15082_4-konsep Harga Jual Islam-dikonversi.docx

  • Uploaded by: Abdul Jalil Al-Fatih
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 15082_4-konsep Harga Jual Islam-dikonversi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 13,033
  • Pages: 29
KONSEP HARGA JUAL ISLAMI1 Oleh Alimuddin Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin [email protected] 1. Pengantar Di dalam ajaran Islam terdapat berbagai macam nilai yang dapat digali untuk dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut mulai dari nilai yang berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama mahluk, hingga nilai-nilai dalam berperilaku. Kajian tentang nilai dalam ilmu pengetahuan menjadi salah satu perbedaan utama antara pandangan sains modern (Barat) dengan pandangan ilmu pengetahuan Islam. Di dalam Islam, ilmu pengetahuan harus didasarkan pada nilai dan harus memiliki fungsi dan tujuan. Bahkan menurut Sumarna, nilai sebagai ruhnya ilmu. Ilmu tanpa nilai seperti tubuh tanpa ruh yang berarti tidak berguna (2006: 183). Dalam al-Quran terdapat banyak macam nilai yang dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya di dalam bermuamalah, diantaranya tauhid, amanah, mashlahah, ikhlash, ‘adl, ihsan, istikhlaf, ukhuwwah, shiddiiq, qanaah, dan lain sebagainya. 2. Relevansi Nilai Islam pada Konsep Harga Jual Kegiatan jual-beli di dalam Islam merupakan yang kegiatan yang melibatkan hubungan antara manusia (penjual) dengan manusia yang lain (pembeli) dan bercirikan ketuhanan (Qardhawi, 2000a: 57). Sementara dalam pandangan Al- Maududi (2005: 5), perbedaan antara bisnis atau sistem ekonomi Islam dengan paham kapitalis dan sosialis adalah terletak pada norma yang melingkupinya, yaitu kejujuran, keadilan, persaudaraan, dan altruisme. Dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia, maka setidaknya seorang penjual harus berlaku jujur (shiddiq) kepada pembeli sehingga tidak terjadi penipuan di dalam bertransaksi (Afzalurrahman, 2000: 20-8, Qardhawi, 2000a: 179, As-Sa‟dy, et al., 2008: 28-34 dan 42-5, Bewes, 2000, Hartropp, 2010, Hendricks dan Ludeman, 2003: 37, Al-Ghazali, 2008, dan HR Muslim). Sementara menurut (Hartropp, 2010, Amuli, 2005: 185, Islahi, 1997: 85-123, Rawls, 1999: 21- 2, dan Kolm, 1995), kejujuran tidaklah cukup tanpa disertai keadilan („adl) di dalam memperlakukan setiap pelanggan dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi. Keadilan akan mengurangi kesenjangan pemenuhan kebutuhan antar setiap pelanggan (Kolm, 1995 dan Hartropp, 2010). Dilain pihak, masih ada sebagian umat manusia yang karena kondisi ekonominya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus agar mereka bisa eksis menjalani hidup ini. Oleh karena itu, sebagai sesama makhluk, seharusnya seorang penjual memiliki sifat kemanunggalan (ukhuwwah) dengan saling tolong menolong dilandasi rasa kasih sayang untuk membantu sesamanya yang tidak mampu (Shihab, 1997b: 358, 1

Disarikan dari Disertasi Alimuddin yang berjudul ‘Konsep Harga Jual Mashlahah Berbasis Nilai-nilai Islam’ Program Doktor Ilmu Akuntansi Fakultas Eknomi Universitas Brawijaya, 2011, Malang.

2 Chapra, 1999: 230-1, Hartropp, 2010, Qardhawi, 2000a: 125-8, Masqood, 2003: 166, dan Taylor, et al., 2009: 457). Bahkan menurut Al-Maududi, meskipun setiap orang mempunyai hak untuk memiliki kekayaan tetapi kepentingan kehidupan umat manusia pada umumnya adalah yang tertinggi karena mereka mempunyai hak untuk hidup dan hak kepemilikan (2005: 7-8). Oleh karena di dalam sistem ekonomi Islami bercirikan ketuhanan, maka setiap aktivitas pelaku bisnis merupakan bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta-nya. Dengan demikian, setiap pelaku bisnis memposisikan dirinya sebagai hamba yang siap bekerja optimal untuk memenuhi tugas penciptaannya. adapun penentuan hasilnya berasal dari Sang Penabur Rezeki. Oleh karena itu, seorang pengusaha semestinya memahami nilai kehambaan (tauhiid) di dalam pengabdiannya (Qardhawi, 2000a: 31, 40-1, Attar, 1905: 223-59, Al-Haritsi, 2003: 54 dan 615, Jailani, 2008: 237, Alaydrus, 2009: 40, dan Gymnastiar, 2005: 95-6). Adapun nilai-nilai amanah, ikhlash, ihsan, mashlahah, istikhlaf, dan qanaah menjadi pendukung keempat nilai tersebut di atas di dalam merumuskan konsep harga jual. Nilai amanah, ikhlash, mashlahah, istikhlaf, dan qanaah sebagai penunjang nilai kehambaan di dalam mengabdi kepada Sang Pencipta sedangkan nilai ihsan, dan juga nilai ikhlas, mashlahah dan istikhlaf sebagai penopang nilai kejujuran, keadilan, dan kemanunggalan. Keempat jenis nilai utama ini dalam implementasinya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. 3. Kejujuran sebagai Modal Utama Barang siapa berbisnis dengan kejujuran maka dia akan memenangkan persaingan. Hasil survei James Mc. Kouzes dan Barry Z. Postner tahun 1997 dan 1993 menunjukkan bahwa karakter kejujuran merupakan peringkat pertama seorang CEO untuk meraih keberhasilan (Agustian, 2004:77). Demikian juga keberhasilan para mistikus korporat menempatkan kejujuran sebagai rahasia pertama meraih sukses (Hendrikcks dan Ludeman, 2003: 2). Hal ini mereka pegang karena pada dasarnya tidak ada seorang pun yang senang didustai, apalagi menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menganalisis jujur tidaknya perkataan dan perilaku orang. Kejujuran menjadi dambaan setiap pelaku bisnis karena kejujuran mampu memunculkan kemampuan terbaik setiap orang sehingga bukan saja sebagai konsep yang mulia, melainkan juga sebagai alat untuk mencapai sukses pribadi dan sukses perusahaan. Jujur merupakan fitrah manusia dan tidak perlu dipelajari, cukup dilakukan apa adanya. Bob Galvin, mantan Direktur Motorolla, mengatakan “cara termudah dalam melakukan segala hal adalah dengan bersikap jujur” (Hendricks dan Ludeman, 2003: 4). Seorang produsen memiliki kewenangan untuk menghasilkan produk sesuai dengan kemampuannya dan memodifikasi suatu produk generik sehingga kelihatan menarik. Dia memiliki hak otonom untuk mengatakan baik-buruknya produk yang dihasilkan, jika dia mengungkapkan kemanfaatan dan kelemahan yang melekat pada produk tersebut sebagai panggilan moral, maka menurut pandangan Fuller (1994), produsen tersebut berlaku jujur. Akan tetapi, jika dia hanya menonjolkan aspek kemanfaatannya atau estetikanya saja, maka perilaku produsen tersebut dianggap tidak jujur. Keberpihakan produsen pada keinginannya menyelesaikan proses produksi yang menguntungkan dirinya sendiri dibandingkan menyelesaikan pekerjaan sesuai kesepakatan yang mereka buat merupakan sifat ketidakjujuran. Sebaliknya, menyelesaikan produk yang meskipun menderita kerugian tetapi menjalankan otentivitas kesepakatan yang telah dibuat merupakan perbuatan jujur. Beratnya beragam masalah dalam kehidupan yang harus dihadapi turut mendorong orang untuk memilih dusta daripada jujur. Kasus pemakaian boraks

3 secara tersembunyi yang dicampurkan ke dalam bahan makanan agar makanan lebih tahan lama akan tetapi merusak tubuh manusia, pencampuran bahan makanan yang relatif rendah kualitasnya dengan yang relatif tinggi kualitasnya, menyuntik air pada ayam yang sudah disembelih agar menambah berat badannya, dalam dunia intelektual dijumpai pemasukan nama-nama tim ahli untuk mengerjakan suatu kegiatan/proyek tetapi dalam pelaksanaannya tidak semua tenaga ahli tersebut digunakan, dan masih banyak lagi kasus-kasus ketidakjujuran dalam berbisnis. Tujuan utamanya adalah untuk menekan biaya operasional demi untuk meningkatkan keuntungan materi. Keuntungan menjadi stigma keberhasilan dalam berbisnis walaupun itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak etis/dusta. Bagi mereka, berdusta bisa mempermudah jalan untuk mendapatkan keinginan dan cara cerdas meraih tujuan, yaitu keuntungan materi. Sebaliknya, mereka menganggap kejujuran sebagai kerugian dan kemalangan yang sering berujung pada kegagalan (Badri, 2008: 101). Akibatnya, hari ini dia menipu, besok dia lagi yang tertipu2 sehingga yang dipelajari dalam berbisnis bukan hanya bagaimana berbisnis tetapi jua bagaimana menipu sesama yang semestinya tidak perlu menghabiskan waktu yang tidak berguna untuk mempelajari dan mempraktikkannya3. Konsekuensinya adalah akan menambah biaya operasi perusahaan. Dampak dari perbuatan ini, menyebabkan hukum ketertarikan alam akan bekerja secara otomatis yang menyebabkan bukan hanya pelaku tetapi juga masyarakat di sekitarnya akan menderita kerugian yang bisa berupa kegagalan dalam berusaha dan mahalnya biaya hidup4. Dengan demikian, sifat egois yang materialis akan berdampak buruk bagi kondisi perekonomian suatu daerah atau bangsa. Sejak dahulu kala hingga saat ini bahkan sampai di masa yang akan datang, kejujuran menjadi modal utama setiap umat manusia dalam berinteraksi, baik dengan sesama, dengan lingkungan, maupun dengan Penciptanya. Tidak ada seorang pun yang rela diperlakukan dengan tidak jujur, semua orang mengharapkan diperlakukan dengan jujur. Akan tetapi tidak jarang dijumpai sebagian umat manusia baik disengaja maupun tidak memperlakukan sesamanya dengan cara tidak jujur. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu jawabannya adalah adanya manfaat yang dapat dipetik oleh ketidakjujuran tersebut, walaupun manfaat itu bersifat sementara atau semu. Di dalam Islam, kejujuran dalam berjualan adalah persyaratan yang mutlak untuk menentukan sah-tidaknya jual-beli yang dilakukan. Jika ada salah satu proses penjualan yang melanggar nilai-nilai kejujuran, maka jual-beli tersebut dianggap tidak sah. Menurut Afzalurrahman (2000: 20-8), kejujuran yang melandasi jual-beli meliputi: pertama, barang yang diperdagangkan adalah barang yang halal dimakan atau dinikmati. Yang termasuk barang yang tidak boleh diperdagangkan adalah bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah5, anjing, usaha pelacuran (HR Bukhari dan Muslim), dan minuman khamar6. Kedua, tidak ada unsur penipuan dalam jual-beli. Kualitas produk yang diperdagangkan harus diketahui dengan baik oleh kedua belah pihak. Kalau

2

Dalam kondisi yang demikian, hukum ketertarikan (law of attraction) dalam ilmu fisika akan bekerja, dimana energi negatif yang dipancarkan akan menerima balik energi negatif yang sama bahkan bisa melebihinya. 3 Fitrahnya sebagai manusia yang bersih bagaikan kapas dikotori oleh sesuatu yang tidak perlu dan tidak bermanfaat. 4 HR Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi 5 QS. al-Baqarah [2]: 173 dan al-Maa’idah *5+: 3. 6 QS. al-Maa’idah *5+: 90-1.

4 karena alasan teknis, pembeli sulit mengetahui kualitas produk, maka penjual harus secara jujur menyampaikan kualitas barang dagangnya. Islam sangat melarang umatnya berlaku curang di dalam berjualan, sebagaimana Nabi Muhammad pernah menegur seorang penjual yang mencampur makanan basah dengan makanan kering dan menganggap bukan termasuk golongan kami7. Dalam pandangan Qardhawi, perkataan „bukan dari golongan kami‟ menunjukkan bahwa menipu (berlaku curang) adalah dosa besar (2000a: 179). Unsur penipuan lainnya yang tidak boleh dilakukan adalah penipuan ukuran. Hal ini bisa terjadi karena penjual mengurangi ukuran dari ukuran yang semestinya. Ketiga, tidak ada unsur riba pada saat melakukan penjualan. Misalnya, menahan barang dengan tujuan akan menaikkan harga jual di saat barang tersebut dibutuhkan masyarakat (As-Sa‟dy, et al., 2008: 28-34). Keempat, tidak ada keraguan jumlah satuannya dan kualitas barang yang diperdagangkan (As-Sa‟dy, et al., 2008: 42-5), misalnya menjual buah satu pohon atau ikan di dalam kolam air yang tidak jelas jumlah satuan dan besarannya. Penjualan buah dalam satu pohon penuh dengan ketidakpastian hasilnya. Jika hasil panennya lebih besar dari perkiraan pada waktu di beli, maka pembeli yang diuntungkan secara materi tetapi penjual atau petani yang dirugikan, demikian juga sebaliknya. Kelima, penjual dan pembeli harus mengetahui informasi harga di pasar umum. Seorang pembeli tidak boleh mencegat di jalanan seorang penjual yang akan menuju ke pasar dengan tujuan untuk mendapatkan harga murah. Demikian juga, seorang yang menjual kepada seseorang yang tidak memahami kualitas produk atau menaikkan harga guna merangsang calon pembeli yang lain untuk membeli adalah tidak dibenarkan. Oleh karena itu, semua pihak memiliki informasi yang cukup mengenai kualitas, manfaat produk, dan harga yang terjadi di pasar atau di tempat orang sadar akan situasi permintaan dan penawaran. Barang dagangan yang diperjual-belikan harus dapat diperiksa sehingga memungkinkan kedua belah pihak mengetahui dengan wajar manfaat yang akan di dapatkannya jika transaksi terlaksana. Demikian juga halnya dengan memperkenalkan keunggulan produk yang dihasilkan kepada masyarakat tidak dilarang dalam ajaran Islam karena dengan cara tersebut masyarakat akan mengetahui spesifikasi produk yang ditawarkan dan memudahkan pelanggan menentukan pilihan. Sebaliknya tanpa informasi tersebut, masyarakat tidak akan mengetahui manfaat produk yang dihasilkan. Akan tetapi mempromosikan produk yang berlebih-lebihan, di luar kemampuan yang dimiliki produk adalah perbuatan tercela karena menimbulkan kedustaan. Akibatnya, masyarakat memiliki informasi yang melebihi fungsi produk sehingga keputusan pemilihan produk yang diambil kurang atau tidak tepat. Mark Horn, Wakil Presiden dan Penyelia Tim Kreatif Wunderman Cato Johnson, mengemukakan “saat kita menciptakan iklan dengan berlandaskan integritas [kejujuran] – saat kita mengatakan hal yang sebenarnya tentang sebuah produk atau jasa dengan cara yang tidak menekan seseorang untuk membeli produk atau jasa ini [menonjolkan yang baik saja] karena rasa takut – maka iklan tersebut adalah iklan yang terbaik bagi klien maupun biro iklan” (Hendricks dan Ludeman, 2003: 37) Ajaran Islam sangat menjunjung tinggi kejujuran dalam berjualan, sehingga apapun kelebihan dan kekurangan dari produk yang diperdagangkan harus 7

Ketika nabi melewati pedagang makanan, beliau memasukkan tangan ke dalam makanan kering yang di jual oleh seseorang. Ternyata di antara makanan kering itu, terdapat makanan yang basah. Beliau bertanya, “apakah ini, wahai penjual makanan?” Penjual itu menjawab, “makanan basah yang terkena hujan.” Lalu Nab berkata, “mengapa tidak kamu letakkan di atas agar terlihat oleh orang? Barang siapa yang menipu maka ia bukan dari golongan kami.”

5 disampaikan kepada calon pembeli. Al-Ghazali dalam kitab Mutiara Ihya Ulumuddin (2008) menulis “hendaklah pedagang tidak memuji barang dagangannya dengan pujian yang sebenarnya tidak melekat padanya. Hendaklah ia tidak menyembunyikan kekurangannya dan hal-hal yang tersamar darinya sedikit pun”. Dengan cara promosi seperti ini, kedua belah pihak, penjual dan pembeli tidak ada yang terzalimi (tertipu), semua memiliki informasi produk yang sama sehingga pembeli bebas menentukan pilihan sesuai kebutuhannya. Di lain pihak, produsen akan senantiasa memperbaiki kualitas produknya agar bisa bersaing di pasaran. Jadi, jauh sebelum adanya total quality management, Islam sudah lama memperkenalkannya, hanya melalui satu cara, yaitu berlaku jujur dalam berjualan yang manfaatnya multipurposes. Nabi Muhammad menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam berbisnis sehingga beliau berhasil meraih keuntungan yang sangat besar yang tidak pernah dicapai oleh pedagang siapa pun sebelumnya (Afzalurrahman, 2000: 10). Nilai kejujuran yang diterapkan mendorong transparansi terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Akibatnya, pengusaha akan bekerja sesuai standar yang dipersyaratkan, tidak perlu ada pengawasan, dan mampu menekan biaya sehingga keuntungan bisa meningkat. Kejujuran yang diterapkan para pengusaha ini sejalan dengan pendapat Fuller (1994), bahwa kejujuran bukan hanya aspek estetis tetapi juga aspek moral. Setidaknya ada tiga nilai kejujuran yang dapat diterapkan agar bisa berhasil dalam berusaha, yaitu kejujuran berniat, kejujuran lahiriah, serta kejujuran batiniah (al-Mishri: 2008: 24-8). Ketiga jenis keujuran tersebut merupakan satu kesatuan yang membentuk kemaslahatan baik pada diri sendiri maupun lingkungannya. 4. Konsep Harga Jual Berbasis Nilai Kejujuran Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak ada aturan baku dalam ajaran Islam tentang besarnya keuntungan dalam setiap melakukan transaksi bisnis. Penetapan harga jual yang dilakukan para sahabat Rasulullah saw, ada yang mendapatkan keuntungan kecil tetapi ada juga yang memperoleh keuntungan besar (100% dari harga pokok), tetapi tidak dipersoalkan oleh beliau sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Memang, Nash dalam al-Quran dan as- Sunnah hanya mengatur ketentuan umum tanpa adanya rincian penerapannya. Akibatnya, interpretasi atas makna yang terkandung dalam nash tersebut menjadi sangat penting agar bisa dioperasionalkan dalam kehidupan umat manusia. Karena aktivitas perdagangan, dalam hal ini penetapan harga jual adalah masuk dalam aktivitas muamalah, maka urusan ini diserahkan kepada umat manusia untuk mengaturnya, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dengan demikian, penentuan besarnya harga jual produk adalah kewenangan manusia. Penentuan besarnya tingkat keuntungan menjadi perdebatan panjang yang tidak ada hentinya. Ada perusahaan yang menetapkan tingkat keuntungan yang besar tetapi produknya laris terjual, sementara perusahaan lain tidak laku produknya. Demikian juga, perusahaan menetapkan tingkat keuntungan yang relatif rendah tetapi tidak ada pembelinya, sementara yang perusahaan yang lain banyak pembelinya. Tidak ada rumus yang baku untuk menentukan besarnya keuntungan atas setiap produk. Meskipun demikian, al-Ghazali menyarankan kepada setiap penjual agar tidak menetapkan tingkat keuntungan yang terlalu besar, sebaiknya antara 5% sampai 10% dari harga belinya. Barang siapa yang puas dengan keuntungan yang kecil niscaya banyak pembelinya, sehingga akhirnya ia mendapatkan untung yang besar dan mendapat berkah (Qardhawi, 2000a: 182). Sementara menurut Ayub, meskipun tidak ada kesepakatan besarnya keuntungan dalam perdagangan namun dapat disimpulkan dari beberapa tulisan bahwa tingkat keuntungan untuk barang

6 dagangan sebesar 5%, 10% untuk binatang, dan 20% untuk properti (2009: 219). Selanjutnya, Ghaban al-Fahisy menyatakan, syariah tidak membolehkan pengambilan keuntungan yang berlebihan dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli. Jika pembeli kemudian keberatan, maka transaksi tersebut batal dan pembeli berhak mendapatkan kembali uangnya (Ayub, 2009: 219). Berkaitan dengan besarnya keuntungan, Abdurrahman bin Auf memiliki pengalaman tersendiri untuk mendapatkan rezeki. Menurutnya, ada tiga hal yang menyebabkan dia berhasil mendapatkan keuntungan, yaitu dia tidak pernah membatalkan penjualan; jika ada pembeli yang menginginkan binatang yang dia jual, dia segera menjualnya tanpa menunda; dan tidak menjual dengan harga berlipat. Menurut riwayat, ia menjual 1.000 ekor unta, namun ia tidak mendapatkan untung sedikit pun kecuali dari talinya. Ia menjual tali ikatan unta seharga 1 dirham, maka total keuntungannya sebesar 1.000 dirham. Selain itu, ia mendapat untung dari memberi nafkah kepada binatang sebesar 1.000 dirham sehari. Demikian al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin (Qardhawi, 2000a: 182). Nabi Muhammad sendiri tidak pernah membatasi besarnya keuntungan yang diperbolehkan kepada setiap penjual. Hal ini dapat dilihat dari dua pengalaman berikut ini. Pertama, Nabi Muhammad saw tidak keberatan keuntungan pedagang mencapai 100%, bahkan beliau memujinya 8 dan kedua, sebagai kepala pemerintahan, Nabi Muhammad tidak mau mencampuri harga yang terjadi di pasaran sepanjang terjadi secara normal9. Dari berbagai pendapat dan kisah tersebut di atas, memperlihatkan bahwa ada pengusaha yang berjualan dengan keuntungan yang sangat rendah, tetapi ada juga yang menghasilkan keuntungan yang relatif besar. Kedua cara penetapan keuntungan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga dapat disimpulkan bahwa di dalam ajaran Islam tidak memiliki aturan baku tentang besarnya keuntungan. Ini berarti tingkat keuntungan diserahkan kepada penjual. Berkaitan dengan perubahan harga jual dalam perspektif nilai kejujuran Islami mengisyaratkan bahwa, harga jual yang telah ditetapkan oleh penjual tidak boleh direvisi penjual dengan menaikkan harganya. Dalam pandangan nilai kejujuran Islami, meskipun pembeli bersedia (ridha) menerima perubahan harga tetapi penjual tidak diperkenankan untuk menaikkan harga karena penjualan semacam ini telah melanggar niat yang telah dikrarkannya. Hal ini pernah terjadi pada Yunus bin Ubid yang tidak bersedia menjual produknya di atas harga jual yang telah ia tetapkan, meskipun pembeli setuju (ridha) terhadap harga tersebut10. 8

Nabi Muhammad saw menyuruh salah satu sahabatnya, yaitu Urwah untuk membelikannya seekor kambing dan memberinya uang satu dinar. Urwah pergi ke pasar dan membeli dua ekor kambing dari uang satu dinar tersebut, kemudian menjual salah satunya di pasar dengan harga satu dinar dan menyerahkan satu ekor kambing lainnya ke Nabi bersama uang satu dinar. Pada waktu menerima kambing dan uang tersebut, Nabi sangat senang dengan kejujuran dan keahlian Urwah sehingga dia berdoa agar perdagangan serta bisnisnya terus meningkat (HR. Abu Daud). 9 diriwayatkan, pada masa Rasulullah sebagai kepala pemerintahan, terjadi kenaikan harga yang relatif tinggi sehingga sebagian masyarakat pada masa itu meminta fatwah dari Nabi Muhammad untuk menetapkan harga. Tetapi beliau menolak dan berkata: “Allah mengakui adanya kelebihan dan kekurangan; Ia membuat harga berubah dan menjadi harga sebenarnya. Saya berdoa agar Allah tidak membiarkan ketidakadilan atas seseorang dalam darah atau hak milik” (HR. Abu Dawud dan Tirmizi). 10 Dikisahkan bahwa Yunus bin Ubid menjual berbagai macam pakaian. Ada jenis pakaian yang berharga 400 dirham dan ada juga yang berharga 200 dirham. Ketika akan pergi ke masjid untuk shalat, Yunus meminta anak pamannya untuk menjaga tokonya. Pada saat tokonya dititipkan itu, datang seorang Badui yang ingin membeli pakaian. Oleh anak tersebut, ditunjukkan pakaian yang berharga 200 dirham, yang ternyata diminati oleh pembeli sehingga ia pun membayar dan pergi. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Yunus. Yunus mengetahui persis bahwa pakaian yang dipegang oleh Badui tersebut adalah jenis pakaian yang di jual di tokonya. Ia pun bertanya, berapa kamu belikan? Badui menjawab 400 dirham. Kata Yunus, ‘harga pakaian ini

7 Dalam konteks kejujuran Islami, harga yang telah ditetapkan sebelumnya tidak bisa dinaikkan dengan alasan kenaikan permintaan. Begitu harga sudah ditetapkan, walaupun apa yang terjadi termasuk akan meningkatkan keuntungan materi, harga jual tetap dan tidak boleh dinaikkan. Hal ini sejalan dengan kejujuran lahiriah, yaitu satunya niat/perkataan dengan perbuatan. Dengan demikian, hukum permintaan dan penawaran yang mempengaruhi harga tidak sepenuhnya berlaku, khususnya jika jumlah permintaan lebih besar dari jumlah penawaran yang akan berdampak pada kenaikkan harga jual. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka konsep harga jual berbasis nilai kejujuran yang dapat digunakan, yaitu: a. Consistency Cost-Plus Pricing, yaitu penentuan harga jual berdasarkan harga pokok ditambah mark-up yang diterapkan secara konsisten. Besarnya mark-up dipengaruhi oleh besarnya biaya operasi (biaya pemasaran dan administrasi umum) ditambah margin yang diharapkan. Penentuan besarnya margin menjadi kewenangan penjual dan tidak ada batasan atas besarnya margin tersebut. Sedangkan penerapan secara konsisten adalah bahwa harga jual produk yang telah ditetapkan harus diterapkan secara konsisten meskipun harga di pasaran mengalami kenaikan. Pengecualian terhadap harga jual yang konsisten ini dibenarkan apabila biaya masukannya mengalami kenaikan, maka harga jual bisa dinaikkan. b. Consistency Market Mechanism (Mekanisme pasar bersyarat), yaitu harga jual yang telah terbentuk pada awal penetapan harga jual melalui mekanisme pasar tidak boleh mengalami kenaikan harga meskipun harga jual dipasaran mengalami kenaikan. Pengecualian atas hal ini apabila terjadi kenaikan biaya masukan, maka harga jual tersebut bisa menyesuaikan. Dalam konsep kejujuran, setiap pemilik harta berhak mengembangkan hartanya sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Salah satu usaha yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bahkan dianjurkan adalah perdagangan. Pengembangan kekayaan melalui perdagangan, umumnya didapatkan melalui hasil usaha, yaitu keuntungan. Oleh karena, ajaran ini tidak mengatur besarnya keuntungan yang rinci yang dapat dipetik dari setiap transaksi penjualan, maka kewenangan penjuallah untuk menentukannya. Hanya saja, setelah penentuan besarnya harga jual tersebut, seorang penjual tidak berhak lagi untuk menaikkannya meskipun harga jual umum mengalami kenaikan. Di dalam paham hukum permintaan dan penawaran konvensional, kenaikan harga jual juga bisa terjadi karena kenaikan permintaan di atas penawaran. Apabila tindakan ini dilakukan akan tercipta ketidakpastian dalam berusaha dan bisa memunculkan sifat menzalimi sesama. Akan tetapi jika biaya masukannya telah mengalami kenaikan, maka harga jual bisa dinaikkan karena apabila hal ini tidak dilakukan akan merugikan penjual. 5. Keadilan sebagai Dambaan Untuk menciptakan masyarakat yang ideal dan sustainable sangatlah tidak mungkin tanpa adanya nilai-nilai keadilan yang melekat pada masyarakat tersebut. Islam benar-benar tegas dalam tujuannya untuk membasmi semua tidak lebih dari 200 dirham. Mari kembali ke toko dan ku kembalikan kelebihan uangmu’. Badui pun berkomentar ‘di kampung kami harga pakaian semacam ini 500 dirham dan saya sudah rela dengan harga 400 dirham’. Yunus berkata, ‘mari kembali ! kejujuran lebih baik daripada dunia dan segala isinya’. Lalu mereka kembali ke toko dan Yunus mengembalikan uang sejumlah 200 dirham kepadanya. Adapun anak tersebut dimarahi dan dinasihati oleh Yunus. Ia berkata, ‘tidakkah kamu malu dan takut kepada Allah? Kamu untung sebanyak harga barang tetapi meninggalkan kejujuran untuk kaum muslimin’. Anak itu berkata, ‘demi Allah ! ia rela dengan harga itu’. Jawab Yunus, ‘apakah kamu rela atasnya sebagaimana kamu rela atas dirimu’. (Qardhawi, 2000a: 181).

8 kezaliman dari dalam diri umat manusia. Kezaliman adalah sebuah istilah menyeluruh yang mencakup semua bentuk ketidak adilan, eksploitasi, penindasan dan kemungkaran, dimana seseorang mencabut hak-hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya kepada mereka (Chapra, 1999: 229) dan lingkungannya. Penegakan keadilan dan pembasmian semua bentuk ketidakadilan telah ditekankan oleh al-Quran sebagai misi utama semua nabi yang diutus Allah “…dan Kami turunkan bersama mereka (maksudnya para Rasul) al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan11. Menurut Sayyid Haidar Amuli tujuan diciptakannya manusia adalah untuk berbuat adil dan menuju jalan yang lurus (2005: 185). Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan menuntut agar semua sumber daya yang tersedia bagi umat manusia digunakan untuk mewujudkan tujuan-tujuan Islam (maqashid asysyariah), diantaranya pemenuhan kebutuhan, penghasilan yang diperoleh dari sumber yang baik, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, serta pertumbuhan dan stabilitas. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Islam sangat menganjurkan pemanfaatan sumber daya yang relatif terbatas dalam batasbatas kemanusiaan dan untuk kesejahteraan umum. Pemenuhan kebutuhan harus dilakukan dalam kerangka hidup sederhana dan tidak boleh memasukkan unsur pemborosan dan kemegahan (Chapra, 1999: 231). Perbuatan yang berlebih-lebihan dengan berusaha memaksimalkan kebutuhannya tanpa memperhatikan umat manusia yang lain dan lingkungannya akan dapat membawa malapetaka bagi kehidupan umat manusia sendiri sebagaimana Allah swt memperingatkan „telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia 12‟ Pemuasan kebutuhan dan perasaan dalam paham utilitarianisme sama sekali tidak memiliki nilai guna praktis untuk memperoleh prinsip-prinsip „adil‟ bagi organisasi (Rawls, 1999: 21-2). Oleh karena itu utilitarianisme tidak mampu menghasilkan pengetahuan normatif mengenai kesejahteraan dan keadilan umum. Kalau pun mampu menghasilkan pengetahuan normatif, ia tidak dapat mendorong individu mematuhi peraturan- peraturan sosial tersebut sebagaimana aturan agama. Memang, tidak ada satu pun paham yang melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya. Letak perbedaannya hanyalah terletak pada tingkat kecukupan. Pada paham utilitarianisme, kebutuhan manusia tidak pernah tercukupi, sementara pada pandangan agama Islam, ukuran cukup ditentukan oleh rasa syukur. Itulah sebabnya, manusia diwajibkan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya13. Hal ini penting karena seseorang yang tidak memiliki penghasilan tidak dapat memelihara dirinya guna memenuhi kewajibannya beribadah. Oleh karena itu, kewajiban bersama setiap warga masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada setiap orang memperoleh nafkah yang jujur sesuai dengan kemampuan dan usahanya, sedangkan bagi mereka yang tidak mampu mencari nafkah, maka menjadi kewajiban bagi umat lainnya yang mampu untuk membantu dengan ikhlas guna memenuhi kebutuhannya tanpa rasa benci atau curiga. Tidak seperti paham Barat yang menyatakan there is no free lunch. Dengan demikian akan terjadi keharmonisan dan ketenteraman dalam menjalani kehidupan ini. Inilah salah satu aspek dari sistem ekonomi Islam yang tidak dimiliki oleh paham kapitalisme yang egoistik dan materialistik.

11

QS. al-Hadiid [57]: 25. QS. Ar-Rum [30]: 41. 13 QS. al-Jumu’ah *62+: 10. 12

9 Demikian juga halnya dengan perusahaan, sudah seharusnya merubah tujuannya dari mengoptimalkan laba atau mengoptimalkan nilai bagi pemilik menuju suatu tujuan yang lebih komprehensip, yaitu mensejahterakan diri, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan cara ini, perusahaan akan berkembang seiring dengan perkembangan lingkungannya sehingga terjadi keadilan dan kebersamaan yang dapat mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi, kecemburuan sosial, dan pengrusakan lingkungan. Hasilnya, akan tercipta suatu kehidupan yang baldatun thoyyibatun warabbun qhofur14 dan sustainable. Perusahaan sudah seharusnya mempertimbangkan segala sesuatu berkaitan dengan rencana produksi, baik jenis produk yang akan dihasilkan maupun proses produksinya agar tercipta keadilan dalam berproduksi. Jenis produk yang dihasilkan sudah selayaknyalah yang memberikan nilai tambah bagi kehidupan umat manusia bukan produk yang hanya meningkatkan sifat konsumerisme dan menambah sampah di masyarakat karena hal ini akan menciptakan ketidak seimbangan dan ketidak adilan. Hal ini telah disinyalir oleh Chwastiak dan Joni, (2003) bahwa banyak perusahaan yang berproduksi saat ini berlomba mencari dan memperbesar keuntungan dengan mengorbankan lingkungannya, produk yang dihasilkan hanyalah untuk bermegah-megahan (Asmal dan Asmal, 2007). Demikian juga halnya dengan proses produk yang semestinya dilakukan dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya dan aspek spiritual dimana perusahaan beroperasi, bukan dengan merusaknya seperti tampak pada sebagian besar perusahaan yang beroprasi selama ini. Tanggungjawab produsen adalah untuk menjaga dan memakmurkan lingkungannya bukan dengan merusaknya. Konsekuensi dari hal ini adalah akan memunculkan biaya lingkungan baik yang terjadi pada setiap tahapan proses produksi maupun biaya lingkungan di masa yang akan datang yang kemungkinan akan terjadi sebagai dampak dari proses produksi. Selama ini, biaya lingkungan untuk masa yang akan datang tidak mendapat perhatian yang berarti bagi perusahaan sehingga lebih banyak menjadi tanggungjawab masyarakat, kalaupun diakui oleh perusahaan maka umumnya diklasifikasikan sebagai biaya periode. Keadaan seperti ini sudah selayaknya tidak lagi terjadi jika perusahaan tersebut menerapkan nilai-nilai keadilan dalam berusaha, perusahaan tidak hanya mengeluarkan dananya untuk membiayai produk tetapi juga perlu membiayai lingkungan, sosial budaya, dan aspek spiritual. Dengan adanya perhatian dan tindakan atas hal ini akan mendorong perusahaan tersebut lebih sustainable (Fujitsu, 2006). a. Keadilan kepada Umat Manusia Islam menegakkan keseimbangan antara individu dengan masyarakat tetapi tidak memberikan hak dan kebebasan kepada individu maupun masyarakat untuk berlaku boros dan tidak memperhatikan kemaslahatan yang dapat menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Dalam pandangan Qardhawi (2006: 47), sesungguhnya manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka sehingga tidak seorang pun yang boleh menghina dan menempatkan orang lain sebagai Tuhan, kecuali Allah. Oleh karena itu, setiap manusia mempunyai hak untuk hidup. Apabila ada manusia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya maka kewajiban manusia lainnya yang mampu untuk membantunya sebagai tanda kekhalifaanya, baik memberi kesempatan untuk berusaha sesuai kemampuannya maupun melalui bantuan langsung berupa zakat, infaq, sedekah, wakaf. Melalui cara ini akan tercipta keseimbangan dan pemerataan yang berkesinambungan yang bermuara pada suatu negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun qhafur – negeri yang baik, aman, dan sentosa buat semua penduduknya 14

QS. Saba’ *34+: 15.

10 serta Tuhan melimpahkan anugerah-Nya15. Dan bukan menjadi masyarakat yang egois dan materialis, yang hanya mementingkan dirinya, tidak mau membantu sesamanya, dan tidak mau bersyukur seperti kaum Saba yang tidak mau berinteraksi dengan masyarakat dan negara lain karena takut akan berkurangnya kesejahteraan. Disamping itu, mereka tidak menginginkan kenikmatan yang selama ini dirasakan terbagi ke masyarakat lain (Shihab, 2006, Volume 11: 367). Akibatnya, mereka mendapatkan balasan berupa kehancuran16 dan hilangnya kenikmatan yang dirasakan selama ini. Demikian juga halnya, seorang pengusaha, bukan hanya memperhatikan perkembangan usahanya, tetapi juga perlu memperhatikan perkembangan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya. Mencari keuntungan materi adalah perbuatan yang baik sepanjang dalam bingkai etika dan moral agama, tetapi mencari keuntungan dengan cara menzalimi sesama adalah perbuatan yang melanggar etika universal. Keuntungan yang baik adalah keuntungan yang memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan penjual (Hartropp, 2010) dengan kemampuan pembeli secara umum. Dengan cara ini, perusahaan dan masyarakat akan bersatu padu menikmati kehidupan ini. b. Keadilan kepada Lingkungan Qaradhawi (2000b) menyatakan bahwa krisis lingkungan yang dihadapi sekarang adalah disebabkan karena manusia tidak lagi menyadari kepentingan bersama dari segala yang ada di alam semesta dan kesalingterkaitan antara semuanya itu. Selama manusia tidak menyadari bahwa semua mahluk memiliki hak yang sama untuk hidup di alam semesta dalam keseimbangan, maka tindakantindakan manusia akan menimbulkan kerusakan. Konsumerisme, obsesi akan laba (tanpa moralitas) telah membuat bangsa yang satu menghancurkan bangsa yang lain dan diri sendiri sehingga memunculkan sikap “tidak tahu berterima kasih terhadap ciptaan Allah” dan terhadap karunia Allah yang menyeimbangkan alam semesta (AlQaradawi, 2000b; Christie et al, 2004; dan Kamla et al., 2006). Bahkan Manzoor (2003), memandang bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini adalah manifestasi yang paling menyolok dari peradaban Barat, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah memberikan sumbangan yang besar untuk bisa merusak diri kita sendiri. Seperti yang disampaikan Qardhawi (2000b), perlindungan, penjagaan dan perawatan terhadap lingkungan bukanlah sebuah konsep baru dan juga bukan konsep Barat, melainkan hal semacam itu berakar secara mendalam di semua bidang dari ajaran dan budaya Islam17 (lihat juga Sardar, 1993; Khalid dan O‟Brian, 1992). Selanjutnya, Qaradawi (2000b) menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan jika generasi yang satu memonopoli kemakmuran yang didapatkan dari alam dan ciptaan Tuhan dengan mengorbankan generasi masa depan. Prinsip Islam ini memiliki hubungan yang erat dengan konsep pembangunan berkesinambungan (sustainable development) (Asmal dan Asmal, 2007). Selain itu, Denny (1998) menjelaskan bahwa warna hijau adalah warna yang paling dihargai bagi kaum Muslim, karena warna itu melambangkan “secara mendalam” nilai penting dari alam bagi Tuhan dan bagi kaum Muslim. Memperhatikan masyarakat di sekitar perusahaan tidaklah cukup tanpa memberi perhatian yang sama terhadap lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Lingkungan perlu mendapat perhatian yang serius karena dengan beroperasinya perusahaan tersebut akan menyebabkan lingkungan terganggu, pengrusakan, menimbulkan kecemburuan sosial akibat tidak tertampungnya 15

QS. as-Saba’ *34+: 15. QS. as-Saba’ *34+: 18 – 19. 17 QS. al-Maa’idah *5+: 32 16

11 semua tenaga kerja yang ada disekitar perusahaan, dan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perusahaan perlu berlaku adil dengan mengeluarkan sejumlah biaya untuk memperbaiki lingkungan alam tersebut agar bisa berfungsi seperti sebelum adanya perusahaan beroperasi. Jika tidak mampu menyamainya, minimal mendekatinya. Disamping itu, penduduk miskin di sekitar perusahaan yang tidak sempat bekerja pada perusahaan tersebut perlu mendapatkan kompensasi berupa santunan agar mereka bisa hidup layak. Hal ini sejalan dengan perintah agama bahwa apabila engkau memasak dan baunya tercium oleh tetanggamu maka seharusnya engkau memberikan sebagian kepadanya. Apabila kamu memasak kuah perbanyaklah airnya, lalu berikan sebagian kepada tetanggamu agar dengan itu kamu memperoleh kebaikan (HR. Muslim). Ini tidak berarti, bahwa ajaran ini mendorong seseorang untuk bermalasmalasan bekerja karena tetap juga mendapatkan bantuan atau kasih sayang. Tindakan ini dilakukan sebagai tanggungjawab kepada sesama yang telah berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang layak tetapi belum mendapatkan penghasilan yang memadai guna memenuhi kebutuhan pokoknya. Demikian juga halnya, seorang pengusaha muslim memiliki tanggungjawab atas kemaslahatan umat secara keseluruhan dengan membayar kewajiban berusaha kepada pemerintah di mana mereka berusaha. Dengan cara memperhatikan keseimbangan seperti ini, maka akan tercipta masyarakat yang rukun, aman, dan sejahtera, dan berkesinambungan. 6. Konsep Harga Jual Berbasis Keadilan Terjadi perdebatan yang panjang antara pendapat yang mengatakan bahwa harga sebaiknya diatur oleh pemerintah agar terjadi keseragaman harga dengan harga yang didasarkan pada mekanisme pasar tanpa campur tangan pemerintah. Pendapat pertama berargumentasi bahwa dengan penetapan harga oleh pemerintah akan tercipta kesejahteraan yang merata di dalam masyarakat sebagaimana dianut paham sosialis. Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa dengan terjadinya penetapan harga berdasarkan mekanisme pasar akan mendorong terjadinya persaingan yang sehat sehingga tercipta efisiensi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan bersama sebagimana yang dianut paham kapitalisme. Apa pun paham yang dianut, mengikuti paham sosialis atau paham kapitalis, semuanya memiliki kelemahan yang fundamental. Penetapan harga yang dianut paham sosialis, akan membatasi hak dasar kemerdekaan setiap umat manusia dengan mengatur harga. Penetapan harga jual yang lebih rendah dari harga yang berlaku umum, berarti melanggar hak asasi penjual, sebaliknya jika penetapan harga jual lebih tinggi dari harga yang berlaku umum akan melanggar hak asasi pembeli. Sementara penetapan harga yang dianut oleh paham kapitalis, akan merugikan pihak yang memiliki daya tawar (bargaining posisition) rendah dan akan menguntungkan pihak yang memiliki daya tawar tinggi (pemilik modal), akibatnya tercipta kesenjangan yang semakin lebar. Di lain pihak, di dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad telah mempraktikkan penetapan harga jual dengan menggunakan mekanisme pasar dan telah menganjurkan untuk tidak menggunakan otoritas negara kalau tidak terlalu diperlukan. Ini menunjukkan bahwa penetapan harga dalam ajaran Islam menganut perpaduan antara paham sosialis dengan paham kapitalis. Praktik penetapan harga berdasarkan mekanisme pasar telah lama dijalankan sebelum ekonom klasik, Adam Smith menganjurkannya pada tahun 1776 (Samuelson dan Nordhaus, 2003: 33). Sebagaimana Adam Smith yang tidak mengingkan campur tangan pemerintah dalam pasar, Islam pun telah lama melarang otoritas negara mencampuri dan memaksa penjual untuk menjual produk pada suatu tingkat

12 harga yang mereka tidak ridha. Namun perbedaannya dengan Adam Smith, Islam juga melarang para pedagang yang menetapkan harga jual sesuka hati dengan harga semahal-mahalnya sehingga menzalimi sesama (pembeli). Nabi Muhammad melarang pemerintah ikut campur menetapkan harga jika mekanisme pasar berjalan normal atau pelaku bisnis (penjual dan pembeli) tidak melakukan pelanggaran atau penyimpangan yang mengharuskan munculnya suatu tindakan pengendalian harga (Qardhawi, 2000a: 187-8). Kenaikan harga yang melambung tinggi mendorong masyarakat untuk meminta kepada Rasulullah untuk melakukan tindakan, namun jawaban beliau, “sesungguhnya Allah-lah yang menetapkan harga dan menahan rezeki kepada yang dikehendaki-Nya serta memberikan-Nya kepada yang disukai-Nya …”. Mazhab Hambali dan Syafii, menyatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai hak untuk menetapkan harga. Ibnu Qudamah, seorang murid Hambali memberi alasan atas tidak diperbolehkannya pemerintah menetapkan harga, yaitu, pertama, Rasulullah saw tidak pernah menetapkan harga meskipun penduduk menginginkannya; kedua, penetapan harga oleh pemerintah adalah suatu ketidakadilan yang dilarang karena hal ini melibatkan hak milik seseorang (sesuatu yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam), di dalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual pada harga berapa pun sepanjang mereka ridha dengan pembelinya (Islahi, 1997: 111-2). Dari segi ekonomi, tindakan pemerintah untuk menetapkan harga bukannya untuk menekan harga tetapi dalam jangka menengah dan panjang akan mendorong harga naik atau lebih mahal karena para eksportir atau penjual dari daerah lain tidak akan mau membawa barang dagangannya di luar harga yang diinginkannya. Sementara para importir dan penjual lokal yang memiliki barang dagangan akan menahan/menyembunyikan barang dagangannya karena berlakunya harga jual yang rendah. Di lain pihak, konsumen membutuhkan barang tersebut. Akibatnya, konsumen tidak terpuaskan harapannya memenuhi kebutuhannya karena keterbatasan penawaran. Konsekuensi selanjutnya berlaku hukum permintaan dan penawaran yang menyebabkan harga naik. Dengan kenaikan harga ini kedua belah pihak akan menderita. Penjual menderita karena mereka dibatasi menjual barang sesuai keinginannya dan pembeli juga menderita karena permintaannya tidak terpuaskan. Dalam pandangan Islam, pemerintah tidak dibenarkan memihak kepada pembeli dengan mematok harga yang paling tinggi (celling price) atau memihak kepada penjual dengan mematok harga yang paling rendah (floor price). Namun perusahaan sering kali berusaha untuk mengalahkan pesaingnya dengan membangun monopoli atau kartel (Mathis, 2009), penimbunan, dan kecurangan atau permainan terhadap kebutuhan manusia sehingga penetapan harga produk perlu dan bahkan wajib dilakukan oleh otoritas pemerintah. Jadi prinsipnya, sepanjang kenaikan harga tersebut terjadi secara normal maka pemerintah tidak boleh campur tangan tetapi apabila sudah terdapat kezaliman di dalamnya maka pemerintah wajib melindungi masyarakat secara umum dengan menetapkan harga. Menurut Mathis (2009), negara memiliki kewenangan yang bisa mengendalikan kartel sehingga bisa menjalankan peran korektif di sini. Ini akan memberikan efek yang diinginkan tidak hanya bagi efisiensi tapi juga bagi distribusi kepada konsumen dengan lebih murah. Berkaitan dengan hal tersebut, Islam menawarkan penetapan harga jual berkeadilan dengan mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan pembeli dan penjual. Kemampuan pembeli yang menjadi fokus perhatian adalah daya beli masyarakat secara umum. Tidak ada gunanya menetapkan harga jual yang tinggi dengan harapan mendapatkan keuntungan yang besar sementara masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membelinya. Demikian juga sebaliknya, menetapkan harga jual yang rendah dengan keuntungan yang rendah pula

13 sementara masyarakat memiliki daya beli yang tinggi akan menciptakan ketidakadilan karena penjual tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu perlu ditetapkan harga yang adil untuk kedua belah pihak tersebut. Berkaitan dengan besarnya keuntungan dalam harga jual, Ibnu Taimiyah mengakui perlunya keuntungan dalam jual beli. Karena itu, harga yang terjadi sudah termasuk di dalamnya keuntungan. Menurutnya, Keuntungan yang adil adalah keuntungan yang setara, yaitu keuntungan normal yang secara umum diperoleh dari jual beli tanpa ada yang dirugikan. Ia tidak menyetujui keuntungan yang sifatnya menzalimi atau eksploitatif (ghaban fahish), termasuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dari keuntungan normal atas permintaan suatu produk yang sangat dibutuhkan dan mendesak, misalnya makanan dan minuman tertentu. Pendapat ini sejalan dengan yang diperintahkan Rasulullah saw bahwa menjual barang kebutuhan pokok kepada seseorang yang sangat membutuhkannya dengan menetapkan keuntungan yang melebihi keuntungan normal merupakan perbuatan zalim dan sangat dilarang (Islahi, 1997: 100-1). Ibnu Taimiyah belum mampu mengoperasionalkan makna keuntungan setara. Dia hanya mengambil perbandingan dengan harga jual umum. Persoalannya, jika harga jual umum yang berlaku ternyata menzalimi orang lain (pembeli), misalnya pada pasar oligopoli, dimana para penjual yang terbatas mengatur harga jual yang mereka kehendaki, apakah ini dapat dikatakan sebagai keuntungan yang serata atau adil. Demikian juga halnya, kesulitan penerapan besarnya keuntungan setara, jika produk yang dihasilkan adalah produk baru yang belum ada samanya di pasaran. Ini berarti belum ada harga jual normal yang berlaku. Sementara Qardhawi (2000a), memiliki pendapat yang lebih operasional tentang seberapa besar perusahaan menetapkan keuntungan dari hasil penjualannya dengan mengacu pada syariah Islam. Di dalam syariah Islam, penjual dilarang berdagang tanpa memperoleh keuntungan dalam satu periode yang diakibatkan oleh penetapan harga di bawah atau sama dengan jumlah biaya. Pendapat ini didasarkan pada hadits18 yang maknanya harta tersebut harus berkembang-biak dan dalam kaitan dengan penjualan maka penetapan harga jual harus melebihi jumlah biayanya. Ini juga menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal penimbunan barang. Berapa besar minimal laba yang dapat dipetik dari penjualan tersebut, oleh Qardhawi (2007: 593) ditetapkan sebesar jumlah zakat yang akan dibayarkan atas harta tersebut ditambah dengan kebutuhan nafkah pemiliknya beserta keluarganya (yang menjadi tanggungannya). Penambahan kebutuhan nafkah dalam penetapan harga jual minimal untuk menghindari berkurangnya harta tersebut dikemudian hari. Kebutuhan nafkah (dasar) tersebut meliputi kebutuhan makan, air, sandang, papan, berumah tangga, pendidikan, kesehatan, tabungan haji dan umrah (Qardhawi, 2000a: 125-7). Sedangkan Duns Scotus berpendapat bahwa keuntungan yang adil adalah keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga secara layak (Islahi, 1997: 90). Tapi dia tidak mampu mengoperasionalkan apa-apa saja yang termasuk kebutuhan keluarga yang layak. Ukuran layak pun dipertanyakan kriterianya. Tetapi Chris Sarlo, mencoba memberikan jalan keluar atas kebutuhan layak seperti disebutkan sebelumnya. Kebutuhan ini hanya didasarkan pada kebutuhan diri sendiri di dunia, belum memasukkan kebutuhan akhirat dan kebutuhan lingkungan.

18

HR Imam Tirmidzi dari Amir bin Syu’aib, Nabi saw bersabda “Ingatlah, siapa yang mengurus anak yatim, sedangkan anak itu mempunyai harta, maka hendaklah ia memperdagangkannya, dan jangan dibiarkan dimakan zakat”.

14 Dalam pandangan peneliti, keuntungan yang adil, bukan hanya memperhatikan kemampuan pembeli secara umum serta kebutuhan hidup (kebutuhan makan, air, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, keamanan, dan berumahtangga) dan akhirat penjual tetapi yang tak kalah pentingnya adalah melakukan perbaikan dan menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekitar dimana perusahaan beroperasi. Memasukkan unsur lingkungan dalam komponen keuntungan dimaksudkan mengembalikan fungsi lingkungan seperti sebelum terjadinya kerusakan akibat beroperasinya perusahaan tersebut dan menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitarnya dengan memberikan santunan kepada mereka yang tidak mampu. Dengan memasukkan ketiga unsur tersebut di atas dalam menentukan besarnya keuntungan, yaitu kemampuan pelanggan secara umum, kebutuhan pengusaha, dan pemeliharaan lingkungan di mana perusahaan beraktivitas sebagai komponen margin keuntungan akan menciptakan pembangunan yang berkesinambungan. Hal ini terjadi karena pertama, perusahaan menciptakan hubungan yang harmonis bukan hanya dengan manusia disekitarnya (pembeli dan masyarakat yang kurang mampu), dengan Penciptanya, tetapi juga dengan lingkungan alam sekitarnya. Kedua, menciptakan perpaduan antara sifat egoistik dengan sifat altruistik dan lingkungan alam di sekitarnya (Kamla et al. 2006). Ketiga, akibat perpaduan sifat egoistik dan altruistik akan berdampak pada hubungan kerja di dalam perusahaan yang tidak hanya mementingkan diri sendiri tetapi juga menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama karyawan, manajemen, pemilik, dan dengan Sang Penciptanya, serta memelihara lingkungan. Melalui pendekatan ini, para karyawan akan bekerja secara tulus untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk yang dihasilkan karena mereka merasa menyatu bukan hanya perusahaan dengan pelanggan tetapi juga dengan lingkungannya. Keempat, dengan melakukan pemeliharaan lingkungan alam akan menciptakan hubungan yang berkesinambungan antara generasi sekarang dengan generasi yang akan datang (Kamla et al. 2006; Asmal dan Asmal, 2000). Kelima, dengan mengciptakan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, lingkungan alam, dan Sang Pencipta membentuk keasadaran ontologis kepada setiap umat manusia, minimal pelaku bisnis bahwa segala bentuk aktivitasnya bukan hanya bersifat profan/duniawi tetapi dia juga sudah mempersiapkan pertanggungjawabannya di hadapan Pencipta-nya di akhirat kelak sebagai pengemban amanah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, keuntungan yang adil antara lain: a. Keuntungan sebesar kebutuhan dasar pedagang agar bisa bertahan hidup di muka bumi ini. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan makan, air, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, keamanan, dan berumahtangga. b. Keuntungan didasarkan pada besarnya kebutuhan hidup (seperti pada poin a di atas) dan kebutuhan akhirat, berupa kewajiban menjalankan rukun Islam dan sunnah untuk kepentingan diri sendiri, yaitu haji, umrah, dan qurban. c. Keuntungan sebesar kebutuhan hidup dan kebutuhan akhirat pribadi pedagang (seperti pada poin b di atas) ditambah kebutuhan hubungan dengan lingkungan, yaitu lingkungan umat manusia dimana pedagang/perusahaan beraktivitas (meliputi kebutuhan infaq, sedekah, wakaf, dan bantuan lainnya untuk meningkatkan martabat umat manusia disekitar tempat usaha) dan hubungan dengan lingkungan alam, berupa pemeliharaan lingkungan alam agar bisa berfungsi seperti sebelumnya.

15 Dengan mengacu pada penjelasan keuntungan yang adil di atas, maka komponen yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan harga jual berkeadilan adalah kemampuan pelanggan, kebutuhan penjual/pedagang, dan pemeliharaan lingkungan. Kemampuan pelanggan dapat dilihat dari income per capita masyarakat, sementara kebutuhan penjual meliputi kebutuhan dasar untuk hidup yang layak dan kebutuhan akhirat sebagai pertanggungjawaban melaksanakan amanah. Pengusaha tidak hanya adil pada diri dan pelanggannya tetapi juga mereka harus adil terhadap lingkungannya, baik lingkungan alam maupun masyarakat miskin yang ada disekitarnya. Berdasarkan besarnya keuntung yang adil tersebut di atas, maka penentuan harga jual berbasis nilai keadilan dapat dilakukan dengan cara: a. harga masukan (jumlah biaya) ditambah keuntungan yang adil (cost-plus pricing). Hal ini sejalan dengan hakikat pengembang-biakan harta (HR Tirmidzi dan Qardhawi, 2007: 593) dan sejalan dengan prinsip umum berusaha yang senantiasa mengharapkan keuntungan. Besarnya keuntungan yang diharapkan meliputi kebutuhan hidup pemilik dan keluarganya (profan). Dalam pandangan penulis, kebutuhan hidup tersebut setidak-tidaknya meliputi: kebutuhan makan, air, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi, keamanan, dan berumahtangga. Kebutuhan makan didasarkan pada hadits Nabi yang mengatakan “sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas kamu”. Oleh karena itu kebutuhan makanan harus bisa memenuhi standar empat sehat lima sempurna. Kebutuhan air guna memenuhi keperluan minum dan membersihkan badan pada umumnya serta berwudhu sebagai syarat untuk melaksanakan shalat. Kebutuhan sandang dimaksudkan untuk menutupi aurat19 dan pakaian untuk menghadiri peristiwa tertentu, seperti pakaian untuk shalat Jumat dan Ied. Sedangkan kebutuhan perumahan harus memenuhi ciri kediaman yang asri, seperti layak huni, luas dan lapang sehingga terpisah kamar antara orang tua dengan anak-anaknya dan antara anak perempuan dengan anak laki- laki ditambah kamar tidur untuk tamu yang sewaktu-waktu terpaksa menginap20, penghuni rumah tidak kelihatan oleh orang yang lalu lalang di depannya, dan memiliki prabot yang layak. Demikian juga halnya dengan kebutuhan pendidikan bagi seluruh keluarga. Pendidikan tersebut harus bisa meningkatkan kemampuan kepala keluarga agar tidak ketinggalan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan untuk pengelolaan rumah tangga bagi isteri, dan pendidikan untuk anak-anak yang bisa mengangkat harkatnya dikemudian hari. Sementara kebutuhan kesehatan harus bisa menjamin jika salah seorang anggota keluarga menderita sakit atau akan melakukan pemeriksaan berkala mendapat perawatan/pelayanan yang layak. Sedangkan kebutuhan transportasi dan komunikasi menjadi kebutuhan akibat perkembangan zaman. Kebutuhan transportasi untuk mengangkut anggota keluarga dengan aman dan tidak memperlihatkan aurat, sementara kebutuhan komunikasi berupa fix phone dan phone cell agar anggota keluarga dapat berhubungan dengan baik tanpa hambatan. Adapun kebutuhan keamanan dimaksudkan agar anggota keluarga dapat menjalankan aktivitasnya dengan aman, misalnya pengamanan rumah tangga, pengamanan di dalam perjalanan. Sementara kebutuhan 19 20

QS. al-A’raaf *7+: 26. HR Muslim dan Jabir.

16 berumatangga diperuntukkan bagi pribadi bujang21. Mereka harus mempersiapkan diri untuk berumahtangga melalui menabung untuk biaya pernikahan dan pesta pernikahan secara layak. b. Harga jual didasarkan pada jumlah biaya ditambah keuntungan yang adil. Keuntungan yang adil adalah keuntungan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok pemilik usaha dan keluarganya, yaitu kebutuhan dunia (seperti dijelaskan pada poin a di atas) dan kebutuhan untuk bekal ke akhirat. Jenis kebutuhan akhirat meliputi kebutuhan untuk melaksanakan rukun Islam, yaitu haji, zakat dan sunnah, yaitu, umrah, dan qurban. c. Penetapan harga jual harus bisa menyeimbangkan antara kebutuhan dunia (profan) dengan kebutuhan akhirat, antara kebutuhan diri sendiri dan kemampuan pembeli, antara kebutuhan diri sendiri dengan masyarakt sekitarnya, dan antara kebutuhan diri sendiri dengan lingkungan sekitarnya, sebagaimana telah dijelaskan pada keseimbangan hidup sebelumnya. Dengan demikian, penetapan harga jual berbasis nilai keadilan diharapkan tidak akan menzalimi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan di mana perusahaan beroperasi. Penambahan unsur lingkungan dalam salah satu komponen keuntungan dimaksudkan untuk menciptakan pelestarian lingkungan alam yang telah dirusak dan untuk mencegah kerusakan lingkungan (prefentif) dan menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitarnya dan generasi yang akan datang. 7. Kemanunggalan sebagai Perekat Selama ini informasi akuntansi yang disajikan masih berpusat pada informasi kuantitatif dibandingkan informasi dengan kualitatif. Informasi yang disajikan masih sebatas kondisi dan kinerja yang dapat dinilai dengan uang (dikuantifisir) sementara masih banyak informasi penting yang sulit dinilai dengan uang tidak terlaporkan. Akibatnya, informasi yang disajikan tidak lengkap dan tidak berdaya guna. Oleh karena hanya menyajikan realitas materi yang disajikan dalam unit moneter dan tidak menghasilkan informasi yang tidak berkaitan dengan materi, keputusan yang diambil bersifat tidak komprehensif dan cenderung materialistik. Dampaknya adalah terciptanya realitas yang materialistik (Triyuwono, 2006b: 376). Orang atau perusahaan berusaha dengan segala cara untuk memenuhi kebutuhan materinya tanpa mempertimbangkan dampak buruknya pada orang lain dan lingkungan. Masih hangat dalam ingatan kita melihat atau mendengar beberapa perusahaan HPH dan non-HPH melakukan pembabatan hutan, perusahaan perkebunan yang melakukan pembakaran hutan, nelayan yang menggunakan bom dan pukat harimau untuk menangkap ikan, perusahaan pabrikan yang menghasilkan produk yang berbahaya untuk dikonsumsi dan menciptakan polusi, orang-orang tertentu melakukan penipuan, dan masih banyak lagi peristiwa- peristiwa yang terjadi di muka bumi ini hanya untuk memenuhi kebutuhan materi pada dirinya sendiri yang tidak pernah tercukupi. Berbagai cara yang tidak bermoral dilakukan untuk menekan biaya guna melipatgandakan keuntungan, diantaranya dengan menekan biaya untuk mengatasi pencemaran lingkungan, menghasilkan produk berbahaya, memanfaatkan teknologi untuk menciptakan efisiensi tetapi merusak lingkungan, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini dilakukan dengan maksud untuk menekan biaya produksi dengan harapan dapat meningkatkan kinerja bottom-line tetapi dampak yang dirasakan oleh umat manusia yang lain jauh lebih besar biayanya 21

HR Muslim, Ahmad, dan Nasa’i.

17 dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh perusahaan (Chapra, 1999: 49). Demikian juga halnya dengan penentuan harga jual produk yang menganut mekanisme pasar, pemberian potongan harga yang berlebih untuk meningkatkan volume penjualan tetapi mematikan usaha lain, namun tidak memberikan potongan harga khusus kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi. Hal ini menunjukkan tidak adanya kemanunggalan produsen dengan pembeli, perusahaan dengan lingkungannya tetapi yang ada adalah hubungan semu yang didasari oleh materi. Nilai kemanunggalan/kesatuan (unity/ukhuwwah) memiliki prinsip saling mengenal, saling memahami, saling menolong, saling menjamin, saling bersinergi dan beraliansi. Transaksi syariah tidak boleh mendapatkan keuntungan di atas kerugian atau penderitaan orang lain dan lingkungan. Persaingan yang berlebih di dalam mekanisme pasar sehingga menyebabkan sebagian pelaku bisnis tidak mampu berkompetisi dan akibatnya mereka terpaksa keluar dari pasar merupakan perbuatan yang menodai nilai kemanunggalan didalam berbisnis. Kemanunggalan berarti mensinergikan dua hal yang berbeda atau bertolak belakang, mensinergikan antara tujuan pembeli dengan tujuan penjual, mensinergikan antara pemilik dengan karyawan, antara perusahaan dengan lingkungannya, antara kuantitatif dengan kualitatif, mensinergikan antara sifat- sifat maskulin dengan feminim, sifat rasional dengan intuitif, sifat objektif dengan subjektif, sifat egoistik dengan altruistik, sifat ekspansif dengan defensif, sifat materi dengan spiritual, dan lain sebagainya. Dalam konsep kemanunggalan tidak mengenal sifat yang saling meniadakan (mutually exclusive) tetapi justru yang berbeda, bertolakbelakang, bercerai-berai dieratkan, dipadukan, disenergikan, atau disatukan (mutually inclusive) untuk mendapatkan hasil yang optimal, win-win solution sehingga tidak adalagi sesuatu yang diidolakan/diunggulkan dan yang lain dimarginalkan. 8. Konsep Harga Jual Berbasis Nilai Kemanunggalan Dalam pandangan Islam, keuntungan bukan hanya bersifat materi tetapi juga non- materi. Keuntungan dalam perspektif kemanunggalan meliputi keuntungan karena terjalinnya silaturrahim, bertambahnya teman, semakin banyak orang yang merasakan kemanfaatan dari produk yang dihasilkan. Keuntungan materi atau finansial akan dengan sendirinya dapat dicapai. Dalam pandangan pemasaran, jika produk yang dihasilkan bermanfaat bagi kebutuhan umat manusia dan didukung dengan banyaknya sahabat maka dapat diyakini pendapatan dan keuntungan finansial akan mengalir. Menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, maka pada hakikatnya dia memenuhi kebutuhannya pula (Losier, 2006: 15- 8), demikian juga dengan orang menolong sesamanya22. Sementara dalam pandangan kapitalisme, persaingan untuk mendapatkan pelanggan tak dapat dielakkan lagi agar bisa bertahan dan berkembang dalam dunia bisnis. Untuk itu, setiap perusahaan harus bisa mengembangkan strategi bersaing yang diharapkan dapat memenangkan persaingan. Pada dasarnya, strategi bersaing perusahaan ditentukan oleh tujuan penetapan harga. Perusahaan yang memiliki tujuan penetapan harga untuk menghasilkan laba akan berbeda strateginya dengan perusahaan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan volume penjualan, meningkatkan citra, atau untuk stabilitas harga (Tjiptono, 2008: 152–3). Dan tujuan penetapan harga akan mempengaruhi metode penetapan harga. Di pihak lain, Islam memandang bahwa untuk mendapatkan penghasilan dibutuhkan kolaborasi atau sinergi di antara setiap pelaku bisnis bukan melalui 22

HR. Bukhari dan Muslim

18 persaingan. Karena prinsip persaingan adalah harus ada yang kalah dan ada yang menang atau harus ada yang mati dan ada yang exist (bertahan hidup). Prinsip ini bertentangan dengan nilai kemanunggalan dalam Islam yang menjunjung tinggi hubungann yang harmonis di antara sesama umat manusia. Mereka yang kurang mampu harus bisa dibantu agar bisa berkembang, minimal bisa bertahan hidup. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penetapan harga jual yang dilakukan tidak dimaksudkan untuk menghadapi persaingan tetapi untuk saling membantu di antara sesama umat. Harga yang sudah ditetapkan bisa saja berkurang dengan mempertimbangkan kondisi pelanggan. Bagi pelanggan yang mampu selayaknya membayar sesuai harga yang berlaku atau melebihinya dan kepada mereka yang kurang atau tidak mampu sudah sepantasnyalah mendapatkan harga yang sesuai dengan kemampuannya agar mereka bisa exist. Hal ini dilakukan karena apabila sang pembeli tidak mendapatkan kebutuhan ini akan bisa terancam kehidupannya. Inilah hakikat dari kemanunggalan, di antara pembeli dan penjual terjalin hubungan yang manunggal/ menyatu yang sulit dipisahkan. Hal ini sejalan dengan teori atribusi dalam psikologi (Taylor, at al., 2009: 458 dan 470-1) yang menyatakan bahwa kesediaan seseorang untuk membantu tergantung pada manfaat dari kasusnya, dan khususnya, apakah seseorang pantas untuk ditolong atau tidak. Seseorang yang tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan pokoknya karena ketiadaan lapangan kerja, lebih pantas mendapatkan pertolongan daripada mereka yang tidak bekerja karena malas. Pentapan harga jual berbasisi nilai kemanunggalan tetap menggunakan konsep harga jual costplus pricing atau mekanisme pasar, tetapi untuk menghadapi pelanggan yang kurang mampu, perlu dilakukan penyesuaian harga sesuai kemampuan pelanggan. Penyesuaian harga dari cost-plus pricing atau mekanisme pasar menjadi lebih murah karena di dorong oleh rasa belas kasihan merupakan ciri dari penetapan harga jual kemanunggalan. Pada konsep harga jual berbasis nilai kemanunggalan tersebut di atas memberikan pemahaman tentang banyak jenis keuntungan yang diperoleh, meskipun pada saat transaksi penjualan mungkin tidak memperoleh keuntungan materi bahkan mungkin juga rugi tetapi ternyata ada keuntungan lain berupa keuntungan psikis (rasa senang) dan keberkahan di dunia dengan mendapatkan keuntungan materi dari pihak lain yang jauh lebih besar. Keuntungan yang diperoleh ini merupakan keuntungan yang secara langsung dinikmati di dunia dan mungkin masih banyak lagi keuntungan lainnya yang akan dirasakan di dunia ini, misalnya rasa bahagia menolong orang dan mendapatkan banyak teman. Tidak tertutup juga kemungkinan akan mendapatkan keuntungan di akhirat kelak sebagai balasan atas sifat tolong menolong yang dia lakukan23. Berbisnis seperti ini bukan lagi dianggap sebagi berbisnis dengan sesama manusia tetapi lebih dari itu, yaitu berbisnis dengan Allah swt. Dalam pandangan ini, Dialah yang memberikan keuntungan yang berlipat ganda. Manusia atau institusi pembeli hanyalah media untuk mendapatkan keuntungan dan keberkahan. Pendapat ini akan sangat berbeda dengan paham kapitalisme yang menganggap bahwa keuntungan itu diperoleh dari pembeli. Konsekuensinya adalah pembeli harus dijaga dan dipelihara seperti raja yang harus dilayani sesuai kebutuhan dan kesenangannya. Konsep ini kemudian berkembang menjadi customer satisfaction (pelanggan harus dipuaskan). Dalam konsep ini, tidak dipermasalahkan bagaimana cara yang harus dilakukan untuk mendapatkan pelanggan tetapi yang penting mereka loyal kepada penjual atau produk yang dihasilkan. Akibatnya, menghalalkan segala cara untuk melayani pelanggan tanpa mengenal, apakah produk tersebut halal atau tidak mengganggu kemaslahatan 23

HR. Bukhari dan Muslim

19 umat secara umum atas produk yang diperjual-belikan; tidak mengenal waktu untuk melayaninya, seakan-akan hidup ini hanyalah untuk melayani pembeli, tidak adalagi waktu untuk berhubungan dengan Sang Pencipta, tetangga, keluarga dan lain sebagainya. Hubungan hanya didasarkan pada kepentingan bisnis, begitu tidak ada sangkut-pautnya dengan bisnis maka hubungan persaudaraan akan putus juga. Terdapat perbedaan lainnya yang mendasar antara paham kapitalisme dengan ajaran Islam berkaitan dengan perbedaan harga jual kepada pelanggan yang berbeda. Pada paham kapitalisme, penurunan harga hanya diperkenankan jika secara keseluruhan dapat meningkatkan laba atau menaikkan kas masuk. Itulah sebabnya, pemberian potongan harga hanya diberikan apabila penjualan dilakukan dalam jumlah besar (quantity discount) atau kepada mereka yang berduit melalui potongan tunai (cash discount) sehingga yang memiliki kemampuan dana untuk membeli lebih banyak akan mendapatkan harga yang murah. Akibatnya, kesenjangan akan semakin lebar, bukan hanya dalam memperoleh penghasilan tetapi juga di dalam memenuhi kebutuhan. Lain halnya dalam ajaran Islam, pemberian potongan harga diberikan kepada mereka yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian konsep penetapan harga jual berbasis nilai kemanunggalan adalah adjusted price. Konsep harga jual ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: a. Adjusted Cost Plus Pricing, yaitu harga jual seperti pada konsep harga jual berbasis nilai keadilan dikurangi jumlah tertentu akibat ketidakmampuan pelanggan/pembeli. b. Adjusted Market Mechanism, yaitu harga jual seperti pada konsep harga jual berbasis nilai kejujuran dikurangi jumlah tertentu akibat ketidakmampuan pelanggan/pembeli. c. Flexible Price, yaitu konsep penetapan harga jual yang didasarkan pada kondisi ketidakmampuan pelanggan/pembeli. Konsep harga jualberbasis nilai kemanunggalan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi harga normal yang berlaku dipasaran. Cara ini dilakukan untuk menjalin hubungan persaudaraan dengan sesama penjual. Hal ini sejalan dengan pernyataan Umar bin Khathab yang akan mengusir penjual yang masuk ke wilayahnya jika tidak mau menaikkan harga jual yang sama dengan harga jual yang berlaku di pasaran (al-Haritsi, 2006: 612). Regulasi harga jual semacam ini sebagai wujud rasa persaudaraan dengan sesama pedagang, khususnya dengan pedagang yang lama tanpa saling bersaing harga untuk mendapatkan pembeli. Ini juga menunjukkan, adanya perlindungan kepada pengusaha setempat sebagaimana juga seseorang wajib memelihara dan menolong tetangganya. Ini berarti bahwa tindakan Umar bukanlah merupakan agresi kepada pedagang baru (Taylor et al. 2009: 496-7). Prinsip yang dianut konsep harga jual ini adalah di antara sesama umat manusia harus ada tolong-menolong dan tidak saling mematikan (kasih sayang, dan berperilaku ihsan). Semua makhluk berhak untuk hidup dan kewajiban makhluk lainnyalah untuk membantunya jika ada yang kesulitan untuk mempertahankan kehidupannya. Dalam kondisi di mana jumlah penawaran produk lebih rendah dari pada permintaan, maka dengan pertimbangan hubungan kemanunggalan harga tidak boleh dinaikkan tetapi tetap sesuai dengan harga yang berlaku umum. 9. Kehambaan sebagai Kepatuhan Hidup kita bukan berkat kekuatan maupun keinginan kita sendiri, melainkan berkat belaskasihan kehidupan lain yang tak terhitung banyaknya, yang mendukung kehidupan kita (Murakami, 2007: 14). Dengan diatur, misalnya

20 oleh hormon dan sistem syaraf yang otomatis, seluruh fungsi vital kita termasuk pernapasan dan peredaran darah, bekerja setiap waktu untuk menjaga agar kita tetap hidup tanpa adanya usaha khusus maupun campur tangan dari pihak kita, melainkan gen kitalah yang mengontrol sistem vital ini. Gen memainkan peran penting dalam menyaring informasi linguistik dari otak. Dengan perantaraan gen, kita dapat mengerjakan segala aktivitas. Ketika yang satu mulai bekerja, yang lain bereaksi dengan berhenti atau dengan bekerja lebih keras lagi sehingga tidaklah mungkin jika pengaturan yang super hebat ini terjadi secara kebetulan. Sesuatu yang lebih besar pastilah berada di balik keselaran ini, yang tidak lain adalah Sesuatu yang Agung atau Tuhan (Murakami, 2007: 12-21). Menurut Qardhawi, ekonomi Islam adalah ekonomi berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari aturan Allah (2000a: 31). Ini menunjukkan bahwa, kepemilikan harta berlaku norma istikhlaf, yaitu bahwa harta tersebut hanyalah berupa titipan dari pemilik sejati, yaitu Allah sedangkan manusia hanya sebagai pengelola yang harus patuh pada pemilik-Nya. Dengan pemahaman ini, seorang pengusaha Muslim menyadari bahwa ia bekerja di bumi Allah dengan kekuatan dari Allah, dan melalui sarana dari Allah. Ia bekerja sesuai hukum kausalitas dan ini pun perbuatan Allah. Maka apabila kemudian ia memperoleh keuntungan atau harta, itu adalah harta Allah yang dititipkan kepadanya. Allahlah yang menciptakan harta itu dan Dia-lah pemilik sejati. Adapun manusia hanya sebagai penjaga amanah yang diberikan kepadanya (2000a: 40-1). Oleh karena itu, segala sesuatu yang dimiliki manusia termasuk dirinya adalah kepunyaan Allah dan harta yang dimilikinya merupakan titipan Allah yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Semua hasil karya manusia membutuhkan bahan dari ciptaan Allah sehingga manusia hanyalah mendayagunakan benda Allah, bukan menciptakan benda sendiri. Maksudnya, manusia hanya sekedar mengubah materi guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan bukan menciptakan materi. Dalam kaitan dengan harta yang dititipkan Allah melalui hasil usahanya, maka apabila Pemiliki Harta memberi petunjuk pemanfaatannya, maka yang dititipi (manusia) harus mengikuti Pemilik-nya. Oleh karena itu, manusia harus patuh mengelola harta yang ada pada dirinya sesuai kemauan Pemilik-nya. Pelanggaran atas hal ini merupakan pengingkaran atas hakikat keberadaannya. 10.

Memaknai Keuntungan Untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan seseorang atau organisasi dalam menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya maka dapat dilihat dari kinerja yang dicapai selama periode penugasan. Apabila kinerja yang dicapai lebih baik dari yang direncanakan atau yang ditugaskan maka dikatakan kinerjanya berhasil tetapi jika sebaliknya yang terjadi maka dikatakan kinerjanya tidak berhasil atau gagal mengemban amanah. Dalam pandangan Milton Friedman, ekonom kapitalis, kinerja selalu dihubungkan dengan materi. Seseorang atau organisasi dianggap berhasil jika mampu meningkatkan materinya. Ukuran materi yang paling umum digunakan adalah laba (Estes, 2005: 8). Akhirnya semua perhatian dan kekuatan tertuju pada bagaimana cara meningkatkan laba setiap periode. Manusia dalam hal ini manajer yang diciptakan oleh Allah swt pada dasarnya adalah orang baik, penyayang, bersih seperti bersihnya kapas, akhirnya berperilaku utilitarian, terkesan licik, egoistik, dan materialistik disebabkan karena mereka telah „tersandera‟ oleh konsep penilaian kinerja yang materialistik (Alimuddin, 2008). Para manajer tidak diberi pilihan lain kecuali harus mengejar angka laba, memaksimalkan bottom line. Menurut Estes (2005), para manajer

21 bukan saja dituntut untuk memaksimalkan laba tetapi juga dididik untuk berlaku tidak etis demi meningkatkan laba. Upaya menghindari pembelian perangkat kesehatan dan keselamatan kerja yang berkualitas serta investasi untuk penghijauan yang dianggap memperbesar biaya yang berarti akan menurunkan laba. Ini berarti bahwa, bagi perusahaan, laba lebih penting dibanding kesehatan dan keselamatan kerja bahkan nyawa manusia sekali pun, apalagi keberlangsungan hidup di masa yang akan datang. Pemutusan hubungan kerja (downsizing) akan tetap dijalankan oleh perusahaan jika hal itu akan meningkatkan efisiensi. Pengabdian dan kontribusi karyawan selama bertahun-tahun tidak berarti apa-apa ketika harus berhadapan dengan kepentingan angka laba. Demikian juga dampak ekonomi dan psikologis terhadap keluarga karyawan sama sekali tidak menjadi pertimbangan pemilik perusahaan, tetapi labalah yang menjadi ideologi perusahaan. Sifat egoistik dan materialistik inilah yang mewarnai kehidupan modern. Paham ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa hidup ini hanya sekali di dunia sehingga segala sumber daya yang ada harus dioptimalkan hasilnya untuk dinikmati sendiri. Profesionalisme menjadi dambaan untuk meningkatkan laba. Mereka yang memiliki kecerdasan dan kemampuan fisik yang baik akan mampu meningkatkan efisiensi yang berarti meningkatkan kinerja bottom-line. Sebaliknya, mempekerjakan orang yang serba kekurangan (fisik, ilmu, dan mental) akan menciptakan inefisiensi yang berarti akan menurunkan kinerja bottom-line. Lain halnya dengan perusahaan yang dikelola secara Islami, menganggap kehidupan ini adalah proses menuju pertemuan dengan Pencipta-nya sehingga segala perbuatannya harus disesuaikan dengan kemauan-Nya. Dengan demikian, filosofi mengelola usaha tertuju kepada pendekatkan diri kepada pemiliki kekayaan ini, yaitu Allah swt. Kinerja semua aktivitas usaha yang dijalankan tertuju ke Pemilik-nya. Materi bukanlah menjadi tujuan tetapi usaha yang halal dan dilaksanakan dengan keikhlasan yang menjadi dambaan. Hasil materi yang baik dan halal adalah dampak dari aktivitas yang ikhlas. Bekerja dipandang sebagai sarana untuk beribadah yang memiliki dimensi sosial (hubungan horizontal) dan sebagai pengabdian (ibadah) kepada Tuhan (hubungan vertikal). Demikian juga halnya dengan pertanggungjawaban yang dibuat oleh perusahaan yang dikelola secara Islami, bukan hanya pertanggungjawaban disampaikan kepada pemilik perusahaan sebagaimana halnya dengan perusahaan konvensional tetapi juga yang tak kalah pentingnya adalah pertanggungjawabannya kepada Pemilik kekayaan yang hakiki, yaitu Allah swt. Jenis pertanggungjawaban yang kedua ini bukan disusun oleh manajemen akan tetapi oleh pihak eksternal (malaikat) yang tidak bisa dipengaruhi dengan cara apapun. Ketika orientasi kinerja (muamalah) dan pertanggungjawaban sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Pemilik yang hakiki, Allah swt, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alimuddin (2010); kemudian laba dimaknai dalam perspektif hakikat manusia sebagaimana ditafsirkan oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004: 204-5)), dan ketika perusahaan dikelola dengan basis good corporate governance (berbisnis secara syariah) seperti yang dicontohkan oleh Muhammad saw, maka perusahaan dan para manajernya tidak lagi semata-mata berorientasi laba (bottom line), melainkan lebih pada kesejahteraan umat, pelestarian lingkungan alam, dan investasi akhirat. Oleh karena itu, bisnis yang dibangun akan berdimensi kerahmatan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), baik sekarang, maupun untuk peradaban dunia di masa datang. Dia tidak hanya memikirkan diri dan keluarganya dan selama hidupnya tetapi juga memikirkan makhluk lainnya dan generasi setelahnya (Kamla, et al. 2006 dan Asmal dan Asmal, 2000). Jika tujuan pokok mengelola bisnis tersebut telah tertanam dalam lubuk sanubari, maka seorang pebisnis tidak

22 akan pernah mengenal lelah dan tergoyahkan untuk membesarkan bisnisnya walaupun badai senantiasa dihadapinya karena dia beranggapan bahwa, sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku24. Kalimat ini bisa dimaknai dan ditanamkan dalam hati, bahwa „sesungguhnya aku berbisnis karena Allah dan dengan segala aktvitas bisnisku kuperhadapkan kepada Allah dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku dalam menjalankan bisnis ini serta Dia yang akan menentukan besarnya kinerja yang kudapatkan‟. Dengan demikian, seluruh tahapan bisnisnya dilakukan secara Islami, mulai dari masukan yang halal, diproses secara halal, dan produk yang dihasilkan atau dijual juga halal, serta tidak merusak lingkungannya. Rasulullah, saw mengingatkan umatnya dengan sabdanya, „perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap ditempat yang bersih, dan tidak merusak atau mematahkan yang dihinggapinya‟25. Itulah sebabnya, seorang pebisnis muslim bukan hanya mengharapkan laba materi tetapi yang juga tak kalah pentingnya adalah proses untuk mendapatkannya. Mendapatkan keuntungan materi yang besar tetapi dengan cara yang tidak menggunakan etika yang baik adalah tidak ada artinya malah akan membawa kerugian. Dengan demikian, tugas manusia adalah hanya bekerja seoptimal mungkin untuk memakmurkan dunia. Manusia hanya berusaha untuk menjemput rezeki bukan mencari rezeki karena rezeki sudah ditentukan Yang Maha Kuasa. Sebagai hamba hanyalah memenuhi perintah yang telah digariskan oleh yang disembah dan tidak berhak menuntut imbalan. Al-Adawiah, mengatakan: „Aku hanya hamba pelayan, dan apa urusannya seorang pelayan dengan keinginan terhadap sesuatu‟ (Sells, 2003: 250). Adapun hasil yang diperoleh hanyalah merupakan rasa kasih sayang dari-Nya. Dalam pandangan Gymnastiar (2005: 95-6), keuntungan dalam berbisnis, bukan hanya keuntungan materi tetapi masih banyak yang lebih penting. Selanjutnya dia mengatakan Keuntungan dalam berbisnis ada lima macam, yaitu pertama, keuntungan dalam bisnis itu adalah apabila kita semakin dekat kepada Allah swt dengan meningkatkan perbuatan amal saleh. Meskipun belum mendapatkan keuntungan materi berupa uang, tetapi dengan bisnis yang dilakukannnya telah mampu menolong orang lain, meringankan beban orang lain, memuaskan pembeli, atau melakukan apa saja yang baik di sisi Allah, maka semua itu merupakan keuntungan. Sebaliknya, berbisnis narkoba, perjudian, minuman keras, atau bisnis apa saja yang dilarang oleh Allah walaupun mendapatkan keuntungan uang yang besar tetapi dia mendapat fitnah karena akan mendapat kutukan dan laknat dari Allah. Keuntungan semacam ini tidak mendapat berkah. Kedua, yang namanya untung adalah kalau bisa meningkatkan citra diri [nama baik] kita. Apalah artinya punya uang [untung] yang banyak, tetapi nama baik kita rusak karena dianggap penipu, pendusta, dan lain sebagainya. Akibatnya yang ikut merasakannya adalah keluarga. Ketiga, keuntungan dari yang kita lakukan adalah menambah ilmu, pengalaman, dan wawasan. Jika kita memiliki banyak uang, tetapi tidak berilmu dan berpengalaman maka uang tersebut bisa cepat hangus atau melayang. Keempat, keuntungan itu karena bisa meningkatkan silaturrahmi atau menambah relasi. Oleh karena itu, 24 25

QS. Ash-Shaffat [37]: 99. HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Bazzar.

23 jangan pernah hanya karena masalah uang hubungan baik kita dengan orang lain menjadi hancur. Dan kelima, keuntungan yang diperoleh tidak hanya sekadar untuk mendapatkan manfaat bagi diri sendiri, tetapi apa yang kita lakukan itu justru harus lebih banyak menguntungkan dan memuaskan orang lain. Keuntungan lainnya yang sering diabaikan oleh umat manusia adalah keuntungan berupa berkah atau kenikmatan (Alaydrus, 2009: 40). Hingga saat ini belum ada satupun alat ukur yang mampu mengukur besarnya nilai kenikmatan. Dua orang atau lebih yang merasakan makanan yang sama tidak akan menghasilkan kenikmatan yang sama. Hal ini sangat tergantung dengan rasa syukur dan berkah yang diturunkan Allah kepada orang-orang yang menikmati makanan tersebut. Dari penjelasan dan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud keuntungan dalam berusaha, meliputi: pertama, apabila dengan usaha itu, pemilik dan pengelolanya semakin mendekatkan diri kepada Allah swt melalui perbuatan shaleh, misalnya mengeluarkan zakat, infaq, sedekah, wakaf, berqurban, umrah dan amal saleh lainnya berupa kesadarannya atas nikmat yang diperoleh dalam menjalankan usaha. Kedua, dengan usaha itu, dapat membantu atau meringankan beban orang lain dengan melibatkan/ mempekerjakan mereka yang kurang mampu fisik, mental, dan pikiran sehingga semua umat manusia merasa memiliki andil dalam pengembangan usaha dan mampu hidup mandiri tanpa tergantung dari orang lain. Ketiga, dengan berusaha mampu meningkatkan citra diri pemilik dan pengelolanya, misalnya dengan berbuat jujur sehingga dapat dipercaya oleh orang atau institusi lain (personal guarantie). Keempat, melalui kegiatan berusaha akan meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan pemilik dan pengelola sehingga akan tercipta pengelolaan usaha yang efisien dan efektif. Kelima, dengan kegiatan usaha tersebut akan tercipta hubungan silaturrahim yang semakin luas dan mendalam dengan pemasok, pelanggan, masyarakat disekitar tempat usaha, dan karyawan di dalam perusahaan. Keenam, melalui kegiatan berusaha tersebut akan meningkatkan kekayaan pemilik sehingga bisa meningkatkan kesejahtaraan hidupnya bersama keluarga. Ketujuh, dengan usaha tersebut akan membangkitkan kegiatan ekonomi di sekitarnya sehingga masyarakat merasakan kemanfaatannya, dan bukan menindas usaha masyarakat di sekitarnya. kedelapan, usaha tersebut mampu memelihara kebersihan dan menjaga lingkungannya dari segala macam gangguan sehingga kehidupan lebih nyaman dan sehat serta menjadikannya contoh dalam memelihara lingkungan masyarakat. Dan terakhir, adanya kepuasan batin atas keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat disekitarnya yang dipacu oleh aktivitas usahanya. 11.

Konsep Harga Jual Berbasis Nilai Kehambaan

Seorang pengusaha yang di motivasi untuk mendapatkan keuntungan materi maka yang dia bisa dapatkan hanyalah keuntungan materi. Tetapi apabila, dia berusaha sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya, maka di samping dia akan mendapatkan keuntungan materi, juga yang tak kalah besar nilainya adalah berupa keberkahan dan kenikmatan dari hasil usaha tersebut serta pahala yang tak terhingga nilainya yang akan didapatkan di akhirat kelak. Seorang penjual dengan niat yang tulus kepada Allah dan menetapkan harga jual berdasarkan mekanisme pasar akan berbeda hasilnya (lebih kecil) dengan orang yang menetapkan harga berbasis nilai keadilan. Penetapan harga jual dengan mekanisme pasar seperti yang dikenal selama ini dimotivasi untuk mendapatkan keuntungan materi tanpa adanya perasaan mengorbankan materi

24 atau berbagi keuntungan dengan pelanggan. Sedangkan penetapan harga jual berbasis nilai keadilan dimotivasi untuk mendapatkan keuntungan materi dan kasih sayang dengan sesama umat manusia. Munculnya rasa keadilan dalam penetapan harga jual, menuntut adanya pengorbanan materi (opportunity cost) dan non-materi dari penjual. Demikian juga halnya dengan penetapan harga jual berdasakan nilai kemanunggalan akan semakin besar pengorbanan materinya. Semakin besar pengorbanan yang dilakukan, maka akan semakin besar kinerja yang bisa didapatkan. Penetapan harga jual berbasis nilai kehambaan dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan kinerja optimal. Hal ini disebabkan oleh besarnya pengorbanan materi yang dilakukan penjual, baik berupa pengorbanan materi maupun pengorbanan menahan hawa nafsunya untuk mendapatkan keuntungan materi yang lebih besar. Kinerja optimal bukan hanya milik penjual tetapi pembeli juga bisa mengoptimalkan kinerjanya dengan mengimplementasikan nilai kasih sayang. Kedua belah pihak mengoptimalkan keuntungannya tanpa ada yang dirugikan. Pembeli, yang karena alasan tertentu tidak cukup bahkan tidak memiliki dana untuk membeli suatu produk kebutuhan pokok, maka penjual sebagai khalifah yang memiliki percikan nilai kasih sayang dari Sang Sesembahan-nya wajib membantu sesamanya yang disesuaikan dengan kemampuan pembeli. Bahkan jika pembeli tidak memiliki dana, maka dia pantas untuk mendapatkan sedekah. Hal ini sejalan dengan seorang yang tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, maka sebagai gantinya dia harus membayar fidyah (memberi makan kepada orang miskin). Akan tetapi orang tersebut tidak memiliki dana karena dia miskin, maka dia bukannya membayar fidyah tetapi bahkan mendapatkan bantuan berupa sedekah. Konsep harga jual berbasis nilai kehambaan dapat dilakukan dengan cara: a. Total biaya untuk menghasilkan atau menjual suatu produk ditambah keuntungan tertentu yang ditentukan sendiri oleh pembeli. Konsep ini didasari atas tiga hal, yaitu: pertama, setiap orang yang mengelola harta diharuskan mengembang-biakkannya agar tidak habis dimakan zakat26 dan untuk memakmurkan dunia. Berarti setiap orang yang berusaha harus bisa menciptakan keuntungan materi. Kedua, rezeki sudah ditentukan Allah swt dan telah di catat dalam data based lauh mahfuzh27 sehingga tidak ada gunanya penjual yang menentukan harga jual, tetapi lebih baik bekerja seoptimal mungkin sesuai tuntunannya, hasilnya akan ditentukan oleh Penguasa Rezeki. Ketiga, agar keuntungan materi dan nonmateri bisa optimal untuk kedua belah pihak, penjual dan pembeli, maka penjual harus bisa merelakan penentuan besarnya keuntungan tersebut kepada pembeli, dan pembeli akan berusaha mengoptimalkan kinerjanya dengan rela membayar lebih besar dari harga umum atau sesuai kemampuan optimalnya. b. Harga jual ditentukan sendiri oleh pembeli. Dalam pandangan ini, penetapan harga jual berbasis kehambaan, beranggapan bahwa tidak ada gunanya menghitung seluruh biaya yang terjadi atas suatu produk karena yang menentukan harga jual adalah kondisi pada saat terjadinya transaksi. Kondisi pada saat itu sangat ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, apakah calon pembelinya yang mampu atau yang miskin yang datang sebagai pembeli, semuanya ditentukan oleh-Nya, kita hanya melaluinya dengan sabar. Dengan demikian penetapan harga jual yang terjadi adalah atas kehendak Yang Maha Kuasa melalui pembeli. Jika pembelinya adalah orang kaya raya dan memiliki kepribadian baik, maka 26 27

HR Iman Tirmidzi dari Amir bin Syu’aib. QS al An’aam *6+: 59.

25 mungkin harga jual yang terjadi adalah melebihi harga yang berlaku umum. Sebaliknya, jika pembelinya, orang miskin mungkin dia akan membayar dengan harga yang lebih rendah dari harga yang berlaku umum. c. Sedekah. Konsep harga ini beranggapan bahwa setiap umat manusia seharusnya mengembangkan sifat kasih sayangnya dengan bersedekah kepada sesamanya tanpa mengenal mampu atau tidak mampu dan tidak perlu mengharapkan pembayaran dari pembeli. Jika karena kemampuan ekonomi pembeli, bersedia membayar atas produk yang dibelinya maka dianggap sebagai pemberian Allah melalui pembeli dan bukan atas keikhlasan bekerja keras yang dilakukan selama ini. Karena bisa saja imbalan atas kerja keras yang selama ini dilakukan bukan dalam bentuk materi atau langsung pada saat itu tetapi dalam bentuk lain, hanya Allah mengetahui kebutuhan umatnya, bukan kita. Dan kedatangan bantuan tersebut tidak disangka-sangka dan sangat berarti (Ar-Rafa‟i, 2007). Penjualan produk sebagai sedekah dan pembayaran produk yang didapatkan sebagai sedekah akan menciptakan keuntungan yang berlipat ganda. Minimal keuntungan itu sebagai amal ibadah, menjalin hubungan kasih sayang dengan saling tolong-menolong, dan kepuasan batin atas pelayanan yang diberikan. Dalam konteks ini, harga dimaknai sebagai jumlah barang atau jasa yang dikorbankan untuk mendapatkan kecintaan dari Sang Penabur Rezeki dan kepuasan batin. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, harga yang terjadi adalah sangat misterius, ada calon pembeli yang sangat mampu ekonominya dan tidak mempermasalahkan besarnya harga jual tetapi ada juga yang kurang mampu yang sangat peka terhadap perubahan harga. Siapa yang menjadi pembeli merupakan kewenangan Sang Maha Pengatur. Dengan demikian, tidak ada gunanya menetapkan harga jual karena yang menentukan kualifikasi pembeli adalah Sang Maha Pemberi Rezeki. Jika pembelinya dari kalangan yang mampu dan berkepribadian baik maka kemungkinan besar akan membayar sama atau lebih besar dari harga jual yang berlaku umum. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu penetapan harga ditentukan oleh-Nya melalui pembeli. Penetapan harga jual semacam ini disebut pricing by buyers. Konsekuensi logis dari konsep ini adalah keikhlasan pedagang menerima hasil penjualan, berapapun nilainya. Konsep harga jual semacam ini tidak dikenal dalam harga jual konvensional tetapi di dalam kehidupan sehari-hari biasa ditemukan. Seorang dosen yang diminta berceramah pada suatu seminar atau memberi kuliah pada institusi lain, biasanya tidak memasan tarif honorarium tetapi setelah selesai bertugas kemudian panitia seminar membayar sesuai kemampuannya. Jika sang dosen ikhlas melaksanakan tugas ini tanpa dipengaruhi besar-kecilnya honorarium maka dia telah menerapkan harga jual berbasis kehambaan. Dengan demikian sang dosen tidak memaksakan kehendaknya untuk meraih pendapatan tetapi dia serahkan pengaturannya kepada Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, bagi panitia, tidak merasa terbebani oleh tarif honorarium tetapi semata-mata disesuaikan dengan kemampuannya. Jadi harga yang terjadi bukan merupakan kesepakatan kedua belah pihak sebagaimana di dalam harga jual konvensional tetapi di dasarkan kepada keikhlasan. Jika pelaksana ingin mengoptimalkan kinerjanya maka dia akan membayar melebihi tarif yang berlaku umum demi untuk menyenangkan saudaranya, sebagaimana Allah senantiasa berbuat baik kepada hamba-Nya. Dengan demikian akan tercipta hubungan yang lebih harmonis di antara pelaku bisnis. Bagi penjual, setiap kali menerima pendapatan berapa pun besarnya akan membangkitkan rasa bahagia di dalam dirinya karena tidak pernah menetapkan pendapatan yang harus dicapai; Bagi pembeli, akan tercipta rasa

26 kebahagian karena dia membayar tidak terpaksa memenuhi kesepakatan tetapi disesuaikan dengan kemampuannya. Hasilnya, kedua belah pihak akan mendapatkan kebahagian dan rasa puas karena tidak ada merasa yang berkorban (Taylor et al. 2009: 358), semua ikhlas menerima dan memberikan kemampuan terbaiknya. Persoalan yang bisa muncul jika pembeli berlaku curang dan membayar di bawah kemampuannya dan bahkan di bawah harga umum. Dalam kondisi seperti ini, bagi seorang penjual yang menganut konsep ini tidak menjadi masalah karena, pertama, dia sudah mengikhlaskan penetapan harga jual produknya kepada Sang Maha Pemberi Rezeki, apapun hasilnya, dia ikhlas menerimanya. Kedua, hukum tarik-menarik (law of attraction) (Losier, 2009: 17) akan bekerja secara otomatis dengan merespon perbuatan curang tersebut dengan balasan kecurangan yang sama bahkan melebihinya, sebagaimana Allah juga akan membalasnya28.

DAFTAR PUSTAKA -----------------------.2001. Al Q’uran dan Terjemahannya. Percetakan Al Qur’anul Karim Kepunyaan Raja Fadh. Madina Al-Munawwarah. Afzalurrahman. 1982. Muhammad sebagai Seorang Pedagang. Terjemahan Dewi Nurjulianti, dkk. 2000. Yayasan Swarna Bhumy. Jakarta. Agustian, Ary Ginanjar. 2004. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power: Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan. Arga. Jakarta. Alaydrus, Habib Syarief Muhammad. 2009. Agar Hidup Selalu Berkah: Meraih Ketenteraman Hati dengan Hidup Penuh Berkah. PT Mizan Pustaka. Bandung. Al-Ghazali. 2008. Mutiara Ihya’ ‘Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam. Mizan. Bandung. Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. 2003. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Khalifa. Jakarta. Al-Maududi, Abul A’la. 2005. Asas Ekonomi Islam Al-Maududi. Diterjemahkan Imam Munawwir. PT Bina Ilmu Surabaya. Surabaya. Alimuddin. 2008. Tyranny of the Bottom Line: Tinjauan Kritis terhadap Konsep Kinerja Akuntansi. JAM, Jurnal Aplikasi Manajemen. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya. Malang. Volume 6. Nomor 3. Desember. Halaman 447-457. Alimuddin. 2010. Digging in the Hillside: Uncovering the Motivation and Performance of Moslem Entrepreneurs. International Seminar: Towards Knowledge Society. PostGraduate Program, Brawijaya University, 2nd - 3rd March, Malang. Al-Jailani, Syekh Abdul Qadir. 2008. Rahasia Menjadi Kekasih Allah. Diva Press. Yogyakarta.

28

QS. al-Israa’ ‘*17+: 7.

27 Al-Mishri, Mahmud. 2008. Hiduplah Bersama Orang-orang Jujur; Langkah Mudah Menikmati Hidup Penuh Berkah. Pustaka Arafah. Solo. Amuli, Sayyid Haidar. 2005. Dari Syariat Menuju Hakikat; Buku I Pokok-pokok Iman. Mizan. Bandung. Ar-Rifa’i, Sayyid Abdullah Sayyid Abdurrahman. 2007. Bila Ama Dibayar Kontan; Kisah Nyata. PT Darul Falah. Jakarta. Asmal, Abdul Cader dan Mohammad Asmal. 2000. Perspektif Islam tentang Lingkungan dan Kependudukan. Dalam Chapman, Audrey R., Rodney L. Petersen, dan Barbara Simith Moran. Consumption, Population, and Sustainability: Perspective from Science and Religion. Diterjemahkan Basuki Dian dan Admiranto Gunawan. 2007. Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan. PT. Mizan Pustaka. Bandung. Halaman 209-221. As-Sa’dy, Syaikh Abdurrahman, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Shalih al-Utsaimin, dan Syaikh Shalih Fauzan al-Fauzan. 2008. Tanya-Jawab Lengkap Permasalahan JualBeli. Pustaka As-Sunnah. Jakarta. Attar, Farid al-Din. 1905. Tadzkirat al-Auliya. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Hayyiri, Nashir. 1982. Istislami. Hal 42-51. Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Losensky, Paul dan Michael A. Sells dan di edit oleh Sells, Michael A. 1996. Early Islamic Mysticism. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Riyadi, D. Slamet. 2003. Rabi’ah al-Adawiah: Kata-kata dan Kehidupannya. dalam Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi. Mimbar Pustaka. Bandung. Halaman. 223-259. Ayub, Muhammad. 2009. Understanding Islamic Finance. Terjemahan Aditya Wisnu Pribadi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Badri, Muhammad Arifin Bin. 2008. Sifat Perniagaan Nabi Shallalahu‘alahiwasallam. Pusta Darul Ilmi. Bogor. Bewes, Timothy. 2000. What is Philosophical Honesty in Postmodern Literature?. New Literary History. Vol. 31. Halaman 421-34. Chapra, M. Umer. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi; Islamisasi Ekonomi Kontemporer. Risalah Gusti. Surabaya. Christie, Nancy, Bruno Dyck, Janet Morrill, dan Ross Stewart. 2004. Escaping the Materialistic-Individualistic Iron Cage: A Weberian Agenda for Alternative Radical Accounting. The Fourth Asia Pacific Interdisciplinary Research in Accounting (Apira) 2004 Conference. Singapore. Chwastiak, Michele dan Joni J. Young. 2003. Silences in Annual Reports. Critical Perspectives on Accounting. Vol. 14. Halaman. 533-552. Estes, W. Ralph. 1996. Tyranny of the Bottom Line: Why Corporations Make Good People Do Bad Things. Diterjemahkan Nur Basuki Rachmanto. 2005. Tyranny of the Bottom Line: Mengapa Banyak Perusahaan Membuat Orang Baik Bertindak Buruk, Terjemahan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fujitsu

Limited. 2006. Fujitsu Group Sustainability http://www.fujitsu.com/global/about/environment/contact.html.

Report

2006.

28 Gymnastiar, Abdullah. 2005. Menjemput Rezeki dengan Berkah. Penerbit Republika. Jakarta. Hartropp, Anrew. 2010. Do We Know what Economic Justice is? Nuancing Our Understanding by Engaging Biblical Perspectives. Transformation: An International Journal of Holistic Mission Studies. halaman 75 -82. Hendricks, Gay, dan Kate Ludeman. 2003. The Corporate Mystic: Sukses Berbisnis dengan Hati. Terjemahan Fahmy Yamani. Kaifa, PT Mizan Pustaka. Bandung.

Islahi, A.A. 1997. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Bina Ilmu. Surabaya. Kamla, Rania, Sonja Gallhofer, dan Jim Haslam. 2006. Islam, Nature and Accounting: Islamic Principles and the Notion of Accounting for the Environment. Accounting Forum. Vol. 30. Halaman 245–265. Khadduri, Majid. 1984. The Islamic Conception of Justice. Zoerni, H. Mochtar dan Joko S. Kahhar (Penerjemah). Teologi Keadilan, Perspektif Islam. Risalah Gusti. Surabaya. Khalid, Fazlun M. dan Joanne O’Brien. 1992. Islam and Ecology. Cassell Publishers. London. Kolm, Serge-Christophe. 1995. Economic Justice: The Central Question. European Economic Review. 39. halaman 661-73. Losier, J. Michael. 2006. Law of Attraction. Arif Subiyanto (Penerjemah). Law of Attraction; Mengungkap Rahasia Kehidupan. Ufuk Press. Jakarta. Manzoor, P.S. 2003. Environment and Values: an Islamic Perspective. http://www.islamonline.net/English/introducingislam/environment/topic12.sthml. Masqood, Ruqaiyah Waris. 2002. Harta dalam Islam: Panduan al-Qur’an dan Hadits dalam Mencari dan Membelanjakan Harta dan Kekayaan. LIntas Pustaka. Jakarta. Mathis, Klaus. 2009. Efficiency Instead of Justice: Searching for the Philosophical Foundations of the Economic Analysis of Law. Law and Philosophy Library. Volume 84. http://www.springer.com/series/6210 Murakami, Kazuo. 1997. The Divine Code of Life: Awaken Your Genes & Discover Hidden Talents. Winny Prasetyowati (Penerjemah). The Divine Message of the DNA: Tuhan dalam Gen Kita. Mizan. Bandung. Qardhawi, Yusuf. 2006. Islam dan Sekularisme. Pustaka Setia. Bandung. Qardhawi, Yusuf. 2007. Hukum Zakat. PT Pustaka Litera AntarNusa. Jakarta. Qardhawi, Yusuf. 2000b. Sunnah Rasul: Sumber Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Gema Insani Press. Jakarta. Qardhawi, Yusuf. 2000a. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Gema Insani Press. Jakarta. Rawls, John. 1999. A Theory of Justice. Harvard University Press. Massachusetts.

29 Sardar, Ziauddin. 1993. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. Terjemahan Rahmani Astuti. Mizan. Bandung. Sarlo, Chris. 2010. Basic Needs. (http://en.wikipedia.org/wiki/Basic_needs). Juni 2010. Shihab, M. Quraish. 2006. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Volume 1 – 15. Lentera Hati. Jakarta. Shihab, M. Quraish. 1997b. Membumikan al-Quran; Fungsi an Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan. Bandung. Subiyanto, Eko B. dan Iwan Triyuwono. 2004. Laba Humanis: Tafsir Sosial atas Konsep Laba dengan Pendekatan Hermeneutika. Bayumedia Publishing dan PPBEI FE UB. Malang. Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju Nilai. Pustaka Bani Quraisy. Bandung Taylor, Shelley E., Letitia Anne Peplau, dan David O. Sears. 2009. Psikologi Sosial. Prenada Media Group. Jakarta. Tjiptono, Fandy. 2008. Strategi Pemasaran. Penerbit Andi. Yogyakarta. Triyuwono, Iwan. 2006b. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Related Documents


More Documents from ""