1. Proposal.docx

  • Uploaded by: Acep Sopandi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1. Proposal.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,820
  • Pages: 30
1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa mendefinisikan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai perpanjangan tangan negara, desa wajib melakukan pembangunan baik pembangunan fisik maupun pembanguan sumber daya manusia, sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Pertumbuhan ekonomi desa seringkali dinilai lambat dibandingkan pembangunan ekonomi perkotaan. Untuk meningkatkan hal tesebut dibutuhkan dua pendekatan yaitu: a) Kebutuhan masyarakat dalam melakukan upaya perubahan dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dan b) Political will dan kemampuan pemerintah desa bersama masyarakat dalam mengimplementasikan perencanaan pembangunan yang sudah disusun (Rutiadi, 2001 dalam Bachrein, 2010). Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong gerak ekonomi desa melalu kewirausahaan desa, dimana kewirausahaan desa menjadi strategi dalam pengembangan dan pertumbuhan kesejahteraan (Ansari, 2013). Kewirausahaan desa ini dapat diwadahi dalam Badan Usaha Milik Desa (BUM

2

Desa) yang dikembangkan oleh pemerintah maupun masyarakat desa (Prabowo, 2014). BUM Desa adalah Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. (UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa). Hal tersebut semakin didukung oleh pemerintah dengan keluarnya Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Hak Asal Usul dan Kewenangan Desa yang menyebutkan bahwa desa mempunya wewenang untuk mengatur sumber daya dan arah pembangunan. Hal tersebut membuka peluang desa untuk otonom dalam pengelolaan baik kepemerintahan maupun sumber daya ekonominya. Sebagai unit terkecil dari pemerintahan, desa secara langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Saat ini Indonesia memiliki 74.754 desa (Dirjen PPMD, Kementerian Desa dan PDTT, 2018) dimana lebih dari 32 ribu desa masuk dalam kategori desa tertinggal (Susetiawan, 2011). Jumlah desa yang terlalu banyak ini menyebabkan masalah utama di Indonesia yaitu sulitnya dalam melakukan pemerataan pembangunan yang sesuai dengan porsinya. Hal ini tentu menyebabkan kesejahteraan diberbagai desa pun sulit dirasakan serta masih terdapat ketimpangan sosial. Berdasarkan masalah ini, pemerintah Indonesia saat ini sangat memperhatikan pembangunan disetiap desa. Pada pemerintahan Jokowi-JK, desa diposisikan sebagai kekuatan besar yang akan mewujudkan “NAWACITA” yang ketiga yaitu membangun desa dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa. Membangun desa dari pinggiran

3

menurut Putra (2015) yaitu dengan membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) sebagai langkah awal dalam mewujudkan “NAWACITA” Jokowi-JK. Pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) dipercaya sebagai langkah awal dalam membentuk kemandirian ekonomi desa dan menggerakkan berbagai unit usaha desa. Hal ini disebabkan ekonomi pedesaan adalah sentra utama untuk meningkatkan kemajuan pembangunan pedesaan. Adanya pembentukan BUM Desa dirasa mampu menggerakkan roda perekonomian di desa serta dapat melakukan pemerataan ekonomi dengan terciptanya beberapa usaha-usaha di desa. Hal ini pun telah didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Alkadafi (2014), dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa BUM Desa mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat, meningkatkan pengolahan potensi desa dan menjadi tulang punggung pemerataan ekonomi masyarakat di Desa Salensen. Selain itu, hasil BUM Desa tersebut mampu memberikan tambahan kepada PADes (Pendapatan Asli Desa) dengan besaran yang disepakati dan tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang diambil dari hasil laba BUM Desa. Temuan tersebut menyatakan bahwa BUM Desa memang memiliki dampak positif terhadap pembangunan pedesaan, khususnya dalam meningkatkan perekonomian masyarakat desa yang menjadi akar dari masalah pemerataan pembangunan. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa Pasal 3 menjelaskan bahawa tujuan didirikannya Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) adalah :

4

1.

meningkatkan perekonomian Desa,

2.

mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa,

3.

meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi Desa,

4.

mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga,

5.

menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga,

6.

membuka lapangan kerja,

7.

meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa,

8.

meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.

Indonesia saat ini telah memiliki 36.070 BUM Desa yang tersebar di 32 Provinsi dan 675 BUM Desa Bersama yang tersebar di 14 Provinsi (Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kementerian Desa dan PDTT, 2018). Namu dari data tersebut tidak lebih dari 0,5 % BUM Desa yang dianggap sudah memiliki ketahanan modal dan usaha, selebihnya adalah BUM Desa baru berdiri yang masing-masing masih mencari format yang tepat untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan untuk Provinsi Jambi hingga saat ini baru memiliki 768 BUM Desa dari total 1.399 Desa dan 7 BUM Desa Bersama, dengan kata lain Provinsi Jambi saat ini baru memiliki 54,90 % BUM Desa dari jumlah Desa yang ada. Dari 768 BUM Desa yang telah berdiri tersebut jika dihitung secara riil diperkirakan tidak lebih dari 10 BUM Desa yang baru berjalan dan 2 diantaranya sudah

5

dianggap mandiri, itupun dibentuk saat program PNPM sebelum terbitnya Undang-Undang Desa. Eksistensi BUM Desa tidak terlepas dari peran Perangkat Desa maupun Masyarakat yang mempersepsikan atau mencitrakan BUM Desa sebagai lembaga ekonomi yang yang berfunsi sebagai penggerak ekonomi Desa. Tabel 1. Daftar BUM Desa dan BUM Desa Bersama di Indonesia tahun 2018 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat JUMLAH

Jumlah Desa 6474 5418 880 1592 1399 2859 1341 2435 309 275 5319 7809 392 7724 1238 636 995 2995 1977 1434 1866 836 447 1505 1842 2253 1846 657 576 1198 1064 5419 1744 74.754

Jumlah BUM Desa 4242 1414 580 771 768 2217 991 1596 206 153 3326 3219 235 4353 537 456 475 485 497 707 1141 540 164 910 738 1815 1481 595 238 603 527 90 36.070

Sumber : Dirjen PPMD, Kementerian Desa dan PDTT

Jumlah BUM Desa Bersama 14 1 7 1 157 2 374 53 13 2 9 10 1 1 30 675

6

Citra sebuah lembaga merupakan salah satu harta yang bernilai tinggi bagi suatu lembaga, hal ini dikarenakan citra merupakan cara pandang atau persepsi masyarakat terhadap lembaga tersebut. Definisi citra yang diartikan oleh Larence L Steinmetzs adalah sebagai pancaran atau reproduksi jati diri atau bentuk orang perorangan, benda atau organisasi (Sutojo, 2004). Berdasarkan kondisi tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) di Provinsi Jambi”. Perkembangan Badan Usaha Milik Desa Pendapat Robbins (2003) menyatakan jika persepsi merupakan sebuah proses yang ditempuh masingmasing individu untuk mengorganisasikan serta menafsirkan kesan dari indera yang anda miliki agar memberikan makna kepada lingkungan sekitar. Banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sebuah persepsi, mulai dari pelaku persepsi, objek yang dipersepsikan serta situasi yang ada. Oleh karena itu, Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan sesamanya di dalam kehidupan. BUM Desa sebagai suatu lembaga ekonomi modal usahanya dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri. Ini berarti pemenuhan modalusaha BUM Desa harus bersumber darimasyarakat. Meskipun demikian, tidakmenutup kemungkinan BUM Desa dapat mengajukan pinjaman modal kepadapihak luar, seperti dari Pemerintah Desa atau pihak lain, bahkan melalui pihak ketiga.

7

1.2 Batasan Masalah Agar penelitian ini terarah, maka perlu adanya suatu batasan masalah yang diteliti. Penelitian ini menitikberatkan pada persepsi masyarakat terhadap kinarja BUM Desa di Provinsi Jambi. 1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, makayang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.

Bagaimana persepsi masyarakat terhadap Kinerja Badan Usaha Milik Desa di Provinsi Jambi?

2.

Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja Badan Usaha Milik Desa di Provinsi Jambi?

1.4 Tujuan Penelitian 1

Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap Kinerja Badan Usaha Milik Desa di Provinsi Jambi?

2

Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja Badan Usaha Milik Desa di Provinsi Jambi?

1.5 Manfaat Penelitian 1.

Sebagai bahan informasi bagi para pengurus untuk mengenai kondisi kinerja pelayanan Badan Usaha Milik Desa di Provinsi Jambi.

2.

Sebagai penilaian terhadap kinerja Badan Usaha Milik Desa di Provinsi Jambi.

3.

Memberikan bahan pertimbangan bagi Badan Usaha Milik Desa dan pemangku kepentingan di Provinsi Jambi untuk membuat kebijakan terkait kinerja BUM Desa selanjutnya.

4.

Dapat dijadikan bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.

8

BAB II LANDASAN TEORITIS

2.1 Konsep Persepsi Masyarakat Pengertian persepsi dari kamus psikologi adalah berasal dari bahasa Inggris, perception yang artinya: persepsi, penglihatan, tanggapan; adalah proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui inderaindera yang dimilikinya; atau pengetahuan lingkungan yang diperoleh melaluiinterpretasi data indera (Kartono dan Gulo, 1987 dalam Adrianto, 2006) Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh saraf ke otak melalui pusat susunan saraf dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Stimulus diterima oleh alat indera, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang di indera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasaikan dan diinterpretasikan (Davidoff, 1980 dalam Adrianto, 2006). Melalui persepsi individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan diri individu yang bersangkutan. Persepsi itu merupakan aktivitas yang integrateed, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acauan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diriindividu masyarakat akan ikut berperan dalam persepsi tersebut (Walgito, 2000 dalam Adrianto, 2006). Berdasarkan atas hal tersebut, dapat dikemukakan bahwadalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama tetapi karena pengalaman tidaksama, kemampuan berpikir tidak sama, kerangka acuan tidak sama,

9

adanyakemungkinan hasil persepsi antara individu dengan individu yang lain tidak sama. Faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi adalah faktor internal: perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, motivasi dan kerangka acuan. Sedangkan faktor eksternal adalah: stimulus itu sendiri dan keadaan lingkungan dimanapersepsi itu berlangsung. Kejelasan stimulus akan banyak berpengaruh padapersepsi. Bila stimulus itu berwujud benda-benda bukan manusia, maka ketepatanpersepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan persepsi karena bendabenda yang dipersepsi tersebut tidak ada usaha untuk mempengaruhi yang mempersepsi. Mengenai pengertian masyarakat dalam kamus bahasa Inggris, masyarakat disebut society asal katanya socius yang berarti kawan. Arti yang lebih khusus, bahwa masyarakat adalah kesatuan sosial yang mempunyai kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan-ungkapan jiwa rakyat, kehendak rakyat, kesadaran masyarakat dan sebaginya. Sedangkan jiwa masyarakat ini merupakan potensi yang berasal dari unsur-unsur masyarakat meliputi pranata, status dan peranan sosial. Sehingga para pakar sosiologi seperti Mac Iver, J.L Gillin memberikan pengertian bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang saling bergaul berinteraksi karena

mempunyai

nilai-nilai,

norma-norma,

cara-cara

dan

prosedur

yangmerupakan kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu identitas bersama (Musadun, 2000 dalam Adrianto, 2006).

10

Pengertian persepsi masyarakat dapat disimpulkan adalah tanggapan atau pengetahuan lingkungan dari kumpulan individu-individu yang saling bergaul berinteraksi

karena

mempunyai

nilai-nilai,

norma-norma,

cara-cara dan

prosedurmerupakan kebutuhan bersama berupa suatu sistem adat-istiadat yang bersifatkontinue dan terikat oleh suatu identitas bersama yang diperoleh melalui interpretasi data indera. 2.2 Konsep Kinerja Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seorang secara keseluruhan selama periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah disepakati bersama (Rivai, 2005). Apabila hal tersebut dikerjakan dengan benar maka para karyawan dan perusahaan akan diuntungkan dengan jaminan bahwa upaya para individu karyawan mampu memberikan kontribusi pada fokus yang strategis dari perusahaan. Mahsum (2019) mengemukanan bahwa kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang dalam rencana strategis suatu organisasi. Dalam organisasi swasta, kinerja diukur dari tingkat laba. Namun untuk organisasi sektor publik tidak bisa menggunakan ukuran laba dalam menilai keberhasilan organisasi karena tujuan utama organisasi tersebut bukan untuk memperoleh laba tapi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penilaian kinerja adalah upaya sadar untuk membandingkan hasil yang seharusnya dicapai dengan hasil yang nyatanya dicapai dalam rangka pencapaian tujuan suatu organisasi (Siagian, 2008). Pada hakikatnya kinerja merupakan

11

prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar kriteria yang ditetapkan untuk pekerjaan tersebut. Zeithaml dalam jurnal Kartikaningdyah (2007) mengemukakan ada sepuluh tolak ukur kualitas pelayanan publik, yaitu: 1.

Tangible, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil dan komunikasi.

2.

Realiable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan pelayanan yang dijanjikan dengan cepat.

3.

Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.

4.

Competence, tuntutan yang dimiliki, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan pelayanan.

5.

Courtesy, sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi

6.

Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat

7.

Security, jasa pelayanan yang diberikan harus bebas dari berbagai bahaya dan resiko

8.

Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan

9.

Communication, kemampuan pemberi pelayanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat.

12

2.3 Konsep Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) Menurut Ramadana (2013) Badan usaha milik desa atau di kenal dengan sebutan BUM Desa ini adalah sebuah usaha desa yang dibentuk atau didirikan oleh pemerintah desa. Pada BUM Desa kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat. BUM Desa adalah suatu institusi sosial ekonomi yang menjadi lembaga komersial desa dan mampu bersaing diluar desa, tetapi tetap memperhatikan efisiensi serta efektivitas dalam kegiatan sektor rill dan lembaga keuangan masyarakat. Menurut Budiono (2015), BUM Desa adalah suatu lembaga ekonomi berada di desa yang dijadikan sarana untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang dikelola oleh pemerintah desa bersama masyarakat. BUM Desa berbeda dengan lembaga ekonomi lainnya, sebab BUM Desa permodalannya diatur dalam kebijakan, dimana komposisinya 51% pemerintah dan 49% masyarakat. Hal ini dipertegas oleh Departemen Pendidikan Nasional (2007) yang menyebutkan bahwa terdapat 7 hal yang membedakan BUM Desa dengan lembaga ekonomi komersial umumnya yaitu; 1.

Modal usaha dimiliki oleh desa dan dikelola secara bersama

2.

Modal usaha bersumber dari desa sebesar 51% dan 49% dari masyarakat melalui penyertaan modal (saham)

3.

Operasionalisasinya menggunakan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal

4.

Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi dan hasil informasi pasar

5.

Keuntungan yang diperoleh ditunjukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa.

13

6.

Difasilitasi oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah desa.

7.

Pelaksanaan operasionalisasi dikontrol secara bersama antara pemerintah desa, Badan Pengawas Desa, dan anggota. BUM Desa merupakan suatu lembaga ekonomi, dimana modal usahanya

dibangun atas inisiatif masyarakat dan menganut asas mandiri, tetapi tidak menutup kemungkinan BUM Desa juga bisa meminjam modal dari pihak luar. Menurut Alkadafi (2014) Badan usaha milik desa adalah pilar kegiatan ekonomi di desa yang memiliki fungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial institution), berpihak pada kepentinbgan masyarakat dan mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang dan jasa) ke pasar. Menurut Syukran dan Tauran (2016) BUM Desa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa untuk mengelola asset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya.Tujuan BUM Desa dibentuk untuk kesejahteraan masyarakat desa dan memiliki peluang dalam membuka lapangan pekerjaan sehingga mampu berperan dalam pengentasan kemiskinan. Berdasarkan pendapat beberapa ahli yang mendefinisikan tentang BUM Desa, maka dapat disimpulkan bahwa BUM Desa adalah sebuah lembaga ekonomi desa yang dibangun atas inisiatif masyarakat serta kearifan lokal untuk menggerakkan dan mengembangkan perekonomian lokal demi kesejahteraan masyarakat desa. Menurut UU Nomor 6 tahun 2014, BUM Desa mendorong desa untuk melakukan pembangunan secara kekeluargaan dan gotong royong demi kesejahteraan masyarakat. Pembentukan BUM Desa pun perlu didasari oleh inisitif masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi mereka. UU Nomor

14

6 tahun 2014 ini juga menyebutkan bahwa BUM Desa dapat menjalankan usaha dalam berbagai bidang. Artinya, BUM Desa dapat menjalankan usaha pelayanan jasa, perdagangan, dan perkembangan ekonomi lainnya. Pusat Kajian Dinamika Sistem Pembangunan (PKDSP) BUM Desa merupakan suatu wahana dalam menjalankan usaha desa, usaha desa tersebut adalah; 1.

Usaha jasa keuangan, jasa angkutan darat dan air, listrik desa, dan usaha sejenis lainnya

2.

Penyaluran sembilan pokok dasar ekonomi desa

3.

Perdagangan hasil pertanian meliputi tanaman pangan, perkebunan, perternakan, perikanan dan agrobisnis.

4.

Industri dan kerajinan rakyat. Menjalankan usaha tersebut tidak membuat BUM Desa menjadi komersial

dan tidak dihegemoni oleh kelompok tertentu di desa. BUM Desa tetap menjadi usaha perekonomian rakyat untuk menggerakkan roda perekonomian desa. BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat desa yaitu dengan pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam. Pada beberapa desa yang ada di Indonesia telah ada yang menikmati hasil hingga jutaan rupiah melalui pembentukan BUM Desa. Penelitian yang dilakukan oleh Kusuma & Purnamsari (2016) di desa Pojong Kecamatan Pojong Kabupaten Gunung Kidul menemukan bahwa BUM Desa yang terdapat di Desa Pojong (BUM Desa Hayangkupi) ini melakukan beberapa kegiatan sosial seperti pemberian kambing kepada warga tidak mampu, memberikan beasiswa kepada anak sekolah dan memberikan kios kepada warga. Omset yang didapat oleh BUM Desa mencapai 200 juta/tahun dengan uang Sisa Hasil Usaha (SHU) mencapai Rp. 88.000.000,- dimana hasil

15

tersebut dialokasikan untuk desa. Hal ini menunjukan bahwa BUM Desa jika dibentuk dan dikelola secara partisipatif melibatkan berbagai pihak akan mampu untuk memberikan dampak yang luar bisa bagi perkembangan ekonomi desa. 2.3.1 Pembentukan dan Pengembangan BUM Desa Pembentukan BUM Desa didasari oleh UU No 06 Tahun 2014 tentang Desa. BUM Desa dibentuk oleh pemerintah desa bersama masyarakat desa atas inisiatif mereka serta sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. BUM Desa akan diatur oleh hukum yang sesuai dengan kewenangan masing-masing desa. Pembentukan BUM Desa, menurut PKDSP (2007) didasarkan pada enam prinsip yaitu : koorperatif, partisipatif, transparansi, emansipatif, akuntable, dan sustainable serta dengan mengunakan dua mekanisme utama yaitu : member base (kemauan/kesepakatan masyarakat banyak) dan self help (memenuhi kebutuhan dasar setiap anggota). Menurut PKSDP (2007) terdapat empat tahap dalam membentuk BUM Desa, diantaranya ialah; 1.

Pemerintah Desa dan Masyarakat Bersepakat Mendirikan BUM Desa. Tahap ini dapat dilihat dengan keterlibatan masyarakat pada kegiatan rembug desa, mengidentifikasi potensi dan permintaan terhadap produk (barang atau jasa), menyusun AD/ART, dan mengajukan legalisasi badan hukum.

2.

Pengelolaan BUM Desa dan Prasyarat Pemegang Jabatan Dalam pengelolaan BUM Desa harus dikelola secara professional dan mandiri dengan memberikan jabatan kepada pengelola tertentu yang memiliki latar belakang pendidikan minimal SMU. Pengelolaan BUM Desa terbagi atas beberapa jabatan yaitu manajer, bagian keuangan (bendahara dan

16

sekretaris). Karyawan diutamakan memiliki latar belakang minimal SMP, sebab harus menyusun laporan dan lain-lain. Pengelola harus terbuka (transparan). 3.

Monitoring dan Evaluasi Proses monitoring dilakukan oleh semua pihak, terutama pemerintah desa dan pemerintah kabupaten. Tahap ini dilakukan pertriwulan atau sewaktu-waktu dianggap perlu sesuai ketentuan AD-RT

4.

Pertanggungjawaban Pengelolan Pertanggungjawaban tentu perlu ada disetiap kelembagaan yang bersifat resmi, dalam hal ini pengelola BUM Desa sebagai lembaga ekonomi resmi desa wajib membuat laporan pertanggungjawaban setiap periode. Laporan pertanggungjawaban dimulai dari laporan kinerja, laporan keuangan, laporan pengembangan usaha, laporan keberhasilan usaha dan laporan rencana pengembangan usaha yang belum terealisasi. BUM Desa yang sudah terbentuk tentu perlu dikembangkan agar tetap

memberikan manfaat bagi masyarakat desa dan semakin mampu bersaing dipasaran. Menurut Hasim dan Remiswal (2009) perkembangan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengukur suatu kemajuan sebuah negara, dalam hal ini perkembangan dapat digunakan untuk mengukur kemajuan sebuah program. Tentu indikator yang digunakan untuk melihat perkembangan pada setiap aspeknya pun berbeda. Menurut Risadi (2012) cara untuk melakukan pengembangan BUM Desa ini terdapat empat tahapan dalam mengembangkan BUM Desa yaitu;

17

1.

Penguatan kelembagaan Tahapan ini meliputi urusan regulasi atau pengaturan, dan penatanan organisasi. Manajemen dalam kelembagaan BUM Desa adalah langkah dalam melakukan penguatan kelembagaan BUM Desa. Manajemen kelembagaan dilihat dari kesektretariatan, pelaksanaan tugas berdasarkan Standar Operating Procedure (SOP) dan Anggara Dana/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).

2.

Penguatan kapasitas Tahapan ini mencakup pemberdayaan, pelatihan dan fasilitasi. Penguatan kapasitas tentu harus memiliki dukungan dari pemerintah setempat dalam memberikan fasilitas atau pelatihan terhadap pengelola dan anggota BUM Desa.

3.

Penguatan produk pemasaran Hal ini dapat dilihat ketika BUM Desa mampu bekerjasama dengan pihak ketiga, mampu memperluas pasar dan memiliki akses terhadap sumberdaya. Penguatan pasar dapat dilakukan dengan manajemen usaha yang bagus.

4.

Keberlanjutan. Hal ini sebagai bentuk idealnya BUM Desa yaitu mencakup pengorganisasian, memiliki forum advokasi, dan mampu promosi. Menurut Eko (2014) berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa

Bantaeng, tingkat perkembangan BUM Desa yang telah dicapai dapat diukur melalui lima indikator diantaranya adalah; 1.

Manajemen kelembagaan Manajemen kelembagaan dilihat dari kesektretariatan , pelaksanaan tugas berdasarkan SOP dan AD/ART

18

2.

Manajemen Usaha Manajemen usaha dapat dilihat dari perencanaan usaha, perencanaan SOP saat usaha dan administrasi pengelolaan usaha.

3.

Manajemen keuangan Majemen keuangan dapat dilihat dari laporan yang dilakukan oleh pengelola, baik laporan keuangan yang masuk ataupun laporan keuangan yang keluar.

4.

Dukungan Pemerintah Desa Dukungan pemerintah desa dapat dilihat dari kegiatan untuk memberdayakan pengelola ataupun anggota BUM Desa dengan memberikan fasilitas ataupun pelatihan.

5.

Kemitraan Kemitraan dapat dilihat dari kerja sama anggota atau pengelola BUM Desa dengan pihak luar dalam rangka memperluang jejaring atau pasar. Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat

perkembangan BUM Desa secara umum dapat dilakukan dengan melihat keduanya yaitu sebagai berikut; 1.

Kekuatan kelembagaan Tahapan ini meliputi urusan regulasi atau pengaturan, dan penatanan organisasi. Manajemen dalam kelembagaan BUM Desa langkah dalam melakukan penguatan kelembagaan BUM Desa. Manajemen kelembagaan dilihat dari kesektretariatan, pelaksanaan tugas berdasarkan SOP dan AD/ART.

19

2.

Kekuatan kapasitas Tahapan ini mencakup pemberdayaan, pelatihan dan fasilitasi. Penguatan kapasitas tentu harus memiliki dukungan dari pemerintah setempat dalam memberikan fasilitas atau pelatihan terhadap pengelola dan anggota BUM Desa.

3.

Kekuatan pemasaran produk usaha Hal ini dapat dilihat ketika BUM Desa mampu bekerjasama dengan pihak ketiga, mampu memperluas pasar dan memiliki akses terhadap sumberdaya. Penguatan pasar dapat dilakukan dengan manajemen usaha dengan melakukan perencanaan usaha, perencanaan SOP saat usaha dan administrasi pengelolaan usaha. Selain itu, perluasan jejaring kerja sama antar anggota, pengelola dan pihak luar pun perlu dilakukan dalam memperluas pasar.

4.

Keberlanjutan Hal

ini

sebagai

bentuk

idealnya

BUM

Desa

yaitu

mencakup

pengorganisasian, memiliki forum advokasi, dan mampu promosi. Empat tahap dalam pengembangan BUM Desa ini sangat penting dalam mewujudkan keberhasilan suatu BUM Desa. Sehingga untuk melihat keberhasilan dalam pengembangan BUM Desa sebagai basis ekonomi warga desa dapat dengan melihat pengembangan yang terjadi pada empat tahap diatas. 2.3.2 Peran Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) Terbentuk peraturan atau perundang-undang tentang BUM Desa tentu memiliki tujuan dan peran tertentu. Tujuannya dari BUM Desa ditentukan oleh pemerintah daerah atau desanya sendiri. Suatu usaha desa yang dikembangkan di desa, tentunya BUM Desa ini memberikan hal-hal yang diharapkan oleh warga

20

desa. Berikut adalah beberapa peran BUM Desa. PKSDP Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya (2007) menyebutkan bahwa secara umum pembentukan BUM Desa bertujuan untuk; 1.

Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (standar pelayanan minimal), agar usaha masyarakat di desa berkembang.

2.

Memberdayakan desa sebagai wilayah yang otonom berkenaan dengan kegiatan usaha yang produktif sebagai pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran di desa dan meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes).

3.

Meningkatkan kemandirian dan kapasitas desa serta masyarakat dalam melakukan penguatan ekonomi desa. Beberapa penelitian menunjukan fakta yang sesuai dengan tujuan umum

pembentukan BUM Desa. Beberapa diantaranya adalah penelitian Ramadana (2013) yang menunjukan bahwa BUM Desa memberikan dampak positif terhadap kepentingan masyarakat desa, peran BUM Desa tersebut adalah pertama, sebagai sumber dana untuk meningkatkan pendapatan desa. kedua, pemenuhan kebutuhan masyarakat karena sebagai lembaga okonomi modal usaha. Ketiga, pembangunan desa secara mandiri. Penelitian Alkadafi (2014) menunjukan bahwa BUM Desa ini memiliki peran sebagai penggerak roda perekonomian masyarakat, meningkatkan pengolahan potensi desa dan menjadi tulang punggung dalam pemerataan ekonomi. Dampak positif dari semua ini maka BUM Desa akan memberikan masukan dana tambahan untuk PADes dan dapat digunakan untuk pembangunan desa. Adapun tujuan BUM Desa yang disebutkan oleh Syukran dan Tauran (2016),

pertama,

menguatkan

kapasitas

lembaga.Kedua¸meningkatkan

21

kemampuan mengolah usaha. Ketiga, meningkatkan pendapatan dan PADes. Keempat, meningkatkan kreatifitas. Kelima, mengembangkan kerjasama. Keenam, menciptakan peluang jaringan usaha. Ketujuh, membuka lapangan kerja. BUM Desa juga berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, hal ini dibuktikan pada penelitian Tama dan Yanuardi (2013) bahwa BUM Desa mampu mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pembangunan di desa. Menurut Dewi dan Meirinawati (2013) juga berpendapat bahwa BUM Desa memiliki beberapa peran yaitu; pertama, meningkatkan pendapatan asli desa. kedua, mengembangkan potensi perekonomian. Ketiga, menciptakan lapangan kerja. Dalam menjelaskan fenomena BUM Desa, seperti yang ditemukan dalam penelitiannya Hardijono (2014) bahwa BUM Desa lebih mengarah pada: a) memaksimalkan tujuan, manfaat dan keuntungan; b) mementingkan rasionalitas kelompok, c) lebih menghargai dan meningkatkan pelayanan; d) lebih termotivasi dan berorientasi pada hal non material. Berdasarkan pendapat beberapa Ahli dan peneliti diatas tentang peran dari terbentuknya sebuah BUM Desa di pedesaan Indonesia. Sehingga secara keseluruhan disimpulkan bahwa peran BUM Desa yang paling utama yaitu untuk desa di Indonesia yaitu a) Meningkatkan PADes; b) Mengurangi pengangguran; dan

c)

mengurangi

kemiskinan.

Secara

umum

BUM

Desa

mampu

mensejahterakan masyarakat pedesaan dengan menggerakkan roda perekonomian masyarakat desa.

22

2.3.3 Peran Pemerintah Desa dan Masyarakat dalam BUM Desa Pemerintah desa sebagai unit pemerintahan terkecil dan berada dipedesaan tentu harus lebih efektif dalam menjalankan perannya sebagai penyelenggara kebijakan atau program. Hal ini karena desa yang beukuran kecil, berisi komunitas yang kecil, dan jarak yang berdekatan memudahkan pemerintah desa untuk melaksanakan kebijakan dan program serta pembinaan secara efisien dan efektif. Peran pemerintah yang efektif dan efisen tentu mampu mempercepat pembangunan di desa. Peran pemerintah saja tidak cukup untuk dapat membuat pembangunan di desa berjalan lancar dan berkelanjutan, tanpa adanya peran dari masyarakat desa yang menjadi sasaran dari pembangunan. Sehingga dalam mempercepat sebuah pembangunan yang dilakukan didesa perlu melibatkan masyarakat itu sendiri. Pembangunan pedesaan hanya akan terjadi ketika proyek dalam setiap program itu berhasil dijalankan. Salah satu program atau kebijakan yang tercantum di dalam UU Nomor 06 Tahun 2014 Tentang Desa yaitu adanya pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Pada pembentukannya BUM Desa dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat. Artinya, pembentukan berdasarkan dari kebutuhan dan keinginan masyarakat desa dan pemerintah desa. Pengelolaannya pun dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat, hal ini guna meningkatkan pendapatan baik masyarakat maupun desa melalui pemberdayaan masyarakat dengan mengelola dan mengembangkan potensi desa. BUM Desa saat ini telah banyak terdapat di setiap desa di Indonesia, sebagai bentuk dari pemanfaatan dana desa yang diberikan kepada desa sebesar Rp1,4 Milyar tersebut. Pada pembentukan BUM Desa yang secara partisipatif, maka peran pemerintah adalah sebagai fasilitator

23

yang menurut Lintang (2016) mendukung setiap saran masyarakat guna meningkatkan

kesejahteraan

dan

menetapkan

skala

prioritas

masalah

pembentukan BUM Desa, menyusun alternatif pemecahan masalah dalam BUM Desa dan menetapkan tindakan-tindakan yang layak. Setelah BUM Desa terbentuk tentu pemerintah pun harus ikut berperan dalam pengembangan BUM Desa agar BUM Desa yang ada tetap berjalan dan berkelanjutan. Masyarakat sebagai sasaran dari program pembangunan pun menjadi hal penting, sebab masyarakatlah yang memahami dan mengerti kondisi lingkungannya. Penelitian Kartika (2012) Menunjukan bahwa pengelolaan Anggaran Dana Desa (ADD) tidak hanya melibatkan para elit desa, tetapi juga melibatkan masyarakat lain seperti petani, kaum buruh, masyarakat, sebab partisipasi menjadi tolak ukur dari keberhasilan ADD, tanpa masyarakat ADD tidak dapat terealisasi dengan sempurna dan tanpa masyarakat pula ADD tidak bermanfaat apapun. Penelitian ini menunjukan bahwa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam program pembangunan desa. Begitu pula halnya dalam pengembangan BUM Desa adanya keterlibatan masyarakat akan membantu keberhasilan dan keberlanjutan program BUM Desa. Adapun peran pemerintah desa dan masyarakat dalam pengembangan BUM Desa menurut Risadi (2012) adalah Pengembangan dan penguatan kelembagaan, penguatan kapasitas, penguatan pasar dan keberlanjutan. Selain peran pemerintah desa, partisipasi masyarakat pun sangat penting dalam pembentukan dan pengembangan sebuah BUM Desa. Masyarakat perlu terlibat dalam setiap tahap dalam pembentukan dan pengembangan BUM Desa untuk mencapai tujuannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerintah dan

24

masyarakat perlu saling bekerjasama dalam mewujudkan dan meningkatkan pembangunan didesa, tidak terkecuali BUM Desa. 2.4 Kerangka berfikir Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan sebuah lembaga ekonomi yang dibentuk di pedesaan Indonesia. Pembentukan BUM Desa ini tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, salah satunya adalah UU No 06 Tahun 2014 Tentang Desa. BUM Desa dibentuk sebagai langkah dalam pembangunan ekonomi lokal di pedesaan yang didasarkan pada kebutuhan, potensi, dan kapasitas desa untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa. BUM Desa sebagai pembangunan perekonomian di desa dalam pembentukan hingga perkembangnya tentu membutuhkan persepsi positif dari masyarakat. Persepsi masyarakat menjadi penting, sebab masyarakat merupakan sasaran dalam meningkatkan pembangunan, khususnya pembangunan ditingkat pedesaan. Pentingnya persepsi masyarakat dalam pengembangan BUM Desa menjadikan prasayarat keberhasilan dari program pembangunan dalam hal ini adalah BUM Desa. Menurut Uphoff (1979) partisipasi memiliki beberapa tahapan diantaranya adalah 1) pengambilan keputusan; 2) pelaksanaan; 3) menikmati hasil; dan 4) penilaian. Partisipati pemuda dalam setiap tahap ini dalam pengembangan BUM Desa dapat menunjukan bahwa pemuda telah terlibat dalam pembangunan desa. Berdasarkan persepsi masyarakat pada setiap tahapan tersebut diduga memiliki hubungan terhadap kinerja dan tingkat perkembangan usaha dalam BUM Desa. Menurut Risadi (2012) perkembangan BUM Desa dapat ditentukan dengan kekuatan kelembagaan, kekuatan kapasitas pengelola, dan

25

kekuatan pemasaran produk dengan begitu akan terlihat pemuda lebih terlibat pada bagian mana dari aspek perkembangan. Persepsi masyarakat dalam pengembangan usaha BUM Desa sebagai bentuk kepercayaan publik terhadap kinerja BUM Desa, tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Suroso (2014) menyebutkan hal yang mempengaruhi faktor tersebut yaitu tingkat komunikasi dan kepemimpinan. Berdasarkan hal tersebut, sehingga peneliti membagi menjadi dua faktor yaitu persepsi masyarakat dan yang kedua yaitu kinerja. Persepsi Masyarakat

Kinerja BUM Desa

Tingkat Perkembangan Usaha BUM Desa: 1. Tingkat kekuatan kelembagaan 2. Kekuatan kapasitas pengelola 3. Kekuatan perluasan produk usaha Gambar 1. Kerangka berpikir persepsi masyarakat terhadap kinerja BUM Desa

2.5 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat dirumuskan hipotesa sebagai berikut : 1.

Diduga persepsi masyarakat memiliki hubungan dengan tingkat kinerja BUM Desa.

2.

Diduga

persepsi

masyarakat

perkembangan usaha BUM Desa.

memiliki

hubungan

dengan

tingkat

26

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian Metodologi penelitian adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati permasahan dan mencari jawab. Dengan kata lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian (Mulyana dkk, 2013). Penelitian dalam penelitian ini, mengunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Disebut kualitatif karena penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2009). Pendekatan deskriptif merupakan penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Zuriah, 2009:47) Menurut Faisal (1990:45) bahwa dalam penelitian kualitatif terdapat proses yang terbentuk siklus, dalam proses yang berbentuk siklus tersebut dapat diindentifikasi adanya tiga tahapan yang berlangsung secara berulang, yaitu tahap 1) eksplorasi yang meluas dan menyeluruh dan biasanya masih bergerak pada taraf pemukaan, 2) eksplorasi secara terfokus atau terseleksi guna mencapai tingkat kedalaman dan kerincian tertentu, dan 3) pengecekan atau konfirmasi hsil temuan penelitian.

27

3.2 Teknik Pengumpulan Data 3.2.1 Observasi Nawawi (1991:100) mengemukakan

observasi adalah pengamatan dan

pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Metode observasi yang digunakan adalah observasi langsung dengan cara pengambilan data dengan mengunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk kepentingan tersebut (Nasir, 2013). Dalam hal ini teknik yang peneliti gunakan pada dasarnya meliputi pengamatan tanpa menyembunyikan identitas seseorang dan kelompok, di samping mereka diberi tahu tentang kepentingan pengamatan peneliti. Dalam observasi ini peneliti tidak ikut terlibat langsung di dalam kehidupan orang observasi, dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat (Nawawi, 1991). Data yang akan diamati ialah harus asli perbuatan dan harus rinci. Melalui teknik pengamatan ini, akan diperoleh gambaran mengenai; gambaran secara umum tentang persepsi masyarakat terhadap produk BUM Desa, perencanaan yang dibuat oleh aparatur desa, pelaksanaan program dan evaluasi program untuk dapat menyatukan persepsi masyarakat desa Pendung Talang genting terhadap produk BUM Desa. Semua data ini diperoleh menggunakan pedoman observasi . 3.3.2 Wawancara Wawancara menurut Nasution (2012:113) adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Pada umumnya wawancara dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu wawancara berstruktur dan tak terstruktur.

28

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tak terstruktur. Wawancara ini mirip dengan percakapan infomal. Metode ini bertujuan untuk meperoleh bentuk-bentuk tertentu informasi dari semua informan, tetapi susunan kata dan urutannya disesuaikan dengan ciri-ciri setiap responden (Mulyana, 2013). Objek sasaran Direktur serta pengelola BUM Desa Pendung Talang Genting kabupaten Kerinci . Dalam pelaksanaan penggunaan teknik wawanacara tak terstruktur ini, peneliti melakukan wawancara dalam bentuk dialog dengan informan dengan tetap mengacu kepada sejumlah pertanyaan dalam upaya mengumpulkan data tentang: perencanaan program, pelaksanaan dan evaluasi produk BUM Desa Pendung Talang Genting Kabupaten Kerinci. 3.3.3 Dokumentasi Metode dokumentasi merupakan sumber non manusia. Sumber ini menurut Lincoln dan Guba adalah sumber yang cukup bermanfaat, sebab telah tersedia sehingga akan relatif murah pengeluaran biaya untuk memperolehnya, juga merupakan sumber yang stabil dan akurat sebagai cerminan situasi atau kondisi yang sebenarnya serta dapat di anlisis secara berulang-ulang dengan tidak mengalami perubahan (Faisal, 1990). Dalam penelitian ini dokumentasi bertujuan mengumpulkan data yang yang terdokumentasi dan memiliki hubungan dengan pelatihan baik yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan hasil yang dicapai.

29

3.4 Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1.

Sumber data berupa manusia, yaitu Direktur dan pengelola BUM Desa Pendung Talang Genting kabupaten Kerinci.

2.

Sumber data berupa suasana, yaitu kondisi perencanan, pelaksanaan dan evlauasi produk BUM Desa Pendung Talang Genting kabupaten Kerinci.

3.

Sumber data berupa dokumen, yaitu : berupa arsip kegiatan BUM Desa, dan lain-lain.

3.5 Pemeriksaan Keabsahan Data Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan derajat kepercayaan (credibility) akan dilakukan teknik perpanjangan keikutsertaan, kecermatan, pengamatan, trianggulasi, dan diskusi sejawat. (Moleong, 2009) 3.6 Perpanjangan Keikutsertaan Cara

ini

akan

memungkinkan

derajat

keterpecayaan

data

yang

dikumpulkan. Peneliti melalui teknik ini, akan berusaha meningkatkan frekuensi kehadiran di lokasi penelitian dengan senantiasa berada dilokasi guna menyelami budaya setting dan lokasi penelitian. 3.7 Kecermatan Pengamatan Peneliti bermaksud akan menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan dengan persoalan atau isu yang sedang di cari, kemudian memusatkan diri pada hal tersebut secara rinci. Dalam kondisi ini, peneliti akan melakukan pengamatan dengan cermat terhadap persoalan yang menonjol dalam

30

penelitian, khususnya yang berhubungan dengan persoalan pola pelatihan yang dilaksanakan . 3.8 Trianggulasi Cara ini adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu, yang berguna untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang ada. Teknik trianggulasi yang digunakan meliputi trianggulasi dengan sumber, metode, dan teori. Trianggulasi dengan sumberyaitu pengujian kesahihan data dengan membandingkan informasi yang sama pada waktu dan alat yang berbeda. Hal ini akan peneliti terapkan dalam bentuk; Pertama, membandingkan data hasil pengamatan yang peneliti peroleh dalam observasi dengan data hasil wawancara. Kedua, membandingkan apa yang dikatakan informan dalam wawancara di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi, Ketiga, membandingkan perspektif manajemen dengan pendapat pakar yang disajikan dalam kerangka teori. Keempat, membandingkan hasil wawancara dengan dokumentasi. Trianggulasi dengan metode akan dilakukan dengan dua strategi: Pertama, pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data, kedua, pengecekan derajat keterpercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. Trianggulasi dengan teori yaitu mencari dan mempelajari teori-teori yang diperlukan untuk mendukung menginterprestasikan data. Melalui teknik ini, peneliti akan membenturkan data hasil data temuan dengan teori-teori yang dituangkan dalam kerangka teori relevan lainnya.

Related Documents


More Documents from ""

1. Proposal.docx
December 2019 38
Pendahuluan.docx
December 2019 36
2. Isi.docx
December 2019 36
Majalah Desa.docx
July 2020 17
Abstrak Idm.docx
July 2020 13