1-4-lampu_fisbang_lanjutan_2013.pdf

  • Uploaded by: Tri Haryadi Linggiallo
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 1-4-lampu_fisbang_lanjutan_2013.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 5,922
  • Pages: 35
BAB 4 DISAIN PENCAHAYAAN Sasaran Pembelajaran Materi Pembelajaran

Memahami Disain Pencahayaan A. Local Lighting B. General Lighting C. Faktor Utilisasi D. Kalkulasi Jumlah Lampu E. ESI dan Konsumsi Energi F. Penentuan Tata Letak dan Jenis Armatur Lampu dan Aplikasinya G. Integrasi Pencahayaan Alami dengan Pencahayaan Buatan H. Tugas/Evaluasi

A. Local Lighting Untuk menghitung illuminasi pada titik, pada dasarnya merupakan prosedur sederhana dari penentuan intensitas candela, jarak, dan sudut yang ditentukan. Prosedurnya menggunakan inverse-square law sebagai berikut (Fredrickson, 1981):

FC 

cd cos D2

Ket: cd = intensitas candela yang diarahkan pada titik yang dipertanyakan D = jarak antara sumber cahaya dan titik  = sudut antara ray incident light dan normal yang dipertanyakan dengan titik pada permukaan

Gambar 4-1 Hubungan fundamental antara kalkulasi titik dalam aplikasi inverse-square law (Fredrickson, 1981)

- 89 -

Gambar 4-2 Lanjutan Hubungan fundamental antara kalkulasi titik dalam aplikasi inverse-square law (Fredrickson, 1981)

Gambar 4-3 . Perhitungan illuminansi dari satu sumber cahaya (Egan, 1983) Rumus Inverse square law diatas diuraikan dalam cara penulisan yang berbeda oleh Egan (lihat Gambar 4-2) yaitu: E Ket:

cp cos  r2

E = tingkat illuminansi (fc) cp = candlepower dari sumber cahaya, bervariasi dengan sudut dari nadir (cd) r = jarak antara sumber cahaya dengan titik yang dituju (ft)



= sudut antara cahaya dan permukaan normal

Inverse square law dengan  =0, yaitu: E (lux ) 

I (cd ) d 2 (m 2 )

Nilai dari lampu yang diberikan dan luminaire dapat dibaca dari kurva polar untuk setiap arah (  ). Jika jarak diketahui, illuminansi ( E ) dapat dihitung dengan rumus diatas. Untuk permukaan normal dari arah cahaya. Jika sudut - 90 -

permukaan yang diilluminasi miring, rumus tersebut harus dikali dengan cosinus sudut, (  ) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4-3.

Gambar 4-4 Iluminasi untuk permukaan yang dimiringkan (Szokolay, 1980) Metode kalkulasi ini digunakan untuk desain pencahayaan lokal, seperti untuk meja atau papan yang ditandai. Ini juga dasar metode point-by-point, yang harus digunakan jika beberapa sumber ruang tak beraturan mengkontribusikan cahaya pada permukaan tertentu (Szokolay, 1980). Inverse square law dapat diadaptasikan sesuai keadaan dengan dasar hubungan trigonometri. Gambar 44 memperlihatkan empat situasi yang sering terjadi, untuk itu solusinya adalah sebagai berikut (Szokolay, 1980): a. Sebagaimana cos 

1 cos 2  H 1 cos , maka  dan 2  , d H2 d d H

jika En  I / d 2 ,maka En = I/( cos2  /H2)





b. E = I cos 2  / H 2 cos 



c. jika    , maka Eh = I cos 2  / H 2 d. Ev  I cos 2  / H 2 cos  ;

jika

  =(90o

-  ),

cos(90o

- )=sin  ,

cos 2   sin  Ev  I H2 Pada kasus dimana sumber linear dengan panjang tak terukur, illuminansi hanya diproporsinalkan dengan jarak, dan bukan kuadrat: E  1 (Szokolay, 1980). d Kalkulasi pencahayaan lokal dari sumber linear dapat menggunakan metode praktis sederhana yaitu yang berdasarkan konsep fluks sektor. Fluks sektor ( J ) didefenisikan sebagai pancaran flux dari sumber per panjang unit dan sudut unit

- 91 -

(radian). Jika intensitas sumber ( I ) dibaca dari kurva polar, nilai J dapat diestimasikan sebagai berikut (Szokolay, 1980): J 

kI C

Ket: C = pusat ke pusat jarak (m) antara pipa dalam baris tunggal k = koefisien, tergantung jenis luminaire :  1,6 untuk perfect diffusers  1,5 untuk average diffusers  1,3 untuk louvred luminaires  1,1 untuk deep louvres

Dengan demikian: E

J cos  d

Pada kasus dimana perpanjangan sumber cahaya (misalnya luminous ceiling) mendekati tak terhingga, EL Ket:

L = luminansi dari sumber dalam apostilbs. E = jarak independen

Hindari menggunakan point source untuk illuminansi general pada kantor, ruang kelas, dan ruang sejenis sebab ia dapat menghasilkan bayangan yang kasar dan refleksi yang tidak nyaman.

Gambar 4-5 Illuminansi pada berbagai permukaan (Szokolay, 1980)

- 92 -

B. General lighting Ketetapan ini digunakan untuk ruang yang didesain memiliki illuminansi seragam, dimana pencahayaan minimum tidak lebih dari 70% dari cahaya maksimum. Ini dapat dicapai dengan kontrol terhadap jarak terhadap rasio tinggi kedalaman lampu. Jika kriteria kesamaan dapat dipenuhi, metode desain pencahayaan lumen yang sangat sederhana (metode flux total) dapat digunakan (Szokolay, 1980).

Gambar 4-6 Konsep flux total (Szokolay, 1980) Output cahaya total dari semua lampu yang dipasang adalah  i (installed flux), dan flux yang sampai pada bidang kerja adalah  r (flux receiver) (Gambar 4-6). Yang terakhir selalu jauh lebih kecil dibanding yang lebih dahulu, sebab sebagian dari cahaya terserap oleh luminaire, atau permukaan dinding dan plafon. Rasio antara keduanya merupakan faktor utilisasi. UF 

r i

i 

r UF

Oleh karena ukuran illuminansi (lux) adalah flux per unit area (lm/m 2), illuminansi rata-rata berlaku jika flux yang diterima dibagi pada area ruang (misalnya, area bidang kerja) (Szokolay, 1980).

E

r A

r  E  A

Oleh karena itu, jika UF diketahui (Szokolay, 1980): a. data illuminansi yang dibutuhkan ada, installed flux dapat dihitung: i 

E A UF  MF

b. jika data installed flux yang diberikan, illuminansi dapat diperoleh: - 93 -

E

MF

merupakan

faktor

i  UF  MF A

maintenance

factor,

untuk

memperhitungkan

memburuknya lampu, luminaire dan permukaan ruang, dan biasanya digunakan sebesar 0,8 (Szokolay, 1980). Egan membahasakan rumus untuk perhitungan illuminansi dengan banyak sumber cahaya sebagai berikut: E

Ket:

cp cp cos 1  2 cos  2  ... 2 r1 r21

E = tingkat illuminansi (fc) cp = candlepower dari sumber cahaya, bervariasi dengan sudut dari nadir (cd) r = jarak antara sumber cahaya dengan titik yang dituju (ft)



= sudut antara cahaya dan permukaan normal

Gambar 4-7 Perhitungan illuminansi dari banyak sumber cahaya(Egan, 1983)

C. Faktor Utilisasi

Gambar 4-8 Hubungan tingkat reflektansi plafon dan koefisien utilisasi (Egan, 1983) Besarnya UF tergantung dari 5 faktor (Szokolay, 1980)

- 94 -

a. Properti luminaire Luminaire yang tidak tertutup, atau yang memiliki permukaan reflektif kurang sempurna menghasilkan lebih sedikit cahaya daripada cahaya lampu, oleh karena itu memiliki nilai UF yang lebih rendah daripada luminaire terbuka. b. DLOR Salah satu karakteristik luminaire. Cahaya dihasilkan mencapai bidang kerja hanya setelah refleksi dari plafon dan dinding (tidak seluruhnya) karena sebagian terserap oleh permukaan tersebut. Semakin besar DLOR biasanya berarti UF yang lebih tinggi. c. Reflektansi permukaan dinding dan plafon Reflektansi yang rendah mereduksi nilai UF, sebanyak cahaya yang diserap (contohnya, Gambar 4-8). d. Proporsi geometris ruang Dalam ruang yang luas, atau dengan tinggi ruang yang rendah, banyak cahaya downward secara langsung mencapai bidang kerja, tanpa refleksi dari dinding, sehingga nilai UF lebih besar dibanding dalam ruang sempit dengan ruang yang tinggi sebab banyak cahaya yang jatuh ke dinding (Gambar 4-9). Proporsi geometris demikian dari ruang ditunjukkan oleh indeks ruang, yang merupakan rasio dari permukaan horisontal dan vertikal dalam ruang:

RI 

Ket:

lw (l  w)  H m

l = panjang w = lebar H m = mounting high, misalnya jarak vertikal antara bidang kerja dan luminaire

Gambar 4-9 Efek dari proporsi ruang (Szokolay, 1980) - 95 -

Gambar 4-10 Grafik direct ratio (Szokolay, 1980)

Gambar 4-11 Hubungan tingkat RCR dan koefisien utilisasi (Egan, 1983)

Gambar 4-12 Hubungan tingkat LDD dan frekuensi pembersihan (Egan, 1983)

- 96 -

e. Direct ratio Ini tergantung dari proporsi ruang dan luminaire, dan nilainya selalu kurang dari satu. Ini memberi cahaya downward, dihasilkan dari luminaire dalam instalasi general lighting konvensional, yang secara sengaja diarahkan pada bidang kerja. Nilainya lebih rendah dengan ruang yang sempit (indeks ruang kecil) dan luminaire yang memancarkan kebanyakan cahaya dengan cara lain (BZ 10), dan nilai yang besar dengan ruang yang lebar (indeks ruang besar) dan luminaire jenis downlighter (BZ 1). Hubungan antara ketiga faktor tersebut ditampilkan secara grafik pada gambar 49. D. Kalkulasi Jumlah Lampu

Gambar 4-13 Data ruang untuk kalkulasi jumlah lampu cahaya (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Dalam merencanakan instalasi penerangan, kita membuat kalkulasi untuk menghitung jumlah lampu dan tata letak lampu yang dibutuhkan agar penerangan rata-rata dapat dicapai. Untuk membuat kalkulasi diperlukan data ruangan, lampu, armatur, data umum, cara pemasangan, dan pengaruh armatur lampu cahaya (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). K

a..b (a  b).h

h  H  ( p  hN )

Keterangan :

K = Indeks ruang untuk menentukan faktor refleksi dari langit-langit, dinding, dan lantai

p = panjang suspensi h = jarak antara lampu dan bidang kerja hN = tinggi dari lantai ke bidang, biasanya 0,75 m

- 97 -

N

Konsumsi daya total (Watt) = N  P

E. A.P z. .B

Keterangan : N = Jumlah armatur lampu yang dibutuhkan E = tingkat penerangan yang dikehendaki (lux) A1 = bidang kerja ruangan, misalnya meja kerja (m 2) A2 = luas ruangan (m2) P = faktor depresiasi atau faktor pemeliharaan, biasanya 1,25 B = faktor utilisasi/efisiensi ruangan (%) z = jumlah lampu per armatur  = arus cahaya lampu (lm)

Berdasarkan rumus tersebut kita bisa menghitung jumlah lampu yang dibutuhkan tergantung data ruangan, data lampu, data armatur, dan data umum (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). a. Jarak pemasangan lampu Jarak maksimum antara penerangan yang satu dengan yang lain untuk mencapai penerangan yang merata paling sedikit 70% dengan rumusan sebagai berikut (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991):

e  70% h Keterangan: e = jarak antara pusat lampu yang satu dengan yang lain h = jarak antara lampu dengan bidang kerja

Kesamaan illuminansi terjadi jika nilai meaksimum dan minimum tidak lebih dari 1/6 atas atau di bawah rata-rata. Dalam prakteknya pengaturan luminaire seperti yang terlihat pada Gambar 53 akan memberikan distribusi cahaya yang merata yang memuaskan. Formula berikut dapat digunakan untuk menghitung nilainya (Fredrickson, 1981): 1. Untuk mounted luminaire individual, jarak dinding ke luminaire seharusnya: Jarak dinding ke luminaire= Ket:

LLS 3

LLS = jarak luminaire ke luminaire

2. Untuk

jarak

unit

individual

berkelanjutan: - 98 -

atau

crosswise

pada

baris

yang

Jumlah baris minimal = Ket :

RW MSA

RW = lebar ruang MSA = jarak maksimum yang diijinkan

3. Untuk jarak lengthwise pada baris berkelanjutan: Jumlah maksimal unit per baris =

RL  1 , (diizinkan 1 ft end spacing) 2 LL

Jumlah minimal unit per baris = Ket :

RL  4 , (diizinkan 1 ft end spacing) 2 LL

RL = panjang ruang LL = panjang luminaire

Gambar 4-14 Jarak antara luminaire berdasarkan rasio jarak dan tinggi mounting (Fredrickson, 1981) Untuk mendapatkan sebaran cahaya overlap dari point source, gunakan narrow beam spread fixtures pada mounting heights yang tinggi dan wide beam spread fixtures pada mounting heights yang rendah. Untuk preliminary layout, jarak S untuk illuminansi yang berkesinambungan dapat ditemukan dengan: S  SR  MH Ket: SR = rasio jarak (  0,5 untuk narrow beam spread; 0,6 hingga 0,9 untuk medium, dan  1,0 untuk wide) MH = mounting height, atau tinggi dari bidang kerja ke sumber cahaya (ft)

- 99 -

Gambar 4-15 Highly concentrated (or narrow) beam spread (uneven illumination shown) (Egan, 1983)

Gambar 4-16 Highly concentrated (or narrow) beam spread (uneven illumination shown) (Egan, 1983) Untuk MH  20 ft, relamping dapat secara normal diaplikasikan dari lantai dengan menggunakan alat kutub atau ladder. Diatas 20 ft, relamping biasanya memerlukan scaffolding, elevating platforms, top-access luminaires, atau luminaire dengan alat perendah (misalnya, kabel winch-operated) (Egan, 1983).

- 100 -

b. Warna cahaya dan jumlah lux yang dibutuhkan Tabel 4-1 Suhu warna yang diinginkan dan indeks minimum penampakan warna dari NEN 3006 (Meijs, 1983) Kualitas yang diinginkan

Indeks minimum penampakan warna

Suhu warna yang diinginkan o K

90

6500 - 7400

Sebaik mungkin Sebaik mungkin

± 4000

Baik

± 4000

Baik

80

Sedang

60

± 3000

Tidak perlu

Contoh ruangan-ruangan Ruang penilaian warna dalam industri tekstil, cat, dan grafika Ruang untuk penelitian dan penanganan medis, ruang dalam museum dan industri grafika Kantor, toko serba ada, gudang, dan bengkel, dimana perbedaan warna penting Ruang penjualan bahan makanan, ruang pertemuan, ruang konferensi Gang, tangga hall rumah, gudang, & ruang kerja dimana penampakan warna dianggap tidak penting Bengkel cor, bengkel giling

Untuk memilih lampu yang tepat dan memiliki warna cahaya paling memadai dan

ekonomis

menghasilkan

cahaya

paling

besar,

kita

harus

mempertimbangkan kedua faktor berikut (Meijs, 1983): 1. suhu warna dari lampu dalam oK 2. indeks pancaran warna, merupakan ukuran objektif

bagi kualitas

pancaran cahaya suatu sumber cahaya

Dengan suhu warna yang diinginkan dan dengan indeks pancaran warna kita dapat mencari lampu yang paling tepat dalam tabel 13. Dalam hal ini dengan sendirinya penting pula arus cahaya khusus, rendemen cahaya dari sebuah lampu. Ternyata dalam prakteknya, suatu pancaran warna yang tepat sulit disertai dengan hasil cahaya yang optimal. Dengan demikian harus dipertimbangkan faktor yang diutamakan (Meijs, 1983). Adapun untuk mengetahui jumlah lux yang dibutuhkan pada setiap ruangan dapat dilihat pada tabel 4-2 hingga tabel 4-10.

- 101 -

Tabel 4-2 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk perkantoran (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Tingkat penerangan (lux)

Jenis ruang Kantor dengan ringan R. Rapat Bagian pembukuan Stenografi Komputer Bagian gambar R. biro besar

Putih sejuk

Warna cahaya Putih Putih netral hangat

pekerjaan 250 250 250 250 500 1000 1000

1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2

1 1 1 1 1

Tabel 4-3 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk bangunan industri (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Jenis ruang Pekerjaan kayu dengan mesin Open dan pengecoran besi Machine hall Pekerjaan form dengan tangan dan mesin Pekerjaan dengan mesin Bagian kontrol dan pengukuran Reparasi arloji, grafik, kerajinan emas

Tingkat penerangan (lux) 500 120 250

Warna cahaya Putih Putih netral hangat 2 2 3 atau 4 3 atau 4 3 atau 4 3 atau 4 1 Putih sejuk

250

3 atau 4

3 atau 4

3 atau 4

250 1000

2 1

2

1

2000

1

1

Tabel 4-4 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk hotel dan gereja (Darmasetiawan & Puspakesuma, 1991) Jenis ruang Kamar hotel, restoran Hall, self service restaurant Dapur hotel Gereja

Tingkat penerangan (Lux) 120 250 500 30 – 120

Putih sejuk

Warna cahaya Putih Putih netral hangat 1 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2

Tabel 4-5 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk bangunan industri makanan (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Jenis ruang Pembungkusan Pabrik rokok dan cerutu Pekerjaan di dapur Dekorasi dan penyortiran Kontrol warna

Tingkat penerangan lux 250 500 500 750 1000

- 102 -

Putih sejuk

1 1

Warna cahaya Putih Putih netral hangat 1 atau 2 2 2 1 1

Tabel 4-6 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk ruang penjualan pameran (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Jenis ruang

Tingkat penerangan (Lux)

Pameran, museum, pameran lukisan Fair hall Gudang R. penjualan Supermarket Shopping centre Etalase toko

Warna cahaya Putih sejuk Putih netral

Putih hangat

250

1

1

500 120 250 750 500 1000

1 atau 2 3 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2

1 atau 2 3 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2

kombinasi

Tabel 4-7 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk bangunan kerajinan dan pertukangan (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Jenis ruang Pengecatan dan pemasangan karpet – dinding Pekerjaan gelas mosaik Salon Pekerjaan kayu, lem, pemotongan Pengecatan

Tingkat penerangan (lux)

Putih sejuk

250 500 750

1 atau 2 1

250 500

Warna cahaya Putih Putih netral hangat 2 1 atau 2 1

1 atau 2 1

3 1 atau 2

1 1 atau 2

Tabel 4-8 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk bangunan sekolah (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Jenis ruang R. kelas, aula, ruang musik Laboratorium Pekerjaan tangan Perpustakaan Sekolah (SLB) P3K R. seminar besar

Tingkat penerangan (Lux) 250 500 500 500 500 500 500

Putih sejuk

Warna cahaya Putih netral 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2

Putih hangat 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2

Tabel 4-9 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk ruang samping (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Jenis ruang Ganti pakaian, kamar mandi, toilet, tangga, gang, hall dengan pengunjung sedikit Hall dengan pengunjung banyak

Tingkat penerangan (lux)

Putih sejuk

Warna cahaya Putih Putih netral hangat

60

2

120

2

- 103 -

Tabel 4-10 Tingkat penerangan, warna cahaya, dan Ra yang dianjurkan untuk perumahan (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Jenis ruang Tangga Teras depan R. makan R. tamu R. kerja R. tidur anak R. tidur orang tua K. mandi Dapur Gudang makanan R. samping R. cuci

Tingkat penerangan lux 60 60 120 – 250 120 – 250 120 – 250 120 250 250 250 60 60 250

Putih sejuk

1

Warna cahaya Putih Putih netral hangat 1 1 1 atau 2 1 1 atau 2 1 1 1 atau 2 1 1 atau 2 1 atau 2 1 atau 2

1 1 1 1 1 1 1 1

Besarnya penerangan atau jumlah lux yang dianjurkan untuk siang ataupun malam hari besarnya sama, yang berbeda adalah jumlah lumen dari lampu yang dibutuhkan. Pada waktu siang hari cahaya matahari yang masuk melalui jendela harus ikut diperhitungkan pada waktu menghitung jumlah lampu yang dibutuhkan. Adapun pada malam hari, penerangan hanya bergantung pada cahaya buatan. Jadi pemakaian jumlah lampu malam hari jauh lebih banyak dibanding siang hari. Besar penerangan yang dianjurkan untuk suatu ruang kerja harus dibedakan, artinya antara general lighting untuk seluruh ruangan dan penerangan untuk bidang kerja (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Warna cahaya dari sumber cahaya harus disesuaikan terhadap tahap cahaya. Jika tahap cahaya meningkat maka sumber cahaya harus meningkat pula yang artinya sumber cahaya harus berwarna lebih putih (Meijs, 1983).

c. Pengaruh armatur lampu Berikut ini adalah pengaruh armatur lampu terhadap pancaran cahaya lampu.

- 104 -

Tabel 4-11 Cahaya yang dikeluarkan, direfleksikan, dan diserap oleh armatur lampu kaca (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991). Tebal lampu mm 1–4 3-6 3-6 2-3 2-3

Jenis kaca Bola kaca bening permukaan rata Kaca prisma Kaca yang memakai ornamen Kaca warna susu Acrylic putih susu

Daya transmisi % 92 - 90 90 - 70 90 – 60 88 - 82 60 - 40

Daya refleksi % 6-8 5 - 20 7 - 20 7 – 88 20 – 40

Daya serap % 2–4 5 – 10 3 – 20 5 – 10 10 – 20

d. Contoh metode lumen Contoh yang akan didesain adalah general lighting untuk kantor dengan karakteristik: l = 14 m, w = 8 m, H = 2,6 m,  (plafon) = 70 %, dan  (dinding) = 50%. Jika

ceiling mounted luminaire digunakan, tinggi mounting adalah: H m = 2,6 – 0,85 = 1,75 m

maka indeks ruang: RI 

14  8 112   2,9 14  8  1,75 38,5

Illuminansi sebesar: E = 300 lux Karena area A = 14  8 =112 m2, flux yang diterima seharusnya:

r  112  300  33600 lm. Karena alasan ekonomi, lampu fluorescent dengan luminaire logam terbuka dipilih. Dengan melihat Tabel 31, pada  (plafon) = 70% dan  (dinding) = 50% dengan indeks ruang 3 maka faktor utilisasi adalah 0,7. Jika kita menggunakan faktor pemeliharaan sebesar 0,8 maka output total lampu seharusnya: i 

33600  60000 lm 0,7  0,8

Dengan melihat Tabel 28 maka kita dapatkan jenis lampu yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan yaitu:  1,2 m/40 W dengan output 2650 lm (66 lm/W)  1,5 m/65 W dengan output 4400 lm (68 lm/W)  1,5 m/80 W dengan output 4850 lm (60 lm/W) Lampu 65 W sepertinya merupakan pilihan paling tepat sebab memiliki ketepatan tertinggi.

- 105 -

Lampu tersebut di atas merupakan lampu putih hangat, yang memberikan render warna yang sangat sedikit. Lampu dengan render warna yang lebih baik memberikan output yang lebih kecil, jadi faktor koreksi harus diaplikasikan. Tabel 4-12 Data lampu untuk perencanaan pencahayaan (Szokolay, 1980) Jenis lampu 1

Incasdescent Pear-shaped (240 V)

Mushroom-shaped

2

3

4

Sodium* SOX HPS Mercury* MB MBI MBF MBT Fluorescent 0,6 m 0,6 m 1,2 m 1,5 m 1,5 m 1,5 m

Wattage (W)

Ballast load (W)

Lumen output (lm)

25 40 60 100 150 200 40 60 100

-

200 325 575 1.160 1.960 1.720 380 640 1.220

35 250

20 30

4.200 19.500

80 400 50 100

15 50 15 -

2.700 28.000 1.750 1.250

20 40 40 50 65 80

5 8 10 20 15 15

1.050 1.550 2.650 3.100 4.400 4.850

Ket : * Lampu terkecil dari tiap tipe ditampilkan. Batas yang lebih tinggi sekitar 200.000 lm

Tabel 4-13 Koreksi output lumen pada lampu fluorescent (Szokolay, 1980) Warna Warm white, white Daylight Natural Warmtone De luxe warm white Warna 32 atau 34 Colour matching Kolor-rite De luxe natural Softone 27 Trucolor 37 Artificial daylight

Koreksi output lumen 1,00 0,95 0,75 0,70 0,65 0,65 0,65 0,65 0,55 0,55 0,55 0,40

- 106 -

Tabel 4-14 Jarak yang direkomendasikan (Szokolay, 1980) Type of fitting General diffusing and direct fittings Concentrated reflector fittings Indirect and semi-indirect (mounted 0,25 hingga 0,3 H c below ceiling

Maximum spacing 1,4 H m

Hm 1,5

Hc

End fitting to wall 0,75 H m

Work position next to wall 0,5 H m

0,5

Hm

0,5

Hm

0,75

Hc

0,5

Hc

Situasi kantor akan memerlukan lampu berkualitas medium, seperti ‘natural’’, yang memiliki output 0,75 kali yamg tercatat pada warm white. Oleh karena itu lampu akan memancarkan 4400 x 0,75 = 3300 lm. Jumlah lampu yang dibutuhkan sebesar 60000/3300 = 18.

Gambar 4-17 Layout general lighting (dari contoh tugas) (Szokolay, 1980)

Tabel 30 menunjukkan bahwa untuk mempertahankan kesamaan jarak seharusnya tidak berlebihan 1,5 kali dari H m . Dalam kasus ini H m = 1,75 m, jarak maksimal sebesar 1,75 x 1,5 = 2,62 m. Pembagiannya meliputi tiga baris dengan jarak 8/3 = 2,66 m, yang dapat diterima jika panjang luminaires adalah pararel dengan arah yang dianjurkan.

- 107 -

Tabel 4-15 Faktor utilisasi (Szokolay, 1980)

Bare lamp on ceiling or batten fitting (DLOR= 65%)

Enamelled reflector or open through (DLOR=75%)

Enclosed plastic (DLOR = 50%)

0,6 0,8 1,0 1,25 1,5 2,0 2,5 3,0 4,0 5,0 0,6

Reflectance of ceiling and walls (%) 70 50 30 10 0,29 0.24 0,19 0,37 0,31 0,27 0,44 0,37 0,33 0,49 0,42 0,38 0,54 0,47 0,42 0,60 0,52 0,49 0,64 0,57 0,53 0,67 0,61 0,57 0,71 0,66 0,62 0,74 0,70 0,66 0,36 0,31 0,28

0,8 1,0 1,25 1,5 2,0 2,5 3,0 4,0 5,0 0,6 0,8 1,0 1,25 1,5 2,0 2,5 3,0 4,0 5,0 0,6 0,8 1,0 1,25 1,5 2,0 2,5 3,0 4,0 5,0 0,6 0,8 1,0 1,25 1,5 2,0 2,5 3,0 4,0 5,0

0,45 0,49 0,55 0,58 0,64 0,68 0,70 0,73 0,75 0,27 0,34 0,40 0,44 0,47 0,52 0,55 0,58 0,61 0,63 0,21 0,28 0,32 0,35 0,37 0,41 0,43 0,45 0,47 0,49 0,23 0,30 0,36 0,41 0,45 0,50 0,54 0,57 0,60 0,63

Room index

Diffuser

diffuser

Recessed modular diffuser or shallow ceiling mounted diffusing panel (DLOR = 50%)

Enclosed opal diffuser (DLOR = 45%)

- 108 -

0,40 0,45 0,49 0,54 0,59 0,63 0,65 0,70 0,72 0.21 0,29 0,35 0,39 0,42 0,47 0,51 0,54 0,57 0,59 0.18 0,24 0,29 0,32 0,34 0,37 0,40 0,42 0,44 0,46 0.18 0,24 0,29 0,34 0,39 0,45 0,49 0,52 0,56 0,60

0,37 0,40 0,46 0,49 0,55 0,60 0,62 0,67 0,69 0,18 0,26 0,31 0,35 0,38 0,44 0,48 0,51 0,54 0,57 0,16 0,22 0,26 0,29 0,31 0,35 0,38 0,40 0,43 0,45 0,14 0,20 0,25 0,29 0,33 0,40 0,44 0,48 0,52 0,56

Pembagian panjang terdiri dari enam luminaires yang tiap barisnya akan berjarak 14/6 = 2,33 m, yang masih beada dalam batas yang ditentukan. Dari titik pandang output lumen dengan luminaires sembilan pipa ganda dapat digunakan, tapi jarak batas akan berlebihan dan illuminansi bidang kerja akan menjadi tidak sama. Layout final dapat kita lihat pada gambar 56. Tabel 4-16a

Cavity ratios (Fredrickson, 1981)

Tabel 4-16b (lanjutan)

Cavity ratios (Fredrickson, 1981)

- 109 -

Tabel 4-16c (lanjutan) Cavity ratios (Fredrickson, 1981)

Gambar 4-18 Koefisien utilisasi (Fredrickson, 1981)

- 110 -

Gambar 4-19 Faktor LLD (Luminaire dirt depreciation) untuk enam kategori luminaire dan lima tingkat kekotoran (Fredrickson, 1981)

- 111 -

Gambar 4-20

Faktor RSDD (Room surface dirt depreciation) (Fredrickson, 1981)

- 112 -

Gambar 4-21 Prosedur untuk menentukan koefisien utilisasi cahaya untuk peralatan floodlighting (Fredrickson, 1981) - 113 -

E. ESI dan Konsumsi Energi

Gambar 4-22 Contoh sistem pencahayaan dan tingkat illuminansi (Egan, 1983) Gambar

4-20

memperlihatkan

contoh

sistem

pencahayaan

yang

menyediakan ESI fc/W dari konsumsi energi yang relatif tinggi. Ukuran dari ESI fc/W·ft2 dalam ruang kelas bervariasi antara 11 untuk luminous ceilings (dimana cahaya pada meja baca ter-diffuse) hingga 22 fcr suspended fixtures (dimana task light dapat utamanya dari plafon dan dinding akibat uplight) Umumnya, 35 ESI fc akan memadai untuk membaca goresan pensil pada kertas putih (Egan, 1983).

- 114 -

Luminous ceiling menyajikan illuminansi yang rendah (kurang dari 250 fL). Banyak aplikasi dari luminous ceilings yang monoton, menghasilkan keadaan langit pada elevasi yang rendah. Pada alam, keberadaan awan menjadikan keadaan langit yang berubah-ubah sehingga memberikan penglihatan yang menarik (Egan, 1983).

Gambar 4-23 Contoh Luminous ceiling (Egan, 1983) Luminous ceiling sangat statis hingga bisa menyebabkan ketidak tajaman cahaya dan suram. Pada ruang kelas dan konferensi serta ruang sejenis, luminous ceilings bisa membuat mengantuk karena cahaya menyebabkan mata

berinteraksi dengan cahaya yang mengarahkannya ke posisi tidur

normal. Luminous ceiling juga sering mengalami masalah pemeliharaan yaitu tampak kotor dan sambungan yang tidak sama. Namun, luminous ceilings bisa digunakan untuk menutup mechanical service (pipa dan saluran) dan elemen struktural. Contoh suspended luminous ceiling dan detail elemen panel dapat kita lihat pada Gambar 4-21 dan 4-22 (Egan, 1983) .

Gambar 4-24 Contoh detail panel elemen (Egan, 1983)

- 115 -

F. Penentuan Tata Letak dan Jenis Armatur Lampu dan Aplikasinya Data yang harus dimiliki sebelum merancang tata letak lampu adalah sebagai berikut (Darmasetiawan dan Puspakesuma, 1991) : a. Jenis ruangan b. Denah, potongan ruang skala 1:100, untuk detail 1 : 50 c. Bahan dan warna dari plafon, dinding, dan lantai d. Bahan dan warna dari plafon, dinding, dan lantai e. Bahan dan warna barang yang dikerjakan f. Pada pabrik harus diketahui tata letak mesin dan jalannya produksi g. Pada ruang kantor harus diketahui apakah meja kerjanya fleksibel atau sudah tetap, dan jenis pekerjaannya, juga harus diketahui ruang kerja massal atau perorangan h. Pada ruang penjualan harus diketahui tata letak ak, vitrin, dan barang apa saja yang dijual i.

Pada etalase harus diketahui keadaan sekeliling dan letak toko Data tersebut dijadikan dasar untuk penentuan faktor-faktor pencahayaan

berikut ini: a. Fungsi penyinaran, dapat berupa : 1) General lighting untuk seluruh ruangan 2) General lighting untuk seluruh ruangan ditambah dengan lampu untuk meja kerja 3) General lighting untuk meja kerja, dan sebagainya b. Jenis penyinaran, dapat berupa : 1) langsung 2) tidak langsung 3) sebagian langsung 4) sebagian tidak langsung 5) kombinasi langsung dan tidak langsung c. Jumlah lux yang diperlukan d. Jenis dan warna lampu, misalnya lampu neon, pijar, halogen, atau yang lainnya e. Model dari armatur lampu, misalnya down light, lampu dinding, lampu meja, lampu kantor, lampu gantung, dan sebagainya - 116 -

Pemilihan jenis lampu yang tepat tergantung dari jenis ruang, desain ruang, jenis barang yang ada di dalam ruang, dan jenis cahaya yang diinginkan. Berikut ini adalah beberapa model armatur lampu tertentu berkaitan

dengan

jenis

ruang,

penggunaan,

keuntungan,

dan

pemasangannya, serta efeknya terhadap suasana ruang. a. Down light Armatur lampu dipasang di dalam ceiling (terbenam), sebagian terbenam, atau di permukaan dan menggunakan lampu-lampu jenis pijar, PL, SL, atau halogen. Spesifikasi down light yaitu : 1) Jenis penyinaran ke arah bidang horisontal 2) Penggunaannya di ruangan yang memakai ceiling gantung, ruang penjualan besar maupun kecil, koridor kantor, koridor hotel, foyer, etalase toko, penerangan teras, restoran (di atas meja makan atau gang), ruang konferensi, dan ruang yang memakai plafon miring. 3) Keuntungannya yaitu jika terjadi kerusakan mudah diganti, memberikan kesan mewah dalam ruangan, dan penerangan yang dihasilkan bagus tanpa menimbulkan kesilauan. 4) Pemasangan fleksibel (dapat disesuaikan dengan interiornya) dan dapat

dipasang

berkelompok

ataupun berderet

sesuai

dengan

kebutuhan. b. Spot light Armatur lampu dipasang di permukaan, menempel ke plafon, dapat berdiri sendiri atau memakai sliding spot rail. Spesifikasi spot light yaitu : 1) Jenis penyinarannya fleksibel (dapat diarahkan ke bidang yang dikehendaki). 2) Penggunaannya untuk etalase toko, galeri (ruang pameran), dan untuk menyinari benda tertentu yang hendak diekspos. 3) Keuntungannya yaitu : a) Memberikan kesan lebih menarik pada benda yang disinari b) Fleksibel sehingga memudahkan pengubahan arah penyinaran c) Penggunaan spot light rail memungkinkan spot light dapat dipindahpindahkan letaknya (dengan cara menggeser) ke arah yang - 117 -

diinginkan dan spot light dapat dikombinasikan dengan model spot light tipe lain sesuai kebutuhan d) Dapat menimbulkan aksen yang khas 4) Pemasangannya dengan cara dipasang menempel di ceiling. c. Lampu bak Lampu bak dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu yang dipasang dalam ceiling (terbenam) dan dipasang menggantung/menempel di ceiling (timbul). Jenis dan bentuk armatur lampu bak, yaitu : 1) Lampu balok, misalnya BLAL dengan komponen lampu jenis TL a) Penggunaannya untuk ruang-ruang samping, misalnya gudang, ruang mesin, dan sebagainya dimana dalam ruang itu batas kesilauan tidak dianggap penting b) Keuntungannya dapat memberikan penyinaran merata dan ceiling pun akan mendapat penyinaran karena jenis penyinarannya menyebar ke seluruh ruangan. c) Pemasangannya

dengan

cara

dipasang

menempel

atau

menggantung di ceiling. 2) Seperti lampu balok tetapi memakai penutup dipinggirnya, misalnya lampu TK dengan komponen lampu jenis TL a) Penggunaannya untuk ruang yang tingginya

± 4m, dimana

dibutuhkan penyinaran ke arah bawah secara merata dan batas kesilauan tidak dianggap penting. b) Keuntungannya yaitu penyinaran diarahkan ke bawah membuat bidang bawah lebih terang bila diabndingkan memakai lampu balok biasa, pemakaian lampu jenis ini tidak menyinari ceiling. c) Pemasangannya

dengan

cara

dipasang

menempel

atau

menggantung di ceiling. 3) Lampu bak tanpa reflektor, misalnya jenis RM dan SM dengan komponen lampu jenis TL a) Penggunaannya hampir sama dengan jenis lampu TK, terutama digunakan untuk ruangan kantor dan supermarket. b) Pemasangannya dengan cara dipasang di dalam ceiling dan dapat disesuaikan dengan konstruksi ceiling. - 118 -

4) Lampu bak dengan reflektor, misalnya RM 300, Passat, Orion dengan komponen lampu jenis TL, serta RMPL dan SMPL dengan komponen lampu jenis PL a) Penggunaannya paling ideal untuk kantor, supermarket, dan ruang penjualan. b) Keuntungannya yaitu karena penyinarannya ke bawah sehingga betul-betul efektif dan energi yang terbuang relatif sedikit, selain itu adanya reflektor memungkinkan tidak terjadinya silau. c) Pemasangannya

dengan

cara

dipasang

menempel

atau

menggantung atau masuk ke dalam ceiling dan dapat disesuaikan dengan konstruksi ceiling. 5) Integrated diffuser Integrated diffuser adalah lampu bak dengan reflektor yang dalam konstruksinya dikombinasikan dengan pengaturan udara (central AC). 6) Lampu bak dengan bahan acrylic sebagai penutupnya, misalnya jenis GMS (lampu baret) dengan komponen lampu jenis TL a) Penggunaannya untuk perkantoran, supermarket, dan rumah tinggal (dapur, teras, kamar mandi, garasi, ruang tidur). b) Keuntungannya yaitu sistem penerangan menyebar sehingga ceiling pun mendapat penyinaran yang merata. Lampu jenis ini juga berfungsi sebagai lampu dekoratif dan tidak menimbulkan kesilauan. c) Pemasangan dengan cara menempel pada ceiling.

G. Integrasi Pencahayaan Alami dengan Pencahayaan Buatan 1. Tingkat pencahayaan alami pada tempat yang jauh dari lubang cahaya Untuk suatu ruangan yang menggunakan lubang cahaya pada dinding, kedalaman masuknya cahaya adalah terbatas, yang dipengaruhi oleh ukuran dan posisi lubang cahaya, reflaktansi permukaan dalam ruangan serta transmitansi kaca dan lubang cahaya (Soegijanto, 1998). Meskipun cahaya masih dapat mencapai jarak yang agak jauh dari lubang cahaya, misalnya lebih dari dua kali tinggi jendela, tingkat pencahayaan di bagian ruangan ini tidak dapat digunakan untuk melakukan

- 119 -

suatu tugas visual tertentu yang memerlukan tingkat pencahayaan yang lebih tinggi (Soegijanto, 1998). Sebagai contoh untuk suatu ruangan dengan ukuran sedang (7,2 m x 7 m x 3 m) dengan jendela menerus pada dinding, WWR = 40%, transmitansi (Tris) kaca 0,85 dan reflektansi permukaan dalam ruangan  = 55%, FP pada sumbu ruangan sebagai fungsi dari jarak terhadap bidang lubang cahaya untuk kondisi langit overcast, dapat dilihat pada gambar 64 (Soegijanto, 1998). Dari gambar 4-23 dapat dilihat bahwa pada jarak lebih besar dari 3m dari langit lubang cahaya, FP akan lebih rendah dari 2%. Atau tingkat pencahayaan minimal 200 lux antara jam 8.00 – 16.00 dengan faktor kegagalan 10%. Jika ketinggian matahari yang lebih besar misalnya sekitar tengah hari, jarak tersebut akan menjadi lebih besar. Sedangkan kalau langit mendung, jarak tersebut akan menjadi lebih kecil. Jika diinginkan seluruh ruangan dapat digunakan misalnya untuk ruang kuliah yang memerlukan tingkat pencahayaan minimal 200 lux atau FP = 2%, maka bagian ruangan tersebut memerlukan tambahan dari pencahayaan buatan (Soegijanto, 1998).

Gambar 4-25 Tingkat pencahayaan alami sebagai fungsi dari jarak terhadap bidang lubang cahaya; langit overcast, WWR = 40%, Tris = 85%,  = 55% (Soegijanto, 1998) Jika daerah yang mempunyai FP kurang dari 2% hanya digunakan untuk tugas visual yang tidak memerlukan tambahan pencahayaan minimal 200 lux (misalnya untuk daerah sirkulasi), sehingga tidak memerlukan tambahan

- 120 -

pencahayaan, maka lingkungan visual menjadi kurang nyaman. Hal ini khususnya akan dialami oleh orang yang bergerak dari dekat lubang cahaya ke daerah dekat dinding di seberangnya, karena perbandingan tingkat pencahayaan pada kedua daerah tersebut melebihi 10:1 (Soegijanto, 1998). 2. Pencahayaan tambahan Pencahayaan tambahan dari pencahayaan buatan yang diperlukan untuk menambah tingkat pencahayaan alami, sebaiknya diperoleh dari instalasi pencahayaan

buatan

untuk

pencahayaan

malam

hari.

Jadi

tidak

menggunakan instalasi khusus, sehingga akan menghemat biaya dan menyederhanakan instalasi (Soegijanto, 1998). Caranya adalah dengan menyalakan sebagian dari lampu yang terpasang untuk menaikkan tingkat pencahayaan

di tempat yang diperlukan (lihat

gambar 65). Pencahayaan tambahan dari pencahayaan buatan, disebut sebagai Permanent Supplementary Artificial lighting Of Interiors (PSALI) (Soegijanto, 1998).

Gambar 4-26 Gabungan pencahayaan alami dan buatan (Soegijanto, 1998) 3. Pemanfaatan pencahayaan alami dalam rangka konservasi energi Integrasi pencahayaan alami dengan pencahayaan buatan dapat juga diartikan mengurangi penggunaan pencahayaan buatan pada siang hari dengan memanfaatkan semaksimal mungkin pencahayaan alami. Konsep ini dalam pelaksanaannya adalah sama saja dengan pencahayaan tambahan dari pencahayaan buatan atau PSALI (Soegijanto, 1998). Daerah yang dekat dengan lubang cahaya atau daerah perimeter bangunan pada siang hari, umumnya tidak memerlukan lagi tambahan pencahayaan,

- 121 -

sedang daerah yang lebih dalam mungkin masih memerlukan penambahan pencahayaan dari sebagian lampu yang terpasang (Soegijanto, 1998). Perbedaan penggunaan energi dari seluruh lampu yang terpasang terhadap energi dari sebagian lampu yang digunakan pada siang hari inilah sebagai energi yang dapat dihemat pada siang hari karena pemanfaatan pencahayaan alami (Soegijanto, 1998). 4. Pengendalian pencahayaan Untuk menambah atau mengurangi tingkat pencahayaan gabungan, cahaya dari lampu perlu dikendalikan dengan alat pengendali dan sensor cahaya (Soegijanto, 1998). Alat pengendali dapat berupa tombol nyala-mati atau peredup (dimmer), yang bekerja secara manual atau otomatis. Tombol nyala-mati dapat menambah atau mengurangi secara perlangkah (step control) sedang peredup adalah secara menerus. Alat pengendali otomatis akan dapat mengikuti dengan cepat perubahan dari pencahayaan alami, sehingga akan lebih efektif dalam usaha hemat energi. Pengendalian biasanya dilakukan melalui penyala-matian atau peredupan dari baris-baris lampu yang sejajar bidang lubang cahaya (Soegijanto, 1998).

5. Pemilihan sumber cahaya buatan Gabungan

pencahayaan

alami

dan

buatan

akan

lebih

memberikan

kenyamanan visual jika tampak cahaya dari lampu yang digunakan mirip dengan tampak cahaya alami. Tampak cahaya alami memang tidak konstan, khususnya pada pagi dan sore hari dapat berbeda dengan siang hari. Tampak cahaya yang mirip dengan tampak cahaya alami pada siang hari ialah yang mempunyai temperatur warna sekitar 4000 K (Soegijanto, 1998).

H. Bahan Evaluasi/Tugas 1 Membuat uraian tentang Pencahayaan Buatan dalam bentuk (pilihan): - Clipping materi dari buku/jurnal/internet + Simpulan/komentar. - Makalah

yang

disusun

atas:

Pendahuluan,

kasus/aplikasi dan Simpulan + Rujukan.

- 122 -

Studi

Pustaka,

Studi

- Terjemahan dari Textbook/Jurnal : Terjemahan, Simpulan dan Lampiran copy materi. Dibuat di Kertas Ukuran A4 atau dalam CD atau File PDF di kirim ke email: [email protected] atau sesuai informasi selanjutnya (komputer font 12 Arial atau tulis tangan).

- 123 -

More Documents from "Tri Haryadi Linggiallo"