10.5.docx

  • Uploaded by: yosina marsal wamese
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 10.5.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 14,036
  • Pages: 58
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT AR-ROYYAN NOMOR

: 445/036.6/ / /

TANGGAL

:

STRUKTUR KEANGGOTAAN TIM PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT (PKRS) PADA RUMAH SAKIT AR-ROYYAN TAHUN DIREKTUR

KETUA TIM PKRS

SEKRETARIS PKRS

KOORDINATOR PKRS PASIEN RUMAH SAKIT

KOORDINATOR PKRS KLIEN SEHAT

KOORDINATOR PKRS DILUAR GEDUNG RUMAH SAKIT

LAMPIRAN II : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT AR-ROYYAN NOMOR

: 445/036.6/ /

TANGGAL

:

SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT (PKRS) PADA RUMAH SAKIT AR-ROYYAN TAHUN

Penanggung Jawab

:

Ketua

:

Sekretaris

:

Koordinator PKRS

:

a. Koordinator PKRS Untuk Pasien

:

b. Koordinator PKRS Untuk Klien Sehat : c. Koordinator PKRS Diluar Gedung RS :

Ditetapkan di Pada tanggal DIREKTUR RS AR-ROYYAN

LAMPIRAN II : KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT AR-ROYYAN NOMOR

: 445/036.6/ /

TANGGAL

:

TUGAS POKOK DAN URAIAN TUGAS TIM PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT (PKRS) PADA RUMAH SAKIT AR-ROYYAN TAHUN 1.

Ketua PKRS a. Tugas Pokok Merencanakan, mengkoordinir,memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan PKRS b. Fungsi Melakukan koordinasi dan sebagai penghubung antara instalasi, unit kerja terkait dan direksi dalam rangka pelaksanaan Manajemen Komunikasi dan Edukasi. c. Wewenang dan Tanggung Jawab Mengkoordinir, mengawasi dan melaksanakan kegiatan PKRS dirumah sakit dan mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dilingkungan kerjanya dan bertanggung jawab kepada Direktur RS AR-ROYYAN. d. Uraian Tugas 1.) Merencanakan dan menyusun program PKRS 2.) Mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan PKRS kepada semua tim terkait 3.) Memonitoring seluruh kegiataan PKRS 4.) Mengevaluasi seluruh kegiatan PKRS e. Hubungan Kerja Tim KPRS melakukan hubungan kerja terintegrasi dengan semua satuan kerja dilingkungan RS dalam melaksanakan PKRS terhadap pasien, klien sehat dan PKRS diluar gedung. f. Tata Kerja Ketua tim PKRS dalam melaksanakan rumah sakit 1.) Sekretaris 2.) Koordinator PKRS pasien rumah sakit 3.) Koordinator PKRS klien sehat 4.) Koordinator PKRS diluar gedung rumah sakit

2.

Sekretaris

a.

Tugas Pokok

Pembantu utama Tim PKRS b. Uraian Tugas 1.) Mengkoordinasikan kegiatan PKRS 2.) Menyusun program bersama tom PKRS terkait 3.) Melakukan surat menyurat kegiatan PKRS 4.) Membuat laporan hasil kegiatan

3.

Koordinator PKRS Masing-masing Kegiatan a. Tugas Pokok Merencanakan, Mengkoordinasikan, Melaksanakan, memonitoring dan mengevaluasi kegiatan PKRS yang menjadi tanggung jawabnya. b. Uraian Tugas 1.) Koordinator PKRS untuk pasien rumah sakit a.) Merencanakan kegiatan PKRS untuk pasien /keluarga pasien dirumah sakit. b.) Mengkoordinir pelaksanaan pemberian informasi dan edukasi yang efektif kepada pasien/ keluarga pasien mulai dari pasien baru masuk rumah sakit sampai pulang dari rumah sakit. c.) Mengkoordinir

pelaksanaan

pemberian

informasi

dan

edukasi

secara

kolaboratif kepada pasien/ keluarga pasien apabila ada indikasi tertentu. d.) Memastikan bahwa setiap pasien/ keluarga pasien rawat jalan dan rawat inap sudah diberikan informasi dan edukasi yang efektif. e.) Memastikan bahwa setiap

pemberian informasi dan edukasi yang efektif

dilaksanakan verifikasi berupa tanda tangan pasien/ keluarga. f.) Melaksanakan monitoring dan evaluasi kegiatan PKRS untuk pasien/ keluarga. 2.) Koordinator PKRS untuk Pasien Sehat a.) Merencanakan kegiatan PKRS untuk klien sehat b.) Mengkoordinir pelaksanaan konseling kesehatan di rumah sakit c.) Mengkoordinir penyebaran leaflet didalam gedung rumah sakit d.) Mengkoordinir poster-poster kesehatan, papan-papan petunjuk dan papanpapan yang berisi pesan-pesan kesehatan didalam gedung rumah sakit e.) Mengkoordinasikan dan menyediakan VCD/DVD player dan televise yang menayangkan tentang informasi kesehatan di rumah sakit f.) Mengkoordinirkan pelaksanaan siaran interaktif kesehatan di Radio Pemerintah Kota Palembang. g.) Melaksanakan pameran kesehatan secara berkal

3.)

Koordinator PKRS diluar Gedung Rumah Sakit

a.)

Merencanakan kegiatan PKRS diluar gedung rumah sakit

b.)

Mengkoordinirkan pemasangan poster-poster/ papan-papan yang berisi pesan-pesan kesehatan, spanduk, baliho, dilapangan parker, taman-taman rumah sakit, pagar pembatas rumah sakit, kantin-kantin rumah sakit, dll.

c.)

Melaksanakan monitoring dan evaluasi kegiatan PKRS diluar gedung rumah sakit.

Ditetapkan di Pada tanggal DIREKTUR RS AR-ROYYAN

Cerebral Palsy 1. A. Definisi Cerebral palsy adalah ensefalopatistatis yang mungkin di definisikan sebagai kelainan postur dan gerakan non-progresif, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau lesi otak yang sedang berkembang. ( Behrman : 1999, hal 67 – 70 ) Cerebral palsy ialah suatu gangguan nonspesifik yang disebabkan oleh abnormalitas system motor piramida ( motor kortek, basal ganglia dan otak kecil ) yang ditandai dengan kerusakan pergerakan dan postur pada serangan awal. ( Suriadi Skep : 2006, hal 23 – 27 ). Cerebral palsy adalah kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan ) serta merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologist berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan sebelum juga kelainan mental. ( Ngastiyah : 2000, hal 54 – 56 ). Jadi, Cerebral (otak) cpacry ( KeIumpuhan ) adalah suatu kelainan otak yang ditandai dengan gangguan mengontrol hingga timbul kesulitan dalam bergerak dan meletakkan posisi tubuh disertai gangguan fungsi tubuh lainnya akibat kerusakan / kelainan fungsi bagian otak tertentu pada bayi / anak dapat terjadi ketika bayi dalam kandungan, saat lahir atau setelah lahir, sering disertai dengan epilepsy dan ketidak normalan bicara, penglihatan, kecerdasan kurang, buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya. DERAJAT KEPARAHAN CEREBRAL PALSY (Gross Motor Function Classification System/GMFCS) Derajat I

: berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan motorik

kasar yang lebih rumit. Derajat II

: berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di luar rumah

dan di lingkungan masyarakat. Derajat III

: berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam berjalan di

luar rumah dan di lingkungan masyarakat. Derajat IV

: kemampuan bergerak sendiri terbatas, menggunakan alat bantu gerak

yang cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di lingkungan masyarakat. Derajat V

: kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah

menggunakan alat bantu yang canggih

B. Klasifikasi

Cerebral Palsy dibagi menjadi 4 kelompok : 1. Tipe spastic atau pyramidal ( 50% dari semua kasus CP, otot-otot menjadi kaku dan lemah. Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah : a. Hipertoni ( fenomena pisau lipat ) b. Hiperrefleksi yang disertai klonus. c.

Kecenderungan timbul kontraktur.

d.

Reflex patologis.

Secara topografi distribusi tipe ini adalah sebagai berikut : a. Hemiplegia apabila mengenai anggota gerak sisi yang sama. b. Spastic diplegia, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat. c. Kuadriplegi, mengenai keempat anggota gerak, anggota gerak atas sedikit lebih berat. d. Monopologi, bila hanya satu anggota gerak. e. Triplegi apabila mengenai satu anggota gerak atas dan dua anggota gerak bawah, biasanya merupakan varian dan kuadriplegi. 2. Tipe disginetik ( koreatetoid, 20% dari semua kasus CP ), otot lengan, tungkai dan badan secara spontan bergerak perlahan, menggeliat dan tak terkendali, tetapi bisa juga timbul gerakan yang kasar dan mengejang. Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin memburuk, gerakan akan menghilang jika anak tidur. 3. Tipe ataksik, ( 10% dari semua kasus CP ), terdiri dari tremor, langkah yang goyah dengan kedua tungkai terpisah jauh, gangguan koordinasi dan gerakan abnormal. 4. Tipe campuran ( 20% dari semua kasus CP ), merupakan gabungan dari 2 jenis diatas, yang sering ditemukan adalah gabungan dari tipe spastic dan koreoatetoid. Berdasarkan derajat kemampuan fungsional : a. Ringan Penderita masih bisa melakukan pekerjaan / aktivitas sehari-hari sehingga sama sekali tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus. b. Sedang Aktivitas sangat terbatas, penderita membutuhkan bermacam-macam bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak dan berbicara. Dengan pertolongan secara khusus, diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik. c. Berat

Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan khusus yang diberikan sangat sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini ditampung dengan retardasi mental berat, atau yang akan menimbulkan gangguan social-emosional baik bagi keluarganya maupun lingkungannya.

C. Etiologi 1.1 Pranatal 

Infeksi yang terjadi pada masa kehamilan menyebabkan kelainan pada janin, misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubela dan penyakit infeksi sitomegalik.



Radiasi sinar X



Malformasi Kongenital



Asfiksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta previa, anoksi maternal, atau tali pusat yang abnormal)

1.2 Perinatal a. Anoreksia/Hipoksia Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cidera otak. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoreksia. Hal demikian terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan seksio sesar. b. Perdarahan otak Perdarahan dan anoreksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah sehingga terjadi anoreksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mangakibatkan hidrosefalus. Perdarahan di ruang subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis. c. Prematuritas Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembulu darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-lain masih belum sempurna. d. Ikterus Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan

inkompatibilitas golongan darah. Terjadi ikterus bila bilirubin dalam darah lebih dari 20 mg/dl. e. Meningitis purulenta Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa palsi serebral. 1.3 Post natal / Pasca natal a. Trauma Kapitis b. Infeksi misalnya : meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis, ensefalomielitis. c. Luka Parut pada otak pasca bedah. Beberapa penelitian menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan dari pada faktor pascanatal. Studi oleh nelson dkk ( 1986 ) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemia prenatal, faktor penyebab cerebral palsy. Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat akhir, sedangkan faktor perinatal yaitu segala faktor yang menyebabkan Cerebral palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan. Sedangkan faktor pascanatal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun. ( Hagbreg dkk, 1975 ), atau sampai 5 tahun kehidupan ( Blair dan Stanley, 1982 ), atau sampai 16 tahun ( Perlstein, Hod, 1964 ) D. Faktor Resiko Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain adalah : 1. Letak sungsang. 2. Proses persalinan sulit Masalah vaskuler atau respirasi bayi selamaa persalinan merupakan tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permaanen. 3. Apgar score rendah. Apgar score yang rendah hingga 10 – 20 menit setelah kelahiran. 4. BBLR dan prematuritas. Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir 5. Kehamilan ganda. 6. Malformasi SSP.

Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan. 7. Perdarahaan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan. Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi. 8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang. 9. Kejang pada bayi baru lahir.

E. Manifestasi klinis Manifestasi klinik Cerebral palsy bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum. Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada Cerebral palsy, yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia. 1.

Spastisitas Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi siku dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi pada sendi paha dan lutut, kaki dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada waktunya. Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia/ monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/ hemiparesis adalah kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/ diparesis adalah kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis adalah kelimpuhan keempat anggota gerak, lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai. Golongan spastitis ini meliputi 3 – ¾ penderita cerebral palsy. Bentuk kelumpuhan spastitis tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan, yaitu: a. Monoplegia/ Monoparesis

Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya. b.

Hemiplegia/ Diparesis

Kelumpuhan lengan dan tungkai dipihak yang sama.

c. Diplegia/ Diparesis Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan. d.

Tetraplegia/ Tetraparesis

Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai 2.

Tonus otot yang berubah Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak fleksid (lemas) dan berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya seperti kodok terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya berubah menjadi spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif, tetapi yang khas ialah refleks neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.

3.

Koreo-atetosis Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid, tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan ataksia, kerusakan terletak diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau ikterus kern pada masa neonatus.

4.

Ataksia Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan tampak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak di serebelum.

5.

Gangguan pendengaran

Terdapat 5-10% anak dengan cerebral palsy. Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis. 6.

Gangguan bicara Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

7.

Gangguan mata Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.padakeadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.

8.

Paralisis Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia. Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastik atau campuran.

9.

Gerakan involunter Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flaksid, rigiditas, atau campuran.

10.

Kejang Dapat bersifat umum atau fokal.

11.

Gangguan perkembangan mental Retardasi mental ditemukan kira-kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy terutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Cerebral palsy yang disertai dengan retardasi mental pada umumnya disebabkan oleh anoksia serebri yang cukup lama, sehingga terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada anggota gerak yang dapat digerakkan secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan-gerakan tangkas oleh anggota gerak, perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.

12.

Problem emosional terutama pada saat remaja. Dari manifestasi klinis diatas tadi, terdapat ciri-ciri dari cerebral palsy, yaitu : 

Perkembangan motor kasar dan motor halus yang lambat



Tindakan yang sepatutnya hilang masih kekal



Berjalan dengan menjinjit atau kaki diseret



Ketidaknormalan bentuk otot



Lekukan pada spinal “jawbone” kepala kecil



Penangkapan



Sawan



Percakapan komunikasi



Deria yang lemah



Kerencatan akal



Masalah pembelajaran



Masalah tingkah laku

F. Patofisiologi Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atropi, hilangnya neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrower gry, saluran sulci dan berat otak rendah. Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak, atau sekunder dari penyebab mekanisme yang lain. CP (Cerebral Palsy) dapat dikaitkan dengan premature yaitu spastic displegia yang disebabkan oleh hypoxic infarction atau hemorrhage dalam ventrikel. Type athetoid / dyskenetik disebabkan oleh kernicterus dan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal ganglia dan beberapa saraf nuclei cranial. Selain itu juga dapat terjadi bila gangsal banglia mengalami injury yang ditandai dengan idak terkontrol; pergerakan yang tidak dosadari dan lambat. Type CP himepharetic,karena trauma pada kortek atau CVA pada arteri cerebral tengah. Cerebral hypoplasia; hipoglicemia neonatal dihubungkan dengan ataxia CP. Spastic CP yang paling sering dan melibatkan kerusakan pada motor korteks yang paling ditandai dengan ketegangan otot dan hiperresponsif. Refleks tendon yang dalam akan meningkatkan dan menstimulasi yang dapat menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba-tiba pada sedikit atau semua ektermitas. Ataxic CP adanya injury dari serebelum yang mana mengatur koordinasi, keseimbangan dan kinestik. Akan tampak pergerakan yang tidak terkoordinasi pada ekstremitas aras bila anak memegang / menggapai benda. Ada pergerakan berulang dan cepat namun minimal. Rigid / tremor / atonic CP ditandai dengan kekakuan pada kedua otot fleksor dan ekstensor. Type ini mempunyai prognosis yang buruk karena ada deformitas multiple yang terkait dengan kurangnya pergerakan aktif. Secara umum cortical dan antropy cerebral menyebabkan beratnya kuadriparesis dengan retardasi mental dan microcephaly.

G. Gejala Gejala biasanya timbul sebelum anak berumur 2 tahun dan pada kasus yang berat,bisa muncul pada saat anak berumur 3 bulan. Gejalanya bervariasi,mulai dari kejanggalan yang tidak tampak nyata sampai kekakuan yang berat,yang menyebabkan bentuk lengan dan tungkai sehingga anak

harus memakai kursi roda. Gejalanya selalu mengiringi tipe dari cerebral palsy. Gejala lain yang mungkin muncul adalah : 

Kecerdasan dibawah normal



Keterbelakangan mental



Kejang/epilepsy (trauma pada tipe spastik)



Gangguan menghisap atau makan



Pernafasan yang tidak teratur



Gangguan perkembangan kemampauan motorik (misalnya menggapai sesuatu,

duduk , berguling ,merangkak , berjalan) 

Gangguan berbicara (disatria)



Gangguan penglihatan



Gangguan pendengaran



Kontraktur persendian



Gerakan menjadi terbatas

H. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis lengkap tentang riwayat kehamilan, perinatal dan pascanatal, dan memperhatikan faktor risiko terjadinya cerebral palsy. Juga pemeriksaan fisik lengkap dengan memperhatikan perkembangan motorik dan mental dan adanya refleks neonatus yang masih menetap. Pada bayi yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemeriksaan berulang kali, karena gejaladapat berubah, terutama pada bayi yang dengan hipotoni, yang menandakan perkembangan motorik yang terlambat; hampir semua cerebral palsy melalui fase hipotoni. Pemeriksaan penunjang lainnya yang diperlukan adalah foto polos kepala, pemeriksaan pungsi lumbal. Pemeriksaan EEG terutama pada penderita yang memperlihatkan gejala motorik, seperti tetraparesis, hemiparesis, atau karena sering disertai kejang. Pemeriksaan ultrasonografi kepala atau CT Scan kepala dilakukan untuk mencoba mencari etiologi. Pemeriksaan psikologi untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual yang akan menentukan cara pendidikan ke sekolah biasa atau sekolah luar biasa. I. Diagnosis pembanding 1.

Mental subnormal

2.

Retardasi motorik terbatas

3.

Tahanan volunter terhadap gerakan pasif

4.

Kelainan persendian

5.

Cara berjalan yang belum stabil

6.

Gerakan normal

7.

Berjalan berjinjit

8.

Pemendekan kongenital pada gluteus maksimus, sastrak nemius atau hamstring

9.

Kelemahan otot-otot pada miopati, hipotoni atau palsy erb

10.

Lain penyebab dari gerakan involunter

11.

Penyakit-penyakit degeneratif pada susunan saraf

12.

Kelainan pada medala spinalis

13.

Sindrom lain

J. Pemeriksaan penunjang 

Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis sebral

palsi di tegakkan. 

Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan

penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada serebral palsi. CSS normal. 

Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien kejang atau pada golongan

hemiparesis baik yang disertai kejang maupun yang tidak. 

Foto rontgen kepala.



Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan yang

dibutuhkan. 

Pemeriksaan metobolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari reterdasi

mental.

K. Penatalaksanaan Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi : a.

Medik Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupatiional therapist, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orangtua pasien.

b.

Aspek non medis yang dilakukan Untuk mengatasi kecacatan motorik yang disertai kecacatan mental memerlukan pendidikan yang khusus. Kesembuhan dalam arti regenerasi otak yang sehat dapat diraih dengan pengobatan dan perawatan yang tepat.

c.

Fisioterapi

Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi pasien pada waktu istirahat atau tidur. Bagi pasien yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal dipusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang pasien hidup. d.

Tindakan bedah Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotatik dianjurkan pada pasien dengan pergerakan koreotetosis yang berlebihan. Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang.

e.

Obat-obatan Pasien cereebral palsy (CP) yang dengan gejala motorik ringan adalah baik, makin banyak gejala penyertaannya dan makin berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya. Bila di negara maju ada tersedia institute cerebral palsy untuk merawat atau untuk menempung pasien ini. Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang. Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memberikan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenanceanti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya : valium, librium atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaanchoreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 – 10 mg pada pagi hari dan 2,5 – 5 mg pada waktu tengah hari.

f.

Tindakan keperawatan Mengobservasi dengan cermat bayi-nayi baru lahir yang beresiko ( baca status bayi secara cermat mengenai riwayat kehamilan/kelahirannya . Jika dijumpai adanya

kejang atau sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera memberitahukan dokter agar dapat dilakukan penanganan semestinya. Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan pada otak walaupun selama di ruang perawatan tidak terjadi kelainan agar dipesankan kepada orangtua/ibunya jika melihat sikap bayi tidak normal supaya segera dibawa konsultasi ke dokter. g.

Occupational therapy Ditujukan untuk meningkatkan kemampuan untuk menolong diri sendiri, memperbaiki kemampuan motorik halus, penderita dilatih supaya bisa mengenakan pakaian, makan, minum dan keterampilan lainnya.

h.

Redukasi dan rehabilitasi. Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri. Fisioterapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisioterapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisioterapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.

L.

KOMPLIKASI 1. Ataksi 2. Katarak 3. Hidrosepalus 4. Retardasi Mental

IQ di bwh 50, berat/beban dari otak motoriknya IQ rendah, dengan suatu ketegangan IQ yang lebih rendah. 5. Strain/ ketegangan Lebih sering pada qudriplegia dan hemiplegia 6. Pinggul Keseleo/ Kerusakan Sering terjadi pada quadriplegia dan paraplegia berat. 7. Kehilangan sensibilitas Anak-anak dengan hemiplegia akan kehilangan sensibilitas. 8. Hilang pendengaran Atrtosis sering terjadi terpasang, tetapi bukan pada anak spaskis. 9. Gangguan visual Bermata juling, terutama pada anak-anak prematur dan quadriplegia. 10. Kesukaran btuk bicara Penyebab: disartria, Retardasi mental, hilang pendengaran, atasi kortikal, gangguan emosional dan mungkin sebab gejala lateralisasi pada anak hemiplagia. 11. Inkontinensia RM, dan terutama oleh karena berbagai kesulitan pada pelatihan kamar kecil. 12. Penyimpangan Perilaku Tidak suka bergaul, dengan mudah dipengaruhi dan mengacaukan ketidaksuburan/kemandulan. M.

PENCEGAHAN Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah dengan jalan menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit untuk dihindari. “Prenatal dan perinatal care” yang baik dapat menurunkan insidens CP. Kernikterus yang disebabkan “haemolytic disease of the new born” dapat dicegah dengan transfusi tukar yang dini, “rhesus incompatibility” dapat dicegah dengan pemberian “hyperimmun anti D immunoglobulin” pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus negatif. Pencegahan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada keadaan hipoglikemia, meningitis, status epilepsi dan lain-lain.

N.

PROGNOSIS Prognosis bergantung pada banyak faktor, antara lain : Berat ringannya CP, cepatnya diberi pengobatan, gejala-gejala yang menyertai CP, sikap dan kerjasama penderita, keluarganya dan masyarakat. Menurut Nelson WE dkk (1968), hanya sejumlah kecil penderita CP yang dapat hidup bebas dan menyenangkan, namun

Nelson KB dkk (1981) dalam penyelidikannya terhadap 229 penderita CP yang.didiagnosis pada usia 1 tahun, ternyata setelah berumur 7 tahun 52% di antaranya telah bebas dari gangguan motorik. Dilaporkan pula bahwa bentuk CP yang ringan, monoparetik, ataksik, diskinetik dan diplegik yang lebih banyak mengalami perbaikan. Penyembuhan juga lebih banyak ditemukan pada golongan anak kulit hitam dibanding dengan kulit putih. Di negara maju, misalnya diInggris dan Scandinavia, terdapat 20– 25% penderita CP bekerja sebagai buruh harian penuh dari 30–50% tinggal di” Institute Cerebral Palsy”. Makin banyak gejala penyerta dan makin berat gangguan motorik, makin buruk prognosis. Umumnya inteligensi anak merupakan petunjuk prognosis, makin cerdas makin baik prognosis. Penderita yang sering kejang dan tidak dapat diatasi dengan anti kejang mempunyai prognosis yang jelek. Pada penderita yang tidak mendapat pengobatan, perbaikan klinik yang spontan dapat terjadi walaupun lambat. Dengan seringnya anak berpindah-pindah tempat, anggota geraknya mendapat latihan bergerak dan penyembuhan dapat terjadi pada masa kanak-kanak. Makin cepat dan makin intensif pengobatan maka hasil yang dicapai makin lebih baik. Di samping faktorfaktor tersebut di atas, peranan orang tua/keluarga dan masyarakat juga ikut menentukan prognosis. Makin tinggi kerjasama dan penerimaannya maka makin baik prognosis.

SCOLIOSIS A.DEFINISI a. Skoliosis adalah kelengkungan tulang belakang yang abnormal ke arah samping, yang dapat terjadi pada segmen servikal (leher), torakal (dada) maupun lumbal (pinggang). b. Skolisis merupakan penyakit tulang belakang yang menjadi bengkok ke samping kiri atau kanan sehingga wujudnya merupakan bengkok benjolan yang dapat dilihat dengan jelas dari arah belakang.Penyakit ini juga sulit untuk dikenali kecuali setelah penderita meningkat menjadi dewasa (Mion, Rosmawati, 2007). c. Skoliosis adalah suatu kelainan bentuk pada tulang belakang dimana terjadi pembengkokan tulang belakang ke arah samping kiri atau kanan. Kelainan skoliosis ini sepintas terlihat sangat sederhana. d. Skoliosis adalah melengkungnya vertebrae torakalis ke lateral, disertai rotasi vertebral.

A. ETIOLOGI Skoliosis dibagi dalam dua jenis yaitu non struktural dan struktural. 1. Skoliosis non struktural disebabkan oleh :  Tabiat yang tidak baik seperti membawa tas yang berat pada sebelah bahu saja (menyebabkan sebelah bahu menjadi tinggi), postur badan yang tidak bagus (seperti selalu membongkok atau badan tidak seimbang).  Kaki tidak sama panjang.  Kesakitan, contohnya disebabkan masalah sakit yang dirasakan di belakang dan sisi luar paha, betis dan kaki akibat kemerosotan atau kerusakan cakera di antara tulang vertebra dan menekan saraf.

2. Skoliosis struktural disebabkan oleh pertumbuhan tulang belakang yang tidak normal. Ciri – ciri fisiknya adalah sebagai berikut : 

Bahu tidak sama tinggi.



Garis pinggang tidak sama tinggi.



Badan belakang menjadi bongkok sebelah.



Payu dara besar sebelah.



Sebelah pinggul lebih tinggi.



Badan kiri dan kanan menjadi tidak simetri.

Terdapat 3 penyebab umum dari skoliosis: 1. Kongenital (bawaan), biasanya berhubungan dengan suatu kelainan dalam pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk yang menyatu 2. Neuromuskuler, pengendalian otot yang buruk atau kelemahan otot atau kelumpuhan akibat penyakit berikut :Cerebral palsy, Distrofi otot, Polio, Osteoporosis juvenile 3. Idiopatik, penyebabnya tidak diketahui.

B. MANIFESTASI KLINIS Gejala yang ditimbulkan berupa: 1.

Tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping

2.

Bahu dan atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya

3.

Nyeri punggung

4.

Kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama

5.

Skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 60 ) bisa

menyebabkan gangguan pernafasan.

C. KLASIFIKASI Skoliosis dibagi dalam dua jenis yaitu struktural dan bukan struktural. 1. Skoliosis struktural Skoliosis tipe ini bersifat irreversibel ( tidak dapat di perbaiki ) dan dengan rotasi dari tulang punggung Komponen penting dari deformitas itu adalah rotasi vertebra, processus spinosus memutar kearah konkavitas kurva. Tiga bentuk skosiliosis struktural yaitu : a. Skosiliosis Idiopatik. adalah bentuk yang paling umum terjadi dan diklasifikasikan menjadi 3: 1)

Infantile : dari lahir-3 tahun.

2)

Anak-anak : 3 tahun – 10 tahun

3)

Remaja : Muncul setelah usia 10 tahun ( usia yangpaling umum )

2. Skoliosis Kongenital adalah skoliosis yang menyebabkan malformasi satu atau lebih badan vertebra. 3. Skoliosis Neuromuskuler, anak yang menderita penyakit neuromuskuler (seperti paralisis otak, spina bifida, atau distrofi muskuler) yang secara langsung menyebabkan deformitas. 4. Skoliosis nonstruktural ( Postural )

Skoliosis tipe ini bersifat reversibel (dapat dikembalikan ke bentuk semula), dan tanpa perputaran (rotasi) dari tulang punggung..Pada skoliosis postural, deformitas bersifat sekunder atau sebagai kompensasi terhadap beberapa keadaan diluar tulang belakang, misalnya dengan kaki yang pendek, atau kemiringan pelvis akibat kontraktur pinggul, bila pasien duduk atau dalam keadaan fleksi maka kurva tersebut menghilang. Ada tiga tipe-tipe utama lain dari scoliosis : a. Functional: Pada tipe scoliosis ini, spine adalah normal, namun suatu lekukan abnormal berkembang karena suatu persoalan ditempat lain didalam tubuh. Ini dapat disebabkan oleh satu kaki adalah lebih pendek daripada yang lainnya atau oleh kekejangan-kekejangan di punggung. b. Neuromuscular: Pada tipe scoliosis ini, ada suatu persoalan ketika tulang-tulang dari spine terbentuk. Baik tulang-tulang dari spine gagal untuk membentuk sepenuhnya, atau mereka gagal untuk berpisah satu dari lainnya. c. Degenerative: Tidak seperti bentuk-bentuk lain dari scoliosis yang ditemukan pada anak-anak dan remaja-remaja, degenerative scoliosis terjadi pada dewasa-dewasa yang lebih tua. d. Lain-Lain: Ada penyebab-penyebab potensial lain dari scoliosis, termasuk tumortumor spine seperti osteoid osteoma. Ini adalah tumor jinak yang dapat terjadi pada spine dan menyebabkan nyeri/sakit.Nyeri menyebabkan orang-orang untuk bersandar pada sisi yang berlawanan untuk mengurangi jumlah dari tekanan yang diterapkan pada tumor.Ini dapat menjurus pada suatu kelainan bentuk spine.

D. KOMPLIKASI Walaupun skoliosis tidak mendatangkan rasa sakit, penderita perlu dirawat seawal mungkin. Tanpa perawatan, tulang belakang menjadi semakin bengkok dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti : 1.

Kerusakan paru-paru dan jantung.

Ini boleh berlaku jika tulang belakang membengkok melebihi 60 derajat. Tulang rusuk akan menekan paru-paru dan jantung, menyebabkan penderita sukar bernafas dan cepat capai. Justru, jantung juga akan mengalami kesukaran memompa darah. Dalam keadaan ini, penderita lebih mudah mengalami penyakit paru-paru dan pneumonia. 2.

Sakit tulang belakang.

Semua penderita, baik dewasa atau kanak-kanak, berisiko tinggi mengalami masalah sakit tulang belakang kronik. Jika tidak dirawat, penderita mungkin akan menghidap masalah sakit sendi. Tulang belakang juga mengalami lebih banyak masalah apabila penderita berumur 50 atau 60 tahun.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pada pemeriksaan fisik penderita biasanya diminta untuk membungkuk ke depan sehingga pemeriksa dapat menentukan kelengkungan yang terjadi. Pemeriksaan neurologis (saraf) dilakukan untuk menilai kekuatan, sensasi atau refleks. 1. Skoliometer adalah sebuah alat untuk mengukur sudut kurvaturai. 2. Rontgen tulang belakang Foto polos : Harus diambil dengan posterior dan lateral penuh terhadap tulang belakang dan krista iliaka dengan posisi tegak, untuk menilai derajat kurva dengan metode Cobb dan menilai maturitas skeletal dengan metode Risser. Derajat Risser adalah sebagai berikut : Grade 0 : tidak ada ossifikasi, grade 1 : penulangan mencapai 25%, grade 2 : penulangan mencapai 26-50%, grade 3 : penulangan mencapai 51-75%, grade 4 : penulangan mencapai 76% grade 5 : menunjukkan fusi tulang yang komplit. 3.

MRI ( jika di temukan kelainan saraf atau kelainan pada rontgen )

F. PENATALAKSANAAN Tujuan dilakukannya tatalaksana pada skoliosis meliputi 4 hal penting : 1. Mencegah progresifitas dan mempertahankan keseimbangan 2. Mempertahankan fungsi respirasi 3. Mengurangi nyeri dan memperbaiki status neurologis 4. Kosmetik Adapun pilihan terapi yang dapat dipilih, dikenal sebagai “The three O’s” adalah : a. Observasi Pemantauan dilakukan jika derajat skoliosis tidak begitu berat, yaitu <25o pada tulang yang masih tumbuh atau <50o pada tulang yang sudah berhenti pertumbuhannya. Ratarata tulang berhenti tumbuh pada saar usia 19 tahun. Pada pemantauan ini, dilakukan kontrol foto polos tulang punggung pada waktu-waktu tertentu.Foto kontrol pertama dilakukan 3 bulan setelah kunjungan pertama ke dokter.Lalu sekitar 6-9 bulan berikutnya bagi yang derajat <20>20. b. Orthosis Orthosis dalam hal ini adalah pemakaian alat penyangga yang dikenal dengan nama brace. Biasanya indikasi pemakaian alat ini adalah : 1. Pada kunjungan pertama, ditemukan derajat pembengkokan sekitar 30-40 derajat

2. Terdapat progresifitas peningkatan derajat sebanyak 25 derajat. Jenis dari alat orthosis ini antara lain : 1. Milwaukee 2. Boston 3. Charleston bending brace Alat ini dapat memberikan hasil yang cukup signifikan jika digunakan secara teratur 23 jamdalam sehari hingga 2 tahun setelah menarche.

Brace dari Milwaukee & Boston efektif dalam mengendalikan progresivitas skoliosis, tetapi harus dipasang selama 23 jam/hari sampai masa pertumbuhan anak berhenti. Brace tidak efektif digunakan pada skoliosis kongenital maupun neuromuskular. Jika kelengkungan mencapai 40 atau lebih, biasanya dilakukan pembedahan

c. Operasi Tidak semua skoliosis dilakukan operasi. Indikasi dilakukannya operasi pada skoliosis adalah : 1. Terdapat derajat pembengkokan >50 derajat pada orang dewasa 2. Terdapat progresifitas peningkatan derajat pembengkokan >40-45 derajat pada anak yang 3. sedang tumb 4.

Terdapat kegagalan setelah dilakukan pemakaian alat orthosis

a. PROSES FISIOTERAPI 1. Mengeluhkan tinggi badannya menurun 5cm dan terasa nyeri di pinggang. 1. Impairment Meliputi adanya nyeri pada punggung, karena adanya spasme otot paravertebra lumbal, keterbatasan LGS trunk.

2. Functional Limitation Adanya gangguan atau keterbatasan dalam aktivitas fungsional seperti membungkuk, jongkok-berdiri dan berjalan jauh. b. Teknologi Intervensi Fisioterapi c. Disini teknik atau terapi latihan yang dilakukan adalah : a. IR (Infra Red) Sinar infra merah adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7700-4 juta Ǻ, letak diantara sinar merah dan hertzain. (Sujatno, Ig, 2003) yang memberikan efek fisiologis dan efek terapeutik pada area yang sakit. b. Terapi Latihan Terapi latihan yang diajarkan terapis kepada pasien adalah terapi latihan dengan menggunakan metode Mc. Kenzie, core stability dan manual traksi. dengan alasan karena letak gangguan mekanik dari nyeri pinggang terutama terletak didaerah lumbosacral, maka latihan yang ditujukan terutama pada daerah tersebut. Pada dasarnya tujuan latihan adalah untuk penguatan dan peregangan otot – otot fleksor dan ekstensor sendi lumbosacralis dan otot – otot sendi paha. c. Edukasi Edukasi merupakan hal penting yang harus diajarkan kepada pasien untuk menghindari terjadinya trauma berulang, mengurangi keluhan nyeri yang dirasakan dan untuk mengajarkan kepada pasien pola-pola aktivitas yang baik dan benar. Edukasi yang diberikan antara lain : d. Menganjurkan pasien agar mengulangi latihan di rumah seperti yang sudah terapis ajarkan minimal 2 kali sehari. e. Pasien dianjurkan untuk mengompres punggung bawah dengan handuk yang direndam air hangat atau dengan menempelkan botol yang berisi air hangat pada punggung bawah. d. Evaluasi 1. Evaluasi nyeri dengan menggunakan VDS 2. Evaluasi LGS trunk menggunakan midline 3. Evaluasi sikap tubuh / posture BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pasien pada mengurangi keluhan nyeri yang dirasakan dan untuk mengajarkan kepada pasien pola-pola aktivitas yang baik dan benar. Edukasi yang diberikan antara lain : - Menganjurkan pasien agar mengulangi latihan di rumah seperti yang sudah terapis ajarkan minimal 2 kali sehari. - Pasien dianjurkan untuk mengompres punggung bawah dengan handuk yang direndam air hangat atau dengan menempelkan botol yang berisi air hangat pada punggung bawah. d. Evaluasi 1. Evaluasi nyeri dengan menggunakan VDS 2. Evaluasi LGS trunk menggunakan midline 3. Evaluasi sikap tubuh / posture

A. DEFINISI Sinusitis merupakan radang pada rongga hidung (A.K. Muda Ahmad, 2003). Sinusitis adalah radang sinus yang ada di sekitar hidung, dapat berupa sinusitis maxilaris dan frontalis sinusitis dapat berlangsung akut maupun kronik. Dapat mengenai anak yang sudah besar. Pada sinusitis pranasal sudah berkembang pada umur 6-11 tahun (Ngystia,1997). B. Klasifikasi Secara klinis sinusitis dikategorikan:  Sinusitis akut (bila gejalanya berlangsung beberapa hari sampai 4 mnggu). Macam-macam sinusitis akut  Sinusitis maksilla akut  Sinusitis etmoidal akut  Sinusitis frontal akut  Sinusitis sphenoid akut 

Sinusitis subakut (bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan)



Sinusitis kronis (bila berlangsung lebih dari 3 bulan). (Anonim, 2010).

C. Etiologi Pada sinusitis akut bias terjadi setelah adanya infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas (misalnya Rhinovirus, Influenza virus, dan parainfluenza virus.) Didalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumonia, haemohilus influenza). Jika system pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat flu atau infeksi virus lainnya , maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup kedalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.Infeksi jamur bias menyebabkan sinusitis akut pada penderita gangguan siste kekebalan, contohnya jamur Aspergillus. Peradangan menahun pada hidung. Pada sinusitis kronik yaitu sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh, alergi, karies dentis ( gigi geraham atas ), septumnasi yang bengkok sehingga mengganggu aliran mukosa, benda asing di hidung dan sinus paranasal, dan tumor pada hidung. D. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium – ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar ( mucociliary clearance ) didalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang elapisi sinus dapat dibagi menjadi dua, yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan

mucus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandung zat – zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan . cairan mucus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi pathogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel selmensekresikan cairan mucus dengan kualitas yang kurang baik, disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mucus yang kurang baik pada sinus. Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan dan eksudasi yang mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi dan drainase , resorbsi oksigen yang ada dirongga sinus, kemudian terjadi hipoksia ( oksigen menurun, PH menurun, tekanan negative ) selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat , sekresi kelenjar meningkat kemudian transudasi , peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia, akhirnya terjadi retensi sekresi disinus ataupun pertumbuhan kuman. Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu , sehingga siliatidak dapat bergerak dan lender tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri pathogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lender sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. (Consensus tahun 2004). E. Manifestasi Sinusitis 

Demam > 39oc ,edema periorbital, nyeri wajah



Batuk malam hari sering menyertai infeksi virus pernafasan atas, tetapi batuk siang hari lebih berkesan sinusitis.



Nyeri kepala, pelembekan edema tidak lazim



Pemeriksaan sesudah pemberian dekogestan topical dapat menunjukkan adanya nanah dalam meates yang memberi kesan keterlibatan sinus maksillaris ,frontalis, atau etmoidalis anterior , nanah pada meatus superior memberikan kesan keterlibatan sel spernoid atau etmodalis posterior.



Cairan postnatal dapat mengakibatkan nyeri tenggorokan atau batuk persisten terutama malam hari



Pada etmoditis akut terutama pada bayi dan anak kecil, selulitis periorotas, dengan edema jaringan lunak dan kemerahan kulit merupakan manifestasi yang lazim.



Gejala sinusitis kronis sering terjadi demam, malaise, mudah lelah, anoreksia. (Ngystia, 1997)

F. Pemeriksaan Penunjang Sinusitis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusistis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid). 2. Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius. 3. Pemerikasaan pembantu yang penting adalh foto polos atau CT scan. Foto polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara, cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. 4. CT scan sinus merupakan golg standard diagnosis sinusitis karena mampu manila anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secacra keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusistis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus. 5. Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya. 6. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil secret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus maksila. 7. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. (Anonim, 2010). G. Penatalaksanaan Sinusitis Tujuan terapi sinusitis ialah : - Mempercepat penyembuhan -

Mencegah komplikasi

-

Mencegah perubahan menjadi kronik

Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehinggan drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. 1. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bacterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan maukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-

laktamase, maka dapat diberikan amoksilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotic yang sesuai untuk kuman negative gram dan anaerob. 2. Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, teroid oral/topical, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat. 3. Tindakan operasi. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversible; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.( Higler, AB. 1997). H. Komplikasi Sinus akut  Akses otak  Sinusitis orbita atau periobita  Absesorbita superiousteal  Osteomilitis  Meningitis

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intracranial.

1. Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, asbes subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus

kavernosus. Kelainan Intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan thrombosis sinus kavernosus. 2. Komplikasi juga dapat terjadi padasinusitis kronis berupa: Osteomielitis dan abses suberiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. 3. Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebalum sinusitisnya disembuhkan. (Soepardi, EA. 2007).

DOWN SYNDROME A. Definisi Down Syndrome Menurut World Health Organization (WHO) Down Syndrome adalah sebuah tipe retardasi mental yang disebabkan materi genetic kromosom 21. Sindrom ini bisa terjadi akibat adanya proses yang disebut nondisjunction atau gagal berpisah yang mana materi genetiknya gagal untuk memisahkan diri selama proses penting dari pembentukan gamet, menghasilkan kromosom ekstra yang disebut trisomi 21. Penyebab gagal berpisah ini belum diketahui, walaupun sebenarnya berkolerasi dengan umur ibu penyerta.( WHO, 2016) B. Patofisiologi Down Syndrome Tubuh manusia terbuat dari sel, yang teridri dari bagian utamanya yaitu nukleus, dimana nukleus merupakan tempat menyimpanan gen. kumpulan gen yang mempunyai struktur disebut kromosom. Normalnya, setiap nukleus dari tiap sel berjumlah 23 pasang kromosom, dimana setengahnya diwarisi dari masing-masing orang tua. Pada tiap individu penyandang Down Syndrome sel berjumlah 47, bukan 46 dimana kromosom ekstra adalah kromosom ke 21. Ini merupakan kelebihan jumlah materi genetik pada Down Syndrome. Kromosom ke 21 ini dideteksi dengan menggunakan prosedur yang dinamakan karotype. (National Down Syndrome Society, 2005) C. Epidemiologi Down Syndrome Down Syndrome merupakan kelainan kromosom yang paling sering ditemukan pada manusia. Kelainan ini dapat terjadi pada setiap orang, ras dan status sosial ekonomi. Kelainan ini ditemukan di seluruh dunia, pada semua suku bangsa dan kejadiannya 1,6% per 1000 kelahiran dan terjadi pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam. (Stoll, 1998 dalam Wong, 2000). Di Indonesia terdapat sekitar 300.000 penyandang Down Syndrome. Angka kejadian Down Syndrome pada penelitian yang dilakukan di RSCM pada tahun 1999 adalah 0,8% per 1000 kelahiran hidup. Insiden Down Syndrome meningkat dengan meningkatnya usia ibu. Banyak ahli merekomendasikan perempuan yang berumur diatas 35 tahun harus mengadakan test prenatal untuk mengetahui adanya kelainan Down Syndrome. Wanita di bawah 30 tahun yang hamil dan kemungkinan mempunyai bayi dengan Down Syndrome diperkirakan 1 dari 1.000, tetapi kesempatan mempunyai bayi dengan Down Syndrome meningkat pada ibu yang berusia 35 tahun atau lebih (Linsdjo, 2001). Faktor penyebab lain adalah autoimun, khususnya autoimun tiroid dan penyakit tiroid yang lain. Penelitian Fialkow’s menunjukkan perbedaan kadar autoantibodi tiroid antara ibu yang melahirkan anak Down Syndrome dengan ibu kontrol pada umur yang

sama. Tidak didapatkan penyakit tertentu yang secara langsung menyebabkan peningkatan kejadian Down Syndrome, tetapi beberapa peneliti menemukan peningkatan kejadian pada ibu dengan diabetes mellitus (Soetjiningsih, 1995).

Gambar 1 Insiden terjadinya down syndrome per usia ibu hamil Sumber :National Down Syndrome Society

D. Diagnosis dan Prognosis Penyandang Down Syndrome 1. Diagnosis Down Syndrome Diagnosis Down Syndrome dapat dibuat setelah riwayat penyakit, pemeriksaan intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif menyatakan bahwa perilaku anak sekarang adalah secara bermakna di bawah tingkat yang diharapkan. Suatu riwayat penyakit dan wawancara psikiatrik sangat berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal perkembangan dan fungsi anak, sedangkan pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium dapat digunakan untuk memastikan penyebab dan prognosis. Diagnosa Down Syndrome dapat ditegakkan melalui apa pemeriksaan ultrasonografi pada masa kehamilan ibu, pemeriksaan kromosom dilakukan dengan melakukan tes nuchal translucency screening (USG) awal, tes darah atau kombinasi keduanya. (National Down Syndrome Society, 2013) Pada anamnesis riwayat penyakit didapatkan dari orang tua, dengan perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran, riwayat keluarga retardasi mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai bagian riwayat penyakit, klinisi sebaiknya menilai latar belakang sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual pasien. (National Down Syndrome Society, 2013)

2. Prognosis Down Syndrome Anak dengan Down Syndrome beresiko tinggi mengalami kelainan jantung dan leukemia sehingga kemungkinan angka harapan hidup berkurang. Beberapa penderita Down Syndrome dapat mengalami hal-hal berikut : a. Gangguan tiroid. b. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa c. Gangguan pengelihatan kare adanya perubahan pada lensa dan kornea . d. Usia 30 tahun menderita dimensia, bisa terjadi kematian dini meskipun ada banyak yang berumur panjang . Survival rate penderita Down Syndrome umumnya hingga usia 50 tahun. Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis. Sebesar 44% penderita Down Syndrome hidup sampai 50 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko terkena leukemia pada Down Syndrome adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun. 3. Manisfestasi Klinik Down Syndrome Manifestasi klinis penderita Down Syndrome antara lain adanya joint laxity pada ekstremitas atas bawah, mental retardasi, keterlambatan bicara, yang disertai dengan keterlambatan perkembangan motorik. Dikutip dari Clinical Practice Guideline: The Guideline Technical Report of Down Syndrome, Assessment and Intervention for Young Children (Age 0-3 Years) bahwa Gejala yang muncul akibat Down Syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas : a. Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian (anteroposterior) kepala mendatar b. Sifat pada kepala, muka dan leher : penyandang down syndrome memiliki ciri-ciri : 1) bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar. 2) Pangkal hidungnya pendek. 3) Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam. 4) Ukuran mulut adalah kecil dan ukuran lidah yang besar menyebabkan lidah selalu terjulur. 5) Mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). 6) Pertumbuhan gigi lambat dan tidak teratur.

7) Paras telinga adalah lebih rendah. Kepala biasanya lebih kecil dan agak lebar dari bagian depan ke belakang. 8) Lehernya agak pendek. Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds) (80%), white Brushfield spots di sekililing lingkaran di sekitar iris mata (60%), medial epicanthal folds, keratoconus, strabismus, katarak (2%), dan retinal detachment. 9) Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea. (buat point2) c. Manifestasi mulut : 1) gangguan mengunyah menelan dan bicara. 2) Scrotal tongue, rahang atas kecil (hypoplasia maxilla), 3) keterlambatan pertumbuhan gigi, hypodontia, juvenile periodontitis, 4) kadang timbul bibir sumbing Hypogenitalism (penis, scrotum, dan testes kecil), hypospadia, cryptorchism, dan keterlambatan perkembangan pubertas. d. Manifestasi kulit : 1) kulit lembut, kering dan tipis, 2) Xerosis (70%), atopic dermatitis (50%), palmoplantar hyperkeratosis (4075%), dan seborrheic dermatitis (31%), Premature wrinkling of the skin, cutis marmorata, and acrocyanosis, Bacteria infections, fungal infections (tinea), and ectoparasitism (scabies), Elastosis perforans serpiginosa, Syringomas, Alopecia areata (6-8.9%), Vitiligo, Angular cheilitis. e. Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa : 1) tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. B. 2) lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). 3) Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain. 4) Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. 5) Kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. 6) Masalah jantung yang paling kerap berlaku ialah jantung berlubang seperti Ventricular Septal Defect (VSD) yaitu jantung berlubang diantara bilik jantung kiri dan kanan atau Atrial Septal Defect (ASD) yaitu jantung berlubang diantara atria kiri dan kanan. 7) Masalah lain adalah termasuk salur ateriosis yang berkekalan (Patent Ductus Ateriosis / PDA). Bagi kanak-kanak down syndrome boleh mengalami masalah jantung berlubang jenis kebiruan (cynotic spell) dan susah bernafas.

8) Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia). Saluran esofagus yang tidak terbuka (atresia) ataupun tiada saluran sama sekali di bagian tertentu esofagus. Biasanya ia dapat dekesan semasa berumur 1 – 2 hari dimana bayi mengalami masalah menelan air liurnya. Saluran usus kecil duodenum yang tidak terbuka penyempitan yang dinamakan “Hirshprung Disease”. Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk buang air besar. Saluran usus rectum atau bagian usus yang paling akhir (dubur) yang tidak terbuka langsung atau penyempitan yang dinamakan “Hirshprung Disease”. Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk buang air besar Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan Down Syndrome atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati- hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan Down Syndrome lebih tinggi. f. Sifat pada tangan dan lengan : 1) Sifat-sifat yang jelas pada tangan adalah mereka mempunyai jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. 2) Tapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”. 3) Tampilan kaki : a) Kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah dan tapak kaki. b) Tampilan klinis otot : mempunyai otot yang lemah menyebabkan mereka menjadi lembek dan menghadapi masalah dalam perkembangan motorik kasar. c) Masalah-masalah yang berkaitan dengan masa kanak-kanak Down Syndrome mungkin mengalami masalah kelainan organ-organ dalam terutama sekali jantung dan usus. g. Down Syndrome mungkin mengalami masalah Hipotiroidism yaitu kurang hormon tiroid. Masalah ini berlaku di kalangan 10 % kanak-kanak down syndrom. Down syndrom mempunyai ketidakstabilan di tulang-tulang kecil di bagian leher yang

menyebabkan berlakunya penyakit lumpuh (atlantoaxial instability) dimana ini berlaku di kalangan 10% kanak-kanak Down Syndrome. Sebagian kecil mereka mempunyai risiko untuk mengalami kanker sel darah putih yaitu leukimia. Pada otak penderita sindrom down, ditemukan peningkatan rasio APP (amyloid precursor protein) seperti pada penderita Alzheimer. h. Masalah Perkembangan Belajar Down Syndrome secara keseluruhannya mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan kognitif. Pada pertumbuhana mengalami masalah lambat dalam semua aspek perkembangan yaitu lambat untuk berjalan, perkembangan motorik halus dan berbicara. Perkembangan sosial mereka agak menggalakkan menjadikan mereka digemari oleh ahli keluarga. Mereka juga mempunyai sifat periang. Perkembangan motor kasar mereka lambat disebabkan otot-otot yang lembek tetapi mereka akhirnya berhasil melakukan hampir semua pergerakan kasar. i.

Gangguan tiroid Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa usia 30 tahun menderita demensia (hilang ingatan, penurunan kecerdasan dan perubahan kepribadian). Penyandang down syndrome sering mengalami gangguan pada beberapa organ tubuh seperti hidung, kulit dan saluran cerna yang berkaitan dengan alergi. Penanganan alergi pada penderita Down Syndrome dapat mengoptimakan gangguan yang sudah ada. 44 % Down Syndrome hidup sampai 60 tahun dan hanya 14 % hidup sampai 68 tahun. Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang mengakibatkan 80 % kematian. Meningkatnya resiko terkena leukimia pada down syndrom adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun. Tanda-tanda yang muncul akibat down syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Tanda yang paling khas pada anak yang menderita Down Syndrome adalah adanya keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak (Olds, London, & Ladewing, 1996). Penderita Down Syndrome sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian (anteroposterior) kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini juga bisa menyebakan

gangguan atau bahkan kerusakan pada sistem organ yang lain. Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esophagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia). Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa Congenital Heart Disease. Kelainan ini yang biasanya berakibat fatal di mana bayi dapat meninggal dengan cepat. E. Etiologi Down Syndrom Faktor penyebab down syndrome antara lain: 1. Hubungan faktor oksigen dengan down syndrome Down syndrome terjadi bukan karena faktor luar, down Syndrome terjadi karena kekurangan kromosom akibat dari kecelakaan yang bersifat genetika yang bisa dideteksi melalui pemeriksaan amniosintesis. Para dokter menekankan bahwa down syndrome tidak terkait dengan segala yang dilakuakan oleh orang tua baik sebelum ataupun selama kehamilan. Down syndrome terjadi bukan karna makanan atau minuman yang dikonsumsi ibunya ketika hamil, tidak juga perasaan traumatis, bukan pula ibu dan ayah melakukan atau menyesali perbuatannya yang telah dialami. 2. Hubungan faktor endogen dengan Down Syndrome Down syndrome disebabkan karena adanya kromosom ekstra dalam setiap sel tubuh, faktor penyebab lain yang menimbulkan resiko tingginya resiko mempunyai anak down syndrome adalah umur rang tua. Semakin tua umur ibu, semakin pula ibu memiliki peluang untuk melahirkan anak down syndrome. F. Permasalahan Sosial dan adaptasi pada anak Down Syndrome Permasalahan anak down syndrome adalah terdapat pada karakteristiknya yang akan menjadi hambatan pada kegiatan belajarnya. Mereka dihadapkan dengan masalah internal dalam mengembangkan dirinya melalui pendidikan yang diikutinya. Masalah-masalah tersebut tampak dalam hal dibawah ini: 1. Kehidupan sehari-hari Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan di rumah dan kondisi anak down syndrome akan membawa suasana yang kurang kondusif terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah. Pihak sekolah tidak berhubungan secara akademis, melainkan harus pula mempertimbangkan usaha peningkatan kebiasaan dan kondisi kesehatan yang lebih baik bagi anak. (Gunarhadi, 2005) 2. Kemampuan belajar

Kesulitan belajar anak down syndrome adalah masalah paling besar, mengingat keterbatasan mereka kegiatan pembelajaran yang di sekolah. Keterbatasan ini tercermin dari seluruh aspek akademik seperti, matematika, IPA, IPS dan Bahasa. (Gunarhadi, 2005) 3. Adaptasi Tingkat kecerdasan yang dimiliki anak down syndrome tidak saja berpengaruh terhadap kesulitan belajar, melainkan juga terhadap penyesuaina diri. Hallahan D dan Kauffanan dalam (Gunarhadi 2005 : 198) mengisyaratkan bahwa seorang dikategorikan down syndrome harus memiliki dua persyaratan yaitu tingkat kecerdasan dibawah normal dan bermasalah dalam penyesuaian diri. Implikasinya terhadap pendidikan, anak down syndrome harus mendapatkan porsi pembelajaran untuk meningkatkan ketrampilan sosialnya. (Gunarhadi, 2005) 4. Ketrampilan Bekerja Ketrampilan bekerja erat kaitannya dengan hidup mandiri. Keterbatasan anak down syndrome banyak menyekat antara kemampuan yang dimliki tuntutan kreativitas yang diperlukan untuk bekerja. Akibatnya untuk bekerja kepada orang lain. Anak down syndrome tersingkir dalam kompetensi. Pekerjaan yang mungkin dilakukan dalam rangka hidup mandiri adalah usaha domestik. Hal itu pun secara empiris dapat dilihat bahwa dewasa down syndrome banyak menggantungkan hidupnya kepada orang lain, terutama keluarganya. Bagi sekolah keadaan demikian merupakan tantangan bahwa selain akademik, anak down syndrome perlu sekali memperoleh ketrampilan bekerja dalam mempersiapkan masa depannya. (Gunarhadi, 2005) 5. Kepribadian dan Emosiny Karena kondisi mentalnya anak down syndrome sering menampilkan kepribadiannya yang tidak seimbang. Terkadang tenang terkadang juga kacau, sering termenung berdiam diri, namun terkadang menunjukan sikap tantrum (ngambek), marahmarah, mudah tersinggung, mengganggu orang lain, atau membuat kacau dan bahkan merusak. (Gunarhadi, 2005) G. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Down Syndrome 1. Neuro-Developmental Treatment (NDT) Neuro Development Treatment (NDT) atau sering dikenal dengan Bobath merupakan suatu teknik yang dikembangkan oleh Karel dan Bertha Bobath pada tahun 1940. Metode ini khususnya ditujukan untuk menangani gangguan sistem saraf pusat pada bayi dan anak-anak. Penanganan harus dimulai secepatnya, sebaiknya sebelum anak berusia 6 bulan, walaupun sesungguhnya masih efektif untuk digunakan pada usia yang lebih tua, namun ketidaknormalan akan semakin tampak seiring dengan bertambahnya usia anak dengan cerebral palsy. Tujuan konsep NDT pada umumnya

adalah memperbaiki dan mencegah postur dan pola gerakan abnormal dan mengajarkan postur dan pola gerak yang normal. a. Teori dasar NDT 1) Pengertian bahwa manusia itu dipengaruhi oleh sistem-sistem yang berbeda (otot, tuang, paru, jantung, hormon, saraf, dll) yang bekerja dibawah komando otak. 2) Pentingnya mengerti bagaimana perkembangan anak dan bagaimana anak bergerak, sehingga terapis dapat membuat rencana treatment sesuai dengan gangguan gerakannya. 3) Treatment dimulai dengan assessment dan treatment difokuskan pada kemandirian gerak b.Prinsip NDT 1) Anak sebagai manusia seutuhnya 2) Intervensi bersifat individual, mengacu pada : a)

Masalah geraknya

b)

Personaliti, keluarga, dan budaya.

3) Assessment rutin setiap akan dilakukan treatment 4) Kesempatan anak bergerak aktif selama treatment 5) Handling digunakan untuk mempengaruhi tonus postural, mengatur koordinasi, menghinbisi pola abnormal, dan memfasilitasi respon otomatis normal. Dengan handling yang tepat, tonus serta pola gerak yang abnormal dapat dicegah sesaat setelah terlihat tanda-tandanya. 6) Mengembangkan komponen gerak dengan bantuan furniture dan equipment 7) Mengacu pada tumbuh kembang normal 8) Prinsip motor control, motor learning dan postural control 1) Motor Control Motor control adalah proses informasi suatu aktifitas yang berpusat pada central nervous system (CNS) dengan tujuan mengorganisasikan sistem musculoskeletal untuk membuat koordinasi suatu gerakan. Motor Control merupakan nama dari bidang yang berkembang dalam ilmu saraf dimana bidang ini menganalisis bagaimana orang mengendalikan gerakan mereka. Sebagai contoh mudah seperti meraih segelas kopi, yang sebernarnya mempunyai komponen-komponen kompleks di dalamnya. Motor control difokuskan pada kordinasi terhadap postur dan gerakan melalui mekanisme serta perpaduan antara fisiologis dan psikologis. Ada 6 tingkatan motor koordinasi dalam motor control :

Level 1 : tingkatan pada neuron, merupakan organisasi neuromotor yang relatif sederhana yaitu pada motor unit. Motor unit adalah bagian yang mengubungkan motor neuron dan otot yang akan dipersarafi. Level 2 : tingakatan pada otot, merupakan tingkatan terjadinya kontraksi dari sekelompok motor unit Level 3 : tingkatan grup otot, merupakan tingkatan fungsi beberapa kelompok otot yang melakukan kerja pada suatu sendi. Level 4 : tingkatan organ (beberapa sendi dalam segmen tubuh), merupakan bagian yang mengatur koordinasi gerakan pada setiap sendi. Level 5 : tingkatan sistem organ, merupakan kombinasi dari gerakan yang teroganisir yang merupakan fungsi lokomotor. Level 6 : tingkatan organism, merupakan tempat dari fungsi motorik dalam konteks makhluk hidup. Pada tahap ini merupakan tahap tertinggi dari koordinasi gerakan. Sistem sensorik memberikan perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan Motor control memungkinkan tubuh kita untuk mengatur atau mengarahkan mekanisme gerakan. Secara singkat, memungkinkan tubuh kita untuk bergerak ketika kita membutuhkan mereka untuk pergi, tanpa harus berpikir tentang hal itu. Ketika salah satu menunjukan "normal" motor control, kitabisa berasumsi bahwa ia memiliki otot yang normal. 2) Motor Learning Motor learning adalah perubahan yang “relatif permanen”, yang dihasilkan dari praktek atau pengalaman baru, dalam kemampuan untuk merespon. Motor learning melibatkan kelancaran dan ketepatan gerakan serta diperlukan untuk gerakan rumit seperti berbicara, bermain piano dan memanjat pohon. Penelitian dalam motor learning sering melibatkan beberapa variable yang mendukung pembentukan program itu sendiri, yaitu sensitifitas pada proses deteksi kesalahan dan kekuatan dari skema gerakan itu sendiri. Menurut Schmidt motor learning adalah serangkaian proses internal berkaitan dengan praktek atau pengalaman yang akan membentuk perubahan permanent relatif terhadap kemampuan untuk merespons. Jadi pengertian motor learning ini beraneka ragam, dan berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat dirumuskan bahwa motor learning adalah: suatu proses pembentukan sistematika kognitif tentang gerak yang kemudian diaplikasikan dalam psikomotor, mulai dari tingkat keterampilan gerak yang sederhana ke keterampilan gerak yang kompleks sebagai gambaran fisiologis yang dapat membentuk psikologis untuk mencapai otomatisasi gerak. 3) Postural Control

Postural control (kontrol postur) adalah gerakan korektif yang diperlukan untuk menjaga pusat gravitasi dalam basis dukungan. Yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini adalah, koordinasi dari rangka, otot sensorik dan system saraf pusat. Kontrol postur meliputi kontrol terhadap posisi tubuh dan berfungsi ganda yaitu untuk stabilitas (keseimbangan) dan orientasi (memelihara hubungan yang tepat antar segmen tubuh dan antara tubuh dan lingkungan). Fungsi ganda musculo postural didasarkan pada empat komponen yaitu: a)

Nilai acuan, seperti orientasi segmen tubuh dan posisi pusat gravitasi (representasi internal dari tubuh atau skema tubuh postural);

b)

Masukan multiindrawi mengatur orientasi

c)

Stabilisasi segmen tubuh

d)

Reaksi postural fleksibel atau antisipasi untuk pemulihan keseimbangan setelah gangguan, atau stabilisasi postural selama gerakan sukarela. Sistem kontrol postur terdiri dari proses kompleks yang meliputi

komponen sensoris dan motoris dan menghasilkan kombinasi yang terintegrasi antara visual, vestibular dan input afferent proprioseptif. Gabungan dari usaha alat-alat sensoris ini merupakan dasar untuk keseimbangan dinamis (stabilitas). Apabila salah satu dari alat ini mengalami kerusakan, maka stabilitas dari postur akan mengalami gangguan. Adapun prinsip dasar dari postural control antara lain: (1)

Sistem sensoris

(2)

Kemampuan melihat

(3)

Sistem vestibular

(4)

Sistem somatosensoris

(5)

Sistem Musculoskeletal

(6)

All day management

(7)

Team approach

c. Konsep bobath (NDT) Menurut Raine (2005) dsalam konsep Bobath (NDT) terdapat Tone influence Patterns (TIPs) merupakan suatu usaha untuk mengurangi aktifitas refleks, reaksi asosiasi, involuntary movement, dan mengatasi tonus postural abnormal dengan menggunakan inhibisi, stimulasi, dan fasilitasi untuk mencapai: 1) Gambaran postural yang normal untuk bergerak 2) Membangun reaksi righting dan equilibrium 3) Membangun pattern gerakan yang fundamental yang lebih kearah aktifitas yang lebih terampil, berfungsi, dan bertujuan.

. Gambar 2 Konsep NDT Sumber:Jung Sung Hong, PT.MPH., “Cerebral Palsy Treatment Ideas From Normal Development”,Koonja Inc, Rep Korea, 2007

Dalam konsep bobath, Tone Influence Patterns (TIPs) akan mempengaruhi fasilitasi terhadap reaksi normal yang merupakan di dalamnya key point of control. Key Point of Control sendiri yaitu titik yang digunakan terapis dalam inhibisi dan fasilitasi. KPoC harus dimulai dari proksimal ke distal atau bergerak mulai dari kepala–leher–trunk-kaki dan jari kaki. Dengan bantuan KPoC, pola inhibisi dapat dilakukan pada penderita cerebral palsy dengan mengarahkan pada pola kebalikannya. Latihan menggunakan konsep NDT terlampir pada lampiran.

2. Sensori Integrasi Terapi Sensori Integrasi sebagai bentuk treatment pada anak dengan kondisi tertentu seringkali digunakan sebagai cara untuk melakukan upaya perbaikan, baik untuk perbaikan gangguan perkembangan atau tumbuh kembang atau gangguan belajar, gangguan interaksi sosial, maupun perilaku lainnya.

Sensori integrasi merupakan suatu proses mengenal, mengubah, membedakan sensasi dari sistem sensori untuk menghasilkan suatu respon berupa “Perilaku Adaptif Bertujuan”. 3) Dasar Teori Sensori Integrasi Dasar teori sensori integrasi adalah adanya plastisitas sistem saraf pusat, perkembangan yang bersifat progresif, teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat, respons adaptif, serta dorongan dari dalam diri. 1) Plastisitas system saraf pusat Plastisitas adalah kemampuan atau kapasitas dari sistem saraf pusat untuk beradaptasi terhadap kebutuhan fungsional. 2) Perkembangan yang bersifat progresif Sensori integrasi

terjadi saat anak yang berkembang mulai mengerti dan

menguasai input sensori yang dialami. Sistem sensori akan terus mengalami perkembangan sejalan dengan bertambahnya usia anak. 3) Teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat Pada teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat, proses sensori integrasi terjadi pada tingkat batang otak dan subkortikal. Proses yang lebih tinggi di tingkat kortikal diperlukan untuk perkembangan praksis dan produksi respons adaptif. 4) Respon Adaptif Respon adaptif ini bervariasi pada setiap anak yang bergantung pada tingkat perkembangan, derajat integrasi sensori, dan tingkat ketrampilan yang tercapai sebelumnya. Respons adaptif mencerminkan kemampuan anak menguasai tantangan dan hal-hal baru. 5) Dorongan dari dalam diri Konsep ini merupakan hal terpenting dalam perkembangan sensori integrasi, bagaimana dorongan ini muncul dari dalam diri yang terwujud dalam bentuk kegembiraan dan eksplorasi lingkungan tanpa lelah. Tetapi motivasi internal ini kurang atau tidak dimiliki oleh anak dengan gangguan disfungsi sensori integrasi.

4) Prinsip Terapi Sensori Integrasi Terapi sensori integrasi menekankan stimulasi pada tiga indera utama, yaitu taktil, vestibular, dan proprioseptif. Ketiga sistem sensori ini memang tidak terlalu familiar dibandingkan indera penglihatan dan pendengaran, namun sistem sensori ini sangat penting karena membantu interpretasi dan respons anak terhadap lingkungan. 1) Sistem Taktil

Sistem taktil merupakan sistem sensori terbesar yang dibentuk oleh reseptor di kulit, yang mengirim informasi ke otak terhadap rangsangan cahaya, sentuhan, nyeri, suhu, dan tekanan. Sistem taktil defensiveness, dapat menimbulkan mispersepsi terhadap sentuhan, berupa respons menarik diri saat disentuh, menghindari kelompok orang, menolak makan makanan tertentu atau memakai baju tertentu, serta menggunakan ujung-ujung jari, untuk memegang benda tertentu.Bentuk lain disfungsi ini adalah perilaku yang mengisolasi terdiri dari dua komponen, yaitu protektif dan diskriminatif, yang bekerja sama dalam melakukan tugas dan fungsi sehari-hari. Hipersensitif terhadap stimulasi taktil yang dikenal dengan tactile diri atau menjadi iritabel. Bentuk hiposensitif dapat berupa reaksi kurang sensitif terhadap rangsang nyeri, suhu, atau perabaan suatu obyek. Anak akan mencari stimulasi yang lebih dengan menabrak mainan, orang, perabot, atau dengan mengunyah benda. Kurangnya reaksi terhadap nyeri dapat menyebabkan anak berada dalam bahaya. 2) Sistem Vestibular Sistem vestibular terletak pada telinga dalam (kanal semisirkular) dan mendeteksi gerakan serta perubahan posisi kepala. Sistem vestibular merupakan dasar tonus otot, keseimbangan, dan koordinasi bilateral.Tanda-tanda anak yang hipersensitif terhadap stimulasi vestibular mempunyai respons fight atau flight antara lain ; anak takut atau lari dari orang lain, anak bereaksi takut terhadap gerakan sederhana, peralatan bermain di tanah, atau berada di dalam mobil.

3) Sistem Propioseptif Terdapat pada serabut otot, tendon dan ligament yang memungkinkan anak secara tidak sadar mengetahui posisi dan gerakan tubuh. Contoh dari sistem ini adalah gerakan motorik halus, antara lain menulis, mengangkat sendok dan mengancingkan baju. Hipersensitive terhadap sistem propioseptif menyebabkan berkurangnya kemampuan menginterpretasiklan umpan balik/feed back dari setiap gerakan dan tingkat kewaspadaan yang relative rendah . Tanda disfungsi sistem proprioseptif adalah clumsiness, kecenderungan untuk jatuh, postur tubuh yang aneh, makan yang berantakan, dan kesulitan memanipulasi objek kecil, seperti kancing. Hiposensitif sistem proprioseptif menyebabkan anak suka menabrak benda, menggigit atau membentur benturkan kepala.

5) Efektifitas Terapi Sensori Integrasi Terapi sensori intergrasi memperlihatkan adanya manfaat untuk anak dengan retardasi mental ringan, autisme, dan gangguan pemrosesan sensori. Meskipun dalam beberapa literatur efektivitas terapi SI dinyatakan tidak lebih baik daripada terapi

alternatif, akan tetapi beberapa penelitian membuktikan bahwa efektivitas terapi SI berhasil pada anak-anak dengan retardasi mental ringan, autism spectrum disorder dalam mengoptimalkan pemrosesan sensori dan respons motorik. Penelitian juga menunjukkan terapi sensori integrasi ini juga efektif pada anak ADHD dalam mengurangi kesulitan pada gangguan Sensory Motor Disorder (SMD). Terapi sensori integrasi banyak digunakan untuk tata laksana anak dengan gangguan perkembangan, belajar, maupun perilaku. Elemen inti terapi sensori integrasi yang terdiri dari 10 elemen, belum diterapkan pada sebagian besar (94%) penelitian yang menggunakan prinsip terapi sensori integrasi. Penelitian yang lebih baru menunjukkan adanya manfaat dari terapi Sensori Integrasi untuk anak dengan retardasi mental ringan, autisme dan gangguan proses sensori. 3. Terapi Kelompok Terapi kelompok merupakan bentuk intervensi untuk stimulasi motorik dan stimulasi sensorik yang diberikan kepada anak dengan SD secara bersama-sama dan melibatkan orang tua dalam kegiatan tersebut, fisioterapis sebagai instruktur yang mencontohkan dan menginstruksikan kegiatan stimulasi tersebut dalam permainan. Beberapa kelebihan pendekatan terapi kelompok anatara lain adalah situasi bermain. Situasi bermain tersebut akan memungkinkan penggunanya sebagai modalitas terapi, sehingga tidak saja membangkitkan anak untuk mengembangkan keterampilan baru tetapi juga menyenangkan. bermain Sebagai sarana meningkatkan keterampilan motori, selain itu aktifitas sensorik dan motorik membantu melepaskan energy yang berlebihan dan memperbaiki keseimbangan. Kelebihan terapi kelompok lainnya adalah dengan bermain secara kelompok dapat meningkatkan fungsi psikososial, anak akan mengerti apakah ia diterima atau tidak oleh lingkungannya, maka ia sudah mualai belajar mempunyai rasa moral social. Dengan terapi kelompok anak juga mendapat perkembangan emotional dimana anak dapat menemukan rasa percaya diri dan stabilitas internal. Perkembangan kognitif juga dapatmelalui terapi kelompok yang diperoleh melalui bermain dengan manipulasi objek-objek dikelompoknya. Hal ini meltih anak pada saat dewasa nanti dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Perasaan seorang anak dalam aktifitas bermain menentukan kualitas anak tersebut untuk interaksi dengan lingkungannya pada saat bermain, dan aspek-aspek lain dalam kehidupannya. Kemampuan turut serta berperan dalam terapi kelompok sebagai interaksi social dan fisik (Cassel, 1962). Dengan demikian terapi kelompok juga memiliki beberapa tujuan seperti uraian diatas, yaitu : (1)Situasi bermain yang menyenangkan sambil mengembangkan keterampilan baru, (2) bermain selain sebagai sarana meningkatkan keterampilan motorik juaga membantu melepaskan energy yang berlebihan dan

memperbaiki keseimbangan, (3) meningkatkan fungsi psikososial , (4) perkembangan emosional untuk kepercayaan diri dan (5) perkembangan kognitif. Pengaturan dalam terapi kelompok meliputi : 1. Jumlah anak Jumlah anak dalam terapi kelompok tergantung dari situasi klinis sejauh anak-anak dalam terapi kelompok tersebut dapat terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. 2. Staf Satu orang staf dalam hal ini fisioterapi memimpin kelompok dan fisioterapi yang lain membantu memantau kegiatan 3. Tempat Terapi kelompok terbaik dilakukan didalam kelas dimana anak tidak merasa asing sendiri dan tidak terganggu dengan anak-anak lain atau orang dewasa yang datang atau pergi. 4. Pengaturan posisi Anak-anak selama sesi kelompok setap saat dapat melihat instruktur atau pemimpin terapi kelompok dan juga dapat melihat satu sama lain. Bentuk setengah lingkaran atau posisi L adalah yang terbaik, tetapi posisi dapat berubah saat kegiatan aktifitas dan mobilisasi motorik. 5. Durasi Setiap sesi terapi kelompok direncanakan lamanya satu hingga dua jam tergantung pada kemampuan anak-anak untuk tetap berpatisipasi dalam kegiatan. Anak dengan SD dimana terdapat hipotonus otot maka dianjurkan untuk mendapatkan kegiatan fisik hingga 60 menit (Candiche Hughes, 2011) 6. Frekuensi Banyaknya atau seberapa seringnya anak melakukan terapi menentukan perkembangan anak, baik mengenai motorik kasar, motorik halus, bahasa maupun social. Namun tentu saja perkembangan pada anak juga tidak hanya dilatih saat dilakukan terapi. 7. Perilaku anak Jika anak menolak untuk bergabung dengan kelompok pastikan bahwa program tidak terlalu sulit untuk anak, biarkan anak meliha saja untuk sementara waktu dan abaikan. Ketika anak tersebut melihat anak-anak yang lain menyenangi aktifitasnya coba kembali ajak abak untuk bergabung dengan kelompok. Dalam hal awal biarkan anak mengikuti hanya sebagian sesi dalam terapi kelompok 8. Seleksi anak Dasar untuk seleksi anak yang mengikuti terapi kelompok bervariasi, tetapi akan lebih mudah bagi staf atau fisioterapis bila kesenjangan perkembangan motork

tidak terala besar (Sophie Levitt, 1995). Namun demikian dimungkinkan beberapa kekuranan pendekatan terapi kelompok, diantara lain: (1) kesenjangan kemampuan motorik walaupun pada usia yang sama. (2) Kesenjangan tingkat kognitif (3) Tingkat pendidikan dan social ekonomi orangtua juga turut menentukan keberhasilan pendekatan dengan terapi kelompok ini. Adapun kegiatan dalam terapi kelompok meliputi: 1. Kegiatan untuk taktil, vestibular inputi dan feedback propriocepsi Akomodasi motorik kasar: postur dan pola gerakan (berguling dari telungkup, menumpu pada elbow (forearm support), merangkak, berdiri, berjalan dalam pola dan permukaan yang berbeda-beda, berlari, melompat pada titik tertentu, menangkap, melempar). Perencanaan motorik (motor planning/praxis); adalah kemampuan otak untuk memahami, mengatur dan melaksanakan urutan tindakan yang asing yang diperlukan. Kegiatan diarahkan untuk pencapaian tujuan untuk membantu mengembangkan keterampilan gerakan (motor planning). Membersihkan tempat tidur atau meja dan bermain bola dapat membantu meningkatkan akomodasi motorik kasar dan praksis. Reaksi tegak dan keseimbangan dan pola mengintegrasikan pada perbedaan posisi dapat mempertahankan rangsangan tersebut. Bermain diatas roll dapat memfasilitasi keseimbangan dan reaksi ekuilibrium. Terapis mengatakan, “kamu adalah perahu diatas laut, dan aku badai maka kamu harus mencoba untuk tidak jatuh kebawah” dan terapis mendorong roll sangat lambat untuk beberapa kali dalam rangka untuk mengganggu keseimbangan anak (Kramer, 2007). Kegiatan motor planning dan permainan persepsi ruang visual memiliki komponen perencanaan gerakan (motor planning), karena motor planning dan persepsi ruang visual saling berhubungan. Kegiatan motorik seperti berjalan, berdiri, menaiki tangga, dapat diberikan untuk mendorong anak dalam menunjukkan spatial features (Kramer, 2007). Aktifasi rutin dan menyusun beberapa benda (puzzle, menyusun balok dan menyalin gambar) dapat diberikan sebagai contoh untuk persepsi visual-spasial. Dalam mempelajari keterampilan motorik halus, stabilisasi postural yang tepat sangat penting. Baiknya ko-kontraksi kepala, leher, dan lengan juga diperlukan. Ocular kontrol yang baik, koordinasi motorik bilateral dan taktil mempengaruhi fungsi tangan. Anak membutuhkan kegiatan yang terdiri dari semua komponen dalam rangka untuk

mengembangkan keterampilan motorik halus. Sebagai contoh: bermain puzzle, bermain dengan jari-jari, origami. (Ayeres 1979, Lerner 1985, Scheerer 1997, Wilson 1988, Bumin dan Kayihan 2001, Uyanik dkk, 2003). 2. Taktil, vestibular , input dan feedback propriocepsi dan visual Aktifitas apedal dan quadripedal; scooter board, tas kacang, bermainbola, berguling, merangkak, mengikuti pemimpin, ritme music dan lain-lain. Kontrol ocular; aktifitas yang membutuhkan gerakan tangan dan kelompok otot besar seperti melempar, dan menangkap, dan kegiatan yang membutuhkan gerakana otot kecil seperti menggambar dan mengikuti garis putus-putus dapat membantu mengembangkan kontrol ocular. Aktifitas posisi bipedal; berlari, melompat, berlompat-lompatan dan

permainan/games dengan melompat, bermain dengan peralatan

(ayunan, tong, peluncuran, tangga), bermain bola, permainan music. Koordinasi motorik bilateral; ketika kedua sisi tubuh bekerja bersama dalam koordinasi, gerakan tangan yang terarah muncul dan anak bisa melewati garis tengah tubuhnya. Aktifitas

propriosepsi;

mendaki,

mendorong,

menarik,

membawa benda berat, bekerja melawan tahanan dan tekanan. Visual persepsi; anak-anak dengan disfungsi persepsi ryang visual mengalami kesulitan dalam menulis dan bekerja dengan angka 3.

Kegiatan stimulasi sistem vestibular dalam perkembangan motorik Sistem

vestibular

sangat

penting

dalam

pencapaian

perkembangan motorik normal dan koordinasi (Weeks 1979a, Cohen dan Keshner 1989b, Shumway-cook 1992). Disfungsi vestibular diamati dalam gangguan perkembangan sebagai diskoordinasi motorik dan ketidak mampuan belajar (Maggrun dkk. 1981, Schaaf 1985, MacLean dkk. 1988, Shunway-Cook 1992) Sistem vestibular adalah salah satu sistem sensorik penyempurnaan strukturanatomi (ShunwayCook 1992).

Sistem vestibular adalah salah satu sistem sensorik

penyempurnaan struktur anatomi (Shunway-Cook 1992) Biasanya, input

vestibulookular yang signifikan dalam

koordinasi mata dan kepala yang penting untuk stabilitas saat melihat pada satu titik, sedangkan vestibulospinal adalah input yang signifikan

dalam menjaga stabilitas postur dengan inputvisual dan somatosensori (Nasher dkk. 1982). The Vestibulonuclear complex, cerebellum dan juga ke nervus cranialis 3,4,6 yang memungkinakan gerakan otot ocular ekstrake semua level tulang belakang yang emperngaruhi tonus otot (ottenbacher dan Peterson 1983, Kelly 1989). Sistem keterampilan

vestibular motorik,

sangat integrasi

penting

dalam

postural,

gerakan

perkembangan mata

yang

terkoordinasi, dan kemampuan mengatur tingkat keaktifan (Ottenbacher dan Peterson 1983). 4. Orthopaedi Shoes Anak penyandang Down Syndrome cenderung menumpu pada medial kaki sehingga menyebabkan berkurangnya stabilitas pada stance phase dan dorongan saat swing phase ketika berjalan, maka diperlukan penggunaan Orthopaedic Shoes untuk membantu anak melangkahkan kakinya. Orthopaedic Shoes adalah alat bantu yang berbentuk splint sehingga dapat menutup sebagian daerah lesi atau kecacatan yang dipasangkan pada area ankle kaki. Alat bantu Orthopaedic Shoes ini bentuknya menyerupai seperti kaki, dan memiliki fungsi utama sebagai alat bantu ortopedi yang mampu memfiksasi sendi ankle untuk mempertahankan posisi kaki pada bentuk anatomi normal manusia. Orthopaedic Shoes berfungsi untuk mencegah deformitas lebih lanjut untuk mengkoreksi telapak kaki pasien Selain itu penggunaan Orthopaedic Shoes juga untuk menjaga alignment kaki dan stabilitas ketika berjalan. Setiap anak memiliki penilaian yang komprehensif untuk mengidentifikasi apakah anak tersebut membutuhkan Orthopaedic Shoes untuk menunjang kebutuhan motorik kasarnya. Pemakaian Orthopaedic Shoes tetap dalam pengawasan. Orthopaedic Shoes merupakan salah satu bagian dari pengobatan untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar, mobilitas dan kemandirian anak, namun tetap berdampingan dengan terapi lain untuk memaksimalkan manfaat dari pemakaian Orthopaedic Shoes.

2.1 Pengertian ROM (Range Of Motion) ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). Kemempuan maksimal seseorang dalam melakukan gerakan. Merupakan ruang gerak atau batasanbatasan dari kontraksi otot dalam melakukan gerakan.

2.2 Tujuan ROM (Range Of Motion) Adapun tujuan dari ROM (Range Of Motion), yaitu : 1.

Meningkatkan atau mempertahankan fleksibiltas dan kekuatan otot

2.

Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan

3.

Mencegah kekakuan pada sendi

4.

Merangsang sirkulasi darah

5.

Mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur

2.3 Manfaat ROM (Range Of Motion) Adapun manfaat dari ROM (Range Of Motion), yaitu : 1.

Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan

2.

Mengkaji tulang, sendi, dan otot

3.

Mencegah terjadinya kekakuan sendi

4.

Memperlancar sirkulasi darah

5.

Meningkatkan kesegaran tubuh

5.

Memperbaiki tonus otot

6.

Meningkatkan mobilisasi sendi

2.4 Faktor yang mempengaruhi ROM       

Pertumbuhan pada masa anak-anak Sakit Fraktur Trauma Kelemahan Kecacatan Usia dll.

2.5 Prinsip Latihan ROM (Range Of Motion)

Adapun prinsip latihan ROM (Range Of Motion), diantaranya : 1.

ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari

2.

ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien.

3. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring. 4. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki. 5. ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian yang di curigai mengalami proses penyakit. 6. Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah di lakukan.

2.6 Jenis-jenis ROM (Range Of Motion) ROM dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : a. ROM Aktif ROM Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Keuatan otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan ototototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif.

b. ROM Pasif ROM Pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klienpasif). Kekuatanotot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total. Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.

2.7 Indikasi dan Sasaran ROM 1.

ROM Aktif :

1.1 Indikasi :

a. Pada saat pasien dapat melakukan kontraksi otot secara aktif dan menggerakkan ruas sendinya baik dengan bantuan atau tidak. b. Pada saat pasien memiliki kelemahan otot dan tidak dapat menggerakkan persendian sepenuhnya, digunakan A-AROM (Active-Assistive ROM, adalah jenis OM Aktif yang mana bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah secara manual atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan bantuan untuk menyelesaikan gerakan). c.

ROM Aktif dapat digunakan untuk program latihan aerobik.

d. ROM Aktif digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas diatas dan dibawah daerah yang tidak dapat bergerak.

1.2 Sasaran : a. Apabila tidak terdapat inflamasi dan kontraindikasi, sasaran ROM Aktif serupa dengan ROM Pasif. b. Keuntungan fisiologis dari kontraksi otot aktif dan pembelajaran gerak dari kontrol gerak volunter. c.

Sasaranspesifik:

·

Memelihara elastisitas dan kontraktilitas fisiologis dari otot yang terlibat

·

Memberikan umpan balik sensoris dari otot yang berkontraksi

·

Memberikan rangsangan untuk tulang dan integritas jaringan persendian

·

Meningkatkan sirkulasi

·

Mengembangkan koordinasi dan keterampilan motorik

2.

ROM Pasif

2.1 Indikasi : a. Pada daerah dimana terdapat inflamasi jaringan akut yang apabila dilakukan pergerakan aktif akan menghambat proses penyembuhan b. Ketika pasien tidak dapat atau tidak diperbolehkan untuk bergerak aktif pada ruas atau seluruh tubuh, misalnya keadaan koma, kelumpuhan atau bed rest total 2.2 Sasaran : a.

Mempertahankan mobilitas sendi dan jaringan ikat

b.

Meminimalisir efek dari pembentukan kontraktur

c.

Mempertahankan elastisitas mekanis dari otot

d.

Membantu kelancaran sirkulasi

e.

Meningkatkan pergerakan sinovial untuk nutrisi tulang rawan serta difusi persendian

f.

Menurunkan atau mencegah rasa nyeri

g.

Membantu proses penyembuhan pasca cedera dan operasi

h.

Membantu mempertahankan kesadaran akan gerak dari pasien

2.7 Kontraindikasi dan Hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan ROM Kontraindikasi dan hal-hal yang harus diwaspadai pada latihan ROM a. Latihan ROM tidak boleh diberikan apabila gerakan dapat mengganggu proses penyembuhan cedera. · Gerakan yang terkontrol dengan seksama dalam batas-batas gerakan yang bebas nyeri selama fase awal penyembuhan akan memperlihatkan manfaat terhadap penyembuhan dan pemulihan · Terdapatnya tanda-tanda terlalu banyak atau terdapat gerakan yang salah, termasuk meningkatnya rasa nyeri dan peradangan b. ROM tidak boleh dilakukan bila respon pasien atau kondisinya membahayakan (life threatening) · PROM dilakukan secara hati-hati pada sendi-sendi besar, sedangkan AROM pada sendi ankle dan kaki untuk meminimalisasi venous stasis dan pembentukan trombus · Pada keadaan setelah infark miokard, operasi arteri koronaria, dan lain-lain, AROM pada ekstremitas atas masih dapat diberikan dalam pengawasan yang ketat 2.9 Macam-macam Gerakan ROM Ada berbagai macam gerakan ROM, yaitu : 1.

Fleksi, yaitu berkurangnya sudut persendian.

2.

Ekstensi, yaitu bertambahnya sudut persendian.

3.

Hiperekstensi, yaitu ekstensi lebih lanjut.

4.

Abduksi, yaitu gerakan menjauhi dari garis tengah tubuh.

5.

Adduksi, yaitu gerakan mendekati garis tengah tubuh.

6.

Rotasi, yaitu gerakan memutari pusat dari tulang.

7. Eversi, yaitu perputaran bagian telapak kaki ke bagian luar, bergerak membentuk sudut persendian. 8. Inversi, yaitu putaran bagian telapak kaki ke bagian dalam bergerak membentuk sudut persendian. 9.

Pronasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke bawah.

10. Supinasi, yaitu pergerakan telapak tangan dimana permukaan tangan bergerak ke atas. 11. Oposisi, yaitu gerakan menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama.

WILLIAM FLEXION EXERCISE William Flexion Exercise adalah salah satu bentuk latihan yang bertujuan mengurangi nyeri punggung bawah. Caranya adalah dengan menguatkan ( strengthening ) otot-otot abdomen dan gluteus maksimus, serta mengulur ( stretching ) otot-otot ekstensor punggung. Bentuk latihannya berupa fleksi lumbosakral. Untuk dapat diaplikasikan dengan tepat, maka syaratnya adalah : (1) latihan setiap hari dan (2) tidak melebihi batas nyeri.

Bentuk gerakan intinya adalah : 1. Latihan I (pelvic tilting)

Pasien tidur terlentang di tempat tidur atau di lantai dengan matras, sebaiknya alas yang dipakai agak keras. Terapis meltakkan tangannya di bawah lumbal. Pasien diminta untuk menekan

tangan

terapis

tersebut

dengan

mengkontraksikan

otot

abdomen.

2. Latihan penguatan otot abdomen Posisi dan gerakan masih sama seperti yang pertama, hanya saja pasien diminta untuk mengangkat kepalanya ( melihat kakinya sendiri ).

3. Single knee to chest Posisi masih tidur terlentang. Minta pasien untuk mengangkat kepala dan menekuk salah satu tungkainya ke arah dada dan dipegangi sendiri dengan kedua tangannya. Menekuknya tungkai pasien ke dada harus dengan kontraksi otot abdomen, bukan karena ditarik tangan pasien.

4. Double knee to chest Masih sama dengan gerakan ke-3, hanya saja kali ini dengan kedua tungkai ditekuk ke arah dada bersamaan.

5. Hip flexor stretching Posisi pasien seperti akan melakukan start lari. Di mana dada didekatkan ke paha dengan mengkontraksikan otot abdomen.

6. Hamstring stretch Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan fleksikan trunk ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua lengan menjangkau sejauh mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki.

7. Flat Back Berdiri menempel dan membelakangi dinding dengan tumit jarak 10-15 cm dari dinding.Satu tungkai melangkah kedepan tanpa merubah posisi lumbal pada dinding. Pertahan kan 10 detik, relaks dan ulangi 10 kali. Bertujuan untuk menguatkan otot-otot quadriceps, mengajarkan posisi yang benar saat berdiri (konsep pelvic tilting exercise), dan mengurangi lordosis lumbalis.

8. Squat Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua knee.

More Documents from "yosina marsal wamese"

Surat Sehat Dokter.docx
November 2019 16
Materi Malaria.docx
November 2019 27
Kuitansi Lab.docx
November 2019 22
10.5.docx
November 2019 7