1
POLITIK EKOLOGI DALAM KONSTESTASI ANTARA EKONOMI VERSUS EKOLOGI DI ERA MODERNITAS AKHIR Oleh: Subair/ I363080041 Pendahuluan Dalam setiap ekspresinya, ketegangan baru dalam hubungan antara umat manusia dan dunia alamiah memiliki sebuah dimensi yang bersifat global, entah itu dalam esensinya (perubahan iklim, lapisan ozon pelindung, keragaman hayati, polusi laut dan lain-lain) atau melalui peningkatan serangan “serangan” lokal terhadap lingkungan dan sumber daya alam (penggundulan hutan, gurunisasi, polusi air tanah, penebangan hutan, timbunan limbah rumah tangga dan industri, dan lain-lain). Dengan latar belakang proses perubahan itu, globalisasi teknologi dan ekonomi cenderung menghasilkan keseragaman dalam lingkungan hidup dan menghapus simbolsimbol warisan monumental, baik yang menyangkut warisan budaya (monumen, pusat kota historis, dan lain-lain) maupun warisan alam (keragaman spesies dan pemandangan alam). Upaya-upaya untuk melestarikan warisan budaya dan alam dengan sengaja digagalkan demi kepentingan ekonomi dan laba. Dalam kondisi seperti itu, paradigma pengetahuan dan praktek relasi manusia dengan alam harus ditinjau ulang. Karena kalau keadaan seperti itu terus berlanjut, maka bukan hal yang mustahil bumi mengalami “kiamat” yang lebih cepat dari diperkirakan. Faktanya, saat ini bumi sudah mengalami degradasi lingkungan. Tetapi masih terbuka peluang untuk menyelamatkannya sebelum skenario “kiamat dini” betul-betul terjadi. Oleh karena itu diperlukan reformulasi dan reorientasi cara pandang tentang relasi manusia dengan alam sekitarnya, termasuk tentang cara pandang terhadap kerusakan yang sudah terjadi. Cara pandang dan asumsi kerusakan lingkungan menentukan langkah dan aksi pemulihan lingkungan. Ia menentukan cara para pihak membangun komitmen, kontribusi, dan melakukan aksi riil di tingkat lokal hingga global. Tanpa visi pemulihan lingkungan, kita bisa terjebak dalam negosiasi berwajah ekonomis yang menggadaikan lingkungan dengan uang. Negara maju cukup membayar uang, setelah itu terus merusak lingkungan. Negara miskin merebut uang, setelah itu habis dikorupsi. Tulisan ini hendak memaparkan bahwa bagaimana bumi yang sekarang kita diami bersama sudah benar-benar mendekati batas “daya topangnya” atas kehidupan di atasnya. Dan bahwa itu adalah fakta, disepakati secara global oleh manusia di seluruh bumi ini. Tetapi bagaimana itu terjadi dan bagaimana bumi bisa direvitalisasi/disembuhkan, terjadi banyak beda pendapat. Sebagai ilustrasi awal, sekelompok orang memahami kerusakan lingkungan dari perspektif environmental scarcity (kelangkaan) yaitu menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik penguasaan sumber daya (khususnya yang terbarukan, renewable resources) sebagai akibat pertambahan penduduk dan permintaan. Akibat meningkatnya permintaan, kualitas dan kuantitas sumber daya menurun. Situasi ini mengakibatkan kerusakan, kelangkaan sumber daya, dan melahirkan konflik sosial. Kelompok yang lain, menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik dengan memperhitungkan aspek politik-ekonomi. Cara pandang ini berusaha menjelaskan masalah kerusakan lingkungan dengan memperhitungkan aspek kekuasaan, keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal-nasional-global, kesejarahan, gender, dan peran aktor. Perspektif kedua inilah yang kemudian berkembang menjadi perspektif politik ekologi.
2
Pada akhirnya, ketajaman perspektif politik ekologi terlihat dalam cara memahami kerusakan lingkungan sebagai akibat praktik kekuasaan dan pasar. Kerusakan di suatu wilayah mikro bisa karena kekuatan pasar global yang tidak terlibat langsung. Kasus konflik dan kebakaran hutan, misalnya, selalu terkait dengan kepentingan politik, ekonomi, pasar, dan cara pengontrolan sumber daya, bukan karena kelangkaan. Ekologi dan Pembangunan di Dunia Ketiga Woodhouse (1972) dalam makalahnya yang merupakan refleksi dan proyeksi hubungan antara modernitas dan masalah lingkungan, mengharapkan revisi arus-utama pemikiran politik pembangunan seraya mengharapkan negara dunia pertama, untuk membantu proses perbaikan lingkungan melalui penurunan derajat “consumption explosion” di negara industri maju, ikut menurunkan laju pertumbuhan penduduk dunia, menurunkan angka pertumbuhan ekonomi di negara industri maju (Barat), secara drastis menurunkan angka penggunaan sumberdaya alam tidak terbarukan, dan “de-urbanisasi” kota-kota besar di Barat yang dikenal sebagai kawasan sangat rakus akan energi. Mengapa negara dunia pertama? Karena degradasi ekologis yang terjadi saat ini adalah akumulasi ‘basit’ dari kesejahteraan yang sekarang dinikmati oleh negara-negara di dunia pertama. Pada sisi yang lain, basit kesejahteraan yang mengeksploitasi alam itu berupa pemanasan global beserta embel-embel bawaannya lebih banyak menyengsarakan masyarakat pada negara ketiga. Selama ini paham yang selalu dipopulerkan oleh negara-negara dunia pertama itu adalah degradasi ekologis disebabkan utamanya oleh meningkatnya jumlah penduduk di negara-negara ketiga dan kerusakan pondasi ekologis bumi. Untuk itu maka solusi yang ditawarkan adalah kebijakan-kebijakan pembatasan kelahiran yang semakin sinis dan tidak manusiawi, termasuk pemaksaan penggunaan teknologi kontrasepsi bagi perempuan. Pandangan ini kemudian dipropagandakan di seluruh dunia tidak hanya oleh negara-negara maju yang kepentingan politik dan ekonominya sangat dominan, tetapi juga oleh PBB, atas nama penyelamatan ekologi bumi. Memang sulit untuk mengelak bahwa populasi pada akhirnya benar-benar menjadi beban bagi kapasitas ekologi bumi. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang harus dikritik dari pandangan-pandangan itu, yakni mengapa populasi kemudian dianggap menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan, dan oleh karenanya solusi yang ditawarkannya adalah pembatasan pertumbuhan populasi? Dan mengapa paradigma pembangunan, sistem dunia yang kolonialistik dan eksploitatif, serta gaya hidup dan pemborosan produksi-konsumsi negara-negara maju yang sejatinya menjadi penyebab utama krisis lingkungan justru hanya dianggap angin lalu? Padahal dengan semakin tingginya pemanfaatan sumber daya alam dan sampah yang dihasilkannya, maka sebenarnya yang bertanggungjawab adalah negara-negara maju. Negara-negara itulah yang seharusnya paling bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan. Negara-negara pertama itu khawatir dengan perubahan iklim, tetapi mereka tidak mau bertindak untuk berbuat nyata. AS seharusnya mau mengurangi emisi gas rumah kacanya sesuai dengan komitmen internasional sebagaimana yang tercantum dalam Protokol Kyoto. Akan tetapi itu tidak dilakukannya. Bukannya memenuhi tuntutantuntutan sebagaimana yang ditulis oleh Woodhouse di atas, malah AS terkesan dingin merespons isu perubahan iklim. Banyak kalangan di AS yang masih punya persepsi bahwa perubahan iklim merupakan hal yang sering terjadi dalam perjalanan sejarah
3
dunia. Dan ini didukung bukti-bukti ilmu pengetahuan. Menurut kajian iptek, perubahan iklim memang bukan merupakan sesuatu yang baru bagi bumi. Suhu permukaan dan iklim bumi telah mengalami perubahan sejak 4,7 miliar tahun lalu, kadang berubah secara lambat dan kadang sangat cepat. Selama 900.000 tahun suhu atmosfer dekat permukaan bumi telah mengalami perubahan global cooling dan global warming secara bergantian. Pada 10.000 tahun terakhir ini bumi kita mengalami keajaiban karena iklim dan suhu permukaan bumi relatif stabil, dikarenakan energi matahari yang datang seimbang (sama) dengan energi yang meninggalkan permukaan bumi. Tidak heran jika AS terkesan tidak responsif sehingga tetap menolak Protokol Kyoto. Tidak berhenti hanya pada sikap dingin atas isu perubahan iklim itu, negara-negara maju juga mengingkari perubahan iklim itu sebagai tanggungjawab mereka. Bentukbentuk pengingkaran itu diantaranya dilakukan dengan membuat kajian-kajian yang melemahkan dan menyangkal laporan-laporan ilmiah seperti yang dikeluarkan oleh IPCC, baik yang disponsori oleh korporasi trans/multinasional maupun oleh aktor-aktor di dalam pemerintahan. Pengingkaran-pengingkaran ini dilakukan juga melalui pemaksaan mekanisme-mekanisme perdagangan melalui WTO yang mensubordinasikan otoritas Perserikatan Bangsa-bangsa, serta ekspor teknologi kotor ke negara-negara ketiga. Pengingkaran-pengingkaran ini dilakukan dengan memberikan keleluasan dan perlindungan kepada korporasi-korporasi trans/multinasional untuk menjalankan bisnisnya. Kini kekuasaan Korporasi Global telah menyaingi kekuasan ekonomi-ekonomi negara-negara. Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52 diantaranya adalah Korporasi Global. Oleh karena itu tanggungjawab dan regulasi juga harus dilekatkan kepada korporasi-korporasi ini. Politik pengingkaran ini kemudian dilakukan dengan mengkambing hitamkan negara-negara industri baru seperti Cina, India, Meksiko, Brazil sebagai penyebab utama pemanasan global. Demikian politik kambing hitam ini ditujukan kepada negara-negara seperti Indonesia yang belum lama ini dianugerahi gelar emitor ke-3 tertinggi emisi gas rumah kaca karena kebakaran lahan dan hutan. Politik kambing hitam ini juga bisa dilihat dengan mengalihkan tanggungjawab mereka untuk mengurangi emisi di negaranya dengan bantuan untuk penghutanan di negara berkembang atau melalui mekanisme perdagangan karbon. Pada akhirnya, alih-alih mengakui hutang ekologis, mereka menggunakan intrumen hutang luar negeri dan investasi asing untuk melakukan kontrol, penaklukan terhadap kedaulatan ekonomi negara-negara selatan. Mereka menafikan bahwa kucuran dana baik hutang luar negeri maupun kredit ekspor mereka ikut andil mengkronstruksikan ekonomi yang eksploitatif dan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Termasuk diantaranya sistim bioful estate, industri pembangkit listrik tenaga nuklir, rekayasa genetik. Jerat hutang luar negeri inilah yang akhirnya menjadikan penguasa di negara-negara berkembang ‘membebek’ saja kepada kepentingan negara-negara pertama itu. Disamping tentunya mental untuk mengejar rente ekonomi yang menjanjikan dari proyek-proyek hutan dan proyek ‘perubahan’ iklim yang tidak memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat yang hidupnya bertumpu pada hutan. Woodhouse, dalam analisis eko-politiknya, berpandangan bahwa “internationalsystem – dominated by the rich industrial nations – has a critical influence over future internal development in the poor nations”. Woodhouse selanjutnya mengatakan bahwa politik pembangunan ala Barat yang bersendikan pada ciri-ciri: (1) proses sekularisasi
4
terhadap sistem nilai-budaya lokal, (2) penetrasi rasionalisme ekonomi industrialkapitalistik, (3) kompleksitas organisasi teknologi, dan (4) proses modernisasi kehidupan, telah mendeplesi (menyedot) sumberdaya alam secara berlebihan dan makin meningkatkan derajat resiko masyarakat terhadap bahaya lingkungan tercemar. Belajar dari praktek-praktek pembangunan ekonomi yang berakibat buruk di negara dunia pertama, maka Woodhouse menyarankan untuk tidak mengulangi pengalaman Barat di negara dunia ketiga. Negara-negara maju di Barat adalah negara pencipta dan sumber paham globalisasi. Globalisasi merupakan suatu proses dengan mana perekonomian di berbagai negara diintegrasikan ke dalam ekonomi kapital dunia. Dan aspek yang paling dominan di dalamnya adalah peningkatan sentralisasi produksi dunia dan perdagangan di tangan beberapa ratus perusahan multinasional seperti International Monetary Funds (IMF) dan the World Bank. Hal ini sebenarnya berakar pada budaya kapitalisme yang menganut prinsip bahwa logika perkembangan adalah profit making . Persis seperti yang dikatakan Max Weber mengenai hakikat kapitalisme modern yang ditandai oleh perhitungan rasional atas kapital. Perhitungan seperti itu meliputi salah satunya adalah pemilikan semua sarana fisik untuk produksi – tanah, bahan-bahan mentah, mesin peralatan dan seterusnya – sebagai milik usaha-usaha industrial swasta otonom yang bisa dijual. Pilar utama dari globalisasi adalah paham neoliberal yang mendudukan mekanisme pasar dan kompetisi untuk menentukan masa depan nasib manusia. Paham neoliberal bertumpu pada tiga hal fundamental, yakni perdagangan bebas barang dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan berinvestasi. Paradigma kapitalis ini menjadi spirit kaum kapitalis dalam melihat lingkungan alam, Bumi sebagai sumberdaya yang mesti dikuasai, dieksploitasi demi profit making. Globalisasi dengan demikian adalah biang kerusakan sumber-sumber kehidupan. Karena, suatu produk industri mau tidak mau pasti diproduksi dengan cara-cara mengeksploitasi lingkungan hidup, mencemari air dan udara, berkontribusi pada pemanasan global, meningkatkan penggunaan energi, dan untuk distribusinya membutuhkan infrastruktur berupa jalan raya, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik dan banyak lagi. Dari dampak-dampak globalisasi yang disebutkan di atas, salah satunya yang paling menonjol adalah degradasi ekologi, bahwa karena globalisasi, alam sebagai sumberdaya telah dan sedang mengalami kemerosotan yang luar biasa akibat ulah manusia yang menggaruk maruk alam demi kapitalisme global. Itulah sebabnya masalah yang paling penting yang tengah dihadapi oleh seluruh dunia saat ini adalah masalah krisis alam, bumi tempat dimana kehidupan berlangsung. Dapat dibayangkan jika planet yang menjadi tempat kehidupan satu-satunya ini mengalami kehancuran karena keadaanya mengalami degradasi memprihatinkan yang tak terkendali. Tentu resikonya seluruh kehidupan di dalamnya pun akan lenyap bersama dengan lenyapnya tempat dan sumber kehidupan itu, Bumi. Sekarang ini Bumi sedang mengerang kesakitan membutuhkan pemulihan. Bumi telah dan sedang tiada hentinya dicemari oleh akibat kerakusan manusia, kebodohan, over-populasi, dan perang serta akibat konsumerisme yang berdampak fatal dalam bentuk kekeringan, kemusnahan species, kemiskinan dan kelaparan. Pola-pola pengembangan kapital dan gaya hidup konsumerisme telah menjadi bencana bagi lingkungan alam dan keberlanjutan hidup .
5
Fakta menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi yang dikejar oleh negara-negara Barat selama ini ternyata mengikutkan ‘kegersangan’ dan ‘kekosongan’ yang merupakan inti dari kebahagiaan hidup. Pengejaran kekayaan tidak berbatas yang menjadi tujuan dari budaya kapitalisme tidak mendatangkan kebahagian kepada sebagian besar masyarakat Barat, malah merubah mereka menjadi robot ekonomi yang tidak memiliki tujuan hidup selain ekonomi itu sendiri. Liberalisme yang dianut sebagai kelanjutan kapitalisme melahirkan akibat yang kontra kesejahteraan di mana terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara kelompok kaya dengan kelompok miskin. Hal-hal di atas adalah akibat lain yang harus ditanggung oleh negara-negara Barat selain kehancuran lingkungan seperti yang diungkapkan Woodhouse. Dan kalau negara-negara ketiga mengikuti jejak Barat itu, maka yang akan terjadi adalah akumulasi pengeksploitasian alam yang tidak terkendali karena ukuran kehidupan adalah pemenuhan kebutuhan materi yang tidak terbatas. Pada gilirannya, bumi akan mengalami kiamat lebih cepat, sesuatu yang justru seharusnya sangat dihindari oleh materialisme. Itu adalah skenario terburuk. Resiko yang paling kecil adalah dunia akan dipenuhi oleh manusia-manusia yang mengukur kebahagiaannya dengan materi sehingga tidak akan memperoleh kebahagiaan seumur hidupnya karena kepuasan materi yang selalu bersifat relatif. Dalam beberapa hal, pada hakikatnya gambaran hidup dan kebudayaan masyarakat di negara ketiga, misalnya Indonesia, lebih baik dari pada mereka yang berada pada negara kaya di Barat. Tetapi dalam hal pemasaran dan penggugahan selera seakan membuat Indonesia lebih rendah dari pada Amerika dan United Kingdom. Hal itu dapat menyebabkan paramaterialisme dan konsumerisme. Hal ini sebenarnya memang umum terjadi, namun cara berpikir seperti ini— bahwa baratlah yang harus kita tiru— adalah merupakan suatu yang tragis, yang bermakna bahwa Indonesia akan menjadi satu koloni dari dunia barat, lalu merendahkan martabat negara ketiga di dunia barat, melepaskan hak-hak mereka terhadap ekosistem. Negara ketiga seharusnya melakukan pembangunan sesuai dengan karaktristik dan kebutuhannya sendiri. Pengalaman negara-negara Barat hendaknya dilihat tetapi bukan untuk ditiru melainkan sekedar untuk dipelajari agar tidak terperosok ke dalam kubang ‘penghancuran diri’ berlabel modernisasi, kapitalisme dan liberalisme. Paham pembangunan yang harus dikembangkan adalah pembangunan tidak boleh hanya mengejar pertumbuhan, meskipun pertumbuhan itu penting dan tidak dapat tidak harus ada untuk mengatasi penangguran dan kemiskinan. Tetapi, bagaimana pertumbuhan itu dihasilkan dan bagaimana pendistribusiannya, tidak kalah pentingnya dari pertumbuhan itu sendiri. Secara ekonomi ada internalisasi lingkungan hidup dalam setiap penghitungan ekonomis sumber-sumber daya alam yang ada. Sifting paradigma juga menjadi fokus penyelesaian masalah yang harus diambil pemerintah negara-negara ketiga. Antara Pembangunan Ekonomi dan Kesinambungan Ekologi Perilaku-perilaku individu kapitalis tak terkendali tampak sekarang dalam pasar global dan mengandalikan kompetisi, memicu pencemaran dan pengeksploitasian sumber daya alam tanpa kendali, dengan mengatas-namakan otonomi dan kebebasan kehendak sebagai penguasa kekuasan ekonomi. Globalisasi benar-benar disokong penuh kapitalisme. Di mana informasi dan propaganda global pada gilirannya dikendalikan para pemegang modal. Pasca kekuatan komunisme runtuh, bangkitnya paham kapitalisme
6
telah menghadirkan dinamisasi global makro. Globalisasi berubah menjadi tarik-ulur kepentingan antara segelintir manusia raksasa (the giant authority) pemegang modal besar dan kuat kuasa dengan mayoritas manusia kecil yang tidak memiliki kapital apaapa selain kekecewaan, ketidakpuasan, atau bahkan frustasi akibat ketidakadilan pihak lain. Ini adalah bukti bahwa ekonomi pasar tidak memberikan ‘kesejahteraan’ sebagaimana yang dijanjikannya, dan kegagalan itu adalah akibat dari sistem pasar itu sendiri. Nampak bahwa kekuatan politik dunia sangat menyokong globalisasi sebagai politik ekonomi demi mendongkrak perputaran ekonomi negara namun yang paling diuntungkan adalah para pelaku kapital itu sendiri. Globalisasi adalah logika keuntungan bagi segelintir orang di satu sisi, tapi mesti dibayar pembantaian massal di lain pihak. Bahwa kekuatan besar dalam globalisasi telah mengalienasi kekuatan mayoritas rakyat kecil. Konfrontasi antara kekuatan besar dalam globalisasi dan kekuatan rakyat kecil yang teralienasi, banyak menistakan prinsip-prinsip kemanusiaan serta prinsip-prinsip sutainibility lingkungan. Kehidupan mempunyai batas begitu juga organisme. Kini, batas sudah tidak ada lagi dengan rasa ketidakpuasan manusia yang tak mengenal batas-batas. Abad ini merupakan kemunduran peradaban manusia bukan kemajuan peradaban manusia. Banyak para ahli mengatakan bahwa sains adalah penyelamat manusia abad modern. Dari sainslah lahir sistim ekonomi global dan memicu pemanasan global yang membahayakan umat manusia dan kehidupannya. Salah satu ilmuwan abad ini Fritjop Capra dalam penelitiannya bahwa ilmu pengetahuan telah terjebak dalam jalur yang salah dengan menempatkan ilmu fisika sebagai panutan. Menurutnya, dunia sains sudah waktunya mengganti kiblat dari ilmu fisika—ilmu benda-benda mati—menuju ilmu biologi—ilmu tentang benda-benda hidup. Karena secara hirarkis mahluk hidup memiliki kompleksitas lebih tinggi ketimbang benda-benda mati. Ekspoitasi alam terus berlanjut meskipun peraturan lingkungan hidup terbaru muncul dalam masyarakat Internasional, produk ramah lingkungan, dan banyaknya perjuangan organisasi pencinta lingkungan dunia, namun deforestasi hutan, kepunahan satwa liar dalam jutaan tahun tak pernah berhenti. Pada Juli 2000, para Ilmuwan yang mencapai kutub Utara diatas kapal pemecah es Rusia Yamal berhadapan dengan suatu pemandangan yang aneh dan mengerikan suatu permukaan air terbuka luas, selebar satu mil, sebagai pengganti es tebal berabad-abad menutupi Samudra Artik. Terbukti, apakah bisa sains dan sistem ekonomi kapitalis globalisasi mempunyai solusi untuk mengatur iklim global terkendali lagi, membuat terumbu karang terbaru, membikin ozone buatan yang bisa melindungi kehidupan mendatang dari pemanasan global. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan pendekatan proses “socio-ecological”, artinya suatu proses pembangunan yang bercirikan pemenuhan kebutuhan umat manusia seraya memperhatikan dan memelihara kualitas lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan muncul pertama kali pada tahun 1980 ketika the Union for theConservation of Nature, menerbitkan strategi pelestarian dunia dengan judul ”The World Conservation Strategy”. Dalam laporan itulah untuk pertama kalinya tampil istilah ”sustainable development”. Selanjutnya konsep tersebut menjadi istilah yang dipakai diseluruh dunia, terutama setelah diterbitkannya laporan dari the World Commission on Environment and Development (UN, 1987) , yang dibentuk oleh
7
PBB. Menurut komisi ini yang dikenal juga sebagai Komisi Brundtland, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai: “Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Keadaan dikatakan tidak berkelanjutan manakala ”natural capital”, atau sumber daya alam yang ada, dimanfaatkan atau bahkan dirusak dengan kecepatan yang sangat besar dibandingkan dengan kecepatan pemulihannya. Kerusakan karena keserakahan manusia tidak hanya dirasakan oleh masyarakat setempat, tetapi akan mengancam kehidupan umat manusia secara global, dan yang lebih fatal lagi adalah dampaknya bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang. Pola pembangunan seperti ini jelas tidak bisa berlanjut. Kalaupun ada pertumbuhan atau peningkatan kesejahteraan yang dihasilkannya, tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Bahkan yang terjadi bukan kemajuan tetapi kemunduran dalam taraf hidup dan peradaban manakala daya dukung alam telah sungguh-sungguh menjadi defisit dan dunia telah tidak dapat lagi menunjang kehidupan dan kebutuhan manusia. Dengan demikian pola pembangunan serupa itu tidak adil, karena hanya dinikmati sesaat oleh generasi sekarang tetapi menimbulkan bencana bagi generasi mendatang. Pola pembangunan berkelanjutan yang harus dikembangkan, adalah yang akan menjamin biaya sosial yang rendah, menjamin manfaat yang maksimal dan berkelanjutan, serta menjamin estafet pembangunan, secara terus menerus. Ada tiga persyaratan yang secara umum harus diperhatikan, yaitu (1) kesesuaian sosial budaya, (2) Kesesuaian sosial ekonomi, dan (3) kesesuaian ekologi-alam. Hal itu dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut: Kesesuaian sosial budaya
Kesesuaian sosial ekonomi
Pembangunan Kesesuaian ekologi-alam
Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat, dan dengan demikian masyarakat akan mampu memeliharanya. Pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekologis akan mengikuti kecenderungan siklus alamiah dan akan mendapat hambatan minimum secara alamiah, sehingga mudah dan murah memeliharanya serta dapat meningkatkan kemampuan ekosistem untuk mengadopsinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Pengalaman memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya ekosistem itu mampu memelihara dirinya sendiri asal tidak dirusak oleh manusia sendiri. Itu semua berarti bahwa corak pembangunan yang harus dikembangkan adalah pembangunan berwawasan ekologi. Pembangunan berwawasan ekologi berarti bahwa komunitas lokal dan ekosistem lokal berkembang bersama menuju produktifitas yang lebih tinggi tingkat pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi pula. Tetapi yang paling penting pembangunan dapat berkelanjutan dalam arti ekologis maupun sosial. Permintaan pasar tentu sah-sah saja dan penting bagi pengembangan budaya dan pendidikan tetapi
8
permintaan tersebut harus seimbang dengan kebutuhan lokal, dan bahkan kebutuhan lokal harus mendapat prioritas bila kita berbicara mengenai pembangunan berwawasan ekologi, apalagi jika ini dikaitkan denagn pembangunan egaliter. Menyelamatkan Bumi atau Mengelolanya? Duarte membagi kedatangan dua diskursus kesadaran-filosofis tentang pandangan masyarakat terhadap bumi/alam sebagai reaksi atas krisis-ekologi yaitu pertama adalah “Saving the Planet” yang diusung oleh grassroot-environmentalist yang mencoba mempertahankan bumi tanpa kompromi dari aktivitas degradatif yang berlanjut. Sementara pandangan kedua adalah “Managing the Planet”, yang berupaya memproteksi alam agar terus berkemampuan mereproduksi masyarakat industrial modern via pembangunan ekonomi. Menurut Duarte, pandangan pertama berkembang menjadi kesadaran moral yang dilabel sebagai “Ecocentric Globality” sesuai dengan pandangan filosofis dari Naess tentang Deep-Ecology. Sementara itu, pandangan kedua berkembang menjadi kesadaran moral berlabelkan “Instrumental Globality” yang belakangan berkembang menjadi gerakan “Ecological Modernization”, dimana gerakan ini berkeyakinan bahwa dengan dukungan perangkat institusi, maka masyarakat industrial modern mampu menghadapi krisis ekologi. Dalam perjalanannya, Instrumental Globality atau modernisasi ekologi saat ini tampaknya memenangkan negosiasi politik pembangunan di arena global. Sebagaimana dijelaskan oleh Duarte, bahwa pandangan ekosentris hanya bermain pada tataran retorika belaka dalam percaturan politik dunia saat ini karena sifatnya yang counter cultural dan berdiri pada posisi bertentangan secara radikal dengan ‘budaya masyarakat modern’ yang merupakan budaya masyarakat dunia saat ini. Sementara pandangan instrumental adalah filosofi dasar dari ‘modernisasi ekologi’ yang ‘menyetujui’ krisi ekologi pada masyarakat modern saat ini tetapi sekaligus juga menawarkan kebijakan-kebijakan lingkungan untuk mengatasi krisis itu tanpa meninggalkan modernisasi. Modernisasi ekologi, karena itu menurut Duarte memelihara kontinuitas melalui pencerahan formula dalam kemajuan kekayaan dan kontrol alam melalui sistem yang baik dan ilmu pengetahuan. Bagi penulis, pandangan instrumental globality bukanlah sebuah pandangan yang sama dengan etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme. Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, satu-satunya moral patient. Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang dangkal). Barangkali pandangan instrumental globality lebih sepadan dengan etika lingkungan biosentrisme yang bersama-sama dengan ekosentrisme mengkritik secara tajam etika antroposentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling
9
tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan"(Fritjof Capra:1997). Kemenangan pandangan intrumental globality tidak berarti menghilangkan peran pandangan ecocentric globality. Ibarat oposisi dalam suatu sistem kenegaraan yang dikuasai oleh kelompok yang memenangkan pertarungan politik, moral politik ecocentric globality senantiasa dibutuhkan untuk mengontrol kekuasaan instrumental globality. Ia akan menjadi semacam kontrol moral yang menjaga agar “pembangunan terintegrasi” antara manusia dan ekologinya dapat tetap berjalan secara benar. Dan apabila suatu saat zaman menginginkan, mengganti posisi instrumental globality untuk menguasai politik pembangunan dunia”. Strukturalisme dan Oposisi Biner : Suatu Pengantar Sebelum melangkah lebih jauh dalam postrukturalis dan posmodernisme, ada baiknya dimulai pemberangkatannya melalui kajian strukturalis terhadap oposisi biner terlebih dahulu. Konsep oposisi biner mula-mula diteorisikan oleh ahli bahasa Ferdinand de Saussure. Tetapi Claude Levi-Strauss-lah yang membuatnya menjadi sangat berpengaruh. Strauss adalah antropolog strukturalis yang banyak menggunakan teori-teori bahasa Saussure sebagai suatu sistem struktural untuk menganalisa semua proses kultural seperti cara memasak, cara berpakaian, sistem kekeluargaan, mitos dan legenda dalam masyarakat. Bagi Strauss, oposisi biner adalah ‘the essence of sense making’: struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup. Oposisi biner adalah sebuah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan. Dalam struktur oposisi biner yang sempurna, segala sesuatu dimasukkan dalam kategori A maupun kategori B, dan dengan memakai pengkategorian itulah, kita mengatur pemahaman dunia di luar kita. Suatu kategori A tidak dapat eksis dengan sendirinya tanpa berhubungan secara struktural dengan kategori B. Kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B. Tanpa kategori B, tidak akan ada ikatan dengan kategori A, dan tidak ada kategori A. Dalam sistem biner, hanya ada dua tanda atau kata yang hanya punya arti jika masing-masing beroposisi dengan yang lain. Keberadaan mereka ditentukan oleh ketidakberadaan yang lain. Misalnya dalam sistem biner laki-laki dan perempuan dan laki-laki, daratan dan lautan, atau antara anak-anak dan orang dewasa. Seseorang disebut laki-laki karena ia bukan perempuan, sesuatu itu disebut daratan karena ia bukan lautan, begitu seterusnya. Oposisi biner adalah produk dari ‘budaya’, ia bukan bersifat ‘alamiah’. Ia adalah produk dari sistem penandaan, dan berfungsi untuk menstrukturkan persepsi kita terhadap alam natural dan dunia sosial melalui penggolongan-penggolongan dan makna. Strauss juga menyebutkan konsep dasar dari oposisi biner yaitu ‘the second stage of the sense-making process’: penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah (sesuatu yang kongkret) untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak. Contoh sederhana dari konsep ini misalnya diberikan oleh John Fiske (1994): konsep oposisi biner angin badai dan angin tenang (kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak). Proses transisi
10
metafor dari sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret ini dinamakan Strauss sebagai ‘the logic of concrete’. Secara struktur oposisi biner berhubungan satu dengan yang lain, dan bisa ditransfor-masikan dalam sistem-sistem oposisi biner yang lain. Oposisi biner menimbulkan posisi-posisi ambigu yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori A atau kategori B, yang bisa disebut dengan atau ‘kategori ambigu’ atau ‘kategori skandal’ (Strauss lebih senang menyebutnya dengan ‘anomalous category‘). ‘Kategori anomali’ muncul dan mengganggu sistem oposisi biner. Ia mengotori kejernihan batas-batas oposisi biner. Antara anak-anak dan orang dewasa, ada posisi remaja. Antara daratan dan lautan, ada pantai. Antara orang hidup dan orang mati ada sesuatu yang disebut vampir, hantu, zombi. Antara laki-laki dan perempuan ada gay/lesbian/banci. Pantai, remaja, vampir/hantu/zombi, atau gay/lesbian/banci adalah ‘kategori anomali’.
Strukturalisme vs Poststrukturalisme Para strukturalis seperti Claude Levi-Struss, atau setidaknya para pemikir yang sejalan dengan pemikiran strukturalisme, misalnya Max Weber, Emile Durkheim, dan Ferdinand de Soussaure memiliki berbagai pandangan mengenai relasi fenomena sosial. Levi-Strauss mengkonsepkan oposisi biner pada struktur kesadaran manusia yang yang membentuk transformasi antara struktur nirsadar (unconsciouss structure) dalam pikiran manusia yang memepengaruhi struktur permukaan (surface structure). Weber dalam hipotesisnya menyatakan bahwa ada makna yang tunggal atau yang sama yang merupakan produk kesepakatan. Durkheim beranggapan bahwa fakta sosial terbentuk dari suatu kesadaran kolektif. Soussaure memastikan bahwa ada hubungan yang jelas antara signified dan signifier. Selain para strukturalis, Marx dan Marxis menyatakan bahwa ekonomilah sebagai base-structure yang telah mempengaruhi super-structure seperti politik, budaya, sosial. Bila dirangkum pandangan dari para strukturalis dan Marxis tersebut, maka dinyatakan bahwa terdapat komunikasi satu arah dengan pemaknaan tunggal yang membentuk fenomena sosial. Kebenaran dipandang bersifat univokal. Strukturalisme lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents). Sebagaimana ditunjukkan Chris Barker (2000), strukturalisme sebenarnya bisa dilacak kembali pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak anggapan empirisis bahwa pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman. Tetapi strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme Ferdinand deSaussure dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna merupakan efek dari struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan bersifat analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner: hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan dan lain sebagainya. Dalam konteks pengabaian human agents, strukturalisme bersifat antihumanis. Konsep strukturalisme tentang kebudayaan lebih memusatkan perhatiannya pada sistem-
11
sistem relasi dari struktur-struktur yang mendasari sesuatu (umumnya bahasa) dan aturanaturan bahasa yang memungkinkan terjadinya makna. Sementara menurut Williams (1980), teks hanyalah bagian dari cara berpikir yang diproduksi oleh perubahan kondisikondisi sosial dan ekonomi. Kata Williams, “Kita harus berhenti dari prosedur umum untuk mengisolir objek dan kemudian menyelidiki komponen-komponennya. Sebaliknya kita harus menyelidiki praktek-praktek dan kemudian kondisi-kondisinya”. Jika kulturalisme menekankan sejarah, maka strukturalisme justru menekankan pendekatan sinkronik, relasi-relasi struktur dianalisa dalam potongan-potongan peristiwa yang bersifat khusus. Di sini strukturalisme sangat menekankan aspek kekhususan kebudayaan yang tidak bisa direduksi begitu saja ke dalam fenomena lainnya. Dan jika kulturalisme memfokuskan diri pada interpretasi sebagai jalan untuk memahami makna, maka strukturalisme justru menegaskan perlunya sebuah ilmu tentang tanda yang bersifat objektif. Pandangan strukturalisme tentang makna yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi biner, sama dengan mengatakan bahwa makna bersifat stabil. Kestabilan makna inilah yang menjadi pusat serangan pascastrukturalisme atas strukturalisme. Tokoh-tokoh utama poststrukturalisme, seperti Derrida dan Foucault, menyatakan bahwa makna tidaklah stabil, ia selalu dalam proses. Makna tidak bisa dibatasi dalam satu kata, kalimat atau teks khusus, tetapi ia merupakan hasil dari hubungan antarteks: intertektualitas. Sama seperti strukturalisme, poststrukturalisme juga bersifat antihumanis. Derrida (1976) menyatakan bahwa kita berpikir hanya dengan tanda-tanda, tidak ada makna asli yang bersirkulasi di luar representasi. Dan Foucault menyatakan (1984) menyatakan bahwa manusia hanyalah produk dari sejarah. Dalam hal politik kebenaran, setiap masyarakat dianggap memiliki rezim kebenaran. Rezim kebenaran tersebut berupa (a) tipe wacana yang diterima dan membuatnya berfungsi sebagai kebenaran, (b) mekanisme untuk memudahkan pembenaran dan penyalahan, (c) alat sanksi, (d) teknik dan prosedur untuk mengkomposisikan nilai. Berkaitan dengan politik kebenaran tersebut, posmodernisme mengajukan kritiknya bahwa kebenaran bukanlah berasal dari base-structure ataupun super-structure, melainkan dari perbincangan / wacana yang berkembang dalam masyarakat yang selanjutnya membenarkan ataupun menyalahkan. Proses pendisiplinan atau rutinisasi yang bertujuan menciptakan wacana ataupun transmisi pengetahuan, tidak hanya dilakukan oleh institusi-institusi saja melainkan juga melalui wacana atau perbincangan yang terjadi secara umum dan meluas dalam masyarakat. Dengan demikian maka konsep apparatus yang dikemukakan oleh Althusser menjadi tidak relevan lagi. Sebagai contoh : rakyat takut kepada negara padahal negara tdak lagi menakuti rakyatnya. Foucault menyebutnya sebagai diskontinuasi fungsi. Total dominasi tersebut terus bergerak dan pada gilirannya mengalami kontekstasi sehingga tak ada kesepakatan makna yang pasti. Menyoal Representasi : Etnografer sebagai Interpreter dan Konstruktor Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian. Ia adalah proses sosial dari ‘representing’. Ia juga produk dari proses sosial “representing’. Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi
12
juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentukbentuk yang kongkret. Jadi, pandangan-pandangan hidup kita tentang perempuan, anakanak, atau laki-laki misalnya, akan dengan mudah terlihat dari cara kita memberi hadiah ulang tahun kepada teman-teman kita yang laki-laki, perempuan dan anak-anak. Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup kita terhadap cinta, perang, dal lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mempu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) kita mengung-kapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita ‘merepresentasikannya’. Dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan imejimej yang kita gunakan dalam merepresenta-sikan se-suatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada se-suatu tersebut. Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan: darimana suatu makna berasal? bagaimana kita membedakan antara makna yang sebenarnya dari sesuatu atau suatu imej dari sesuatu? Yang pertama adalah pendekatan reflektif. Di sini bahasa berfungsi sebagai cermin, yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di dunia. Kedua adalah pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis. Dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai. Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ‘peta konseptual’ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara ‘peta konseptual’ dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ’sesuatu’, ‘peta konseptual’, dan ‘bahasa/simbol’ adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa.
13
Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan: representasi. Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negosiasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru. Intinya adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu. Menurut Auge (1995), etnografer dapat dipandang setidaknya dalam tiga hal, yakni (a) a social surveyor, (b) a manipulator of scales, dan (c) a low-level comparative language expert. Dengan demikian, dapat dipetakan bahwa etnografi sendiri mengalami beberapa masalah : (a) bahwa etnografi sangat tergantung pada alat linguistik, (b) etnografi tidak bisa murni objektif karena digambarkan secara kontekstual dan melalui kesepakatan retorik, serta legitimasi institusi (baik dilawan, didukung, dan sebagainya) , (c) etnografi tidak dapat menggambarkan multivokal, (d) kebudayaan terus berubah seiring dengan waktu padahal etnografi bertujuan ‘membekukan’ budaya. Poststrukturalis menyatakan adanya suatu permainan tanda-tanda. Bahasa telah dimaknai ulang, sehingga ia bukan semata-mata ekspresi subjektivitas melainkan pembentukan subjek. Subjektivitas itu sendiri tidak stabil. Etnografer kemudian menjadi pengarang, yang mana konstruksi realitas menjadi lebih dominan daripada deskripsi realitas. Ia memulai kerjanya dengan prejudis dan mengakhirinya dengan produksi realitas baru. Bahasa yang dipergunakan oleh etnografer tersebut pada akhirnya justru melahirkan realitas baru yang bisa jadi berbeda dengan realitas yang dikajinya dulu. Hal tersebut menjadi semakin tak terelakkan mengingat etnografer sendiri memiliki keterbatasan referensi bahasanya sendiri yang bisa dianggap cukup layak jika dipadankan dengan teks yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan yang dikajinya. Permasalahan itu juga ditambah dengan kemampuan etnografer sendiri dalam menganalisis permasalahan yang diteliti yang sangat tergantung pada kapabilitas dan minat etnografer itu sendiri. Problem metodologis ini terjadi pada setiap kerja etnografi. Beberapa etnografer yang bertugas pada wilayah yang sama terhadap aspek yang sama bisa jadi akan menghasilkan analisis dan laporan yang berbada, tergantung pada kapabilitas masing-masing. Perbedaan tersebut akan semakin besar jika aspek yang dikaji berbeda sekalipun wilayahnya sama. Perbedaan tersebut akan terus membesar jika dilakukan studi komparatif pada masyarakat yang terletak pada wilayah berbeda. Hal inilah yang kemudian menjadi pangkal kritik tajam terhadap George Murdock’s Files dalam Human Relation Area Files dalam Outline of World Cultures, 1963. Definisi klasik bahwa etnografi bertujuan ‘to grasp the native point of view’ tampaknya dilanjutkan dengan ’subsequently to create new reality’. Pada tataran pembentukan konstruksi realitas baru tersebut, maka realitas kebudayaan yang dipotretnya tersebut dibekukan bahkan dimatikan melalui pembatasan dan penerjemahan selektif yang dilakukan oleh etnografer itu sendiri. Mencermati Hibirida Identitas : Contoh Kasus I
14
Dalam bukunya yang terkenal, Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (1983), Ben Anderson menyatakan bahwa “bangsa” adalah sebuah “komunitas imajiner” dan identitas nasional adalah sebuah konstruksi yang diciptakan lewat simbol-simbol dan ritual-ritual dalam hubungannya dengan kategori administratif dan teritori. Menurutnya, bahasa nasional, kesadaran waktu, dan kesadaran ruang, merupakan konstruksi yang diciptakan lewat fasilitas-fasilitas komunikasi. Ia menjelaskan bahwa produksi koran dan buku-buku misalnya, menetapkan standar-standar bahasa yang kemudian menyediakan kondisi bagi terbentuknya sebuah kesadaran nasional. Kritik yang bisa dikemukan atas pemikiran Anderson ini adalah bahwa ia menganggap bahasa bersifat stabil. Anderson terlalu menekankan aspek homogen, kesatuan, dan kekuatan perasaan kebangsaan yang mengatasi perbedaan klas, gender, etnisitas dsb, dan tidak melihat bahwa perbedaan konteks dan lapangan-lapangan interaksi ternyata menciptakan identitas yang khusus dan berbeda-beda. Ketidakstabilan bahasa, menurut Homi Bhabha (1994), memaksa kita untuk tidak memikirkan kebudayaan dan identitas sebagai entitas yang bersifat tetap, tetapi selalu berubah. Pemikiran Anderson juga tidak memadai untuk melihat bagaimana kebudayaan dan identitas terbentuk dalam globalisasi. Globalisasi menyediakan sebuah tempat yang lapang bagi konstruksi identitas; pertukaran benda-benda/simbol-simbol dan pergerakan antartempat yang semakin mudah, yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi, membuat percampuran dan pertemuan kebudayaan juga semakin mudah. Dalam globalisasi, kebudayan dan identitas bersifat translokal (Pieterse 1995). Kebudayaan dan identitas tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam term tempat, tetapi akan lebih baik jika dikonseptualisasikan dalam term perjalanan. Dalam konsep ini tercakup budaya dan orang yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, juga kebudayaan sebagai sites of criss-crossing travellers (Clifford 1992). Ide tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi membawa kita kepada pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayan dan identitas yang berbeda-beda. Inilah yang disebut hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh hibridasi. Pada tahap ini menjadi penting untuk berbicara tentang kreolisasi. Dalam kreolisasi elemen-elemen kebudayaan lain diserap, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Subkultur rasta di Jamaika memakai rantai di sabuk celana, panjang, menjuntai ke bawah, menyapu lantai. Mereka memakainya sebagai bentuk solidaritas kepada teman-temanya yang dipenjara. Tetapi di Indonesia, rantai semacam itu dipakai untuk pengikat dompet, selain sebagai asesori fesyen, juga agar tak mudah kecopetan. Konsep kreolisasi sekaligus memberikan cara berpikir alternatif, yang berbeda dengan konsep imperialisme kultural (Tomlinson 1991), yang menganggap Barat telah berhasil melakukan dominasi budaya atas Timur dengan menciptakan “kesadaran palsu” lewat budaya massa, benda-benda konsumen dll. Karena kenyataannya konsumen tidaklah pasif, melainkan menciptakan makna-makna baru bagi benda-benda dan simbolsimbol yang mereka konsumsi. Homi Bhabha (1994) mengajukan konsep mimikri untuk
15
menggambarkan proses peniruan/peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Menurutnya mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, ketergantungan kulit berwarna kepada kulit putih, tetapi peniru menikmati/bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang “tidak tepat” dan “salah tempat”, ia imitasi sekaligus subversi. Dengan begitu mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Inilah dasar sebuah identitas hibrida.
Mencermati Pengalaman Spiritualitas : Contoh Kasus II Arogansi pemegang otoritas agama-agama besar dapat dijadikan bukti bahwa telah terjadi rezimentasi atas kebenaran beragama yang pada gilirannya mereka mengklaim bahwa merekalah yang memiliki kebenaran yang sejati sekaligus mengupayakan suatu legitimasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam menjaga integritas beragama yang mereka atas namakan tersebut. Upaya pengawalan terhadap legitimasi tersebut dilakukan baik secara internal maupun eksternal dengan membentuk sistem pendisiplinan beragama. Menurut rezim ini, kebenaran beragama adalah apa-apa saja yang mereka gariskan, dan jika terdapat praktek yang berbeda maka hal tersebut dinilai sebagai bid`ah atau menyimpang atau sesat. Sekalipun garis yang dibuat oleh pemegang otoritas keagamaan tersebut cukup tegas, namun nyatanya kemunculan aliran-aliran alternatif dalam beragama yang berbeda dengan arus utama agama-agama besar terus menjamur. Mulai dari yang sangat fanatik sampai yang sangat moderat. Di Indonesia, realitas berkembangnya berbagai aliran spiritual yang dianggap ‘berbeda’ (istilah menyimpang / sesat dianggap tidak tepat) bisa menjadi studi kasus untuk melihat bagaimana seorang etnografer memahaminya dan menjelaskan realitas tersebut. Para etnografer bisa jadi menggunakan istilah aliran sesat ataupun menyebutnya sebagai aliran sesat. Bisa juga dengan sebutan apapun. Apapun istilah yang digunakan, etnografer pasti melakukan negosiasi identitas terhadap publik. Umumnya, masyarakat awam mengamini klaim yang diajukan oleh pemegang otoritas rezim keagamaan yang resmi. Katakanlah, etnografer tersebut tidak terbawa arus pemikiran dan memilih mengidentifikasi kelompok aliran tersebut sebagai aliran yang ‘beda’. Ia bisa mengidentifikasinya sebagai aliran spiritual, aliran posreligius dan lain sebagainya. Etnografer tersebut selanjutnya akan menguraikan satu-persatu dengan berbagai deskripsi dan narasi. Ia bisa jadi menyalahkan ataupun membenarkan klaim kebenaran, baik yang diajukan oleh otoritas keagamaan besar maupun klaim kebenaran yang dipercayai oleh penganut aliran spiritual tersebut.. Permasalahannya ternyata tidak sesederhana pada tataran identifikasi kelompok saja. Pengalaman spiritual atau pengalaman Ketuhanan tidak sesederhana itu. Pengalaman tersebut bersifat sangat pribadi yang mana masing-masing pribadi memiliki pengalaman Ketuhanan ataupun pengalaman spiritual yang berbeda yang pada masing-masing pribadi tersebut memiliki bahasa yang berbeda dalam menjelaskan
16
pengalamannya itu. Pengalaman Ketuhanan pada masing-masing anggota aliran spiritual tersebut bisa jadi berbeda dengan beberapa kesamaan yang relatif. Berbeda juga dengan pengalaman Ketuhanan yang dirasakan oleh pengikut arus utama agama besar. Berbeda pula dengan pengalaman Ketuhanan yang dialami oleh sang etnografer sendiri. Perbedaan tersebut terletak pada pengalaman yang dialami dan pada kode bahasa yang digunakan dalam menjelaskan pengalaman pribadi tersebut. Apa yang disampaikan dan apa yang diterima bisa jadi berbeda maksud dan penafsirannya. Relasi signified dan signifier menjadi tidak pasti sehingga makna menjadi tidak pasti. Dengan demikian, upaya generalisasi dan komparasi pengalaman spiritual menjadi tidak tepat. Jika menggunakan bingkai strukturalis ala Saussure dan Levi-Strauss, maka etnografer dapat dipastikan akan memandang dan menilai aliran spiritual tersebut dalam posisi biner, bisa jadi ia menyalahkan ataupun sebaliknya. Namun jika sang etnografer memandangnya melalui bingkai poststrukturalis, maka ia akan menemukan bahwa oposisi yang terjadi tidaklah bersifat biner. Subjek memiliki otonominya masing-masing. Pengalaman spiritual tersebut bersifat polivokal atau polimorfik. Pembaca karya etnografi juga harus menyadari bahwa sang etnografer juga memiliki otonomi subjek yang hal tersebut akan relatif mempengaruhi bagaimana ia menulis tentang fenomena aliran spiritual tersebut. Antara objek kajian, etnografer, dan pembaca etnografi akan ditemukan negosiasi identitas yang tentu saja tidak bermakna tunggal, bahkan makna yang hadir tidaklah stabil. Kesimpulan
Poststrukturalis dan posmodernisme menunjukkan bahwa relasi antara signifier dan signified tidak pasti sebab tidak ada proses determinasi yang pasti pula. Dengan demikian, makna menjadi tidak tetap karena terjadi destabilization text yang berlanjut menjadi destablilization meaning. Akibat ketidakpastian tersebut, maka bahasa sangat tergantung dengan interpreter, sedangkan interpreter membawa politiknya sendiri yang sengaja maupun tak sengaja fungsinya sebagai interpreter berubah menjadi pembentuk konstruksi ‘realitas’ yang baru. Betapapun seorang etnografer mencoba menjembatani kode lingusitik dan menghindari deterministik, namun ia tetap akan terjebak dalam ambisi ilmu pengetahuan yang berusaha melegitimasi upaya penentuan mana yang realitas dan mana yang bukan.
Ekonomi versus Lingkungan: Strategi-strategi Pertautan dalam Bingkai Pembangunan Kedudukan dan domain politik lingkungan selalu menjadi perdebatan para ahli. Persoalan lingkungan dianggap sebagai persoalan ekonomi politik, pemerintah, kelembagaan, tata kelola, kewenangan, kekuasaan, norma, ideologi, kebijakan dan pasar maupun persoalan sosial budaya tergantung bagaimana kita melihatnya. Definisi ruang lingkup dan batasan politik lingkungan sering dianggap tidak jelas. Dia bisa berada di mana saja. Namun umumnya politik lingkungan dianggap merupakan domain bidang politik.
17
Di dalam banyak buku ekonomi, persoalan lingkungan dianggap sebagai akibat dari tingkah laku ekonomi dan pasar. Perilaku ekonomi perorangan atau institusi (organisasi) dianggap menentukan jenis penguasaan atas sumberdaya alam dengan ekternalitas pada lingkungan. Biasanya analisis persoalan pencemaran misalnya dianggap sebagai persoalan transaksi ekonomi. Ada pihak yang menghasilkan polusi karena memproduksi suatu barang dan orang disekitar pabrik atau di daerah hilir dari pabrik jika berada di dalam suatu daerah aliran sungai atau sistem sungai akan menderita namun mereka tetap membeli produk tersebut karena harganya murah. Tidak adanya tindakan pencegahan pencemaran membuat konsumer mendapat untung dari harga produk yang mudah. Namun jika pihak yang dicemari menuntut perusahaan untuk menerapkan tindakan pencegahan agar tidak mencemari lingkungan, maka perusahaan harus menambah biaya instalasi alat dan biaya produksi namun pihak yang dicemari harus membayar harga produk menjadi lebih mahal. Pihak yang dirugikan dapat dianggap perlu membayar perushaan untuk melakukan tindakan pencegahan. Ketika harga murah dari sudut ekonomi (Welfare Eonomics) produk barang yang dihasilkan dianggap diproduksi berlebihan (overproduced) dan udara serta air yang digunakan dianggap digunakan secara berlebihan (overtulized). Padahal persoalan yang dihadapi memerlukan penanganan dari sudut kelembagaan yang membutuhkan pengambilan keputusan dan tindakan kolektif. Tindakan kolektif juga bisa bermasalah jika menyangkut barang publik (public goods) dan pasti ada persoalan politik karena ada pihak yang tidak mau atau ingin mencari keuntungan. Pihak yang diruginkan dapat melobi pemerintah untuk membuat peraturan yang ketat kepada perusahaan untuk menangani lingkungan atau menetapkan pajak produksi perusahaan pencemar. Lobi, tekanan dan pengaruh untuk membuat perusahaan lebih memperhatikan lingkungan jauh lebih efektif daripada negosiasi dan transaksi yang dilakukan dengan uang. Pemerintah sebagai unsur politik yang mempunyai kewenangan dapat menangani masalah ini dnegan kebijakan dan peraturan. Karena itu persoalan ini lebih tepat dibawa ke dalam kerangka peraturan dan kebijakan dan persoalan lingkungan di sini lebih bersifat politik daripada ekonomi karena kebijakan pemerintah yang akan membentuk model keputusan di tangan perusahaan maupun konsumer. Di dalam banyak kasus persoalan lingkungan dianggap bukan karena kegagalan pasar (market failure) tetapi karena kegagalan kelembagaan dan kebijakan yang cenderung politik daripada ekonomi. Politik dan ekonomi sulit dipisahkan dalam politik lingkungan. Misalnya peran korporasi raksasa dalam mendapatkan akses dan penguasaan sumberdaya alam untuk diekploitasi dan diperdagangkan akan memberikan keuntungan secara finansial dan ekonomi. Namun semuanya melalui proses politik, lobi pemerintah, terlibat dalam politik pembuatan kebijakan, penggunaan kekuasaan uang untuk menguasai sumberdaya alam, mempengaruhi peraturan pemerintah atau melanggar kesepakatan. Tulisan Thomas Koten (TK) yang berjudul Orientasi Baru Etika Lingkungan (SH, 05/01), menarik untuk dicermati. Saya sependapat bahwa pascatsunami di Aceh, kita memerlukan pandangan yang lebih mendasar mengenai alam dan lingkungan hidup. Dalam konteks inilah, TK mengajukan tesis bahwa etika yang selama ini telah mengesahkan sikap eksploitasi terhadap alam, yang secara langsung atau tidak melahirkan watak kapitalisme-materialisme–harus dirombak dan dibalik
18
menjadi sebuah etika lingkungan yang bisa mengayomi dan melayani seluruh makhluk hidup. Dengan demikian, lanjut TK, martabat lingkungan secara keseluruhan diangkat menjadi sesama bagi manusia. Pola hubungan secara hierarkis yang menciptakan sifat eksploitatif ditempatkan pada tingkatan saling melengkapi menuju kesempurnaan dunia yang harmonis. Hubungan emansipatif, cinta dan saling menghormati di antara manusia pun harus diperpanjang sampai ke alam lingkungan secara keseluruhan. Sehingga, keharmonisan dan kedamaian di alam semesta dapat tercipta di bumi ini. Ide TK itu, sesungguhnya telah diusung oleh sebuah aliran pemikiran baru di bidang ekologi yang kemudian dikenal dengan ”spiritual ecology”. Aliran ini muncul seiring dengan kurang disentuhnya dimensi yang bersifat fundamental (fundamental ideas) yang muncul dalam kehidupan ekologi manusia. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam pemikiran lingkungan di Barat, yang khas ekonomik dan teknologik, kerusakan lingkungan hidup manusia hanya dipandang sebagai persoalan alami dan teknis belaka. Apa yang digagas oleh TK sebagai refleksi teologis-ekologis atas kerusakan lingkungan hidup pascatsunami di Aceh, patut mendapat apresiasi. Persoalannya, paradigma ”spiritual ecology” itu tidak cukup dalam tulisan ”singkat”, sebagaimana ”hanya” bisa dibaca dalam tiga paragraf terakhir tulisan TK. Untuk itu, tulisan ini akan mencoba melengkapinya. Sistem Ekologi Yang menjadi kajian dalam ekologi berpusat pada manusia dan alam yang dipandang sebagai suatu sistem (ekosistem). Karena manusia dan alam merupakan suatu ekosistem, maka kondisi yang mutlak diperlukan untuk tetap mempertahankan kesatuan tersebut adalah, adanya hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan hidupnya. Manakala keseimbangan dan keharmonisan manusia dengan lingkungannya terganggu, maka akan terganggu pula kesejahteraan manusia. Persoalan lingkungan hidup seperti yang ditunjukkan dengan adanya bencana gempa, banjir, longsor, dan kebakaran hutan, sebenarnya muncul ketika hubungan manusia dengan alam sekitarnya mengalami ketidakserasian. Persoalan berikutnya adalah, bagaimana keserasian hubungan tersebut dapat dielaborasi. Di sinilah faktor manusia memegang peranan yang sangat penting. Meskipun dalam ekosistem antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya dipandang sebagai suatu kesatuan, namun semua bagian makhluk yang lain amat terganggu pada persepsi dan perlakuan manusia. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan industrialisasi yang berkembang demikian cepatnya, menjadi bukti dari kekuatan manusia yang mampu menaklukkan alam sekitarnya. Tetapi, di balik kemajuan tersebut, manusia sekarang tampaknya mulai merasakan realitas lain. Kemajuan di bidang iptek dan industrialisasi itu, ternyata mencuatkan persoalan baru yang mengancam eksistensi manusia itu sendiri, persoalan krisis ekologis.
19
Tetapi yang paling mendasar dan langsung menyentuh sisi eksistensi manusia adalah, kaburnya tempat manusia dalam apa yang telah diciptakannya itu. Keadaan inilah yang sering disebut dengan fenomena alienasi, yakni keterasingan manusia dari dirinya. Ini dapat dipandang sebagai paradoks modernitas, jika mengingat kembali tujuan semula iptek dikembangkan. Ironisnya, dalam perkembangan lebih lanjut, manusia justru menjadi bagian dari hasil kreasinya, dan bahkan menjadi budak ciptaannya. Berbagai implikasi negatif dan destruktif perkembangan iptek dan industrialisasi inilah yang kemudian mendorong manusia melihat kembali hakikat dari iptek. Untuk apa ia sebenarnya diciptakan? Pertanyaan ini sekarang mulai dicarikan jawabannya pada sumber absolut yang tidak hanya semata-mata berdasarkan pada kekuatan rasionalitas manusia. Hal ini tampak dengan adanya keinginan untuk kembali kepada dunia spiritual, setelah sekian lama ditolak karena dipandang tidak mendorong terjadinya modernisasi. ”Spiritual Ecology” Dalam konteks diskursus ekologi, kebangkitan spiritualisme ini membawa implikasi pada pergeseran paradigma ekologi, yaitu suatu pandangan yang mencari dasardasar pijakan spiritual untuk mengangkat ekologi lebih dari sekadar ilmu dan beroperasi lebih dari sekedar dalam konteks politik. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ”ekologi dalam” (deep ecology) sebagai lawan dari paradigma ”ekologi dangkal” (shallow ecology). ”Ekologi dalam” ini mempunyai pijakan pada filsafat dan agama. Dari sinilah kemudian paradigma ”spiritual ecology” dibangun. Apa yang membedakan antara ”ekologi dalam” dengan ”ekologi dangkal”? Sedikitnya ada tiga. Pertama, dari segi kerangka dasarnya. Kedua, dari segi model hubungan antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya. Ketiga, dari aspek tujuan jangka panjangnya. Dalam perbedaan yang pertama, ”ekologi dangkal” banyak dibentuk oleh pemikiran-pemikiran modern yang positivistik dan antroposentrik, yang berimplikasi pada penguasaan manusia atas alam. Sedangkan ”ekologi dalam”, karena basisnya filsafat dan agama, maka kesatuan ekologis menjadi pandangan yang paling utama dengan menempatkan hak asasi manusia dan alam. Manusia diakui hak asasinya atas alam, karena potensi dan kedudukannya sebagai pengelola alam – sebagai khalifah fi al-ardl dalam doktrin spiritualisme Islam. Alam pun diakui hak asasinya, karena berlakunya hukum keseimbangan dalam alam semesta. Pandangan dasar tersebut mempunyai pengaruh terhadap hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Jika ”ekologi dangkal” lebih memusatkan pada manusia (antroposentrik), sehingga memunculkan hubungan yang sepihak, yang dapat dilihat pada eksploitasi yang sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia. Maka, dalam ”ekologi dalam”, model hubungan yang diciptakan adalah keseimbangan. Dalam konteks keseimbangan ini, eksploitasi terhadap alam tetap dilakukan, namun harus berdasar pada prinsip keseimbangan ekologi. Jika ”ekologi dangkal” lebih berorientasi pada produksi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, maka ”ekologi dalam” lebih diorientasikan pada terpeliharanya moralitas manusia yang tetap menjaga keseimbangan alam.
20
Spiritual ecology” pada dasarnya ingin memberikan wacana baru, bahwa krisis ekologis lebih banyak berhubungan dengan manusia dalam memandang realitas alam ini. Jika kita tidak ingin tertimpa bencana alam untuk kali kesekian, maka saatnya bagi kita untuk membangun sekaligus membumikan spiritualitas ekologi di negeri ini.
Kesimpulan Bagaimanapun, kerusakan lingkungan bukanlah buatan alam atau kiriman Tuhan. Kerusakan lingkungan adalah buah tangan manusia sendiri. Strategi dan pendekatan pembangunan yang kita kelola pun akhirnya gagal memenuhi tiga kriteria mendasar dalam pengelolaan ekologi. Pertama, kita membiarkan pemanfaatan "sumber daya alam terbarukan" melebihi laju regenerasinya. Misalnya, hutan kita eksploitasi habis-habisan sambil mengabaikan rehabilitasi dan penghijauan kembali. Kedua, kita membiarkan laju penipisan "sumber daya tak terbarukan" sambil tak menimbang pengembangan sumber daya substitusinya. Dalam konteks inilah minyak bumi kita eksploitasi sambil alpa menyiapkan sumber energi alternatif jauh-jauh hari. Ketiga, kita membiarkan produksi limbah yang melebihi kemampuan asimilasi lingkungan. Sampah, misalnya, kita produksi tanpa menimbang kemampuan lingkungan menyerap dan mengasimilasikannya. Dengan kekeliruan mendasar dan struktural yang kita pelihara dalam rentang waktu yang lama, kerusakan lingkungan pun berjalan dalam deret ukur, sementara kemampuan kita memperbaiki kerusakan itu berjalan dalam deret hitung. Dalam kerangka ini, ancaman terhadap masa depan demokrasi dan peluang penyejahteraan sesungguhnya tidak datang dari kekeliruan strategi demokratisasi dan penyejahteraan itu. Ancaman terpokok datang dari sumber yang jauh lebih mendasar: kegagalan kita memelihara daya dukung ekologi bagi kelangsungan hidup umat manusia di atas permukaan Bumi. Namun, terlepas dari itu semua, perubahan pada level kebijakan dan penguatan kelembagaan lingkungan hidup sangat diperlukan sebagai fondasi bagi perubahan yang lebih bersifat struktural dan berdimensi jangka panjang.
21
DAFTAR BACAAN Andreski, Stanislav, Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Burhanudin, Yusuf, Globalisasi atau Global Holocoust?, http://www.cmm.or.id/ Borrong, R.P., Pemanasan Global dan Pasar Global, dalam http://www. suarapembaruan. com/News/2007/06/23/Editor/edit01.htm Brunsvick, Yves & Andre Danzin, Lahirnya Sebuah Peradaban: Goncangan Globalisasi,Yogyakarta: Kanisius, 2005 Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999. Dharmawan, Arya Hadi, Krisis Energi, Pangan, Ekologi, dan Ekonomi Finansial Global: Mengantisipasi Indonesia Tahun 2030, Makalah. Edward J. Woodhouse, Re-Visioning the Future of the Third World: An Ecological Perspective on Development, World Politics, Volume 25, Issues 1 (October 1972), John Hopkins University Press. Fernanda de Paiva Duarte, ‘Save the Earth’ or ‘Manage the Earth’? The Politics of Environmental Globality in High Modernity, Current Sociology, January 2001, Vol. 49(1), SAGE Publications (London, Thousand Oaks, CA and New Delhi) Nico Stehr, Economy and Ecology in an Era of Knowledge-Based Economies, Current Sociology, January 2001, Vol. 49(1), SAGE Publications (London, Thousand Oaks, CA and New Delhi).
22
EKONOMI VERSUS EKOLOGI: TINDAKAN SOSIO-POLITIS APAKAH YANG TEPAT UNTUK MENYELAMATKAN BUMI DAN SEGALA ISINYA DI ERA MODERNITAS AKHIR?
23
Makalah pada Mata Kuliah Teori Sosial Hijau Dibawah arahan Dosen: DR. Arya Hadi Dharmawan
Oleh: Subair NRP: I363080041
PROGRAM DOKTOR MAYOR SOSIOLOGI PEDESAAN DEPARTEMEN KPM FEMA IPB 2008