LAPORAN PENDAHULUAN
EDEMA PARU Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Medikal di Ruang 5 (CVCU) Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang
Oleh : Yulinda Dwi Cahyaningtyas 0810723017
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012
LAPORAN PENDAHULUAN EDEMA PARU 1.
DEFINISI Edema paru adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya cairan ekstravaskular yang patologis pada jaringan parenkim paru. Edema paru disebabkan karena akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai
pedoman
pengobatan.(Sjaharudin
Harun
&
Sally
Aman
Nasution,2006) Edema paru terjadi dikarenakan aliran cairan dari pembuluh darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru terjadi ketika cairan yang disaring ke paru lebih cepat dari cairan yang dipindahkan. Penumpukan cairan menjadi masalah serius bagi fungsi paru karena efisiensi perpindahan gas di alveoli tidak
bisa terjadi.
Struktur
paru dapat
menyesuaikan bentuk edema dan yang mengatur perpindahan cairan dan protein di paru menjadi masalah yang klasik. Peningkatan tekanan edema paru disebabkan oleh meningkatnya keseimbangan kekuatan yang mendorong filtrasi cairan di paru. Fitur penting dari edema ini adalah keseimbangan aliran cairan dan protein ke dalam paru utuh secara fungsional. Peningkatan tekanan edema sering disebut kardiogenik, tekanan tinggi, hidrostatik, atau edema paru sekunder tapi lebih efektifnya disebut keseimbangan edema paru terganggu karena tahanan keseimbangan pergerakan antara cairan dan zat terlarut di dalam paru.
2. PATOFISIOLOGI Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan dari bagian dalam pembuluh darah merembes kedalam jaringan sekelilingnya, menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh darah atau tidak ada cukup protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam plasma (bagian dari darah yang tidak mengandung sel-sel darah). Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru. Area yang ada diluar pembuluh darah kapiler paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah tempat dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbondioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dinding ini kehilangan integritasnya. Edema paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan cairan yang merembes keluar dari pembuluh darah dalam paru sebagai ganti udara. Ini dapat menyebabkan persoalan pertukaran gas (oksigen dan karbondioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan oksigenasi darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air di dalam paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien. Faktor-faktor yang membentuk dan merubah formasi cairan di luar pembuluh darah dan di dalam paru di tentukan dengan keseimbangan cairan yang dibuat oleh Starling. Qf = Kf ⌠(Pmv – Ppmv) – σ(πmv - πpmv)⌡ Qf = aliran cairan transvaskuler; Kf = koefisien filtrasi; Pmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler; Ppmv = tekanan hidrostatik pembuluh kapiler intersisial; σ = koefisien refleksi osmosis; πmv = tekanan osmotic protein plasma; πpmv = tekanan osmotic protein intersisial. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral); Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder
oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis. Penurunan tekanan onkotik plasma pada hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, atau penyakit nutrisi. Peningkatan tekanan negatif interstisial pada pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral); Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan volume akhir ekspirasi (asma).
3. KLASIFIKASI Edema paru dapat disebabkan oleh banyak faktor yang berbeda. Ia dapat dihubungkan dengan gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema (edema paru kardiak), atau dihubungkan pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema (edema paru nonkardiak). Diagnosis Banding Edema Paru Kardiak dan Nonkardiak Edema paru kardiak
Edema paru nonkardiak
Riwayat Penyakit : Penyakit Jantung Akut
Penyakit Dasar di luar Jantung
Pemeriksaan Klinik : Akral dingin
Akral hangat
S3 gallop/Kardiomegali
Pulsasi nadi meningkat
Distensi vena jugularis
Tidak terdengar gallop
Ronki basah
Tidak ada distensi vena jugularis Ronki kering
Tes Laboratorium : EKG : Iskhemia/infark
EKG : biasanya normal
Ro : distribusi edema perihiler
Ro : distribusi edema perifer
Enzim jantung mungkin meningkat
Enzim jantung biasanya normal
Tekanan Kapiler Paru > 18mmHg
Tekanan Kapiler Paru < 18mmHg
Intrapulmonary shunting : meningkat Intrapulmonary shunting : sangat ringan
meningkat
Cairan edema/protein serum < 0,5
Cairan edema/serum protein > 0,7
Klasifikasi Edema Paru Disertai perubahan tekanan kapiler Kardiak Gagal ventrikel kiri Penyakit katup mitral Penyakit pada vena pulmonal Penyakit oklusi vena primer Mediastinitis sklerotik kronik Aliran vena pulmonal yang abnormal Stenosis atau atresi vena congenital Neurogenik Trauma kepala Tekanan intrakranial meningkat Tekanan kapiler normal Ketoasidosis diabetik Feokromositoma Pankreatitis Obstruksi saluran nafas Penurunan tekanan onkotik kapiler
Secara patofisiologi penyakit dasar penyebab edema paru kardiak dibagi menjadi 3 kelompok : Peningkatan afterload (Pressure overload) : terjadi beban yang berlebihan terhadap ventrikel pada saat sistolik. Contohnya ialah hipertensi dan stenosis aorta; Peningkatan preload (Volume overload) : terjadi beban yang berlebihan saat diastolik. Contohnya ialah insufisiensi mitral, insufisiensi aorta, dan penyakit jantung dengan left-to-right shunt (ventricular septal defect); Gangguan kontraksi otot jantung primer : pada infark miokard akut jaringan otot yang sehat berkurang, sedangkan pada kardiomiopati kongestif terdapat gangguan kontraksi otot jantung secara umum. Penyebab edema paru non kardiak secara patofisiologi dibagi menjadi : Peningkatan permeabilitas kapiler paru (ARDS) : tenggelam, inhalasi bahan kimia, dan trauma berat; Peningkatan tekanan kapiler paru : pada sindrom vena kava superior, pemberian cairan berlebih, dan transfusi darah; penurunan tekanan onkotik plasma : sindrom nefrotik dan malnutrisi.
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus 1. Ketidak-seimbangan Starling Forces: Peningkatan tekanan kapiler paru: Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotic koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: a) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral). b) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri. c) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan
tekanan
arteria
pulmonalis (over
perfusion
pulmonary edema). Penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, proteinlosing enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.Tetapi hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menyebabkan edema paru. Peningkatan tekanan negatif intersisial: Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural, contoh yangs erring menjadi etiologi adalah: a) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral). b) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan peningkatan endexpiratory volume (asma). Peningkatan tekanan onkotik intersisial. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome) Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar.Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Starling Force. Pneumonia (bakteri, virus, parasit). Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO). Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea). Aspirasi asam lambung. Pneumonitis radiasi akut. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin). Disseminated Intravascular Coagulation. Imunologi:
pneumonitis
hipersensitif,
leukoagglutinin. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks. Pankreatitis Perdarahan Akut. 3. Insufisiensi Limfatik: Post Lung Transplant. Lymphangitic Carcinomatosis. Fibrosing Lymphangitis (silicosis). 4. Tak diketahui/tak jelas High Altitude Pulmonary Edema. Neurogenic Pulmonary Edema. Narcotic overdose. Pulmonary embolism Eclampsia Post cardioversion Post Anesthesia Post Cardiopulmonary Bypass (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
obat
nitrofurantoin,
4. MANIFESTASI KLINIK EDEMA PARU KARDIOGENIK Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto toraks).Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.Secara patofisiologi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas.Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Stadium 1. Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan
memperbaiki
pertukaran
gas
di
paru
dan
sedikit
meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi. Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena
pengaruh
gravitasi.
Mungkin
pula
terjadi
refleks
bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja. Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan
dengan hati-hati.Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan
menghambat
cyclooxygenase
atau
cyclic
phosphodiesterase akan mengurangi edema' paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografimeskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung. (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006) 5. DIAGNOSIS DAN ETIOLOGI Edema paru kardiogenik merupakan gejala yang dramatik kejadian gagal jantung kiri.Hal ini diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar atrium kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolic atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada pada jalur keluar pada ventrikel kiri.Peningkatan tekanan di atrium kiri dan tekanan baji paru mengawali terjadinya edema paru kardiogenik tersebut.Akibat akhir yang ditimbulkan adalah keadaan hipoksia berat.Bersamaan dengan hal tersebut terjadi juga rasa takut pada pasien karena kesulitan bernafas, yang berakibat peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sehingga mengurangi kemampuan pengisian dari ventrikel kiri. Dengan peningkatan rasa tidak nyaman dan usaha bernapas yang harus kuat akan menambah beban pada jantung sehingga fungsi kardiak akan semakin menurun, dan diperberat oleh keadaan hipoksia. Bila kejadian ini tidak diatasi dengan segera, tingkat mortalitas edema paru kardiogenik masih tinggi.(Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
Manefestasi klinis dapat diketahui dari: Anamnesis.Edema paru kardiak berbeda dari ortopnea dan paroksismal nocturnal dyspnea, karena kejadiannya yang bisa sangat cepat dan terjadinya hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka merasa ketakutan, batu-batuk dan seperti seorang yang akan tenggelam.
Pasien biasnaya dalam
posisi
duduk
agar
dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi, atau sedikit membungkuk ke depan, sesak hebat, mungkin disertai sianosis, sering berkeringat dingin, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (frothy sputum). Pemeriksaan fisik. Dapat ditemukan frekuensi nafas yang meningkat, dilatasi alae nasi, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela intercostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negative intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi. Pemeriksaan pada paru akan terdengar ronki basah kasar setengah lapangan paru atau lebih, sering disertai wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan protodiastolik gallop, bunyi jantung II pulmonal mengeras, dan tekanan darah dapat meningkat. Radiologis.Pada foto toraks menunjukkan hilus yang melebar dan densitas meningkat disertai tanda bendungan paru, akibat edema interstisial atau alveolar. Foto thoraks.Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah
utamanya
plus
tulang-tulang
dari
vertebral
column,dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada.X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasusyang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidangbidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian
dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin
memberikan
informasi
yang
minimal
tentang
penyabab yang mungkin mendasarinya. Gambaran Radiologi yang ditemukan: 1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus) 2. Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral) 3. Kranialisasi vaskuler 4. Hilus suram (batas tidak jelas) 5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
Gambar 1: Edema Intesrtitial Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).
Gambar 2: Kardiomegali dan edema paru 1) Infiltrat di daerah basal (edema basal paru) 2) Edema “butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
Gambar 3: Bat’s Wing Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai kelainan sebelumnya, contoh: emfisema).
Laboratorium.Kelainan pemeriksan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar. Uji diagnostic yang dapat dipergunakan untuk membedakan dengan penyakit lain misalnya asma bronkial adalah pemeriksaan kadar BNP (brain natriuretic peptide) plasma. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan dapat menyingkirkan penyebab dyspnea lain seperti asma bronkial akut. Pada kadar BNP plasma yang menengah atau sedang dan gambaran radiologis yang tidak spesifik, harus dipikirkan penyebab lain yang dapat mengakibatkan terjadinya gagal jantung tersebut, misalnya restriksi pada aliran darah di katup mitral yang harus dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti ekokardiografi. EKG. Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark pada infark miokard akut dengan edema paru.Pasien dengan krisis hipertensi gambaran elektrokardiografi biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non-iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghiland dalam 1 minggu. Penyebab dari keadaan non-iskemik ini belum diketahui tetapi ada beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia subendokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau katekolamin. Ekokardiografi. Gambaran penyebab gagal jantung: kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi), segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri. Alat-alat diagnostiklain yang digunakan dalam menilai penyebab
yang
mendasari
dari
pulmonary
edema
termasuk
pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau Nterminal pro-BNP.
Ini
adalah
penanda
protein
(hormon)
yangakan timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung.Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberaparatus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema.
Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan
gagal
jantung
sebagai
penyebabnya.
Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk membedakanantara cardiac dan noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih rumitdan kritis.Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis(kateter) yang
disisipkan
kedalam
vena-vena
besar
dari dada atau leher dan dimajukanmelalui kamar-kamar sisi kanan
dari
jantung
dan
diletakkan
kedalam
kapiler-
kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluhdarah dari paru-paru).Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung dalam pembuluhpembuluh
paru,
disebut
pulmonary
artery
wedge
pressure.Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong noncardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter SwanGanz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU) setting.
Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak (EPNK) EPK Anamnesis Acute cardiac event Penemuan Klinis Perifer S3 gallop/kardiomegali JVP Ronki Laboratorium EKG Foto toraks ENzim kardiak PCWP Shunt intra pulmoner Protein cairan edema
EPNK (+)
Jarang
Dingin (low flow state)
Hangat (high flow meter) Nadi kuat (-) Tak meningkat Kering Tanda penyakit dasar
(+) Meningkat Basah
Iskemia/infark DIstribusi perihiler Bisa meningkat > 18 mmHg Sedikit < 0.5
JVP: jugular venous pressure PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure (Sjaharudin Harun & Sally Aman Nasution,2006)
Biasanya normal Distribusi perifer Biasanya normal < 18 mmHg Hebat > 0.7
6. PENATALAKSANAAN Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan kapasitas vital paru, mengurangi usaha otot pernafasan, dan menurunkan aliran darah vena balik ke jantung. Sungkup O2 dengan dosis 6-10 L/menit diberikan bersamaan dengan pemasangan jalur IV dan monitor EKG (O, I, M). Nonrebreather mask with reservoir O2 dapat menyalurkan 90-100% O2. Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun saturasi O2 kurang akurat karena terjadi penurunan perfusi perifer. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk mengetahui ventilasi dan asam basa. Tekanan ekspirasi akhir positif (positive end expiratory pressure) dapat diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas. Kantung nafas-sungkup muka menggantikan simple mask bila terjadi hipoventilasi. Continuous positive airway pressure diberikan bila pasien bernafas spontan dengan sungkup muka atau pipa endotrakea. Intubasi dilakukan bila PaO2 tidak dapat dipertahankan di atas 60 mmHg walau telah diberikan O2 100%, munculnya gejala hipoksi serebral, meningkatnya PCO2 dan asidosis secara progresif. Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-gejala dan tanda syok, berikan Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik dengan Dopamin dosis
>20 mcg/kg/mnt
mcg/menit
IV,
segera tambahkan Norephinephrine
sedangkan
Dopamine
diturunkan
0,5-30
sampai
10
mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20 mcg/kgBB/menit IV. Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru karena mengurangi preload, diberikan 2 tablet masing-masing 0,4 mg sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit bila TD tetap >90-100 mmHg. Isosorbide semprot oral bisa diberikan tetapi nitrogliserin pasta transkutan atau isosorbid oral kurang dianjurkan karena vasokonstriksi perifer tidak memungkinkan penyerapan yang optimal. Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,5-1,0 mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi sehingga aliran (preload). Efek kedua adalah diuresis yang mencapai
puncaknya setelah 30-60 menit. Efektifitas furosemide tidak harus dicapai dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum sebelumnya maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum didapat hasil yang diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu. Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok pada edema paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri (preload), dan juga mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga pernafasan. (Santoso Karo et al, 2008)
7. ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian a) Umur: Klien
dewasa
dan
bayi
cenderung
mengalami
dibandingkan
remaja/dewasa muda b) Riwayat masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien c) Riwayat penyakit dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien. d) Pemeriksaan fisik Sistem Integumen Subyektif: Obyektif: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
Sistem Pulmonal Subyektif : sesak nafas, dada tertekan Obyektif:
pernafasan
cuping
hidung,
hiperventilasi,
batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru, Sistem Cardiovaskuler Subyektif: sakit dada Obyektif: denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan Sistem Neurosensori Subyektif: gelisah, penurunan kesadaran, kejang Obyektif: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi Sistem Musculoskeletal Subyektif : lemah, cepat lelah Obyektif: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan Sistem genitourinaria Subyektif
:-
Obyektif
: produksi urine menurun/normal,
Sistem digestif Subyektif
: mual, kadang muntah
Obyektif
: konsistensi feses normal/diare
e) Studi Laboratorik : 1.
Hb
: menurun/normal
2.
Analisa Gas Darah
: acidosis respiratorik, penurunan kadar
oksigen darah, kadar karbon darah meningkat/normal 3.
Elektrolit
: Natrium/kalsium menurun/normal
Diagnosa yang mungkin muncul 1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu nafas 2. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar 3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeal 4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan kontraktilitas otot jantung 5. Disfungsi respon penyapihan ventilator berhubungan dengan kurangnya pengetahuan terhadapprosedur medis 6. Resiko terjadi trauma berhubungan dengan kegelisahan sekunder terhadap pemasangan alat bantu nafas 7. Ansietas berhubungan dengan ancaman integritas biologis aktual sekunder terhadap pemasangan alat bantu nafas 8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotrakeal
Rencana Tindakan No 1
Diagnosa Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keadaan tubuh yang lemah
Tujuan & KH Pola nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24 jam, dengan kriteria hasil: - Tidak terjadi hipoksia atau hipoksemia - Tidak sesak - RR normal (16-20 × / menit) - Tidak terdapat kontraksi otot bantu nafas - Tidak terdapat sianosis
Intervensi 1. Berikan HE pada pasien tentang penyakitnya
2. Atur posisi semi fowler
3. Observasi tanda dan gejala sianosis
4. Berikan terapi oksigenasi
5. Observasi tanda-tanda vital
6. Observasi timbulnya gagal nafas.
Rasional 1. Informasi yang adekuat dapat membawa pasien lebih kooperatif dalam memberikan terapi 2. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar. 3. Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer . 4. Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia. 5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama. 6. Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan
2
Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
Fungsi pertukaran gas dapat maksimal setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 × 24 jam dengan kriteria hasil: - Tidak terjadi sianosis - Tidak sesak - RR normal (16-20 × / menit) - BGA normal: partial pressure of oxygen (PaO2): 75-100 mm Hg partial pressure of carbon dioxide (PaCO2): 35-45 mm Hg oxygen content (O2CT): 15-23% oxygen saturation (SaO2): 94100% bicarbonate (HCO3): 22-26 mEq/liter pH: 7.35-7.45
1. Berikan HE pada pasien tentang penyakitnya
2. Atur posisi pasien semi fowler
3. Bantu pasien untuk melakukan reposisi secara sering 4. Berikan terapi oksigenasi
5. Observasi tanda – tanda vital
intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation). 7. Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi sangat membantu dalam proses terapi keperawatan 1. Informasi yang adekuat dapat membawa pasien lebih kooperatif dalam memberikan terapi 2. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancer 3. Posisi yang berbeda menurunkan resiko perlukaan akibat imobilisasi 4. Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia 5. Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan
3
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan area invasi mikroorganisme sekunder terhadap pemasangan selang endotrakeal
nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama. 6. Kolaborasi dengan tim 6. Pengobatan yang diberikan medis dalam berdasar indikasi sangat memberikan pengobatan membantu dalam proses terapi keperawatan Infeksi tidak terjadi setelah dilakukan 1. Berikan HE pada pasien 1. Informasi yang adekuat dapat tindakan keperawatan selama 3 × 24 tentang kondisi yang membawa pasien lebih jam, dengan kriteria hasil: dialaminya kooperatif dalam memberikan - Pasien mampu mengurangi kontak terapi dengan area pemasangan selang 2. Observasi tanda-tanda vital. 2. Meningkatnya suhu tubuh dpat endotrakeal dijadikan sebagai indicator o - Suhu normal (36,5 C) terjadinya infeksi 3. Observasi daerah 3. Kebersihan area pemasangan pemasangan selang selang menjadi factor resiko endotrakheal masuknya mikroorganisme 4. Lakukan tehnik perawatan 4. Meminimalkan organisme yang secara aseptik kontak dengan pasien dapat menurunkan resiko terjadinya infeksi 5. Kolaborasi dengan tim 5. Pengobatan yang diberikan medis dalam memberikan berdasar indikasi sangat pengobatan membantu dalam proses terapi keperawatan