BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur’an adalah sumber Ilmu Pengetahuan sekaligus sumber ajaran Agama islam, Untuk itulah Al-Qur’an sebagai dasar yang mampu menjelaskan bagaimana ilmu pengetahuan bisa berkembang di kalangan ummat Islam dan pernah mencapai masa keemasan, walaupun sekarang tidak seperti zaman Daulah Umayyah terutama Daulah Abbasiyah yang berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan secara gemilang dengan berlandaskan Islam. Ilmu pengetahuan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam, sebab kata islam itu sendiri, dari kata dasar aslama yang artinya “tunduk patuh”, mempunyai makna “tunduk patuh kepada kehendak atau ketentuan Allah”. Dalam Surat Ali Imran ayat 83, Allah menegaskan bahwa seluruh isi jagat raya, baik di langit maupun di bumi, selalu berada dalam keadaan islam, artinya tunduk patuh kepada aturan-aturan Ilahi. Allah memerintahkan manusia untuk meneliti alam semesta yang berisikan ayat-ayat Allah. Sudah tentu manusia takkan mampu menunaikan perintah Allah itu jika tidak memiliki ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, kata alam dan ilmu mempunyai akar huruf yang sama: ain-lam-mim. Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Iptek atau Ilmu Pengetahuan dan Teknolgi, merupakan salah satu hal yang tidak dapat kita lepaskan dalam kehidupan kita. Kita membutuhkan ilmu karena pada dasarnya manusia mempunyai suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT hanya kepada kita, manusia, tidak untuk makhluk yang lain, yaitu sebuah akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebutlah, kita selalu akan berinteraksi dengan ilmu. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan Ilmu Pengetahuan dan wawasan keilmuan ? C. Tujuan 1. Mengetahui Ilmu Pengetahuan dan wawasan keilmuan
1
BAB 1I PEMBAHASAN A. Ilmu Pengetahuan Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusanumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan lain sebagainya. Istilah ilmu atau ilmu pengetahuan dalam bahasa asingnya kita kenal dengan istilah science, sedang pengetahuan dalam bahasa asingnya kita kenal dengan istilah knowledge. Menurut imam al-Ghazali mengemukakan bahwa arti dari tahu dan ilmu itu adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas, sehingga tidak ada lagi peluang untuk ragu-ragu, tidak mungkin salah atau keliru, dan hati merasa aman memperoleh kebenaran” sedangkan Pengetahuan adalah suatu hasil dari sesuatu yang telah diketahui, dalam pengertian bahwa, dengan pengetahuan tersebut menjadi suatu kenyataan dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya. Sejarah ilmu pada dasarnya merupakan sejarah pikiran umat manusia terlepas dari asal usul kebangsaan maupun asal mula negara, dan pembagian lintasan sejarah ilmu yang paling tepat adalah menurut urutan waktu dan bukan berdasarkan pembagian negara, lintasan sejarah ilmu terbaik mengikuti pembagian kurun waktu dari satu zaman yang terdahulu ke zaman berikutnya, zaman tertua dari pertumbuhan ilmu adalah zaman kuno yang merentang antra tahun kurang lebih 4000 SM-400M. Zaman kuno ini dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1. ± 4000- 6000 SM : Masa Mesir dan Babilon 2. 600-30 SM : Masa Yunani Kuno 3. 30 SM-400 M : Masa Romawi Di mesir mulai tumbuh berbagai gagasan ilmiah dari pengetahuan arsitektur, ilmu gaya, ilmu hitung, ilmu ukur. Semua ilmu ini penting untuk keperluan membangun berbagai kuil, istana, dan piramid. Ilmu bedah dan ilmu kedokteran juga mulai dikembangkan di Mesir, di Babilonia dikembangkan berbagai gagasan ilmiah dari ilmu bintang dan ilmu pasti. Suatu hal lain yang perlu diketahui bahwa masih melekat pada pertumbuan ilmu pada masa yang pertama ini adalah adanya penjelasan penjelasan yang persifat gaib. Pada masa
2
berikutnya di Yunani Kuno antara tahun 600-30 S.M mengenal siapa para pengembang ilmu serta tempat dan tahun kelahirannya. Ada dua jenis ilmu yang dipelajari yang pada waktu itu mendekati kematangannya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang berdisiplin dalam pengamatan dan penarikan kesimpulan, dan kedua, geometri, yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang disusun secara khusus dan sedang mendekati masalahmasalah struktur logis serta masalah-masalah definisi. Imuwan-ilmuwan yang terkemuka pada waktu itu di antaranya adalah Thales (±525-654 s.M.) merupakan ilmuwan yang pertama di dunia karena ia memplopori tumbuhnya Ilmu Bintang, Ilmu Cuaca, Ilmu Pelayaran, dan Ilmu Ukur dengan berbagai ciptaaan dan penemuan penting. Ilmuwan Yunani Kuno kedua adalah Pythagoras (578?-510 s.M.) merupakan ahli Ilmu Pasti. Ilmuwan Yunani Kuno yang ketiga adalah Democritus (±470-±400 s.M.), gagasan ilmiahnya yang terkenal ialah tentang atom. Perkembangan ilmu pada Masa berikutnya adalah Masa Romawi yang merupakan masa terakhir dari pertumbahan ilmu pada Zaman Kuno dan merupakan masa yang paling sedikit memberikan sumbangsih pada seajarah ilmu dalam Zaman Kuno. Namun bangsa Romawi memiliki kemahiran dalam kemampuan keinsinyuran dan keterampilan ketatalaksanaan serta mengatuur hukum dan pemerintahan. Bangsa ini tidak menekankan soal-soal praktis dan mengabaikan teori ilmiah, sehingga pada masa ini tidak muncul ilmuwan yang terkemuka. Perkembangan berikutnya pada zaman pertengahan, ribuan naskah pengetahuan dari Zaman Yunani Kuno yang terselamatkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh cendekiawan Muslim dan sebagian ditambahi catatan ulasan, abad VII dan VIII Kaum Muslim meguasai wilayah-wilayah Asia Kecil sampai Mesir dan Spanyol. Kota-kota yang merupakan pusat-pusat kebudayaannya ialah Bagdad, Damaskus, Kairo, Kordoba, dan Toledo. Ilmuwan-ilmuwan Muslim yang terkenal seperti Al-Razi (865-925) dan Ibnu Sina (980-1037) adalah ahli ilmu Kedokteran, Jabir ibn Hayyan (±721-±815) dalam Pengetahuan Kimia dan obat-obatan, serta dalam Ilmu Penglihatan oleh Ibn al-Haytham (965-1038). Pada abad XI bangsa-bangsa Eropa Utara berangsur-angsur mengetahui perkembangan pengetahuan ilmiah yang berlagsung di daerah Muslim. Dan dengan sebab itu Abad XIV-XVI dikenal Zaman Pencerahan (renaissance) di Eropa, ditandai dengan kelahiran kembali semua ilmiah maupun pengetahuan kemanusiaan dari Masa Yunani Kuno. Ilmuwan yang terkemuka saat itu ialah Nicolaus Copernicus (1473-1543) seorang peletak dasar Ilmu Bintang Modern. Lainnya adalah Andreas Vesailus (1514-1564) ahli Ilmu Urai Tubuh Modern. Dengan berakhirnya Zaman Pencerahan dunia memasuki Zaman Modern
3
mulai Abad XVII, pengertian ilmu yang modern dan berlainan dengan ilmu lama atau klasik mulai berkembang dalm abad ini. Perkembangan ini terjadi karena perkembangan 3 hal, yaitu perubahan alam pikiran orang, kemajuan teknologi, dan lahirnya tata cara ilmiah. Pada Zaman ini banyak melahirkan ilmuwan dengan teori baru di bidang ilmu pengetahuan yang beragam. Misal, Isaac Newton (1642-1727) penemu Kaidah Gaya Berat dan Teori Butir Cahaya, Thomas Robert Malthus (1766-1834) Teori Kependudukan. Setelah memasuki Abad XX pertumbuhan ilmu di dunia mengalami ledakan, karena boleh dikatakan setiap tahun puluhan penemuan hasil penelitian para ilmuwan muncul. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus dimana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu. 1. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian. 2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensi dari upaya ini adalah harus terdapat cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari kata Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah. 3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga. 4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia.
4
Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula. Usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayat-ayat Allah di segenap penjuru alam semesta melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sedangkan usaha-usaha manusia untuk menggali dan meneliti ayatayat Allah dalam kehidupan manusia melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya (social and cultural sciences). Pengembangan ilmu pengetahuan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang yang beriman maupun yang tidak beriman, asalkan memiliki sikap intelektual dan kemampuan metodologi ilmiah, sebab ayat-ayat Allah bersifat: 1. Pasti (Al-Furqan 2) 2. Tidak pernah berubah (Al-Fath 23) 3. Objektif (Al-Anbiya’ 105) Dampak positif dari adanya Iptek adalah sebagai berikut : 1. Mampu meringankan masalah yang dihadapi manusia. 2. Mengurangi pemakaian bahan – bahan alami yang semakin langka. 3. Membuat segala sesuatunya menjadi lebih cepat 4. Membawa manusia kearah lebih modern. 5. Menyadarkan kita akan keesaan Allah SWT 6. Menjawab pertanyaan yang dari dulu diajukan oleh nenek moyang kita melalui penelitian ilmiah. Sedangkan dampak negatif dari adanya Iptek adalah sebagai berikut : 1. Dengan segala sesuatunya yang semakin mudah, menyebabkan orang – orang menjadi malas berusaha sendiri. 2. Menjadi tergantung pada alat yang dihasilkan oleh IPTEK itu sendiri. 3. Melupakan keindahan alam. 4. Masyarakat lebih menyukai yang instan. 5. Dengan memanipulasi makanan yang ada, menyebabkan masyarakat kurang gizi. 6. Kekhawatiran masyarakat terhadap IPTEK yang semakin maju menyebabkan peradaban baru.
5
B. Posisi Ilmu Dalam Islam Al-Qur‘an dan al-Sunnah sangat mendorong umat Islam untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan perintah pertama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi-Nya, yaitu perintah membaca, melakukan pembacaan dengan mengatasnamakan Allah (iqra’ bismi rabbik) Dalam al-Qur‘an sendiri dijumpai penggunaan kata “’ilm” sebanyak 854 kali. Kata ’ilm , antara lain, digunakan sebagai “proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah [2]:31-32). Pembicaraan tentang ilmu mengantarkan kita kepada sumber-sumber ilmu, di samping klasifikasi dan ragam disiplinnya . Ayat-ayat al-Qur‘an (teks) dan ayat-ayat Allah yang ada di alam raya, keduanya secara terpadu, tidak hanya menarik ―dibaca‖ dan dikaji, melainkan juga dapat menjadi sumber dan obyek penelitian dan pengembangan yang tidak pernah lapuk ditelan zaman. Beberapa Sunnah Nabi Saw juga memerintahkan kita untuk menuntut ilmu semenjak buaian ibu hingga masuk liang lahad (mati). Tinta ulama itu lebih utama daripada darah syuhada‘ (HR. al-Bukhârî). Bertafakkur sekali itu lebih baik daripada beribadah seribu kali. Menuntut ilmu juga merupakan salah satu jalan yang mengantarkan seseorang masuk surga. “Berperang” dalam rangka mencari ilmu itu lebih disukai Allah daripada mengikuti seratus kali perang (HR. al-Bukhârî). Dalam konteks tersebut, semua manusia mencipta dan diciptakan oleh sistem kebudayaannya melalui proses pendidikan. Sejarah kebudayaan manusia berkembang dari tahap mitis (penuh mitos), ontologis, dan fungsional. Secara keseluruhan, al-Qur‘an menekankan pada kebudayaan yang fungsional di mana ilmu dan teknologi mengambil peran sentral. Al-Qur‘an mengajarkan agar manusia berpengetahuan, tidak sekedar mencari tahu, melainkan juga dengan tujuan tertentu yang bersifat fungsional. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Islami dari cara berpikir Barat adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berpikir yang pertama bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, termasuk
6
ilmu pengetahuan, berasal dari satu-satunya sumber, yang tidak lain adalah Allah (al-Haqq). Dengan demikian, Allah adalah Sumber dan Muara ilmu (al-Alîm, al-Allâm). Ilmu dalam perspektif pendidikan Islam, dengan demikian, bukan tujuan itu sendiri, melainkan sarana, media atau alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur dan mulia, Yang Maha suci, Yang Maha Mengetahui, sehingga pemiliknya sadar bahwa dengan ilmunya ia harus mengelola alam, menjalin hubungan baik dengan sesama, dan lebih-lebih beribadah dengan-Nya secara konsisten (istiqâmah) dan bertanggung jawab. Dengan ilmu, manusia diharapkan tidak saja lebih dekat dengan Tuhannya, melainkan juga lebih merakyat dengan sesama, dan lebih bermanfaat bagi kehidupan, serta berperan dalam mendayagukan fasilitas dan sumber daya alam yang tersedia di alam raya (ayat-ayat kawniyyah). Jadi, ilmu dalam Islam merupakan jalan yang dapat mengantarkan seseorang kepada ma`rifat Allah (mengenal dan memahami Allah), sehingga ia menjadi ‘abd (hamba) sekaligus khalifah-Nya yang bertanggung jawab dalam membangun peradaban dunia yang berkeadilan dan menyejahterakan. Metode Pemerolehan Ilmu Pada umumnya ilmu itu diperoleh melalui pencarian, pembacaan, penelitian, permenungan, kontemplasi, ilham, dan pengalaman. Dari segi pemerolehannya, ilmu dapat dikategorikan menjadi: al-ilm al-hushûlî atau ‘ilm al-kasb dan al-‘ilm alhudhûrî, `ilm al-wahb atau ilm ladunnî. Yang pertama diperoleh melalui usaha dan kerja akal-rasioanal, seperti: belajar, membaca, meneliti, mengamati, melakukan ujicoba (eksperimen), permenungan, dan kontemplasi. 2. Yang kedua diperoleh melalui intuisi, ma’rifah (gnostik) dan pendekatan diri kepada Allah. 1.
Para Nabi, aulia’ (wali), dan sufi pada umumnya, diyakini dapat (dan pernah) mendapat ilmu jenis ini; sedangkan masyarakat pada umumnya cenderung memperoleh ilmu melalui jalur pendidikan, baik informal, formal maupun nonformal atau otodidak. Khusus para Nabi, oleh Allah, diberi hikmah dan wahyu. Hal tersebut, antara lain, ditegaskan oleh Allah swt. dalam al-Qur‘an: Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad Saw.) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang yang disampaikan kepadanya.” (QS. al-Najm [53]:3-4).
7
Pada ayat lain Allah menyatakan: Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang al-Qur‘an dan alSunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang dianugerahi Allah hikmah itu, berarti ia benar-benar dianugerahi kanuria yang banyak…(QS. al-Baqarah [2]: 269). Jadi, ilmu Allah itu ada yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk wahyu dan hikmah, seperti yang dianugerahkan kepada para Nabi, dan ada pula yang diberikan kepada manusia pada umumnya melalui belajar, mencari ilmu, berguru, membaca, meneliti dan seterusnya. Kedua jenis ilmu tersebut pada dasarnya bermuara sama, yaitu bahwa kebenaran ilmu itu bersumber dari Allah Swt. Bedanya adalah bahwa ilmu para Nabi yang berupa wahyu mempunyai nilai kebenaran yang lebih tinggi, dibandingkan dengan ilmu yang diperoleh manusia pada umumnya. Dalam pemerolehannya, keduanya memang melibatkan fungsi akal, namun pencapaian melalui akal mustafâd (melalui Jibril) jelas lebih unggul dan steril dari hawa al-nafs (kepentingan dan kecenderungan pribadi manusia). Wahyu itu diberikan, dalam arti, Allah berkehendak menurunkan langsung ilmu-Nya kepada para Nabi; sedangkan dalam ilm hushûlî, manusia yang berkeingingan untuk memperolehnya. Dalam perspektif pendidikan Islam, pemerolehan ilmu tidak hanya terkait dengan metode pemerolehannya, melainkan juga tidak dapat dipisahkan dengan etika yang dipedomani si pembelajar. Metode pemerolehan ilmu melalui belajar (ta’allum, dirâsah, iktisâb, talaqqi, musyâfahah), menurut para pakar pendidikan Islam, antara lain seperti alKhathîb al-Baghdâdi (392-463 H), dapat ditempuh dengan imlâ (dikte dari guru kepada murid), samâ (mendengar, mengaji), qira’ah (membaca), ardh (presentasi), mudzâkarah wa tikrâr (pengulangan), su’âl (penanyaan), munâzharah (diskusi), rihlah fi thalab al-ilm (studi tour), ijâzah (pemberian pengakuan, ijazah), mukâtabah (penyalinan), i`lâm (transfer informasi), washiyyah (pemberian wasiat), munâwalah (penyampaian riwayat, berita, informasi), dan wijâdah (penyampaian riwayat berdasarkan temuan tulisan dari seseorang). Etika belajar yang mengantarkan seorang pembelajar memperoleh ilmu juga penting diperhatikan, seperti: 1. 2. 3. 4.
niat yang tulus dalam menuntut ilmu, mengkonsentrasikan diri dalam studi, sabar, rendah hati,
8
5. 6. 7. 8.
tekun, menghormati guru, ulama, berusaha secara halal, dan bersegera dan disiplin dalam belajar.
Hal senada juga pernah dinyatakan Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H) dalam syairnya: Ingatlah, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali memenuhi enam faktor. Keenam faktor itu semuanya akan kujelaskan dengan rinci, sebagai berikut: Kecerdasan, kesabaran, kemauan kuat, kecukupan dana, bimbingan tenaga pendidik, dan kecukupan alokasi waktu. C. Wawasan Keilmuan Wawasan adalah pokok kata dari wawas , secara harfiah berarti pandangan / teropong . Sampai saat ini belum ada arti baku dari wawasan , namun hal ini pada umumnya diartikan sebagai pandangan / teropong multi dimensi seseorang dalam melihat dan menjabarkan keberadaan suatu bidang tertentu secara utuh. 1. Wawasan ilmu dalam islam
lmu menurut konsepsi Islam tidak melihat keterpisahan antara yang riil dan yang gaib, sebagai konsekuensinya Islam melihat bahwa peristiwa atau sebuah mekanisme alam tidak bisa dijelaskan hanya secara empirik sebagaimana dikemukakan oleh sains. Dengan demikian ilmu dalam pengertian sehari-hari yang tidak lebih sebatas sains, merupakan reduksi dan tidak mungkin mampu mencapai hakekat realitas. Anehnya sains (ilmu) yang hanya sebuah reduksi ini dipercaya mampu menjelaskan segala-galanya. Inilah barangkali salah satu penyebab perkembangan sains tidak menambah kedekatan kita dengan Sang Pencipta, bahkan sebaliknya telah menimbulkan kerusakan kehidupan. Ilmu yang benar akan mampu meningkatkan ketakwaan seseorang terhadap Tuhannya. Salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifatullah fil ardl). Manusia mendapat tugas mewakili Allah mengelola dan menyuburkan bumi untuk kepentingan manusia sendiri. Tentu saja banyak dibutuhkan pengetahuan agar manusia mampu melaksanakan tugas ini. Dalam hal ini, secara pragmatis ilmu membantu manusia menunaikan tugas kekhalifahan yang diamanahkan kepadanya. Dengan ilmu pula manusia semakin banyak tahu akan keagungan ciptaan Allah. Ilmu yang benar akan menuntun manusia mensyukuri nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya.
9
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia disamping hadist-hadist nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Didalam Al Qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadiannya di gunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Al-Qur’an sangat kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Mahadi Ghulsyani sebagai berikut : “Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al-Qur’an dan As-Sunnah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya : “Allah meninggikan beberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan). dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut ilmu, dan ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan Allah, sehingga akan tumbuh rasa kepada Allah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan firman Allah : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah ulama (orang berilmu)”. Disamping ayat-ayat Al-Qur’an yang memposisikan ilmu dan orang berilmu sangat istimewa, Al-Qur’an juga mendorong umat Islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu. Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu menjadi sangat penting, dan Islam telah sejak awal menekankan pentingnya membaca, sebagaimana terlihat dari firman Allah yang pertama diturunkan yaitu surat Al-Alaq yang artinya : “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan kamu dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui”. Ayat-ayat tersebut, jelas merupakan sumber motivasi bagi umat Islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu, untuk terus membaca, sehingga posisi yang tinggi dihadapan Allah akan tetap terjaga, yang
10
berarti juga rasa takut kepada Allah akan menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh, dengan demikian nampak bahwa keimanan yang dibarengi dengan ilmu akan membuahkan amal ,sehingga Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa keimanan dan amal perbuatan membentuk segi tiga pola hidup yang kukuh ini seolah menengahi antara iman dan amal. Di samping ayat-ayat Al-Qur’an, banyak juga hadist yang memberikan dorongan kuat untuk menuntut Ilmu antara lain hadist berikut : “Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (hadist riwayat Baihaqi). Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu karena rela atas apa yang dia tuntut“ (hadist riwayat Ibnu Abdil Bar). Dari hadist tersebut di atas, semakin jelas komitmen ajaran Islam pada ilmu, dimana menuntut ilmu menduduki posisi fardhu (wajib) bagi umat Islam tanpa mengenal batas wilayah.
11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Al-Qur’an adalah sumber Ilmu Pengetahuan sekaligus sumber ajaran Agama islam. Al-Qur‘an dan al-Sunnah sangat mendorong umat Islam untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Etika belajar yang mengantarkan seorang pembelajar memperoleh ilmu juga penting diperhatikan, seperti: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
niat yang tulus dalam menuntut ilmu, mengkonsentrasikan diri dalam studi, sabar, rendah hati, tekun, menghormati guru, ulama, berusaha secara halal, dan bersegera dan disiplin dalam belajar.
B. Saran Kami sadar makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kami mambutuhkan kritik dan saran dari semua khalayak yang sifanya membangun. Bagi teman-teman yang ingin menambah wawasan mengenai ilmu pengetahuan dan wawasan keilmuan, teman-teman bisa mencari referensi lain.
12
Daftar Pustaka
Afrizaldi Firdani (2014). Makalah Agama Islam dan Ilmu Pengetahuan. [Online] Tersedia : http://aldy-firdani.blogspot.co.id/2014/01/makalah-agama-islamdan-ilmu-pengetahuan.html. [20 Maret 2018]. Agus Thohir (2008). Wawasan Ilmu Islam. [Online] Tersedia : http://agusthohir.blogspot.co.id/2008/12/wawasan-ilmu-islam.html. [20 Maret 2018]. Dictio (2017). Bagaimana Pandangan Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Teknologi?. [Online] Tersedia : https://www.dictio.id/t/bagaimanakahpandangan-islam-terhadap-ilmu-pengetahuan-dan-teknologi/4109. [20 Maret 2018]. IRVANBIRING366. (2014). Relevansi Ilmu Pengetahuan Menurut Hadits. [Online] Tersedia https://irvanbiring366.wordpress.com/2014/04/03/relevansiilmu-pengetahuan-menurut-hadits/. [20 Maret 2018]. Suteki. (2016). Pengertian Ilmu Pengetahuan dan Kedudukan Ilmu menurut Islam. [Online] Tersedia: http://suteki.co.id/pengertian-ilmu-pengetahuan-dankedudukan-ilmu-menurut-islam/. [20 Maret 2018].
13