BAB II KAJIAN TEORI
2.1
Retensio Plasenta
2.1.1
Pengertian Retensio Plasenta Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta dengan melebihi waktu setengah jam. Keadaan ini dapat diikuti perdarahan yang banyak, artinya hanya sebagian plasenta yang telah lepas sehingga memerlukan tindakan plasenta manual dengan segera (Manuaba, 2010). Atau keadaan dimana plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir (Prawirohardjo, 2014). Retensio plasenta merupakan kegagalan pelepasan vili kotiledon fectal dari kripta kurunkulae maternal. Sesudah fectus keluar chorda umbilicalis putus, tidak ada darah yang mengalir vilifoetal dan vili tersebut berkerut dan mengendur. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah besar darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkulae maternal mengecil karena suplai darah berkurang dan kripta pada karunkulae berdilatasi. Pada retensio plasenta pemisahan dan vili foetalis dari kripta maternal terganggu dan terjadi pertautan. Pada plasenta yang mudah lepas, proses pelepasan disebabkan oleh autolisa vili chorionic (Kaharu, 2014). Retensio plasenta juga menjadi salah satu faktor terjadinya kasus perdarahan post partum primer sebesar 38,5% berdasarkan penelitian yang
dilakukan di RSUP dr. M. Djamil Padang periode Januari 2016September 2017 (Jurnal Kesehatan Andalas, Edisi 8, 2019).
2.1.2
Jenis-jenis Retensio Plasenta Adapun jenis-jenis retensio plasenta berdasarkan kedalamannya adalah sebagai berikut (Prabowo, 2012):
a. Plasenta Adhesiva: Implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalah mekanisme separasi fisiologis. b. Plasenta Akreta: Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miometrium. c. Plasenta Inkreta: Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus. d. Plasenta Prekreta: Implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa dinding uterus hingga ke peritonium. e. Plasenta Inkarserata: Tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan oleh konstriksi ostium uteri. Adapun jenis retensio plasenta berdasarkan luasnya adalah sebagai berikut: a. Total: seluruh bagian maternal plasenta melekat pada mioetrium. b. Partial: hanya sebagian dari bagian maternal plasenta yang melekat pada miometrium.
2.1.3
Etiologi Retensio Plasenta Etiologi retensio plasenta belum diketahui dengan pasti sebelum tindakan. Beberapa penyebab retensio plasenta adalah: a. Fungsional -
His kurang kuat (penyebab terpenting). Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (ostium uteri) akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
-
Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya (plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta yang sangat kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab ini disebut plasenta adhesiva. Plasenta adhesiva ialah jika terjadi implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
menyebabkan
fisiologis. (Rohani, 2011). b. Patologi anatomi -
Plasenta Adhesiva
-
Plasenta akreta
-
Plasenta inkreta
-
Plasenta perkreta
-
Plasenta inkarserata
kegagalan
mekanisme
perpisahan
2.1.4
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelepasan Plasenta a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomaly dari uterus atau serviks, kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus, kontraksi yang tertarik dari uterus serta pembentukan constriction ring. b. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa, implantasi di cornu dan adanya plasenta akreta. c. Kesalahan memanajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmit, pemberian uterotonik yang tidak waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi yang menahan
plasenta
serta
pembeprian
anastesi
terutama
yang
melemahkan kontraksi (Nugroho, 2010).
2.1.5
Penegakkan Diagnosa Beberapa hal yang harus dilakukan dalam penanganan retensio plasenta yaitu dengan melihat tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fondus korpus apa bila tali pusat di tarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditemukan karena implantasi yang dalam dan upaya ini merupakan hal penting untuk menentukan langkah terbaik selanjutnya untuk klien.
Tabel 2.1 Penegakkan Diagnosa Retensio Plasenta (Saifuddin,2010) DIAGNOSIS PATOLOGI KETERANGAN KLINIK Plasenta adhesive
Tipis sampai hilangnya lapisan jaringan ikat Nitabush, sebagian atau seluruhnya sehingga menyulitkan lepasnya plasenta saat terjadi kontraksi dan retraksi otot uterus.
Plasenta akreta
Hilangnya lapisan jaringan ikat longgar Nitabush sehingga plasenta sebagian atau seluruhnya mencapai lapisan desidua basalis. Dengan demikian agak sulit melepaskan diri saat kontraksi atau retraksi otot uterus. Dapat terjadi tidak diikuti perdarahan karena sulitnya plasenta lepas Plasenta manual sering tidak lengkap sehingga perlu diikuti dengan kuretase.
Plasenta inkreta
Implantasi jonjot plasenta sampai mencapai otot uterus sehingga tidak mungkin lepas sendiri. Perlu dilakukan plasenta manual, tetapi tidak akan lengkap dan harus diikuti kuretase tajam dan dalam maupun Histerektomi
Plasenta perkreta
Jonjot plasenta menembus lapisan otot dan sampai lapisan peritoneum kavum abdominalis. Retensio plasenta tidak diikuti perdarahan. Plasenta manual sangat sukar, bila dipaksa akan terjadi perdarahan dan sulit dihentikan, atau perforasi Tindakan definitive: hanya histerektomi. Plasenta telah lepas dari implantasinya, tetapi tertahan oleh karena kontraksi SBR.
2.1.6
Patofisiologi Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini atau disebut retraksi disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta (Saifuddin, 2009). Peristiwa retraksi menyebabkan pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dicelah-celah serabut otot-otot polos rahim terjepit oleh serabut otot rahim itu sendiri. Bila serabut ketuban belum terlepas, plasenta belum terlepas seluruhnya dan bekuan darah dalam rongga rahim bisa menghalangi proses retraksi yang normal dan menyebabkan banyak darah hilang (Prawirohardjo, 2009).
2.1.7
Tanda Gejala Retensio Plasenta Menurut Prawirohardjo (2010) dan Saifuddin (2010) tanda gejala Retensio plasenta diantarannya : 1. Gejala yang selalu ada : Plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus baik.
2. Gejala yang kadang-kadang timbul : Tali pusat putus akibat traksi yang berlebihan, inversio uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan. 2.1.8
Komplikasi Retensio Plasenta Retensio plasenta bukan hanya menyebabkan sulit lahirnya plasenta pada ibu, tapi juga dapat menyebabkan kondisi lain yang turut memperberat keadaan ibu. Adapaun komplikasinya adalah sebagai berikut (sehatfresh.com. 2017): a. Perdarahan Kondisi ini terjadi saat kontraksi turut memompa darah namun bagian yang melekat menyebabkan luka tidak tertutup, sehingga darah terus keluar. b. Infeksi Sisa plasenta sebagai benda mati yang tertinggal dalam rahim dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri dan bila dibiarkan akan menjadi infeksi pada tubuh. c. Plasenta inkarserata Kondisi ini apabila plasenta melekat terus, sementara kontraksi terus terjadi pada ostium. d. Polip plasenta Kondisi ini muncul sebagai massa proliferative yang menjadi infeksi sekunder dan nekrosis.
e. Degenerasi sel Masuknya mutagen pada daerah perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah menjadi patologik. Kondisi lanjutan dapat menjadi karsinoma invasif, sehingga proses keganasan akan terus berlanjut. Faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang dan multiparitas (Karkata, 2014). Faktor predisposisi lain yang menyebabkan retensio plasenta yaitu usia, jarak persalinan, penolong persalinan, riwayat manual plasenta, anemia, riwayat pembedahan uterus, destruksi endometrium dari infeksi sebelumnya atau bekas endometritis dan implantasi corneal (Manuaba, 2010). Bekas operasi pada uterus pun dapat menyebabkan retensio plasenta. Penipisan dinding rahim umumnya disebabkan oleh suplai darah yang tidak memadai, tingkat estrogen yang rendah ataupun karena adanya kerusakan pada rahim akibat adanya jaringan parut misalnya bekas SC menyebabkan plasenta melekat lebih dalam. (Manuaba, 2010).
2.2
Faktor Risiko Risiko adalah ukuran statistik dari peluang atau kemungkinan untuk terjadinya sesuatu keadaan gawat yang tidak diinginkan dikemudian
hari, misalnya terjadi kematian, kesakitan, atau cacat pada ibu dan bayinya. Faktor risiko memiliki ciri-ciri yang merupakan suatu mata rantai oleh proses terjadinya risiko tertentu, dapat diamati atau dikenal sebelum peristiwa yang diramalkan akan terjadi dan beberapa faktor risiko pada individu yang sama dapat menyebabkan peluang yang lebih besar dan hasilnya dapat lebih buruk (Saifudin, 2009). 2.2.1
Fakto Risiko Retensio Plasenta Adapun faktor-faktor risiko pada retensio plasenta adalah sebagai berikut: a. Umur Besar
kecilnya
resiko
terkena
komplikasi
salah
satunya
dipengaruhi oleh usia, jumlah kehamilan yang mudah dialami (paritas) dan jarak waktu persalinan. Risiko ini dipengaruhi juga dengan kondisi kesehatan ibu, status gizi, fasilitas kesehatan, pada kehamilan kembar, kehamilan dengan ketuban banyak, kehamilan lebih lima kali, persalinan yang sangat cepat atau kekurangan kasium (Intan, 2011). Faktor risiko retensio plasenta yang menyebabkan perdarahan postpartum dan mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia <20 tahun dengan 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan postpartum yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan postpartum meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun (Mochtar, 2010). Kondisi ini diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan di RSUD dr. H. Bob Bazar, S.Km Kalianda yaitu ibu bersalin dengan usia >35 tahun sebanyak 39,5% yang mengalami retensio plasenta dari 38 ibu bersalin (Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai. Riyanto, 2015) atau juga dapat berbanding terbalik dengan penelitian di RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu pasien HPP lebih banyak ditemukan pada usia 21-34 tahun sebanyak 27 orang (69,2%) dengan masalah retensio plasenta sebanyak 38,5%, kelainan darah 5,1%, dan sisanya karena laserasi jalan lahir, inversio uteri, dan atonia uteri. Meski diluar teori, namun hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti seperti partus lama, makrosomia, dan kehamilan multipel (Malau, S. 2017).
b. Paritas Paritas menunjukan jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai batas viabilitas (mampu hidup) dan telah dilahirkan, tanpa mengingat jumlah anaknya. Kehamilan kembar tiga hanya dihitung satu paritas (Dr. M. Hakimi, Ph. D. 2011). Ibu dengan paritas tinggi akan mempengaruhi keadaan uterus ibu, karena semakin sering ibu melahirkan maka kinerja uterus semakin tidak efisien dalam semua kala persalinan sehingga akan timbul kegagalan kompresi pada tempat implantasi plasenta dan berakibat menyebabkan perdarahan postpartum primer (Chunningham FG, dkk. 2012. Hal: 795-838)
Paritas 2–3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahaan pasca persalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas lebih dari tiga mempunyai angka kejadian perdarahaan pasca persalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (Paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyabab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani kompikasi yang terjadi selama kehamilan persalinan dan nifas. Sementara terkait antenatal care, dihubungkan dengan kesiapan mental dan fisik ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas(Intan, 2011). c. Jarak Kehamilan Jarak kehamilan yang terlalu dekat dengan kehamilan sebelumnya memiliki banyak risiko yang menimpa baik ibu ataupun janin. Rahim yang masih belum pulih akibat persalinan sebelumnya belum bisa memaksimalkan pembentukkan cadangan makanan bagi janin dan ibu sendiri, hal ini juga meningkatkan anemia akut. Pada penelitian yang dilakukan di RS Islam Siti Khadijah Palembang menemukan jarak kehamilan risiko tinggi sebanyak 27 responden (34,2%) lebih sedikit dari d. Anemia Ibu dengan anemia dapat menyebabkan gangguan pada kala uri yang
diikuti
retensio
plasenta
dan
perdarahan
postpartum
(Wiknjosastro, 2007). Ibu yang memasuki persalinan dengan kadar haemoglobin rendah (dibawah 10 g/dl) dapat mengalami penurunan
yang lebih cepat bila terjadi perdarahan, sebagiamanapun kecilnya. Anemia berkaitan dengan debilitas yang merupakan penyebab lebih langsung terjadinya retensio plasenta (Fraser and Coper, 2009).
e. Riwayat Kuretase Dalam penelitian yang dilakukan di RSIA Husada Bunda Salo tahun 2014 menunjukan dari 35 ibu yang mengalami retensio plasenta dalam persalinannya didapatkan 24 diantaranya memiliki riwayat kuretase (Novridiati Azmalina, 2014). f. DFD -
Pendidikan Pendidikan
merupakan
salah
satu
faktor
internal
yang
mempengaruhi seseorang dalam pola hidupnya terutama dalam memotifitasi untuk berperan dalam pembanguan kesehatan. makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menafsirkan informasi sehingga menciptakan suatu hal yang baik atau sebaliknya, pendidikan yang kurang akan menghambat penafsiran seseorang terhadap obyek-obyek baru yang diperkenalkan (Blogerku, 2013). Pendidikan
adalah
proses
belajar
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan kematangan intelektual seorang ibu. Tingkat pendidikan yang rendah sangat rentan dengan timbulnya komplikasi pada saat persalinan. Hal ini disebabkan ketidaktahuan ibu untuk melahirkan pada petugas kesehatan dan hanya
mengandalkan jasa dukun dengan cara tradisiaonal. Pendidikan adalah proses belajar yang bertujuan meningkatkan suatu daya intelektual yang kehamilan dapat memicu terjadinya pendarahan post partum seperti retensio plasenta (Blogerku, 2013). -
Sosial Ekonomi Faktor ekonomi merupakan dasar yang paling banyak di kemukakan oleh ibu jika terjadi suatu keadaan yang tidak diinginkan pada periode kehamilan, persalinan dan nifas. Keadaan pendapatan yang tidak memadai menjadikan ibu enggan untuk memeriksakan kehamilannya pada petugas kesehatan. Hal ini menyebabkan ibu tidak memperoleh pelayanan obstetrik yang memedai
dan
hanya
mengandalkan
jasa
dukun
untuk
memeriksakan kehamilannya dan pertolongan persalinannya. g. Penolong Persalinan Dalam pemilihan tenaga penolong persalinan, keberadaan dukun bayi sebagai tenaga penolong persalinan tidak dapat dinafikkan. Pencapaian pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di wilayah kerja Puskesmas masih jauh dari target nasional yang di harapkan pada tahun 2000 dimana cakupan peneolong persalinan oleh nakes seharusnya mencapai 80 %. Menurut Makoto (2007) dalam kebijakan Ibu dan Anak di Indonesia menjelaskan bahwa tempat kelahiran sebagian besar dirumah jauh lebih tinggi dari pada kelahiran di fasilitas kesehatan. Pada setiap Dinas Kesehatan, pertolongan saat melahirkan dilakukan
oleh petugas kesehatan dan dukun terlatih yang dilaporkan untuk menentukan pencapaian setiap tahun. Angka tersebut tidaklah mampu menggambarkan kondisi yang sebenarnya dalam arti, proses dari mulai rasa sakit persalinan dan pemotongan tali pusat. Jika tenaga kesehatan bersama-sama dengan dukun terlibat dalam proses tersebut maka diklasifikasikan sebagai pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa pengklasifikasian dukun hanya terjadi jika dukun tersebut melakukan seluruh proses sendirian (Saifudin, 2009).