EPIDEMIOLOGI KLINIK “PENYAKIT DIABETES MELLITUS” Dosen : Herlina Susmaneli, SKM, M.Kes
Oleh : Kelompok 1.
Rana Permata Dwi
16011152
2.
Julia Afrida
16011230
3.
Randilah
16011075
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH PEKANBARU 2019 0
BAB I PRNDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 1995). DM merupakan penyakit yang menjadi masalah pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu DM tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler, rheumatik dan katarak (Tjokroprawiro, 2001). Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa mendatang. Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025 jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono, 2006). Diabetes mellitus tipe II merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan Diabetes Mellitus tipe I. Penderita diabetes mellitus tipe II mencapai 90-95 % dari keseluruhan populasi penderita DM (Anonim, 2005). Laksmanan (1986) memberitahukan alasan masuk rumah sakit yang disebabkan oleh penyakit iatogrenik (akibat dari pengobatan) dimana sebanyak 47 kejadian iatogrenik yang muncul, ditemukan 35 kasus drug related illness. Kasuskasus tersebut diantaranya terjadi pada antihipertensi 8 kasus, antikonvulsan 4 kasus, pengobatan jantung 2 kasus, antibiotik 2 kasus dan miscellaneous 1 kasus (Cipolle et al., 1998).
1
1.2 Rumusan Masalah 1. Apa itu Diabetes Mellitus? 2. Apa penyebab dan gejala dari DM serta bagaimana batas normalitas dan abnormlitas DM? 3. Bagaimana riwayat alamiah penyakit DM? 4. Apa saja metode pegobatan yang dapat digunakan? Bagaimana efektifitas pengobatan DM? 5. Bagaimana cara pencegaha DM dalam praktek klinis?
1.3 Tujuan Untuk mengetahui sekaligus memahami mengenai lima hal-hal yang mendasari epidemiologi klinik yaitu mencakup normalitas dan abnormalitas, uji diagnostik, riwayat alamiah, efektifitas pengobatan serta pencegahan dalam praktek klinis terkait penyakit Diabetes Mellitus
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan hiperglikemia kronik tersebut dapat mengenai banyak orang pada semua lapisan masyarakat di seluruh dunia (Waspadji, 1995). Diabetes Mellitus ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolut atau relativ aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena itu meskipun diabetes asalnya merupakan endokrin, manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik (Anonim, 2000). Diabetes mellitus seperti juga penyakit menular lainnya akan berkembang sebagai suatu penyebab utama kesakitan dan kematian di Indonesia. Penyakit ini akan merupakan beban yang besar bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung melalui komplikasikomplikasinya. Definisi lain menyebutkan diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam suatu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana dapat defisiensi insulin absolut atau relativ dan gangguan fungsi insulin (Gustaviani, 2006). 2.2 Penyebab Diabetes Mellitus Diabetes Melitus umumnya diklasifikasikan menjadi 4 kategori dengan penyebab yang berbeda-beda: Diabetes Melitus Tipe 1 Disebut sebagai “Diabetes Melitus yang Tergantung pada Insulin”. Terkait dengan faktor genetik dan sistem kekebalan tubuh, yang mengakibatkan kerusakan sel3
sel yang memproduksi insulin, sehingga sel tidak mampu untuk memproduksi insulin yang dibutuhkan oleh tubuh. Kelompok orang yang paling sering mengidap penyakit ini adalah anakanak dan remaja, yang mewakili 3% dari jumlah seluruh pasien yang ada. Diabetes Melitus Tipe 2 Disebut “Diabetes Melitus yang Tidak Tergantung pada Insulin”, yang mewakili lebih dari 90% kasus diabetes melitus. Terkait dengan faktor pola makan yang tidak sehat, obesitas, dan kurangnya olahraga. Sel-sel tubuh menjadi resisten terhadap insulin dan tidak bisa menyerap dan menggunakan dekstrosa dan kelebihan gula darah yang dihasilkan secara efektif. Jenis diabetes melitus ini memiliki predisposisi genetik yang lebih tinggi daripada Tipe 1. Diabetes Melitus Gestasional: Terutama disebabkan oleh perubahan hormon yang dihasilkan selama kehamilan dan biasanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan. Studi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa wanita yang pernah mengalami diabetes melitus gestasional memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk mengidap penyakit diabetes melitus tipe II, sehingga wanita tersebut harus lebih memerhatikan pola makan yang sehat demi mengurangi risiko tersebut. Jenis lain dari Diabetes Melitus: Ada beberapa penyebab lain yang berbeda dari ketiga jenis diabetes melitus di atas, termasuk sekresi insulin yang tidak memadai yang disebabkan oleh penyakit genetik tertentu, disebabkan secara tidak langsung oleh penyakit lainnya (misalnya pankreatitis, yaitu peradangan pada pankreas), yang diakibatkan oleh obat atau bahan kimia lainnya. 2.2.1. Normalitas dan Abnormalitas Pada Penderita Diabetes Melitus Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi kunci dari berkembangnya DM. Obesitas, terutama tipe sentral, sering ditemukan pada penderita DM tipe 2. Pada tahap awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel B pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Ketika resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensatorik terus terjadi, pankreas tidak mampu mempertahankan keadaan hiperinsulinemia tersebut. Akibatnya, terjadi gangguan toleransi glukosa, yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah setelah makan. Setelah itu, penurunan sekresi
4
insulin dan peningkatan produksi glukosa hati berlanjut pada diabetes berat dengan hiperglikemia saat puasa dan kegagalan sel beta. Berdasarkan studi terbaru dikatakan bahwa dalam timbulnya DM tipe 2 terdapat pengaruh faktor genetik yaitu transcription factor 7–like-2 (TCF7L2) pada kromosom 10q yang mengkode faktor transkripsi pada WNT signaling pathway. Berbeda dengan DM tipe 1 penyakit ini tidak berhubungan dengan gen yang mengatur toleransi dan regulasi imun seperti HLA, CTLA4, dan lain-lain. Ada 3 karakteristik penyebab DM tipe 2, yaitu resistensi insulin, berkurangnya sekresi insulin, dan meningkatnya produksi glukosa hati. A. Resistensi Insulin Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada uptake, metabolisme, dan penyimpanan glukosa. Hal tersebut dapat terjadi akibat defek genetik dan obesitas. Menurunnya kemampuan insulin untuk berfungsi dengan efektif pada jaringan perifer merupakan gambaran DM tipe 2. Mekanisme resistensi insulin umumnya disebabkan oleh gangguan pascareseptor insulin. Polimorfisme pada IRS-1 berhubungan dengan intoleransi glukosa dan meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dari berbagai molekul pascareseptor dapat berkombinasi dan memunculkan keadaan yang resisten terhadap insulin. Resistensi insulin terjadi akibat gangguan persinyalan PI-3-kinase yang mengurangi translokasi glucose transporter (GLUT) 4 ke membran plasma. B. Gangguan Sekresi Insulin Sekresi insulin dan sensitivitasnya saling berhubungan. Pada DM tipe 2, sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa. Namun, lama kelamaan sel beta kelelahan mem-produksi insulin sehingga terjadi kegagalan sel β. C. Peningkatan Produksi Glukosa Hati Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula darah yang tinggi akan memaksa tubuh
mensekresikan
insulin
secara
terus
menerus
ke
dalam
sirkulasi
darah 5
(hiperinsulinemia). Pada keadaan normal, seharusnya hal ini dapat membuat glukosa dikonversi menjadi glikogen dan kolesterol. Akan tetapi, pada pasien DM yang resisten terhadap insulin, hal ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon terhadap insulin mengakibatkan hati terus menerus memproduksi glukosa (glukoneogenesis). Hal ini pada akhirnya akan berujung pada terjadinya hiperglikemia. Produksi gula hati baru akan terus meningkat akibat terjadinya ketidaknormalan sekresi insulin dan munculnya resistensi insulin di otot rangka.
2.2.2. Gejala Diabetes Mellitus Gejala klasik diabetes adalah rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama malam hari dan berat badan yang turun dengan cepat. Disamping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi dengan berat badan diatas 4 kg (Anonim, 2000). Diabetes dapat pula bermanifestasi sebagai satu atau lebih penyulit yang bertalian. Diabetes mellitus terutama NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), bisa tanpa gejala, sehingga sering didiagnosis berdasarkan ketidaknormalan hasil pemeriksaan darah rutin atau uji glukosa dalam urin. 2.3. Uji Diagnostik DM Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa >126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat. Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, 6
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Dalam diagnosis dan pemeriksaan fisik diabetes melitus di rumah sakit melalui uji laboratorium, kriteria diabetes ditunjukkan adanya hiperglikemia yang tegas melalui uji hemoglobin A1c (A1C). Pemeriksaan fisik harus bisa menetapkan fungsionalisasi sel beta pankreas, kriteria diabetes, jenis diabetes dan kebutuhan akan insulin. Uji fungsi sel beta, termasuk tingkat C peptida, dimana ini sebagai penanda kerusakan sel beta pankreas. Pemeriksaan fisik diabetes melitus tipe 2 Untuk menegakkan diagnosis diabetes tipe 2, Anda akan menjalani beberapa uji lab, termasuk Tes darah A1C – DM tipe 2. Tes darah A1C (glycated hemoglobin) ini menunjukkan tingkat gula darah rata-rata Anda selama dua hingga tiga bulan terakhir. Tes A1C mengukur persentase gula darah yang melekat pada hemoglobin. Semakin tinggi kadar gula darah Anda, semakin banyak glukosa terkandung dalam hemoglobin. Tingkat A1C 6,5 persen atau lebih tinggi menunjukkan Anda menderita diabetes tipe 2. Hasil A1C antara 5,7 dan 6,4 persen dianggap prediabetes. Anda dianggap tidak terkena diabetes jika A1C di bawah 5,7 persen. Wanita hamil tidak menjalani tes A1C karena memiliki bentuk hemoglobin yang tidak umum (dikenal sebagai varian hemoglobin) – menyebabkan tes A1C tidak akurat. Dokter akan menggunakan pilihan tes berikut untuk mendiagnosis kriteria diabetes Anda: Tes gula darah acak – DM tipe 2. Sampel darah akan diambil pada waktu acak. Nilai gula darah dinyatakan dalam miligram per desiliter (mg / dL) atau milimoles per liter (mmol / L). Terlepas dari kapan Anda terakhir makan, jik hasil tes kadar gula darah acak 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih tinggi, Anda terkena diabetes tipe 2. terutama jika Anda sering buang air kecil dan sering haus.
7
Baca selengkapnya: sering kencing dan kehausan pertanda diabetes Tes gula darah puasa – DM tipe 2. Sampel darah akan diambil setelah puasa semalam. – Tingkat gula darah puasa kurang dari 100 mg / dL (5,6 mmol / L) adalah normal. – Tingkat gula darah puasa dari 100 hingga 125 mg / dL (5,6 hingga 6,9 mmol / L) dianggap prediabetes. – Jika hasil gula darah 126 mg / dL (7 mmol / L) atau lebih tinggi, Anda menderita diabetes tipe 2. Tes toleransi glukosa oral – DM tipe 2. Sebelum tes ini, Anda akan berpuasa semalam, kemudian Anda minum cairan manis, dan kadar gula darah diuji secara berkala selama dua jam ke depan. – Anda tidak menderita diabetes tipe 2 jika hasil tes tadar gula darah kurang dari 140 mg / dL (7,8 mmol / L) – Anda menderita prediabetes tipe 2 jika uji tes glikosa puasa antara 140 dan 199 mg / dL (7,8 mmol / L dan 11,0 mmol / L) – Anda menderita diabetes tipe 2 jika hasil tes 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih tinggi. Jika Anda didiagnosis terkena diabetes, dokter dapat melakukan tes lain untuk membedakan antara diabetes tipe 1 dan tipe 2 – karena kedua penyakit ini memerlukan perawatan yang berbeda. Pemeriksaan fisik diabetes melitus tipe 1 Hampir sama dengan uji fisik DM tipe 2, tes diagnostik untuk menegakkan kriteria diabetes tipe 1 di laboratorium, sbb: Tes A1C – DM tipe 1. Tes darah mengukur persentase gula darah yang melekat pada protein pembawa oksigen dalam sel darah merah (hemoglobin). Semakin tinggi kadar gula darah Anda, semakin banyak hemoglobin mengandung gula. Tingkat A1C 6,5 persen atau lebih tinggi menunjukkan Anda terkena diabetes tipe 1. Jika Anda memiliki kondisi tertentu yang dapat membuat tes A1C tidak akurat – seperti kehamilan atau memiliki varian hemoglobin – dokter mungkin memilih tes di bawah ini: Tes gula darah acak – DM tipe 1
8
Sampel darah akan diambil pada waktu acak dan akan dikonfirmasi dengan pengujian ulang. Nilai gula darah acak 200 mg / dL (11,1 mmol / L) atau lebih tinggi menunjukkan Anda terkena diabetes tipe 1. Tes gula darah puasa – DM tipe 1. Sampel darah akan diambil setelah puasa semalam. Jika hasil tes menunjukkan tingkat gula darah 126 mg / dL (7 mmol / L) atau lebih tinggi, Anda dianggap terkena menderita diabetes tipe 1. Tes antibodi Jika setelah pemeriksaan fisik, Anda didiagnosis diabetes tipe 1, dokter akan menjalankan tes darah untuk memeriksa auto antibodi. Tes-tes ini membantu dokter Anda membedakan antara diabetes tipe 1 dan tipe 2. Kehadiran keton dalam urin menunjukkan kriteria diabetes tipe 1, bukan tipe 2. Selain tes A1C untuk diabetes tipe 1, dokter juga akan mengambil sampel darah dan urin secara berkala untuk memeriksa kadar kolesterol Anda, fungsi tiroid, fungsi hati dan fungsi ginjal. Dokter akan meresepkan obat dan insulin.
2.4. Riwayat Alamiah Penyakit DM Riwayat alamiah dari DM tipe 2 ada 4 tahapan yaitu (Hansen, 2002): 1)
Dimulai pada saat lahir, dimana kadar gula darah masih dalam batas normal tetapi individu tersebut mempunyai resiko untuk DM tipe 2 oleh karena polimorphisme genetik (diabetogenic genes). fase suseptible
2)
Penurunan sensitifitas insulin timbul karena hasil dari predisposisi genetik dan gaya hidup (faktor lingkungan) yang mana awalnya terkompensasi oleh peningkatan fungsi sel β mengalami penurunan, dengan tes toleransi glukosa ditemukan gangguan toleransi glukosa. Pada keadaan ini fungsi sel β jelas abnormal tetapi kebutuhan untuk mempertahankan kadar gula darah puasa masih normal. fase subklinis
3)
Hasil dari kemunduran fungsi sel β dan peningkatan resistensi insulin. Kadar gula darah puasa dapat meningkat disebabkan produksi glukosa endogen basal,tetapi pasien masih dalam keadaan asimptomatik. fase subklinis
9
4)
Pada tahap ini terjadi kemunduran fungsi sel β, kadar gula darah puasa dan post prandial jelas meningkat dan biasanya pasien dalam keadaan simptomatis. fase klinis
5)
Mulai pada tahap ini terjadinya terjadinya kelainan /gangguan pada tubuh manusia akibat interaksi antara stimulus penyakit dengan manusia sampai terjadinya : kesembuhan, kematian, kronik dan cacat.
2.5. Pegobatan Diabetes Mellitus a) Terapi Non Farmakologi Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain : menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas resseptor insulin, memperbaiki system koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan : 1) Kadar glukosa darah mendekati normal, Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl Glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl Kadar Hb AlC < 7% 2) Tekanan darah < 130/80 mmHg 3) Profil lipid Kolesterol LDL < 100 mg/dl Kolesterol HDL > 40 mg/dl 15 Trigliserida < 150 mg/dl 4) Berat badan senormal mungkin Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada gaya hidup 10
dan pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas. Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik, dan faktor usia (Soebardi, 2006). b) Terapi Farmakologi Terapi dengan Insulin Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak berbeda dengan pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari monoterapi untuk terapi kombinasi yang digunakan dalam mempertahankan kontrol glikemik. Apabila terapi kombinasi oral gagal dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti menjadi insulin setiap harinya. Meskipun aturan pengobatan insulin pada pasien lanjut usia tidak berbeda dengan pasien dewasa, prevalensi lebih tinggi dari faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipoglikemia yang dapat menjadi masalah bagi penderita diabetes pasien lanjut usia. Alat yang digunakan untuk menentukan dosis insulin yang tepat yaitu dengan menggunakan jarum suntik insulin premixed atau predrawn yang dapat digunakan dalam terapi insulin. 16 Lama kerja insulin beragam antar individu sehingga diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien. Oleh karena itu, jenis insulin dan frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual. Umumnya pasien diabetes melitus memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya, kemudian ditambahkan insulin kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Namun, karena tidak mudah bagi pasien untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang (Anonim, 2000). Obat Antidiabetik Oral 1. Sulfonilurea 2. Golongan Biguanid 3.Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose 4.Thiazolidinediones 11
5.Glinid 2.5.1. Penggunaan Obat Rasional Penggunaan obat dikatakan rasional jika tepat secara medik dan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Masing-masing persyaratan mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, kekeliruan dalam menegakkan diagnosis akan memberi konsekuensi berupa kekeliruan dalam menentukan jenis pengobatan (Anonim, 2006). Dalam konteks biomedis mencakup kriteria berikut : a. Obat yang benar b. Obat yang tepat, mempertimbangkan kemanjuran, keamanan, kecocokan bagi pasien dan harga. c. Indikasi yang tepat, yaitu alasan menulis resep didasarkan pada pertimbangan medis yang tepat. d. Dosis pemberian, dan durasi pengobatan yang tepat. e. Pasien yang tepat, yaitu tidak ada kontraindikasi dan kemungkinan reaksi merugikan adalah minimal. f. Dispensing yang benar, termasuk informasi yang tepat bagi pasien tentang obat yang ditulis. g. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
2.5.2. Efektifitas Obat Agar tercapai pengobatan yang efektif, aman, dan ekonomis maka harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : a. Indikasi tepat b. Penilaian kondisi tepat c. Pemilihan obat tepat d. Dosis dan cara pemberian obat secara tepat e. Informasi untuk pasien secara tepat f. Evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat.
12
2.6. Pencegaha DM Pencegahan penyakit diabetes melitus tipe 2 terutama ditujukan kepada orang-orang yang memiliki risiko untuk menderita DM tipe 2. Tujuannya adalah untuk memperlambat timbulnya DM tipe 2, menjaga fungsi sel penghasil insulin di pankreas, dan mencegah atau memperlambat munculnya gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Faktor risiko DM tipe 2 dibedakan menjadi faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Usaha pencegahan dilakukan dengan mengurangi risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi contohnya ras dan etnik, riwayat anggota keluarga menderita DM, usia >45 tahun, riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi>4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG), dan riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi contohnya berat badan berlebih, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi (> 140/90 mmHg), gangguan profil lipid dalam darah (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL, dan diet tak sehat tinggi gula dan rendah serat. Pencegahan DM juga harus dilakukan oleh pasien-pasien prediabetes yakni mereka yang mengalami intoleransi glukosa (GDPP dan TGT) dan berisiko tinggi mederita DM tipe 2. Pencegahan DM tipe 2 pada orang-orang yang berisiko pada prinsipnya adalah dengan mengubah gaya hidup yang meliputi olah raga, penurunan berat badan, dan pengaturan pola makan. Berdasarkan analisis terhadap sekelompok orang dengan perubahan gaya hidup intensif, pencegahan diabetes paling berhubungan dengan penurunan berat badan. Menurut penelitian, penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2. Dianjurkan pula melakukan pola makan yang sehat, yakni terdiri dari karbohidrat kompleks, mengandung sedikit lemak jenuh dan tinggi serat larut. Asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. Akitivitas fisik harus ditingkatkan dengan berolah raga rutin, minimal 150 menit perminggu, dibagi 3-4 kali seminggu. Olah raga dapat memperbaiki resistensi insulin yang terjadi pada pasien prediabetes, meningkatkan kadar HDL (kolesterol baik), dan membantu mencapai berat badan ideal. Selain olah raga, dianjurkan juga lebih aktif saat beraktivitas sehari-
13
hari, misalnya dengan memilih menggunakan tangga dari pada elevator, berjalan kaki ke pasar daripada menggunakan mobil, dll. Merokok, walaupun tidak secara langsung menimbulkan intoleransi glukosa, dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe 2. Oleh karena itu, pasien juga dianjurkan berhenti merokok.
14
BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Diabetes Mellitus adalah Suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Subekti, et al.., 1999).Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus Menurut ADA 2003 terdriri atas Diabetes Melitus Tipe 1, Diabetes Melitus Tipe 2 dan Diabetes Melitus Tipe Lain. Secara epidemiologi DM seringkali tidak terdeteksi. Berbagai faktor genetik, lingkungan dan cara hidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes. Ada kecenderungan penyakit ini timbul dalam keluarga. Disamping itu juga ditemukan perbedaan kekerapan dan komplikasi diantara ras, negara dan kebudayaan. DM tipe 2 akan meningkat menjadi 5 – 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologis adalah bertambahnya usia, jumlah dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2 (Soegondo, 1999)
15
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.ums.ac.id/14984/2/BAB_I.pdf
http://kesmas-ode.blogspot.com/2012/10/makalah-diabetes-melitus.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/28497/Chapter%20III.pdf?sequence=3&isAllo wed=y
http://www21.ha.org.hk/smartpatient/EM/MediaLibraries/EM/EMMedia/Diabetes-MellitusIndonesian.pdf?ext=.pdf
16