15420_makalah Epm K.13.docx

  • Uploaded by: Toy Toyyibah
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 15420_makalah Epm K.13.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,594
  • Pages: 32
MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR PD3I (Campak, Difteri, dan Polio) Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular Dosen Pengampu: dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D

Disusun Oleh Sabrina Rahmadina

11171010000007

Asri Ramadhani

11171010000010

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur atas kehadirat AllahSWT, yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun serta menyelesaikan makalah ini dengan judul “PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)” semaksimal mungkin. Salawat serta salam tidak lupa kami curahkan kepada bagindabesarNabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari jaman kejahiliahan menuju jaman terang benderang melalui agama islam. Makalah ini telah kami susun dengan bantuan dari berbagai pihak dan sumber, sehingga memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak dan sumber yang telah membantu berkontribusi dalam pembuatan makalah ini utamanya kepada dr. Toni Wandra, M.Kes, Ph.D selaku dosen pengampu mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang telah membimbing kami sebaik mungkin. Kami menyadari bahwa pasti akan selalu ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini baik dari segi susunan kalimat ataupun bahasa yang kami pergunakan. Oleh karena itu, kami memohon maaf sebesar besarnya. Kami berharap semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi mahasiswa Kesehatan

Masyarakat.

Akhir

kata

kami

seluruh

anggota

kelompok

tigabelasmengucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Tangerang, Desember 2018

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................ii DAFTAR ISI ......................................................................................................iii BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................1 A. Latar Belakang ........................................................................................1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................2 C. Tujuan Penulisan .....................................................................................2 D. Manfaat Penulisan ...................................................................................3 BAB II: GAMBARAN KLINIS .......................................................................4 A. Definisi dan Etiologi Penyakit ................................................................4 B. Rantai Penularan .....................................................................................5 C. Gambaran Klinis .....................................................................................7 D. Pemeriksaan Laboratorium .....................................................................9 E. Diagnosis .................................................................................................10 F. Penanganan .............................................................................................11 G. Pencegahan ..............................................................................................12 BAB III: EPIDEMIOLOGI .............................................................................14 A. Frekuensi Masalah ..................................................................................14 B. Distribusi Masalah ..................................................................................24 BAB IV: PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ...............26 BAB V: PENUTUP ...........................................................................................28 A. Simpulan .................................................................................................28 B. Saran ........................................................................................................28 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................29

iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit yang disebabkan oleh infeksi masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama kematian anak. Penyakit infeksi yang cukup tinggi memerlukan upaya pencegahan, salah satunya adalah imunisasi. “Termasuk penyakit yang dapat dicegah dengan melakukan imunisasi, atau biasa disebut dengan PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi), penyakit-penyakit tersebut adalah Campak, Difteri, Polio, Tuberculosis, Hepatitis B, Pertusis, dan Tetanus”. Walaupun PD3I sudah dapat ditekan, cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata. Kegagalan untuk menjaga tingkat perlindungan yang tinggi dan merata dapat menimbulkan letusan (KLB) PD3I. Untuk itu, upaya imunisasi perlu disertai dengan upaya surveilans epidemiologi agar setiap peningkatan kasus penyakit atau terjadinya KLB dapat terdeteksi dan segera diatasi. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1059/MENKES/SK/IX/2004kewenangan surveilans epidemiologi, termasuk penanggulangan KLB merupakan kewenangan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Selama beberapa tahun terakhir ini, kekawatiran akan kembalinya beberapa penyakit menular dan timbulnya penyakit-penyakit menular baru kian meningkat. Oleh karena itu imunisasi perlu terus ditingkatkan untuk mencapai tingkat population imunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi sehingga dapat memutuskan rantai penularan PD3I. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, upaya imunisasi dapat semakin efektif dan efisien dengan harapan dapat memberikan sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan anak, ibu serta masyarakat lainnya.

1

B. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa definisi dan bagaimana etiologi dari penyakit PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)? 2. Bagaimana rantai penularan dari PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)? 3. Seperti apa gambaran klinis PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)? 4. Bagaimana pemeriksaan laboratorium untuk PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)? 5. Bagaimana diagnosis PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)? 6. Bagaimana upaya penanganan serta pencegahan PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)? 7. Bagimana freakuensi epidemiologi secara global, regional asia, nasional, provinsi, dan kota dari PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)? 8. Seperti apa distribusi masalah epidemiologi PD3I (Campak, Difteri, dan Polio) menurut orang, tempat dan waktu? 9. Seperti apa upaya atau program pemerintah dalam pengendalian serta pencegahan dari PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)?

C. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulisan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahu definisi sertaetiologi PD3I (Campak, Difteri, dan Polio). 2. Mengetahui rantai penularan PD3I (Campak, Difteri, dan Polio). 3. Mengetahui gejala klinis, diagnosis, serta pemeriksaan laboratorium PD3I (Campak, Difteri, dan Polio). 4. Untuk mengetahui upaya penanganan dan pencegahan PD3I (Campak, Difteri, dan Polio). 5. Untuk mengetahui frekuensi masalah PD3I (Campak, Difteri, dan Polio) di wilayah global, asiapasifik, nasional, provinsi banten serta kota tanggerang selatan. 6. Mengetahui distribusi menurut orang, tempat dan waktu PD3I (Campak, Difteri, dan Polio).

2

7. Mengetahui hubungan atau keterkaitan PD3I (Campak, Difteri, dan Polio) dengan determinan teori menurut H.L Blum. 8. Serta mengetahui apa upaya pemerintah dalam pengendalian serta pencegahan penyakit PD3I (Campak, Difteri, dan Polio).

D. Manfaat Penulisan Adapun manfaat penulisan yang diharapkan penulis sebagai berikut : 1. Untuk memberitahukan kepada pembaca tentangapa itu PD3I (Campak, Difteri, dan Polio), bagaimana rantai penulran, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan laboratorium untuk penyakit, serta upaya penanganan dan pencegahan penyakit. 2. Kemudian, untuk memberitahulan kepada pembaca bagaimana frekuensi PD3I (Campak, Difteri, dan Polio)di global, regional dannasional. Memberitahu distribusi PD3I (Campak, Difteri, dan Polio), serta upaya pemerintah dalam mengendalikan serta mencegah terjadinya penyakit, sehingga masyarakat dapat mengerti dan dapat terhindar dari terpajannya PD3I (Campak, Difteri, dan Polio).

3

BAB II GAMBARAN KLINIS A. Definisi dan Etiologi 1. Campak Campak atau Morbili adalah penyakit infeksi virus akut yang ditularkan dari orang ke orang melelui droplet pernapasan besar tetapi juga dapat menyebar melalui rute udara disebabkan oleh genus morbillivirus dari keluarga Paramyxoviridae. Penyakit campak merupakan penyebab utama kematian pada anak diantara penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD31), karena penyakit ini dapat disertai komplikasi serius (Kemenkes RI, 2013). Program imunisasi merupakan salah satu program yang berupaya untuk pemberantasan oenyakit yaitu dengan cara memberikan kekebalan, sehingga diharapkan dapat melindungi penduduk terhadap penyakit tertentu. Etiologi penyakit ini yaitu Campak disebabkan oleh paramyxovirus, virus dengan rantai tunggal RNA yang memiliki satu tipe antigen. Manusia merupakan satu-satunya pejamu alami bagi penyakit ini. Virus campak mengenai traktus respiratorius atas dan kelenjar limfe regional dan menyebar secara sistemik selama viremia yang berlangsung singkat dengan titer virus yang rendah. 2. Difteri Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang - kadang konjungtiva atau vagina (WHO, 2006). Etiologi penyakit difteri adalah

infeksi

bakteri

gram

positif, Corynobacterium

diphtheria. C.

diphtheria adalah bakteri basilus, nonmotil, tidak berspora dan tidak berkapsul. Terdapat strain yang patogenik dan tidak patogenik. Kuman difteri dapat menular melalui droplet respiratorik seperti dari batuk atau bersin atau kontak langsung dengan sekret respiratorik, dari lesi kulit yang terinfeksi, dan dari barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri difteri. C. diphtheria bukan kuman yang sangat invasif dan biasanya hanya menempati lapisan superfisial mukosa

4

respiratorik dan lesi kulit, dan dapat menyebabkan reaksi inflamasi ringan di jaringan lokal. Penyakit difteri disebabkan terutama oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh C. diphtheria. Toksin hanya diproduksi jika bakteri C. diphtheria diinfeksi oleh virus spesifik (bakteriofag) yang membawa informasi genetik toksin. Terdapat empat strain C. diphtheria, yaitu gravis, intermedius, mitis, dan belfanti. Semua strain ini dapat memproduksi toksin dan menyebabkan penyakit difteri berat. Selain C. diphtheria, spesies C. ulcerans juga dapat menyebabkan penyakit difteri, terutama difteri pada kulit. C. ulcerans dapat tersebar melalui transmisi zoonotik ke manusia dan banyak ditemukan pada komunitas yang banyak berhubungan dengan peternakan. 3. Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan Poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis ) (Zulkifli, 2007). Virus polio termasuk famili Picornavirus dan genus Enterovirus merupakan virus kecil dengan diameter 20-32 nm, berbentuk sferis dengan ukuran utamanya RNA yang terdiri dari 7.433 nukleotida, tahan pada pH 3-10, sehingga dapat tahan terhadap asam lambung dan empedu. Virus tidak rusak beberapa hari dalam tempratur 2°-8°C, tahan terhadap gliserol, eter, dan fenol l%, tetapi mati pada suhu 50°-55°C selama 30 menit, bahan oksidatcr, formalin, kiorin dan sinar ultraviolet. Secara serologi maka virus polio dibagi 3 tipe yaitu: 1.

Tipe I Brunhilde,

2.

Tipe II Lansing, dan

3.

Tipe III Leon.

Tipe I yang sering menimbulkan epidemi yang luas dan ganas, tipe ll kadangkadang menyebabkan kasus yang sporadik dan tipe III menyebabkan epidemi

5

ringan. Di Negara tropis dan subtropis kebanyakan disebabkan olch tipe II dan III dan virus ini tidak menimbulkan imunitas silang (Zulkifli, 2007).

B. Rantai Penularan 1. Campak Virus Campak ditularkan dari orang ke orang, manusia merupakan satusatunya reservoir penyakit Campak . Virus Campak berada disekret nasoparing dan di dalam darah minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang singkat setelah timbulnya ruam. Penularan terjadi melalui udara, kontak langsung dengan sekresi hidung atau tenggorokan dan jarang terjadi oleh kontak dengan benda benda ya ng terkontaminasi dengan sekresi hidung dan tenggorokan. Penularan dapat terjadi antara 1– 2 hari sebelumnya timbulnya gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Penularan virus Campak sangat efektif sehingga dengan virus yang sedikit sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. 2. Difteri Rantai penularan Difteri merupakan penyakit yang sangat cepat menular, penularannya dapat melalui udara dan kontak langsung dengan penderita. Selain penularan yang cepat, masa inkubasi penyakit ini pun terbilang singkat, hanya 2 hingga 5 hari saja. Dan infeksinya bisa berkembang jadi lebih berat, karena eksotoksin yang dihasilkan bakteri difteri dapat menyebabkan gangguan pada beberapa organ dalam seperti jantung dan sistem saraf yang dapat menyebabkan komplikasi. Beberapa pasien yang terinfeksi biasanya juga mengalami masalah pada kulit. 3. Polio Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari oro-faring (mulut dan tenggorok) atau dari tinja penderita yang infeksius. Penularan terutama terjadi penularan langsung dari manusia ke manusia melalui fekal-oral (dari tinja ke mulut) atau yang agak jarang lainnya melalui oral-oral (dari mulut ke mulut). Fekal-oral artinya minuman atau makanan yang tercemar virus polio yang berasal dari tinja

6

penderita masuk ke mulut manusia sehat lainnya. Sedangkan dari oral-oral adalah penyebaran dari air liur penderita yang masuk ke mulut manusia sehat lainnya (Zulkifli, 2007). Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, narnun peka terhadap formaldehide dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada keadaan beku dapat bertahun-tahun. Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilo-kilometer dari sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang infeksius, namun virus ini hidup di lingkungan terbatas. Salah satu inang atau makhluk hidup perantara yang dapat dibuktikan sampai kini adalah manusia (Zulkifli, 2007). C. Gambaran Klinis 1. Campak Penampilan klinis campak dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : 1. Fase pertama disebut masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari,pada tahap ini anak yang sakit belum memperhatikan gejala dan tanda sakit. 2. Pada fase kedua (fase prodormal) mulai muncul gejala yang mirip penyakit flu, seperti batuk, pilek, dan demam tinggi dapat mencapai 380400 C, mata berair, mulut muncul bintik putih (bercak Koplik) dan kadang disertai mencret. 3. Fase ketiga ditandai dengan keluarnya bercak merah seiring dengan demam tinggi yang terjadi. Namun bercak tidak langsung muncul diseluruh tubuh, melainkan bertahap dan menyebar hampir diseluruh baguan tubuh. Berawal dari belakang telinga, leher, dada, muka, tangan dan kemudian kaki. Warnanya pun khas, yaitu merah dengan ukuran yang tidak terlalu kecil. Biasanya bercak memenuhi seluruh tubuh dalam waktu sekitar satu minggu dan jika bercak merahnya sudak keluar, maka demam akan turun dengan sendirinya.

7

2. Difteri Pada difteri, terjadi infeksi dan peradangan pada selaput hidung dan tenggorokan yang menimbulkan gejala nyeri tenggorokan, serak, demam, hidung berair, serta pembengkakan kelenjar getah bening di leher. Tanda klinis yang khas pada penyakit ini adalah adanya lapisan tebal keabuan yang meliputi dinding belakang tenggorokan. Lapisan ini dapat menghalangi jalan napas sehingga penderita mengalami kesulitan bernapas; penderita merasa sesaknapas atau bernapas cepat. Gejala – gejala ini timbul 2 – 5 hari setelah terinfeksi bakteri. Pada orang tertentu, infeksi difteri hanya menimbulkan gejala ringan atau tidak menimbulkan gejala (karier difteri). Karier difteri ini dapat menularkan penyakit meskipun tidak merasa sakit. Difteri juga dapat menyebabkan infeksi pada kulit (difteri kutan) yang menimbulkan gejala luka yang diselimuti membran keabuan, disertai kemerahan dan nyeri. Bakteri ini dapat menghasilkan racun (toksin) yang menyebar dalam aliran darah ke organ lain sehingga jika tidak diobati, difteri dapat menyebabkan kerusakan otot jantung dan sel saraf. Kematian akibat difteri umumnya disebabkan sumbatan jalan napas karena lapisan tebal di tenggorokan atau karena kerusakan sel saraf yang mengatur pernapasan. 3. Polio Tanda klinik penyakit polio pada manusia sangat jelas sehingga penyakit ini telah dikenal sejak 4.000 sebelum Masehi dari pahatan dan lukisan dinding di piramida mesir. Sebagian terbesar 90% infeksi virus polio akan menyebabkan inapparent infection, sedangkan 5% akan menampilkan gejala abortive infection, I% non-paralytic, sedangkan sisanya menunjukkan tanda klinik paralitik. Masa inkubasi biasanya berkisar 3-35 hari. Penderita sebelum masa ditemukannya vaksin, terutama berusia di bawah 5 tahun. Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin, penderita bergeser usianya pada kelompok anak berusia diatas 5 tahun. Pada stadium akut (sejak adanya gejara kliinis hingga 2 minggu) ditandai dengan suhu tubuh yang meningkat, jarang lebih dari l0 hari, kadang disertai sakit kepala dan muntah. Pada stadium sub-akut (2 minggu s/d 2 bulan) ditandai

8

dengan menghilangnya demam dalam waktu 24 jamatau kadang suhu tidak terlalu tinggi. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan anggota gerak i'ang layuh dan biasanya padasalah satu sisi. Kemudian stadium Konvalescent (2 bulan s/d 2 tahun) ditandai dengan pulihnya kekuatan otot yang lemah. sekitar 50%-70% dari fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Selanjutnya, sesudah usia 2 tahun diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan kekuatan otot dan stadium kronik atau lebih 2 tahun dari gejala awal penyakit biasanya menunjukkan kekuatan otot yang mencapai tingkat menetap dan kelumpuhan otot yang ada bersifat perrmanen. D. Pemeriksaan Laboratorium 1. Campak Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik terhadap campak dan tidak membantu dalam diagnosis. Kultur virus campak belum tersedia secara umum. Konfirmasi diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya sel raksasa multinuklear pada sediaan apus mukosa nasal dan adanya peningkatan serum antibodi akut dan kovalesen. 2. Difteri Hasil anamnesis gejala difteri bersifat umum dan tidak spesifik, menyerupai infeksi saluran pernapasan atas, namun terdapat tanda-tanda khas pada pemeriksaan fisik yang bisa membantu diagnosis seperti penampakan bull’s neck dan membran pada tonsil. Diagnosis tersebut dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang mikroskopis gram dan kultur bakteri. 3. Polio Dari gejala klinis dan kelainan fisik yang ditemukan, sudah dapat diduga penyakitnya poliomyelitis. Namun, diperlukan pula pemeriksaan laboratorium darah serta pemeriksaan cairan otak (cerebro spinal fluid) yang diambil dari tulang belakang pasien untuk melihat jenis dan jumlah selnya. Pemeriksaan serologis darah kadang diperlukan untuk menentukan serotype virus.

9

E. Diagnosis 1. Campak Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnese, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. 1. Kasus Campak Klinis

Kasus Campak klinis adalah kasus dengan gejala bercak kemerahan di tubuh berbentuk macula popular selama tiga hari atau lebih disertai panas badan 38ºC atau lebih (terasa panas) dan disertai salah satu gejala bentuk pilek atau mata merah (WHO). 2. Kasus Campak Konfirmasi Kasus Campak konfirmasi adalah kasus

Campak klinis disertai salah satu kriteria yaitu : a. Pemeriksaaan laboratorium serologis (IgM positif atau kenaikan titer antiantibodi 4 kali) dan atau isolasi virus Campak positif. b. Kasus Campak yg mempunyai kontak langsung dengan kasus konfirmasi, dalam periode waktu 1 – 2 minggu.

2. Difteri Pada penyakit difteri, diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberian

antitoksin

sangat

mempengaruhi

prognosa.

Diagnosa

harus

ditegakakkan berdasarkan gejala klinik. Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri meliputi:  Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Coryne bacterium diphtheriae.  Electro cardiogram (ECG) untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung).  Pengambilan smear darimembrandanbahandibawahmembrane.  Pemeriksaandarahdan urine.  PemeriksaanShick test bisadilakukanuntukmenentukan status imunitas penderita.

10

3. Polio Diagnosa ditegakkan atas dasar gambaran klinis, keadaan epidemiologis, pemeriksaan cairan cerebropinalis, isolasi virus, dan meningkatnya titer antibodi dalam darah. Untuk memastikan diagnosa diperlukan pemeriksaan virology guna mengidentifikasi virusnya. F. Penanganan 1. Campak Tidak ada obat yang spesifik untuk mengobati penyakit campak. Obat yang diberikan hanya untuk mengurangi keluhan pasien (demam, batuk, diare, kejang). Pada hakikatnya penyakit campak akan sembuh dengan sendirinya. Vitamin A dengan dosis tertentu sesuai dengan usia anak dapat diberikan untuk meringankan perjalanan penyakit campak (agar tidak terlalu parah). Jika anak menderita radang paru dan otak sebagai komplikasi dari campak, maka anak harus segera dirawat di rumah sakit. 2. Difteri Pengobatan penderita difteri terutama adalah menjaga keutuhan jalan napas, seperti pemasangan jalan napas buatan (intubasi) dan pemberian antibiotik yang sesuai (penisilin atau ritromisin). Pemberian antibiotik dapat mengurangi kemungkinan penularan. Selain itu, toksin dinetralisasi dengan pemberian antitoksin difteri sesegera mungkin setelah penderita dicurigai mengalami difteri. Penderita difteri sebaiknya dirawat inap di rumah sakit dan diisolasi agar tidak menjadi sumber penularan. 3. Polio Belum ada pengobatan antivirus yang spesifik untuk penyakit polio sampai saat ini. Pleconalir, satu antivirus yang aktif secara invitro terhadap picornavirus telah dicoba di beberapa pusat penelitian di dunia. Untuk mengurangi jumlah virus serta meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dapat diberikan zat imunoglobuline.

11

G. Pencegahan 1. Campak 1. Pencegahan Penularan Pencegahan dapat dilakukan dengan melalui tindakan Health Promotion, baik pada hospes maupun lingkungan dan perlindungan khusus terhadap penularan. a. Health Promotion terhadap host. b. Pencegahan virus campak menular melalui percikan air ludah penderita campak c. Mengisolasi setelah muncul rash pada 4 hari kontak agar mencegah penularan. 2. Pencegahan Penyakit Pencegahan penyakit campak dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut: a. Bila terjadi kontak dengan penderita campak dibawah 3 hariLangsung memberikan imunisasi campak dapat memberikan kekebalan apabila belum timbul gejala penyakit. b. Bila terjadi kontak dengan penderita campak setelah 3-6 hariMemberikan imuno globulin 0,25ml/kgBB.Pada individu immuno compromized yang diberikan adalah imuno globulin 0,5ml/kg BB dengan dosis maksimal 15 ml atau IGIV 400mg/kg BB. 2. Difteri Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin. Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DTP. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau batuk rejan. Vaksin DTP termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah tahun, dan lima tahun. Selanjutnya dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td) pada usia 10 tahun dan 18 tahun. Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk memberikan perlindungan yang optimal. 3. Polio

12

Langkah pencegahan melalui vaksinasi masih sangat penting dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit polio seumur hidup, terutama pada anak-anak. Anak-anak harus diberikan empat dosis vaksin polio tidak aktif, yaitu pada saat mereka berusia 2 bulan, 4 bulan, antara 6 – 18 bulan, dan yang terakhir adalah pada usia antara 4 - 6 tahun. Kemudian orang dewasa yang harus mendapatkan serangkaian vaksin polio adalah mereka yang belum pernah divaksinasi atau status vaksinasinya tidak jelas. Dosis vaksinasi polio pada orang dewasa adalah dua dosis pertama dengan jarak waktu antara 4-8 bulan, dan dosis ketiga antara 6-12 bulan setelah pemberian dosis kedua. Selain itu, vaksinasi pada orang dewasa juga dapat dilakukan jika akan berpergian ke negara dengan kasus polio aktif atau berinteraksi dengan penderita polio.

13

BAB III EPIDEMIOLOGI A. Frekuensi Masalah 1. Global 1) Campak Peningkatan jumlah kasus campak di dunia terjadi setiap tahunnya mencapai lebih dari 20 juta orang. Kematian akibat campak juga demikian, mengalami peningkatan sebesar 75 persen dari tahun 2000 jumlah kematian sebanyak 544.000 menjadi 146.000 pada tahun 2013. Sebagian besar kematian terjadi pada anak balita (WHO, 2013). Negara di Asia Tenggara merupakan penyumbang kematian setengah dari total jumlah kematian seluruhnya (SEARO, 2013). Jumlah kasus campak di 33 negara Eropa pada 18 April hingga 21 April 2011 telah dilaporkan terdapat lebih dari 6500 kasus. Begitu pula kejadian luar biasa (KLB) diketahui terjadi di wilayah Sevilla yang tercatat 350 kasus sejak Januari 2011 kemudian di Granada juga terjadi KLB dengan jumlah 250 kasus yang dilaporkan sejak Oktober 2010 (Global Alert and Response WHO, 2011). 2) Difteri

Sumber: Clarke, Kristie., (2016)

14

Sejak penerapan Expanded Programme on Immunization (EPI) dimulai tahun 1977, insidensi difteri di seluruh dunia menurun drastis. Kasus difteri yang tercatat berkurang dari hampir 10.000 kasus per tahun pada periode 2000-2004 menjadi 5288 kasus setiap tahunnya pada periode 2005-2009. Namun, sejak tahun 2009, kasus difteri per tahunnya relatif stagnan.

Sumber: Clarke, Kristie., (2016) Sementara itu, kasus difteri di Eropa dan Afrika mengalami penurunan. Walau demikian, Rusia dan Ukraina memiliki tingkat kejadian difteri yang tinggi akibat kejadian luar biasa yang terjadi di negara tersebut pada tahun 1990an.

15

Sumber: Clarke, Kristie., (2016) Sejak tahun 2000, India menempati peringkat pertama jumlah kasus difteri terbanyak diikuti oleh Indonesia dan Nepal. Selain itu, Nigeria pernah tercatat memiliki kasus difteri cukup banyak pada periode 2000-2004, tetapi surveilans dan pelaporan yang tidak baik di periode berikutnya membuat kasus difteri di Nigeria tidak menonjol. 3) Polio Pada bulan April 1955 telah di-umumkan keberhasilan uji klinik vaksin polio pertama yang belum lama ditemukan dan dipergunakan untuk mengatasi dan mencegah kelumpuhan (bahkan kematian) akibat penyakit polio. Pada tahun 1979, sebuah penyakit poliomyelitis yang selama 27 tahun telah membuat cacat dan melumpuhkan 21,269 anak dinyatakan di-eliminasi atau disingkirkan dari negara Amerika Serikat. Kasus terakhir yang disebabkan oleh virus polio liar di Amerika adalah 12 tahun kemudian setelah Amerika dinyatakan bebas polio. Dalam waktu beberapa dekade berikutnya polio vaksin telah mencapai sukses demi sukses untuk mengenyahkan penyakit polio dari benua Eropa, negara China dan beberapa

16

bagian lagi dari dunia. Tahun 2000 ditargetkan oleh WHO atau Badan Kesehatan Dunia, sebagai tahun dimana penyakit polio telah dienyahkan dari seluruh dunia (Polio End Game). Namun pada tahun 2002, terjadi kasus penolakan imunisasi polio di beberapa bagian dari India, yang menyebabkan terjadinya kembali KLB polio disana. Juga penolakan vaksinasi karena alasan agama dan budaya telah menyebabkan terjadinya gangguan terhadap kampanye bebas penyakit polio didunia. World Health Organization (WHO) 27 tahun yang lalu telah mencapai keberhasilan luar biasa dalam mengurangi jumlah polio di negara-negara endemik, dari 125 negara di penjuru dunia hanya ada 3 negara termasuk Pakistan, Afghanistan, dan Nigeria, dimana Wild Polio Virus (WPV) transmisinya belum terputus walaupun angka kasus terjadinya polio telah turun dibawah angka 99% dibandingkan dengan 350.000 kasus baru per tahun kemudian. 2. Regional 1) Campak Pada tahun 2010, Sidang Kesehatan Dunia berkomitmen untuk mengurangi penyakit campak kematian oleh 95% dari 2000 tingkatan pada tahun 2015. Pada tahun 2010, diperkirakan penyakit campak kematian global menurun 74% dari 535.300 kematian di tahun 2000 untuk 139.300 di tahun 2010. Wilayah yang menyumbang sebagian besar perkiraan angka kematian campak, yaitu Asia Tenggara (India) sebesar 47% dan wilayah Afrika sebesar 36% pada tahun 2010.

17

2) Polio

Sejak tahun 2001 kasus polio tidak ditemukan di negara-negara di ASEAN, Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Singapura dan Vietnam merupakan negara yang sudah bebas polio di kawasan ASEAN. Pada tahun 2004 virus polio liar kembali menyerang penduduk di kawasan ASEAN, yaitu di Laos. Pada tahun 2005 jumlah kasus polio mencapai puncaknya, sebanyak 350 penduduk dari 2 negara di ASEAN yaitu Kamboja dan Indonesia terserang penyakit polio, 349 di antaranya terjadi di Indonesia. Tahun 2006 penularan penyakit polio mulai dapat dikendalikan, sehingga hanya ditemukan 4 penderita di kawasan ini, 2 penderita berasal dari Indonesia dan masing-masing 1 penderita berasal dari Kamboja dan Myanmar. Pada tahun 2007, di antara negara-negara anggota ASEAN, hanya Myanmar yang masih ditemukan kasus polio bahkan jumlahnya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya ditemukan 1 kasus menjadi 15 kasus.

18

3. Nasional 1) Campak

Menurut kelompok umur, proporsi kasus campak terbesar terdapat pada kelompok umur 5-9 tahun dan kelompok umur 1-4 tahun dengan proporsi masingmasing sebesar 32,2% dan 25,4%. Namun jika dihitung rata-rata umur tunggal, kasus campak pada bayi <1 tahun merupakan kasus yang tertinggi, yaitu sebanyak 778 kasus (9,5%). Dari 8.185 kasus campak pada tahun 2015, sebanyak 54% di antaranya tidak mendapatkan vaksinasi campak. 2) Difteri

19

Difteri kembali mewabah di Indonesia. Kementerian Kesehatan bahkan sudah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) karena penyakit mematikan yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae ini telah memakan puluhan korban jiwa setidaknya di 20 provinsi. Data Kementerian Kesehatan menujukkan sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 diantaranya meninggal dunia. Sementara pada kurun waktu Oktober hingga November 2017, ada 11 Provinsi yang melaporkan terjadinya KLB difteri, antara lain di Sumatra Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. 3) Polio Indonesia, bersama dengan negara-negara di Regional Asia Tenggara telah mendapatkan Sertifikat Bebas Polio dari World Health Organization (WHO) pada tanggal 27 Maret 2014. Namun, meskipun telah dinyatakan bebas polio, risiko penyebaran polio di Indonesia tetap tinggi selama virus polio liar masih bersirkulasi di dunia dan faktor risiko untuk terjadi penularan masih tetap ada oleh karena kekebalan masyarakat yang belum optimal yang disebabkan karena masih terdapatnya daerah-daerah kantong dengan cakupan imunisasi polio rutin yang rendah selama beberapa tahun. Penularan virus polio yang berasal dari luar negeri (importasi) pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2005, padahal sebelumnya sudah 10 tahun Indonesia tidak memiliki kasus polio. Kejadian tersebut dimulai dari kasus di Sukabumi pada Januari 2005, dan kemudian menyebar ke provinsi lain di pulau Jawa dan Sumatera, dengan total kasus 305 anak. Virus polio import tersebut diduga berasal dari Nigeria yang menyebar melalui Timur Tengah. Penularan tersebut terjadi terutama pada anak-anak yang rentan terhadap penyakit polio oleh karena belum mendapat imunisasi polio sama sekali atau imunisasi polio yang diperoleh belum lengkap. Berdasarkan keadaan ini, maka Indonesia harus melakukan pemberian imunisasi tambahan polio untuk mendapatkan kekebalan masyarakat yang tinggi sehingga akan dapat mempertahankan status bebas polio

20

yang telah diperoleh dan juga sebagai upaya untuk mewujudkan Dunia Bebas Polio.

Cakupan PIN (Pekan Imunisasi Nasional) polio pada balita yang dilaksanakan pemerintah pada tahun 2016 mencapai 96,5% atau sebanyak 22.883.910, yang berarti berhasil mencapai target yang sebesar 95%. Walaupun secara nasional telah mencapai target, namun masih terdapat dua provinsi yang cakupannya dibawah 80% yaitu di Nusa Tenggara Timur dan Papua.

21

4. Provinsi Banten 1) Campak

Wilayah di provinsi Banten terdapat kasus campak yang terjadi. Persebaran kasus campak yang terjadi di provinsi Banten yaitu sebesar 28 kasus campak pada laki-laki dan perempuan di kabupaten Serang, sebanyak 708 kasus campak pada laki-laki dan perempuan dengan proporsi 336 kasus pada perempuan dan sebanyak 372 kasus pada perempuan. Wilayah kabupaten Cilegon terdapat 86 kasus campak dengan proporsi 43 kasus campak terjadi pada perempuan dan 43 kasus campak terjadi pada laki-laki. Sebanyak 848 kasus campak terjadi di wilayah Tangerang Selatan dengan proporsi 418 terjadi pada laki-laki dan 430 kasus terjadi pada perempuan. 2) Difteri Berdasarakan data dari Dinas Kesehatan Banten, pada tahun 2017 terdapat penyakit difteri di wilayah Kabupaten Tangerang 25 kasus, Kabupaten Serang 12 kasus, Kota Tangerang 8 kasus, Kabupaten Pandeglang 7 kasus, Kota Serang 8 kasus, Kabupaten Lebak 3 kasus dan Kota Cilegon 1 kasus.

22

3) Polio

Distribusi kasus polio di provinsi Banten yaitu sebesar 2.945 kasus yang terjadi pada laki-laki dan perempuan di wilayah kota Tangerang Selatan dengan proporsi 1.468 pada laki-laki dan 2.945 kasus pada perempuan. Wilayah di provinsi Banten dengann kejadian kasus polio hanya terjadi di kota Tangerang Selatan, pada wilayah lain di provinsi Banten sudah tidak muncul lagi kasus polio pada tahun 2012. 5. Kota Tanggerang Selatan 1) Campak Pada 2011 tercatat sebanyak 654 kasus, sedangkan pada 2012 hingga minggu ke 37 tahun 2012 tercatat sudah ada 334 kasus. Sebanyak 332 anak di Tangerang Selatan terserang penyakit campak pada tahun 2012. Penyakit yang disebabkan infeksi virus yang sangat menular itu telah menjangkiti 150 anak berusia di bawah lima tahun dan 182 anak berusia di atas lima tahun. Ratusan anak yang terkena campak tersebut, tersebar di tujuh kecamatan di wilayah Tangerang Selatan. Wilayah yang paling banyak kasus penyakit ini terdapat di Kecamatan Ciputat.”Di minggu ke 38 sudah tercatat 22 kasus. Intensitas kasus ini cenderung menurun pada tahun 2012.

23

2) Difteri Pada tahun 2017 di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sendiri ditemukan 4 kasus difteri. 3) Polio Wilayah kota Tangerang Selatan terjadi kasus polio sebanyak 2.945 kasus pada laki-laki dan perempuan dengan proporsi 1.468 kasus pada laki-laki dan 1.477 kasus pada perempuan. B. Distribusi Masalah 1. Distribusi Menurut Orang 1) Campak Campak adalah penyakit menular yang dapat menginfeksi anak-anak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau remaja. Penyebaran penyakit Campak berdasarkan umur berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, tergantung dari kepadatan penduduknya, terisolasi atau tidaknya daerah tersebut. Pada daerah urban yang berpenduduk padat transmisi virus Campak sangat tinggi. 2) Difteri Gambaran kasus menurut kelompok umur pada tahun 2016 menunjukkan bahwa 59% kasus difteri terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun dan 1-4 Tahun. Kelompok umur ≥15 tahun memiliki rentang usia yang lebih panjang dibanding kelompok umur lainnya.

2. Distribusi Menurut Tempat 1) Campak Berdasarkan tempat penyebaran penyakit Campak berbeda, dimana daerah perkotaan siklus epidemi Campak terjadi setiap 2-4 tahun sekali, sedangkan di daerah pedesaan penyakit Campak jarang terjadi, tetapi bila sewaktu-waktu terdapat penyakit Campak maka serangan dapat bersifat wabah dan menyerang kelompok umur yang rentan. Berdasarkan profil kesehatan tahun 2008 terdapat

24

jumlah kasus Campak yaitu 3424 kasus di Jawa barat, di Banten 1552 kasus, di Jawa tengah 1001 kasus. 2) Difteri Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai sistem kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.

25

BAB IV PROGRAM PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN Dalam

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

1059/MENKES/SK/IX/2004, disebutkan bahwa pokok-pokok kegiatan dalam Program Imunisasi, yaitu: 1) Imunisasi Rutin Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang secara rutin dan terus menerus harus dilaksanakan pada periode waktu yang telah ditetapkan. Berdasarkan kelompok usia sasaran, imunisasi rutin dibagi menjadi: a. Imunisasi rutin pada bayi. b. Imunisasi rutin pada wanita usia subur. c. Imunisasi rutin pada anak sekolah. Pada kegiatan imunisasi rutin terdapat kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi imunisasi rutin pada bayi dan wanita usia subur (WUS) seperti kegiatan sweeping pada bayi dan kegiatan akselerasi Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) pada WUS. 2) Imunisasi Tambahan Kegiatan imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang tidak rutin dilaksanakan, hanya dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan, atau evaluasi. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan ini adalah : a. Backlog Fighting. Backlog fighting adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 - 3 tahun pada desa non UCI (Universal Child Immunization) setiap 2 (dua) tahun sekali. b. Crash Program. Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat karena masalah khusus seperti : 1. Angka kematian bayi tinggi, angka Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tinggi.

26

2. Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang. 3. Untuk memberikan kekebalan pada kelompok sasaran yang belum mendapatkan pada saat imunisasi rutin. c. Imunisasi Dalam Penanganan KLB (Outbreak Respons). Pedoman pelaksanaan imunisasi dalam penanganan KLB di sesuaikan dengan situasi epidemiologis penyakit. d. Kegiatan-kegiatan imunisasi massal untuk antigen tertentu dalam wilayah yang luas dan waktu yang tertentu, dalam rangka pemutusan mata rantai penyakit antara lain : 1. PIN (Pekan Imunisasi Nasional. Merupakan suatu upaya untuk mempercepat pemutusan siklus kehidupan virus polio importasi dengan cara memberikan vaksin polio kepada setiap balita termasuk bayi baru lahir tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya, pemberian imunisasi dilakukan 2 (dua) kali masingmasing 2 (dua) tetes dengan selang waktu 1 (satu) bulan. Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN di samping untuk memutus rantai penularan, juga berguna sebagai booster atau imunisasi ulangan polio. 2.

Sub PIN. Merupakan suatu upaya untuk memutuskan rantai penularan polio bila ditemukan satu kasus polio dalam wilayah terbatas (kabupaten) dengan pemberian dua kali imunisasi polio dalam interval satu bulan secara serentak pada seluruh sasaran berumur kurang dari satu tahun.

e. Catch Up Campaign Campak. Merupakan suatu upaya untuk pemutusan transmisi penularan virus campak pada anak sekolah dan balita. Kegiatan ini dilakukan dengan pemberian imunisasi campak secara serentak pada anak sekolah dasar dari kelas satu hingga kelas enam, tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian imunisasi campak pada waktu catch up campaign campak di samping untuk memutus rantai penularan, juga berguna sebagai booster atau imunisasi ulangan (dosis kedua).

27

BAB V PENUTUP A. Simpulan Penyakit Campak, Polio, dan Difteri merupakan beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan dilakukannya imunisasi. Imunisasi dilakukan mulai dari bayi. Jika saat bayi diberi imunisasi, maka akan sedikit kemungkinnya untuk terkena penyakit Campak, Difteri dan Polio. Indonesia juga termasuk negara Asia Tenggara yang mendapatkan Sertifikat Bebas Polio dari WHO. Namun pada tahun 2005 Indonesia kembali terserang Polio setelah 10 tahun penyakit Polio hilang dari Indonesia. Penularan kembali virus Polio tersebut berasal dari luar negeri yang diduga berasal dari Nigeria yang menyebar melalui wilayah Timur Tengah. Di samping itu, Difteri kembali mewabah di Indonesia. Kementerian Kesehatan bahkan sudah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) karena penyakit difteri ini menjadi salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan bagi setiap ibu yang memiliki bayi atau balita agar selalu memperhatikan kesehatan bayi yaitu dengan selalu aktif datang ke posyandu atau tenaga kesehatan terdekat untuk diberi imunisasi karen dengan melakukan imunisasi dapat mencegah bayi dari berbagai penyakit. Jika dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan, kami selaku penyusun makalah ini memohon maaf. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik dikemudian hari.

28

DAFTAR PUSTAKA Clarke, Kristie. 2016. Review of the epidemiology of diphtheria-2000-2016. US Centers for Disease Control and Prevention. Difteri Reported Cases. Diakses dari: http://www.ichrc.org/452-difteri Pada tanggal 18 November 2018 pukul 10:25. Kabar Tangsel. Kasus Difteri. Di akses dari: https://kabartangsel.com/di-tangselditemukan-4-kasus-difteri/ Pada tanggal 18 November 2018 pukul 10:48. Kemenkes

RI.

Meningkatnya

kasus

Difteri.

Diakses

dari:http://www.depkes.go.id/article/view/17120700003/meningkatnyakasus-difteri-3-provinsi-sepakat-lakukan-respon-cepat.html Pada tanggal 18 November 2018 pukul 11:10. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2016. Situasi Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI. Zulkifli, Andi. 2007. Epidemiologi Penyakit Polio. Makassar: Universitas Hasanuddin. Profil Kesehatan Provinsi Banten tahun 2012 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2007. Kemenkes .2013. Katalog dalam Terbitan Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2012, -- Jakarta : Kementerian Kesehatan RI

29

Related Documents

Relatorio Epm
October 2019 8
Desplegando Epm 2007
June 2020 3
Epm New 3.docx
December 2019 13
Makalah Epm Wella 1.docx
November 2019 4

More Documents from "Toy Toyyibah"