BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan kebutuhan mutlak bagi suksesnya pembangunan di segala bidang. Status gizi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kualitas SDM terutama terkait dengan kecerdasan, produktivitas, dan kreativitas (Adriani, 2012). Kekurangan gizi pada balita dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai dewasa (Almatsier, 2009). Salah satu bentuk kekurangan gizi pada balita adalah bawah garis merah (BGM), yaitu letak titik berat badan anak yang berada dibawah garis merah dalam grafik Kartu Menuju Sehat (KMS). Bawah Garis Merah (BGM) adalah anak dengan berat badan kurang menurut umur dibandingkan dengan standar, yang diketahui secara visual dengan melihat plot dalam KMS berada dibawah garis merah (Sandjaja, 2009).
Kejadian BGM berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dan keterampilan ibu tentang pengasuhan anak, meliputi praktik pemberian makan anak, pemeliharaan kesehatan, dan kebersihan diri anak (Hesti Wira Sakti, 2016). Balita BGM tidak selalu berarti menderita gizi buruk tapi dapat menjadi indikator awal bahwa balita tersebut mengalami masalah gizi. Karena ada sebagian anak yang mempunyai berat badan dibawah garis merah, pada pita 1
2
kuning, dan ada juga yang terletak pada pita hijau, tetapi garis pertumbuhan mereka mengikuti garis pertumbuhan normal (Depkes,2002).
Masalah kesehatan dianggap serius, bila masyarakat prevalensi kekurangan gizi pada balita antara 20,0- 29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥ 30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2018, secara nasional prevalensi kekurangan gizi pada anak balita sebesar 17,7%, yang berarti masalah kekurangan pada balita di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi, namun jika dilihat target RPJMN 2019 17% maka hanya sedikit angka yang berlebihan yaitu 0,7% saja. PSG Indonesia 2017 menyebutkan bahwa status gizi menurut indeks BB/U, 3,8% balita mempunyai status gizi buruk dan 14,0% balita mempunyai status gizi kurang (Windi Haspari,2018) Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 prevalensi status gizi anak balita di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan indeks BB/U gizi buruk 8,2%, gizi kurang 19,2%, gizi baik 69,2%, dan gizi lebih 3,4% (Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehtan, Balitbangkes, 2013) Dan hasil laporan Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan tahun 2017 kabupaten Barito Kuala menduduki kabupaten ke-5 yang mempunyai angka balita BGM tertinggi di Kalimantan Selatan dengan jumlah presentasi 2,47% atau 490 balita BGM dari 19.799 balita yang ada di Kabupaten Barito Kuala. Hasil Dinas Kesehatan Barito Kuala 2017, didapatkan data BGM pada balita terbanyak pada kecamatan Belawang yaitu 61 balita dan
3
terbanyak kedua pada kecamatan Alalak di puskesmas Berangas yaitu 53 balita. Dan didapatkan data BGM pada baduta paling besar jumlahnya ada pada kecamatan Alalak di Puskesmas Berangas yaitu 29 anak BGM dari jumlah 1.219 anak yang ada. Data anak yang BGM di Puskesmas Berangas Alalak pada tahun 2018 mengalami kenaikan yang signifikan seperti pada bulan Juli sebanyak 81 anak, bulan Agustus sebanyak 95 anak, dan bulan September sebanyak 100 anak (Dinkes Barito Kuala, 2018) Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia (Millennium Challenga Account, 2014). Badan kesehatan dunia (WHO, 2011) memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Di Indonesia, saat ini tercatat 4,5% dari 22 juta balita atau 900 ribu balita di Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan lebih dari 80% kematian anak (Kemenkes, 2012). Faktor
risiko yang
dapat
menyebabkan
gizi
kurang
yang
bersumber dari individu yaitu umur, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kuntari, Jamil dan Kurniati tahun 2013 menunjukkan bahwa balita yang berusia 1-3 tahun mempunyai peluang lebih besar mengalami gizi baik dibandingkan dengan balita yang berusia 3-5 tahun. Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan
4
asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak, karena pada umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam perubahan belajar. Apabila asupan gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas balita akan mengalami gangguan, yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang (lost generation), dan dampak yang luas negara akan kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas (Welasasih & Wirjatmadi, 2012). Selain dampak langsung terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktifitas. Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80% terjadi pada masa dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Diperkirakan bahwa Indonesia kehilangan 220 juta IQ poin akibat kekurangan gizi. Dampak lain dari kurang gizi adalah menurunnya produktifitas yang diperkirakan antara 20-30%. (Anonymus, 2005) Salah satu penyebab masalah gizi adalah kekurangan energi protein (KEP) yaitu rendahnya konsumsi energi dan protein, yang didalamnya termasuk marasmus, kwashiokor, atau marasmic-kwashiokor. Masalah gizi, meskipun
sering
berkaitan
dengan
masalah
kekurangan
pangan,
pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan pengadaan pangan. Pada kasus seperti BGM yang menyebabkan meluasnya keadaan gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar dikalangan masyarakat dalam
5
memilih dan memberikan makanan kepada anggota keluarganya, terutama pada anak-anak. Hal itu kebanyakan terjadi di negara berkembang disebabkan oleh lemahnya ketahanan pangan dikalangan penduduknya. (Istiany, 2013). Akses pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dipengaruhi oleh pendapatan yang rendah, Tarafsosio-ekonomi dan adat kebiasaan setempat serta jumlah anggota keluarga yang banyak dalam satu rumah memegang peranan penting dalam pola konsumsi penduduk. Pada rumah tangga miskin, pengeluaran pangan akan lebih besar dari pada pengeluaran non pangan sehingga hal ini akan berpengaruh pada pemenuhan gizi dalam penentuan ketahanan pangan rumah tangga (Agustina Arida,2015). Berdasarkan Laporan Tahunan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013 skor PPH provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013 mencapai 91,61% yang berarti masih berada di bawah skor maksimal yaitu 100%. Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan bertujuan untuk. meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan tingkat kecukupan pangan, terutama pangan
6
pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat Ketersediaan (food availabillity) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan yang didefenisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Hanani, 2012). Pada balita BGM dapat dilakukan upaya penanganan secara farmakologis dan nonfarmakologis. Farmakologis seperti pemberian suplemen makanan dan nonfarmakologis misalnya perbaikan pola nutrisi seperti pemberian makanan tambahan balita yang BGM, sehingga perlu dilakukan identifikasi pola konsumsi atau pola makan yang meliputi jenis makan, jumlah makan, dan frekuensi makan, karena balita yang mengalami BGM salah satunya disebabkan oleh pola asuh orang tua yang salah yang kurang memperhatikan asupan nutrisi (Hesti Wira Sati, 2016). Menurut Satoto dalam Harsiki, T, tahun 2002 faktor yang cukup dominan yang menyebabkan meluasnya keadaan gizi kurang ialah perilaku yang kurang benar dikalangan masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan
kepada
anggota
keluarganya,
terutama
pada
anak-anak.
Memberikan makanan dan perawatan anak yang benar mencapai status gizi yang baik melalui pola asuh yang dilakukan ibu kepada anaknya akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Perilaku ibu dalam
7
mengasuh balitanya memiliki kaitan yang erat dengan kejadian gizi kurang pada balita. Ibu dengan pola asuh yang baik akan cenderung memiliki anak dengan status gizi yang baik pula, begitu juga sebaliknya, ibu dengan pola asuh gizi yang kurang cenderung memiliki anak dengan status gizi yang kurang pula (Virdani, 2012). Pola asuh anak yang kurang akan mempunyai resiko anak balita KEP 1,5 kali dibandingkan dengan anak balita dengan pola asuh cukup (Diana 2004). Berdasarkan hasil penelitian (Rapar, dkk 2014) menyatakan bahwa ada hubungan pola asuh dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Ranotana Weru Kecamatan Wanea Kota Manado. Penelitian yang di lakukan Amien dalam Ernawati (2011) juga menjelaskan asupan gizi memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi. Penelitian lain yang dilakukan Setiati dalam Ernawati (2011) adanya hubungan yang signifikan pengetahuan pola asuh dengan sikap pola asuh. Dari hasil study pendahuluan di wilayah kerja Pusekesmas Berangas dengan 4 ibu balita BGM, didapatkan data ketersediaan pangan yang sedang 25% atau 1 orang, dan yang kurang 75% atau 3 orang. Dilihat dari pendapatan keluarga ternyata ibu yang memiliki katagori sedang memiliki pendapatan diatas rata rata UMP KALSEL tahun 2018, sedangkan ibu yang lainnya mempunyai pendapatan keluarga dibawah rata rata UMP KALSEL tahun 2018. Pekerjaan Kepala Keluarga disana lebih banyak sebagai buruh tani, dan istrinya kebanyakan sebagai ibu rumah tangga. Dan data Pola Asuh ibu ternyata masih banyak yang kurang tepat dengan jumlah 75% atau 3
8
orang, dan 25% atau 1 orang yang pola asuhnya tidak tepat. Dilihat dari kuesioner yang bermasalah banyak ibu yang tidak memberikan makanan bervariasi pada anaknya, dilihat dari ketersediaan pangan yang sudah ada masih jarang keluarga yang menyediakan sayur dan buah karena itu masih banyak anak yang jarang mengkonsunsi buah dan sayur dan anak sering tidak
menghabiskan
makanan
yang
disediakan
oleh
ibunya.
Itu
membuktikan bahwa masih kurangnya pola asuh ibu tentang cara menangani balita mereka, sehingga berdampak pada masalah gizi kurang atau buruk nantinya. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Gambaran Ketersediaan Pangan dan Pola Asuh Ibu dengan Anak Balita berstatus BGM Di Wilayah Kerja Puskesmas Berangas Kecamatan Alalak Kabupaten Barito Kuala”.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka di perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran ketersediaan pangan dan pola asuh ibu dengan anak balita berstatus BGM di wilayah kerja Puskesmas Berangas Alalak kabupaten Barito Kuala ?
9
C.
Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana gambaran ketersediaan pangan dan pola asuh dengan status BGM pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Berangas Alalak Kabupaten Barito Kuala.
2.
Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi
karateristik
responden
meliputi
:
Umur,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga. b. Mengidentifikasi status BGM pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Berangas Alalak 2019. c. Mengidentifikasi ketersediaan pangan keluarga di wilayah kerja Puskesmas Berangas Alalak 2019. d. Mengidentifikasi pola asuh anak balita di wilayah kerja Puskesmas Berangas Alalak 2019.
D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi Dinas Kesehatan Penelitian
ini
diharapkan
menjadi
masukan
dan
bahan
pertimbangan bagi Dinas Kesehatan untuk meningkatkan kegiatan promosi kesehatan dalam rangka perbaikan gizi.
10
2. Manfaat bagi Pihak Puskesmas Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak puskesmas untuk meningkatkan program perbaikan gizi masyarakat untuk menangani balita BGM. 3. Manfaat bagi Masyarakat Sebagai bahan informasi kepada masyarakat tentang factor yang mempengaruhi status BGM. 4. Manfaat bagi Peneliti Selajutnya Dapat dijadikan refrensi untuk peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan ketersediaan pangan dan, pola asuh.