11. Bab 2.docx

  • Uploaded by: MohammadDheniArdhi
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 11. Bab 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,699
  • Pages: 48
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keperawatan kesehatan keluarga 2.1.1 Definisi keperawatan keluarga Keperawatan keluarga adalah suatu rangkaian yang diberikan melalui praktik keperawatan dengan sasaran keluarga. Asuhan ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dialami keluarga dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Secara umum, tujuan asuhan keperawatan keluarga adalah ditingkatkannya kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatannya secara mandiri (Suprajitno, 2004). 2.1.2 Tujuan keperawatan kesehatan keluarga Tujuan yang ingin dicapai dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga adalah meningkatkan status kesehatan keluarga agar keluarga dapat meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan keluarga. 1. Tujuan umum Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan keluarga dalam meningkatkan, mencegah, memelihara kesehatan mereka sehingga status kesehatannya meningkat dan mampu melaksanakan tugas-tugas mereka secara produktif. 2. Tujuan khusus Untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan kemampuan keluarga dalam hal:

7

8

a. Meningkatkan

kemampuan

keluarga

dalam

mengidentifikasi

masalah

kesehatan yang dihadapi. b. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam menanggulangi masalah kesehatan dasar dalam keluarga. c. Meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan yang tepat. d. Meningkatkan kemampuan keluarga memberikan asuhan keperawatan terhadap anggota keluarga yang sakit. e. Meningkatkan produktifitas keluarga dalam meningkatkan mutu

hidupnya

(Setidi, 2008). 2.1.3 Alasan keluarga sebagai unit pelayanan keperawatan Alasan utama meninjau keluarga sebagai unit pelayanan perawatan menurut Ruth B Freeman (1981) yang dikutip oleh Setiadi (2008) adalah sebagai berikut: 1. Keluarga sebagai unit utama masyarakat dan merupakan lembaga yang menyangkut kehidupan masyarakat. 2. Keluarga sebagai suatu kelompok yang dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah kesehatan dalam kelompok. 3. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan dan apabila salah satu anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan akan berpengaruh terhadap anggota keluarga yang lain. 4. Dalam memelihara kesehatan, anggota keluarga sebagai pengambil keputusan dalam pemeliharaan kesehatan para anggotannya. 5. Keluarga merupakan perantara yang efektif dan mudah untuk beerbagai usahausaha kesehatan masyarakat.

9

2.2 Konsep keluarga 2.2.1 Definisi keluarga Menurut Duvall dikutip oleh Setiadi (2008) keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota. Menurut Salvicion G, Bailon dan Aracelis Meglaya (1989) dikutip oleh Setiadi (2008) keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam peranannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan. Menurut Departemen kesehatan RI (1998) dikutip oleh Setiadi (2008) keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam suatu keadaan saling ketergantungan. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah suatu sistim yang terdiri dari dua atau lebih individu dan ada yang berperan sebagai kepala keluarga yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dan diikat oleh hubungan darah, perkawinan dan adopsi. Memiliki peranan masing-masing

dan saling berinteraksi satu sama lain, saling

ketergantungan saling memperhatikan satu sama lain. Memiliki tujuan menciptakan, mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota.

10

2.2.2 Ciri-ciri keluarga 1.

Menurut Robert Maclver dan Charles Horton yang dikutip oleh Setiadi (2008) ciri-ciri keluarga adalah:

a.

Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

b.

Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara.

c.

Keluarga mempunyai suatu sistim latar nama atau nomenclature termasuk perhitungan garis keturunan.

d.

Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

e.

Keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga.

2.

Ciri keluarga Indonesia

a.

Mempunyai ikatan yang sangat erat dengan dilandasi semangat gotong royong.

b.

Dijiwai oleh nilai kebudayaan ketimuran.

c.

Umumnya dipimpin oleh suami meskipun proses pemusatan dilakukan secara musyawarah.

2.2.3 Tipe keluarga Pembagian tipe ini bergantung kepada konteks keilmuan dan orang yang menggelompokkan 1. Secara tradisional Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua yaitu:

11

a. Keluarga inti atau Nuclear Family Keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi atau keduanya. b. Keluarga besar atau Extended Family Keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah seperti kakek, nenek, paman, bibi. 2. Secara modern Secara modern berkembangnya peran individu dan meningkatnya rasa individualisme maka penggelompokkan tipe keluarga selain diatas adalah: a. Tradisional nuclear: keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah. b. Reconstituted nuclear: pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami atau istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anak-anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan baru, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah. c. Niddle age: suami sebagai pencari uang, istri di rumah atau keduanya bekerja di rumah. Anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah, perkawinan atau meniti karir. d. Dyadic nuclear: suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak yang keduanya atau salah satunya bekerja di luar rumah. e. Single parent: satu orang tua sebagai akibat perceraian atau kematian pasangannya dan anak-anaknya dapat tinggal di rumah atau di luar rumah.

12

f. Dual carrier: yaitu suami atau istri atau keduanya karier dan tanpa anak. g. Commuter married: suami istri atau keduanya orang karier dan tinggal terpisah pada jarak tertentu. Keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu. h. Single adult: wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk kawin. i. Three generation: yaitu tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah. j. Institusional: yaitu anak-anak atau orang-orang dewasa tinggal dalam suatu panti-panti. k. Communal: yaitu satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas. l. Group marriage: yaitu satu perumahan terdiri dari orang tua dan keturunannya di dalam satu kesatuan keluarga dan tiap individu adalah kawin dengan yang lain dan semua adalah orang tua dari anak-anak. m. Unmarried parent and child: yaitu ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya diadopsi. n. Cohibing couple: yaitu dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama tanpa kawin. o. Gay and lesbian family: yaitu keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama. (Setiadi, 2008). Gambaran tentang bentuk keluarga di atas ini melukiskan banyaknya bentuk struktur yang menonjol dalam keluarga saat ini, yang penting adalah keluarga harus dipahami dalam konteknya. Label dan jenisnya, hanya berfungsi sebagai

13

referensi bagi penataan kehidupan keluarga dan sebuah kerangka kerja. Dan setiap upaya perlu memperhatikan keunikan dari setiap keluarga. Untuk itu kalangan profesionalis dalam bidang kesehatan yang melayani keluarga harus bersifat toleren dan sensitif terhadap perbedaan gaya hidup keluarga (Harnilawati, 2013). 2.2.4 Fungsi pokok keluarga 1.

Friedman (1998) dalam Setiadi (2008) Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

a. Fungsi afektif, adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. b. Fungsi sosialisasi, adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah. c. Fungsi reproduksi, adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga. d. Fungsi ekonomi, adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. e. Fungsi

perawatan

atau

pemeliharaan

kesehatan,

yaitu

fungsi

untuk

mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.

14

2. Ada tiga fungsi pokok keluarga terhadap anggota keluarganya, adalah: a. Asih, adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya. b. Asuh, adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan keperawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara, sehingga diharapkan menjadikan anak-anak mereka sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. c. Asah, adalah memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya. 3. Dengan berubahnya pola hidup agraris menjadi industrialisasi, fungsi keluarga dikembangkan menjadi: a. Fungsi biologis Untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi keluarga, memelihara dan merawat anggota keluarga. b. Fungsi psikologis Memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga. Memberikan identitas keluarga. c. Fungsi sosialisasi Membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

15

d. Fungsi ekonomi Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa yang akan datang misalnya pendidikan pada anak-anak, jaminan hari tua dan sebagainya. e. Fungsi pendidikan Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan untuk membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya. 2.2.5 Tugas keluarga dalam bidang kesehatan Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Freeman (1981) dalam Harnilawati (2013) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan, yaitu: 1. Mengenal masalah kesehatan keluarga Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya.

16

2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan sebaiknya meminta bantuan orang lain di sekitar keluarga. 3. Memberikan keperawatan anggotanya Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama atau ke pelayanan kesehatan untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. 4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga. 5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada (Harnilawati, 2013). 2.3 Konsep diabetes mellitus 2.3.1 Definisi diabetes mellitus Menurut Mahendra.,dkk (2008) istilah DM berasal dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, dan mellitus berarti madu atau manis. Jadi, istilah itu menunjukkan tentang keadaan tubuh klien, yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus. Sedangkan Sutanto (2010) mendefinisikan DM sebagai suatu

17

kondisi dimana tubuh tidak memproduksi insulin dengan cukup atau tidak merespon zat insulin dengan benar yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah secara kontinu dan bervariasi, terutama setelah makan. Riyadi.,dkk (2008) menjelaskan bahwa diabetes mellitus merupakan suatu penyakit kronik kompleks yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta berkembangnya komplikasi makrovaskuler dan neurologis. Dari beberapa pengertian tentang DM di atas dapat disimpulkan bahwa DM yang dalam bahasa Yunani memiliki arti madu yang mengalir terus merupakan suatu penyakit kronik yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar gula dalam darah secara kontinu dan bervariasi akibat kondisi dimana tubuh tidak dapat memproduksi insulin dengan cukup atau tidak merespon insulin dengan benar yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak serta berkembangnya komplikasi makrovaskuler dan neurologis. 2.3.2 Definisi diabetes mellitus tipe 2 DM tipe 2 adalah hasil dari penolakan atau kegagalan tubuh menggunakan zat insulin, yaitu suatu kondisi dimana sel gagal untuk menggunakan insulin dengan benar yang melibatkan reseptor insulin di membran sel dan kadang dikombinasikan dengan kekurangan produksi insulin relatif (Susanto, 2010). DM tipe 2 adalah DM resisten, lebih sering terjadi pada dewasa, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada semua umur. Kebanyakan klien kelebihan berat badan, ada kecenderungan familiar (Riyadi.,dkk, 2008).

18

2.3.3 Etiologi Penyakit DM tipe 2 secara umum diakibatkan oleh konsumsi makanan yang tidak terkontrol atau sebagai efek samping dari pemakaian obat-obat tertentu. Selain itu, DM disebabkan oleh tidak cukupnya hormon insulin yang dihasilkan pankreas untuk menetralkan gula darah dalam tubuh (Susilo. Yekti, 2011). DM tipe 2 jelas disebabkan oleh degenerasi sel-sel beta sebagai akibat penuaan yang cepat pada orang yang rentan dan obesitas mempredisposisi terhadap jenis obesitas ini karena diperlukan insulin dalam jumlah besar untuk pengolahan metabolisme pada orang kegemukan dibandingkan orang normal (Gulanick, 2013). Penyebab resistensi insulin pada DM sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor yang banyak berperan yaitu: 1. Kelainan genetik DM dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap DM, ini terjadi karena DNA pada orang diabetes mellitus akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin. 2. Usia Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penuruan ini yang akan berisiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. 3. Gaya hidup dan pola makan yang salah Meningkatnya aktivitas kesibukan dan kurangnya waktu untuk olahraga membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji yang kaya pengawet, lemak dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan

19

meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenakan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin. 4.

Stres Pada stressor psikologi berat dan terpapar stressor fisik berat akan

mengaktifasi aksis HPA yang dicerminkan oleh pelepasan corticotrophinreleasing hormone atau CRH dan vasopresin atau AVP oleh nucleus paraventrikuler dari hipotalamus, kemudian akan merangsang produksi adrenocortikotropic hormone yang disingkat ACTH oleh kelenjar pituitari anterior. ACTH akan memicu pelepasan kortisol yang akan mempengaruhi fungsi insulin terkait dalam hal sensitivitas, produksi dan reseptor, sehingga glukosa darah tidak dapat diseimbangkan. 5. Obesitas Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh terhadap pnurunan produksi insulin hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban metabolisme glukosa pada klien obesitas untuk mencukupi energi sel yang terlalu banyak. 6. Infeksi Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas akan berakibat rusaknya sel-sel pankreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan fungsi pankreas (Riyadi.,dkk, 2008).

20

2.3.4 Patofisiologi Resistensi insulin pada DM tipe 2 umumnya terjadi pada klien yang gemuk atau mengalami obesitas. Resistensi terjadi akibat dari sel-sel jaringan tubuh dan otot klien tidak peka atau sudah resisten terhadap insulin sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan akhirnya tertimbun dalam peredaran darah (Tandra, 2008). Menurut Ernawati (2013) pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa dalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel. Dengan demikian insulin tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Pada keadaan kegemukan respon sel beta pankreas perhadap peningkatan gula darah sering berkurang. Selain itu reseptor insulin pada target sel di seluruh tubuh termasuk otot berkurang jumlah dan keaktifannya atau kurang sensitif, sehingga keberadaan insulin di dalam darah kurang atau tidak dapat dimanfaatkan. 2.3.5 Manifestasi Klinik Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik. 1. Gejala akut penyakit diabetes melitus Gejala penyakit DM dari satu klien ke klien lain bervariasi bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. a.

Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak atau poli,

21

yaitu: 1) banyak makan atau poliphagia, 2) banyak minum atau polidipsia, 3) banyak kencing atau poliuria. b.

Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala: 1) banyak minum, 2) banyak kencing, 3) nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun dengan cepat yakni turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu, 4) mudah lelah, 5) bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan klien akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.

2. Gejala kronik Gejala kronik yang sering dialami oleh klien diabetes melitus adalah: 1) kesemutan, 2) kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, 3) rasa tebal di kulit, 4) kram, 5) capai, 6) mudah mengantuk, 7) mata kabur, biasanya sering ganti kacamata, 8) gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, 9) gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi (Tjokroprawiro, 2011). 2.3.6 Pemeriksaan penunjang Diagnosis DM ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah. Untuk penentuan Diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh atau whole blood, vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai standard WHO, sedangkan untuk pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah kapiler. Kriteria diagnosis DM menurut ADA (2007) dalam Mahendra (2008) dapat dilihat

22

di bawah ini 1. Kriteria glukosa darah normal Seseorang dikatakan normal tidak mengidap DM jika hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasanya < 100 mg/dl, kadar glukosa darah 1 jam setelah meminum larutan glukosa < 180 mg/dl, dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam setelah minum larutan glukosa < 140 mg/dl (Mahendra, 2008). 2. Kriteria diagnosis DM a. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/ dl atau 11.1 mmol/L. Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. Gejala klasik adalah: poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan turun tanpa sebab. Gejala klasik DM + Kadar glukosa darah puasa > 126 mg/ dl atau 7.0 mmol/L. b. Puasa adalah klien tak mendapat kalori sedikitnya 8 jam. Kadar glukosa darah 2 jam PP > 200 mg/ dl atau 11,1 mmol/L. c. TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan kadar glukosa darah 2 jam setelah minum larutan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air (Mahendra, 2008). d. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok Toleransi Glukosa Terganggu yang disingkat TGT atau Gula Darah Puasa Terganggu yang disingkat GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh: TGT: glukosa darah plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl

23

atau 7,8-11,0 mmol/L GDPT: glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl atau 5,6-6,9 mmol/L (Tandra, 2008). 2.3.7 Penatalaksanaan Menurur Yunir &Soebardi (2006) yang dikutip oleh Ernawati (2013) Penatalaksanaan DM terdiri atas terapi nonfarmakologis dan terapi farmakologis. Terapi nonfarmakologis meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan atau terapi gizi medis, meningkatkan aktifitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit DM yang dilakukan terus

menerus.

Dalam

Ernawati

(2013)

dikutip

bahwa

Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia atau Perkeni mengeluarkan “Konsesus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia tahun 2011“ yang meliputi 4 pilar penatalaksanaan DM tipe yaitu edukasi, terapi gizi medis atau diet nutrisi, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. 1. Terapi gizi medis atau diet nutrisi a. Tujuan terapi gizi medis Menurut Sukardji (1997) di dalam Ernawati (2013) menyatakan tujuan umum terapi gizi adalah membantu klien DM memperbaiki kebiasaan gizi dan olah raga untuk mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik dan beberapa tambahan khusus yaitu: 1) Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal: a) glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl, b) glukosa darah 2 jam setelah makan < 180 mg/dl 2) Mencapai kadar serum lipid yang optimal: a) kolesterol LDL <100 mg/dl, b)

24

kolesterol HDL >40 mg/dl, c) trigliserida <150 mg/dl, d) tekanan darah < 130/80 mg/dl. 3) Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin 4) Memperbaiki sistim koagulasi darah 5) Memberikan energi yang cukup untuk mencapai mempertahankan berat badan yang memadai pada orang dewasa. 6) Menghindari dan menangani komplikasi akut pada klien DM 7) Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal. b. Prinsip Perencanaan Makan Bagi Diabetisi Anjuran makan untuk diabetisi adalah makana seimbang seperti makan sehat pada umumnya, tidak ada makanan yang dilarang hanya dibatasi sesuai kebutuhan dan jangan berlebihan. Aturan menu yang dianjurkan sama dengan menu keluarga, seperti penggunaan gula dalam bumbu tidak dilarang, sehingga tidak perlu memisahkan masakan antara diabetisi dan nondiabetisi. Diabetisi harus memperhatikan dan mematuhi dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. 2. Aktifitas fisik atau olahraga Diabetisi membutuhkan penanganan seumur hidup dalam pengendalian kadar gula darah. Salah satu pilar dalam pengendalian diabetes adalah olah raga atau aktifitas fisik. a. Manfaat olahraga bagi klien DM tipe 2 Pada DM tipe 2 olahraga berperan utama dalam pengaturan kadar glukosa darah. Masalah utama pada DM tipe 2 adalah kurangnya respon reseptor terhadap

25

insulin atau resistensi insulin. Kontraksi otot memiliki sifat seperti insulin atau insulin like effect. Selama olahraga, sel otot menggunakan lebih banyak glukosa dan bahan bakar nutrien lain untuk

menjalankan aktivitas kontraktil. Laju

transpor glukosa ke dalam otot yang sedang berolahraga dapat meningkat lebih dari 10 kali selama aktivitas fisik sedang sampai berat. Permeabilitas membran terhadap glukosa meningkat pada otot yang berkontraksi. Pada saat berolahraga resistensi insulin berkurang, sebaliknya sensitivitas insulin meningkat, hal ini menyebabkan kebutuhan insulin pada DM tipe 2 akan berkurang. Respon ini hanya terjadi setiap kali berolahraga, tidak merupakan efek yang menetap atau berlangsung lama, sehingga olahraga harus terus dilakukan secara teratur. b. Prinsip latihan jasmani bagi dibetisi menurut Perkeni (2002) yang dikutip oleh Ernawati (2013) meliputi: 1) Continuous: latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa berhenti. Misalkan bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit diabetisi melakukan jogging tanpa istirahat. 2) Rythmical: latihan olahraga sebaiknya dipilih yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Contohnya: jalan kaki jogging, berlari, berenang, bersepeda, mendayung, main golf, tenis, atau badminton tidak memenuhi syarat karena banyak berhenti. 3) Interval: latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat Cohtohnya: jalan cepat diselingi jalan lambat, jogging diselingi jalan. 4) Progressive: latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai sedang hingga mencapai 30-60 menit. Untuk

26

menentukan intensitas latihan, dapat digunakan Maximum Heart Rate yaitu 220-umur, setelah MHR didapat maka dapat ditentukan Target Heart Rate atau THR. 5) Endurance:

latihan

daya

tahan

untuk

meningkatkan

kemampuan

kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan prinsip latihan jasmani bagi orang diabetisi maupun bukan diabetisi, yaitu harus memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis. a)

Frekuensi: jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 35 kali perminggu.

b) Intensitas: ringan dan sedang yakni 60-70%.maximius heart rate. c)

Durasi: 30-60 menit

d) Jenis: latihan jasmani endurans atau aerobik untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda. 3. Edukasi Diet, aktifitas fisik dan stress fisik serta emosional dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, sehingga klien harus belajar mengatur keseimbangan berbagai faktor. Klien harus belajar ketrampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak dan juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang.

27

Edukasi DM diperlukan bagi klien dan keluarga untuk peningkatan pengetahuan dan motivasi. Klien yang mengalami peningkatan pengetahuan dan motivasi akan mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan DM. a. Pendekatan pembelajaran Ada berbagai skema untuk mengelola dan memberikan prioritas dari berbagai informasi yang harus diajarkan kepada klien-klien DM tipe 2. Pendekatan umum untuk mengelola pendidikan DM tipe 2 adalah dengan membagi informasi dan ketrampilan menjadi dua tipe utama. 1) Ketrampilan serta informasi yang bersifat dasar, awal atau bertahan. Ketrampilan untuk dapat bertahan hidup harus diajarkan kepada setiap klien yang baru didiagnosis sebagai klien DM tipe 2 dan mendapatkan terapi insulin untuk pertama kalinya. Informasi yang bersifat dasar ini secara harfiah berarti bahwa klien harus mengetahui bagaimana bertahan hidup yaitu dengan cara menghindari komplikasi hipoglikemia dan hiperglikemia yang berat setelah pulang dari rumah sakit. Informasi yang diberikan mencakup: a) Patofisiologi sederhana, b) definisi DM, c) batas-batas kadar glukosa darah yang normal, d) efek terapi insulin dan latihan untuk penurunan kadar glukosa darah, e) efek makanan dan stress yang mencakup keadaan sakit dan infeksi yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah, f) dasar pendekatan terapi, g) cara-cara terapi, h) pemberian insulin, i) dasar-dasar diet yang mencakup kelompok makanan dan Jadwal makan, j) pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin, k) pengenalan, penanganan dan pencegahan komplikasi akut yang meliputi hipoglikemia dan hiperglikemia, l) Informasi yang pragmatis, j) dimana membeli

28

dan menyimpan insulin, spuit suntik dan alat-alat untuk memantau kadar glukosa darah, k) kapan dan bagaimana menghubungi dokter. 2) Pendidikan tingkat lanjut Pendidikan ini mencakup pengajaran yang lebih rinci tentang ketrampilan bertahan hidup seperti belajar memodifikasi diet serta insulin dan persiapan untuk perjalanan. Disamping itu juga perlu diajarkan tentang tindakan preventif untuk menghindari komplikasi DM jangka panjang yang meliputi: a) perawatan kaki, b) perawatan mata, c) hygiene umum seperti perawatan kulit dan. kebersihan mulut, d) penanganan faktor risiko seperti mengendalikan tekanan darah dan kadar lemak darah serta menormalkan kadar glukosa darah. Sebelum memulai pendidikan DM, kesiapan klien dan keluarga untuk belajar harus dikaji, ketika seseorang didiagnosis untuk pertamakali menderita DM atau untuk pertama kalinya harus menggunakan terapi insulin, klien tersebut akan melalui berbagai tahap berduka. Tahap-tahap ini mencakup tahap syok serta penginkaran, depresi, negosiasi, marah dan akhirnya menerima. Perawat harus mengkaji strategi klien dalam menghadapi kenyataan ini dan kemudian menenangkan hati klien dan keluarganya dengan menjelaskan bahwa perasaan syok dan depresi dalam situasi ini merupakan hal yang normal (Ernawati, 2013). 4. Pengobatan medis Apabila terapi tanpa obat yang meliputi pengaturan diet dan olah raga belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah klien, maka perlu dilakukan langkah berikutnya berupa terapi obat, baik dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin atau kombinasi keduanya (Saraswati, 2009).

29

Menurut Saraswati (2009) dalam Panduan Diabetes Mellitus Terpadu FKUI Tujuan utama dari pengobatan DM adalah untuk mempertahankan kadar gula darah dalam kisaran yang normal. Kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran yang normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka panjang semakin berkurang. 2.3.8 Komplikasi Komplikasi DM terbagi menjadi 2, yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik 1. Komplikasi yang bersifat akut Ada tiga komplikasi akut pada DM yang penting dan berhubungan dengan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek, ketiga komplikasi tersebut adalah : a. Diabetik Ketoasidosis (DKA) Ketoasidosis diabetik merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit diabetes melitus. Diabetik ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata (Riyadi, 2008). b. Koma Hiperosmolar Nonketotik (KHHN) Koma Hiperosmilar Nonketotik merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia serta disertai perubahan tingkat kesadaran. Salah satu perbedaan utama KHHN dengan DKA adalah tidak terdapatnya ketosis dan asidosis pada KHHN (Riyadi.,dkk, 2008).

30

c. Hipoglikemia Hipoglikemia atau kadar gula darah abnormal yang rendah terjadi kalau kadar glukosa dalam darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dL. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian preparat insulin atau preparat oral yang berlebihan, komsumsi makanan yang terlalu sedikit (Riyadi.,dkk, 2008). 2. Komplikasi yang bersifat kronik Bila pendekatan lengah, komplikasi DM dapat menyerang seluruh tubuh, mulai rambut sampai ujung kaki termasuk semua alat tubuh didalamnya. Sebaliknya komplikasi tersebut tidak akan muncul jika perawatan DM dilaksanakan dengan tertib dan teratur (Tjokroprawiro, 2011). 2.4 Konsep ketidakstabilan kadar glukosa darah 2.4.1 Definisi ketidakstabilan kadar glukosa darah Menurut Gulanick (2013) risiko ketidakstabilan glukosa darah adalah risiko untuk variasi kadar glukosa atau gula dari kisaran normal. Kadar gula darah yang normal berada pada angka 60-120 mg/dl setelah berpuasa 8 jam, dan dua jam setelah makan dibawah 140 mg/dl (Tjokroprawiro, 2011).

Kadar gula darah

selalu fluktuatif bergantung pada asupan makanan. Kadar paling tinggi tercapai pada satu jam sesudah makan normalnya tidak melebihi 180 mg/dl, kadar ini disebut nilai ambang ginjal (Kariadi, 2009). 2.4.2 Mekanisme fluktuasi glukosa dalam darah Glukosa serum diatur oleh interaksi yang kompleks dari insulin dan glukagon. Insulin disekresikan oleh sel-sel beta dari pulau Langerhans di pankreas dalam menanggapi peningkatan kadar glukosa darah. Hormon pankreas ini

31

memfasilitasi pergerakan glukosa melintasi membran sel yang akan digunakan untuk aktivitas metabolik. Sel-sel alfa pulau Langerhans mengeluarkan glukagon ketika kadar glukosa darah yang rendah. Glukagon memfasilitasi konversi glikogen yang disimpan menjadi glukosa. Ketika sel-sel tidak dapat menggunakan glukosa darah sebagai bahan bakar metabolisme, glukagon merangsang pemecahan asam lemak dan protein. Kadar glukosa darah tinggi atau hiperglikemia dapat terjadi dalam berbagai situasi klinis (Gulanick, 2013). Ketidakstabilan glukosa darah dipengaruhi oleh tingkat perkembangan, asupan diet, pemantauan kadar glukosa tidak tepat, kurang kepatuhan pada rencana manajemen diabetik misalnya mematuhi rencana tindakan, kurang manajemen diabetisi misalnya rencana tindakan, manajemen medikasi, tingkat aktifitas fisik, status kesehatan fisik, stress (Ernawati, 2013). 2.4.3 Akibat dari ketidakstabilan glukosa darah 1. Hipoglikemi a. Definisi hipoglikemia Kadar glukosa darah yang terlalu rendah sampai bawah 60 mg/dl disebut hipoglikemia. Keadaan ini bisa menjadi gawat darurat dan memerlukan pertolongan segera (Tandra, 2008). b. Penyebab hipoglikemia Hipoglikemia dapat terjadi pada klien DM yang diobati dengan suntikan insulin ataupun minum obat antidiabetes tetapi tidak makan, olah raga yang melebihi biasanya, diet yang berlebihan dan jadwal makan yang tidak teratur (Tandra, 2008).

32

c. Gejala hipoglikemia Keluhan dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung pada sejauh mana glukosa darah turun. Keluhan hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu: 1) Keluhan akibat otak tidak dapat cukup kalori sehingga mengganggu fungsi intelektual, antara lain sakit kepala, kurang konsentrasi, mata kabur, capek, bingung, kejang atau koma. 2) Keluhan akibat efek samping hormon lain yakni adrenalin yang berusaha menaikkan glukosa darah, yaitu pucat, berkeringat, takikardia, berdebar, cemas, serta rasa lapar (Tandra, 2008) 3. Hiperglikemia a. Definisi hiperglikemia Kadar gula darah yang sangat tinggi disebut hiperglikemia. Pada hiperglikemia kadar glukosa darah pada rentang nonpuasa sekitar 140-160 mg/100ml darah (Riyadi.,dkk, 2008). Jika gula darah mencapai 600 mg/dl bisa menyebabkan koma pada diabetisi (Tjokroprawiro, 2011). b. Penyebab hiperglikemia Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar pada perubahan metabolik sebagai berikut: 1) Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang. 2) Glukogenesis atau pembentukan glukogen dari glukosa dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah.

33

3) Glikolisis atau pemecahan glukosa meningkat, sehingga cadangan glikogen berkurang, dan glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan. 4) Glukoneogenesis atau pembentukan glukosa dari unsur non-karbohidrat meningkat dan lebih banyak lagi glukosa hati yang tercurahke dalam darah hasil pemecahan asam amino dan lemak (long, 1966:11 dalam Riyadi, 2008). c. Gejala hiperglikemia Pada permulaan gejala yang ditunjukkan adalah banyak makan, banyak minum, banyak kencing. Bila tidak cepat ditangani maka akan menimbulkan keluhan lain yakni nafsu makan menurun, disertai dengan mual jika kadar glukosa mencapai 500 mg/dl, berat badan turun dengan cepat dan mudah lelah (Tjokroprawiro, 2011). 2.4.4 Kriteria pengendalian diabetes mellitus Tabel 2.1: Kriteria Pengendalian Diabetes Mellitus Bagian yang Diperiksa

Baik

Sedang

Buruk

Kadar glukosa darah (plasma vena mg/dl) Puasa

80-120

120-140

>140

2 jam sesudah makan

80-160

160-200

>200

HbA1c (%)

4-6

6-8

>8

Kolesterol total (mg/dl)

<200

200-240

>240

Kolesterol HDL (mg/dl) >50

35-50

<35

Trigliserida (mg/dl) Tanpa penyakit <200 jantung koroner

200-399

>400

34

Lanjutan Tabel 2.1: Kriteria Pengendalian Diabetes Mellitus Dengan penyakit <150 jantung koroner Indeks massa tubuh 19-23 Wanita

<200

>200

23-25

>25

Pria

20-25

25-27

>27

Tekanan darah

<140/90

<160/95

>160/95

(Mahendra.,dkk, 2008). 2.5 Konsep asuhan keperawatan keluarga 2.5.1 Pengkajian fokus asuhan keperawatan keluarga Adapun data yang perlu dikumpulkan pada keluarga yang di dalamnya terdapat klien DM tipe 2 adalah: 1.

Data identitas

a.

Usia: diabetes sering muncul setelah memasuki usia 40 tahun terutama setelah seseorang memasuki usia 45 tahun (Riyadi.,dkk, 2008).

b.

Jenis kelamin: penyakit DM tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin (Tandra, 2008).

c.

Pendidikan dan pekerjaan Pada orang dengan pendapatan tinggi cenderung untuk mempunyai pola

hidup dan pola makan yang salah serta tingginya konsumsi makanan yang berat serta aktivitas fisik yang sedikit. Oleh karena itu penyakit ini biasanya banyak dialami pegawai perkantoran, bos perusahaan dan pejabat pemerintahan. d.

Hubungan keluarga Pada DM tipe 2, bila seseorang memiliki saudara identical twins yang

menderita DM maka saudarnya 90% memiliki risiko menderita DM juga. Bila

35

seseorang memiliki orang tua yang salah satu menderita DM maka kemungkinan 40 persen seseorang tersebut menderita DM. Jika kedua orangtua menderita DM maka risiko meningkat menjadi 50 persen (Tandra, 2008). e.

Suku bangsa Sesorang yang kulit hitam lebih sering terkena diabetes 1,4-2,3 kali daripada

seseorang yang berkulit putih (Tandra, 2008). Secara genetik, struktur genetis bangsa Asia merupakan struktur yang rentan terkena DM, termasuk Indonesia. f.

Status sosial ekonomi Banyak yang menganggap bahwa diabetes hanya milik orang kaya.

Anggapan ini salah, siapa saja dapat menderita DM, kaya atau miskin, tua atau muda, pria atau wanita (Tandra, 2008). g.

Aktivitas rekreasi keluarga DM banyak diderita oleh orang-orang kota yang mempunyai gaya hidup

serba santai, serba instan, dan serba canggih. Selain itu orang yang sibuk tidak sempat melakukan olahraga akibatnya lemak dalam tubuh tertimbun sehingga dapat menghambat aliran darah. Pembuluh yang terhimpit oleh tumpukan lemak dapat memicu resistensi insulin. Inilah yang menyebabkan terjadinya DM (Susilo.,dkk, 2011) 2.

Riwayat tahap perkembangan keluarga

a.

Tahap perkembangan keluarga saat ini DM tipe 2 banyak dijumpai pada keluarga dengan tahap perkembangan

Middle age family dan keluarga lansia (Setiadi, 2008) karena didalam keluarga

36

tersebut terdapat orang-orang yang memiliki risiko menderita DM yakni keluarga yang didalamnya terdapat anggota yang berusia 40 tahun (Riyadi.,dkk, 2008). b.

Riwayat kesehatan keluarga DM dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap DM, karena

kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik akan disampaikan informasinya pada keturunan berikutnya (Riyadi.,dkk, 2008). Selain itu keluarga juga menderita Beberapa penyakit tertentu dalam prosesnya cenderung diikuti dengan tingginya kadar glukosa darah dikemudian hari, yang mengakibatkan terkena DM. Penyakit-penyakit tersebut antara lain : hipertensi, gout atau radang sendi akibat kadar asam urat dalam darah yang tinggi, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, atau infeksi kulit yang berulang (Tandra, 2008). 3.

Data lingkungan

a.

Karakteristik rumah Penataan perabot rumah yang tidak teratur, penerangan atau pencahayaan

yang kurang, keadaan lantai yang licin, merupakan faktor yang meningkatkan risiko cedera karena pada penderita DM yang lanjut akan mengalami gangguan pada sistim persepsi sensori terutama visual seperti kerusakan retina yang disebut retinopati. Selain itu klien DM juga dapat mengalami neuropati yang dapat mengakibatkan rasa tebal pada kali sehingga klien DM akan lebih mudah mengalami cedera (Tandra, 2008).

37

4. Struktur keluarga a.

Pola komunikasi keluarga Menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi ayah-ibu atau orang

tua, orang tua dengan anak, anak dengan anak, dan anggota keluarga lain pada keluarga besar dengan keluarga inti. Pada keluarga yang memiliki komunikasi yang buruk mengakibatkan tidak terciptanya lingkungan yang kondusif bagi klien DM hal ini akan menimbulkan masalah bagi klien (Suprajitno, 2004). b.

Struktur peran keluarga Apabila yang menderita DM adalah kepala keluarga yang merupakan tulang

punggung keluarga maka akan menimbulkan perubahan peran sosial dan ekonomi karena klien tidak mampu bekerja dan sebagainya (Tandra, 2008) c.

Struktur kekuatan keluarga Menggambarkan

kemampuan

keluarga

untuk

mempengaruhi

dan

mengendalikan anggota keluarga untuk mengubah prilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Suprajitno, 2004). 5.

Fungsi keluarga

a.

Fungsi afektif Fungsi afektif adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala

sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga (Suprajitno. 2004). Hal yang penting yang harus dilakukan pada keluarga yang salah satu anggotanya menderita DM adalah dengan pemberian pendidikan kesehatan (Tarwoto, 2012).

38

b.

Fungsi sosialisasi Seseorang terkena DM akan mengalami banyak perubahan dalam hidupnya.

Mereka akan menjadi takut, cemas, ada yang panik, marah pada orang disekitarnya, ada yang berdiam diri, dan ada pula yang memberontak. Suatu penelitian menyebutkan bahwa orang yang terkena DM akan mengalami reaksi depresi 3-4 kali lebih banyak dari orang biasa. Sehingga seorang klien DM merasa tidak bebas lagi untuk berteman, makan sesuka hati, memilih aktifitas yang disukai, merasa terus diawasi, dan lain-lain (Tandra, 2008). c.

Fungsi reproduksi Pada laki-laki, neuropati dapat menyebabkan terjadinya disfungsi ereksi.

Pada perempuan disfungsi seksual juga dapat terjadi walaupun tidak jelas, yaitu cairan pelumas yang berkurang. Hal ini menyebabkan nyeri waktu berhubungan, kadanng-kadang mengalami anorgasme dan yang sering terjadi adalah menurunnya keinginan untuk berhubungan (Kariadi, 2009). d.

Fungsi ekonomi pada keluarga Dampak ekonomi pada klien DM jelas terlihat berakibat pada biaya

pengobatan dan hilangnya pendapatan keluarga. Biaya pengobatan DM cenderung meningkat mengingat komplikasi yang akan timbul dan akan menjadi beban klien dan keluarga (Tandra, 2008). e.

Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan Keluarga berusaha mempertahankan kesehatan anggota keluarga agar tetap

memiliki produktifitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga dibidang kesehatan, jika salah satu atau beberapa tugas keluarga dalam bidang

39

kesehatan tidak terpenuhi akan menjadi etiologi dari terjadinya berbagai masalah kesehatan pada penderita DM tipe 2 (Suprajitno, 2004). 6.

Stres dan koping keluarga Ada tiga fase yang umumnya dialami oleh mereka yang baru saja tahu

bahwa dirinya terkena DM, yaitu: reaksi penolakan,reaksi marah, reaksi depresi. Ketiga reaksi tersebut bisa berlangsung hanya sebentar, ada yang mengalaminya dalam waktu lama sebelum akhirnya menerima dan mengenal diabetes untuk kemudian berusaha mengobatinya (Tandra, 2008) 7.

Pemeriksaan kesehatan

a.

Pengkajian kebutuhan dasar menggunakan model menurut Virginia Handerson yang dikutip oleh Riyadi.,dkk (2008) meliputi:

1) Kebutuhan nafas Data pernafasan yang sangat mungkin terjadi pada klien dengan DM tipe 2 adalah munculnya peningkatan pernafasan sebagai kompensasi penurunan metabolisme sel yang melibatkan oksigen yakni respirasi aerob dengan irama dalam dan cepat karena banyak badan keton yang dibongkar. 2) Kebutuhan nutrisi Klien DM tipe 2 mengeluh ingin selalu makan tetapi berat badannya justru menurun. Karena glukosa tidak dapat ditarik ke dalam sel dan terjadi penurunan massa sel. Pada pengkajian intake cairan klien akan terkaji banyak minum sehari mungkin 2500-4000cc.

40

3) Kebutuhan eliminasi Dalam eliminasi untuk buang air besar atau BAB pada klien DM tidak ada perubahan yang mencolok. Sedangkan pada eliminasi buang air kecil atau BAK akan dijumpai jumlah urin yang banyak baik secara frekuensi maupun volumenya, pada frekuensi biasanya > 10x/ hari, sedangkan volume mungkin mencapai 25003000 cc/ hari. 4) Kebutuhan gerak dan keseimbangan aktivitas Mengalami penurunan gerak karena kelemahan fisik, kram otot dan penurunan tonus otot. Yang didapatkan pada pengkajian terjadi penurunan skor kekuatan otot pada semua ekstremitas, dari rentang persendian juga mengalami penurunan derajat sudutnya. 5) Kebutuhan latihan dan tidur Sering muncul perasaan tidak enak, efek dan gangguan yang bersifat sistimik yang berdampak pada gangguan tidur, sering terbangun karena frekuensi kencing yang meningkat pada malam hari. Pada pengkajian ini juga dapat dilihat penampilan klien dengan wajah sayu mata merah dengan verbalisasi keluhan rasa kantuk. 6) Kebutuhan berpakaian Kebutuhan berpakaian mungkin tidak terganggu kecuali pada periode kelemahan fisik yang menganggu. 7) Mempertahankan temperatur atau sirkulasi Data yang sering muncul adalah klien mengeluh kesemutan pada ekstremitas yang berarti terjadi penurunan sirkulasi karena terjadi peningkatan

41

viskositas darah oleh glukosa tetapi sulit masuk sel pada ekstremitasnya. Akral juga teraba dingin akibat penurunan sirkulasi. Suhu tubuh biasanya masih berkisar normal kecuali sudah ada infeksi dengan indikasi suhu tubuh di atas 37 oC. 8) Kebutuhan personal hygiene Klien DM dengan kadar glukosa darah terkontrol masih dapat melakukan kegiatan ganti pakaian sendiri tanpa bantuan. 9) Kebutuhan rasa aman dan nyaman Klien dengan DM mengalami gangguan rasa nyeri panas pada punggung kaki tetapi dengan skala ringan dan dapat ditoleransi sehingga tidak menganggu aktivitas sehari-hari sampai yang berat terasa sangat panas dan menganggu aktivitas seperti berjalan. Sedangkan kebutuhan aman klien mengalami risiko terjadi perlukaan pada ektremitas terutama bagian bawah. 10) Berkomunikasi dengan orang lain dan mengekspresikan emosi Pada perjalanan yang cukup lama lebih satu bulan klien mengalami penurunan optimisme dan cenderung emosi labil, mudah tersinggung dan marah. Sedangkan pada periode awal emosi klien masih stabil dan mampu mengekspresikan emosi dengan baik. 11) Kebutuhan spiritual Kegiatan ibadah semakin terlihat meningkat sebagai bentuk kompensasi kejiwaan untuk mencari kesembuhan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kegiatan itu dapat berupa peningkatan sholat, berdoa atau pergi ketempat ibadah.

42

12) Kebutuhan bekerja Kebutuhan bekerja pada klien DM telah mengalami penurunan karena klien mudah mengalami kelelahan. 13) Kebutuhan bermain dan rekreasi Untuk kebutuhan ini masing-masing klien berbeda. 14) Kebutuhan belajar Kebutuhan belajar yang meningkat mengenai bagaimana cara menjaga kadar gula darah tetap stabil, bagaimana cara mengkonsumsi makanan yang aman dan bagaimana cara menghindari komplikasi (Riyadi.,dkk, 2008). 8. Pemeriksaan fisik Ciri-ciri fisik klien diabetes yang sangat umum yang dapat dikenali sebagai ciri-ciri DM tipe 2 adalah sebagai berikut. a.

Status penampilan kesehatan: yang sering muncul adalah kelemahan fisik.

b. Tingkat kesadaran: normal, latergi, stupor, koma, tergantung kadar gula yang dimiliki dan kondisi fisiologi untuk melakukan kompensasi kelebihan gula darah. c.

Tanda-tanda vital Frekuensi nadi dan tekanan darah: takikardi akibat terjadi kekurangan energi sel sehingga jantung melakukan kompensasi untuk meningkatkan pengiriman, hipertensi karena peningkatan viskositas darah oleh glukosa sehingga terjadi peningkatan tekanan pada dinding pembuluh darah dan risiko terbentunya plak pada pembuluh. Kondisi ini terjadi pada fase DM yang sudah lama atau klien yang memang mempunyai bakat hipertensi.

43

Frekuensi pernafasan: takhipnea pada kondisi ketoasidosis. Suhu tubuh: demam pada klien dengan komplikasi infeksi pada luka atau pada jaringan lain, hipotermia pada klien yang tidak mengalami infeksi atau penurunan metabolik akibat menurunnya masukan nutrisi secara drastis. d. Berat badan melalui penampilan atau pengukuran: kurus ramping pada diabetes mellitus fase lanjutan dan lama tidak mengalami terapi, gemuk padat, gendut pada fase awal penyakit atau klien lanjutan dengan pengobatan yang rutin dan pola makan yang masih tidak terkontrol. e.

Keadaan kepala diabetisi

1) Rambut Diabetisi yang sudah menahun dan tidak terawat secara baik biasanya rambutnya lebih tipis. Bila akar rambut terserang, rambut mudah rontok. Rontoknya rambut ini dapat sembuh kembali dalam 2-3 bulan jika DM segera dirawat dengan baik, diberi vitamin beta karoten, vitamin E, vitamin C, mineral, serta cairan penguat akar rambut atau hair tonic. 2) Telinga Karena urat saraf bagian pendengaran mudah rusak, telinga sering berdenging atau berdesing. Bila keadaan ini tidak segera diobati dan DM tidak ditangani pendengaran akan semakin memburuk bahkan dapat menjadi tuli sebelah atau kedua-duanya. 3) Mata Bila kadar glukosa dalam darah mendadak tinggi, lensa mata menjadi cembung dan klien akan mengeluh pengliatannya kabur. Bila keadaan ini

44

dibiarkan, klien akan sering mengganti kacamata. Penyakit DM dapat menyebabkan lensa mata menjadi keruh atau tampak putih dan klien mengeluh kabur, lensa yang keruh ini disebut katarak. Komplikasi menahun pada mata yang lain adalah meningkatnya tekanan bola mata yang disebut glukoma. Keadaan ini sering ditandai dengan rasa pusing yang hebat di sekitar mata. Produksi air mata diabetisi juga menurun, sehingga klien sering mengeluh matanya terasa kering. Keadaan lain

yang akan timbul biasanya sesudah 10-15 tahun adalah

terganggunya alat penerima sinar atau retina. Gangguan pada retina disebut retinopati diabetik, yaitu terjadi penyempitan pembuluh darah kapiler yang disertai eksudasi dan perdarahan akibat adanya kebocoran pada pembuluh darah. darah dan eksudat inilah yang menutupi sinar yang menuju ke retina. f.

Keadaan rongga mulut diabetisi

1) Lidah Lidah diabetisi sering membesar dan atau terasa menebal bila sudah lama menderita DM. Kadang kadang timbul gangguan rasa pengecapan pada lidahnya, sehingga diabetisi merasa terganggu pada kenikmatan atau rasa makanannya. 2) Ludah Ludah diabetisi sering menjadi lebih kental, sehingga mulutnya terasa kering yang disebut xerostomi diabetik. Keadaan dengan ludah kental dapat menganggu kesehatan rongga mulut dan mudah mengalami infeksi. Sebaliknya, kadang kadang terjadi hipersalivasi diabetik.

45

3) Gigi dan gusi Karena jaringannya yang mengikat gigi atau periodontium mudah rusak, gigi diabetisi mudah goyang bahkan mudah lepas. Gusi diabetisi sering kali agak menggelembung atau bengkak, mudah mengalami infeksi, dan kadang-kadang bernanah. Karena sering mengalami infeksi rongga mulut dan ludah diabetisi semakin mengental, bau mulut diabetisi sering kurang enak yakni foetor ex oris diabetik. g. Keadaan paru-paru dan jantung diabetisi 1) Paru-paru Batuk pada diabetisi biasanya berlangsung lama, karena pertahanan tubuhnya menurun. Dibandingkan dengan non-diabetik diabetisi lebih mudah menderita TBC paru. Kurang lebih 12,8% diabetisi di Surabaya mengidap TBC paru. 2) Jantung Diabetisi lebih mudah menderita jantung koroner, yaitu penyakit jantung yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner. Pembuluh darah koroner adalah yang memberikan makan pada otot jantung. Jika pembuluh darah ini menyempit, otot jantung akan hipoksia dan kekurangan nutrisi. Otot jantung akan lemah atau sebagian otot jantung mati. Keadaan ini disebut infark miokard akut. h. Keadaan liver diabetisi Diabetisi yang tidak terawat dengan baik akan mengalami penyakit liver akibat diabetesnya. Kelainan ini disebut penyakit hati diabetik. Selain itu diabetisi

46

akan lebih mudah mengidap penyakit radang hati karena virus Hepatitis B dan Hepatitis C bila dibandingkan dengan klien non-diabetisi. i.

Keadaan alat pencernaan diabetisi

1) Lambung Pada klien DM yang sudah lama urat saraf yang memelihara lambung akan rusak sehingga fungsi lambung untuk mwnghancurkan makanan menjadi lemah. Kemudian lambung menggelembung sehingga proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama tertinggal di dalam lambung. Keadaan ini menimbulkan rasa mual, perut mudah merasa penuh, kembung, makanan tidak lekas turun, kadang-kadang timbul rasa sakit pada ulu hati. 2) Usus Gangguan pada usus yang paling sering diutarakan oleh diabetisi adalah sukar buang air besar, perut kembung, kotoran keras, buang kotoran hanya sekali dalam 2-3 hari. Kadang kadang kotorannya seperti kotoran kambing. Semua ini akibat komplikasi urat saraf pada usus besar. Keadaan sebaliknya diabetisi juga dapat menderita diare yakni disebut diare diabetik, dengan keluhan BAB sering, kotoran banyak mengandung air, tanpa mulas, sering timbul pada malam hari, dapat terjadi 4-5 kali perhari. j.

Keadaan ginjal dan kandung kemih diabetisi

1) Ginjal Dibandingkan

dengan

ginjal

orang

normal,

diabetisi

memiliki

kecenderungan tujuh belas kali lebih mudah mengalami gangguan fungsi ginjal. Disebabkan oleh faktor infeksi berulang yang sering timbul pada diabetisi, dan

47

adanya faktor penyempitan pembuluh darah kapiler yang disebut mikroangiopati di dalam gijal. Manifestasi komplikasi mikroangiopati diabetik adalah nefropati diabetik. Pada diabetisi juga lebih mudah megidap batu ginjal yang timbul karena faktor infeksi saluran kemih. 2) Kandung kemih Diabetisi lebih sering mengalami infeksi saluran kemih yang disingkat ISK yang berulang. Selain itu urat saraf yang memelihara kandung kemih sering rusak, sehingga dinding kandung kemih menjadi lemah. Kandung kemih akan menggelembung, dan kadang kadang klien mengalami retensi urin. Sebaliknya jika sifat kontrol urat sarafnya tergaggu, klien akan mengalami inkontinensia urine. k. Kemampuan seksual diabetisi Pada laki-laki biasanya mengalami disfungsi ereksi akibat neuropati. Impotensi pada diabetisi dapat dibagi menjadi dua yaitu impotensi neurogenik dan impotensi psikogenik. Disebut impotensi neurogenik bila setiap bangun tidur pagi alat kelamin memang tidak pernah ereksi karena urat sarafnya sudah ruak akibat DM. Sedangkan impotensi psikogenik terjadi bila klien mengalami stres psikogenik, Pada perempuan disfungsi seksual juga dapat terjadi yaitu cairan pelumas yang berkurang. l.

Keadaan urat saraf diabetisi Tingginya kadar glukosa darah pada klien diabetisi dapat menyebabkan

kerusakan pada urat saraf yang disebut neuropati diabetik. Salah satu keadaan neuropati diabetik yang sangat menganggu adalah neuropati diabetik tipe nyeri

48

atau painful diabetic neuropathy yang disingkat PDN. Diabetisi dengan PDN akan merasa nyeri sekali terutama pada kaki. Gejala neuropati diabetik yang sering muncul adalah: 1) kesemutan, 2) rasa panas atau rasa tertusuk-tusuk jarum, 3) bila rasa tebal pada telapak kaki, klien merasa seperti berjalan di atas kasur bahkan sering kali sandalnya tertinggal di tempat tertentu, 4) kram, 5) badan sakit semua terutama pada malam hari, 6) bila kerusakan terjadi pada banyak urat saraf atau polineuropati diabetik jalan diabetisi akan pincang dan otot-otot kakinya akan mengalami atrofi. Bila yang terkena adalah saraf pusat atau nervus sentralis maka mata akan tertutup sebagian atau penglihatan menjadi rangkap atau diplopia. m. Keadaan pembuluh darah diabetisi Komplikasi yang paling berbahaya adalah komplikasi pada pembuluh darah. pembuluh darah pada diabetisi mudah menyempit dan tersumbat oleh gumpalan darah dan sel darah merah mudah menjadi kaku akibat kadar glukosa yang tinggi. penyempitan ini disebut dengan angiopati diabetik. Secara medik umur diabetisi ditentukan oleh kualitas pembuluhdarahnya, sebagai contoh: 1) Trombosis di pembuluh darah otak dapat memberi gejala: a) lumpuh, b) gangguan bicara, c) bila sumbatan pada daerah yang penting diabetisi dapat meninggal secara mendadak. 2) Bila sumbatan timbul di pembuluh darah jantung akan menyebabkan timbulnya infark miokard akut yang disingkat IMA yaitu kematian otot jantung akibat terhentinya aliran darah dan suplai oksigen serta nutrisi akibat sumbatan.

49

3) Jika sumbatan pada pembuluh darah sedang atau besar di tungkai yang termasuk dalam makro angiopati diabetik sehingga tungkai akan lebih mudah mengalami gangren diabetik. Jika sumbatan terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka diabetisi akan merasa tungkainya sakit setelah berjalan pada jarak tertentu karena aliran darah ke tungkai berkurang yang disebut claudicatio intermitten. n. Keadaan kulit diabetisi Pada umumnya kulit diabetisi kurang sehat atau kuat dalam hal pertahanannya, sehingga mudah terkena infeksi dan penyakit jamur. Yang berbahaya apabila furunkel muncul di daerah kuduk karena letaknya dekat dengan otak. Adanya pertumbuhan jamur pada kulit menyebabkan rasa gatal yang sulit sembuh selama diabetisinya belum dirawat secara baik (Tjokroprawiro, A. 2011). 2.5.2 1.

Diagnosis keperawatan keluarga

Komponen diagnosis keluarga Pada asuhan keperawatan keluarga diagnosis keperawatan yang muncul

dapat dua sifat, yaitu yang berhubungan dengan seseorang, bertujuan agar seseorang dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai usia. Yang kedua berhubungan dengan keluarga dengan penyebab berpedoman pada lima tugas keluarga dibudang kesehatan yang bertujuan agar keluarga memahami dan memfasilitasi perkembangan seseorang (Suprajitno, 2004). 2.

Diagnosis risiko Diagnosis risiko memiliki dua komponen diantaranya adalah problem dan

etiologi (Setiadi, 2008). Ciri diagnosis risiko adalah sudah ada data yang

50

menunjang namun belum terjadi gangguan, tetapi tanda tersebut dapat menjadi masalah aktual apabila tidak segera mendapatkan bantuan pemecahan dari tim kesehatan atau keperawatan. Apabila mengacu pada lima tugas fungsi keluarga diagnosis yang kemungkinan muncul pada keluarga klien Diabetes Mellitus dengan risiko ketidakstabilan glukosa darah, yaitu : 1) Risiko

ketidakstabilan

kadar

glukosa

darah

berhubungan

dengan

ketidakmampuan keluarga mengenal masalah diabetes mellitus tipe 2 yang terjadi pada keluarga 2) Risiko

ketidakstabilan

kadar

glukosa

darah

berhubungan

dengan

ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi penyakit diabetes mellitus tipe 2 3) Risiko

ketidakstabilan

kadar

glukosa

darah

berhubungan

dengan

ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan diabetes mellitus tipe 2. 4) Risiko

ketidakstabilan

kadar

glukosa

darah

berhubungan

dengan

ketidakmampuan keluarga dalam memelihara atau memodifikasi lingkungan yang dapat mempengaruhi penyakit diabetes melitus tipe 2. 5) Risiko

ketidakstabilan

kadar

glukosa

darah

berhubungan

dengan

ketidakmampuan keluarga mengguanakan fasilitas pelayana kesehatan guna perawatan dan pengobatan diabetes melitus tipe 2.

51

3. Penapisan masalah Skoring dilakukan bila perawat merumuskan diagnosis keperawatan lebih dari satu. Proses skoring menggunakan skala yang telah dirumuskan oleh Bailon dan Maglaya (1978) di dalam Suprajitno (2004). Prioritas didasarkan pada diagnosis keperawatan yang mempunyai skor tertinggi dan disusun berurutan sampai

yang

mempunyai

skor

terendah.

Namun,

perawat

perlu

mempertimbangkan juga persepsi keluarga terhadap masalah keperawatan mana yang perlu diatasi segera. Setelah penilaian, diagnosis keperawatan yang lebih dari satu disusun secara prioritasnya berdasarkan total skor yang tertinggi ke terendah. Kegiatan lain adalah mensosialisasikan prioritas diagnosis keperawatan kepada keluarga (Suprajitno, 2012). 2.5.3

Perencanaan asuhan keperawatan keluarga Rencana asuhan keperawatan berdasarkan diagnosis risiko ketidakstabilan

kadar glukosa darah berdasarkan The North American Nursing Diagnosis Association yang disingkat NANDA, intervensi dan tujuan yang terkait dengan kasus DM (Wilkkinson J.M & Ahern N. R, 2011 dalam Ernawati, 2013). a. Tujuan dan Kriteria Hasil 1) Kadar glukosa darah stabil, yang dibuktikan oleh kadar glukosa, hemoglobin glikosilasi, glukosa urin dan keton urine. 2) Faktor risiko terkendali, dibuktikan oleh manajemen mandiri diabetes yang diterapkan secara konsisten, pengetahuan manajemen diabetes yang mendalam dan tidak ada peenyimpangan kadar glukosa darah. 3) Menunjukkan prosedur yang benar untuk memeriksa kadar glukosa darah.

52

4) Mematuhi regimen yang diprogramkan untuk pemantauan glukosa darah. 5) Mematuhi rekomendasi diet dan latihan fisik. 6) Memperlihatkan prosedur yang benar untuk pemberian obat secara mandiri. 7) Menguraikan gejala hipoglikemia dan hiperglikemia. b.

Perencanaan

1) Pengkajian a)

Kaji faktor yang dapat meningkatkan risiko ketidakseimbangan glukosa.

b) Pantau kadar glukosa serum yakni dibawah 60 mg/dl menunjukkan hipoglikemia, diatas 300 mg/dl hiperglikemia sesuai dengan progran atau protocol. c)

Pantau keton urin.

d) Pantau asupan dan haluaran. e)

Tentukan penyebab hiperglikemia atau hipoglikemia jika terjadi.

2) Penyuluhan untuk klien atau keluarga a)

Beri informasi mengenai diabetes

b) Beri informasi mengenai obat obatan yang digunakan untuk mengendalikan diabetes. c)

Beri informasi mengenai penatalaksanaan diabetes.

d) Beri informasi mengenai pemantauan secara mandiri kadar glukosa dan keton jika perlu (Ernawati, 2013). 2.5.4

Pelaksanaan keperawatan keluarga Pada kegiatan pelaksanaan, perawat perlu melakukan kontrak sebelumnya

yakni saat mensosialisasikan diagnosis keperawatan untuk pelaksanaan yang

53

meliputi kapan dilaksanakan, berapa lama waktu yang dibutuhkan, materi atau topik yang didiskusikan, siapa yang melaksanakan, anggota keluarga yang perlu mendapat informasi yakni sasaran langsung pelaksanaan dan mungkin peralatan yang perlu disiapkan keluarga. Kegiatan ini bertujuan agar keluarga dan perawat mempunyai kesiapan secara fisik dan psikis pada saat implementasi. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan sesuai dengan rencana didahului perawat menghubungi keluarga bahwa akan dilakukan pelaksanaan sesuai kontrak (Suprajitno. 2004). 2.5.5 1.

Evaluasi keperawatan keluarga

Tahap evaluasi Evaluasi disusun menggunakan SOAP secara operasional dengan tahapan

sumatif dan formatif. Evaluasi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu : a.

Evaluasi berjalan atau sumatif, dikerjakan dalam bentuk pengisian format catatan perkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang dialami oleh keluarga, format yang dipakai adalah format SOAP.

b.

Evaluasi akhir atau formatif, dikerjakan dengan cara membandingkan antara tujuan yang akan dicapai. Bila terdapat kesenjangan diantara keduanya, mungkin semua tahap dalam proses keperawatan perlu ditinjau kembali agar didapat data-data, masalah atau rencana yang perlu dimodifikasi.

2.

Penentuan keputusan pada tahap terminasi Ada tiga kemungkinan keputusan pada tahap ini, yaitu :

54

a. Keluarga telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan, sehingga rencana dihentikan. b. Keluarga masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan, sehingga perlu penambahan waktu, resources dan intervensi sebelum tujuan berhasil. c. Keluarga tidak dapat mencapai hasil yang telah ditentukan, sehingga perlu: 1) Mengkaji ulang masalah atau respon yang lebih akurat. 2) Membuat outcome yang baru, mungkin outcome yang pertama tidak realistis atau mungkin keluarga tidak menghendaki tujuan yang disusun oleh perawat. 3) Pelaksanaan keperawatan harus dievaluasi dalam hal ketepatan untuk mencapai tujuan sebelumnya. 3.

Metode evaluasi Metode yang dipakai dalam evaluasi antara lain seperti observasi langsung,

wawancara, memeriksa laporan dan latihan simulasi. 4.

Mengukur pencapaian tujuan keluarga Faktor yang dievaluasi ada beberapa komponen, meliputi: a. pengetahuan

keluarga mengenai penyakitnya, b. pengontrol gejala-gejalanya, c. Pengobatan, d. diet, aktifitas, persediaan alat-alat, e. risiko komplikasi, f. gejala yang harus dilaporkan, g. Pencegahan (Setiadi, 2008).

Related Documents

Bab 11
June 2020 23
Bab 11
June 2020 20
Bab 11
May 2020 43
Bab 11 Komunikasi.pptx
December 2019 21
Soal Bab 11 Risma.docx
November 2019 20
11. Bab Iii.docx
May 2020 7

More Documents from "Ard To Yudi"