1. Bedah Bph.docx

  • Uploaded by: Fadli
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1. Bedah Bph.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,314
  • Pages: 22
LAPORAN KASUS No. ID dan Nama Peserta: dr. Nirma Rahayu HS, S.Ked No. ID dan Nama Wahana: RSUD Lamaddukelleng, Kabupaten Wajo Topik: Retensi Urine e.c Hipertrophy Prostat susp BPH Tanggal (Kasus): 15 Oktober 2018 Nama Pasien/Umur: Tn. S/56 tahun

No. RM: 18129216

Tanggal Presentasi: 5 January 2019

Pendamping: dr. Rasfiani, S.Ked DPJP

: dr. H. M.Risal, Sp.B

Tempat Presentasi: RSUD Lamaddukelleng, Kabupaten Wajo Obyek Presentasi:  Keilmuan

 Keterampilan

□ Penyegaran

□ Tinjauan Pustaka

 Diagnostik

 Manajemen

 Masalah

□ Istimewa

□ Neonatus

□ Bayi

□Anak

□ Remaja

 Dewasa

□ Lansia

□ Bumil

□ Deskripsi: Laki-laki 56 tahun dating ke rumah sakit dengan keluhan tidak bias BAK sejak tadi pagi. Keluhan BAK sedikit-sedikit dialami sejak 6 bulan terakhir dan memberat sejak 2 bulan terakhir. Sejak tadi malam pasien mengeluh sering terbangun untuk BAK namun pasien merasa tidak puas. Nyeri saat BAK tidak ada. Riwayat BAK berwarna merah, berpasir dan batu tidak pernah. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat hipertensi ada dan DM tidak ada. Bahan bahasan:

□ Tinjauan Pustaka

Cara Membahas:

 Diskusi

Data pasien:

Nama: Nn. Tn.S

Nama Klinik: RSUD Lamaddukelleng

□ Riset

 Kasus

□ Presentasi dan diskusi

□ E-mail

□ Audit □ Pos

No. registrasi: 18129216 Telp: -

Terdaftar Sejak:15/10/2018

Data utama untuk bahan diskusi: 1. Laki-laki 56 tahun dating ke rumah sakit dengan keluhan tidak bias BAK sejak tadi pagi. Keluhan BAK sedikit-sedikit dialami sejak 6 bulan terakhir dan memberat sejak 2 bulan terakhir. Sejak tadi malam pasien mengeluh sering terbangun untuk BAK namun pasien merasa tidak puas. Nyeri saat BAK tidak ada. Riwayat BAK berwarna merah, berpasir dan batu tidak pernah. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat hipertensi ada dan DM tidak ada. 2. Riwayat Pengobatan: berobat untuk hipertensi dengan amlodipine 5mg 1x1 3. Riwayat kesehatan/Penyakit: Tidak pernah masuk rumah sakit sebeumnya 4. Riwayat keluarga : Tidak ada riwayat penyakit yang serupa dalam keluarga Daftar Pustaka:

1. Roehrborn CG, McConnell JD. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia. Dalam: Campbell’s Urology, edisi ke-7. Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ. Philadelphia: WB Saunders Co; 2000. p. 1297-330, 1429-52. 2. Chatelain CH, Denis L, Foo JKT, et al. Recommendations of The International Scientific Committee: Evaluation and Treatment of Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) in older man. Dalam: Chatelain Ch, Denis L, Foo JKT. Khoury S, McConnell J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th International Consultation on BPH. London, Health Publication Ltd; 2000. p. 519-35. 3. Lee C, Cockett A, Cussenot O, Griflith K, Isaac W, Shalken J. Regulation of Prostatic Growth. Dalam: Chatelain CH, Denis L, Foo KT, Khoury S, McConnell J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th International Consultation on BPH. London, Health Publication Ltd; 2001. p.79-116. 4. Ramsey EW Elhilail M, Goldenberg SL, Nickel CJ, Norman R, Perreault JP et al. Practice Patterns of Canadian Urologist in BPH and Prostate Cancer. J Urol 163; 2000. p. 499-502. 5. Narayan P. Neoplasma of The Prostate Gland inTanagho EA, Mc Annich JW (eds). Smith’s General Urology. Appleton and Lange 1992; 13: p.378-9. 6. Rous SN. Anatomy of The Prostate in Rous SN (ed) Urology, A Core Textbook 2nd edition. Blackwell Science 1996: p. 186-8. 7. Snell R. Anatomi Klinik. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis. In: Hartanto H, Listiawati E, Suyono Y, Susilawati, Mahatmi T, Prawira J, et al, Editors. Anatomi Klinik. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 350-2. 8. Mc Neal JE. Prostate and Prostatic Urethra: A Morphologic Study. J Urol 1972;107:1008. 9. Vaalsti A, Herronen A. Autonomic Innervation of The Human Prostate. Invest Urol 198;17: p.293. 10. Lepor H, Gregerman M, Crosby R et al. Precise Localization of The Autonomic Nerves from The Pelvic Plexus to The Corpora Cavernosa: A Detailed Anatomical Study of The Adult Male Prostate. J Urol 1985; 133: p. 207-12. 11. Dixon JS, Gosling JA. Macro Anatomy of The Prostate in Kirby R, McConnel JM, Fitzpatrick J, Rochborn C, Boyle P (eds). Textbook of Benign Prostate Hyperplasia. ISIS Medical Media Oxford 1996: p. 3-10. 12. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Jakarta: EGC; 2001. p. 499-502. 13. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85. 14. Kirby R, Christmas TJ. Benign Prostate Hyperplasia, 2nd ed. Mosby International, 1997: p. 1-6. 15. Rahardjo D, Birowo P. Karakteristik Penderita-Penderita Pembesaran Prostat Jinak di RS.Sumber Waras dan RSCM. Submitted to MKI. 16. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Indonesia. Jakarta. 2003. p. 15-35. 17. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis, dan Penanganan. Jakarta: 1999. p. 42-55. 18. Medicastore. [Internet] Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia). Available from: URL: http://medicastore.com/penyakit/557/Pembesaran_Prostat_Jinak_BPH_Benign_Prostatic_Hyperplasia.html. Accessed on: November 25, 2013.

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio 1. Subjektif:

Laki-laki 56 tahun dating ke rumah sakit dengan keluhan tidak bias BAK sejak tadi pagi. Keluhan BAK sedikit-sedikit dialami sejak 6 bulan terakhir dan memberat sejak 2 bulan terakhir. Sejak tadi malam pasien mengeluh sering terbangun untuk BAK namun pasien merasa tidak puas. Nyeri saat BAK tidak ada. Riwayat BAK berwarna merah, berpasir dan batu tidak pernah. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat hipertensi ada dan DM tidak ada. 2.

Objektif: PEMERIKSAAN FISIK A. Status Vitalis Sakit Berat/gizi baik/compos mentis Tekanan Darah: 160/100 mmHg Nadi

: 84 x/menit

Pernafasan

: 24 x/menit

Suhu

: 36,7oC

B. Status Generalis 1.

Kepala :

Deformitas

: Tidak ada

Simetris wajah

: Simetris kiri dan kanan

Rambut

: Sukar dicabut

Ukuran

: Normocephal

Bentuk

: Mesocephal

2.

Mata :

Eksoftalmus

: Tidak ada

Konjungtiva

: Tidak Anemis

Pupil

: Isokor, Diameter 2,5 mm/2,5 mm

Sklera

: Tidak ikterus

3.

Telinga :

Pendengaran

: Dalam batas normal

Nyeri tekan d prosesus mastoideus : Tidak ada 4.

5.

Hidung : Perdarahan

: Tidak ada

Sekret

: Tidak ada

Mulut : Bibir

: Tidak kering, Tidak ada sianosis

Lidah

: Tidak kotor

Faring

: Tidak hiperemis

Tonsil

: T1-T1 tidak hiperemis

6.

7.

Paru : Inspeksi

: Simetris, tidak ada retraksi, simetris kiri = kanan

Palpasi

: Fremitus kiri = kanan

Perkusi

: Sonor seluruh lapang paru kiri = kanan

Auskultasi

: Vesikuler, Bunyi tambahan : Ronkhi (-), Wheezing (-)

Jantung : Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas atas ICS III

Batas kanan linea parasternal kanan Batas kiri, linea midclavicularis sinistra Auskultasi 8.

: BJ I/II murni reguler, Bising tidak ada

Abdomen : Inspeksi

: Datar, ikut gerak napas

Palpasi

: Hepar dan Lien tidak teraba, bulging kesan Blush + penuh

Massa tumor : tidak teraba

9.

Perkusi

: Timpani (+)

Auskultasi

: Peristaltik ada, kesan normal

Ekstremitas : Tidak ada deformitas Tidak ada edema

Rectal Toucher : kesan Hipertrophy prostat Gr. 3-4 D. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium PEMERIKSAAN

HASIL

HGB RBC WBC PLT CT/BT Ur/Cr GDS SGOT/SGPT HBsAg

10,8 gr/dl 3,09 x 106 10,29 x 103 417 x 103 8,15/4,10 27/0,86 338 mg/dl 32/26 U/L Non Reactive

2. Pemeriksaan Radiologi

USG : 15 Oktober 2018 Kesan : Hipertrophy Prostat E. Diagnosa Retensi Urine e.c Hipertrophy prostat susp. BPH F. Terapi R/ Pasang kateter tetap IVFD RL 28 tpm Inj. Ranitidin amp/12j/iv Inj. Cefotaxime 1gr/12j/iv (ST) Harnal 1x1

G. Prognosis Ad vitam

: Dubia

Ad functionam

: Dubia

Ad sanatiam

: Dubia

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pertumbuhan jinak kelenjar prostat, yang menyebabkan prostat membesar.13

Gambar 6. Gambaran Prostat Normal dan Pembesaran Prostat McNeal yakin bahwa pembesaran prostat jinak tidak terjadi pada zona peripheral dan juga berpendapat bahwa sebagian besar karsinoma prostat yang berasal dari zona transisional, biasanya jenis karsinoma dengan gradasi rendah (low grade).5,8

Gambar 7. Sel pada Prostat Normal dan Prostat yang Membesar B. EPIDEMIOLOGI Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi. 14

Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini seirng juga dikenal sebagai hipertrofi prostat, meskipun sebenarnya yang terjadi ialah hiperplasia dari kelenjar periuretral, sedang jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah.15 Angka kejadian (insidens) yang pasti untuk pembesaran prostat jinak di Indonesia belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran “hospital prevalence” di RSCM ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak selama tiga tahun (September 1994-Agustus 1997) dan di RS.Sumber Waras 617 dalam periode yang sama.15 Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. 14 Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik. 14 Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30 - 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik. 14 C. ETIOLOGI Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate rat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah: a) teori dihidrotestosteron, b) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, c) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, d) berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan e) teori stem sel.1 D. PATOFISIOLOGI Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahannya juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.1 Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat dan dapat terjadi

inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga dapat menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.1

E. GAMBARAN KLINIS Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.4 1. Gejala Klinis Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai sindroma prostatisme. Walaupun begitu sindroma ini tidak patogomonik untuk BPH. Obstruksi intravesikal yang lain dapat pula memberikan gejala klinis seperti sindroma prostatisme ini. Oleh karena itu istilah ini belakangan sering diganti dengan Lower Urinary Tract Symptom (LUTS). Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil

(straining), buang air kecil terputus-putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow. Gejala iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence). Dari kedua macam gejala tersebut, gejala obstruktif biasanya lebih menonjol. Bila terjadi gejala iritasi lebih menonjol harus dipikirkan penyebab lain selain BPH. Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya Skor International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Tabel 1. Skor Internasional Gejala Prostat SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT International Prostate Symptom Score (I-PSS) Untuk pertanyaan nomor 1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut: 0 = tidak pernah 1 = kurang dari sekali dari 5 kali kejadian 2 = kurang dari separuh kejadian 3 = kurang lebih separuh dari kejadian 4 = lebih dari separuh dari kejadian 5 = hampir selalu Dalam satu bulan terakhir ini, berapa seringkah Anda: 1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing? 2. Harus kencing lagi padahal belum ada setegah jam yang lalu Anda baru saja kencing? 3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan hal ini dilakukan berkali-kali? 4. Tidak dapat menahan kenginan untuk kencing? 5. Merasakan pancaran urin yang lemah? 6. Harus mengejan dalam memulai kencing?

Untuk pertanyaan nomor 7, jawablah dengan skor dibawah ini: 0 = tidak pernah 1 = satu kali 2 = dua kali 3 = tiga kali 4 = empat kali 5 = lima kali 7. Dalam satu bulan terakhir ini, berapa kali Anda terbangun dari tidur malam untuk kencing? TOTAL SKOR (S)= Pertanyaan nomor 8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan gejala diatas, jawablah dengan: 1 = sangat senang 2 = senang 3 = puas 4 = campuran antara puas dan tidak puas 5 = sangat tidak puas 6 = tidak bahagia 7 = buruk sekali 8. Dengan keluhan seperti ini, bagaimanakah Anda menikmati hidup ini? Kesimpulan: S …, L …, Q …, R …, V … (S = skor I-PSS, L = kualitas hidup, Q = pancaran urin dalam ml/detik, R = sisa urin, V = volume prostat)

Skor International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score (IPSS) merupakan salah satu skor gejala prostat yang dikembangkan oleh The American Urological Association (AUA) dan telah disetujui oleh WHO untuk dipakai secara luas. IPSS merupakan kuesioner berisi 7 index gejala traktus urinarius bagian bawah yaitu 4 gejala obstruksi seperti kecing tidak puas (incomplete emptying), kencing terputus-putus (intermittency, pancaran

kencing lemah (weak stream), dan kencing mengejan (straining) serta 3 gejala iritasi seperti sering kencing (frequency), tidak dapat menunda kencing (urgency), dan kencing malam hari (nocturia). IPSS mempunyai manfaat untuk menilai tingkat keparahan gejala, menentukan cara penanganan, mengevaluasi perkembangan penyakit pada penderita yang menjalani pengawasan, menilai hasil terapi, menilai pengaruh gejala yang dialami penderita terhadap kualitas hidup, dan sebagai alat pengukuran yang konsisten dan telah teruji sehingga memungkinkan untuk membandingkan satu penderita dengan penderita lain. Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,2,5. Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar skor < 10 (BPH bergejala ringan), skor 11-20 (BPH bergejala sedang), dan skor >20 (BPH bergejala berat). Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya. Table 2. Skor Madsen-Iversen SKOR MADSEN-IVERSEN Keterangan

0

Pancaran

Normal

Mengejan saat berkemih

Tidak

Harus menunggu saat

1

2

Berubahubah

3

4

Lemah

Menetes

Ya

Tidak

Ya

BAK terputus-putus

Tidak

Ya

BAK tidak lampias

Tidak

akan berkemih

Berubah-

Tidak

1 kali

>1 kali

ubah

lampias

retensi

retensi

Inkontinensia

Ya

BAK sulit ditunda

Tidak

Ringan

Sedang

Berat

BAK malam hari

0-1

2

3-4

>4

>3 jam

Setiap 2-3

Setiap 1-2

<1 jam

sekali

jam sekali

jam sekali

sekali

BAK siang hari

2. Tanda Klinis Lakukan pemeriksaan fisik pada umumnya dan tentukan pula status urologisnya. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan colok dubur/ digital rectal examination (DRE).

Ukuran dan konsistensi prostat juga perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi. Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan. Sedangkan jika didapatkan nyeri tekan, maka dapat dicurigai sebagai prostatitis. Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium: a. Stadium I Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis. b. Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia. c. Stadium III Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. d. Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flowin kontinen). Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa: Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyanganyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbling (urine terus menerus setelah berkemih), dan retensi urine akut. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum

Tanda-tanda vital

- Kesadaran

- Tekanan darah

- Gizi

- Nadi

- Thorax

- Frekuensi napas

- Abdomen

- Suhu

- Extremitas

Status Urologis Ginjal

Inspeksi, palpasi bimanual jika membesar  ballottement, nyeri ketok

Vesica Urinaria

Jika penuh: inspeksi, palpasi, perkusi

Genitalia Externa

Inspeksi dan palpasi pada penis, OUE, testis, epididymis, vas deferens

DRE (digital rectal examination)

Tonus

sphincter

ani,

prostat,

tonjolan,

konsistensi, pole atas, nodul, asimetris, perkiraan besar

Gambar 12. Pemeriksaan colok dubur/ rectal toucher Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini: Rectal Gradding Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong: - Grade 0: Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum - Grade 1: Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum - Grade 2: Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum - Grade 3: Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum - Grade 4: Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum Clinical Gradding Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.

- Normal: Tidak ada sisa - Grade I: sisa 0-50 cc - Grade II: sisa 50-150 cc - Grade III: sisa >150 cc - Grade IV: pasien sama sekali tidak bisa kencing F. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, elektrolit serum, perlu dikerjakan sebagai dasar keadaan umum penderita. Pemeriksaan kadar gula juga perlu dikerjakan terutama untuk mengetahui kemungkinan adanya neuropati diabetes yang dapat menyebabkan keluhan miksi. Pemeriksaan urinalisa juga harus dikerjakan, termasuk pemeriksaan bakteriologiknya. Adanya hematuria berarti perlu evaluasi lenjut secara lengkap.1 Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), yang disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific, juga merupakan salah satu sarana untuk meramalkan perjalanan penyakit BPH. Dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH/ laju pancaran urin lebih jelek, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut.1 Hasil PSA yang normal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum memulai terapi medikamentosa BPH. Sebagai pegangan penilaian PSA diinterpretasikan sebagai berikut: Nilai PSA dan interpretasinya 0,5-4,0 ng/ml  Normal 4,0-10 ng/ml  Kemungkinan Ca 20% (perlu TRUS & biopsi) > 10 ng/ml  Kemungkinan Ca 50% (perlu TRUS & biopsi) Kenaikan > 20% per tahun  Segera rujuk untuk TRUS & biopsi 2. Pemeriksaan Uroflowmetri Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin ini dapat diperiksa dengan uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup untuk mendapatkan flowmetrogram yang representatif paling sedikit 150 ml dan maksimal 400 ml, yang ideal antara 200-300 ml.1 Penilaian hasil : Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif 10-15 ml/detik : border line

10 ml/detik : obstruktif Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, uroflowmetri merupakan cara terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi traktus urinarius bagian bawah.1 3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik Perkembangan teknik pemeriksaan ultrasonogarfi (USG) membawa manfaat yang besar bagi evaluasi penderita BPH. Selain itu dengan USG ini dapat pula diperiksa buli-buli, misalnya ada batu buli-buli, tumor bulibuli, divertikel. Juga dapat diperiksa jumla residual urine. Terdapat beberapa macam tranducer untuk pemeriksaan prostat yaitu suprapubic (abdominal), transrektal dan transuretral.1 Pemeriksaan rontgenologik yaitu pyelografi intravena (IVP) sekarang tidak lagi merupakan pemeriksaan rutin untuk evaluasi penderita BPH tetapi hanya dikerjakan secara selektif.1 4. Pemeriksaan Panendoskopi: Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review: Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra. Keadaan uretra prostatika, bagian prostat mana yang membesar, panjangnya uretra yang obstruktif karena pembesaran prostat. Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor, ada tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui kapasitas buli-buli. F. DIAGNOSIS Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi).1

Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal dan untuk penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat atau PSA). Pada penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi peningkatan kadar PSA, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah penderita juga menderita kanker prostat.1 G. DIAGNOSIS BANDING

Oleh karena proses miksi tergantung pada beberapa faktor maka faktor ini pula yang dapat menjadi diagnosis banding BPH, yaitu:1 1. Kekuatan otot detrusor berkontraksi Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh karena kelainan syaraf (neurogenik bladder), misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropathy diabeticum, sehabis operasi radikal yang mengorbankan persyarafan didaerah pelvis, alkoholisme, penggunanan obat penenang, ganglion blocking agent, dan obat parasimpatolitik (seperti obat yang sering dikonsumsi penderita asma kronik). 2. Elastisitas leher vesika Kekakuan leher vesika dapat disebabkan oleh proses fibrosis (bladder neck contracture). 3. Resistensi uretra Resistensi uretra dapat disebabkan oleh karena pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor dileher vesika, batu di uretra atau striktura uretra. Kelainan-kelainan tersebut dapat dilihat bila dilakukan sistoskopi. Disamping itu, meskipun di Indonesia jarang terjadi, obstruksi infravesikal dapat disebabkan oleh gangguan fungsi misalnya dissynergia detrusor sfingter.

Maka setiap kesulitan miksi yang dialami penderita dapat disebabkan oleh ketiga faktor tersebut. Adapun penyakit-penyakit yang gejala-gejalanya menyerupai hipertofi prostat jinak diantaranya adalah sebagai berikut berserta klinis dan pemeiksaan yang membedakan dengan BPH:1 1. Ca Prostat Keluhan sesuai gejala saluran kemih bagian bawah (Lower urinary tract symptoms = LUTS), yaitu gejala obstuktif dan iritatif. Kecurigaan umumnya berawal dari ditemukan nodul yang secara tidak segaja pada pemeriksaan rektal. Nodul yang irreguler dan keras harus dibiopsi untuk menyingkirkan hal ini. Atau didapatkan jaringan yang ganas pada pemeriksaan patologi dari jaringan prostat yang diambil akibat gejala BPH. Kanker ini jarang memberikan gejala kecuali bila telah lanjut. Dapat terjadi hematuria, gejala-gejala obstruksi, gangguan saraf akibat penekanan atau fraktur patologis pada tulang belakang. Atau secara singkat kita anamnesa dan kita akan dapatkan sebagai berikut : - Terjadi pada usia >60 tahun - Nyeri pada lumbosakral menjalar ke tungkai - Prostatismus dan hematuri - Rectal toucher: permukaannya berbenjol, keras, fixed 2. Prostatitis Gejala dan tanda prostatitis akut terdiri dari demam dengan suhu yang tinggi, kadang dengan gigilan, neri peineal atau pinggang rendah, sakit sedang atau berat, mialgia, antralgia. Karena pembengkan prostat biasanya ada disuria, kadang sampai retensi urin. Kadang didapatkan pengeluaran nanah pada colok dubur setelah masase prostat. Sedangkan pada prostatitis kronis gejala dan tanda tidak khas. Gambaran klinik sangat variabel, kadang dengan keluhan miksi, kadang nyeri perineum atau pinggang. Dan diagnosa dapat ditegakan dengan diketemukan adanya leukosit dan bakteria dalam sekret prostat. Jadi hal-hal yang perlu sekali kita perhatikan agar dapat membedakan dengan BPH yaitu : - Adanya nyeri perineal - Demam - Disuri, polaksiuri - Retensi urin akut - Rectal toucher: jika ada abses didapatkan fluktuasi (+) 3. Neurogenik Bladder Adapun gejala dan tanda yamg kita peroleh dari anamnesa adalah : - Lesi sakral 2 – 4 - Rest urin (+) - Inkontinensia urin 4. Striktura Uretrha Sumbatan pada uretrha dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat menyebabkan imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktura. Gejala khas adalah pancaran urin yang kecil dan

bercabang. Gejala lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuri, kadang-kadang dengan infiltat, abses, fistel. Gejala lanjut adalah retensi urin. H. TATA LAKSANA Penatalaksanaan terhadap BPH dibagi menjadi watchful waiting, medikamentosa, minimal invasive, dan pembedahan (operatif). Hal ini dapat didasarkan pada skor IPSS yang didapatkan dari penderita.16,17

Watchful waiting Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS <3). 16,17 1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar mengurangi nokturia. 2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan). 3. Mengurangi kopi. 4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring, uroflowmetri, dan TRUS. 5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan. Medikamentosa

Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi. 14,16,17 

Penghambat adrenergik a-1 Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot polos

ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif cepat. Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique). Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/ hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/ hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/ hari. 

Penghambat enzim 5a reduktase Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron tidak diubah

menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi. Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/ hari. 

Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase

Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Fitoterapi Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan populer diberikan di Eropa dan baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.14 Minimal invasive Meliputi : 1) TUBD (Transurethral Balloon Dilatation) Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F dengan tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika di dilatasi selama 10-30 menit. Terapi ini dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus medius. Terdapat perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah tindakan walaupun secara sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah uretra prostatika pra dan pasca tindakan.18 2) Prostat Stent Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent dipasang di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat. 18 3) Terapi Termal , dibagi menjadi tiga macam antara lain14: a. Hipertermi Kelenjar prostat dipanasi 41-45° C, dan pemanasannya dikerjakan dengan menggunakan “probe” baik transrektal ataupun transuretral. Pemanasan dilakukan beberapa kali dengan frekwensi 1-2 kali/ minggu. Setiap kali pemanasan berlangsung kurang lebih satu jam. b. TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy) Termoterapi adalah penyempurnaan dari terapi hipertermia. Dengan menggunakan kateter 22F yang dihubungkan dengan sumber panas mikrowave 1296 MHZ, prostat dipanaskan 45-60° C, sementara itu secara terusmenerus uretra didinginkan sehingga mukosanya tidak rusak. Temperatur juga dipantau terus menerus. Dengan pemanasan yang cukup tinggi tadi akan terjadi destruksi, koagulasi dan akhirnya nekrosis. Pada termoterapi pemanasan dilakukan satu kali. Keuntungannya adalah tidak memerlukan anestesi umum maupun regional, tetapi peralatannya relatif mahal c. TUNA (Transurethral Needle Ablation)

Dengan menggunakan alat khusus yang dimasukkan ke kelenjar prostat, kemudian dengan microwave prostat dipanaskan sampai 120°C. Hasil yang pernah dilakukan menunjukkan perbaikan flow maksimal dari 9 ml/ deti menjadi 17 ml/ detik. Penelitian multi senter terus dikerjakan agar mendapat kasus yang cukup banyak untuk dapat diambilk kesimpulan guna generalisasi. Pembedahan (operatif) Pembedahan biasanya dilakukan terhadap penderita yang mengalami14: -

inkontinensia uri

-

hematuria

-

retentio uri

-

infeksi saluran kemih berulang Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan14:

1. Prostatektomi tertutup 2. Prostatektomi terbuka Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala serta ukuran dan bentuk kelenjar prostat. a. TURP (Trans Urethral Resection of the Prostate)

Gambar 13. Tindakan TURP TURP merupakan pembedahan BPH yang paling sering dilakukan. Endoskopi dimasukkan melalui penis (uretra). Keuntungan dari TURP adalah tidak dilakukan sayatan sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi. 88% penderita yang menjalani TURP mengalami perbaikan yang berlangsung selama 10-15 tahun. Impotensi terjadi pada 13,6% penderita dan 1% mengalami inkontinensia uri.18 b. TUIP (Trans Urethral Incision of the Prostate) TUIP menyerupai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang memiliki prostat relative kecil. Pada jaringan prostat dibuat sebuah sayatan kecil untuk melebarkan lubang uretra dan lubang pada kandung kemih, sehingga terjadinya perbaikan laju aliran air kemih dan gejala berkurang. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi, penyempitan uretra, dan impotensi.18

c. TULP (Trans Urehral Laser Prostatectomy) Kelenjar prostat pada suhu 600-650C akan mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih dari 1000C mengalami vaporisasi. Pemakaian laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi meningkatkan perbaikan gejala miksi tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. d. Prostatektomi Terbuka Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik atau di daerah perineum (dasar panggul yang meliputi skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum saat ini jarang digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencaai 50%. Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32%, tergantung kepada pendekatan pembedahan) dan inkontinensia uri (kurang dari 1%).18 Dikenal 3 cara: a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer) Balfied tahun 1887 pertama kali melakukan pembedahan cara ini, kemudian oleh Sir Peter Freyer dari London dilaporkan pada kongres SIU di Paris tahun 1900. b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin) Tahun 1945 dikenalkan oleh Terence Millin dari Inggris Keuntungan

:

Sumber

perdarahan

jelas

dan

apeks

prostat

lebih

mudah

dicapai.

Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau yang diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam. BPH yang disertai penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih dari 2,5 cm atau multipel dan bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan TUR Prostat baik sarana maupun tenaga ahlinya. c. Prostatektomi perinealis (Young) Dalam pendekatan ini, ahli bedah menghilangkan prostat melalui sayatan di kulit antara skrotum dan anus. Saraf-sparing lebih sulit untuk dicapai, dan pendekatan ini mungkin kurang efisien jika kelenjar getah bening perlu dihilangkan atau diperiksa sebelum prostat akan diangkat. I. KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.17 Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah

keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). 17

J. PROGNOSIS Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomor 2 pada pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita. 17

Sengkang, 5 January 2019 Peserta,

dr. Nirma Rahayu HS

Pendamping,

dr. Rasfiani, S.Ked

Related Documents

1. Bedah Bph.docx
November 2019 52
Referat Bedah 1.docx
November 2019 36
Bedah Iskandar Japardi21 1
November 2019 44
1. Referat Bedah Cover.docx
December 2019 28
Bedah Jurnal 1.docx
December 2019 28
Bedah Jurnal 1.docx
April 2020 24

More Documents from "Anita Apriani Simorangkir"

1. Bedah Bph.docx
November 2019 52
Lembaga Pembiayaan Nana
August 2019 53
Abstrak.docx
April 2020 42
4.jiwa Insomnia.docx
November 2019 47
Politik Kel.2.docx
May 2020 23