MAKALAH TERAPI MODALITAS Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Jiwa Dosen Pengampu : Trimeilia Suprihatiningsih, S.Kep.,M. Kes
Disusun Oleh : 1. Annisa Purnamasari
(108116007)
2. Dudi Tri Wibowo
(108116010)
3. Isnaeni Romayanti
(108116030)
PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP TAHUN AKADEMIK 2017/2018
2
KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tentang “Terapi Modalitas” Makalah ini bertujuan untuk mengetahui Terapi Modalitas. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah Tentang Terapi Modalitas dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Cilacap, 29 September2018
Penyusun
i
DAFTAR ISI
COVER ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2 C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 3 D. Manfaat Penulisan .............................................................................. 3 BAB II PEMBAHASAN A. Terapi Somatic dan Psikofarmaka .................................................. 4 B. Terapi Kelompok .......................................................................... 15 C. Terapi Keluarga ............................................................................. 29 D. Terapi Okupasi dan Rehabilitasi .................................................... 40 E. Terapi Lingkungan ........................................................................ 49 F. Terapi ECT ..................................................................................... 63 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................... 66 B. Saran ................................................................................................. 66 DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut Jhonson (1997), kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional. Kesehatan jiwa juga dapat diartikan sebagai keadaan sejahtera yang dikaitkan dengan kebahagiaan, kegembiraan, asan, pencapaian, optimisme, dan harapan. Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefeniskan kesehatan itu sendiri sebagai sehat fisik, mental dan sosial bukan sematamata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Jadi Seseorang dapat dianggap sehat jiwa jika mereka mampu bersikap positif terhadap diri sendiri, memiliki kestabilan emosi, memiliki konsep diri yang positif dan memiliki rasa bahagia dan puas (Dalam Videbeck, 2008). Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Penyebab gangguan jiwa yang banyak diderita terjadi karena frustasi, napza (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya), masalah keluarga, pekerjaan, organik dan ekonomi. Namun jika dilihat dari persentase, penyebab tertinggi yaitu karena frustasi. Di Indonesia sendiri berdasarkan (Rikesda tahun 2007)
bahwa
prevelansi gangguan jiwa berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Angka gangguan jiwa di Indonesia telah mencapai 10% dari
populasi
penduduknya.Penanganan klien gangguan jiwa inilah yang dimaksud dengan terapi modalitas yang bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya menjadi perilaku yang adaptif. Terapi Modalitas merupakan terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif ( Prabowo, 2014). Terapi Modalitas adalah terapi dalam keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan potensi
1
yang dimiliki pasien sebagai titik tolak terapi atau penyembuhan. Ada beberapa terapi yang dapat dilakukan oleh perawat pada pasien dengan masalah kejiwaan yaitu, terapi aktivitas kelompok dan terapi keluarga. Terapi Aktivitas Kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok sebagai target asuhan. Terapi Aktivitas Kelompok dilakukan untuk meningkatkan kematangan emosional dan psikologis pada pasien yang mengidap gangguan jiwa pada waktu yang lama. Didalam kelompok terjadi dinamika dimana setiap anggota kelompok saling bertukar informasi dan berdiskusi tentang pengalaman serta membuat kesepakatan untuk mengatasi masalah anggota kelompok. Terapi Aktivitas Kelompok memberikan hasil yang lebih besar terhadap perubahan perilaku pasien, meningkatkan perilaku adaptif serta mengurangi perilaku maladaptif. Bahkan Terapi Aktivitas Kelompok memberikan modalitas terapeutik yang lebih besar dari pada hubungan terapeutik antara dua orang yaitu perawat dan klien (Direja, 2011). Sedangkan terapi keluarga merupakan suatu psikoterapi modalitas dengan fokus pada penanganan keluarga sebagai unit sehingga dalam pelaksanaannya terapis membantu keluarga dalam mengidentifikasi dan memperbaiki keadaan yang maladaptif, kontrol diri pada anggota yang kurang serta pola hubunganyang tidak konstruktif. Terapi keluarga lebih menggunakan pendekatan terupeutik untuk melihat masalah individu dalam konteks lingkungan khususnya keluarga dan proses interpersonal (Prabowo, 2014) B. Rumusan Masalah 1.
Apa pengertian dari terapi somatic?
2.
Apa saja jenis-jenis terapi somatic?
3. 4.
Apa pengertian dari terapi psikofarmaka? Apa saja jenis obat psikotropik?
5.
Apa pengertian dari terapi kelompok?
6.
Apa tujuan dari terapi kelompok?
7.
Bagaimana mekanisme dalam terapi kelompok?
8.
Apa saja tahapan dalam terapi kelompok?
9.
Apa konsep dari terapi keluarga? 2
10. Apa tujuan dari terapi keluarga? 11. Apa pengertian dari terapi okupasi dan rehabilitasi? 12. Apa tujuan dari terapi okupasi? 13. Bagaimana pelaksanaan terapi okupasi? 14. Apa konsep dari terapi lingkungan? 15. Apa tujuan dari terapi lingkungan? 16. Apa peran perawat dalam terapi lingkungan? 17. Apa pengertian dari terapi ECT? 18. Apa indikasi dan kontraindikasi dari terapi ECT? 19. Apa saja komplikasi dari terapi ECT? 20. Apa saja persiapan terapi ECT? C. Tujuan Penulisan Tujuan umum : 1. Agar mahasiswa mampu mengembangkan pola pikir dalam melaksanakan terapi modalitas. Tujuan khusus : 1. Memberikan pembekalan kepada
tenaga kesehatan
untuk
dapat
menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai terapi modalitas. 2. Meningkatkan peran serta mahasiswa dalam melaksanakan terapi modalitas. 3. Meningkatkan upaya pelayanan terapi modalitas. D. Manfaat Penulisan 1. Bagi Pembaca Memberikan gambaran umum kepada mahasiswa keperawatan mengenai terapi modalitas 2. Bagi Penulis Melatih kemampuan diri dalam bidang menulis secara sistematis.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. TERAPI SOMATIK DAN PSIKOFARMAKA a) Pengertian Terapi Somatik Terapi somatik adalah terapi yg diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dgn melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien. b) Jenis-Jenis Terapi Somatik Pada Klien Gangguan Jiwa 1. Pengikatan Merupakan tindakan yang paling lama dalam sejarah perawatan jiwa. Pengikatan dilakukan dengan rantai, diikat di pohon atau dipasung. Tujuan pengikatan adalah mengamankan likungan dari perilakupasien yang tidak terkontrol. Saat ini tindakan yang sama masih tetap dilakukan, hanya peralatannya sudah lebih aman dan perlakuan juga manusiawi. Alat pengikat berupa kamisol, jaket, ikatan pada pergelangan kaki atau tangan dan berupa selimut yang dililitkan. Pada saat akan diikat, perawat mengatakan alasan pengikatan walaupun pasien belum tentu dalam keadaan siap mendengar. Perhatikan ikatan agar tidak melukai pasien dan harus dibuka secara periodik agar tidak terjadi kontraktur dan dapat digerakan. Setelah pasien sadar, alasan pengikatan disampaikan lagi, kemudian didiskusikan penyebab pasien marah agar bisa diatasi. Pengikatan janganlah menjadi senjata untuk menakuti pasien atau menjadi hukuman bagi pasien. Perlakuan terhadap pasien harus manusiawi karena pasien dilindungi oleh hukum dan peraturan tentang hak-hak asasi manusia. Alasan pengikatan adalah : a. Menghindari risiko menciderai diri sendiri atau orang lain. b. Pengobatan yang untuk menurunkan perilaku agresif sudah tidak mempan lagi
4
c. Mencegah jatuh pada pasien yang sedang bingung d. Agar pasien bisa istirahat e. Pasien minta sendiri agar perilakunya bisa terkontrol.
Indikasi pengikatan yaitu: a. Perilaku amuk b. Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan c. Ancaman terhadap infegritas fisik d. Permintaan pasien utk pengendalian perilaku eksternal 2. Isolasi Pasien dikurung dalam satu ruangan tersendiri dengan alasan yang sama
dengan
pengikatan.
Pastikan
ruangan
aman
dan
tidak
memungkinkan pasien menyakiti dirinya sendiri. Isolasi adalah menempatkan pasien dlm suatu ruang di mana dia tidak dapat keluar dari ruangan tersebut sesuai kehendaknya. Tingkatan pengisolasian dapat berkisar dari penempatan dalam ruangan yang tertutup, tapi tdk terkunci sampai pada penempatan dalam ruang terkunci dengan kasur tanpa seprei di lantai, kesempatan berkomunikasi yang dibatasi, & pasien memakai pakaian rumah sakit atau kain terpal yang berat. Penggunaan kain terpal kurang dapat diterima & hanya digunakan untuk melindungi pasien aiau orang lain. Indikasi penggunaan: a. Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan pasien atau orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain dengan intervensi pengekangan yang longgar, seperti kontak interpersonal atau pengobatan. b. Reduksi stimulus lingkungan, terutama jika diminta oleh pasien. Kontraindikasi adalah: a. Kebutuhan untuk pengamatan masalah medik b. Risiko tinggi untuk bunuh diri c. Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori d. Hukuman.
5
3. Terapi Kejang Listrik Mula-mula pengobatan ini dilakukan pada pasien yang mengalami epilepsi tetapi akhirnya dipakai pada pasien dengan kondisi lain. Terapi ini dilakukan dengan memberikan kejutan listrik di kepala melalui elektroda yang ditusukkan di kulit kepala. Kejutan listrik bisa memberikan
dampak
pada
nerokimia,
neuroendrokrin,
dan
neuropsikologis seperti dampak obat-obatan antidepresan dalam waktu yang lama. (Black, 1993). Fink (1990) juga mengatakan bahwa ECT menghasilkan perubahan pada reseptor neurotransmitter seperti asetilkolin, nor epinefrin, dopamin dan serotonin sama seperti obat antidepresan. ECT bisa dilakukan pada : a. Pasien yang kekurangan gizi karena dikhawatirkan akan ada komplikasi medis b. Pasien dengan penyakit jantung yang tidak bisa mentoleransi obatobat anti depresan c. Pasien psikotik yang depresi dan tidak mempan lagi dengan obat d. Pasien yang pda fase depresi tidak mempan lagi dengan obat e. Pasien dengan katatonia, karena depresi, atau lesi pada otak Risiko
yang mungkin
terjadi
sudah
sangat
diminimalkan
denganperalatan yang baik,seperti : a. Risiko patah tulang bisa dihindari dengan pemakaian obat relaksan otot dan anestesi. b. Risiko apneu bisa dihindari dengan pemakaian bantuan oksigen dan staf yang sudah terlatih untuk mengatasinya. c. Dampak pada kardiovaskuler adalah akut miokard, aritmia,henti jantung, gagal jantung atau hipertensi. Walaupun sebagai terapi ECT cukup aman, akan tetapi ada beberapa kondisi merupakan kontra indikasi diberikan terapi ECT.
6
Kondisi kondisi klien yang kontra indikasi tersebut adalah: a. Tumor intra kranial, karena ECT dapat meningkatkan tekanan intra kranial. b. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran. c. Osteoporosis, karena dengan timbulnya grandmall dapat berakibat terjadinya fraktur tulang. d. Infark miokardium, dapat terjadi henti jantung. e. Asthma bronkial, karena ECT dapat memperberat penyakit ini. Indikasi penggunaan adalah: a. Penyakit depresi berat yang tidak berespons terhadap obat antidepresan atau pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat b. Gangguan bipolar dimana pasien sudah tidak berespons lagi terhadap obat c. Pasien dengan buttuh diri akut yang sudah lama tidak menerima pengobatan untuk dapat mencapai efek terapeutik d. Jika efek sampingan ECT yang diantisipasikan lebih rendah daripada efek terapi pengobatan, seperti pada pasien lansia dengan blok jantung, dan selama kehamilan. Peran Perawat dalam pemberian ECT Perawat harus mengkaji pengetahuan dan pendapat pasien dan keluarganya tentang ECT, memberikan penjelasan dan dukungan agar mereka tidak cemas. Langkah-langkah yang harus diberikan adalah : a. Memberikan dukungan emosi dn penjelasan kepada pasien dan keluarganya. b. Mengkaji kondisi fisik pasien c. Menyiapkan pasien d. Mengamati respon pasien setelah ECT e. Pastikan pasien atau keluarganya sudah memberikan inform consent. 4. Fototerapi Foto terapi atau terapi sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan dengan memaparkan klien pada sinar terang 5-20x lebih terang daripada sinar ruangan. Klien biasanya duduk, mata terbuka, 1,5 meter
7
di depan klien diletakkan lampu setinggi mata. Waktu dilaksanakan foto terapi bervariasi dari orang per orang. Beberapa klien berespon kalau terapi diberikan pada pagi hari, sementara yang lain lebih berespon kalau diberikan pada sore hari. Efek terapi ditentukan selain oleh lamanya terapi juga ditentukan oleh kekuatan cahaya yang digunakan. Dengan kekuatan cahaya sebesar 2500 lux yang diberikan selama 2 jam sehari efeknya sama dalam menurunkan depresi dengan terapi dengan kekuatan cahaya sebesar 10.000 lux dalam waktu 30 menit sehari. Terapi sinar sangat bermanfaat dan menimbulkan efek yang positif. Kebanyakan klien membaik setelah 3-5 hari terapi kan tetapi bisa kambuh kembali segera setelah terapi dihentikan. Keuntungan yg lain klien tdk akan mengalami toleransi terhadap terapi ini. a. Indikasi penggunaan fototerapi : Fototerapi dpt menurunkan 75% gejala depresi yg dialami klien akibat perubahan cuaca (seasonal affective disorder(SAD)), misalnya pada musim hujan atau musim dingin(winter) di mana terjadi hujan, mendung terus menerus yg bisa mencetuskan depresi pada beberapa orang. b. Mekanisme Kerja : Fototerapi bekerja berdasarkan ritme biologis sesuai pengaruh cahaya gelap terang pada kondisi biologis. Dengan adanya cahaya terang terpapar pada mata akan merangsang sistem neurotransmiter serotonin & dopamin yang berperanan pada depresi. c. Efek Samping : Kebanyakan efek samping yang terjadi meliputi ketegangan pada mata, sakit kepala, cepat terangsang, insomnia, kelelahan, mual, mata menjadi kering, keluar sekresi dari hidung dan sinus. 5. Terapi deprivasi tidur Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan cara mengurangi jumlah jam tidur klien. Hasil penelitian ditemukan bahwa 60% klien depresi mengalami perbaikan yg bermakna
8
setelah jam tidurnya dikurangi selama 1 malam. Umumnya lama penurangan jam tidur efektif sebanyak 3,5 jam. a. Indikasi : Terapi deprivasi tidur dianjurkan untuk klien depresi. b. Mekanisme Kerja: Mekanisme kerja terapi deprivasi tidur ini adalah mengubah neuroendokrin yang berdampak anti depresan. Dampaknya adalah menurunnya gejala-gejala depresi. c. Efek Samping : Klien yang didiagnosa mengalami gangguan efektif tipe bipolar bila diberikan terapi ini dapat mengalami gejala mania.
a) Pengertian Terapi Psikofarmaka Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2001). Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis, antidepresi,anti-mania, anti-ansietas, antiinsomnia, antipanik, dan anti obsesif-kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer, neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika (Hawari, 2001). b) Konsep Psikofarmakologi 1. Psikofarmakologi
adalah
komponen
kedua
dari
manajemen
psikoterapi 2. Perawat perlu memahami konsep umum psikofarmaka 3. Yang termasuk neurotransmitter: dopamin, neuroepinefrin, serotonin dan GABA (Gamma Amino Buteric Acid) dan lain-lain 4. Meningkat dan menurunnya kadar/konsentrasi neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan mental
9
5. Obat-obat psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan neurotransmitter c) Jenis Obat Psikotropik Dibagi Menjadi Beberapa Golongan, diantaranya : 1. Anti Psikotik a. Anti psikotik termasuk golongan mayor trasquilizer atau psikotropik: neuroleptika. b. Mekanisme kerja: menahan kerja reseptor dopamin dalam otak (di ganglia dan substansia nigra) pada sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal. c. Efek farmakologi: sebagai penenang, menurunkan aktivitas motorik, mengurangi insomnia, sangat efektif untuk mengatasi: delusi, halusinasi, ilusi dan gangguan proses berpikir. d. Indikasi pemberian: Pada semua jenis psikosa, Kadang untuk gangguan maniak dan paranoid. e. Efek Samping Antipsikotik 1) Efek samping pada sistem saraf (extrapyramidal side efect/EPSE) a) Parkinsonisme Efek samping ini muncul setelah 1 - 3 minggu pemberian obat. Terdapat trias gejala parkonsonisme: 1. Tremor: paling jelas pada saat istirahat 2. Bradikinesia: muka seperti topeng, berkurang gerakan reiprokal pada saat berjalan 3. Rigiditas: gangguan tonus otot (kaku) b) Reaksi distonia: kontraksi otot singkat atau bisa juga lama. Tanda-tanda: muka menyeringai, gerakan tubuh dan anggota tubuh tidak terkontrol. c) Akathisia Ditandai oleh perasaan subyektif dan obyektif dari kegelisahan, seperti adanya perasaan cemas, tidak mampu
10
santai,
gugup,
langkah
bolak-balik
dan
gerakan
mengguncang pada saat duduk. Ketiga efek samping di atas bersifat akur dan bersifat reversible (bisa ilang/kembali normal). d) Tardive dyskinesia Merupakan efek samping yang timbulnya lambat, terjadi setelah pengobatan jangka panjang bersifat irreversible (susah hilang/menetap), berupa gerakan involunter yang berulang pada lidah, wajah,mulut/rahang, anggota gerak seperti jari dan ibu jari, dan gerakan tersebut hilang pada waktu tidur. 2) Efek samping pada sistem saraf perifer atau anti cholinergic side efect. Terjadi karena penghambatan pada reseptor asetilkolin. Yang termasuk efek samping anti kolinergik adalah: a) Mulut kering b) Konstipasi c) Pandangan kabur: akibat midriasis pupil dan sikloplegia (pariese otot-otot siliaris) menyebabkan presbiopia d) Hipotensi
orthostatik,
akibat
penghambatan
reseptor
adrenergik e) Kongesti/sumbatan nasal Jenis obat anti psikotik yang sering digunakan: a) Chlorpromazine (thorazin) disingkat (CPZ) b) Halloperidol disingkat Haldol c) Serenase 2. Anti Parkinson a. Mekanisme kerja: meningkatkan reseptor dopamin, untuk mengatasi
gejala
parkinsonisme
akibat
penggunaan
obat
antipsikotik. b. Efek samping: sakit kepala, mual, muntah dan hipotensi. c. Jenis obat yang sering digunakan: levodova, tryhexifenidil (THF).
11
3. Anti Depresan a. Hipotesis: syndroma depresi disebabkan oleh defisiensi salah satu/beberapa aminergic neurotransmitter (seperti: noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di SSP, khususnya pada sistem limbik. b. Mekanisme kerja obat: 1) Meningkatkan sensitivitas terhadap aminergik neurotransmiter 2) Menghambat re-uptake aminergik neurotransmitter 3) Menghambat penghancuran oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) sehingga terjadi peningkatan jumlah aminergik neurotransmitter pada neuron di SSP. c. Efek farmakologi: 1) Mengurangi gejala depresi 2) Penenang d. Indikasi: syndroma depresi e. Jenis obat yang sering digunakan: trisiklik (generik), MAO inhibitor,amitriptyline (nama dagang). f. Efek samping: yaitu efek samping kolonergik (efek samping terhadap sistem saraf perifer) yang meliputi mulut kering, penglihatan kabur, konstipasi, hipotensi orthostatik. 4. Obat Anti Mania/Lithium Carbonate a. Mekanisme kerja: menghambat pelepasan serotonin dan mengurangi sensitivitas reseptor dopamin. b. Hipotesis: pada mania terjadi peluapan aksi reseptor amine. c. Efek farmakologi: 1) Mengurangi agresivitas 2) Tidak menimbulkan efek sedatif 3) Mengoreksi/mengontrol pola tidur, iritabel dan adanya flight of idea d. Indikasi:
12
Mania dan hipomania, lebih efektif pada kondisi ringan. Pada mania dengan kondisi berat pemberian obat anti mania dikombinasi dengan obat antipsikotik. Efek samping: efek neurologik ringan: fatigue, lethargi, tremor di tangan terjadi pada awal terapi dapat juga terjadi nausea, diare. e. Efek toksik: pada ginjal (poliuria, edema), pada SSP (tremor, kurang koordinasi, nistagmus dan disorientasi; pada ginjal (meningkatkan jumlah lithium, sehingga menambah keadaan oedema. 5. Anti Ansietas (Anti Cemas) Ansxiolytic agent, termasuk minor tranquilizer. Jenis obat antara lain: diazepam (chlordiazepoxide). 6. Obat Anti Insomnia: phenobarbital 7. Obat Anti Obsesif Kompulsif: clomipramine 8. Obat Anti Panik: imipramine d) Peran Perawat dalam Pemberian Obat Psikofarmaka 1. Pengumpulan data sebelum pengobatan yang meliputi : a. Diagnosa Medis b. Riwayat Penyakit c. Hasil Pemeriksaan Laborat ( yang berkaitan ) d. Jenis obat yang digunakan ,dosis,waktu pemberian e. Program terapi yang lain f. Mengkombinasi obat dengan terapi Modalitas g. Pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga tentang pentingnya minum obat secara teratur dan penanganan efek samping obat. h. Monitoring efek samping penggunaan obat 2. Melaksanakan Prinsip Pengobatan Psikofarmaka : a. Persiapan 1) Melihat order pemberian obat di lembaran obat ( di status ) 2) Kaji setiap obat yang akan diberikan termasuk tujuan, cara kerja obat, dosis efek samping dan cara pemberian. 3) Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang obat
13
4) Kaji kondisi klien sebelum pengobatan a) Lakukan minimal prinsip lima benar b) Laksanakan program pemberian obat c) Gunakan pendekatan tertentu d) Pastikan bahwa obat telah terminum e) Bubuhkan tanda tangan pada dokumentasi pemberian obat , sebagai aspek LEGAL !! b. Laksanakan program pengobatan berkelanjutan, melalui program rujukan c. Menyesuaikan dengan terapi non farmakoterapi d. Turut serta dalam penelitian tentang obat psikofarmaka e. Setelah seorang perawat melaksanakan terapi psikofarmaka maka tugas terakhir yang penting harus di lakukan adalah evaluasi. Dikatakan reaksi obat efektif jika : 1. Emotional Stabil 2. Kemampuan berhubungan interpersonal meningkat 3. Halusinasi, Agresi, Delusi, Menarik diri menurun 4. Perilaku Mudah di arahkan 5. Proses Berpikir ke Arah Logika 6. Efek Samping Obat 7. Tanda – tanda Vital
14
B. TERAPI KELOMPOK a) Pengertian Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. b) Tujuan Terapi Kelompok Terapi kelompok mempunyai tujuan therapeutic dan rehabilitasi. a. Tujuan Umum 1) Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing). 2) Membentuk sosialisasi. 3) Meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran tentang hubungan antar reaksi emosional diri sendiri degan perilaku defensife (bertahan terhadap stress) dan adaptasi. 4) Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan afektif. b. Tujuan Khusus 1) Melatih pemahaman identitas diri. 2) Penyaluran emosi. 3) Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari. 4) Bersifat rehabilitatif: Pasien-pasien rehabilitatif adalah mereka yang telah sembuh secara medis, tetapi perlu disiapkan fungsi dan kemampuan untuk persiapan mandiri dan social ditengah masyarakat. Dari segi rehabilitasi terapi kelompok bertujuan meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan social,
15
kepercayaan
diri,
pengetahuan
kemampuan
tentang
empati,
masalah-masalah
dan
meningkatkan
kehidupan
dan
pemecahannya. c) Indikasi dan Kontradiksi Semua pasien rehabilitasi perlu mendapatkan terapi kelompok kecuali mereka yang mengalami: 1. Psikopat dan Sosiopat. 2. Selalu diam dan/atau autistic. 3. Delusi yang tidak terkontrol. 4. Klien yang mudah bosan. 5. Pasien rehabilitasi ambulatory yang tidak termasuk psikosis berat, tidak menunjukkan gejala regresi dan halusinasi dan ilusi yang berat dan orangorang dengan kepribadian sciozoid serta neurotic. 6. Pasien dengan ego psiko patologi berat yang menyebabkan psikotik kronik sehingga menyebabkan tolerasi terhadap kecemasan rendah dan adaptasi yang kurang. d) Sasaran dan Keanggotaan Pada umumnya yang menjadi sasaran dari terapi kelompok adalah yang memiliki masalah yang sama. Dalam psikoterapi yang intensif kelompok yang heterogen lebih menguntungkan dimana anggotanya terdiri dari berbagai macam kelompok umur, jenis kelamin dan kepribadian. Sedangkan kelompok psikoterapi yang lain adalah kelompok homogen yang anggotanya mempunyai kebiasaan yang sama misalnya alcoholisme, homosexual, ada kecenderungan setiap anggota mendiskusikan masalah yang sama atau mendukung anggota lainnya. Keanggotan sebuah terapi memiliki beberapa persyaratan : 1) Sudah ada diagnosa atau satu hasil observasi yang jelas. 2) Sudah tidak terlalu gelisah, agresif, incoherent, dan waham yang tidak terlalu berat sehingga dapat kooperatif dan tidak mengganggu berlangsungnya terapi kelompok.
16
Persyaratan bagi pasien rehabilitasi : perlu ditentukan target kelompok untuk setiap anggota disamping adanya target terapi yang bersifat kelompok. Target kelompok untuk setiap bulannya adalah: 1) Selama rehabilitasi anggota didorong, mereka yang bersifat pasif perlu dibangkitkan. 2) Selama rehabilitasi anggota didorong untuk mengikuti aktivitas yang lebih baik atau lebih terampil. 3) Sesudah rehabilitasi targetnya adalah bagaimana agar anggota bisa menghadapi hidup social dengan keluarga dan teman sekerja serta masyarakat umum. 4) Perlu adanya rating scale bagi setiap pasien untuk mencapai target. Untuk terapi kelompok di rumah sakit jiwa dianjurkan untuk: 1) Tidak terlalu ketat dalam Teknik terapi. 2) Diagnose pasien dapat bersifat heterogen. 3) Tingkat kemampuan berfikir dan pengalaman hendaklah setaraf. Jumlah Anggota dan Komposisi Dalam Terapi Kelompok 1) Menurut Dr. Wartono (1976): kelompok dengan cara verbalisasi biasanya 7-8 anggota merupakan jumlah yang ideal. Sedangkan jumlah minimum 4 dan maksimum 10. 2) Menurut Caplan (1971): Besarnya anggota kelompok terdiri dari 7-9 anggota (pria dan wanita) memungkinkan anggota berada dalam ras atau suku, latar belakang social dan Pendidikan sehingga mirip dengan kehidupan nyata. 3) Menurut Johnson (1963): Therapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila keanggotaan lebih dari 10, maka komunikasi akan sulit difokuskan, sedangkan jika anggota kurang dari 4, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan sering kali bertingkah laku irasional.
17
e) Mekanisme dalam Terapi Kelompok Setelah pasien berkumpul, mereka duduk berkeliling kemudian therapist memperkenalkan dirinya terlebih dahulu dan co-therapist. Setelah itu anggota kelompok dipersilahkan memperkenalkan dirinya secara bergiliran dan apabila klien tidak mampu maka therapist membantu memperkenalkannya. Therapist kemudian menerangkan maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok juga masalah yang akan dibicarakan. Topi atau masalah bisa ditentukan oleh therapist atau atas usulan pasien. Selain itu juga ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebaskan juga untuk mengkritik termasuk mengkritik therapist, therapist sendiri sebaiknya bersikap moderat dan menghindari kata yang dianggap sebagai perintah. Jika terjadi bloking atau kemacetan ditengah-tengah proses terapi, maka therapist dapat membiarkan sementara tetapi jangan terlalu lama karena dapat menimbulkan kecemasan yang tinggi, sehingga therapist perlu mencairkan bloking tersebut dengan berbagai cara sesuai dengan kondisi kelompok saat itu. Agar proses kelompok dapat berjalan dengan lancar maka: 1) Individu harus diterima sebaik-baiknya sebagaimana adanya. 2) Pembatasan yang tidak perlu hendaknya dihindarkan. 3) Pernyataan (ekspresi) verbal yang tak tertahankan dibiarkan keluar. 4) Reaksi-reaksi dalam interaksi kelompok dinilai. 5) Pembentukan kelompok harus dilakukan untuk
memenuhi
kebutuhan anggota secara perorangan. Tugas Therapis 1) Membentuk dan mempertahankan kelompok. 2) Membentuk budaya dalam kelompok. 3) Membentuk norma kelompok atas dasar keahlian dan keteladanan. Norma kelompok itu antara lain pemantapan diri, pembukaan diri, norma prosedural, pentingnya kelompok, dan anggota sebagai agen penolong.
18
Agar Perilaku Therapist Efektif, maka: Secara umum
:
seorang therapist harus penuh perhatian, penerimaan, empati, dan ketulusan.
Secara khusus
:
mendengarkan, mengamati, memberi umpan balik, menghubungkan, konfrontasi, menanyakan, memiliki untuk melihat proses, meringkas, dan bertanggung jawab.
Sedangkan gaya therapist diharapkan dapat efektif dalam proses terapi kelompok : 1) Therapist hendaknya bersikap tegas dan cepat dalam mengambil keputusan dan dalam waktu yang sama mengemukakan alasan tentang tindakan tersebut. 2) Pada waktu ada kekacuan, therapist harus dapat bertindak cepat, tegas, dan bila perlu meminta agar pasien yang mengacau dipersilahkan keluar tetapi kelompok berjalan terus. 3) Setelah terjadi insiden hendaknya therapist mendiskusikan hal tersebut dengan anggota yang tinggal. 4) Self disolomsm mengenai perasaan yang kontradiktif dan dipakai sebagai model. 5) Tujuan terapi kelompok akan bermanfaat apabila semua perasaan yang timbul dalam kelompok dikemukakan. f) Pelaksanaan Terapi Kelompok Tahap-tahap Terapi Kelompok a. Peran serta anggota kelompok terutama diwujudkan dalam bentuk: 1) Perkenalan : masing-masing anggota kelompok memperkenalkan diri. 2) Pembentukan Agenda: masing-masing anggota mengemukakan problem yang dihadapi sebagai agenda. 3) Konfidensilitas: therapist memberikan informasi bahwa masingmasing anggota secara bebas mengajukan masalahnya, dan kerahasiaannya terjamin untuk tidak diketahui orang lain diluar kelompok.
19
4) Menggali ide-ide dan peranan yang muncul dalam kelompok. 5) Tahap Transisi: dalam hal ini dibutuhkan keterampilan therapist dalam kepekaan waktu, melihat pola perilaku anggota dan mengenal suasana emosi didalam kelompok. 1. Tahap kerja kelompok yang sesungguhnya. 2. Tahap Terminasi. b. Yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kelompok. 1) Repentansi (kehadiran pasien) kehadiran secara fisik dan psikologis 2) Interview awal (sebelum therapy kelompok, anamese yang konkrit dan jelas). 3) Penampilan anggota kelompok (sebaiknya yang memenuhi syarat untuk mengikuti therapy kelompok: pasien tidak dalam krisis, tidak sangat takut bicara, tidak efektif hubungan dalam antarpribadi, dan tidak terlalu banyak minta perhatian). c. Tugas-tugas therapist kelompok. 1) Membentuk dan mempertahankan kelompok. 2) Membentuk budaya dalam kelompok. 3) Membentuk norma kelompok, atas dasar keahlian dan keteladanan. Norma kelompok antara lain: pemantauan diri, pembukaan diri, norma prosedural, pentingnya kelompok dan anggota kelompok sebagai agen penolong. d. Contoh penerapan terapi kelompok untuk pasien rawat inap. 1) Untuk pasien rawat inap umumnya dengan sesi tunggal: dalam hal ini therapist harus berfikir bahwa kelompok hidup dalam satu sesi, karena itu therapist harus lebih aktif dibandingkan dengan kelompok untuk pasien rawat jalan dengan sesi bersambung (enam atau delapan kali pertemuan). 2) Untuk pasien tipe ini bentuk theraphy harus terstruktur dengan jelas, therapist harus menerangkan dengan jelas apa saja yang
20
seharusnya dan sebaiknya dilakukan oleh pasien dalam kelompok. 3) Bentuk struktur: 1. Tempat
ruang
pertemuan
adalah
ruangan
yang
mempunyai pintu yang dapat ditutup. 2. Kelompok disusun dalam bentuk lingkaran. 3. Waktu harus tepat. 4. Sebelum terapi selesai anggota tidak diperkenankan keluar. 5. Kelompok diawali dan diakhiri dengan tepat. e. Orientasi dan persiapan. 1) Pada menit-menit pertama dipakai untuk penganalan dan persiapan bagi anggota baru. 2) Penyampaian secara singkat. 3) Secara bergiliran pasien/anggota diminta untuk mengemukakan masalah yang ingin diselesaikan. 4) Mempersiapkan anggota lama dapat berperan serta didalam mempersiapkan terapi kelompok dengan persiapan ini penting sekali untuk mengatasi adanya jarak antara therapist dengan pasien. 5) Prosedur yang ajeg dan koheren dalam terapi kelompok harus diperhatikan, dengan rincian: menit pertama untuk persiapan, definisi tugas, mengisi tugas, mengakhiri pertemuan. Tugas Therapist Untuk mencapai tujuan dari terapi kelompok baik yang terapeutik maupun rehabilitatif terapi ataupun pemimpin kelompok hendaknya mampu: 1)
Mengembangkan kejujuran diantara anggota kelompoknya.
2) Menimbulkan rasa saling menghormati dan saling menerima diantara anggota kelompok. 3) Mampu mengontrol tingkah laku yang tidak dapat diterima anggota kelompoknya.
21
4) Mengarahkan anggota kelompok untuk beradaptasi dengan semua anggota. 5) Membawa anggota kelompok untuk mampu mengemukakan masalah mendengarkan keluhan-keluhan dan memberikan saran terhadap keluhan tersebut. 6)
Tidak membeda-bedakan anggota kelompok.
7)
Menjalin hubungan dengan anggota dan antaranggota.
8)
Melibatkan diri dalam kelompok dan memberikan perhatian penuh.
Peran Therapist Secara Umum Sebagai katalisator: mempermudah komunikasi dan interaksi; Regulator mengarahkan proses kearah yang bermanfaat; Auxiliary ego: sebagai penopang bagi anggota yang egonya terlalu lemah. Therapist sebaiknya
mengusahakan
terciptanya
suasana
yang
tingkat
kecemasannya sesuai, sehingga klien diharapkan mampu membuka diri dalam kelompok dan tidak mempertahan mekanisme kopingnya. Hal tersebut terjadi karena awal therapy kelompok klien dihadapkan dengan orang lain. Fokus Terapi Kelompok 1) Orientasi Realitas; orientasi terhadap waktu, tempat, dan orang dengan karakteristik: klien dengan gangguan orientasi realita yang dapat berinteraksi, klien yang kooperatif, dapat berkomunikasi verbal dengan baik dan kondisi fisik dalam keadaan sehat. 2) Sosialisasi;
untuk
memantau
dan
meningkatkan
hubungan
interpersonal dengan karakteristik: klien yang kurang minat mengikuti kegiatan/tidak ada inisiatif, menarik diri dan kurang kegiatan social, harga diri rendah, klien gelisah, curiga, takut, cemas, dan sudah dapat membina terus mau berinteraksi dengan sehat fisik. 3) Stimulasi Persepsi; membantu klien yang mengalami kemunduran orientasi dengan karakteristik: klien dengan gangguan persepsi, menarik diri dengan realitas, inisiatif, dan kurang ide, kooperatif, sehat fisik, dan dapat berkomunikasi verbal.
22
4) Stimulasi Sensoris; membantu klien yang mengalami kemunduran sensoris. Karakteristi: kooperatif, mengalami kemunduran sensoris, sehat fisik, bicara jelas, waham/halusinasi terkontrol, mau ikut kegiatan. 5) Penyaluran Energi: untuk menyalurkan energi secara konstruktif. Karakteristik: klien dengan perilaku agresif, potensial amuk, hiperaktif, sehat fisik, dan kooperaktif. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam praktik: 1) Mendorong perilaku pasien agar perilakunya diterima oleh anggota lain dan mengendalikan tingkah laku sebaliknya. 2) Terimalah pasien secara serius. 3) Jangan memberikan perilaku self defeating. 4) Therapist memberikan kerangka kerja untuk menerima tingkah laku yang tidak disukai. 5) Perlakuan pasien dengan penghargaan. 6) Mencari resolusi jika tidak terjadi konflik. 7) Cari cara memperlunak bila terjadi kemarahan. 8) Keteladanan therapist penting. Tahap-tahap dalam Theraphy Kelompok Tahap 1:Tahap ini dimana therapist membentuk hubungan kerja dengan para anggota kelompok. Tujuannya ialah agar para anggota saling mengenal, mengetahui tujuan serta membiasakan diri untuk melakukan diskusi kelompok. Tahap 2:Terutama tercapainya transference dan perkembangan identitas kelompok. Transference ialah suata perilaku atau keinginan seorang pasien (misalnya si A) yang seharusnya ditunjuk kepada seseorang lain (misalnya si B) tetapi dialihkan kepada orang lain lagi (Si C, misalnya therapist). Contoh: perilaku seorang
pasien
yang
seharusnya
ditunjukan
kepada
orangtuanya tapi didalam kenyataannya dialihkan kepada therapist. Perkembangan identitas kelompok ialah tercapainya
23
suatu “sense of belonging” atau rasa menyatu dan berdasarkan kesatuan itu mereka mempunyai kesamaan dalam problem atau kesamaan dalam konflik ini makin memberikan ikatan diantara kelompok. Tahap 3:Disebut tahap mutualisis (saling menganalisa), yaitu setiap orang akan mendapat informasi atau reaksi atas apa yang sudah
dikemukakan.
Dengan
mendapat
reaksi
yang
bermacam-macam, maka kelompok juga dapat mengambil kesimpulan reaksi mana yang benar. Dengan demikian setiap orang akan mendapat koreksi atau kesan kelompok secara umum atas tingkah lakunya. Tahap Perkembangan Kelompok Berdasarkan Perasaan Peserta Menurut Judith Haber perkembangan kelompok dibagi menjadi 4 tahap: 1) Tahap Ketidakpastian; Pada fase ini terdapat banyak keluhan yang dirasakan oleh anggota kelompok diantara keraguan-raguan, perasaan tidak cocok diantara anggota, rasa permusuhan diantara pemimpin. Pada fase ini anggota sering merasa bahwa setiap komentar atau interprestasi pemimpin adalah kritikan terhadap mereka, sehingga pemimpin harus sering mengingatkan pada kelompok bahwa yang dikatakannya hanyalah merupakan suatu komentar bukan suatu kritikan. 2) Tahap Overagresif; Pada fase ini perselisihan sering diabaikan oleh kelompok dan pemimpin. Rasa tertarik mulai mulai muncul pada anggota kelompok yang sekaligus merupakan membawa rasa takut bagi mereka. Rasa tertarik ini mungkin merupakan awal terbentuknya suatu hubungan intim, dan hal ini merupakan suatu yang dibenci oleh sebagian besar klien dengan terapi kelompok. 3) Tahap Regresi; Regresi tidak muncul dari suatu keinginan untuk memanipulasi orang lain secara sepontan. Pertama anggota merasa cemas dan ada keinginan untuk meninggalkan anggota yang regres. Sehingga saat ini penting bagi pemimpin untuk bertindak dan
24
menanyakan pada anggota yang mengalami regres tentang apa yang dialaminya sehingga memudahkan pemimpin untuk mengarahkan perilakunya kepada kenyataan. 4) Tahap Adaptasi; Pada tahap ini anggota kelompok mulai menerima anggota lain terhadap kelemahan dan kecacatan, sementara tingkah laku kepada yang lainnya dapat diterima. Hal ini tidak berarti anggotaanggota dalam fase ini tidak merespon kepada yang lain secara irasional, jika hal ini terjadi, keefektifan terapi kelompok akan menurun secara drastic, dengan demikian pemimpin harus mengontrol kelompok tersebut secara terus menerus sehingga konflik akan terhindari. Peran Perawat dalam Terapi Kelompok 1)
Bertindak sebagai moderator atau pengawas diskusi kelompok
2) Mengevaluasi diskusi kelompok untuk menambah pengalaman theraphy kelompok. 3)
Mengadakan pendekatan pada kelompok secara efektif.
4)
Memotivasi penderita agar aktif dalam kegiatan yang dilakukan.
5)
Menciptakan suasana therapeutik.
6) Memberikan kesempatan pada penderita untuk berkerja sama antara penderita dengan penderita dengan perawat. 7) Memberikan bimbingan dan pengarahan pada penderita yang pasif dan hiperaktif. Keuntungan Terapi Kelompok 1) Dapat mengobati klien dalam jumlah banyak. 2) Anggota kelompok dapat mendiskusikan masalah-masalah mereka, sehingga menurunkan perasaan terisolasi, perbedaan-perbedaan, dan meningkatkan klien untuk berpartisipasi dan bertukar pikiran, masalah dengan orang lain. 3) Memberikan kesempatan kepada klien untuk untuk menggali gayagaya berkomunikasi dari klien dalam lingkungan yang aman dan mampu menerima umpan balik dari orang lain.
25
4) Anggota kelompok dapat belajar bermacam cara dalam memecahkan masalah, serta dapat membantu memecahkan masalah orang lain. 5) Anggota kelompok dapat belajar peranannya dalam kelompok (sebagai anggota, pembantu therapist). 6) Kelompok dapat menimbulkan pemahaman/pengertian, konfrontasi, identifikasi, kelompok rujukan. Kekurangan Terapi Kelompok 1) Kehidupan pribadi klien tidak terlindungi. 2) Klien mengalami kesulitan dalam mengungkapkan masalahnya karena berbeda keyakinan/sulit dalam berkomunikasi, tidak mau berubah. 3) Jika therapist menyelenggarakan secara individual. Metode Terapi Kelompok Menurut Robinson, metode terapi kelompok terbagi : 1) Kelompok deduktif; Metode ini mempunyai tujuan memberikan pemahaman intelektual mengenai suatu masalah kepada anggota yang mengikuti terapi kelompok dengan Teknik pemberian materi. 2) Kelompok social theurapeutic; Metode ini bermanfaat untuk menghasilkan identifikasi, dorongan, penerimaan, pemahaman, dan penentraman untuk orang-orang yang menderita penyakit fisik dan emosional, misalnya terapi untuk alkoholik. 3) Kelompok Inspirasi Refresif; Metode ini meliputi berbagai bidang, tetapi pada pokoknya bergantung pada seorang pimpinan yang kuat dan otoriter, yang memberikan situasi yang tersusun tetap, membangkitkan perasaan berkelompok dan respon kelompok. 4) Psiko drama; Suatu metode dimana berbagai macam bentuk kepribadian, hubungan interpersonal, konflik-konflik dan problema emosional, diekspresikan atau digali melalui dramatisasi. 5) Kelompok Interaksi Bebas; Meliputi berbagai macam bentuk seperti terapi kelompok analitik, Analisa kelompok, dan terapi psikoanalitik.
26
Faktor-faktor yang Bersifat Kuratif dalam Terapi Kelompok (Yalom) 1) Imparting of information; Penggunaan informasi
yang telah
direncanakan terstruktur, disertai alat bantu pengajaran dengan membahas topik-topik tertentu. 2) Instillastion of hope; Membantu klien untuk mempertahankan kejujuran dalam situasi terapetik ditumbuhkan harapan-harapan kea rah optimistic sehingga klien yakin bahwa dirinya akan sembuh. 3) Universality; Klien dijaga dari perasaaan yang berbeda dari orang lain dalam kelompok klien mulai merasa kurang isolasi dan lebih menyukai orang lain. Perasaan ini memberikan kekuatan pada klien untuk belajar bahwa orang lain dalam kelompok memiliki masalah-masalah yang sama dalam dirinya. 4) Altruism; Proses dimana klien dibantu atau membantu orang lain. Tindakan membantu orang lain ini menjadi sifat terapeutik yaitu meningkatkan rasa harga diri klien. 5) Development of socializing techniques; Kemampuan bersosialisasi ada kaitannya dengan keberhasilan hubungan interpersonal di masyarakat. Teknik-teknik yang dipergunakan dalam terapi kelompok untuk mengembangkan kemampuan sosialisasi klien diharapkan setelah berakhirnya terapi kelompok dapat memiliki kemampuan yang lebih dalam sosialisasi dibandingkan dengan sebelumnya. Teknik ini adalah role-playing dan umpan balik. 6) The correcting recapitulation of primary family group; Klien didalam terapi mempersepsikan anggota kelompok sebagai saudara-saudaranya didalam suatu keluarga dan prilaku dari therapist sebagai orangtuanya. 7) Imitavi behaviour; Yaitu mencontoh perilaku-perilaku yang sehat dari anggota keluarga dari anggota lain atau therapist dan terus dikembangkan. 8) Interpersonal learning; Hasil dari therapy kelompok dapat ditransfer pada kelompok-kelompok lain. 9) Group Cohesiver: Membentuk solidaritas atau keterkaitan, merasa memiliki dengan ungkapan kita dan bukan saja hal ini tergambar dari
27
kehadiran dalam kelompok dan kemampuan dalam mengekspresikan secara positif dan negative kepada orang lain tanpa integrasi kelompok. 10) Catharis: Yaitu mengekspresikan perasaan-perasaan melibatkan emosi-emosi yang dalam. Evaluasi dalam Terapi Kelompok a) Input
: Persiapan, penyelesaian klien, tempat, dan setting ruangan.
b) Proses
: Peran therapist disesuaikan dengan perencanaan. Pelaksanaan kegiatan aktivitas kelompok.
c) Hasil
: Dapat dinilai melalui format evaluasi.
Evaluasi tersebut dapat kita ambil menjadi evaluasi secara subjektif dan objektif. Secara subjektif, anggota kelompok merasa telah menemukan tujuan hidupnya dalam lingkup kelompok tersebut. Sedangkan secara objektif dapat dilihat dari adanya perubahan tingkah laku yang dialami yang merupakan hasil pengalaman mereka dalam berkelompok dan sumbangan peran dari anggota kelompok itu.
28
C. TERAPI KELUARGA a. Konsep Terapi Keluarga Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Umumnya,keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Oleh karena itu asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan klien tetapi bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan keluarga tersebut. Perawat membantu keluarga agar dapat/mampu melakukan lima tugas kesehatan : 1. Mengenal masalah kesehatan 2. Membuat keputusan tindakan kesehatan 3. Memberi perawatan pada anggota yang sehat 4. Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat 5. Menggunakan sumber yang ada dalam masyarakat. (Bailon dan Maglaya, 1978) 1) Tujuan Terapi Keluarga Pentingnya perawatan dilingkungan keluarga dapat dipandang dari berbagai segi yaitu: keluarga merupakan suatu konteks dimana individu memulai
hubungan
nilai,kepercayaan,sikap,
interpersonal. dan
perilaku
Keluarga klien
mempengaruhi (Clemen
dan
Buchaman,1982:171). Sedangkan Spradey (1985) mengemukakan bahwa keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi kasih sayang,rasa aman,rasa memiliki, dan menyiapkan peran dewasa individu di masyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka gangguan jiwa pada satu anggota keluarga akan mengganggu semua sistem atau keadaan keluarga. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa pada anggota keluarga. Dari kedua pernyataan diatas, dapat disimpulkan betapa pentingnya peran keluarga pada peristiwa terjadinya gangguan jiwa dan proses penyesuaian kembali setelah selesai
29
program perawatan. Oleh karena itu keterlibatan keluarga dalam perawatan sangat menguntungkan proses pemulihan klien. 2) Model Terapi Keluarga Pada saat sekarang ini kegiatan terapi keluarga telah dikembangkan beberapa pendekatan berupa model-model terapi keluarga, diantaranya: a. Teori Konsep Bowen 1) Pembeda diri : menentukan bagaimana hubungan emosional dibentuk dan bagaimana perkembangannya dari tiap individu. Misalnya : mengenali siapa saya? Apa peran saya? Hal apa yang membedakan saya dengan anggota keluarga lainnya? ( umur,tugas,tanggung jawab,kebutuhan) dalam keluarga. 2) Triangle dibentuk dari beberapa sistem emosi dan respon emosional automatik dalam keluarga yang digunakan untuk mengatur dan meredam kecemasan dalam berhubungan. Menggali bagaimana peran segi tiga : Ayah,Ibu dan Anak agar dapat mencapai keseimbangan dan rasa aman dalam keluarga. 3) Dinamik (bergerak) : proses perpindahan beberapa generasi suatu keluarga. Isu dan masalah dapat berubah dari satu generasi ke generasi lain begitu pula pola dari hubungan. Menggali apa masalah dominan generasi kakek,apa masalah dominan generasi ayah ibu, apa masalah dominan anak-anak sekarang, apa potensi masalah generasi berikutnya? Misalnya penyebab kecemasan keluarga adalah adanya masalah warisan yang belum selesai pada generasi kakek. Masalah yang belum selesai pada generasi ayah ibu adalah adanya pernikahan yang melanggar adat atau tabu. Masalah dominan pada generasi anak adalah masalah narkoba. 4) Posisi sibling adalah seorang anggota keluarga ada perhatian pada sibling lainnya. Peran perawat menggali adakah dalam keluarga tersebut suasana pilih kasih yang dirasakan oleh anak tertentu? Adakah seseorang yang merasa mendapat perhatian lebih atau sangat kurang dibanding anak lainnya? Misalnya sistem keluarga menjadi terganggu setelah perhatian ibunya tercurah pada anak
30
yang baru lahir sehingga terjadi pergeseran peran sebelumnya dan terganggunya seluruh sistem keluarga. 5) Sistem emosi nuclear family berarti pengkajian diarahkan pada pola dari interaksi keluarga yang meliputi ayah,ibu,dan anak tanpa ada pihak keluarga lain. Sehingga bentuk perhatian, kasih sayang, komunikasi lebih terfokus pada keluarga inti. Perawat mencoba menganalisa siapa
sebenarnya keluarga inti dan mencoba
mengesampingkan anggota keluarga lain yang bukan keluarga inti. a) Emosional dihambat : antara keluarga inti mencoba untuk berlatih menahan amarah,merubahnya menjadi ungkapan kasih sayang dan saling perhatian. Perawat mencoba memusatkan pada upaya agar keluarga tidak bersifat emosional tetapi memecahkan konflik dengan cara hangat dan intim. b) Proses proyeksi keluarga : menggambarkan suatu kecemasan tentang isu yang ditransfer melalui suatu generasi. Fokus telaahan dimana masalah yang belum tuntas pada suatu generasi mungkin diwariskan pada generasi berikutnya. Masalah yang diwariskan dari generasi sebelumnya coba dianalisa oleh keluarga inti serta dampaknya pada keluarga inti dengan difasilitasi perawat. 3) Terapi Struktur Keluarga a. Model terapi ini pada mulanya dikembangkan oleh Minuchin. Konsep keluarga sebagai suatu sistem sosiokultural terbuka digambarkan sebagai sarana dalam memenuhi kebutuhan adaptasi. Fungsi keluarga berkurang apabila kebutuhan individu dan anggota keluarga lain dijumpai maldaptif dan tidak bisa saling menyesuaikan. Misalnya penyesuaian
pola
makan
dari
latar
belakang
suami,isri,keponakan,bibi/anggota keluarga lain yang berbeda, penyesuaian
kondisi
lingkungan
dari
background
yang
berbeda,penyesuaian komunikasi dari pola asuh sebelumnya yang berbeda.
31
b. Fokus dari terapi struktur ini adalah perubahan adaptasi dari maladaptif menjadi adaptif/ perubahan pola untuk memudahkan perkembangan.
Untuk
usaha
terapi
meliputi
hubungan
keluarga,evaluasi struktur dasar keluarga. Kemampuan dan upaya seluruh anggota keluarga untuk saling menerima perbedaan dan saling memahami karakter 4) Strategi Terapi Keluarga Nama Jay Harley erat hubungannya dengan model ini. Dasar dari ajaran teori komunikasi adalah sebagai berikut : Semua tingkah laku adalah komunikasi.Terapi ini dapat dilakukan oleh klien maupun anggota keluarga lainnya. Gambaran terperinci dari problem dan penentuan tujuan keluarga dalam pengobatan merupakan langkah pertama dalam terapi.
Strategi Terapi meliputi: a. Reframing dimana problem ditegaskan kembali oleh ahli terapi/ orang yang melakukan terapi sebagai seseatu yang dibutuhkan keluarga. Contohnya : problem yang mengandung arti positif merupakan suatu tipe Reframing yang spesifik, dikembangkan untuk mengartikan suatu masalah. b. Pengendalian perubahan, contoh : keluarga diminta untuk melaksanakan beberapa tindakan dan target untuk mengatasi masalah dalam beberapa minggu. Misalnya yang biasa tidak mencuci baju sendiri belajar untuk mencuci baju sendiri belajar untuk mencuci baju. c. Paradok ( kotradiksi/pesan bertentangan) contoh : pertentangan keluarga yang tinggi akan menyebabkan perubahan suatu respon. Anggota keluarga yang biasanya dominan, mencoba untuk tidak dominan, yang biasa mengatur berupaya untuk belajar diatur, yang biasa banyak bicara berusaha untuk mendengar dan sebagainya.
32
5) Tahap Dalam Terapi Keluarga Peran dan fungsi perawat tergantung pada pendekatan terapi seperti dinyatakan pada beberapa model terapi.aspek umum dari terapi meliputi : a. Permulaan hubungan dan menjalin trust. b. Pengkajian dan perencanaan. c. Implementasi dan tahap kerja d. Evaluasi dan terminasi. Perawatan yang disiapkan sebagai anggota tim yang melaksanakan intervensi keluarga / melaksanakan psiko Education bekerja dibawah pengawasan dan petunjuk dari perawat spesialis klinik psikiatrik atau spesalis kesehatan mental lainnya yang sudah terlatih dan berpengalaman dalam terapi keluarga. b. Peran Perawat Dalam Terapi Keluarga Dengan bantuan perawat, keluarga diharapkan mempunyai kemampuan mengatasi maslah dan memelihara stabilitas dari status kesehatan semaksimal mungkin. Newman menjelaskan strategi intervensi perawatan keluarga yang lebih fokus kepada prevensi primer dn tersier, seperti : 1.
Mendidik kembali dan mengorientasi kembali seluruh anggota keluarga misalnya perawat menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga.
2.
Memberikan dukungan kepada klien serta sistem yang mendukung klien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat meyakinkan bahwa keluarga klien mampu memecahkan masalah yang dihadapi anggotanya.
3.
Mengordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawat menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerjasama dengan keluarga dan siapa yang bisa diajaka konsultasi.
4.
Memberi pelayanan prevensi primer,sekunder, dan tersier lalu penyuluhan, perawatan dirumah,pendidikan,dan sebagainya. Bila
33
ada anggota keluarga yang kurang memahami perilaku sehat didiskusikan / bila ada keluarga yang membutuhkan perawatan. Proses perawatan yang melibatkan klien dan keluarga akan membantu proses intervensi dan menjaga agar klien tidak kambuh kembali setelah pulang. Khussu untuk keluarga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa,sangat penting merencanakan pulang klien dengan keluarganya. Jiip dan Sine (1986) mengemukakan tujuan rencana pulang klien sebagai berikut : 1.
Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik dan sosial serta psikologis.
2.
Meningkatkan kemandirian klien dan keluarga.
3.
Menyelenggarakan rentang perawatan antara rumah sakit dan masyarakat.
4.
Melaksanakan proses pulang yang bertahap.
Perawat mengkaji indikasi Terapi Keluarga Terapi keluarga berguna untuk klien yang : 1. Segan terhadap psikoterapi individu karena takut, tidak percaya pada terapi,menentang keras terapi,melawan figur orang tua. 2. Tidak/kurang
berpengalaman
dengan
saudara-saudaranya
mempunyai pertentangan dengan anggota keluarga lain tidak/sukar menyesuaikan diri dalam keluarga. 3. Ada salah satu anggota keluarga yang mempunyai intelegensi rendah/ komunikasi keluarga yang terhambat.
34
Melibatkan keluarga dalam mencagah klien kambuh. Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “ perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara/usaha yang diperlukan klien. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan dirumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali ( kambuh). Peran serta keluarga awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien dirumah sehingga kemungkinan dapat dicegah. Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama,keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “ institusi “ pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchnan, 1982:171). Individu menguji coba perilakunya didalam keluarga,dan umpan balik keluarga mempegaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan dimasyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota merupakan salah satu anggota, dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan slaha satu penyebab gangguan pada anggota. Layanan kesehatan jiwa yang ada merupakan fasilitas yang membantu klien dan keluarga dalam mengembangkan kemampuan mencegah terjadinya masalah, menanggulangi berbagai masalah dan mempertahankan keadaan adaptif. Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien dirumah ( Sullinger,1988). Menurut Sullinger (1988) dan Carson/Rose (1987) klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua,
35
dan 100% pada tahun ke lima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama dirumah atau dimasyarakat. Peran keluarga dalam mencegah kekambuhan klien. Empat fektor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat dirumah sakit, menurut Sullinger (1988) : 1. Klien sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara
teratur
mempunyai
kecenderungan
umtuk
kambuh.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25%-50% klien yag pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur (appleton (1982) dikutip oleh Sullinger (1988)). 2. Dokter (pemberi resep). Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh,namun pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. Dokter
yang
memberi
resep
diharapkan
tetap
waspada
mengidentifikasi dosis terapeutik yang dapat mencegah kambuh dan efek samping. 3. Penanggung jawab klien. Setelah klien pulang ke rumah maka perawat Puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah. 4. Keluarga. Berdasarkan penelitian di inggris (Vaugh,1976) dan di AS (Synder,1981) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan,mengkritik,banyak melibatkan diri dengan klien diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan, hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat,menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga klien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress.
36
Herz dan Menville (1980,dikutip oleh Sullinger, 1988) mengkaji beberapa gejala kambuh yang diidentifikasi oleh klien dan keluarganya, yaitu : 1. Nervous 2. Tidak nafsu makan 3. Sukar konsentrasi 4. Sulit tidur 5. Depresi 6. Tidak ada minat 7. Menarik diri Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan lanjutan pada puskesmas diwilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai “ ruangan perawatan”. Perawat, klien,dan keluarga besar sama untuk membantu proses adaptasi klien didalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care dipuskesmas. Contoh jadwal kunjungan rumah Minggu pertama = 2x perhari Minggu kedua = 1x perhari Minggu ketiga = 3x perminggu Minggu keempat =2x perminggu Bulan kedua- 6 bulan selanjutnya =1x perminggu Contoh jadwal after care Bulan pertama = 2x perbulan,ditemani dengan keluarga Bulan kedua =2x perbulan,diantar kendaraan Bulan ketiga = 2x perbulan, sendirian Selanjutnya = 1x perbulan,sendirian 37
Jadwal kunjungan rumah dan after care dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan klien. Perawat menbantu klien dan keluarga menyesuaikan diri dilingkungan kemampuan
keluarga,dalam memecahkan
hal
sosialisasi,perawatan
masalah.
Perawat
dapat
mandiri
dan
memantau
dan
mengidentifikasi gejala kamnuh dan segera melakukan tindakan sehingga dapat dicegah perawatan kembali dirumah sakit. Peran keluarga dalam terapi 1. Membuat suatu keadaan dimana anggota keluarga dapat melihat bahaya terhadap diri klien dan aktifitasnya. a. Mengurangi rasa takut b. Memberikan arahan c. Menolong mereka dapat merasa senang dengan proses terapinya d. Menerima keahlian dan melakukan perannya dengan baik 2. Tidak merasa takut dan mampu dapat bersikap terbuka. a. Menyusun pertanyaan untuk membantu mengurangi rasa takut b. Menguatkan anggapan anggota dan menanyakan anggapan individu c. Mendapatkan fakta tentang rencana proses,kelemahan dalam rencana
persepsi
pribadi
dan
orang
lain,persepsi
peran,komunikasi yang baik dan tekniknya perasaan seksual dan aktivitas d. Merespon dengan keyakinan hati anggota 3. Membantu anggota bagaimana memandang orang lain. a. Observasi sharing bagaimana anggota memanifestasi dirinya b. Mengajarkan anggota bagaimana mengobservasi sharing mereka dengan orang lain c. Menanyakan video tape/ audio visual yang mendukung visi keluarga. 4. Bertanya dan memberikan informasi tak berbelit, memudahkan dalam memberi dan menerima informasi yang memudahkan bagi anggota keluarga, untuk melakukannya.
38
5. Membangun self esteem. a. Dengan menyertakan “ saya menghargai kamu “ b. Mencantumkan sesuatu yang berharga dari seseorang c. Ajukan pertanyaan yang dapat dijawab anggota keluarga d. Menekankan bahwa ahli terapi dan anggota keluarga sanggup belajar dari terapi e. Merespon sebagai seseorang yang mengerti/ sungguh-sungguh dapat mengevaluasi f. Tidak ada pencapaian hasil yang lalu g. Menanyakan anggota keluarga yang lain, apakah klien dapat membawa kebahagiaan bagi anggota keluarga 6. Menurunkan ancaman dengan latar belakang aturan untuk interaksi. a. Melihat kembali aturan dirumah dimana semua anggota berpartisipasi b. Demokratis c. Meyakinkan bahwa tidak ada orang yang membicarakan atau menyinggung orang lain d. Menolong setiap orang berbicara dengan benar sehingga orang lain dapat mendengar e. Menggunakan pendekatan humor f. Menciptakan ketenangan untuk kontrol 7. Menurunksn ancaman dengan struktur pembahasan yang sistematis. a. Memberitahukan tujuan dengan jelas sampai akhir terapi atau batas waktu untuk reevaluasi b. Memperlihatkan keluarga sebagai suatu kesatuan bukan bagian c. Melihat
bagian
atau
sub
sistem
dari
keluarga
menyelesaikan pekerjaan dengan baik d. Menurunkan ancaman e. Diskusikan marah dan ketersinggungan secara terbuka
39
untuk
8. Pendidikan ulang anggota untuk bertanggung jawab. 1) Mengingatkan anggota keluarga bahwa mereka dapat merubah diri mereka sendiri 2) Keterbukaan antar anggota keluarga. D. TERAPI OKUPASI DAN REHABILITASI a) Pengertian Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan Purwanto, 2009). b) Tujuan terapi okupasi Adapun tujuan terapi okupasi menurut Riyadi dan Purwanto (2009), adalah: a. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental. 1) Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat mengembangkan kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan masyarakat sekitarnya. 2) Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar. 3) Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya. 4) Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan terapi. b. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi, otot dan koordinasi gerakan. c. Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAK, BAB dan sebagainya. d. Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin di rumah. e. Meningkatkan
toleransi
kerja,
memelihara
dan
meningkatkan
kemampuan yang dimiliki. f. Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk mengetahui kemampuan mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan bersosialisasi, bakat, minat dan potensinya.
40
g. Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali di lingkungan masyarakat. c) Aktivitas Muhaj (2009), mengungkapkan aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi, sangat dipengaruhi oleh konteks terapi secara keseluruhan, lingkungan, sumber yang tersedia, dan juga oleh kemampuan si terapi sendiri (pengetahuan, keterampilan, minat dan kreativitasnya). a. Jenis Jenis kegiatan yang dapat dilakukan meliputi: latihan gerak badan, olahraga, permainan tangan, kesehatan, kebersihan, dan kerapian pribadi, pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti dengan mengajarkan merapikan tempat tidur, menyapu dan mengepel), praktik pre-vokasional, seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain), rekreasi (tamasya, nonton bioskop atau drama), diskusi dengan topik tertentu (berita surat kabar, majalah, televisi, radio atau keadaan lingkungan) (Muhaj, 2009). b. Aktivitas Aktivitas adalah segala macam aktivitas yang dapat menyibukan seseorang secara produktif yaitu sebagai suatu media untuk belajar dan berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan emosional maupun fisik. Oleh karena itu setiap aktivitas yang digunakan harus mempunyai karakteristik sebagai berikut: a.
Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas. Jadi, bukan hanya sekedar menyibukkan klien.
b.
Mempunyai arti tertentu bagi klien, artinya dikenal oleh atau ada hubungannya dengan klien.
c.
Klien harus mengerti tujuan mengerjakan kegiatan tersebut, dan apa kegunaanya terhadap upaya penyembuhan penyakitnya.
d.
Harus dapat melibatkan klien secara aktif walaupun minimal.
e.
Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi klien, bahkan harus dapat meningkatkan atau setidaknya memelihara kondisinya.
41
f.
Harus dapat memberi dorongan agar klien mau berlatih lebih giat sehingga dapat mandiri.
g.
Harus sesuai dengan minat, atau setidaknya tidak dibenci olehnya.
h.
Harus
dapat
dimodifikasi
untuk
tujuan
peningkatan
atau
penyesuaian dengan kemampuan klien. d) Indikasi terapi okupasi Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa indikasi dari terapi okupasi sebagai berikut: a.
Klien dengan kelainan tingkah laku, seperti klien harga diri rendah yang disertai dengan kesulitan berkomunikasi.
b.
Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga reaksi terhadap rangsang tidak wajar.
c.
Klien yang mengalami kemunduran.
d.
Klien dengan cacat tubuh disertai gangguan kepribadian.
e.
Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas.
f.
Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung daripada membayangkan.
e)
Karakteristik aktivitas terapi Riyadi dan Purwanto, (2009), mengemukakan bahwa karateristik dari
aktivitas terapi okupasi, yaitu: mempunyai tujuan jelas, mempunyai arti tertentu bagi klien, harus mampu melibatkan klien walaupun minimal, dapat mencegah bertambah buruknya kondisi, dapat memberi dorongan hidup, dapat dimodifikasi, dan dapat disesuaikan dengan minat klien. f)
Analisa aktivitas Riyadi dan Purwanto (2009), menyatakan bahwa analisa dari kegiatan
terapi okupasi, meliputi: jenis kegiatan yang dilakukan seperti latihan gerak badan atau pekerjaan sehari-hari, maksud dan tujuan dari kegiatan dilakukan dan manfaatnya bagi klien, sarana atau alat atau aktivitas dilakukan disesuaikan dengan jenis kegiatan yang dilakukan, persiapan terhadap sarana pendukung dan klien maupun perawat, pelaksanaan dari kegiatan yang telah direncanakan, kontra indikasi dan disukai klien atau
42
tidak disukai yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh klien. g) Proses terapi okupasi Adapun proses dari terapi okupasi, sebagai berikut: a. Pengumpulan data, meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis, perilaku dan kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah. b. Analisa data dan identifikasi masalah dari data yang telah dikaji ditegakkan diagnosa sementara tentang masalah klien maupun keluarga. c. Penentuan tujuan dan sasaran dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. d. Penentuan aktivitas jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan tujuan terapi. e. Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggungjawab, kerjasama, emosi dan tingkah laku selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan kembali kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi dilakukan secara periodik, misalnya 1 minggu sekali dan setiap selesai melaksanakan kegiatan. h) Pelaksanaan Terapi Terapi okupasi dapat dilakukan secara individu maupun kelompok tergantung dari kondisi klien dan tujuan terapi. a. Metode 1) Individual: dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi dengan kelompok dan klien lain yang sedang menjalani persiapan aktivitas. 2) Kelompok: klien dengan masalah sama, klien yang lama dan yang memiliki tujuan kegiatan yang sama. Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang (Keliat dan Akemat, 2005). Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2001, dalam Keliat dan Akemat, 2005) adalah 7-10 orang, Rawlins, Williams, dan Beck (1993, dalam Keliat dan Akemat, 2005) menyatakan jumlah anggota kelompok adalah 5-10
43
orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi. Johnson (dalam Yosep, 2009) menyatakan terapi kelompok sebaiknya tidak lebih dari 8 anggota karena interaksi dan reaksi interpersonal yang terbaik terjadi pada kelompok dengan jumlah sebanyak itu. Apabila keanggotaanya lebih dari 10, maka akan terlalu banyak tekanan yang dirasakan oleh anggota sehingga anggota merasa lebih terekspos, lebih cemas, dan seringkali bertingkah laku irrasional. b. Waktu Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap kegiatan dibagi menjadi 2 bagian, pertama: ½-1 jam yang terdiri dari tahap persiapan dan tahap orientasi, kedua: 1-1/2 jam yang terdiri dari tahap kerja dan tahap terminasi (Riyadi dan Purwanto, 2009). a) Konsep Rehabilitasi 1. Pengertian rehabilitasi Rehabilitasi adalah seperangkat tindakan sosial, edukasi, prilaku dan kognitif untuk meningkatkan fungsi kehidupan pasien gangguan jiwa dan berguna untuk proses penyembuhan (Barton, 1999 dikutip dari Stuart & Laraia, 2005). Berbagai tindakan berupa terapi yang dikemas berguna untuk meningkatkan fungsi hidup pasien gangguan jiwa secara optimal sehingga mereka dapat hidup, belajar dan bekerja di masyarakat. 2. Prinsip terapi rehabilitasi Agar pasien gangguan jiwa dapat hidup, belajar, dan bekerja dan berpartisipasi penuh di masyarakat, maka diharapkan dapat dipenuhi empat aspek yang penting: a. Faktor internal pasien Semua faktor yang terkait dengan pasien yaitu kesadaran pasien akan masalahnya, keinginan untuk berubah, dan kemampuan memutuskan tindakan yang diperlukan untuk proses penyembuhan. b. Kemampuan merawat diri
44
Kemampuan pasien merawat dirinya sendiri dan menghadapi masalah kehidupan yang mungkin terjadi. c. Faktor eksternal pasien Semua dukungan sosial yang disediakan oleh keluarga, teman, tenaga kesehatan yang ada disekeliling mereka yang dapat membantu untuk menyelesaikan masalah dan proses penyembuhan. d. Pemberdayaan pasien Pemberdayaan pasien dilakukan dengan menggunakan dukungan social yang ada terhadap kemampuan yang dimiliki oleh pasien untuk dapat melakukan kegiatan hidup sehari-hari, belajar, dan bekerja. Prinsip pertama, kedua dan ketiga telah dilakukan melalui asuhan keperawatan pasien gangguan jiwa dengan memberdayakan pasien dan keluarga, dan telah dilaksanakan pada BC-CMHN. Pada modul ini akan dikembangkan pemberdayaan masyarakat untuk membantu peningkatan fungsi pasien dalam bentuk kegiatan rehabilitasi yang disediakan di masyarakat. 3.
Bentuk terapi rehabilitasi Terapi rehabilitasi bertujuan memampukan pasien gangguan jiwa melakukan aktivitas hidup sehari-sehari secara mandiri. Terapi rehabilitasi terdiri dari keterampilan hidup (living skills), keterampilan belajar (learning skills), dan keterampilan bekerja (working skills) (Anthony, 1999 dikutip dari Stuart & Laraia, 2005). a. Keterampilan hidup Yang termasuk keterampilan hidup adalah melakukan kebersihan diri (berdandan, mandi, buang air besar/BAB, dan buang air kecil/BAK), makan, minum, membersihkan rumah (menyapu rumah dan halaman rumah, mengepel lantai, dan membersihkan kaca), mempersiapkan makan dan membesihkan alat-alat makan, memasak, mengatur uang belanja, menyusun rencana kegiatan sehari-hari, melakukan percakapan dengan anggota keluarga, dan melakukan olah raga mandiri. Keterampilan hidup yang akan diuraikan pada modul ini
45
adalah
keterampilan
memasak
(untuk
pasien
wanita),
dan
keterampilan membersihkan rumah (untuk pasien laki-laki). b. Keterampilan belajar Yang termasuk keterampilan belajar adalah membaca, menulis, dan berhitung. Karena keterampilan-keterampilan tersebut umumnya dilatih pada pasien anak, maka pada modul ini keterampilan belajar tidak diuraikan lebih rinci. c. Keterampilan bekerja Keterampilan bekerja adalah kemampuan individu melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, seperti bertani, berkebun, bertambak, dan melakukan kerajinan tangan (menyulam atau menganyam). Keterampilan bekerja merupakan ujung tombak terapi rehabilitasi pasien gangguan jiwa, karena dengan menguasai keterampilan bekerja
inilah umumnya pasien merasa telah
diberdayakan secara optimal. b) Perencanaan Terapi Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa Pada tahap ini, yang perlu saudara lakukan adalah 1. Menyeleksi pasien Proses ini melibatkan KKJ dalam menentukan apakah pasien yang tinggal di Desa Siaga Sehat Jiwa dapat mengikuti terapi rehabilitasi, berdasarkan kriteria sebagai berikut: a. Pasien tergolong pasien mandiri b. Mampu berkomunikasi dengan orang lain c. Memiliki orientasi realita yang cukup baik, baik orientasi waktu, tempat, dan orang d. Mampu melakukan aktivitas fisik secara mandiri, seperti duduk, berdiri, dan berjalan. e. Memiliki kebersihan diri yang baik
46
2. Menentukan tempat (lokasi) terapi rehabilitasi Dalam menentukan tempat terapi rehabilitasi, saudara perlu berdiskusi dengan tokoh masyarakat dan KKJ yang ada di Desa Siaga Sehat Jiwa. Tempat yang mungkin digunakan adalah meunasah, balai pertemuan warga, atau rumah seorang warga. 3. Menentukan waktu pelaksanaan terapi rehabilitasi Diharapkan terapi rehabilitasi dilaksanakan minimal dua minggu sekali,selama 1,5-2 jam setiap kali pertemuan. Saudara perlu berdiskusi dengan KKJ untuk menentukan hari dan waktu terapi rehabilitasi. 4. Persiapan materi Saudara perlu berdiskusi dengan KKJ dan tokoh masyarakat dalam menentukan bentuk terapi rehabilitasi yang dapat diberikan di Desa Siaga Sehat Jiwa. Bentuk kegiatan ini harus mempertimbangkan kebutuhan pasien dan masyarakat sekitar, serta nilai-nilai dan kebiasaan yang dianut oleh masyarakat. Dibawah ini telah disusun kurikulum untuk empat macam kegiatan dalam melaksanakan terapi rehabilitasi di Desa Siaga Sehat Jiwa. Keempat bentuk kegiatan tersebut adalah : a. Latihan keterampilan memasak (untuk pasien perempuan) b. Latihan
keterampilan
menyulam/menganyam
(untuk
pasien
perempuan dan laki-laki) c. Latihan keterampilan membersihkan rumah/meunasah (untuk pasien laki-laki dan perempuan) d. Latihan keterampilan berkebun (untuk pasien laki-laki) Kurikulum Terapi Rehabilitasi untuk Pasien Perempuan di Desa Siaga Sehat Jiwa No Materi/Bentuk kegiatan terapi
Waktu Pelaksanaan
rehabilitasi
1.
Kerajinan tangan
Cara penyampaian
Minggu I
47
Penjelasan
Praktek
15 menit
60 menit
Memasak
Minggu III
15 menit
60 menit
2.
c)
Pelaksanaan Pada tahap ini saudara melaksanakan terapi rehabilitasi sesuai dengan
materi yang telah ditentukan sebelumnya. Materi yang dilatih ini dapat diulang beberapa kali sampai pasien dapat melakukan keterampilan yang dilatih tersebut secara mandiri. Disamping itu, keluarga perlu dilibatkan dalam pelaksanaan terapi rehabilitasi ini, agar keluarga dapat melatih pasien dirumah. d) Evaluasi Evaluasi kemampuan pasien Evaluasi kemampuan pasien dilakukan setiap kali selesai melaksanakan terapi rehabilitasi. e)
Pendokumentasian Pendokumentasian
dilakukan
setelah
Saudara
setiap
kali
selesai
melaksanakan terapi rehabilitasi untuk kelompok pasien gangguan jiwa.
48
E. TERAPI LINGKUNGAN a) Konsep Terapi lingkungan Manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan harus mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan berdampak pada kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang. Lingkungan dan situasi rumah sakit yang asing serta pengalaman perawatan yang tidak menyenangkan akan memberi pengaruh yang besar terhadap kemampuan adaptasi pasien dengan gangguan fisik dan gangguan mental. Lingkungan tersebut akan berpengaruh pula pada proses perawatan dirumah sakit, hal ini pada akhirnya akan menentukan keberhasilan perawatan dan pengobatan. Adanya kecenderungan lingkungan rumah sakit menjadi stressor bagi pasien seperti banyaknya keluhan masyarakat yang menyatakan rumah sakit bau alkohol, bau darah, bau obat, semerawut dengan lalu lalang pengunjung dan petugas kesehatan, warna yang monoton, udara yang terbatas dan limbah medis yang berbahaya. Hal tersebut bertolak belakang dengan tujuan penyembuhan pasien, dimana pasien yang sedang sakit membutuhkan suasana yang nyaman, sejuk, aman terhindar dari kebisingan, terhindar dari rasa sakit yang berlebihan, mendapatkan bau yang nyaman serta terhindar dari lalu lalang, karena pasien yang sedang mengalami kelemahan fisik dan kerusakan sel-sel tubuh membutuhkan waktu istirahat yang berfungsi untuk pemulihan dan proses floriferation sel yang rusak. Pasien harus terhindar dari kebisingan, crowding, membutuhkan temperature yang nyaman dan pencahayaan yang cukup. Dalam penerapan psikologi lingkungan harus memperhatikan interdisipliner ilmu-ilmu lain, misalnya dalam penatalaksanaan pasien yang mengalami gangguan mental perlu adanya kerjasama antara dokter, perawat, psikolog, dan ahli lingkungan sehingga dalam penatalaksanaan pasien dilakukan secara komprehensif.
49
Menurut ICN (1997) yang dikutip oleh Suhaemi (1997) bahwa pada tahun 2020 nanti di seluruh dunia akan terjadi pergeseran penyakit. Penyakit infeksi akan dapat dikendalikan, Aids akan terus menjadi masalah utama, masalah kesehatan mental akan menjadi “the global burdan of disease” (Micard dan Chaterina, 1998). Hal ini akan menjadi tantangan bagi “Public Health Policy” yang secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan mental seolah-olah bukan masalah. Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Live Year), diketahuilah bahwa gangguan mental psikiatrik merupakan masalah kesehatan utama secara international. Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik Indonesia yang tidak menentu menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan-gangguan mental dalam kehidupan manusia, pada saat ini terjadi peningkatan sekitar 20% (Antai Otong, 1994). Pasien gangguan mental seringkali mendapat isolasi sosial, diasingkan lingkungan, terbuang dari keluarga dan mendapat perlakuan fisik yang kurang manusiawi sehingga upaya-upaya dalam memodifikasi lingkungan menjadi sangat penting (Struat Sundeen, 1995). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bloom yang menyatakan bahwa 60% faktor yang menentukan status kesehatan seseorang adalah kondisi lingkungannya. Upaya
terapi
harus
bersifat
komprehensif,
holistik,
dan
multidisipliner. Selain terapi fisik (Farmakotherapy), terapi psikologis (psikotherapy), juga perlu mengupayakan optimalisasi aspek lingkungan melalui penerapan konsep-konsep psikologi lingkungan. Hal ini berarti pentingnya upaya-upaya memadukan konsep terapi dengan konsep psikologi lingkungan dalam mengupayakan kesembuhan pasien gangguan mental dan penyakit fisik lainnya.
50
Konsep Lingkungan dalam Keperawatan Mental Lingkungan telah di definisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan merujuk pada keadaan fisik, psikologis, dan sosial diluar batas sistem, atau masyarakat dimana sistem itu berada (Murray Z, 1985). Secara teori diidentifikasi bahwa sistem lingkungan sendiri terdiri dari sistem internal dan sistem eksternal. Sistem internal manusia terdiri atas jenis-jenis sub sistem yang meliputi biological,psicologycal, sosiologycal, dan spiritual. Sedangkan lingkungan eksternal meliputi; sesuatu diluar batas sistem internal seperti; udara, iklim, air, bangunan termasuk dintaranya hal yang tidak dapat diraba seperti; sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Menurut Murray, lingkungan eksternal juga mencakup; stimulus, objek, dan orang lain secara pribadi. Lingkungan diartikan sebagai lingkungan fisik dan psikologi, termasuk masyarakat. Lingkungan secara umum akan berkaitan erat dengan tujuan keperawatan karena mencakup status kesehatan
seseorang
yang
tidak
dapat
dipisahkan
dari
kondisi
lingkungannya. Menurut teori keperawatan lingkunga yang dikemukakan Florence Nightingale, meyakini bahwa udara yang bersih, sinar matahari yang cukup, serta lingkungan yang bersih, merupakan aspek penting untuk pemulihan kesembuhan seseorang. Berdasarkan pengalamannya dalam menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan llingkungan membuktikan bahwa ia dapat menurunkan angka kematian pada tentara korban perang crime (Crimean War) dari 42% menjadi 2% (Kalisch dan Kalisch, 1986). Ia menyatakan bahwa pasien-pasien yang ditempatkan dalam lingkungan yang bersih, udara yang cukup, kelembaban yang sesuai, bau yang wangi dapat mencegah kematian. Nightingale percaya bahwa tubuh manusia memiliki daya penyembuh dan tugas perawat beserta tim kesehatan hanyalah menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung penyembuhan alamiah tersebut. Konsep ini memfokuskan peran perawat dalam memodifikasi lingkungan fisik yang akan berdampak pada biokimiawi tubuh seperti kadar cortisone dan
51
adrenalin yang normal, serta berdampak pada psikologisklien seperti perasaan aman (safety need), terbebas dari kecemasan (anxiety). Memodifikasi lingkungan menurut Florence adalah sebagai berikut: a. Udara yang bersih (pure air) b. Air yang jernih dan sehat (pure water) c. Pembuangan yang aman dan memadai (efficient drainage) d. Keadaan lingkungan yang bersih (cleanline) e. Sinar matahari/cahaya yang cukup (light) Hasil penelitian mewujudkan bahwa suasana lingkungan yang lebih dikenal dan menyenangkan bagi pasien akan berpengaruh pada peningkatan kemampuanadaptasi pasien di rumah sakit. Penelitian Suryani (1999) di RSHS menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang kuat antara terapi lingkungan dengan kemampuan adaptasi pada pasien anak-anak selama perawatan dan mempermudah upaya perawatan di rumah sakit. Peneltian tersebut menunjukkan bahwa lingkungan yang dimodifikasi dengan prinisf terapeutik (milieu therapy) menyebabkan rata-rata hari perawatanmenjadi menurun. Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh hunsbreg (1984) menunjukkan bahwa terapi gabungan antara terapi lingkungan dan tehnik relaksasi menurunkan tingkat stress pasien. Pengertian terapi lingkungan (milieu therapy) Milieu therapy: is difined as the purposeful use of the environment for therapeutic purposes. Every interaction with the patient is seen as having potentially beneficial outcomes in promoting optimal functioning. (Wilson, 1992). Milieu is characterized by an equitable distribution of power in that individuals constructively influence their own treatment. There are open communication, structured activities, involvement of family and community, and adaptation of the environment to meet client’s developmental needs. The focus is on action and solving problem in every
52
day experiences. Aspects of the milieu include therapeutic relationship, the word environment, and rules and limits. (Clinton, Nelson, 1996). Terapi/pengobatan merupakan cara proses penyembuhan suatu gangguan yang disebabkan oleh sumber-sumber gangguan. Sumber-sumber yang bersifat terapeutik (dapat memberikan penyembuhan)dapat berupa orangorang lingkungan/benda-benda dan kegiatan-kegiatan yang yang membawa ke arah penyembuhan. Lingkungan merupakan kondisi dimana berpengaruh besar terhadap proses penyembuhan terutama pasien dengan gangguan jiwa. Terapi lingkungan adalah suatu tindakan penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa melalui manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Konsep-konsep tentang terapi lingkungan berasal
dari
“the
konsep-konsep
therapeutic
community”
yang
diperkenalkan oleh Maxwell jones yang digunakan dalam lingkungan rumah sakit. Terapi lingkungan (milieu therapy) berasal dari bahasa Perancis yang berarti perencanaan ilmiah dari lingkungan untuk tujuan yang bersifat terapeutik (mendukung kesembuhan). Pengertian lainnya adalah tindakan penyembuhan pasien melalui manipulasi dan modifikasi unsur-unsur yang ada pada lingkungan dan berpengaruh positif terhadap fisik dan psikis individu serta mendukung proses penyembuhan. Terapi/pengobatan merupakan cara atau proses penyembuhan suatu gangguan yang disebabkan oleh sumber-sumber gangguan. Sumber-sumber yang bersifat terapeutik (dapat memberikan penyembuhan) bisa berupa orang-orang
lingkungan/benda-benda
dan
kegiatan-kegiatan
yang
membawa ke arah penyembuhan. Lingkungan fisik dan psikologis merupakan suatu kondisi yang memiliki pengaruh besar terhadap proses penyembuhan terutama pasien dengan gangguan mental. Terapi lingkungan adalah suatu tindakan penyembuhan
53
pasien dengan gangguan jiwa melalui manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan terpengaruh terhadap proses penyembuhan. Konsep-konsep tentang terapi lingkungan berasal dari konsep-konsep “the therapeutic community” yang diperkenalkan oleh Maxwell Jones yang digunakan dalam lingkungan rumah sakit serta fasilitas kesehatan lain. Dalam pelaksanaannya harus melibatkan team work yang terdiri dari berbagai ahli bidangnya masing-masing dengan tujuan mengoptimalkan proses penyembuhan pasien. Tim tersebut bisa terdiri dari dokter ahli jiwa, psikolog, perawat jiwa, ahli sanitasi lingkungan, sosial worker dan petugas kesehatan lainnya. Teknis pelaksanaannya berupa planning penataan lingkungan fisik dan prediksi dampak psikologisnya dimana tim tersebut duduk bersama berdasarkan disiplin ilmunya masing-masing guna menghasilkan situasi kondisi rumah sakit yang ideal. Tujuan Terapi Lingkungan Membantu
individu
untuk
mengembangkan
rasa
harga
diri,
mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, membantu belajar mempercayai orang lain, dan mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat. Disamping hal tersebut Stuart
dan Sundeen
menjelaskan beberapa tujuan terapi lingkungan: mengingatkan pengalam positif pasien khususnya yang mengalami gangguan mental, dengan cara membantu individu dalam mengembangkan harga diri, meningkatkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, menumbuhkan sikap percaya pada orang lain, mempersiapkan diri kembali ke masyarakat dan mecapai perubahan kesehatan yang positif. Karakteristik Terapi Lingkungan Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka lingkungan harus bersifat terapeutik yaitu mendorong terjadi proses penyembuhan, lingkungan tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Pasien merasa akrab dengan lingkungan yang diharapkannya b. Pasien merasa senang/nyaman dan tidak merasa takut di lingkungannya
54
c. Kebutuhan-kebutuhan fisik pasien mudah dipenuhi d. Lingkungan rumah sakit/bangsal yang bersih e. Lingkungan menciptakan rasa aman dari terjadinya luka akibat impulsimpuls pasien f. Personal dari lingkungan rumah sakit/bangsal menghargai pasien individu yang memiliki hak, kebutuhan dan pendapat seta menerima perilaku pasien sebagai respon adanya stress g. Lingkungan yang dapat mengurangi pembatasan-pembatasan/larangan dan memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan pilihannya membentuk perilaku yang baru. Disamping hal tersebut terapi lingkungan harus memiliki karakteristik: a. Memudahkan perhatian terhadap apa yang terjadi pada individu dan kelompok selama 24 jam b. Adanya proses pertukaran informasi c. Pasien merasakan keakraban dengan lingkungan d. Pasien merasa senang, nyaman, aman, dan tidak merasa takut baik dari ancaman psikologis maupun ancaman secara fisik e. Penekanan pada sosialisasi dan interaksi kelompok dengan fokus komunikasi terapeutik f. Staf membagi tangguung jawab bersama pasien g. Personal dari lingkungan menghargai klien sebagai individu yang memiliki hak, kebutuhan, dan tanggung jawab. h. Kebutuhan fisik klien mudah terpenuhi Lingkungan Fisik Aspek terapi lingkungan meliputi semua gambaran yang konkrit yang merupakan bagian eksternal kehidupan rumah sakit. Settingnya meliputi: a. Bentuk dan struktur bangungan b. Pola interaksi antara masyarakat dengan rumah sakit
55
Tiga aspek yang mempengaruhi terwujudnya lingkungan fisik yang terapeutik: a. Lingkungan fisik yang tetap b. Lingkungan fisik semi tetap c. Lingkungan fisik tidak tetap Lingkungan Fisik Tetap Mencakup struktur dari bentuk bangunan baik insternal maupun internal. Bagian eksternal meliputi struktur luar rumah sakit, yaitu lokasi dan letak gedung sesuai dengan program pelayanan kesehatan jiwa, salah satunya kesehatan jiwamasyarakat. Berada di tengah-tengah pemukiman penduduk atau masyarakat sekitarnya serta tidak diberi pagar tinggi. Hal ini secara psikologis diharapkan dapat membantu memelihara hubungan terapeutik pasien dan masyarakat. Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk tetap mengakui keberadaan pasien serta menghindari kesan terisolasi. Bagian internal gedung meliputi penataan struktur sesuai keadaan rumah tinggal yang dilengkapi ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi tertutup, WC, dan ruang makan. Masing-masing ruangan tersebut diberi nama dengan tujuan untuk memberikan stimulasi pada pasien khususnya yang mengalami gangguan mental, merangsang memori dan mencegah disorientasi ruangan. Setiap ruangan harus dilengkapi dengan jadwal kegiatan harian, jadwal terapi aktivitas kelompok, jadwal kunjungan keluarga, dan jadwal kegiatan khusus misalnya rapat ruangan. Lingkungan Fisik Semi Tetap Fasilitas-fasilitas berupa alat kerumahtanggan yang meliputi lemari, kursi, meja, peralatan dapur, peralatan makan, mandi, dan sebagainya. Semua perlengkapan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien bebas berhubungan satu dengan yang lainnya serta menjaga privasi pasien.
56
Lingkungan Fisik Tidak Tetap Lebih ditekankan pada jarak hubungan interpersonal individu serta sangat dipengaruhi oleh sosial budaya. Lingkungan Psikososial Lingkungan yang kondusif yaitu fleksibel dan dinamis yang memungkinkan pasien berhubungan dengan orang lain dan dapat mengambil keputusan serta toleransi terhadap tekanan eksternal. Beberapa prinsip yang perlu diyakini petugas kesehatan dalam berinteraksi dengan pasien: a.
Tingkah
laku
dikomunikasikan
dengan
jelas
untuk
mempertahankan,mengubah tingkah laku pasien b.
Penerimaan dan pemeliharaan tingkah laku pasien tergantung dari tingkah laku partisipasi petugas kesehatna dan keterlibatan pasien dalam kegiatan belajar
c.
Perubahan tingkah laku pasien tergantung pada perasaan pasien sebagai anggota kelompok dan pasien dapat mengikuti atau mengisi kesehatan
d.
Kegiatan sehari-hari mendorong interaksi antara pasien
e.
Mempertahankan kontak dengan lingkungan, misalnya jam dinding berbunyi, adanya kalender harian, adanya nama-nama tempat (kamar tidur, dapur, dan lain-lain), adanya papan nama dan tanda pengenal bagi petugas kesehatan.
b) Peranan Perawat dalam Terapi Lingkungan Perawat sebagai individu yang unik dan dengan pasien selama 24 jam dibandingkan dengan anggota tim kesehatan jiwa lainnya sehingga perannya dalam menyelenggarakan terapi lingkungan menjadi lebih besar. Perawat sebagai seorang manusia dan bertugas dalam terapi lingkungan harus dapat menilai dirinya tentang kesadaran diri, kekuatan, dan kemampuan dalam hal pengetahuan tentang antropologi, kebudayaan karena akan membantu dirinya untuk bertoleransi terhadap perilakuperilaku yang ditujukan oleh pasien.
57
Peranan perawat dalam menyelenggarakan terapi lingkungan adalah: 1.
Pencipta lingkungan yang aman dan nyaman: a.
Perawat menciptakan dan mempertahankan iklim/suasana yang akrab, menyenangkan, saling menghargai diantara sesama perawat, petugas kesehatan, dan pasien
b.
Perawat menciptakan suasana yang aman dari benda-benda atau keadaan-keadaan yang menimbulkan terjadinya kecelakaan/luka terhadap pasien atau perawat
c.
Menciptakan suasana yang nyaman, yaitu mengatur tatanan ruangan dimana memungkinkan pasien betah seperti kondisi rumah sendiri (home sweet home) serta pasien dapat menjalankan kegiatan sehari-hari sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya bangsal yang ditata memiliki ruang tamu, ruang keluarga untuk bersantai, kamar tidur dengan kelengkapannya masing-masing serta kamar mandi dan WC yang bersifat melindungi privasinya
d.
Pasien diminta untuk berpartisipasi melakukan kegiatan bagi dirinya dan orang lain seperti yang biasa dilakukan di rumahnya. Misalnya mencuci piring dan pakaian, membereskan kamar, dan sebagainya.
2.
Penyelenggara proses sosialisasi: a.
Membantu pasien untuk belajar berinteraksi dengan orang lain mempercayai orang lain, memuaskan bagi dirinya dan orang lain, sehingga meningkatkan harga diri dan berguna bagi orang lain
b.
Mendorong pasien untuk berkomunikasi tentang ide-ide, perasaanperasaannya dan perilakunya secara terbuka sesuai dengan aturan didalam kegiatan-kegiatan tertentu
c.
Melalui sosialisasi pasien belajar tentang kegiatan-kegiatan atau kemampuan yang baru, dan dapat dilakukannya sesuai dengan kemampuan dan minatnya pada waktu-waktu yang luang.
58
3.
Sebagai teknisi perawatan Selama
proses
terapi
lingkungan
fungsi
perawat
adalah
memberikan/memenuhi kebutuhan dari pasien, memberikan obatobatan yang telah ditetapkan, mengamati efek obat dan perilakuperilaku yang menonjol/menyimpang serta mengidentifikasi masalahmasalah yang timbul dalam terapi tersebut. 4.
Sebagai leader atau pengelola dalam pelaksanaan terapi lingkungan perawat harus mampu mengelola sehingga tercipta lingkungan terapeutik yang mendukung penyembuhan dan memberikan dampak baik secara fisik maupun secara psikologis kepada pasien.
Jenis-jenis Kegiatan Terapi Lingkungan 1.
Terapi rekreasi Yaitu terapi yang menggunakan salah satu kegiatan yang dilakukan pada waktu luang, dengan tujuan pasien dapat melakukan kegiatan secara
konstruktuif
dan
menyenangkan
serta
membanggakan
kemampuan hubungan sosial. Di dalam kehidupa bangsal yang memimpin terapi ini adalah perawat, dimana dia harus dapat menyesuaikan kegiatan dengan tingkatan umur. Misalnya untuk remaja yang membutuhkan kegiatan yang mengeluarkan banyak energi seperti basket, berenang, dan lain-lain, sedangkan untuk orangtua tidak mengeluarkan banyak tenaga seperti main kartu, karambol, dan sebagainya. 2.
Terapi kreasi seni Perawat dalam terapi ini dapat sebagai leader atau bekerja sama dengan oranglain yang ahli dalam bidangnya karena harus sesuai dengan bakat dan minat, diantaranya adalah: a.
Dance therapy/menari Suatu terapi yang menggunakan bentuk ekspresi non verbal dengan menggunakan gerakan tubuh dimana mengkomunikasikan tentang perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan. Kegiatan dapat disesuaikan dengan kultur dan dimana pasien berasal serta RS itu berada.
59
b.
Terapi musik Terapi ini dilakukan melalui musik. Dengan musik memberikan kesempatan kepada pasien unuk mengekspresikan perasaanperasaannya seperti marah, kesepian. Pelaksanaan terapi ini dapat dilakukan bersama (berkelompok) atau individual. Pasien yang sedang sedih biasanya memilih musik yang sentimentil, sedangkan pasien yang gembira mimilih lagu yang gembira dan menuntut banyak gerak.
c.
Terapi dengan menggambar/melukis Dengan menggambar atau melukis akan memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan tentang apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Kegiatan ini dapat dilakukan secara individu atau berkelompok di berbagai sarana seperti di RS, rawat jalan ataupun di rumah-rumah perawatan. Dengan menggambar juga akan menurunkan ketegangan dan memusatkan pikiran pada kegiatan.
d.
Literatur/biblio therapy Terapi dengan kegiatan membaca seperti novel, majalah, bukubuku, dan kemudian mendiskusikan di antara pasien tentang pendapat-pendapatnya terhadap topik yang dibaca. Tujuan dari terapi ini adalah mengembankan wawasan diri dan bagaimana mengekspresikan perasaan/pikiran dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang ada.
3.
Pet therapy Terapi ini bertujuan untuk menstimulasi respon pasien yang tidak mampu mengadakan hubungan interaksi dengan orang-orang dan pasien
biasanya
merasa
kesepian,
menyendiri.
Sarana
yang
dipergunakan dalam terapi ini adalah binatang-binatang dimana dapat memberikan respon menyenangkan kepada pasien, sering kali dipergunakan pada pasien anak dengan autis.
60
4.
Plant therapy Terapi ini bertujuan untuk mengajarkan pasien untuk memelihara segala sesuatu/makhluk hidup, dan membantu hubungan yang akrab antara satu pribadi kepada pribadi lainnya. Kegiatan ini menggunakan tanaman/tumbuhan sebagai objek dalam mencapai tujuan terapi. Menanam tumbuh-tumbuhan mulai dari biji sampai menjadi bunga atau buah dan diperbolehkan untuk memetiknya bagi pasien merupakan pengalaman memelihara makhluk hidup dengan kasih sayang dan berhasil diluar dirinya.
Terapi Lingkungan pada Kondisi Khusus a.
Pasien rendah diri (low self esteem), depresi (depression) bunuh diri (suicide). Syarat lingkungan secara psikologis harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: 1) Ruangan aman dan nyaman 2) Terhindar dari alat-alat yang dapat digunakan untuk mencederai diri sendiri atau orang lain 3) Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam keadaan terkunci 4) Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keseluruhan ruangan mudah dipantau oleh petugas kesehatan 5) Tata ruangan menarik dengan cara menempelkan poster yang cerah dan meningkatkan gairah hidup 6) Warna dinding cerah 7) Adanya bacaan ringan, lucu, dan memotivasi hidup 8) Hadirkan musik ceria, tv dan film komedi 9) Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang-barang pribadi pasien
61
Lingkungan sosial: 1) Komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas menyapa pasien sesering mungkin 2) Memberikan
penjelasan
setiap
akan
melakukan
kegiatan
keperawatan atau kegiatan medis lainnya 3) Menerima pasien apa adanya jangan mengejek serta merendahkan 4) Meningkatkan harga diri pasien 5) Membantu menilai dan meningkatkan hubungan sosial secara bertahap 6) Membantu pasien dalam berinteraksi dengan keluarganya 7) Sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan membiarkan pasien sendiri terlalu lama di ruangannya. b.
Pasien dengan amuk Lingkungan fisik 1) Ruangan aman, nyaman, dan mendapat pencahayaan yang cukup 2) Pasien satu kamar satu orang, bila sekamar lebih dari satu jangan dicampur antara yang kuat dengan yang lemah 3) Ada jendela berjeruji dengan pintu dari besi terkunci 4) Tersedia kebijakan dan prosedur tertulis tentang protokol pengikatan dan pengasingan secara aman, serta protokol pelepasan pengikatan. Lingkungan psikososial: 1) Komunikasi terapeutik, sikap bersikap dan perasaan empati 2) Observasi pasien tiap 15 menit 3) Jelaskan tujuan pengikatan/pengekangan secara berulang-ulang 4) Penuhi kebutuhan fisik pasien 5) Libatkan keluarga.
62
F. TERAPI ECT a. Pengertian Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan
biokimia
didalam
otak
(Peningkatan
kadar
norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. b. Indikasi 1. Gangguan afek yang berat: pasien dengan depresi berat atau gangguan bipolar,
atau depresi menunjukkan respons yang baik
pada pemberian ECT (80-90% membaik versus 70% atau lebih dengan antidepresan). Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas (seperti insomnia, konstipasi; riwayat bunuh diri, obsesi rasa bersalah, anoreksia, penurunan berat badan, dan retardasi psikomotor) cukup bersespon. 2. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan respons yang baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan schizofrenia kronik hal ini tidak teralalu berguna. c. Kontraindikasi 1. Tumor intra kranial, karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial. 2. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran 3. Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang. 4. Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung. 5. Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita
63
d. Komplikasi 1. Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi berakhir 2-3 bulan (tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan metode bilateral, jumlah terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya organik sebelumnya. 2. Sakit kepala, mual, nyeri otot. 3. Kebingungan. 4. Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal 5. Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik. 6. Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan hipotonia. e. Persiapan ECT (Pra-ECT) 1. Lengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik, konsentrasikan pada peme¬riksaan jantung dan status neurologic, pemeriksaan darah perifer lengkap, EKG, EEG atau CT Scan jika terdapat gambaran Neurologis tidak abnormal. Hal ini penting mengingat terdapat kontraindikasi pada gangguan jantung, pernafasan dan persarafan. 2. Siapkan pasien dengan, informasi, dan. dukungan, psikologis. 3. Puasa setelah tengah malam. 4. Kosongkan kandung kemih dan lakukan defekasi 5. Pada keadaan ansietas berikan 5 mg diazepam 1-2 jam sebelumnya 6. Antidepresan, antipsikotik, diberikan sehari sebelumnya 7. Sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan (dan sejenisnya) harus dihentikan sehari sebelumnya. f. Pelaksanaan ECT 1. Buat pasien merasa nyaman. Pindahkan ke tempat dengan permukaan rata dan cukup keras. 2. Hiperekstensikan punggung dengan bantal. 3. Bila sudah siap, berikan premedikasi dengan atropin (0,6-1,2 mg SC, IM atau IV). Antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal.
64
4. Sediakan 90-100% oksigen dengan kantung oksigen ketika respirasi tidak spontan. 5. Beri natrium metoheksital (Brevital) (40-100 mg IV, dengan cepat). Anestetik barbiturat kerja singkat ini dipakai untuk menghasilkan koma yang ringan. 6. Selanjutnya, dengan cepat berikan pelemas otot suksinilkolin (Anectine) (30-80 mg IV, secara cepat awasi kedalaman relaksasi melalui fasikulasi otot yang dihasilkan) untuk menghindari kemungkinan kejang umum (seperti plantarfleksi) meskipun jarang. 7. Setelah lemas, letakkan balok gigi di mulut kemudian berikan stimulus listrik (dapat dilakukan secara bilateral pada kedua pelipis ataupun unilateral pada salah satu pelipis otak yang dominan) g. Post ECT Awasi pasien dengan hati-hati sampai dengan klien stabil kebingungan
biasanya
timbul
kebingungan
pasca
kejang
15-30
menit. Pasien berada pada resiko untuk terjadinya apneu memanjang dan delirium pascakejang (5-10 mg diazepam IV dapat membantu)
65
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan Terapi somatik adalah terapi yg diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dgn melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik klien. Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup klien (Hawari, 2001). Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau arahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Umumnya,keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Lingkungan telah di definisikan dengan berbagai pandangan, lingkungan merujuk pada keadaan fisik, psikologis, dan sosial diluar batas sistem, atau masyarakat dimana sistem itu berada (Murray Z, 1985). Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai. B. Saran Bagi petugas kesehatan, dalam pemberian asuhan keperawatan untuk pasien dengan gangguan kejiwaan salah satu cara paling efektif yang yaitu diberikan terapi modalitas sebagai terapi komplementer. Namun sebelum dilakukan terapi tersebut perawat perlu mempelajari konsep dan teori tersebut.
66
DAFTAR PUSTAKA
https://docslide-net.cnd.ampproject.org/v/s/docslide.net/amp/document/terapisomatik-dan-terapi-psikofarma.html https://dokumentips.cdn.ampproject.org/v/s/dokumen.tips/amp/documents/lapo ran-pendahuluan-ectdoc.html Yusuf AH. Fitryasary R.Nihayati HE . 2015 .Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika
67