BAB I LAPORAN KASUS 1.1 IDENTITAS PASIEN : Nama
: Tn. Sdkn
Umur
: 48 tahun
Alamat
:Karangsemading, Balong panggang, Gresik-Jawatimur
Pekerjaan
: Pegawai Swasta
Tanggal Periksa
: 22-09-2018
No RM
: 707127
1.2 ANAMNESA : Keluhan utama Riwayat penyakit sekarang
: Luka lepuh pada wajah dan badan : Luka lepuh pada daerah wajah dan daerah badan disertai dengan keluhan nyeri, terasa panas, kadang terasa gatal. Luka seperti ini sudah sejak 2 minggu yang lalu, diawali dengan muncul benjolan berisi cairan jernih yang mudah pecah, pertama muncul pada daerah wajah lalu daerah badan. Kemudian pasien berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
1
RSIS Gresik, diberi obat salep (lupa nama obat) dan diperiksakan patologi anatomi (hasil terlampir dibawah). Sekitar 3 bulan yang lalu, timbul bercak kemerahan seperti kupu-kupu pada daerah wajah pasien. Keluhan seperti silau saat terkena matahari, sering kelelahan dan nyeri sendi disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit dahulu
: Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, riwayat kencing manis maupun hipertensi disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
: Riwayat keluarga sakit serupa disangkal.
Riwayat pengobatan
: Riwayat pemakaian obat jangka panjang dan konsumsi obat obatan seperti nifedipin, kaptopril, penisillamine disangkal
Riwayat sosial
: Tidak ada yang sakit seperti ini disekitar pasien
1.3PEMERIKSAAN FISIK : Status Generalis Keadaan umum
:Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Composmentis
2
GCS
: 456
Tanda Vital
:
Tekanan Darah
:120/80 mmHg
Nadi
: 88x/menit
Suhu
: 36,5 C
Respiration Rate
: 19x/menit
Kepala / leher
:
Mata
: isokor, Anemis -/-, Ikterus -/-
Telinga
: tidak tampak kelainan
Hidung
: tampak seperti butterfly rush pada daerah sekitar hidung
Mulut
: normal, sianosis -, bibir kering -, lidah kotor–
Leher
: pembesaran kelenjar getah bening -, peningkatan JVP –
Thorax
: Simetris, retraksi dada - Jantung : S1 S2 tunggal, reguler, Gallop - Paru : Vesikuler pada kedua lapang paru
Abdomen
: Flat, Soefl, bising usus (+) 20x/menit, organomegali (-)
Ekstremitas
: Akral hangat kering merah + | +
Status dermatologis : 3
Regio facialis: Patch hiperpigmentasi, bilateral, bentukan menyerupai butterfly rush
-
Regio thorakalis : -
Makula hiperpigmentasi, multiple, ukuran 0,5cm - 1cm
-
Papul, eritem, multiple, ukuran 0,3cm – 0,5cm
-
Krusta, dasar eritematosus, multiple, berbatas tegas, ukuran 0,3cm – 0,5cm
Gambar I. Area predileksi lesi
(A) (a)
(b) (c)
4
(C) (d)
(D)
(c)
Gambar I. area predileksi lesi : (A) regio facialis dengan efloresensi (a) patch hiperpigmentasi. (B) regio thorakalis anterior dengan efloresensi (b) makula hiperpigmentasi dan (c) krusta dengan dasar eritematous. (C) regio thorakalis posterior dengan efloresensi (d) papul. (D) regio thorakalis posterior dengan efloresensi (c) krusta dengan dasar eritematous (Sumber: File Pribadi22/09/18)
Uji Manual dermatologis : Tes Nickolsky : Tidak dapat dilakukan
5
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG Gambar II
Gambar II. Hasil HistoPatologi dengan pembesaran 100x Tn. S (Sumber:File pribadi 24/09/18)
Mikroskopis : Potongan jaringan kulit tidak tampak high epidermal blaster ataupun acantocyte cell, yang tampak jaringan kulit dengan epidermis yang parakeratosis dan tak tampak adnexa kulit. Tidak didapatkan sel ganas.
1.5 DIAGNOSA Suspect Pemfigus Foliaceus
1.6 DIAGNOSA BANDING 1. Pemfigus Vulgaris 2. Sistemic Lupus Eritematous
1.7 Rencana (Edukasi, diagnostik, terapi)
6
A. Planning diagnostik
Pemeriksaan Lab : Darah lengkap, renal function test, liver function test, ANA test
Patologi anatomi ulang
B. Medikamentosa
Oral : Methylprednisolon 3 x 16mg/hari, Tappering off
Loratadin tab 1 x 10mg/hari
C. Non medikamentosa
Perawatan luka dengan teratur : Kompres terbuka NaCl 0,9% 2x sehari pada krusta
D. KIE
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit ini serta menjelaskan bahwa penyakit ini dapat berlangsung lama (kronik)
Memberi edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai cara perawatan lepuh
Memberikan edukasi kepada pasien untuk tidak meminum obat lain tanpa sepengetahuan dokter kulit
D. Follow up Tidak dilakukan karena pasien belum kontrol, tanggal kontrol 22 Oktober 2018 1.8 PROGNOSIS
7
Dubia
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Definisi Pemfigus foliaseus merupakan suatu kelainan autoimun yang ditandai dengan hilangnya daya adesi interselular keratinosit di bagian epidermis (akantolisis), yang akhirnya mengakibatkan pembentukan vesikel/bula dangkal. Tanda klinis muncul pada kulit yang terlihat sehat dan kemudian melepuh ketika digosok. Pemfigus foliaseus dicirikan dengan proses yang kronis, dengan sedikit atau tanpa keterlibatan selaput lendir. Faktor pencetus dari reaksi autoimun ini termasuk obat-obatan dan radiasi sinar ultraviolet. Contoh obat-obatan tersebut ialah penisillamine, nifedipin dan katopril. 1
2.2 Klasifikasi Pemfigus Foliaseus selanjutnya dibagi menjadi 2 subtipe yaitu :1 a)
Pemfigus Eritematosus:
Yaitu bentuk lokal dari pemfigus foliaseus yang hanya terbatas pada daerah wajah dan seborhoik yang sering dikelirukan dengan lupus eritematosus.5 b)
Pemfigus Endemik
Pemfigus Foliaseus Endemik (terutama ditemukan di lembah-lembah sungai pedesaan Brasil). Juga dikenal sebagai fogo selvagem yang bearti Api Liar (Wildfire).2
2.3 Epidemiologi
9
Pemfigus memiliki prevalensi di seluruh dunia dan kejadian tahunan mencapai sekitar 0,1-0,5 per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus pada pasien dari keturunan Yahudi lebih tinggi, dengan sekitar 1,6-3,2 kasus per 100.000 penduduk Yahudi setiap tahun. Penyakit ini memiliki kejadian tertinggi antara usia 40 – 60 tahun. 3 Selain itu prevalensi pemfigus foliaseus ini pada laki-laki dan perempuan hampir sama di semua tempat kecuali di Tunisia, dimana prevalensi pemfigus foliaseus ini lebih didominasi oleh jantina perempuan ketimbang laki-laki. Kenyataan ini sebaliknya di Colombia dimana jantina laki-laki lebih dominan. Ini menunjukkan epidemologi pemfigus ini mungkin dipengaruhi faktor lingkungan dan etnik.2
2.4 Patogenesis Lepuh superfisial pada pemfigus foliaseus ini adalah hasil reaksi yang diinduksi oleh IgG terutamanya IgG4, suatu autoantibodi yang ditujukan langsung pada lapisan adhesi desmoglein 1yang terutamanya ditemukan pada stratum granulosum di epidermis. Antibodi ini merupakan autoantibodi karena bereaksi terhadap sel pasien itu sendiri, sehingga antibodi ini dapat menyebabkan hilangnya adhesi antar keratinosit dan menimbulkan lepuh-lepuh. Ketika IgG dari pasien pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus diinjeksikan ke mencit baru lahir, maka IgG ini akan berikatan dengan permukaan keratinosit epidermal dan menyebabkan lepuh yang memiliki gambaran histologi yang sama pada pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus.Mekanisme yang terjadi melibatkan proses fosforilisasi 10
protein intra selular yang berhubungan dengan desmosome dan bukan disebabkan oleh mekanisme komplemen . Hasil reaksi ini akan menyebabkan terjadinya proses akantolisis. 1 Gangguan adhesi keratinosit terjadi pada pasien pemfigus foliaseus dan juga pada pemfigus vulgaris, maka dimungkinkan autoantibodi pada pasien-pasien ini berikatan dengan molekul-molekul dan mengganggu adhesi nya di desmosom. Desmosom adalah struktur adhesi sel yang terutama dominan pada epidermis dan membran mukosa. Molekul-molekul transmembran yang terdapat pada desmosom ada dua golongan kelompok protein yaitu desmoglein dan desmokolin. Kedua golongan protein ini berhubungan dengan Kaderin, yaitu suatu molekul yang bertugas dalam pengaturan adhesi sel-sel. Oleh karena itu, desmoglein dan desmokolin disebut kaderin desmosom yaitu yang bertugas mengatur adhesi sel-sel di desmosom. Pada pasien pemfigus foliaceus terdapat autoantibodi yang merusak desmoglein 1, sedangkan pada pasien pemfigus vulgaris terdapat autoantibodi yang merusak desmoglein 3.2 Adanya antibodi antidesmoglein menyebabkan terbentuknya lepuh. Tikus-tikus yang diinjeksikan autoantibodi terhadap desmoglein 1 atau desmoglein 3 mengalami timbulnya lepuh-lepuh. Selain itu, gambaran histologis dari pemfigus foliaseus dan pemfigus vulgaris juga muncul pada lesi tersebut. Desmoglein 1 atau desmoglein 3 dapat menyerap antibodi patogen dari serum penderita pemfigus. Titer dari IgG autoantibodi antidesmoglein 1 dan anti-desmoglein 3 berhubungan dengan aktivitas
11
penyakit. Serum pemfigus bisa juga berikatan dengan antigen selain desmoglein 1 dan desmoglein 3, namun gambaran klinis dari antibodi lain ini belum dapat dijelaskan seluruhnya. Misalnya, autoantibodi IgG antidesmoglein 1 bereaksi silang dengan desmoglein 4, namun antibodi ini tidak memiliki efek patogen. Antibodi pada serum penderita pemfigus dapat berikatan dengan antigen lain, seperti reseptor asetilkolin, tapi antigenantigen ini tidak tidak menyebabkan terbentuknya lepuh. Faktor presipitasi termasuk medikasi dan sinar UV. Terbaru ditemukan kedua-dua faktor tersebut merangsang pengikatan autoantibodi tersebut pada epidermis yang merangsang terjadinya akantolisis.3 Selain itu faktor lingkungan turut memainkan peran, ini dibuktikan dengan terjadinya pemfigus endemik yang sangat eklusif hanya pada populasi yang menghuni daerah terpencil di Brazil. 4
Gambar 1: Autoantibodi Pemfigus Foliaseus yang Ditujukan Hanya Pada Desmoglein 1.9
2.5 Manifestasi Klinis 2.5.1
Keadaan Umum Biasanya keadaan umum baik tergantung kondisi umum pasien ,
usia dan penyakit lain yang menyertai.
12
2.5.2
Kulit Lesi kulit pada pemfigus foliaseus berskuama, krusta dengan erosi
dengan dasar yang eritem. Pada stadium awal ataupun pada manifestasi lokal penyakit ini, lesi bersifat sirkumskrip dan menyebar pada sebaran seborrheik terutama pada wajah, kulit kepala dan tubuh bagian atas. Lesi primer berupa bulosa yang flasid ,namun sangat sukar ditemukan disebabkan letaknya pada bagian epidermis bagian atas, maka lebih mudah pecah dan mengalami erosi. Kelainan bisa bersifat lokal bertahun tahun lamanya, ataupun berkembang cepat menghasilkan eritoderma ekfoliatif. 1 Paparan sinar UV dan suhu bisa merangsang perjalanan penyakit. Keluhan utama yang dirasakan adalah nyeri dan panas pada lesi.Selain itu berbeda dengan pemfigus vulgaris kelainan pada membran mukosa pada pemfigus tipe ini sangat jarang walaupun pada lesi yang generalisata.1 2.6 Histopatologi Pada pemfigus foliaseus, akantolisis
terjadi dibawah stratum
korneum pada stratum granulosum, berbeda pada pemfigus vulgaris yang terjadi di suprabasalis.Sedangkan lapisan lebih dalam daripada stratum granulosum ini masih intak. Selain itu, temuan yang tersering juga adalah penemuan pustula subkornenal dengan sel neutrophil dan akantolitik dalam
13
ruangan bulosa. Selain itu, sepertimana pada pemfigus vulgaris, lesi awal mungkin menunjukkan spongiosis easonifilik.
Gambar 2 A: Akantolisis Pada Lapisan Stratum Granulosum B: Pustula Subkorneum Dengan Akantolisis.9
2.7 Penatalaksanaan Terapi untuk pemfigus foliaseus biasanya kurang agresif dibandingkan dengan pemfigus vulgaris karena angka kesakitan/morbiditas dan angka kematian/mortalitas yang lebih rendah.1 Kortikosteroid oral dan perenteral dapat digunakan untuk penanganan lini pertama untuk pemfigus. Pemberian kortikosteroid ini secara epidemiologi telah dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penderita pemfigus. Selain pemberian kortikosteroid pasien pemfigus foliaseus juga diberikan antibiotik sebagai penanganan infeksi sekunder yang mungkin terjadi. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain minosiklin (derivate tetrasiklin yang efektif bagi organisme gram positif dan negatif, dosis yang dapat diberikan yaitu 50-100 mg peroral terbagi dalam 2 dosis perhari) dan dapsone (bersifat bakterisidal
14
dan bakteriostatik, memiliki mekanisme kerja seperti sulfonamide dimana bersifat kompetitif antagonis PABA yang mencegah terbentuknya asam folic, menghambat perkembangan bakteri; obat ini digunakan pada pasien pemfigus khususnya pemfigus herpetiformia dan pemfigus foliaseus IgA; dosis yang diberikan 50-200 mg peroral terbagi dalam 4 dosis/hari).Pada kasus pemfigus local, kortikosteroid topikal mungkin sudah mencukupi 2,3
2.8 Prognosis Secara umum, PF lebih baik daripada PV. Pada pasien usia lanjut dengan penyakit lain, sebanyak 60% mematikan. Penyebab utama kematian adalah infeksi, sepsis, disebabkan infeksi sekunder dan penggunaan terapi immunosuppresisf jangka panjang.1
BAB III PEMBAHASAN
15
3.1 Pembahasan Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan terdapat luka lepuh pada daerah wajah dan badan. Luka lepuh disertai rasa nyeri, panas, dan gatal sudah seperti ini kurang lebih 2 minggu. Diawali dengan timbul benjolan berisi cairan jernih yang mudah pecah, pertama kali muncul pada daerah wajah lalu timbul juga pada daerah badan. Sekitar 3 bulan yang lalu, timbul bercak kemerahan seperti kupu kupu pada daerah wajah. Keluhan lain seperti silau saat terkena matahari, sering kelelahan, dan nyeri sendi disangkal oleh pasien. Dari pemeriksaan dermatologis pada wajah terdapat patch hiperpigmentasi, bilateral, bentukan menyerupai kupu-kupu. Pada daerah badan dan punggung, didapatkan makula hiperpigmentasi yang multiple berbatas tegas, papul eritema multiple, serta krusta dengan dasar eritematous multiple berbatas tegas dengan ukuran 0,3cm – 1cm. Pada kepustakaan dikatakan bahwa Terapi untuk pemfigus foliaseus biasanya kurang agresif dibandingkan dengan pemfigus vulgaris karena angka kesakitan/morbiditas dan angka kematian/mortalitas yang lebih rendah.1. Dalam kepustakaan disebutkan bahwa Kortikosteroid oral dan perenteral dapat digunakan untuk penanganan lini pertama untuk pemfigus.Selain pemberian kortikosteroid pasien pemfigus foliaseus juga diberikan antibiotik sebagai penanganan infeksi sekunder yang mungkin terjadi. Untuk penatalaksanaan nonmedika mentosa, dapat pula dilakukan perawatan luka secara teratur oleh pasien dengan kompres terbuka NaCl 0,9% 2x sehari pada krusta.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Stanley, John R. (2003). "Bab 59: Pemfigus". Dalam Freedberg et al. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. (6th ed.). McGraw-Hill. Halaman. 559 17
2. Jessop, Sue.. Khurmalo, Nonhlanhia. P.. (2009). Pemfigus-A Treatment Update. Diakses tanggal 24September 2018, dari www.medscape.com 3. Schwartz, Robert. A.. Majowski, Stawornir.. Majowski, Sebasian. S.. (2009). Pemfigus Foliaceus. Diakses tanggal 24September 2018, dari www.emedicie.medscape.com 4. Diaz, Luis. A.. (2007). Rituximab and Pemfigus-A therapeutic Advance. Diakses pada tangal 24September 2018, dari www.nejm.org 5. Vanessa N(2011).Pemfigus Foliaseus. Diakses 24September 2018, darihttp://dermnetnz.org 6. Mitchell, Kumar(2010).”Bab Penyakit Bulosa” Dalam Robbins & Cotran Dasar Patologis Penyakit( 7th ed.). McGraw-Hill. Halaman. 714 7. Robin, Tony B.(2002).”Bab 14 Kelainan Bulosa”. Dalam Lecture Note Dermatologi.(8th ed.). Blackwell Science. Halaman. 144 8. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Cetakan 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007. 9. William, V. 2016. Pemfigus vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksana.Bali: CDK-246 vol. 43, No. 2: 905-908.
LAPORAN KASUS “PEMFIGUS FOLIACEUS”
18
Disusun Oleh : Yafi Aldiansyah Ibrahim 17710141
Dosen Pembimbing : dr. Kurniati, Sp. KK
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN WIJAYA KUSUMA SURABAYA 2018
KATA PENGANTAR
19
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan dan menyusun laporan kasus yang berjudul “ Pemfigus foliaceus ”. Laporan kasus ini kami susun untuk memenuhi Tugas sebagai Dokter Muda dalam melaksanakan Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Wijaya Kusuma. Selain itu laporan ini disusun untuk memperluas wawasan dan pengetahuan semua dokter muda mengenai kasus-kasus, penyebab dan akibat dari terjadinya Pemfigus foliaceus. Dalam penyusunan laporan kasus ini, kami telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan yang berupa materi maupun bantuan dukungan moral. Oleh sebab itu kami mengucapkan terima kasih kepada dokter pembimbing kami, dr. Kurniati, Sp. KK. dalam membimbing dan mengarahkan proses penyusunan responsi ini. Kami menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan laporan referat ini. Semoga laporan referat ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Gresik, 27 september 2018
Penulis
DAFTAR ISI
20
COVER ........................................................................................................................ i KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ ii DAFTAR ISI ........................................................................................................................ iii BAB I LAPORAN KASUS 1. Identitas Pasien .......................................................................................................... 1 2. Anamnesa .......................................................................................................... 1 3. Pemeriksaaan Fisik .......................................................................................................... 2
21
4. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................................................... 6 5. Diagnosa .......................................................................................................... 6 6. Diagnosis Banding .......................................................................................................... 6 7. Rencana (Edukasi, diagnostik, terapi, rujukan) .......................................................................................................... 7 8. Prognosis .......................................................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi .......................................................................................................... 9
22
2.2 Klasifikasi .......................................................................................................... 9 2.3 Epidemologi .......................................................................................................... 10 2.4 Patogenesis .......................................................................................................... 10 2.5 Manifestasi Klinis .......................................................................................................... 13 2.6 Histopatologi .......................................................................................................... 13 2.7 Penatalaksanaan .......................................................................................................... 14 2.8 Prognosis .......................................................................................................... 15
23
BAB III Pembahasan ........................................................................................................................ 16 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 18
24