109095_572413_lp Hiperbilrubnemia.docx

  • Uploaded by: Arim ff8
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 109095_572413_lp Hiperbilrubnemia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,264
  • Pages: 13
A. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kernikterus jika tidak segera ditangani dengan baik. Kernikterus adalah sutu kerusakan otak akibat peningkatan bilirubin idirek pada otak terutama pada corpus striatum, thalamus, nucleus thalamus, hipokampus, nucleus merah dan nucleus pada dasar ventrikulus ke-4. Kadar bilirubin trsebut berkisar antara 10mg/dl pada bayi cukup bulan dan 12,5mg/dl pada bayi kurang bulan (Ngastiyah, 2005). Hiperbilirubinemia fisiologi yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai Hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut Normogram Bhutani (Etika et al, 2006).

B. Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. a. Produksi yang melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom CrigglerNajjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. c. Gangguan transportasi bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin

menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. d. Gangguan dalam eksresi dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan, 2005).

C. Patofisiologi Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuleondotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel – sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilakn tertapirol bilirubin, yang di sekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidak larutan ini, bilirubin dalam plasma terkait ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobules hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk) (Sacher, 2004). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu untuk di sekresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi orobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan di ekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta membawanya kembli ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian di bawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin (Sacher,2004). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresinya atau disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan

dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus jaundice (Murray et al,2009).

D. Manifestasi Klinis Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor. Gambaran klinis ikterus fisiologis : a. Tampak pada hari 3 dan 4 b. Bayi tampak sehat (Normal) c. Kadar bilirubin total >12mg% d. Menghilang paling lambat 10-14 hari e. Tidak ada faktor resiko f. Sebab : proses fisiologis ( berlangsung dalam kondisi fisiologis) (sarwon et al,2005). Gambaran klinis ikterus patologis : a. Timbul pada umur < 36 jam b. Cepat berkembang c. Bisa disertai anemia d. Menghilang lebih dari 2 minggu e. Ada faktor resiko f. Dasar : proses patologis ( sarwon et al,2005) Tampak ikterus pada sklera,kuku dan sebagian besar kulit serta membran mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama sejak lahir desebabkan oleh penyakit hemolitik,sepsi atau ibu dengan diabetik dan infeksi, Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau ke 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3

sampai ke 4 serta menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 7 biasanya jaundice fisiologis. Gejala kernikterus berupa kulit kuning kehijauan, muntah, anorexia, fatique, warna urine gelap, warna tinja seperti dempul, letargi (lemas), tidak mau

menyusui,

tonus

otot

meninggi

dan

akhirnya

opistotonus

(Ngastiyah,2005). E. Komplikasi a. Bilirubin encephahalopathi b. Reterdasi mental : kerusakan neurologis c. Gangguan penglihatan d. Kernikterus e. Hipoglikemi

F. Pemeriksaan Penunjang Secara klinis,ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al,2006) Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah penilaian menurut kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi bayi yang tergolong resiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan

tambahan

yang sering dilakukan

untuk

evaluasi

menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan coombs test darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit,skrining G6PD dan

bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar (Etika et al,2006).

G. Penatalaksanaan Pada dasarnya pengendalian bilirubin adalah seperti berikut : a. Stimulasi proses konjungasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya lambat,sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi. b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstrasi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat,tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar. c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini. d. Memberi terapi sinar sehingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air. e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar

Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,dengan terapi sinar yang perlu diperhatikan adalah : a. Diusahakan dengan tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi.

b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup agar dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi. c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu ,jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal. d. Posisi bayi sebaiknya diubah ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh. e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam. f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang kurangnya setiap 24 jam. g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.

Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian a. Aktifitas/istirahat

: letargi, malas

b. Sirkulasi

: mungkin pucat, menandakan anemia

c. Eliminasi

: Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin

lambat, faeces mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin. Urine berwarna gelap. d. Makanan cairan

: riwayat pelambatan/makanan oral buruk,

e. Palpasi abdomen

: dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.

f. Neuronsensori

:

1. Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran. 2. Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis mungkin ada dengan inkompathabilitas Rh. g. Pemafasan

: krekels (oedema fleura)

h. Keamanan

: riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus,

akimosis berlebihan, pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh. i. Seksualitas

: mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi

dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita.

B. Diagnosa Keperawatan a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air (IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu. b. Resiko terjadi komplikasi; kernikterus b.d peningkatan kadar bilirubin. c. Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan ekresi bilirubin. d. Resiko injuri pada mata dengan genetalia berhubungan dengan foto terapi

e. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan akibat pengobatan terapi sinar. f. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan fototerapi.

C. Rencana Tindakan a. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan hilangnya air (IWL) tanpa disadari akibat dari fototerapi dan kelemahan menyusu. Tujuan

: memenuhi kebutuhan cairan dan nutrisi

Intervensi : 1. Pertahankan intake : beri minum sesuai kebutuhan Rasional: bayi malas minum berikan berulang-ulang, jika tidak mau menghisap dapat diberikan menggunakan sendok atau sonde. 2. Berikan terapi infus sesuai program bila indikasi : meningkatknya temperatur, meningkatnya konsesntrasi urine dan cairan hilang berlebihan. Rasional: Bayi hiperbilirubin rentan pada hipokalsemia ( kadar kalsium <7 mg/dl karena simpanan rendah depresi rangsang paratiroid, dan stress karena hipoksia, sepsis atau hipoglikemia. Penggantian volume cairan darah membantu mengembalikan vasokontraksi. 3. Perhatikan frekuensi BAB, mungkin susu tidak cocok (jika bukan ASI) Rasional: Jumlah yang berlebih dan kualitas feses yang buruk memungkinkan anak cenderung kesehatannya menjadi berkurang. 4. Kaji adanya dehidrasi: membran mukosa, ubunubun, turgur kulit, mata Rasional: Di khawatirkan terjadinya dehidrasi berlebihan 5. Monitor suhu tiap 2 jam Rasional: Mengetahui perkembangan apakah suhu berangsur menurun ataupun sebaliknya.

b. Resiko terjadi komplikasi : kemikterus b.d peningkatan kadar bilirubin Tujuan : mengenal gejala dini mencegah meningkatnya ikterus.

Intervensi : 1. Jika bayi sudah terlihat mulai kuning, jamur pada matahari pagi (sekitar jam 7-8 selama 15-30 menit) Rasional: Bayi yang di jemur pada matahari pagi akan menurunkan kadar hiperbilirubin. 2. Periksa darah untuk bilirubin. Jika hasilnya masih dibawah 7% mg ulang keesokan harinya. Rasional: Untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama 3. Berikan minum banyak Rasional : Menjamin keadekuatan intake 4. Perhatikan hasil darah bilirubin jika hasilnya 7 mg% lebih segera hubungi dokter, bayi perlu terapi. Rasional: Untuk mengetahui peningkatan kadar bilirubin yang tinggi agar cepat memberikan terapi yang tepat.

c. Resiko ijuri berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin sekunder dari pemecahan sel darah merah dan gangguan ekskresi bilirubin. Tujuan : bayi tidak mengalami kecelakaan selama perwatan Intervensi : 1. Cegah adanya injuri (interna) Rasional: Untuk mencegah faktor-faktor yang menyebabkan terjadi injuri dan agar dapat meminimalkan injuri 2. Kaji hiperbilirubin tiap (1-4jam) dan cacat. Rasional: Untuk mengetahui berapa banyak kadar bilirubin yang ada di dalam darah Rasional: Untuk pengobatan kulit yang sesuai dengan intervensi 3. Berikan foto terapi sesuai program Rasional: Untuk pengobatan kulit yang sesuai dengan intervensi 4. Monitor kadar bilirubin 4-8 jam sesuai program Rasional: Untuk memantau kadar bilirubin yang ada di dalam darah 5. Antisipasi kebutuhan transfuse tukar Rasional: Untuk mencegah terjadinya kernikterus

6. Monitor Hb dan Hct. Rasional: Untuk memantau kadar oksigen dan penilaian darah/ mengukur darah

d. Resiko injuri mata dan genetalia berhubungan dengan foto terapi Tujuan: tidak terjadi kecelakaan pada mata selama terapi diberikan Intervensi: 1. Gunakan pelindung mata dan genetalia pada saat fototerapi Rasional: Untuk mencegah iritasi pada mata dan untuk mencegah adanya bakteri yang masuk ke organ genetalia pada saat fototerapy 2. Pastikan mata tertutup, hindari penekanan mata yang berlebihan karena dapat menimbulkan jejas mata yang tertutup atau pada kornea. Rasional: Untuk Menghindariadanya iritasi pada kornea mata

e. Gangguan rasa nyaman dan aman berhubungan dengan

akibat

pengobatan/terapi sinar Tujuan: untuk memenuhi kebutuhan psikologik, dengan memangku bayi setiap memberikan minum dan mengajak berkomunikasi secara verbal. Intervensi: 1. Mengusahakan agara bayi tidak kepanasan atau kedinginan Rasional: Menjaga agar suhu pada bayi tetap normal 2. Memelihara kebersihan tempat tidur dan lingkungannya Rasional: Mengurangi tekanan dan menghindari luka dekubitus pada anak 3. Mencegah terjadinya infeksi (memperhatikan cara bekerja aseptik) Rasional: Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan dalam perawatan.

f. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi, Tujuan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama terapi diberikan

Intervensi : 1. Gunakan sabun bayi Rasional: Untuk membantu merawat kulit bayi agar tetap bersih 2. Merubah posisi bayi dengan sering Rasional: Untuk mencegah terjadinya luka pada kulit bayi karena tirah baring yang tidak berubah 3. Gunakan pelindung daerah genetal Rasional: Untuk mencegah kuman masuk ke dalam daerah genetalia bayi 4. Gunakan pengalas lembut. Rasional: Pengalas yang lembut dapat membuat bayi nyaman dan tidak merasa kepanasan akibat penggunaan pengalas yang tidak menyerap keringat

DAFTAR PUSTAKA Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik SM. 2006. Hiperbilirubinemia pada neonatus. Continuing education ilmu kesehatan anak. Hasan, R. 2005. Inkompatibilitas ABO dan Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Percetakan Infomeika. Murray, R K., et al. 2009. Edisi Bahasa Indonesia Biokimia harper. 27th edition. Alih bahasa pendit, Brahm U. Jakarta : EGC. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC Mansjoer,Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Aesulupius. Nurarif, Amin H. dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda NIC-NOC. Jogjakarta : Mediaction. Sacher, Ronald, A., Richard A., Mcpherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. 11th ed. Editor bahasa Indonesia : Hartono, Huriawati. Jakarta : EGC. Sarwon, Erwin, et al. 2005. Pedoman Diagnosa dan Terapi Lab/ UPF Ilmu Kesehatan Anak. Ikterus Neonatum (Hyperbilirubinemia Neonatorium). Surabaya : RSUD Dr.Soetomo.

More Documents from "Arim ff8"