10_lpi2017_bab8.pdf

  • Uploaded by: indah safitri
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 10_lpi2017_bab8.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 10,828
  • Pages: 26
BAB 8

Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif yang ditujukan untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan tersebut untuk mendorong siklus keuangan sehingga mendukung proses pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

| 133

Kebijakan makroprudensial pada 2017 ditujukan untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan. Terjaganya stabilitas sistem keuangan memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif yang telah ditempuh sebelumnya. Stance kebijakan makroprudensial yang akomodatif akan memperbaiki arah siklus keuangan, yang saat ini masih menurun, sehingga dapat mendukung proses pemulihan ekononomi yang sedang berjalan. Bank Indonesia sepanjang 2017 tetap melanjutkan stance kebijakan rasio loan to value/financing to value (LTV/ FTV) dan loan to funding ratio (LFR) yang akomodatif yang telah ditempuh sejak 2015. Upaya mendorong perbaikan siklus keuangan juga diperkuat dengan menjaga kapasitas perbankan dalam memberikan kredit melalui penetapan kembali besaran countercyclical capital buffer (CCB) sebesar 0%. Di samping itu, Bank Indonesia juga terus mendorong pertumbuhan kredit untuk pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) baik di sisi penawaran kredit dengan menaikkan batas minimum rasio penyaluran kredit UMKM maupun di sisi permintaan kredit dengan meningkatkan kapasitas pelaku UMKM. Di sisi pengelolaan risiko stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia secara konsisten menempuh surveilans dan pengawasan makroprudensial serta memperkuat koordinasi yang erat dengan otoritas terkait khususnya dalam melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.

8.1. Kebijakan LTV/FTV atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR)1 Pada 2017, Bank Indonesia melanjutkan kebijakan loan to value/financing to value ratio (LTV/FTV) akomodatif seperti yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada 2015 dan 2016, stance ini ditempuh Bank Indonesia dengan menaikkan rasio LTV atau FTV dalam kisaran 75%-90%, dengan rasio yang semakin besar untuk tipe properti yang semakin kecil dan untuk kepemilikan pertama.2 Pelonggaran kebijakan LTV/FTV tersebut dimaksudkan untuk mendorong penyaluran kredit khususnya sektor properti. Dengan kebijakan tersebut, perbankan dapat lebih leluasa dalam menyalurkan kredit dengan tetap mempertimbangkan siklus perekonomian dan kondisi pasar properti. Kebijakan pelonggaran LTV/FTV yang ditempuh Bank Indonesia berdampak positif terhadap pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) pada 2017. Pelonggaran kebijakan LTV/FTV yang juga didukung oleh penurunan suku bunga kebijakan dan masih besarnya kebutuhan masyarakat terhadap hunian telah mendorong peningkatan pertumbuhan KPR. Pertumbuhan KPR 2017 berada dalam tren meningkat hingga tercatat 10,5% lebih

Grafik 8.1. dan KPR Risiko Kredit Grafik 8.1. Pertumbuhan Pertumbuhan dan NPLKPR KPR Persen, yoy

Persen 3,5

12

Konsistensi kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan koordinasi kebijakan yang solid telah memberikan hasil yang positif. Pertumbuhan kredit mulai membaik, sementara stabilitas sistem keuangan tetap terjaga sebagaimana tercermin pada kinerja perbankan dan pasar modal yang meningkat. Pertumbuhan kredit yang lebih tinggi tertahan oleh proses konsolidasi korporasi yang masih berlanjut, sehingga permintaan kredit belum meningkat secara signifikan. Selain itu, konsolidasi internal perbankan yang juga masih berlangsung turut berkontribusi terhadap terbatasnya pertumbuhan kredit. Di tengah perbaikan pertumbuhan kredit yang masih terbatas, pembiayaan yang bersumber dari institusi keuangan non-bank (IKNB), pasar obligasi, dan pasar modal menunjukkan peningkatan sehingga dapat memenuhi sebagian kebutuhan pembiayaan ekonomi.

10

3,0

8 2,5 6 2,0

4

1,5

2 0

I

II

III 2015

Pertumbuhan KPR

IV

I

II

III 2016

IV

I

II

III 2017

IV

1,0

NPL KPR (skala kanan)

Sumber: Bank Indonesia

1 Kebijakan LTV bertujuan untuk mengurangi perilaku spekulatif dalam investasi properti yang dibiayai oleh sektor perbankan. Kebijakan ini mensyaratkan besaran uang muka kredit pemberian rumah pada jumlah tertentu. Namun, untuk tetap memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat, kebijakan ini hanya dibatasi untuk pembelian rumah mewah dan pembelian untuk kepemilikan rumah kedua dan seterusnya. Hal ini untuk menjaga keberpihakan kepada pembeli rumah yang memiliki motivasi untuk dijadikan tempat tinggal utama. 2 Rasio LTV atau FTV pada 2015 dalam kisaran 60%-90%, kemudian pada 2016 rasio LTV/FTV kembali dinaikkan ke kisaran 75%-90%.

134 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

Grafik 8.2. KPR KPR per Tipe Grafik 8.2. Pertumbuhan Pertumbuhan Berdasarkan Tipe

Grafik 8.3. LDR LDR dan dan LFR LFR Grafik 8.3. Perkembangan Perkembangan Persen

Persen, yoy 25

93

20

92 91

15

90

10

89 5

88

0

87

-5 --10

86

I

II

III

IV

I

2015

II

III 2016

IV

I

Rumah Tapak Tipe s.d. 70

Rumah Tapak Tipe > 70

Flat/Aprt Tipe s.d. 70

Flat/Aprt Tipe > 70

II

III 2017

IV

Sumber: Bank Indonesia

tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan dua tahun terakhir yang berada pada kisaran 7%. Perkembangan positif KPR pada 2017 juga didukung risiko kredit yang terjaga, tercermin dari non performing Loan (NPL) yang berada pada level 2,6% (Grafik 8.1). Peningkatan pertumbuhan KPR terjadi pada seluruh tipe rumah tapak dan flat/apartemen. Rumah tapak dengan tipe sampai dengan 70 m2, yang mendominasi KPR dengan porsi sebesar 60% dari total KPR, tercatat tumbuh 15,2%. Pertumbuhan signifikan juga terjadi pada KPR untuk flat/apartemen dengan tipe sampai dengan 70 m2 yang meningkat 23,4% (Grafik 8.2).

8.2. Kebijakan GWM Berdasarkan LFR3 Bank Indonesia pada 2017 kembali mempertahankan kebijakan giro wajib minimum (GWM) berdasarkan loan to funding ratio (LFR) pada rentang 80% hingga 92%. Kebijakan tersebut konsisten dengan upaya mendorong intermediasi perbankan dengan tetap menjaga kondisi likuiditas bank. Namun demikian, kebijakan GWM berdasarkan LFR tersebut belum

85

I

II

III 2015

LDR

IV

I

II

III 2016

IV

I

II

III 2017

IV

LFR

Sumber: Bank Indonesia

mendorong peningkatan LFR perbankan secara signifikan (Grafik 8.3). Di sisi lain, kebijakan GWM berdasarkan LFR mampu memperbaiki struktur pendanaan perbankan. Kebijakan perubahan perhitungan GWM (loan to deposit ratio) LDR menjadi LFR pada 2015 berdampak signifikan terhadap peningkatan surat berharga yang diterbitkan oleh bank.4 Pada 2017, surat berharga yang diterbitkan oleh bank mencapai Rp59,2 triliun, meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumnya yakni sekitar Rp40 triliun (Grafik 8.4). Perkembangan tersebut cukup positif mengingat karakter pendanaan bank melalui penerbitan surat berharga bersifat jangka panjang dan lebih stabil dibandingkan dengan karakteristik dana pihak ketiga (DPK). Dengan demikian pendanaan melalui penerbitan surat berharga dapat mendukung penyaluran kredit jangka panjang sekaligus mendukung pengelolaan risiko likuiditas bank. Lebih lanjut, peningkatan surat berharga yang diterbitkan bank juga dapat mendukung upaya pendalaman pasar keuangan di Indonesia.

3 GWM LFR adalah simpanan minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari

4 Kriteria surat berharga yang diterbitkan bank untuk dapat diperhitungkan dalam LFR,

DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR yang dimiliki oleh Bank dengan LFR

yakni diterbitkan dalam bentuk medium term notes (MTN), floating rate notes (FRN),

target. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga likuiditas perbankan dan mengurangi

dan obligasi selain obligasi subordinasi. Ketiga jenis surat berharga tersebut harus

build-up risiko sistemik melalui pengendalian fungsi intermediasi perbankan sesuai

ditawarkan melalui penawaran umum dan memiliki peringkat (rating) yang diterbitkan

dengan kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian. Kebijakan ini diharapkan

oleh lembaga pemeringkat paling kurang setara dengan peringkat investasi. Selain itu,

mampu mendorong terciptanya fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas,

surat berharga tersebut harus dimiliki oleh investor nonbank dan ditatausahakan oleh

dengan tetap menjaga kondisi likuiditas bank. Kebijakan ini berlaku hanya untuk bank

lembaga yang berwenang memberikan layanan jasa penyimpanan dan penyelesaian

umum konvensional (BUK).

transaksi efek.

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 135

Grafik 8.6. Keuangan Indonesia Grafik 8.6. Siklus Siklus Keuangan Indonesia

Grafik 8.4. Kredit, DPK DPK, dan SSB Grafik 8.4. Perkembangan Perkembangan Kredit, dan SSB yang Diterbitkan BankDiterbitkan Bank yang Triliun rupiah

Triliun rupiah

Indeks

5.500

70

5.000

60

4.500

50

0,02

4.000

40

-0,02

3.500

30

3.000

20

0,10 0,08 0,06 0,04

0

-0,04 -0,06

Kredit

DPK

SSB yang Diterbitkan (skala kanan)

Sumber: Bank Indonesia

Periode Krisis

Peaks & Troughs

2017

2016

2015

2014

2013

2012

2011

2010

2009

2007

2006

2008

Siklus keuangan

Sumber: Bank Indonesia

8.3. Kebijakan Countercyclical Capital Buffer (CCB)5 Bank Indonesia pada 2017 juga menetapkan besaran tambahan modal CCB sebesar 0% sebagai bagian dari upaya mendorong pertumbuhan kredit dan mendukung pemulihan ekonomi. Bank Indonesia sebagai otoritas makroprudensial berupaya mendorong pemulihan ekonomi dengan memperbaiki siklus keuangan dan sekaligus mencegah peningkatan potensi risiko sistem keuangan. Penetapan CCB sebesar 0% pada 2017 dinilai masih konsisten dengan upaya tersebut.

Grafik 8.5. Kredit terhadap PDB terhadap Grafik 8.5. Kesenjangan Indikator Kesenjangan Kredit PDB (Credit Gap) Persen terhadap PDB 10 8 Risiko Penyaluran Kredit Sangat Berlebihan

6

Risiko Penyaluran Kredit Berlebihan

4 2 0

Risiko Penyaluran Kredit Tidak Berlebihan

-2 -4 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Periode Krisis

-0,10

2005

IV

2004

III 2017

2002

II

2003

I

2001

IV

1999

III 2016

2000

II

1998

I

1997

IV

1996

III 2015

1995

II

1994

I

1993

-0,08

Credit Gap

Batas Bawah

Batas Atas

Sumber: Bank Indonesia

5 CCB merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.

136 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

Sepanjang 2017, perkembangan beberapa indikator mendukung perlunya penetapan CCB 0%. Indikator kesenjangan kredit terhadap PDB tahun 2017 dalam tren menurun dan pada tingkat yang rendah (Grafik 8.5). Dengan demikian, perlu ruang untuk mendorong penyaluran kredit. Selain itu, hasil estimasi menunjukkan bahwa siklus keuangan Indonesia masih dalam fase kontraksi (Grafik 8.6). Perkembangan ini berimplikasi pada perlunya mendorong kinerja pembiayaan oleh sektor keuangan untuk membantu pemulihan ekonomi yang sedang berjalan.

8.4. Kebijakan Mendorong Pengembangan UMKM Kebijakan pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Bank Indonesia ditempuh untuk mendukung kebijakan utama Bank Indonesia, yaitu mengendalikan inflasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, memperkuat keandalan sistem pembayaran, dan meningkatkan efektivitas pengelolaan uang rupiah. Dalam kaitan ini, kebijakan pengembangan UMKM ditujukan untuk mencapai empat sasaran yakni: (i) mewujudkan UMKM yang mendukung pengendalian inflasi komponen bergejolak (volatile food), menghasilkan komoditas ekspor guna penerimaan devisa, serta mengembangkan ekonomi unggulan yang merupakan potensi lokal; (ii) mewujudkan UMKM yang berkualitas dan akses keuangan UMKM yang meningkat; (iii) meningkatkan pembiayaan, pemasaran dan penggunaan transaksi keuangan secara elektronik oleh UMKM; dan (iv) mewujudkan pengembangan UMKM yang berdampak lebih luas. Upaya mencapai empat

sasaran tersebut dilakukan melalui empat pilar strategi yaitu: (i) penguatan UMKM yang mendukung stabilitas nilai rupiah; (ii) penguatan UMKM yang berkualitas dan terjaga keberlangsungan usahanya; (iii) penguatan fasilitasi transaksi elektronik UMKM; dan (iv) penguatan kerja sama kelembagaan.

Grafik 8.7. Target Rasio Kredit UMKM Grafik 8.7. Pencapaian Pencapaian Target Rasio Kredit UMKM Perbankan sebesar 15% Jumlah bank 80 70 60 50

Upaya meningkatkan pembiayaan dan akses keuangan UMKM ditempuh melalui penguatan instrumen kebijakan untuk mendorong penyaluran kredit UMKM. Kewajiban pemenuhan rasio kredit UMKM minimum 20% secara bertahap oleh bank umum kini memasuki tahun ketiga dengan target rasio minimum sebesar 15%.6 Bank Indonesia memantau implementasi ketentuan dan menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif untuk mendorong perbankan memenuhi target rasio kredit UMKM. Dalam kaitan ini, bank yang dapat memenuhi ketentuan lebih cepat diberikan insentif berupa pelonggaran batas atas LFR dari 92% menjadi 94%. Sebaliknya, bank yang tidak mampu memenuhi ketentuan dikenakan disinsentif berupa pengurangan jasa giro atas bagian kewajiban GWM rupiah yang mendapat remunerasi. Untuk mendorong pencapaian target rasio kredit UMKM perbankan, Bank Indonesia melaksanakan program fasilitasi bekerja sama dengan instansi/lembaga lain. Salah satu bentuk fasilitasi adalah pemanfaatan pemeringkatan kredit usaha kecil dan menengah (UKM) bekerja sama dengan Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo). Perum Jamkrindo melakukan scoring terhadap lebih dari 3.000 UMKM yang bersumber dari database profil yang dimiliki Bank Indonesia. Selanjutnya, data hasil scoring tersebut dapat dimanfaatkan oleh perbankan (khususnya bank pembangunan daerah/BPD) yang membutuhkan calon debitur potensial. Bank Indonesia juga bekerja sama dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) melaksanakan sosialisasi dan implementasi sistem resi gudang (SRG) di daerah. Kegiatan ini bertujuan memfasilitasi pemanfaatan SRG sekaligus meningkatkan pembiayaan UMKM bagi BPD yang belum mencapai target rasio kredit/pembiayaan UMKM. Fasilitasi juga dilakukan Bank Indonesia bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), antara lain melalui kegiatan Bekraf Financial Club (BFC), business matching dan diskusi skema pembiayaan untuk sektor

19

17

22

21

22

23

47

48

51

III

IV

40 30 20

45

46

IV 2015

IV 2016

42

10 0

I

II

Rasio Kredit UMKM ≥ 15%, NPL < 5%

2017

Rasio Kredit UMKM ≥ 15%, NPL ≥ 5%

Sumber: Bank Indonesia

ekonomi kreatif. Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan penguatan kapasitas SDM perbankan di berbagai wilayah melalui pelatihan profil bisnis UMKM. Kebijakan penetapan target rasio kredit UMKM dan fasilitasi yang dilakukan Bank Indonesia untuk mendorong penyaluran kredit UMKM berdampak positif terhadap perkembangan kredit UMKM. Selama tahun 2017, jumlah bank yang berhasil mencapai rasio kredit UMKM sebanyak 15% terhadap total kredit dengan NPL yang terjaga kurang dari 5% menunjukkan peningkatan setiap triwulannya (Grafik 8.7). Kondisi ini pada gilirannya mendorong peningkatan kredit UMKM dalam tiga tahun terakhir (Grafik 8.8).

Grafik 8.8. Perkembangan Pangsa Kredit UMKM Grafik 8.8. Perkembangan Pangsa Kredit UMKM

19,7%

19,4% 19,3%

80,7% 80,6%

80,3%

2015 2016 2017

Kredit UMKM

6 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/22/PBI/2012 sebagaimana diubah dengan PBI

Kredit Non-UMKM

No.17/12/PBI/2015 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Sumber: Bank Indonesia

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 137

Untuk mendorong peningkatan akses pembiayaan UMKM, Bank Indonesia juga mengembangkan Aplikasi Pencatatan Informasi Keuangan (APIK) yang dapat diakses melalui smartphone secara user friendly. Aplikasi ini memudahkan usaha mikro dan kecil (UMK) dalam menyusun laporan keuangan sederhana untuk mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan. Tidak hanya bagi UMK, APIK juga dapat dimanfaatkan perbankan dalam analisis pengajuan kredit. Pada tahun 2017, uji coba perluasan implementasi APIK telah dilakukan di berbagai daerah dengan melibatkan perbankan, kementerian/lembaga, serta asosiasi/komunitas UMKM. Upaya meningkatkan akses pembiayaan juga dilakukan melalui peningkatan kapasitas UMKM yang mendukung pengendalian inflasi. Hal ini dilakukan melalui pengembangan klaster berbasis komoditas ketahanan pangan atau komoditas yang berkontribusi signifikan terhadap inflasi. Hingga 2017, sebanyak 207 klaster komoditas pertanian telah dikembangkan oleh Bank Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kajian Bank Indonesia menunjukkan bahwa pembinaan program klaster yang komprehensif dari hulu ke hilir telah memberikan dampak positif bagi petani, antara lain meningkatkan kinerja usaha tani dan pendapatan rata-rata petani, serta mampu meningkatkan akses pemasaran dan pembiayaan. Saat ini, model bisnis klaster diarahkan pada hilirisasi. Petani tidak hanya memproduksi komoditas, tetapi juga didorong untuk melakukan pengolahan pascapanen yang memberikan nilai tambah dan dapat dipasarkan. Sebagai tahap awal, penerapan model bisnis hilirisasi lebih diarahkan pada industri skala kecil atau kelompok. Selain itu, Bank Indonesia mendorong pengembangan UMKM unggulan daerah melalui pendekatan ekonomi lokal (local economic development/LED) dalam rangka menciptakan pusat-pusat aktivitas ekonomi baru. Program LED difokuskan pada lima tema sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah, yaitu: daerah perbatasan/tertinggal, pemberdayaan perempuan, nelayan, industri kreatif, dan komoditas ekspor/substitusi impor. Program yang diinisiasi sejak 2016 ini telah dilaksanakan di tujuh wilayah, yaitu Maluku, Papua Barat, Sulawesi Barat, Aceh, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tengah. Untuk memperluas jangkauan pasar UMKM, Bank Indonesia memfasilitasi perluasan akses pemasaran bagi UMKM secara daring (dalam jaringan/online) maupun luring (luar jaringan/offline). Pemasaran secara offline diwujudkan melalui penyelenggaraan pameran untuk

memperkenalkan produk UMKM secara lebih luas di tingkat nasional. Di samping itu, Bank Indonesia juga memperluas jangkauan pemasaran UMKM secara daring melalui pemanfaatan teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong UMKM untuk menggalakkan digitalisasi UMKM dengan telah dikeluarkannya ketentuan roadmap e-Commerce.7 Sebagai langkah awal, Bank Indonesia melaksanakan pilot project perluasan akses pasar UMKM binaan bekerja sama dengan marketplace/toko belanja daring nasional dengan melibatkan 50 UMKM penghasil produk kreatif binaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia di wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Kerja sama dilakukan dengan mempertimbangkan kemudahan persyaratan, edukasi/pendampingan bagi UMKM, dan meningkatkan peluang UMKM untuk mengakses pembiayaan dari lembaga keuangan atau perusahaan teknologi finansial. Ke depan, dari hasil pilot project akan disusun model bisnis e-Commerce bagi UMKM untuk mendorong terciptanya ekosistem yang mendukung digitalisasi UMKM.

8.5. Koordinasi Kebijakan di Bidang Makroprudensial Untuk memperkuat efektivitas kebijakan makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan berbagai otoritas. Koordinasi ditempuh baik secara bilateral maupun dalam satu wadah koordinasi. Koordinasi antara lain dilakukan melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), koordinasi terkait kebijakan makro-mikroprudensial, dan koordinasi terkait pengembangan UMKM.

Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia menjalin kerja sama dan koordinasi antarlembaga khususnya dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Koordinasi di antara keempat lembaga tersebut diwujudkan melalui forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sesuai amanat UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Tugas

7 Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Roadmap e-Commerce) 2017-2019.

138 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

KSSK adalah melakukan: (i) koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan; (ii) penanganan krisis sistem keuangan; dan (iii) penanganan permasalahan bank sistemik, baik ketika sistem keuangan berada dalam kondisi normal maupun krisis. KSSK beranggotakan Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS. Dalam rangka penanganan krisis sistem keuangan, khususnya pendanaan untuk penanganan permasalahan bank, UU PPKSK menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki oleh LPS. Pembelian tersebut dilakukan berdasarkan keputusan KSSK dan bertujuan untuk menghindari gejolak di pasar SBN yang mungkin terjadi apabila LPS melakukan penjualan SBN dalam jumlah besar dan secara langsung ke pasar. Ketentuan dan mekanisme penjualan SBN tersebut telah dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama Bank Indonesia dan LPS No.18/3/PKS/DpG/2016 tentang Penjualan SBN oleh LPS kepada Bank Indonesia. Terkait upaya resolusi bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan dukungan terhadap Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) yang dilakukan LPS. Sepanjang 2017, rapat berkala KSSK dilaksanakan secara triwulanan yaitu pada Januari, April, Juli dan Oktober 2017. Secara umum, rapat KSSK tersebut menyimpulkan bahwa stabilitas sistem keuangan selama 2017 berada dalam kondisi normal. Stabilitas sistem keuangan dinilai masih terjaga dengan ditopang oleh fundamental ekonomi yang baik dan presepsi pelaku pasar yang positif terhadap perekonomian Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan antara lain oleh kinerja perbankan dan IKNB yang membaik, nilai tukar rupiah yang stabil, dan kinerja pasar SBN dan SUN yang meningkat. Selain itu, penjaminan simpanan dinilai memadai dan infrastruktur sistem keuangan terjaga baik. Sejak 2012, secara rutin tahunan, KSSK melakukan simulasi pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dalam rangka menguji penerapan berbagai kebijakan lembaga anggota KSSK. Simulasi pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang terakhir dilakukan pada 2 Oktober 2017 dengan tujuan untuk: (i) menguji penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas (resolusi) bank; (ii) menguji penerapan ketentuan pelaksanaan UU PPKSK di masing-masing lembaga anggota KSSK; (iii) menguji efektivitas proses

pengambilan keputusan dalam rapat KSSK; dan (iv) menguji efektivitas koordinasi antaranggota KSSK. Simulasi pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan pemimpin tertinggi (full-dress crisis simulation) dari empat lembaga anggota KSSK. Dalam simulasi tahun 2017, peraturan Bank Indonesia yang diuji meliputi ketentuan tentang Protokol Manajemen Krisis (PMK) Bank Indonesia, ketentuan tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP), dan ketentuan tentang penjualan SBN yang dimiliki LPS kepada Bank Indonesia dalam rangka mendukung pendanaan upaya resolusi bank. Hasil simulasi tersebut memperoleh tanggapan positif dari tim pemantau simulasi yang berasal dari The World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan AustraliaIndonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG). Sebagai bagian dari upaya memperkuat koordinasi antar otoritas di sektor keuangan, Bank Indonesia pada tahun 2016 telah menginisiasi pembentukan forum koordinasi lintas otoritas terkait reformasi sektor keuangan global. Forum tersebut beranggotakan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS dan bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran informasi dan diskusi antar otoritas. Forum secara khusus membahas perkembangan isu dan arah rekomendasi internasional, baik yang bersifat mikroprudensial maupun makroprudensial, serta menindaklanjuti rekomendasi Financial Stability Board (FSB) sesuai dengan kewenangan masing-masing otoritas. Pencapaian utama forum ini pada 2017 adalah peningkatan awareness tentang rekomendasi internasional di sektor keuangan dan status implementasi rekomendasi tersebut di Indonesia. Selain itu, forum juga berhasil mendorong upaya untuk menutup kesenjangan implementasi reformasi keuangan di Indonesia dan menyusun stance bersama terkait kerangka reformasi sektor keuangan global. Koordinasi lintas otoritas di sektor keuangan dilakukan pula untuk memantau risiko baru yang muncul dalam sistem keuangan. Risiko tersebut dapat bersumber dari berbagai hal antara lain inovasi teknologi finansial (tekfin), misconduct, dan penurunan aktivitas correspondent banking. IMF dan World Bank memandang bahwa berbagai upaya koordinasi menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia telah berhasil mewujudkan reformasi sektor keuangan Indonesia. Reformasi didukung pula oleh

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 139

pengawasan, kerangka manajemen krisis, pengembangan dan integritas sektor keuangan yang lebih kuat sejak penilaian FSAP terakhir tahun 2010 lalu. Pada 2017, Indonesia menjalani penilaian FSAP yang kedua dalam rangka memenuhi komitmen leading by example sebagai anggota G20 dan FSB. Hasil asesmen FSAP 2017 menunjukkan bahwa terdapat penguatan kinerja makroekonomi Indonesia yang ditunjang dengan sistem keuangan yang stabil dalam menghadapi kerentanan global dan domestik. Risiko sistemik pada sistem keuangan domestik dinilai rendah dan sistem perbankan dianggap tangguh (resilient) menghadapi guncangan keras (severe shocks). Ketangguhan sistem perbankan didukung oleh tingkat permodalan yang kuat dan profitabilitas yang tinggi. Selain itu, kerentanan sektor korporasi dipandang tetap terkendali meskipun terdapat peningkatan risiko utang pada sejumlah sektor ekonomi dan peningkatan risiko pendanaan dari luar negeri. Otoritas diminta untuk terus memonitor risiko sistemik dan mewaspadai potensi gangguan stabilitas keuangan.

Koordinasi Kebijakan Makro-Mikroprudensial Koordinasi kebijakan makro-mikroprudensial dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan OJK, dilandasi oleh keputusan bersama atau nota kesepahaman. Koordinasi tersebut dilakukan dalam rangka mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkesinambungan. Sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas makroekonomi, OJK menempuh serangkaian kebijakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Arah kebijakan OJK bertujuan agar seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Kebijakan juga ditujukan agar sistem keuangan dapat tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Pada 2017, OJK menerbitkan sejumlah Peraturan OJK (POJK) dalam rangka memperkuat sektor jasa keuangan. OJK antara lain mencabut aturan relaksasi restrukturisasi kredit yang tertuang dalam POJK No.11/POJK/03/2015 tentang Ketentuan Kehatihatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank Umum. Keputusan ini ditempuh dengan mempertimbangkan kondisi perbankan yang sudah membaik seiring dengan konsolidasi internal perbankan yang ditempuh.

Koordinasi dengan OJK terus dilakukan secara intensif mengingat terdapat keterkaitan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang masing-masing lembaga. Pada 2017, Bank Indonesia dan OJK bersepakat menyusun dokumen petunjuk pelaksanaan kerja sama. Dokumen tersebut memuat tatacara dan mekanisme koordinasi kedua lembaga yang dapat menjadi landasan dan pedoman bagi satuan kerja di Bank Indonesia maupun OJK. Hal ini penting untuk memperlancar dan mengoptimalkan kerja sama dan koordinasi antara kedua lembaga. Salah satu cakupan kerja sama yang dimuat dalam dokumen adalah tentang penyusunan kebijakan dan peraturan yang akan diterbitkan oleh Bank Indonesia atau OJK. Kedua lembaga menyepakati adanya koordinasi dalam bentuk pemberian pendapat dan pembahasan bersama. Koordinasi semacam ini bertujuan untuk menghasilkan ketentuan di sektor keuangan yang harmonis dan saling melengkapi serta dapat mendukung efektivitas pelaksanaan kebijakan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sebagai contoh, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia ketika menerbitkan sejumlah kebijakan bagi lembaga keuangan khususnya terkait penanganan krisis. Kebijakan tersebut meliputi Peraturan OJK (POJK) tentang Penerapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum8, POJK tentang Bank Perantara9, dan POJK tentang Rencana Aksi Bagi Bank Sistemik10. Berbagai kebijakan ini ditujukan untuk memberi kejelasan dan ketegasan penerapan kebijakan penanganan krisis di sektor keuangan. Selain itu, Bank Indonesia dan OJK juga melakukan kerja sama dalam hal pertukaran data dan/atau informasi hasil engawasan lembaga jasa keuangan dan macrosurveillance serta pengelolaan sistem laporan capturing. Pertukaran data dan/atau informasi tersebut dilakukan dalam rangka pemantauan stabilitas sistem keuangan sebagaimana amanat UU PPKSK.

8 POJK No.15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum memuat aturan penanganan permasalahan bank baik terhadap bank sistemik maupun penanganan terhadap bank selain bank sistemik. 9 POJK No. 16/POJK.03/2017 tentang Bank Perantara memuat aturan mengenai prosedur pendirian bank perantara yang hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh LPS sebagai opsi penanganan permasalahan solvabilitas bank. 10 POJK No. 14/POJK.03/2017 tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) Bagi Bank Sistemik memuat aturan mengenai kewajiban bank sistemik untuk mempersiapkan rencana dalam rangka mencegah dan mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di bank sistemik dengan cara menyusun suatu rencana aksi (recovery plan).

140 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

Koordinasi Pengembangan UMKM Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan pengembangan UMKM, Bank Indonesia memperkuat koordinasi dan kerja sama dengan berbagai pihak. Pada 2017, Bank Indonesia menandatangani Nota Kesepahaman dengan Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka pemberdayaan koperasi dan UKM. Salah satu wujud kerja sama tersebut ialah melalui kegiatan kajian bersama untuk mengevaluasi kriteria UMKM berdasarkan UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM. Selain memetakan potensi dan permasalahan UMKM, kajian juga bertujuan untuk mengevaluasi dan merumuskan kriteria UMKM yang sesuai dengan perkembangan ekonomi terkini. Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan kerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan Bekraf. Secara umum, kerja sama yang dilakukan di antaranya mencakup pemberdayaan UMKM untuk mendukung pengendalian inflasi; peningkatan akses dan jangkauan pembiayaan UMKM; pengembangan dan pemberdayaan ekonomi syariah; pelaksanaan penelitian, sosialisasi, edukasi atau fasilitasi; serta pertukaran data dan informasi. Kerja sama dengan Kementerian Perindustrian juga meliputi perumusan kebijakan pendukung dan peningkatan pertumbuhan industri kecil, menengah, dan wirausaha baru dalam rangka pemerataan kesejahteraan masyarakat.

8.6. Perkembangan Stabilitas Sistem Keuangan Perkembangan stabilitas sistem keuangan (SSK) pada 2017 secara umum tetap terjaga, meskipun masih terdapat tantangan dalam mendorong intermediasi perbankan. Stabilitas sistem keuangan yang terjaga didukung oleh ketahanan perbankan yang tetap kuat dan pasar keuangan yang membaik. Ketahanan perbankan yang membaik terlihat dari rasio permodalan (capital adequacy ratio/CAR) yang tinggi, rasio likuiditas terhadap DPK yang kuat, dan profitabilitas yang meningkat. Namun demikian, kinerja intermediasi perbankan terlihat belum optimal meskipun lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh konsolidasi perbankan dan korporasi yang masih berlanjut. Sementara itu, kinerja pasar keuangan membaik terlihat pada kinerja pasar saham dan pasar obligasi yang berada dalam tren meningkat. Secara keseluruhan, stabilitas sistem keuangan yang terjaga tercermin pada Indeks Stabilitas Sistem Keuangan

Grafik 8.9. Stabilitas Sistem Keuangan Grafik 8.9. Indeks Indeks Stabilitas Sistem Keuangan Indeks 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Normal

Waspada

Siaga

Krisis

ISSK

Sumber: Bank Indonesia

yang masih berada di level normal dan membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Grafik 8.9).

Kinerja Perbankan Kinerja perbankan pada 2017 secara umum terus membaik, di tengah masih berlanjutnya proses konsolidasi oleh perbankan dan korporasi. Di satu sisi, proses konsolidasi perbankan berkontribusi pada penguatan ketahanan perbankan. Di sisi lain, proses konsolidasi yang dilakukan perbankan dan korporasi berpengaruh terhadap kinerja kredit yang belum optimal. Secara keseluruhan, perkembangan terakhir pada 2017 mengindikasikan mulai membaiknya kinerja perbankan dan berpotensi mendukung berlanjutnya pemulihan ekonomi ke depan. Fungsi intermediasi perbankan yang belum berjalan optimal tercermin pada perkembangan DPK dan kredit. Dari sisi pendanaan, DPK tumbuh cukup kuat di level 9,4% dengan peningkatan terutama dalam bentuk deposito (Grafik 8.10). Pertumbuhan DPK didukung oleh membaiknya pendapatan masyarakat dan meningkatnya alokasi pendapatan untuk simpanan. Sementara itu, pertumbuhan kredit meski mulai membaik namun masih belum cukup kuat. Pada 2017, kredit perbankan tumbuh 8,2%, sedikit meningkat dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya yakni 7,9%. Proses konsolidasi perbankan dan korporasi yang belum berakhir memengaruhi kondisi penawaran dan permintaan kredit. Dari sisi penawaran, perbankan lebih

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 141

Grafik 8.12. DPK PerBerdasarkan Jenis Simpanan Grafik 8.10. Pertumbuhan Pertumbuhan DPK Jenis Simpanan

Grafik 8.14. Undisbursed Loan terhadap Grafik 8.12. Pangsa Pangsa Undisbursed Loan Undisbursed Loan dan Kredit

Persen, yoy

Persen

30

34

25

32

20

30

15

28

10

26

5

24

0

22

-5

I

II

III

IV

I

II

2015

Giro

III

IV

I

2016

Tabungan

II

III

IV

20

Rasio Total Undisbursed Loan

2017

Deposito

2015

Total DPK

Sumber: Bank Indonesia

Berdasarkan sektor ekonomi, pertumbuhan kredit masih belum merata. Pertumbuhan kredit pada sektor perdagangan dan jasa dunia usaha melambat akibat

konsumsi masyarakat yang belum kuat. Kredit konstruksi juga tumbuh melambat meskipun masih cukup tinggi, didukung pembangunan infrastruktur di berbagai daerah. Peningkatan kredit pada tahun 2017 terlihat pada sektor industri, seiring dengan membaiknya kinerja korporasi sektor tersebut (Grafik 8.13). Berdasarkan penggunaan, pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada jenis kredit konsumsi (Grafik 8.14). Risiko kredit yang rendah mendorong bank untuk menyalurkan kredit konsumsi dengan lending standard yang lebih longgar. Kredit modal kerja juga mulai mengalami peningkatan pada semester II 2017 seiring dengan membaiknya kinerja korporasi, khususnya sektor industri. Namun demikian, kredit investasi yang memiliki jangka

Grafik 8.15. Kredit Lima Sektor Grafik 8.13. Pertumbuhan Pertumbuhan Kredit Lima Sektor Ekonomi Terbesar Ekonomi Utama

Grafik 8.13. Lending Standard Grafik 8.11. Indeks Indeks Lending Standard

Persen

Indeks

Tidak Berubah

Lebih Longgar

2017

Sumber: Bank Indonesia

berhati–hati dalam menyalurkan kredit sebagai upaya konsolidasi untuk mengatasi risiko kredit. Perkembangan ini tercermin dari lending standard yang ketat semenjak tahun 2016 terutama pada kredit investasi dan kredit modal kerja (Grafik 8.11). Di sisi permintaan, kredit perbankan tumbuh terbatas seiring dengan proses konsolidasi korporasi yang belum sepenuhnya berakhir. Hal tersebut juga menjadi penyebab korporasi untuk cenderung menunda ekspansi usaha. Kondisi itu terindikasi dari peningkatan kredit yang sudah disetujui perbankan namun tidak digunakan (undisbursed loan), khususnya kredit modal kerja (Grafik 8.12).

Lebih

2016

Rasio Undisbursed Loan Modal Kerja

35

25

25

20

15

15

5

10

-5

5

-15

Total

Kredit Investasi

Kredit Modal Kerja

2015 Tw IV

2016 Tw IV

2017 Tw I

2017 Tw II

2017 Tw III

2017 Tw IV

Sumber: Bank Indonesia

142 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

Kredit Konsumsi

0

Total Kredit Perdagangan 2015

2016

Sumber: Bank Indonesia

Industri 2017

Jasa Dunia Usaha

Pertanian

Konstruksi

Grafik 8.16. Kredit Berdasarkan Grafik 8.14. Pertumbuhan Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis Penggunaan Jenis Penggunaan

Grafik NPLNPL dandan Rasio NPLNPL Grafik 8.18. 8.16. Pertumbuhan Pertumbuhan Rasio Persen, yoy

Persen 16 14 12

3,4

30

3,2

25

3,0

20

10

15

8

10

2,8 2,6 2,4

5

6

2,2

0

4 2

Persen

35

2,0

-5 I

II

III

IV

I

2015

II

III

IV

2016

I

II

III

IV

-10

Kredit Modal Kerja

Kredit Investasi

Kredit Konsumsi

Total Kredit

III

IV

I

II

III

IV

I

II

2016

Pertumbuhan NPL

III

IV

1,8

2017

Rasio NPL (skala kanan)

Sumber: Bank Indonesia

waktu panjang menunjukan perlambatan dipengaruhi keyakinan pelaku domestik yang belum sepenuhnya pulih. Dari sisi spasial, pertumbuhan kredit meningkat di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan (Grafik 8.15). Pertumbuhan kredit konsumsi dan kredit modal kerja khususnya di sektor industri mendorong peningkatan pertumbuhan kredit di Jawa. Sementara itu, pertumbuhan kredit di daerah lain melambat disebabkan belum kuatnya konsumsi dan masih lemahnya investasi. Proses konsolidasi internal yang dilakukan perbankan mendukung ketahanan perbankan, seperti terlihat pada risiko kredit yang terkendali. Rasio NPL mencapai 2,6%, lebih rendah dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya (Grafik 8.16). Dari sisi penggunaan,

membaiknya kinerja korporasi mendorong penurunan NPL pada kredit modal kerja dan kredit investasi (Grafik 8.17). Sementara berdasarkan sektor ekonomi, penurunan NPL terjadi pada sektor industri dan pengangkutan yang didukung oleh perbaikan kinerja korporasi pada sektor tersebut. Secara spasial, risiko kredit mengalami penurunan di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan (Grafik 8.18). Risiko kredit yang menurun di Jawa didukung oleh membaiknya kinerja korporasi dan masih tingginya kredit konsumsi. Kinerja sektor perkebunan dan pertambangan yang membaik akibat pengaruh dari kenaikan harga crude palm oil (CPO) dan batu bara mendorong penurunan NPL di Sumatera dan Kalimantan. Sementara itu, risiko kredit di Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua meningkat seiring dengan kondisi perekonomian yang belum kuat.

Grafik 8.19. Jenis Penggunaan Grafik 8.17. NPL NPLPer Berdasarkan Jenis Penggunaan

Grafik 8.17. Kredit Menurut Wilayah Grafik 8.15. Pertumbuhan Pertumbuhan Kredit Menurut Wilayah

Persen

Persen, yoy 14

4,0

12

3,5

10

3,0

8

2,5

6

2,0

4

1,5 1,0

2

2015

II

2015

Sumber: Bank Indonesia

Sumatera

I

2017

Jawa 2016

Sumber: Bank Indonesia

Kalimantan 2017

Balinusra

Sulawesi

Mapua

I

II

III

IV

2015

Kredit Modal Kerja

I

II

III 2016

Kredit Investasi

IV

I

II

III

IV

2017

Kredit Konsumsi

Sumber: Bank Indonesia

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 143

Grafik 8.22. Perbankan Grafik 8.20. Efisiensi Indikator Efisiensi Perbankan

Grafik 8.20. Wilayah Grafik 8.18. NPL NPLMenurut Menurut Wilayah

Triliun rupiah

Persen 5

Persen 84

800 750

82 700

4

650

80

600

3

78 550 500

2

Sumatera 2015

Jawa 2016

Kalimantan

Balinusra

Sulawesi

76

Mapua

2015

2016

Biaya Operasional

2017

2017

Pendapatan Operasional

BOPO (skala kanan)

Sumber: Bank Indonesia

Sumber: Bank Indonesia

Ketahanan perbankan yang membaik juga tergambar pada kondisi likuiditas perbankan. Ketahanan likuiditas perbankan tercermin dari tingginya rasio alat likuid terhadap DPK (AL/DPK) dan rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD). AL/DPK serta AL/NCD perbankan meningkat menjadi 21,5% dan 102,1%, jauh di atas threshold minimal likuiditas pada masing-masing indikator, yaitu 8,5% dan 50% (Grafik 8.19). Proses konsolidasi internal yang dilakukan perbankan turut meningkatkan efisiensi dan profitabilitas perbankan. Peningkatan efisiensi ini tercermin dari rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang menurun, sejalan dengan turunnya biaya operasional (Grafik 8.20). Membaiknya efisiensi pada gilirannya mendorong peningkatan profitabilitas

perbankan, yang terlihat pada peningkatan return on asset (ROA) dengan disertai penurunan net interest margin (NIM) (Grafik 8.21). Perkembangan tersebut diantaranya dipengaruhi oleh membaiknya risiko kredit akibat turunnya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Konsolidasi perbankan dalam mengatasi risiko kredit turut menopang ketahanan permodalan. Dalam kondisi belum optimalnya pertumbuhan kredit, ketahanan permodalan menguat. Capital adequacy ratio (CAR) perbankan meningkat menjadi 23,0% (Grafik 8.22). Profitabilitas yang meningkat di tengah pertumbuhan kredit yang belum cukup kuat mendorong peningkatan CAR.

Grafik 8.21. Likuiditas Perbankan Grafik 8.19. Ketahanan Ketahanan Likuiditas Perbankan Persen

Grafik 8.23. Grafik 8.21. Profitabilitas Profitabilitas Perbankan

Persen

25

Persen 120

Persen

2,75

5,75

2,50

5,50

2,25

5,25

110 20 100 15 90

10

I

II

III 2015

AL/DPK

IV

I

II

III

IV

2016

AL/NCD (skala kanan)

Sumber: Bank Indonesia

144 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

I

II

III

IV

80

2,00

I

II

2017

III 2015

ROA Sumber: Bank Indonesia

IV

I

II

III 2016

NIM (skala kanan)

IV

I

II

III 2017

IV

5,00

24,6%, meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2016 sebesar 23,6%.

Grafik 8.24. CAR Grafik 8.22. Perkembangan Perkembangan CAR Triliun rupiah

Persen

5.500

24,0

5.000

23,5

4.500

23,0

4.000

22,5

3.500

22,0

3.000

21,5

2.500

21,0

2.000

20,5

1.500

20,0

1.000

19,5

500

19,0

0

I

II

III

IV

I

II

2015

Modal

III

IV

I

2016

II

III

IV

18,5

2017

Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)

CAR (skala kanan)

Sumber: Bank Indonesia

Perkembangan Kredit UMKM Pertumbuhan kredit UMKM pada tahun 2017 tercatat lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan kredit non-UMKM. Pertumbuhan kredit UMKM tahun 2017 tercatat sebesar 10,0%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit non-UMKM sebesar 8,0% (Grafik 8.23). Dengan perkembangan tersebut, kredit UMKM mencapai Rp942,4 triliun atau 19,7% dari total kredit perbankan nasional. Peningkatan penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) dan penurunan suku bunga kredit menjadi faktor utama yang mendorong peningkatan penyaluran kredit UMKM. Perkembangan ini turut dipengaruhi oleh kenaikan jumlah UMKM yang terhubung dengan akses pembiayaan, yakni mencapai sekitar

Berdasarkan penggunaan, pertumbuhan kredit UMKM terutama didorong oleh kredit modal kerja yang tumbuh sebesar 11,9%, meningkat dari pertumbuhan tahun 2016 sebesar 9,2%. Sementara itu, kredit investasi hanya tumbuh 4,9%, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2016 sebesar 6,3%. Berdasarkan sebaran wilayah, penyaluran kredit UMKM masih didominasi oleh pulau Jawa dan Sumatera. Realisasi kredit UMKM di pulau Jawa mencapai 58,8%, disusul Sumatera dengan pangsa 19,2%. Sementara pangsa kredit di wilayah Sulawesi, Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua relatif rendah, berturut-turut sebesar 7,2%, 6,9%, 5,7%, dan 2,1%. Berdasarkan sektor ekonomi, pertumbuhan tertinggi kredit UMKM di antara lima pangsa terbesar tercatat pada sektor jasa kemasyarakatan, konstruksi, dan pertanian berturut-turut sebesar 18,7%, 17,8%, dan 17,7%. Pertumbuhan kredit pada ketiga sektor tersebut menunjukkan peningkatan cukup signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2016 (Grafik 8.24). Berbeda dengan ketiga sektor tersebut, pertumbuhan kredit sektor perdagangan hanya mencapai 6,8%, menurun dibandingkan dengan capaian tahun 2016 sebesar 9,4%. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong penyaluran KUR pada sektor produktif dengan pangsa minimal 40%. Sektor lain yang mengalami penurunan pertumbuhan kredit UMKM pada 2017 ialah sektor akomodasi yang tumbuh 7,3%, menurun

Grafik 8.26. Kredit UMKM Sektoral Grafik 8.24. Pertumbuhan Pertumbuhan Kredit UMKM Sektoral

Grafik 8.25. Kredit UMKM Grafik 8.23. Perkembangan Perkembangan Kredit UMKM Triliun rupiah

Persen

500 450

14

400

40 30

12

350

10

300 250

8

200

6

150

20 10 0

4

100

2

50 0

Persen, yoy 16

I

II

III 2015

Kredit Usaha Mikro

IV

I

II

III

IV

2016

Kredit Usaha Kecil

Pertumbuhan Kredit UMKM (skala kanan) Pertumbuhan Kredit Non-UMKM (skala kanan) Sumber: Bank Indonesia

I

II

III

IV

2017

Kredit Usaha Menengah

0

-10 -20

I

II

III

IV

I

2015

Pertanian

II

III

IV

I

II

2016

Industri Pengolahan

Perdagangan Besar dan Eceran

III

IV

2017

Konstruksi Jasa Kemasyarakatan

Sumber: Bank Indonesia

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 145

dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2016 sebesar 18,6%.

Grafik 8.28. Kredit UMKM Grafik 8.26. NPL NPLGross Gross Kredit UMKM Berdasarkan Berdasarkan Skala Usaha Skala Usaha Persen

Berdasarkan skala usaha, pertumbuhan kredit UMKM tertinggi adalah kredit usaha mikro dan kredit usaha kecil yang masing-masing tumbuh sebesar 13,2% dan 10,7%. Kelompok usaha mikro juga mendominasi jumlah rekening yaitu sebesar 85,9% dari total 14,2 juta rekening kredit UMKM. Hal ini juga tercermin dari realisasi KUR yang didominasi oleh KUR mikro dengan pangsa 67,4% dari total realisasi KUR.11 Sementara itu, kredit usaha menengah tumbuh 8,0%, meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2016 yang hanya mencapai 5,7%. Risiko kredit menurun, namun perlu menjadi perhatian. Tingkat risiko kredit UMKM pada awal tahun 2017 cenderung meningkat, sebelum kemudian berada dalam tren menurun sejak Februari 2017. NPL kredit UMKM pada 2017 sebesar 4,1%, menurun dibandingkan dengan kondisi tahun 2016 sebesar 4,2%. Berdasarkan sektor ekonomi, perbaikan kinerja kredit UMKM di antara lima pangsa kredit UMKM terbesar terutama terjadi pada sekor pertanian dan jasa kemasyarakatan. Rasio NPL kedua sektor tersebut membaik menjadi 3,2% dan 3,1% (Grafik 8.25). Sementara berdasarkan skala usaha, membaiknya rasio NPL kredit UMKM didorong oleh menurunnya NPL kredit usaha mikro dan usaha kecil, masing-masing sebesar 2,0% dan 4,1% (Grafik 8.26). Adapun tingkat risiko kredit usaha menengah adalah

Grafik 8.27. Kredit UMKM Grafik 8.25. NPL NPLGross Gross Kredit UMKMBerdasarkan Sek Berdasarkan Sektor Persen 12 10

7 6 5 4 3 2 1 0

I

II

III

IV

2015

NPL Kredit Usaha Mikro NPL Kredit Usaha Menengah

I

II

III 2016

IV

I

II

III 2017

IV

NPL Kredit Usaha Kecil NPL Kredit UMKM

NPL Total Kredit

Sumber: Bank Indonesia

yang tertinggi dengan NPL mencapai 5,1%. Rendahnya rasio NPL kredit usaha mikro sejalan dengan rendahnya rasio NPL KUR yang tercatat hanya sebesar 0,3%. Pada 2017, berbagai upaya ditempuh perbankan untuk mencapai target rasio kredit UMKM bank umum minimal sebesar 15% pada akhir 2017.12 Pada akhir 2017, tercatat 51 bank telah mampu memenuhi ketentuan dengan kualitas terjaga (NPL kurang dari 5%). Upaya percepatan pemenuhan target tersebut menemui beberapa kendala, seperti kurangnya kapabilitas bank dalam menyalurkan kredit UMKM dan keterbatasan jaringan kantor dan SDM. Selain itu, persaingan bank yang bukan penyalur KUR dalam memperoleh debitur UMKM semakin tinggi akibat rendahnya suku bunga KUR dan terbatasnya kemampuan memperoleh debitur potensial. Tingkat persaingan juga semakin tinggi seiring dengan kehadiran perusahaan teknologi finansial yang juga dapat memberikan pembiayaan dengan plafon maksimal sebesar dua miliar rupiah.13

8 6

Kinerja Institusi Keuangan Nonbank

4 2 0

I

II

III

IV

I

2015

Pertanian dan Kehutanan Perdagangan Besar dan Eceran

II

III

IV

I

II

2016

III

IV

2017

Industri Pengolahan

Konstruksi

Kinerja perusahaan pembiayaan (PP) membaik disertai risiko pembiayaan yang terjaga. Pertumbuhan pembiayaan PP mencapai 7,1% pada 2017, meningkat dari pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 6,7%, yang

Jasa Kemasyarakatan

Sumber: Bank Indonesia

12 PBI No.14/22/PBI/2012 sebagaimana diubah oleh PBI No.17/12/PBI/2015 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

11 Laporan Perkembangan Kinerja KUR s.d. 31 Desember 2017, sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

146 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

13 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Grafik 8.31. dan Premi Swap PP Perusahaan Grafik 8.29. Hedging Hedging dan Premi Swap Pembiayaan

Grafik 8.29. Pendanaan dandan NPFNPF PP Grafik 8.27. Pembiayaan, Pembiayaan, Pendanaan, Perusahaan Pembiayaan Persen

Persen

Triliun rupiah

Triliun rupiah

10

4,0

140

0,7

8

3,5

120

0,6

100

0,5

80

0,4

60

0,3

6

3,0

4 2,5 2 2,0

0 -2 -4

I

II

III 2015

IV

I

II

III 2016

Pertumbuhan Pembiayaan

IV

I

II

III 2017

IV

40

0,2

1,5

20

0,1

1,0

0

I

II

III

IV

I

II

2015

Pertumbuhan Sumber Pendanaan

Natural Hedge

Rasio NPF (skala kanan)

III

IV

I

2016

II

III

IV

Non Natural Hedge

Premi Swap (skala kanan)

Sumber: OJK

Sumber: OJK, diolah

terutama ditopang oleh pembiayaan kendaraan bermotor dan perdagangan. Peningkatan pembiayaan juga diiringi dengan mitigasi risiko yang cukup baik tercermin dari non-performing finance (NPF) yang menurun (Grafik 8.27). Meningkatnya kinerja PP didukung dengan perbaikan efisiensi dan penguatan pendanaan. Pada 2017, strategi pendanaan PP dilakukan dengan mengurangi sumber pendanaan dari pinjaman luar negeri dan meningkatkan porsi pendanaan dari dalam negeri. Proporsi pendanaan dari luar negeri mengalami penurunan menjadi 21,4% dibandingkan dengan porsi tahun sebelumnya sebesar 22,9% (Grafik 8.28). Perubahan struktur pendanaan tersebut merupakan salah satu bentuk upaya untuk meningkatkan daya tahan dan efisiensi. Penurunan

proporsi sumber pendanaan dari luar negeri merupakan strategi untuk memitigasi potensi risiko nilai tukar sekaligus sebagai upaya peningkatan efisiensi melalui penurunan biaya lindung nilai (Grafik 8.29). Peningkatan pembiayaan dan berbagai efisiensi yang ditempuh mendorong kenaikan profitabilitas PP. ROA dan return on equity (ROE) PP mengalami peningkatan dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya. Pada 2017, ROA meningkat menjadi 4,0% dari sebelumnya 3,9% dan ROE juga meningkat menjadi 12,2% dari sebelumnya 12,0% (Grafik 8.30). Industri asuransi mengalami peningkatan kinerja sebagaimana tercermin dari pertumbuhan aset dan investasi. Aset asuransi tumbuh 19,9% dan investasi

Grafik 8.30. Pendanaan Grafik 8.28. Sumber Komposisi SumberPPPendanaan Perusahaan Pembiayaan

Grafik 8.32. danEfisiensi Profitabilitas PP Grafik 8.30. Efisiensi Indikator dan Profitabilitas Perusahaan Pembiayaan

Persen

Persen

Persen

15

12%

14%

14%

86

14 13

18%

19%

19%

85

12 11

23%

31%

21%

84

10 9

83

8 7

82

6

44%

40%

46%

5

81

4 3 2

2015

Pinjaman DN

2016

Pinjaman LN

Modal dan Pinjaman Subordinasi Sumber: OJK, diolah

0

2017

80 I

II

Sep - 2017 SB yang Diterbitkan

III

IV

2015

ROA

I

II

III

IV

2016

ROE

I

II

III

IV

2017

BOPO (skala kanan)

Sumber: OJK

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 147

Kinerja Pasar Keuangan

Grafik 8.33. Aset dandan Investasi Grafik 8.31. Pertumbuhan Pertumbuhan Aset Asuransi Investasi Asuransi Persen, yoy 30 25 20 15 10 5 0 2016

Aset

2017

Investasi

Sumber: OJK

tumbuh 24,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya (Grafik 8.31) Perbaikan kinerja terutama terjadi pada asuransi jiwa. Aset asuransi jiwa tumbuh cukup tinggi yakni sebesar 29,8%. Meningkatnya pertumbuhan aset asuransi jiwa terutama disebabkan oleh ekspansi usaha dan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memiliki proteksi jiwa. Salah satu hal penting yang perlu menjadi perhatian industri asuransi adalah kecukupan premi untuk menutupi pembayaran klaim. Rasio premi terhadap klaim bruto mengalami penurunan dari 158,0% pada 2016 menjadi 145,3% (Grafik 8.32). Penurunan rasio premi terhadap klaim bruto disebabkan oleh tingginya pengajuan klaim dibandingkan premi yang diperoleh pada asuransi sosial dan asuransi wajib.

Grafik 8.34. Premi terhadap Klaim Bruto Grafik 8.32. Rasio Rasio Premi terhadap Klaim Bruto Persen

Peningkatan pembiayaan dari pasar keuangan antara lain dipengaruhi oleh kondisi perekonomian serta persepsi emiten dan investor. Biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit bank menjadi salah satu faktor utama pendorong meningkatnya pemanfaatan pembiayaan dari pasar keuangan. Secara agregat, suku bunga obligasi korporasi nonbank tercatat lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga kredit modal kerja dan kredit investasi (Grafik 8.34). Dari sisi investor, penerbitan surat-surat berharga (SSB) oleh korporasi menjadi alternatif investasi yang menarik di tengah tren turunnya suku bunga deposito.

Tabel 8.1. Perkembangan Pembiayaan Pasar Keuangan

Persen

160

35

155

30

150

25

Pembiayaan Pasar Keuangan o/w Emiten Sektor Keuangan Saham

145 20 140 15

135

10

130 125

Perkembangan menarik dalam periode belum optimalnya kredit perbankan ialah meningkatnya sumber pembiayaan lain sehingga menjadi substitusi untuk menutupi kebutuhan pembiayaan ekonomi. Pada 2017, pembiayaan perekonomian melalui pasar keuangan seperti dari pasar saham dan obligasi masih meningkat. Total pembiayaan melalui penerbitan saham perdana (initial public offering/ IPO), right issue, obligasi korporasi, medium term notes (MTN), promissory notes, dan negotiable certicated of deposit (NCD) masih tumbuh tinggi mencapai 32,2%. Peningkatan pembiayaan tersebut terutama pada penerbitan obligasi korporasi yang meningkat 42,2% (Tabel 8.1). Dari sisi penerbit, korporasi nonkeuangan mendominasi penerbitan surat berharga khususnya dalam bentuk obligasi. Perkembangan ini pada gilirannya terus meningkatkan peran pasar keuangan dalam pembiayaan ekonomi nasional (Grafik 8.33).

I

II

III

IV

2015

Premi / Klaim Bruto

I

II

III 2016

IV

I

II

III 2017

Pertumbuhan Premi Bruto (skala kanan)

Pertumbuhan Klaim Bruto (skala kanan) Sumber: OJK

148 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

IV

5

o/w Emiten Sektor Keuangan Obligasi o/w Emiten Sektor Keuangan MTN dan promissory notes + NCD o/w Emiten Sektor Keuangan Sumber: KSEI

Triliun rupiah

2014

2015

2016

2017

109,1

136,9

234,4

309,8

52,2

52,9

126,6

131,5

47,6

53,5

79,2

97,8

12,8

3,7

14,8

12,5

46,5

63,3

116,2

165,2

30,3

35,1

86,5

90,2

14,9

20,1

39,0

46,8

9,2

14,2

25,3

28,8

Grafik 8.37. Obligasi Korporasi Grafik 8.35. Yield Yield Obligasi Korporasi

Grafik 8.35. Pembiayaan Dalam Negeri Grafik 8.33. Pangsa Komposisi Pangsa Neto Pembiayaan Neto Dalam Negeri Persen

Persen 14

100 90

13

80 70

12

60 50

11

40 10

30 20

9

10 0

8 2014

Bank

2015

2016

I

II

III

IV

I

2014

2017

Nonbank

II

III

IV

I

2015

Yield Tenor 1-5 Tahun

II

III

IV

I

II

2016

III

IV

2017

Yield Tenor 6-10 Tahun

Sumber: Bank Indonesia dan KSEI Keterangan: Net pembiayaan, nonbank : obligasi, MTN, dan NCD

Sumber: CEIC

Peningkatan pembiayaan melalui penerbitan obligasi korporasi juga diiringi perbaikan kinerja dan struktur pasar obligasi. Imbal hasil (yield) obligasi korporasi untuk semua tenor menurun dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya (Grafik 8.35). Volatilitas imbal hasil obligasi korporasi juga menurun (Grafik 8.36). Perkembangan positif juga terlihat pada komposisi kepemilikan obligasi korporasi yang saat ini masih didominasi investor domestik sehingga mengurangi potensi risiko pembalikan modal asing. Perkembangan positif juga terlihat pada kinerja pasar obligasi negara didorong persepsi positif investor terhadap perekonomian Indonesia. Imbal hasil surat berharga negara (SBN) dalam tren menurun seiring dengan masih kuatnya permintaan terhadap obligasi

negara. Imbal hasil SBN untuk semua tenor mengalami penurunan (Grafik 8.37). Selain itu, volatilitas imbal hasil SBN juga menurun (Grafik 8.38). Searah dengan kinerja pasar obligasi negara, kinerja pasar saham juga meningkat dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya didukung persepsi positif terhadap kondisi perekonomian. Peningkatan kinerja tercermin dari menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan turunnya volatilitas di pasar saham (Grafik 8.39). IHSG berada pada level 6.356 atau menguat sebesar 20,0% jika dibandingkan dengan level tahun sebelumnya. Aktivitas perdagangan di pasar saham mengalami peningkatan pada 2017, ditandai dengan frekuensi perdagangan yang tumbuh hingga 20%. Perkembangan positif pasar saham terutama

Grafik 8.36. Bunga Bank dandan Obligasi Grafik 8.34. Suku Suku Bunga Bank Korporasi Obligasi Korporasi

Grafik 8.38. Yield Obligasi Korporasi Grafik 8.36. Volatilitas Volatilitas Yield Obligasi Korporasi

Persen

Persen 25

14 13

20

12 11

15

10 9

10

8 7

5

6 5

I

II

III

IV

2015

Suku Bunga KMK Rupiah Suku Bunga KI Rupiah Sumber: Bank Indonesia dan KSEI

I

II

III 2016

IV

I

II

III 2017

Suku Bunga Deposito Rupiah Kupon Obligasi Nonkeuangan

IV

0

I

II

III

IV

2014

Tenor 1-5 Tahun

I

II

III

IV

I

2015

Tenor 6-10 Tahun

II

III

IV

I

II

2016

III

IV

2017

Rata-rata 1 Tahun

Sumber: CEIC

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 149

Grafik 8.39. SBN Grafik 8.37. Yield Yield Surat Berharga Negara

Grafik 8.41. dan Volatilitas IHSG Grafik 8.39. Perkembangan Perkembangan dan Volatilitas Indeks Harga Saham Gabungan

Persen

Indeks

10

Persen 35

6.500

9

30

6.000

25

8

5.500

20

7 15

5.000 6

10 4.500

5

5

Tenor

4 1

2

3

4

5

2015

6

7

8

9

10 11 12 13 15 16 18 20 30

4.000

I

III

IHSG

Sumber: Bloomberg

IV

I

2014

2017

2016

II

II

III

IV

I

II

2015

III

IV

I

2016

II

III

IV

0

2017

Volatilitas (skala kanan)

Sumber: Bloomberg

ditopang oleh meningkatnya peran pelaku domestik sehingga mendorong porsi kepemilikan domestik meningkat hingga 54% terhadap total kapitalisasi. Berdasarkan sektor ekonomi, penguatan IHSG terutama terjadi pada sektor keuangan (JAKFIN), infrastruktur (JAKINFR), dan konsumsi (JAKCONS) (Grafik 8.40).

Kinerja Keuangan Syariah Kinerja keuangan syariah pada 2017 secara umum masih membaik. Perkembangan perbankan syariah masih tetap solid ditopang perbaikan profitabilitas, efisiensi, dan kondisi permodalan. Namun demikian, kinerja fungsi intermediasi juga masih berjalan lambat seiring dengan

Grafik 8.40. Yield SBN Grafik 8.38. Volatilitas Volatilitas Yield Surat Berharga Negara

proses konsolidasi yang belum berakhir. Sementara itu, perkembangan sukuk terus memperlihatkan peningkatan sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan ekonomi. Kelembagaan perbankan syariah menunjukkan perkembangan yang positif, khususnya dari sisi jumlah unit usaha syariah. Jumlah bank umum syariah (BUS) tercatat sebanyak 13 bank. Namun demikian, tahun 2017 diwarnai oleh adanya penurunan jumlah kantor BUS menjadi 1.850 kantor, dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 1.869 kantor. Penurunan jumlah kantor tersebut merupakan bagian dari kelanjutan proses konsolidasi internal yang tengah berlangsung dalam tiga tahun terakhir. Sementara itu, jumlah kantor unit usaha syariah (UUS) sedikit meningkat dari 322 menjadi 339 kantor pada akhir 2017.

Grafik Indeks Sektoral Grafik 8.42. 8.40. Perkembangan Perkembangan Indeks Saham Sektoral

Persen 35

JAKTRAD

30

JAKMIND

25

JAKBIND JAKINFR

20

JAKAGRI

15

JAKPROP

10

JAKCONS

5

JAKMINE I

II

III

IV

2014

I

II

III

IV

I

II

2015

III

2016

Tenor 1-5 Tahun

Tenor 6-10 Tahun

Yield Tenor 11-30 Tahun

Rata-rata 1 Tahun

Sumber: Bloomberg

150 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

IV

I

II

III

2017

IV

JAKFIN -20

Indeks -10

2016 Sumber: Bloomberg

0

10

2017

20

30

40

50

60

70

80

Perkembangan positif perbankan syariah (BUS dan UUS) tercermin pada total aset. Total aset perbankan syariah pada akhir 2017 sedikit mengalami peningkatan sebesar 19,0% menjadi Rp424,1 triliun. Namun demikian, peningkatan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 20,3% pascakonversi BPD Aceh. Pencapaian pada 2017 tersebut cukup positif mengingat perkembangan aset perbankan syariah global berdasar IFSB Islamic Financial Stability Report 2017 cenderung stagnan. Ke depan, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia diharapkan terus meningkat didukung upaya pengembangan ekonomi dan keuangan syariah yang lebih komprehensif dan integratif serta prospek pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan akan terus membaik. Proses konsolidasi internal berpengaruh pada fungsi intermediasi perbankan syariah. Di satu sisi, DPK perbankan syariah selama tahun 2017 meningkat sebesar 19,8% mencapai Rp334,7 triliun, sedikit lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2016 yang mencapai 20,8%. Di sisi lain, pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan (PYD) melambat menjadi 15,2% sehingga mencapai Rp286,8 triliun, lebih rendah dari pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 16,4% (Grafik 8.41). Proses konsolidasi yang masih berlangsung turut dipengaruhi kualitas pembiayaan yang belum menunjukkan perbaikan, tercermin dari rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financing/NPF) yang mencapai 4,3% pada 2017, tidak berbeda jauh dengan kondisi pada 2016 sebesar 4,2% (Grafik 8.42). Bersamaan dengan proses konsolidasi internal, perbankan syariah tetap dapat menjaga tingkat profitabilitas,

Grafik 8.44. PYD dan NPF Perbankan Grafik 8.42. Perkembangan Perkembangan Pembiayaan yang Syariah Disalurkan dan NPF Perbankan Syariah Triliun rupiah

6

250

5

200

4

150

3

100

2

50

1

0

30

400

25

350 300

20

250 200 150 100 50 0

II

III 2015

Total Aset

IV

I

Total DPK

II

III 2016

Total PYD

Pertumbuhan DPK (skala kanan) Sumber: Bank Indonesia dan OJK

IV

I

II

III 2017

IV

III

IV

I

II

III

IV

I

II

2015

III

IV

I

II

2016

III

0

IV

2017

NPF (skala kanan)

PYD

Sumber: Bank Indonesia dan OJK

meningkatkan efisiensi, dan menjaga kecukupan modal. Perbankan syariah juga melakukan penyesuaian dengan meningkatkan penempatan pada SSB syariah (Grafik 8.43). Penyesuaian tersebut tidak berdampak signifikan terhadap profitabilitas yang tercermin dari indikator ROA sebesar 0,6% pada 2017, sama dengan tahun 2016. Meski tidak terdapat perubahan profitabilitas, namun efisiensi cenderung meningkat, sebagaimana terlihat dari BOPO yang menurun dari 96,2% pada 2016 menjadi 94,9% pada 2017. Dari sisi permodalan, kemampuan permodalan perbankan syariah juga meningkat, tercermin dari kenaikan rasio permodalan (CAR) dari 16,6% pada 2016 menjadi 17,9% pada 2017.

Grafik 8.45. PaksaPerbankan Penempatan pada Grafik 8.43. Perkembangan Porsi Penempatan Syariah SSB pada Surat Berharga Syariah

Persen, yoy

Triliun rupiah

II

2014

Grafik 8.43. Aset, Pembiayaan Yang Grafik 8.41. Perkembangan Perkembangan Aset, Pembiayaan yang Disalurkan, Dana Pihak Ketiga Disalurkan, dan Dana Pihak Ketiga 450

Persen

300

Persen 12 10 8

15

6

10

4

5

2

0

0

II

III 2014

IV

I

II

III

2015

IV

I

II

III

2016

IV

I

II

III

IV

2017

Pertumbuhan Aset (skala kanan) Pertumbuhan PYD (skala kanan) Sumber: Bank Indonesia dan OJK

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 151

Perkembangan positif juga terlihat dari pasar keuangan syariah yang ditandai dengan peningkatan obligasi syariah (sukuk) pada 2017 sebagai alternatif pembiayaan. Penerbitan baru sukuk korporasi pada 2017 mencapai 37 seri dengan nilai Rp5,96 triliun, lebih tinggi dari capaian tahun sebelumnya sebanyak 14 seri penerbitan dengan nilai Rp4,3 triliun. Dengan penerbitan ini, total penerbitan sukuk korporasi menjadi 137 seri dengan nilai posisi mencapai Rp15,7 triliun. Perkembangan tersebut juga meningkatkan porsi sukuk korporasi terhadap total obligasi korporasi yang mencapai 4,0% pada 2017, lebih tinggi dari porsi 2016 yang mencapai 3,8%.

tinggi dari pertumbuhan 2016 yang mencapai 11,3%.14 Potensi zakat ke depan sebagai sumber pembiayaan ekonomi juga masih cukup besar. Hal ini antara lain ditopang oleh sistem informasi zakat dan wakaf yang mulai dibangun atas kerja sama Bank Indonesia dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Kinerja Korporasi15 Terjaganya kinerja sistem keuangan tidak terlepas dari kinerja korporasi yang secara umum membaik dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya, meskipun belum merata di semua sektor. Perbaikan kinerja terutama terjadi pada korporasi berbasis komoditas sumber daya alam, baik sektor pertambangan khususnya batu bara maupun subsektor perkebunan terutama CPO. Hal ini terjadi seiring dengan kenaikan permintaan global dan harga komoditas, yang selanjutnya mendorong ekspor. Sementara itu, perbaikan kinerja korporasi nonkomoditas masih belum kuat. Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh proses konsolidasi korporasi yang belum sepenuhnya berakhir.

Perkembangan lebih pesat diperlihatkan oleh sukuk pemerintah. Pada 2017, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) mencapai Rp192,4 triliun atau meningkat dibandingkan dengan penerbitan pada 2016 sebesar Rp179,9 triliun. Dengan perkembangan tersebut, total nilai posisi sukuk negara telah mencapai Rp551,5 triliun sehingga mendorong porsi sukuk negara terhadap total surat berharga negara telah mencapai 17%. Dari sisi pasar keuangan syariah global, nilai posisi sukuk Pemerintah Indonesia terhadap total sovereign sukuk pada 2017 memiliki pangsa yang tertinggi yaitu mencapai 19%, diikuti oleh Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab yang masing-masing mencapai 13% dan 11,9%.

Perbaikan kinerja korporasi yang bergerak di sektor komoditas pertambangan dan perkebunan tercermin pada peningkatan pertumbuhan penjualan, rasio asset turnover, dan rasio inventory turnover (Grafik 8.44). Kenaikan harga komoditas batu bara berdampak positif bagi penjualan korporasi sektor pertambangan, setelah

Kemajuan positif juga terlihat pada sektor keuangan sosial syariah sebagai salah satu instrumen distribusi perekonomian. Sampai dengan 2017, zakat yang terkumpul mencapai Rp4,6 triliun atau tumbuh 12%, lebih

Grafik 8.10. Penjualan, Rasio Asset dan dan Inventory Turnover Grafik 8.44. Pertumbuhan Pertumbuhan Penjualan, Rasio Asset, Inventory Turnover Persen, yoy

Pertumbuhan Penjualan

Rasio Asset Turnover

Kali

30 20

Rasio Inventory Turnover

Kali 12

0,9

11

0,8

10

10 0,7

9

0

7 0,5

-20 -30

8

0,6

-10

I

II III 2015

Agregat

IV

I

II III 2016

Komoditas

IV

I

II III 2017

0,4

6 I

II III 2015

IV

I

II III 2016

IV

I

II III 2017

5

I

II III 2015

IV

I

II III 2016

IV

I

II III 2017

Nonkomoditas

Sumber: Bloomberg 14 Statistik Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) 2017. 15 Sumber: Laporan Keuangan 350 korporasi nonkeuangan di Bursa Efek Indonesia, Bloomberg, diolah.

152 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

Tabel 8.2. Kinerja Korporasi Sektoral

ROA No.

Sektor

ROE

DER

Current Ratio

Pertumbuhan Penjualan

Asset Turnover

Inventory Turnover

Sep

Sep

Sep

Sep

Sep

Sep

Sep

Sep

Jun

Jun

Sep

Sep

Sep

Sep

2016

2017

2016

2017

2016

2017

2016

2017

2016

2017

2016

2017

2016

2017

1

Pertanian

2,37%

0,95%

4,95%

1,91%

0,98

1,04

1,11

0,93 -14,46%

18,16%

0,56

0,64

6,92

8,08

2

Industri Dasar & Kimia

4,33%

4,05%

8,59%

7,81%

0,94

0,91

1,43

1,54

0,34%

13,46%

0,67

0,73

5,00

5,43

3

Industri Barang Konsumsi

13,58%

12,63%

24,90%

21,49%

0,71

0,69

2,00

1,92

8,89%

3,41%

1,31

1,30

4,97

5,05

4

Infrastruktur, Utilitas & Transportasi

5,24%

4,17%

13,38%

9,99%

1,39

1,40

1,00

1,04

-0,21%

6,91%

0,51

0,53

63,19

62,36

5

Aneka Industri

4,23%

4,73%

9,42%

10,37%

1,17

1,21

1,24

1,11

-5,31%

6,84%

0,73

0,76

7,54

7,99

6

Pertambangan

1,40%

6,00%

2,64%

11,07%

0,88

0,82

1,77

1,83 -15,25%

24,69%

0,42

0,53

11,23

15,04

7

Properti & Real Estate

5,06%

4,78%

10,31%

9,98%

1,03

1,14

1,57

1,51

5,51%

28,37%

0,33

0,35

2,19

2,53

8

Perdagangan, Jasa & Investasi

3,47%

3,94%

6,59%

7,43%

0,89

0,88

1,47

1,55

-3,29%

7,57%

0,97

0,99

7,78

7,78

4,99%

5,17%

10,38%

10,46%

1,02

1,03

1,42

1,42

-1,43%

10,39%

0,67

0,70

6,47

6,82

Agregat Sumber: Bloomberg, diolah

pada tahun sebelumnya mencatat pertumbuhan negatif. Penjualan sektor pertambangan yang tumbuh tinggi selanjutnya mendorong kenaikan tingkat profitabilitas secara signifikan. Kenaikan CPO juga turut mendukung produktivitas dan profitabilitas korporasi perkebunan. Namun demikian, peningkatan kinerja korporasi perkebunan tersebut tidak diikuti oleh kinerja korporasi sektor pertanian nonperkebunan akibat melambatnya penjualan. Perkembangan yang kurang menguntungkan tersebut menyebabkan penurunan profitabilitas korporasi sektor pertanian khususnya subsektor nonperkebunan. Secara keseluruhan, kondisi tersebut menyebabkan profitabilitas sektor pertanian melambat. Searah dengan sektor pertambangan, kinerja korporasi di sektor aneka industri, serta sektor perdagangan, jasa dan investasi mulai membaik terutama pada korporasi yang berorientasi ekspor (Tabel 8.2). Perekonomian negara maju khususnya Amerika Serikat dan Eropa yang terus membaik mendorong peningkatan ekspor beberapa produk manufaktur. Berbeda dengan sektor pertambangan dan perkebunan, kinerja korporasi pada sektor yang berorientasi domestik secara umum masih belum kuat. Konsumsi rumah tangga

yang masih terbatas menyebabkan kinerja sektor industri barang konsumsi menurun. Profitabilitas korporasi sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi, serta sektor properti dan real estate juga belum kuat, walaupun mengalami peningkatan penjualan. Hal ini mengindikasikan tekanan pada margin akibat persaingan yang tinggi di sektor tersebut. Di tengah membaiknya kinerja korporasi, utang korporasi mengalami peningkatan (leverage). Meskipun demikian, peningkatan utang masih belum merata. Peningkatan utang terutama pada korporasi nonkomoditas yang bergerak di sektor aneka industri serta properti dan real estate (Grafik 8.45). Sektor lain umumnya masih mengutamakan konsolidasi dalam memperbaiki kinerjanya. Secara umum, kenaikan utang korporasi tetap ditopang dengan kemampuan membayar utang yang memadai. Terjaganya kemampuan membayar utang tercermin dari interest coverage ratio (ICR) yang stabil khususnya pada korporasi sektor nonkomoditas. Sementara itu, ICR dari korporasi sektor komoditas membaik sejalan dengan meningkatnya profitabilitas.

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 153

Grafik 8.11. Equity Ratio (DER) dandan Interest Coverage Ratio (ICR)(ICR) Grafik 8.45. Debt Debttoto Equity Ratio (DER) Interest Coverage Ratio DER

Kali

ICR (Skala Kanan)

Kali

1,25

7

1,20

6

1,15

5

1,10 1,05

4

1,00 0,95

3

0,90

2

0,85

1

0,80 0,75

I

II

III

IV

2015 Agregat

I

II

III 2016

Komoditas

Nonkomoditas

Sumber: Bloomberg, diolah

154 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

IV

I

II 2017

I

III 2012

2013

2014

2015

II

III 2016

IV

I

II 2017

III

0

Boks 8.1.

Penguatan Fungsi Pengawasan Bank Indonesia

B

ank Indonesia memiliki fungsi pengawasan untuk memastikan efektivitas kebijakan sebagai bank sentral.1 Hal ini semakin strategis pascapengalihan fungsi pengawasan perbankan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha, masyarakat maupun sistem yang menjadi objek kebijakan. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak tetapi untuk memberikan arah bagi pelaku ekonomi agar pertumbuhan ekonomi berjalan pada koridor yang tepat. Pengawasan dilakukan dengan berbasis risiko (risk based) dengan memperhatikan kepatuhan objek pengawasan terhadap ketentuan Bank Indonesia. Pengawasan didasarkan atas kerangka kerja yang berkesinambungan yang terdiri dari surveilans (pengawasan offsite) dan pemeriksaan (pengawasan onsite). Surveilans merupakan kegiatan untuk memantau, mengidentifikasi, serta menganalisis risiko pada sistem keuangan yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Hasil surveilans kemudian digunakan pengawas untuk menentukan fokus dan tindak lanjut pengawasan (supervisory action). Adapun pemeriksaan, umumnya bersifat tematik sesuai kebutuhan, dilakukan untuk mengonfirmasi hasil surveilans dan memastikan kepatuhan objek pengawasan terhadap ketentuan Bank Indonesia. Hasil pengawasan baik surveilans maupun pemeriksaan selanjutnya menjadi rekomendasi bagi evaluasi kebijakan Bank Indonesia. Bank Indonesia melakukan fungsi pengawasan yang mencakup pada pengawasan makroprudensial, pengawasan moneter, dan pengawasan sistem pembayaran.

Pengawasan makroprudensial bertujuan untuk memastikan terjaganya kondisi sistem keuangan melalui identifikasi risiko sejak dini. Pengawasan makroprudensial mendukung kelancaran fungsi intermediasi, terciptanya efisiensi sistem keuangan, dan peningkatan akses masyarakat ke sistem keuangan. Objek pengawasan makroprudensial meliputi seluruh sistem keuangan, namun lebih terfokus pada sistem perbankan dengan tujuan untuk memitigasi risiko sistemik yang bersumber dari kegiatan usaha bank tersebut.2 Pengawasan offsite dilakukan melalui alat asesmen seperti solvency dan liquidity stress test, bank industry rating (BankIR), maupun pemantauan kepatuhan bank terhadap Peraturan Bank Indonesia. Tema pemeriksaan makroprudensial tahun 2017 adalah likuiditas dan pelaksanaan kebijakan loan to value (LTV). Hasil pemeriksaan tematik likuiditas pada sampel bank menyimpulkan bahwa perbankan telah merespons dengan baik pergerakan suku bunga kebijakan BI 7-Day (reverse) Repo Rate (BI7DRR). Respons tersebut tercermin pada penurunan suku bunga simpanan dan suku bunga kredit bank-bank tersebut. Namun, hasil pemeriksaan juga menunjukkan bahwa penurunan suku bunga tidak serta merta meningkatkan pemberian kredit bank. Hal tersebut disebabkan oleh masih rendahnya permintaan kredit serta kebijakan bank yang lebih selektif dalam penyaluran kredit. Terhadap kebijakan LTV, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perbankan telah merespons relaksasi kebijakan LTV sehingga pada tahun 2017 perlambatan lebih lanjut pada kredit properti berhasil ditahan. Pengawasan moneter bertujuan untuk mencegah dan mengurangi risiko moneter yang mencakup risiko nilai tukar dan risiko likuiditas. Pendekatan utama yang digunakan pada pengawasan moneter adalah pendekatan kepatuhan. Pada tahun 2017, pengawasan moneter difokuskan pada lembaga perbankan sebagai entitas dominan dalam sistem keuangan, serta lembaga penunjang pasar uang seperti pialang pasar uang. Pengawasan risiko nilai tukar dilakukan antara lain melalui monitoring pinjaman luar negeri (PLN), posisi devisa neto (PDN), dan indikator crisis management protocol (CMP) nilai tukar. Sementara itu, pengawasan risiko likuiditas dilakukan antara lain melalui monitoring transaksi

2 Pengawasan dilakukan terhadap bank sistemik dan bank lainnya. Bank sistemik 1 Peran Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan otoritas sistem pembayaran

adalah suatu bank yang karena ukuran aset, modal, kewajiban dan luas jaringan

tercantum dalam UU No.24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai

atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor

Tukar, UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, UU No. 3 tahun 2011 tentang

keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain

Transfer Dana, dan UU No. 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis

atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank

Sistem Keuangan. Peran Bank Indonesia sebagai otoritas makroprudensial tercantum

tersebut mengalami gangguan atau gagal. Prinsip pengawasan didasarkan pada PBI

dalam Undang-Undang No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

No.16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial.

LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017 • BAB 8 | 155

pasar uang antar bank (PUAB) dan pemenuhan giro wajib minimum (GWM).

uang rupiah, dan pembawaan uang kertas asing ke Indonesia.

Sejumlah kebijakan menjadi tema pemeriksaan moneter tahun 2017. Pemeriksaan dilakukan terhadap kebijakan terkait swap hedging, underlying transaksi valas terhadap rupiah, implementasi GWM rata-rata oleh bank, transaksi pialang pasar uang, dan pinjaman luar negeri valas perbankan. Berdasarkan hasil pemeriksaan, diperoleh kesimpulan bahwa secara umum perbankan dan lembaga penunjang pasar uang telah mematuhi ketentuan. Hasil pemeriksaan juga memberikan gambaran bahwa instrumen-instrumen pasar uang saat ini telah memberikan keleluasaan bagi perbankan untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya sehingga tekanan likuiditas terkendali. Hasil pemeriksaan pinjaman luar negeri perbankan menunjukkan bahwa perbankan telah menerapkan prinsip kehati-hatian dengan melakukan hedging baik secara natural maupun menggunakan instrumen sehingga mendukung terjaganya volatilitas nilai tukar rupiah.

Tema pemeriksaan sistem pembayaran tahun 2017 difokuskan pada kesiapan infrastruktur sistem pembayaran. Pemeriksaan kesiapan infrastruktur dilakukan terhadap implementasi standar nasional teknologi chip kartu ATM dan/atau kartu debit dan layanan keuangan digital (LKD). Sementara itu, perlindungan konsumen dilakukan sebagai respons terhadap sejumlah kasus yang dilaporkan masyarakat terkait transaksi gesek tunai dan pengenaan surcharge pada APMK. Terkait National Standard Indonesian Chip Card Specification (NSICCS), Bank Indonesia menargetkan implementasi penuh pada akhir Desember 2021 dengan tahapan sesuai dengan Gambar 1. Berdasarkan pemeriksaan tahun 2017, host & back end system serta terminal electronic data capture (EDC) dan mesin anjungan tunai mandiri (ATM) yang baru dinilai telah siap untuk mengoperasikan NSICCS. Sementara itu, pemeriksaan LKD menunjukan bahwa infrastruktur sistem informasi dan SDM perbankan secara umum telah siap untuk menunjang penyaluran program bantuan sosial (Bansos) Pemerintah secara nontunai.

Pengawasan sistem pembayaran bertujuan untuk mendukung keandalan dan keamanan sistem pembayaran termasuk perlindungan konsumen. Pengawasan sistem pembayaran mencakup penyelenggaraan transaksi sistem pembayaran high value, retail value serta kegiatan layanan uang (KLU). Transaksi high value adalah transaksi yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia dengan menggunakan sistem yang dimiliki Bank Indonesia seperti BI Real Time Gross Settlement System (RTGS) dan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). Transaksi sistem pembayaran retail value adalah transaksi yang diselenggarakan oleh industri, seperti alat pembayaran menggunakan kartu (APMK), uang elektronik (UE), maupun jasa transfer dana. Selanjutnya, KLU adalah kegiatan pendukung sistem pembayaran seperti kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) bukan bank, pengolahan

Pemeriksaan sistem pembayaran juga bertujuan untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sepanjang tahun 2017, Bank Indonesia menerima pengaduan konsumen sistem pembayaran yang didominasi oleh pengaduan terkait kartu kredit, kartu ATM/debit, dan transfer dana. Bank Indonesia menindaklanjuti pengaduan tersebut melalui kegiatan edukasi, konsultasi, dan fasilitasi. Sementara itu, pengaduan yang terindikasi melanggar ketentuan Bank Indonesia, seperti double swipe, pengenaan surcharge, dan etika penagihan kartu kredit, telah ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia melalui pembinaan, baik langsung maupun bekerjasama dengan asosiasi, hingga pengenaan sanksi.

Gambar 1. Tahapan Implementasi NSICCS Tahapan Migrasi Kartu (min) Upgrade host & back end system selesai Terminal ATM/EDC baru wajib dapat memproses NSICCS

30 Juni 2017

10% kartu

30% kartu

1 Jan 2018

50% kartu

31 Des 2021

1 Jan 2020

1 Jan 2019

Migrasi Chip

156 | BAB 8 • LAPORAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2017

80% kartu

End state : Kartu ATM/Debit dan terminal telah menggunakan chip NSICCS dan PIN 6 digit

1 Jan 2021

Chip

More Documents from "indah safitri"

Obat Alami.docx
April 2020 15
10_lpi2017_bab8.pdf
November 2019 10
Aplikasi Komputer.docx
November 2019 16