuk keberlanjutan kehidupan. Misalnya, cadangan minyak dan berbagai kandungan mineral lainnya di bumi dan laut mesti disisakan sekurang-kurangnya 8,33% dari yang diperkirakan ada itu, “ditahan” sebagai cadangan, tidak lagi dieksploitasi. Atau tata-ruang sebuah kota mesti menyisakan 8,33% dari keseluruhan ruangnya untuk tetap alami, sehingga tak sesak mengerikan kota-kota kita. Atau 8,33% dari hutan tak boleh ditebang, apalagi dijarah, agar “paru-paru bumi” masih ada, dan mungkin untuk “bernafas”. Atau 8,33% dari jumlah kaum terpelajar mesti khusyuk, bertungkus-lumus, dalam bidang ilmu-ilmu murni, tak semuanya hanyut sibuk dengan ilmu-ilmu terapan, yang sebagian besar menjadi alat keberlangsungan paradigma materialistik, sekularistik, hedonistic, dan ataupun tarekat fulusiyah itu. Atau 8,33% dari kekayaan global mesti “ditahan” untuk tabungan menghadapi bencana-bencana bersifat global, yang lahir dari kebijakan-kebijakan global, yang lebih mementingkan kreatifitas nafsu tanpa batas – bertumpu dalam mesin produksi-konsumsi tanpa batas – dan tak pernah mengenal kearifan tersembunyi dalam kata “cukup” itu. Mungkin…. pada intinya bagaimana menahan nafsu yang tiada batas dalam memanfaatkan segala sesuatu. Sebab, sudah sunatullah alias sudah hukum alam bahwa segala sesuatu itu ada batasnya!, Selalu, wallahu ‘alam bissawab.

Related Documents


More Documents from ""