1127-1850-1-sp.docx

  • Uploaded by: Arsyad Umar
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1127-1850-1-sp.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,477
  • Pages: 19
Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer Rekonstruksi Budaya Kerja Berbasis Syariah Muhammad Djakfar (Fakultas Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Jalan Gajayana No 50 Malang, Email: [email protected]) Abstrak: Sebagiamana diketahui bahwasanya ada tiga sistem ekonomi yang berlaku di dunia ini, yakni yang bersumber dari produk akal manusia (sains) dan yang bersumber dari wahyu. Dari sumber pertama lahir sistem kapitalis dan sosialis yang sekuler, sedangkan dari yang kedua lahirlah ekonomi berbasis syariah yang transenden. Dalam kenyataan, sistem sekuler tidak mampu memberi kesejahteraan yang berkeadilan, bahkan tidak jarang telah menimbulkan prahara kemanusiaan. Dalam hal ini yang dianggap mampu memberi solusi adalah sistem lain yang berbasis wahyu. Namun demikian, ajaran syariah yang bersumber dari wahyu itu masih perlu terus digali dan dibudayakan agar masyarakat semakin berwawasan, memahami, sampai akhirnya mampu mengaplikasikan. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Datanya digali dengan menggunakan metode dokumenter. Hasil penelitian menunjukkan, pemikiran Qardhawi, murni berlandaskan wahyu dengan pendekatan muamalah, fikih dan akhlak. Sedangkan Chapra mencoba untuk mengkafer bagaimana praktik kerja

ekonomi

konvensional dan membandingkannya dengan sistem Islam, sekaligus memberi tawaran solusi, melalui

pendekatan sains

dan nilai-nilai keislaman. Relevansi pemikiran keduanya adalah dapat

memberi muatan nilai-nilai-nilai keislaman dalam pengembangan ekonomi yang saat ini masih sangat kering dengan muatan spiritualitas. Kata kunci: Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer, Rekonstruksi Budaya Kerja, Berbasis Syariah

Pendahuluan Ekonomi Islam yang dikenal pula dengan sebutan ekonomi syariah merupakan sebuah sistem yang bersumber pokok dari ajaran wahyu. Di tengah berkembangnya sistem ekonomi sekuler yang ribawi dengan segala dampak negatif yang ditimbulkan, ekonomi Islam justru merupakan sistem yang antagonis karena secara tegas mengajarkan antiribawi. Sistem ekonomi

1

yang berbasis syariah ini mempunyai karakternya sendiri yang unik yang membedakannya dengan sistem lain yang merupakan produk akal manusia (sains).1 Karena itu kehadiran sistem ekonomi yang sarat dengan nilai-nilai transenden itu sangat menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan secara universal. Sesuai dengan watak dasar ajaran Islam itu sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin yang mengandung konsekuensi semua ajarannya berlaku untuk semua manusia, termasuk di dalamnya ajaran masalah ekonomi. Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pokok ajaran ekonomi Islam itu bersifat mujmal sehingga dibutuhkan penafsiran yang mendalam dengan penuh kehati-hatian untuk menjamin validitas produk ijtihadnya. Karena itu tidak jarang terjadi kolaborasi pemikiran antarpakar, sebagaimana yang dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Untuk bisa menghasilkan produk fatwa dalam kaitan dengan ekonomi misalnya, mereka belum mensinergikan pendapat ulama fikih dengan ahli ekonomi konvensional.2 Pada akhirnya produk fatwa ulama ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi (maraji’) ajaran ekonomi Islam oleh para pakar untuk memperkuat analisis dalam karyanya. Selain sumber utamanya, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Penelitian ini mencoba menggali pemikiran Yusuf Qardhawi dan M. Umer Chapra, karena keduanya dipandang

mempunyai kapasitas yang sangat mumpuni dalam bidang

ekonomi Islam. Sebagaimana tergambar di dalam historika karir mereka yang tertuang di bagian lain penelitian ini. Dalam melakukan pengembangan pemikiran ekonomi Islam, mereka di samping melakukan ijtihad dengan kekuatan ilmunya secara personal, mereka juga melakukan dialog imajiner melalui karya-karya tulis pakar lain untuk memperkuat pendapatnya masing-masing. Konsultasi imajiner yang seringkali dituangkan dalam bentuk sumber pustaka ini dimaksudkan untuk lebih meyakinkan khalayak, khususnya dalam dunia akademik, bahwa pemikiran itu belumlah cukup dilakukan secara individual, namun masih membutuhkan bantuan pemikiran 1

Lihat dan bandingkan dengan Muhammad Djakfar, Wacana Teologi Ekonomi Membumikan Titah Langit di Ranah Bisnis dalam Era Globalisasi, edisi revisi (Malang: UIN-Maliki Press, 2015), 1-14 2 Anonim, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid 1& 2, penyunting: H.M. Ichwan Sam, dkk (Jakarta: DSN-MUI, 2010)

2

orang lain. Inilah kiranya yang disebut kolaborasi imajiner untuk membangun dan memperkuat tradisi atau atmosfer akademik yang kredibel dan teruji. Sejatinya dalam masalah ekonomi Islam (muamalah) sudah banyak diajarkan oleh para ulama zaman terdahulu sebagaimana banyak tertuang di dalam karya-karya tulis mereka yang dikenal dengan kitab turats. Akan tetapi pikiran-pikiran mereka belumlah sedemikian sistemik dan utuh karena masih berserakan di antara kajian-kajian yang disajikan dalam berbagai ragam kitab mereka. Oleh karena itu sejalan dengan tuntutan zaman, patutlah kita memberi apresiasi kepada para pakar terkemudian (modern-kontemporer) yang banyak melakukan kajian ekonomi Islam secara lebih sistemik akademik kendati karya-karya mereka tetap merujuk kepada ajaran wahyu. Tanpa kecuali, tidak jarang mereka juga merujuk kepada pemikiran para pakar terdahulu yang memiliki kapasitas dalam keilmuannya. Sebab itu karya ini bertujuan untuk menangkap pokok-pokok pikiran para pakar tentang ekonomi Islam dan pendekatan apa yang digunakan dalam menuangkan pikiran mereka dalam bentuk karya tulis. Selain, apa dampak hasil pemikiran itu untuk membangun budaya kerja yang berbasis nilai-nilai syariah di kalangan umat Islam. Tanpa budaya kerja yang kuat, sulit kiranya umat Islam membumikan nilai-nilai syariah dalam ekonomi yang selama ini masih dapat dikatakan lemah. Inilah di antara alasan justru mengapa penelitian ini perlu dilakukan, agar khazanah pemikiran ekonomi Islam di era modern ini semakin kaya dan berkembang sejalan dengan tuntutan zaman. Kajian Teori Konstruksi Ekonomi Islam Dikatakan bahwa ekonomi Islam yang bersumber dari wahyu mempunyai keunikan tersendiri karena mempunyai karakter yang berbeda dari sistem lain. Sedangkan sistem lain yang bersumber dari ajaran sains tidak lepas dari berbagai kelemahan yang mendasar. Menurut Islam, ilmu pengetahuan adalah suatu cara yang sistematis untuk memecahkan masalah

3

kehidupan manusia yang mendasarkan pada segala aspek tujuan (ontologi), metode epistemologi), dan nilai-nilai (aksiologis) yang terkandung dalam ajaran Islam.3 Menurut Khursid Ahmad, ekonomi Islam adalah upaya sistematis untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia yang berkaitan dengan masalah ekonomi dari perspektif Islam.4 Akan tetapi dari sekian banyak definisi pada prinsipnya ekonomi Islam itu adalah suatu cabang ilmu pengatahuan yang berupaya memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami.5 Atau, secara singkat, ekonomi Islam juga dimaksudkan untuk mempelajari upaya manusia untuk mencapai falah dengan sumber daya yang ada melalui mekanisme pertukaran.6 Dengan demikian ekonomi Islam yang betujuan mencapai falah (kebahagiaan dunia dan akhirat) dan bersifat transenden selalu menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi (spiritual). Karena itu secara garis besar konstruksi ekonomi Islam dapat digambarkan sebagaimana yang dikontruk oleh Adiwarman A. Karim,7 yang pada intinya sangat menekankan pada aspek ketuhanan, nubuwah, khilafah, akhlak, dan adanya hari akhir. Namun demikian, di sisi lain ia juga mendukung adanya kehendak bebas dari individu. Sumber Ajaran Ekonomi Islam sudah pasti bersumber pokok pada ajaran wahyu, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Namun apa yang disampaikan Allah swt kepada Rasul-Nya masih bersifat mujmal sehingga masih diperlukan tafsir agar jelas apa makna di balik teks wahyu yang dimaksud. Bahkan tidak jarang pula apa yang telah dipraktikkan Rasulullah saw juga masih dibutuhkan penjelasan dari para mujtahid yang berkompeten di bidangnya. Sebab itu dalam kaitan dengan sumber ajaran ekonomi Islam, M. Abdul Mannan menyatakan bahwa pada dasarnya ada empat sumber hukum, yakni kitab suci al-Qur’an,

3

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta bekerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), 17 4 Dalam Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics & Finance Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), 7 5 P3EI –UII bekerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, 17 6 Ibid. 7 Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: IIIT, 2001). Bandingkan dengan Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, ter. H.M. Sonhadji, dkk (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995)

4

sunnah dan hadits, ijma’, qiyas dan ijtihad.8 Namun demikian selain itu ia menjelaskan masih ada prinsip-prinsip hukum lainnya yang juga berlaku di kalangan empat madzhab fikih, yakni istihsan, istislah, dan istishab.9 Akan tetapi sejalan dengan karakteristik ekonomi Islam yang menjadikan moral sebagai pilar ekonomi,10 maka berarti sumber itu tidaklah sebatas yang terkait dengan ranah hukum. Namun masih ada sumber lain yang berkaitan dengan masalah etika yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah saw dalam menjalankan bisnisnya selama kurang lebih 25 tahun.11 Di Indonesia, sumber-sumber hukum itu, antara lain dapat digali dari fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai produk ijtihad yang tidak hanya melibatkan ulama ahli fikih, namun juga dari kalangan pakar ekonomi konvensional dengan berbagai bidangnya.12 Dan dengan adanya sinergitas keilmuan itu, maka diharapkan hasil ijtihad itu akan semakin valid dan kukuh dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Budaya Kerja Koentjaraningrat dalam sebuah karyanya, “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan,” menyatakan bahwa unsur-unsur universal yang merupakan isi dari semua kebudayaan di dunia, adalah 1) sistem religi dan upacara keagamaan; 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; 3) sistem pengetahuan; 4) bahasa; 5) kesenian; 6) sistem mata pencaharian hidup; dan 7) sistem teknologi dan peralatan.13 Namun sesuai dengan perkembangan zaman bahwa di dalam hidup ini selalu terjadi perubahan budaya. Artinya, bahwa perubahan budaya selalu terjadi secara terus menerus, karena tidak ada sesuatu yang tetap, yang tetap adalah perubahan itu sendiri. 14 Perubahan selalu membawa suatu harapan sekaligus ketakutan. Harapan, karena masa depan setelah

8

M. Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, ter. M. Nastangin (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), 29. 9 Ibid., 38. Lihat dan bandingkan dengan Veithzal dan Antoni, Islamic, 366 10 Lihat, (P3EI) UII Yogyakarta bekerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, 56 11 Lihat, Djakfar, Wacana. Lihat pula Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi, edisi revisi (Malang: UINMaliki Press,2014) 12 Anonim, Himpunan Fatwa 13 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1985), 2. 14 Ahmad M. Saefuddin , Ekonomi Masyarakat Dalam Pespektif Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), 183

5

perubahan terjadi ada kemungkinan lebih baik, manusia lebih sejahtera dalam hidupnya. Sedangkan ketakutan terjadi bila masa depan justru lebih buruk dari masa kini.15 Selanjutnya dalam kaitan dengan perubahan budaya dalam sebuah artikelnya “Struktur dan Kultur: Kerangka Sosial Tranformasi Budaya,” Kuntowijoyo menyatakan: “Kontradiksi kultural yang sekarang sedang melanda kapitalisme Barat, juga terjadi pada masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Pembangunan ekonomi yang seharusnya disertai dengan etos kerja rasional dan penundaan pemuasan, terpaksa mengakui mekanisme pasar yang menawarkan kelimpahan dan pemuasan sementara dan sekarang juga.”16 Menurutnya lagi, etik puritan yang dalam sejarah menyertai pembangunan awal masyarakat ekonomi tidak menjadi acuan dalam pembangunan.17 Kenyataan ini jelas kontradiksi dengan bangunan sistem ekonomi Islam yang sangat menekankan pada masalah etika,18 yang sejatinya perlu menjadi nilai pemandu. Sistem mata pencaharian hidup sebagai bagian dari budaya yang senantiasa berubah, maka ke depan perlu dipandu oleh nilai-nilai Islam. Kajian terhadap nilai-nilai Islam sudah sangat mendesak untuk menggantikan nilai-nilai tradisional yang telah gagal oleh generasi terdahulu.19 Tugas ini sangat berat karena dalam kenyataan hanya sebagian kecil yang mampu melaksanakannya. Sebagian besar dari mereka masih lemah, baik dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, pemahaman agama, keberanian dan sebagainya.20 Hal ini sangat erat dengan apa yang disebut dengan budaya kerja. Oleh karena itu untuk mengawal perubahan budaya kerja yang selama ini masih dikatakan belum kuat, maka diperlukan rekonstruksi budaya di kalangan umat Islam agar sistem Islam benar-benar menjadi kekuatan baru.21 Akan tetapi proses pembudayaan belumlah cukup hanya ditunjang sumber daya yang tangguh, namun masih perlu juga didukung oleh infrastruktur yang memadai. 15

Ibid. Kuntowijoyo, Budaya & Masyarakat, cet 2 (Jakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999), 11 17 Ibid. 18 Baca, Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, ter. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001). Baca pula, Muhammad Djakfar, Agama. Bandingkan dan baca pula Richard T. De George, Business Ethics, Fifth Edition (London: Printice Hall International, 1999) 19 Bandingkan dengan Saefuddin, Ekonomi Masyarakat, 189 20 Ibid. 21 Dalam kaitan dengan budaya kerja, atau yang dikenal pula dengan istilah etos kerja, lihat dan baca Aswab Mahasin, dkk. (ed), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996) 16

6

Inilah sejatinya yang perlu dibangun ke depan, apakah budaya dalam arti wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan dan sebagianya. Atau, dalam wujud budaya sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia, atau dalam wujud budaya sebagai benda-benda dari hasil karya manusia.22 Pranata yang berpusat pada suatu kelakuan berpola, menurut Koentjaraningkat, saling bertemali dengan sistem norma, personel dan peralatan fisik.23 Namun demikian, bagaimanapun budaya adalah sebuah proses yang tidak mungkin dicapai secara instan, tanpa kecuali dalam membangun budaya kerja di kalangan masyarakat. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk studi kepustakaan (literer) atau dikenal dengan library research.24

Bahan-bahan kajiannya digali dari data-data kepustakaan dengan metode

dokumenter, baik dari sumber pertama (primary sources) maupun sumber kedua (secondary sources). Sumber kedua dimaksudkan pokok-pokok pikiran dari Qardhawi dan Chapra yang telah dieksplor dan dielaborasi oleh para pakar dalam karya-karya mereka. Untuk menggali hasil pemikiran kedua tokoh, sumber utama ditekankan pada kitab Dawr Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islamiy yang telah diindonesiakan oleh Didin Hafidhuddin, dkk. dengan judul “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam”. Buku ini telah diterbitkan oleh PT Dana Bhakti Wakaf Yogyakarta tahun 1995. Sedangkan karya M. Umer Chapra dengan judul “Islam dan Tantangan Ekonomi”, hasil terjemahan Ikhwan Abidin Basri dari buku Islam and the Economic Challenge yang diterbitkan oleh Gema Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Institute tahun 2000. Karya ini pun tidak kalah populernya di Indonesia, baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Sesuai dengan karya tulis kedua tokoh yang sifatnya normatif-teoritis, kecuali apa yang ditulis Chapra yang nampaknya mencerminkan refleksi pemikirannya atas praktik sistem ekonomi konvensional secara global. Dalam hal ini penelitian ini hanya sebatas untuk membandingkan antarkeduanya. Dalam hal ini, corak pemikiran Qardhawi, murni pemikiran yang berlandaskan ajaran wahyu, sedangkan Chapra mencoba untuk memotret bagaimana 22

Koentjaraningrat, Kebudayaan, 5 Ibid.,15 24 Dalam kaitan dengan penelitian pustaka, baca Mestika Zed, Metode Penelitian Pustaka (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008) 23

7

praktik kerja mesin ekonomi konvensional dan membandingkannya dengan sistem ekonomi Islam sekaligus sebagai tawaran solusi. Data

pemikiran

masing-masing,

dianalisis

dengan

menggunakan

nalar

kritis

sebagaimana lazimnya dalam penelitian pustaka. Akan tetapi sebelumnya dikemukakan terlebih dulu autobiografi keduanya yang akan mencerminkan latar belakang akademik atau setting social yang mengitarinya. Selanjutnya digali pokok-pokok pikirannya, pendekatan yang digunakan dan apa kontribusi dan relevansinya dalam membangun budaya kerja komunitas muslim ke depan dalam menghadapi tantangan globalisasi. Adapun tujuan peneltian ini antara lain adalah menggali apa sebenarnya ekonomi Islam berdasarkan hasil ijtihad kedua tokoh. Sedangkan manfaat penelitian ini antara lain dapat memberi wawasan yang lebih luas tentang ekonomi yang berbasis syariah dengan segala kelebihannya yang bersumber langsung dari firman Tuhan. Manfaat lain adalah sebagai titik tolak dalam melihat kelemahan umat Islam yang hingga saat ini belum maksimal dalam mengaplikasikan sistem Islam yang mendorong etos kerja yang tinggi. Karena itu membangun budaya kerja yang tinggi kiranya merupakan proses yang perlu dikonstruk kembali agar sistem ekonomi Islam benar-benar menjadi solusi dalam membangun ekonomi umat manusia. Hasil Penelitian dan Pembahasan Historika Biografi Figur Yusuf Qardhawi25 adalah di antara seorang ulama Islam yang sedemikian terkenal di kalangan pemerhati masalah keislaman, baik di Timur Tengah maupun di dunia Barat dan dunia Islam. Sebagai sosok ’ulama' yang mumpuni, rijal al-da’wah wa al- harakah, ia tidak saja menguasai turats Islam, namun juga yang sekuler, termasuk aliran pemikiran modern Barat. Karena potensi inteligensinya yang tinggi, ia mampu berdampingan dan berdialog dengan berbagai kalangan dan kelas di manapun berada. Qardhawi lahir di sebuah desa kecil yang bernama Shafat Turab di tengah Delta pada 9 September 1926 di negeri Mesir.26 Sebelum berusia sepuluh tahun, ia telah hafal al-Qur’an 25

Profil ini disadur dari internet www.qaradawi.com (October, 2003), 1-2, di samping dari sumber lain yang relevan 26 Yusuf Qardhawi, Kenanganku Bersama Ikhwanul Muslimin, ter. M. Lili Nur Aulia (Jakarta: Aulia Publisher, 2003), xiv

8

(hafidz)- sebuah tradisi masyarakat Timur Tengah - khususnya Mesir yang berlangsung hingga saat ini. Jenjang pendidikannya sejak ibtida’iyah, hingga program doktornya (1973), ia tempuh di Universitas al-Azhar, dengan disertasinya tentang Al-Zakah wa Atsaruha fi Hal al-Masyakil al Ijtima’iyah. Bahkan sumber lain mengatakan, Qardhawi baru menyelesaikan jenjang doktornya tahun 1972 karena ia sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu.27 Ia hijrah ke negara Qatar (1961) karena perlakuan pemeritah Mesir saat itu yang sangat tidak bersahabat terhadap dirinya. Pada tahun 1961 ia sempat menjabat sebagai direktur ma’had agama tingkat menengah atas. Selanjutnya, mendirikan Fakultas Tarbiyah di Universitas Qatar, membidani berdirinya program Islamic Studies (Dirasat al-Islamiyah) dan menjadi dekannya (1973). Tahun 1977 sampai 1989/1990, menjabat dekan di dua fakultas, yakni Syariah Islamiyah dan Dirasat Islamiyah. Setelah setahun kemudian (1990/1991), ia dipercaya sebagai direktur Majelis Ilmiyah, sebuah pusat kajian yang pernah dikomandani Ghazali sebelumnya - dan Ma’had Tinggi Islam di Universitas al-Amir Abdul Qadir al-Jaziri al-Jazair. Sampai tahun 2000/2001, ia telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, selain makalah seminar, sebanyak 91 buku. Qardhawi juga termasuk ’ulama yang moderat, terbuka dan pakar dalam bidang fikih. Dalam persoalan sosial keagamaan, pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan fikih yang sangat fleksibel dan penuh maslahah. Sikap moderat itu terbawa dalam membangun keluarga. Qardhawi yang memiliki tujuh anak sangat demokratis dan terbuka dalam mendidik anak. Ia memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Dari ketujuh putra-putrinya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum di luar negeri.28 Alasan yang cukup mendasar yang menyebabkan keterbukaan dalam persoalan pendidikan, karena Qardhawi sendiri merupakan

27 28

Ibid Ibid., xv

9

seorang ulama yang menolak dikotomi dalam pembagian ilmu. Bukankah pemisahan ilmu itu, menurut Qardhawi, telah menghambat kemajuan umat Islam.29 Selanjutnya Muhammad Umer Chapra,30 lahir 1 Februari 1933 di Bombay India dari seorang ayah yang bernama Abdul Karim Chapra. Ia besar di lingkungan keluarga yang agamis, sehingga ia tumbuh sebagai sosok yang mempunyai karakter yang baik dan terpuji. Selain juga hidup dalam keluarga yang berkecukupan yang memungkinkan ia bisa mengenyam pendidikan yang baik pula. Sampai dengan usia 15 tahun, Umer Chapra menjalani hidup di tanah kelahirannya . Setelah itu ia hijrah ke Karachi untuk menempuh pendidikannya sampai akhirnya ia meraih gelar Ph.D dari Universitas Minnesota di Amerika Serikat. Keahliannya di bidang ekonomi diakui oleh Prof. Harlan Smith, pembimbing tingkat doktoralnya di Minnesota, Meneapolis yang menyatakan bahwa Umer Chapra adalah orang terbaik yang pernah dikenalnya. Setelah itu dalam usianya yang ke 29, ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis yang bernama Khoirunnisa Jamal Mundia. Dalam mengawali karir akademik, Umer Chapra berhasil meraih medali emas dari Universitas Sind pada tahun 1950 karena prestasinya dalam ujian masuk dari 25.000 mahasiswa. Ia juga banyak terlibat dalam berbagai organisasi dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada pengembangan ekonomi Islam. Ia menjadi penasehat Islamic Research and Training Institute (IRTI) dari IDB Jeddah. Sebelum menduduki posisi sebagai penasehat peneliti senior di Saudi Arabian Monetry Agency (SAMA) Riyadh selama hampir 35 tahun.31 Bahkan kurang lebih selama 45 tahun, ia menduduki profesi di berbagai lembaga yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Ia selama dua tahun di Pakistan, enam tahun di USA, dan 37 tahun di Arab Saudi. Selain itu, banyak aktivitas yang diikutinya, seperti yang diselenggarakan IMF, IBRD, OPEC, IDB, dan OIC, dan lain-lain.32 Karena ide-ide cemerlangnya, ia telah banyak menulis buku dan artikel. Sampai saat ini terhitung sebanyak 11 buku dan 60 karya ilmiah, selain sembilan resensi buku yang telah 29

Ibid http//wikipediabahasaindonesiachapra (diakses, 28 April 2010) 31 Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, ter. Ikhwan Abidin Basri, dalam Kata Pengantar, Khurshid Ahmad, xi 32 http://id.wikipedia.org/wiki/M._Umer_Chapra (diakses 8 Mei 2010) 30

10

banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Bahkan data lain menyatakan, Umer Chapra telah menulis 16 buah buku dan monograf serta lebih dari 100 paper dan review buku-buku. Di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Bangladesh, Perancis, Indonesia, Jepang, Malaysia, Persia, Polandia, Spanyol, Turki, dan Urdu. Karena sedemikian konsen dalam pengembangan ekonomi yang berbasis syariah, ideide brillian Umer Chapra banyak tertuang dalam karangan-karangannya dalam skala internasional. Sehingga ia mendapat penghargaan dari Islamic Development Bank dan dari King Faisal International Award yang keduanya diperoleh pada tahun 1989. Sebagai pengakuan ia sebagai sosok penulis terbaik yang telah memberikan sumbangan alternatif solusi ekonomi di tingkat internasional. Di antara buku hasil karyanya, antara lain: (1) Toward a Just Monetary System (1985), (2) Islam and the Economic Challange (1992), (3) Islam and the Economic Development (1994), dan (4) The Future of Economic: An Islamic Perspective (2000).33 Keempatnya telah diindonesiakan,34 masing-masing terjemahan dari buku

yang

pertama diberi judul "Sistem Moneter Islam" yang diterjemahkan oleh Ikhwan Abidin Basri, dengan penerbit Gema Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Cendekia (cet. I, 2000). Selanjutnya, "Islam dan Tantangan Ekonomi", oleh Ikhwan Abidin Basri, dengan penerbit Gema Insani (cet. I, 2000). Berikutnya, "Islam dan Pembangunan Ekonomi," penerjemah Ikhwan Abidin Basri, dengan penerbit Gema Insani (cet. I, 2000). Dan yang terakhir, "The Future of Economics: An Islamic Perspective Landscape Baru Perekonomian Masa Depan," tim penerjemah Amdiar Amir, (et. al.), penerbit Shari'ah Economics and Banking Institute (SEBI) (2001). Pokok-pokok Pikiran, Pendekatan, dan Relevansi Penelitian ini pada dasarnya mengeksplor ide-ide pokok Yusuf Qardhawi dari sebuah karya besarnya: Dawr al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islamiy yang diindonesiakan oleh H. Didin Hafidhuddin, dkk. Buku ini telah banyak menginspirasi dan membuka cakrawala pemikiran para akademisi dan praktisi di negeri kita ini dalam kaitan dengan masalah ekonomi 33 34

http/adminblogsyariah.tokohekonomisyariah (diakses 28 April 2010) Lihat, Djakfar, Agama, 90

11

berbasis syariah. Bahkan sampai saat ini buku tersebut masih tetap menjadi referensi utama karena kedalaman isi dan keluasan serta ketajaman pemikiran penulisnya. Adapun pendekatan yang digunakan Qardhawi dalam mengkaji masalah ekonomi, sesuai latar belakang akademiknya, adalah pendekatan muamalah, fikih, dan akhlaqi.35 Dengan pendekatan pertama, maka dalam kajiannya ia banyak menggunakan term-term yang banyak digunakan dalam kajian muamalah dalam kitab-kitab klasik (turats). Jika sekiranya ia menyinggung sistem kapitalis atau sosialis-komunis misalnya, itu pun sebatas sebagai pembanding saja untuk mempertegas, bagaimana keunikan dan karakter ekonomi Islam yang juga disebut sebagai ekonomi Uluhiyah atau Rabbaniyah, karena Ekonomi Islam itu bersandar pada nilai-nilai ketuhanan yang bersumberkan ajaran al-Qur'an dan Sunnah.36 Sedangkan yang berkaitan dengan pendekatan yang kedua (hukum),37 dilakukan, karena bagaimanapun setiap muslim dalam melakukan berbagai aktivitas, hampir semuanya bersentuhan dengan masalah hukum. Apa yang boleh dilakukan (mubah), atau yang haram dilakukan, tanpa kecuali dalam aktivitas muamalah. Dalam melakukan bisnis misalnya, pelaku dilarang mempraktikkan riba, melakukan monopoli, memperdagangkan barang-barang yang haram dan lain sebagainya, karena semua ini haram hukumnya dalam Islam. Bahkan selain itu, Qardhawi menekankan pula kepada para pelaku agar menghindari yang syubhat sekalipun, yang dalam praktiknya sudah sedemikian lumrah di dunia modern saat ini. Adapun pendekatan yang ketiga, yakni akhlaqi,38 nampaknya banyak mendominasi dalam berbagai uraian karyanya. Menurut Qardhawi, akhlak merupakan salah satu ajaran yang sangat vital dalam segala aktivitas manusia.39 Ia menyatakan bahwa segala aspek kehidupan apa pun tidak bisa lepas dari ikatan nilai-nilai etis sebagaimana yang sangat ditekankan dalam Islam. Tanpa kecuali dalam masalah bisnis yang hampir mendominasi aktivitas kehidupan

35

Dalam Ibid., 59 Ibid. 37 Ibid., 59-60 38 Ibid., 60 39 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, ter. Didin Hafidhuddin (Jakarta: Robbani Press, 1997), 57 36

12

manusia guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Sebab itu jika kita cermati, tidak sedikit term-term nilai etis yang mewarnai berbagai tema analisisnya. Lebih jauh, Qardhawi mencoba menggambarkan bagaimana nilai moral harus menginternalisasi ke dalam aktivitas produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi. Ia bermaksud ingin menunjukkan kepada umat manusia bagaimana keagungan dan kelebihan ajaran Islam yang dipandu ajaran tauhid yang bersumber pokok pada ajaran al-Qur'an dan Hadits. Di tengah maraknya praktik ekonomi ribawi sebagai aktualisasi dari ajaran isme-isme lain yang seakanakan teralienasi dari nilai-nilai kebajikan yang sejatinya sangat dijunjung dalam Islam.40 Di antara pokok-pokok pikiran Qardhawi yang perlu dipahami antara lain bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi rabbaniyyah (ilahiyyah), karena titik awalnya (starting point) dari Allah, Pemelihara sekalian alam beserta segala isinya. Tujuan akhirnya adalah mencari ridha Allah dan cara-cara perolehannya tidak bertentangan dengan syariatnya. Karena itu bangunan sistem ekonomi Islam, menurut Qardhawi, tergambar dari karakteristiknya yang unik yang membedakannya dengan sistem lain sebagai produk akal manusia (sains). Karakteristik dimakasud meliputi empat aspek, yakni rabbaniyyah (ilahiyyahdivine), insaniyyah (humanity), akhlaqiyyah (ethic), dan wasathiyyah (balance-tawazun).41 Dalam hal ini yang dimaksud rabbniyyah adalah ekonomi tauhid yang mengajarkan bahwa dalam berekonomi manusia tidak lepas dari bimbingan Tuhan selaku Pemilik mutlak alam semesta dalam kehidupan. Posisi tauhid itu sangat sentral dalam kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Dan nilai-nilai tauhid yang menjadi substansi ajaran rabbaniyyah itu akan menjadi kausa prima bagi ketiga aspek karakteristik ekonomi Islam lainnya.42 Artinya, jika sekiranya tauhid (iman) seorang

40

Dalam kitabnya, Qardhawi, membahas panjang lebar bagaimana peran moral dalam aktivitas produksi, konsumsi, sirkulasi, dan distribusi. Lihat, Ibid., 135-358 41 Lihat, dalam Ibid., 23-135 42 Lihat dan bandingkan dengan Ibid.,28-32

13

pelaku bisnis itu kuat,43 maka berkecenderungan ia akan mematuhi segala ketentuan syariat yang berlaku dalam menjalankan aktivitas bisnis. Akan tetapi yang sangat krusial, menurut Qardhawi, keempat aspek di atas harus terimplementasi dalam atmosfer aktivitas bisnis yang meliputi produksi, konsumsi, sirkulasi dan distribusi. Karena jika tidak, maka berarti nilai-nilai ekonomi syariah belum terinternalisasi ke dalam bisnis. Atau, belum mampu mewarnai aktivitas bisnis dalam kehidupan sehari-hari. Inilah sejatinya relevansi membudayakan pokok-pokok pikiran Qardhawi untuk membentuk perilaku bisnis yang penuh nilai-nilai transenden di tengah kekuatan aktivitas bisnis yang kering nilainilai spiritual. Selanjutnya, sebagai salah seorang pakar tingkat dunia, dengan latar belakang akademik bidang ekonomi modern di dunia Barat, dan didukung dengan berbagai pengalaman dalam menduduki jabatan prestesius di bidang pembangunan ekonomi, serta latar belakang keluarga yang agamis, kepiawaian M. Umer Chapra tidak perlu disangsikan lagi. Dengan membaca karyakaryanya, niscaya akan banyak memberikan inspirasi, wawasan, dan pencerahan, karena dalam diri Chapra terakumulasi dua kekuatan, yakni kekuatan akademik (teoritis-normatif) dan kekuatan pengalaman (experience-praksis-pragmatis-aplikatif).44 Karena itu dengan mencermati karya-karyanya, Chapra tidak sebatas menggunakan pendekatan ekonomi konvensional sebagai latar belakang utama bidang keahliannya, namun ia juga menggunakan pendekatan lain yang mengintegrasikan sains, dalam hal ini ekonomi, dengan nilai-nilai keislaman. Untuk itu sangatlah logis, jika membaca karya-karya Chapra, paling tidak pembacanya akan memahami dua bidang keilmuan secara simultan, yakni ilmu ekonomi konvensional dan ilmu keislaman dalam kaitan dengan masalah ekonomi.45 Selanjutnya, dalam upaya mengembangkan pemikirannya tentang ekonomi Islam, Chapra secara eksplisit menggunakan kata "Islam," dalam rumusan judul-judul karya yang ditulisnya. Jika sekiranya tidak secara eksplisit kata itu digunakan, namun hampir dapat 43

Dengan konsep istikhlaf-nya, Qardhawi memberi peran yang sangat besar kepada manusia sebagai wakil Tuhan di muka bum. Lihat, Ibid.,29-52 44 Djakfar, Agama, 90 45 Ibid., 90-91

14

dipastikan esensi (substansi) analisisnya sarat dengan nilai-nilai Islam. Nampaknya hal ini dimaksudkan untuk menyandingkan, sekaligus mempertegas bagaimanakah sejatinya konsep Islam dalam kaitan dengan masalah ekonomi yang sedang dibahasnya.46 Hal ini bisa disimak dari karya-karyanya, misalnya, "Islam and the Economic Challenge," dan "Islam and Economic Development," serta "The Future of Islamics: an Islamic Perspective." Ketiganya, secara tegas mencantumkan kata "Islam." Sehingga wajar jika dalam kajian-kajian ketiganya banyak mengedepankan bagaimanakah pandangan Islam tentang pengembangan ekonomi yang bersumber dari ajaran wahyu dengan tanpa mengenyampingkan pendapat para ulama terdahulu yang berkompeten.47 Tidak demikian dengan bukunya yang berjudull "Towards a Just Monetary System," yang secara jelas tidak mencantumkan kata "Islam," tetapi justru penerjemahnya sendiri yang mencantumkan kata itu sehingga judul terjemahannya menjadi "Sistem Moneter Islam." Ini mengindikasikan bahwa penerjemah buku tersebut, dalam hal ini Ikhwan Abidin Basri, paham bahwa karya Chapra yang fokus telaahnya dalam persoalan moneter ini, lebih pas diberi judul yang substansinya adalah sistem moneter yang berbasis Islam.48 Oleh sebab itu, bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya pendekatan yang digunakan Chapra adalah pendekatan ekonomi konvensional. Namun bersamaan dengan itu, digunakan pula pendekatan fikih dan sejarah peradaban yang di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai Islam. Kiranya hal ini dapat dipahami, bahwa pendekatan fikih, sebagai bagian dari ajaran syariah, selalu digunakan oleh Chapra karena bagaimanapun masalah ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah hukum tentang halal dan haram, tentang yang boleh dan yang dilarang dilakukan.49 Demikian pula halnya, dengan pendekatan sejarah peradaban, sejatinya tidak mungkin diabaikan pula, karena bagaimanapun juga perkembangan ekonomi Islam tidak lepas dari akar sejarahnya tersendiri dalam Islam yang bermula dari sejak era awal turunnya Islam. Sebab itu, 46

Ibid., 91 Ibid 48 Ibid. 49 Ibid., 92 47

15

jika sekiranya Chapra untuk memperkuat argumen-argumennya dengan mengangkat pemikiran para pakar terdahulu, karena mereka itu hidup dalam perjalanan sejarah sesuai atmosfer zamannya masing-masing. Ini menunjukkan bahwa bagaimanapun perkembangan ekonomi Islam hingga saat ini, sejatinya tidaklah sekali jadi bagaikan hujan turun dari langit, namun masih membutuhkan proses panjang. Sejalan dengan perkembangan Islam itu sendiri, yakni sejak masa Rasulullah saw sampai dengan abad modern dewasa ini.50 Dalam karyanya, Islam and The Economic Challenge,

Chapra mengemukakan

kegelisahan akademik yang bertolak dari realitas secara makro.51 Di antaranya ia menyoroti negara-negara muslim yang juga dalam keadaan goyah seperti halnya dunia lainnya. Kemiskinan dan ketidakmerataan menjadi sangat kentara. Mayoritas mereka dihadapkan pada ketidakseimbangan makroekonomi. Bahkan kegagalan mereka lebih mengenaskan lagi karena Islam sangat menekankan terhadap martabat manusia, terjalinnya ukhuwah, dan keadilan sosial-ekonomi yang tetap menjadi slogan kosong sampai semua elemen pokok dari kebahagiaan itu dipenuhi.52 Selanjutnya ia mengatakan bahwa “kendati apa yang ditawarkan Islam benar-benar ideal, namun dalam realitas negara-negara muslim sampai saat ini belum sepenuhnya mampu melakukannya.”53 Atau, dengan kata lain, menurut Chapra, mereka telah gagal dalam mengaplikasikan sistem ekonomi Islam untuk membangun kesejahteraan manusia. Artinya, dalam hal ini ada ‘paradoks,’ atau ‘gap,’ atau kesenjangan antara idealitas dengan realitas.54 Sampai akhirnya, ia mengajukan resep dalam merespons kegagalan tersebut, antara lain perlu adanya orde politik yang sehat,55 perlu keterlibatan peran ulama,56 dan melakukan perubahan secara mendasar.57 Nampaknya inilah relevansi di antara pokok-pokok pikiran

50

Ibid,,92 Chapra, Islam, 15-35 52 Ibid.,93 53 Ibid.,151-161 54 Ibid. 55 Ibid.,155 56 Ibid.,245 57 Ibid.,240-245 51

16

Chapra dalam kaitan dengan pengembangan ekonomi Islam yang perlu dibudayakan di tengah masyarakat, terutama di kalangan komunitas muslim Rekonstruksi Budaya Kerja Sebelum ini telah dikemukakan pendapat Koentjaraningrat bahwa salah satu di antara ketiga wujud kebudayaan adalah suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang bertemali dengan sistem norma, personel, dan peralatan fisik.58 Bertolak dari teori ini sejatinya dalam mengkonstruk budaya kerja dibutuhkan siapa saja yang kompeten melakukan, nilai apa saja yang perlu ditanamkan, selanjutnya pranata (infrastruktur) apa saja yang diperlukan dan sebagainya. Sejatinya proses pembudayaan itu bisa dilakukan siapa pun saja, seperti guru, ulama, tokoh masyarakat, orang tua, bahkan komunitas yang berkepedulian dengan menggunakan institusi di mana mereka menjalankan profesi masing-masing dalam keseharian. Mereka itulah sejatinya, menurut Qardhawi, para khalifah yang berperan sebagai wakil Tuhan memakmurkan bumi.59 Sasaran utamanya adalah masyarakat luas, terutama komunitas muslim agar mereka berkemampuan sebagaimana yang diharapkan Chapra. Sedangkan bahan ajar (nilai) yang harus diajarkan adalah nilai-nilai ajaran wahyu yang mendorong manusia agar bekerja keras di dalam sebuah bingkai karakteristik ekonomi berbasis syariah sebagaimana yang digambarkan Qardhawi sebelum ini. Karakteristik yang mewarnai aktivitas bisnis, yang pada akhirnya bisa menjadi bagian dari nilai budaya kerja dalam mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia. Akan tetapi pembudayaan itu akan semakin kuat jika didukung oleh pihak penguasa yang memegang otoritas.60 Inilah gambaran restrukturasi budaya kerja yang perlu dibangun ke depan. Kesimpulan

58

Lihat kembali Koentjaraningkat, Kebudayaan, 9-15 Qardhawi, Peran Nilai,39-42. Lihat pula Chapra, Islam,245-246 60 Lihat, Qardhawi, Peran Nilai,462. Bandingkan Chapra, Islam, 344 59

17

Bertitik tolak dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan melihat titik lemah sistem sekuler, kiranya perlu ada sistem altertnatif sebagai solusi untuk memperkuat dan penyeimbang perekonomian umat manusia. Yakni sebuah sistem berbasiskan syariah yang bersumber dari ajaran wahyu. Akan tetapi menurut Chapra, nampaknya umat Islam selama ini belum mampu menjadi subjek atau pemain utama untuk menjadikan ekonomi Islam sebagai solusi. Bukan lagi sebagai sebuah sistem alternatif. Karena itu sagatlah wajar jika sampai saat ini ekonomi Islam masih belum mampu menunjukkan eksistensinya di pentas global karena belum dikelola oleh subjek pelaku yang militan dan kapabel. Sebab itu untuk menjawab harapan itu diperlukan adanya semacam rekonstruksi budaya kerja agar ekonomi Islam menjadi bagian perilaku berekonomi masyarakat, utamanya komunitas muslim. Antara lain dengan terus mengeksplorasi pemikiran para pakar sebagaimana yang dilakukan oleh Qardhawi dan Chapra yang didukung dengan infrastruktur yang memadahi serta dilakukan oleh berbagai elemen bangsa yang kompeten. Dengan hasil pemikiran itu diharapkan mampu merubah maindset masyarakat yang selama ini masih banyak diwarnai oleh hasil ijtihad para pakar ekonomi konvensional. Untuk kemudian dari perubahan mindset ini akan terjadi kesadaran kolektif masyarakat global tentang keunggulan sistem ekonomi Islam. Selanjutnya dengan proses kesadaran itu mereka mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Daftar Pustaka Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis dalam Islam, ter. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001 Anonim. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, Jilid 1& 2, penyunting: H.M. Ichwan Sam, dkk. Jakarta: DSN-MUI, 2010 Chapra,Umer. Islam dan Tantangan Ekonomi, ter. Ikhwan Abidin Basri, dalam Kata Pengantar, Khurshid Ahmad. Jakarta: Gema Insani Press bekerja sama dengan Tazkia Institute, 2000 De George, Richard T. Business Ethics, fifth edition. London: Printice Hall International, 1999 Djakfar, Muhammad. Agama, Etika, dan Ekonomi, edisi revisi. Malang: UIN-Maliki Press,2014

18

Djakfar, Muhammad, Wacana Teologi Ekonomi Membumikan Titah Langit di Ranah Bisnis dalam Era Globalisasi, edisi revisi. Malang: UIN-Maliki Press, 2015 http//wikipediabahasaindonesiachapra (diakses, 28 April 2010) http://id.wikipedia.org/wiki/M._Umer_Chapra (diakses 8 Mei 2010) http//wikipediabahasaindonesiachapra (diakses, 28 April 2010) http/adminblogsyariah.tokohekonomisyariah (diakses 28 April 2010) Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: IIIT, 2001 Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia, 1985 Kuntowijoyo, Budaya & Masyarakat, cet 2. Jakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1999 Mahasin, Aswab Mahasin, dkk. (ed). Ruh Islam dalam Budaya Bangsa Aneka Budaya di Jawa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996 Mannan. M. Abdul. Teori dan Praktik Ekonomi Islam, ter. M. Nastangin. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta bekerja sama dengan Bank Indonesia. Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009 Qardhawi,Yusuf. Kenanganku Bersama Ikhwanul Muslimin, ter. M. Lili Nur Aulia. Jakarta: Aulia Publisher, 2003 Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, ter. Didin Hafidhuddin. Jakarta: Robbani Press, 1997 Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam, ter. H.M. Sonhadji, dkk. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995 Rivai, Veithzal dan Antoni Nizar Usman. Islamic Economics & Finance Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012 Saefuddin, Ahmad M. Ekonomi Masyarakat Dalam Pespektif Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 1987 www.qaradawi.com (October, 2003) Zed, Mestika. Metode Penelitian Pustak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008

19

More Documents from "Arsyad Umar"

Bab 1.pdf..pdf
November 2019 22
1127-1850-1-sp.docx
November 2019 18
Nilai Uas Kir 8g
December 2019 34
Soal Uas Kir Kelas 8
December 2019 43