06. Ekosistem Mangrove.docx

  • Uploaded by: aliyyil adzim
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 06. Ekosistem Mangrove.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,253
  • Pages: 13
6. EKOSISTEM MANGROVE Nama Pokok Bahasan : Ekosistem Mangrove Deskripsi Singkat Pokok bahasan ini diberikan 2 (dua) kali tatap muka

Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi fisik, ekologis dan ekonomis. Fungsi fisik hutan mangrove antara lain sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, penahan angin dan penjebak sedimen. Fungsi ekologis sebagai habitat, tempat mencari makan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan dan tempat berlindung bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Fungsi ekonominya antara lain penghasil keperluan rumah tangga dan penghasil keperluan industri. Parameter lingkungan di kawasan pasang surut mempunyai kisaran yang ekstrim, menyebabkan vegetasi mangrove dan fauna yang hidup dan berkembang di kawasan tersebut mempunyai pola adaptasi yang unik. Fauna yang hidup di ekosistem mangrove sangat beragam, terdiri dari fauna terrestrial dan akuatik. Fauna akuatik antara lain hidup di dalam substrat, permukaan substrat, menempel di akar, batang dan daun mangrove. Rantai makanan di ekosistem mangrove seperti halnya di ekosistem lainnya terdiri dari rantai makanan pemangsaan dan rantai makanan detritus, akan tetapi rantai makanan detritus yang sumber makanannya berasal dari serasah mangrove sangat dominan. Ini merupakan ciri khas dari ekosistem mangrove, yang berbeda dengan ekosistem perairan lainnya. C.

Tujuan Instruksional Khusus

1)

4)

Memahami dan menjelaskan biologi dan pola adaptasi vegetasi mangrove. Menjelaskan parameter lingkungan di habitat mangrove. Menjelaskan populasi dan komunitas fauna yang hidup di ekosistem mangrove. Memahami rantai makanan di ekosistem mangrove.

1.

PENDAHULUAN

2) 3)

SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)

A. B.

Pesisir adalah wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993) (Gambar 1). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari komunitas di darat dan laut. Gambar.1. Kawasan mangrove Ekosistem mangrove adalah interaksi antara Mangunharjo, Probolinggo (koleksi komunitas vegetasi yang tumbuh dan berkembang pribadi, Juni 2010) di daerah pantai dan muara sungai tropis dan subtropis (selain dari formasi hutan pantai), yang dipengaruhi pasang surut dengan lingkungannya. Kata mangrove berasal dari kombinasi kata mangue (Portugal) atau mangle (Spanyol) yang berarti pohon serta grove (Inggris) untuk menyebut tegakan pohon-pohon. Selanjutnya istilah mangrove memiliki makna ganda yang berbeda, yaitu sebagai individu dari spesies vegetasi (semai, anakan, pohon muda dan pohon) serta sebagai kelompok vegetasi yang terdiri atas banyak spesies, sehingga mangrove dapat diartikan sebagai sekelompok vegetasi yang terdiri dari berbagai spesies dari genus yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan adaptasi fisiologi dan morfologi terhadap kondisi habitat yang dipengaruhi oleh fenomena pasang surut air laut dan masukan air tawar. Oleh karena itu, istilah mangrove lebih merupakan istilah ekologi, sehingga penggunaan istilah hutan bakau untuk menggambarkan ekosistem mangrove tidak tepat sebab bakau merupakan nama lokal / daerah salah satu jenis mangrove dari famili Rhizopora. Rantai makanan di ekosistem mangrove berbeda dengan di ekosistem perairan lainnya. Di ekosistem perairan rantai makanan diawali oleh produsen berupa fitoplankton dan tanaman air, biasa disebut grazing food chain, sementara di ekosistem mangrove rantai makanan diawali oleh detritus dan disebut detritus food chain. Rantai makanan yang unik ini menyebabkan ekosistem mangrove mempunyai produktivitas yang tinggi, dan mempunyai fungsi ekologis (selain fisk dan ekonomi) sebagai spawning, nursery, feeding dan sheltering ground bagi berbagai fauna. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan cara mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan penebangan untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. 2.

BIOLOGI MANGROVE

2.1. Taksonomi Tomlinson (1986 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001) berpendapat bahwa ada tiga grup mangrove, yaitu spesies mangrove mayor (utama), species mangrove minor dan spesies yang berasosiasi dengan mangrove. Species mayor adalah mangrove yang jelas dan benar, dengan karakteristik (1) keberadaannya eksklusif di ekosistem mangrove, (2) berperanan penting dalam struktur komunitas dan memiliki kemampuan untuk membentuk tegakan murni, (3) mempunyai morfologi spesial, khususnya akar yang muncul di atas permukaan tanah dan mekanisme khusus untuk pertukaran gas (4) mempunyai mekanisme fisiologi untuk mengeluarkan dan/atau ekskresi garam, (5) mempunyai reproduksi vivipar, dan (6) secara taksonomi tersisolasi dari daratan. Spesies mangrove minor adalah elemen dari vegetasi yang kurang menonjol dan jarang membentuk tegakan murni. Menurut Tomlinson (1986 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001), mangrove mayor (utama) terdiri dari 34 species (9 genus dan 5 famili). Spesies minor 20 species (11 genus dan 11 famili), jadi total 54 spesies mangrove (20 genus dan 16 famili). Duke (1992 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001) mengidentifikasi ada 69 spesies mangrove (26 genus dan 20 famili). Satu famili termasuk dalam divisi pakis atau paku (Polypodiophyta), sisanya adalah Magnoliophyta (angiosperms). Famili yang hanya terdiri dari mangroves adalah Aegialitidaceae, Avicenniaceae, Nypaceae and Pellicieraceae. Dua ordo yaitu Myrtales dan Rhizophorales memiliki 25% dari seluruh famili mangrove. Berdasarkan pertimbangan di atas disepakati ada 65 spesies mangrove dalam 22 genus dan 16 famili. Sebagian dari genus tesebut adalah Aegiatilis, Aegiceras, Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Conocarpus, Laguncularia, Lutmnitzera, Rhizophora, Snaeda, Sonneratia dan Xylocarpus. 2.2. Anatomi 1)

Akar mangrove mempunyai adaptasi tinggi terhadap lingkungan pantai, yaitu berupa akar nafas, akar ekstensif dan penopang yang kuat. Adaptasi bervariasi tergantung taxa dan fisika – kimia dari habitatnya (Duke, 1992 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001). Bentuk adaptasi dari akar mangrove ini antara lain akar tongkat Rhizophora (Gambar 2), pneumatofore Avicennia, Sonneratia dan Lumnitzera, akar lutut Bruguiera, Ceriops dan Xylocarpus dan akar papan Xylocarpus dan Heritiera. Akar yang dimiliki oleh sebagian besar mangrove tidak menancap jauh ke Gambar. 2. Akar dari mangrove (Bengen, 2001). dalam substrat yang bersifat anaerob, tetapi menyebar (lateral) secara ekstensif, yang berfungsi juga untuk mendukung atau memperkuat berdirinya tegakan pohon. Akar yang special ini penting untuk pertukaran gas bagi

2)

3)

mangroves yang hidup di aubstrat anaerobic. Akar yang muncul di atas permukaan tanah ini dilengkapi lentisel. Batang (kayu) mangrove mempunyai lingkaran pertumbuhan menyolok mata menyimpang dari yang biasanya, seperti yang dimiliki oleh Avicennia (Tomlinson, 1986 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001) atau tidak mempunyai lingkaran pertumbuhan sama sekali. Kayu mangrove mempunyai ciri – ciri khusus yang merupakan gambaran kemampuan pohon untuk menanggulangi tingginya potensial osmotik dari air laut dan transpirasi yang disebabkan oleh tingginya suhu. Di dalamnya terdapat sejumlah pembuluh yang sangat sempit melintasi kayu, menurut Das dan Ghose (1998 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001) kisaran densitasnya dari 32 pembuluh per mm2 untuk Excoecaria sampai 270 pembuluh per mm2 untuk Aegiceras. Pembuluh tersebut membantu menciptakan tekanan tinggi dalam sylem karena pengurangan sedikit saja kerampingan diameter pembuluh akan meningkatkan ketidakseimbangan dalam melawan kekuatan aliran (Tomlinson, 1986 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001). Pengantaran atau aliran air dalam jaringan kayu secara kuat dipengaruhi oleh ukuran dan penyebaran pembuluh. Air bergerak (terserap) paling cepat melalui pembuluh dengan susunan melingkar (ring-porous wood), dimana pembuluh yang paling besar terdapat di lapisan pertumbuhan yang paling luar. Air bergerak (terserap) dengan lebih lambat melalui pembuluh dengan susunan yang menyebar dalam jaringan kayu (diffuse-porous), dimana pembuluh mempunyai ukuran dan penyebaran yang seragam. Jaringan kayu dari sebagain besar mangroves adalah diffuse-porous, tetapi Aegialitis rotundifolia mempunyai ring-porous (Das dan Ghose, 1998 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001). Daun mangrove mempunyai tekstur yang hampir kasar dengan barik – barik daun tidak jelas atau kabur (tidak ada barik – barik pelepah daun). Kulit luar (cuticle) tebal dan licin dengan rambut – rambut halus, memberi tanaman suatu tampilan daun yang mengkilat. Daun berukuran sedang dan tersusun dalam pola dimana tiap–tiap Gambar.3. Susunan daun Rhizophora pasangan pada sudut kurang dari 180° terhadap sp (koleksi pribadi, Damas, pasangan yang lainnya (Gambar 3). Susunan ini Trenggalek, September, 2006) menyebabkan kurangnya saling menutupi (selfshading) dan menghasilkan sistem cabang yang saling mengisi ruang, ini memungkinkan terjadinya proses fotosintesisi yang paling efisien (Tomlinson, 1986 dalam Kathiresan dan Bingham, 2001).

2.3. Zonasi Vegetasi Ekosistem mangrove dapat berbentuk monospesies (tunggal) atau spesies campuran yang paralel terhadap garis pantai. Faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya zonasi masih menjadi perdebatan dan untuk meneliti zonasi mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan pola berdasarkan :

1)

Suksesi vegetasi. Pola zonasi spasial dihasilkan dari sekuens suksesi mangrove berdasarkan waktu sampai mencapai klimaksnya. 2) Perubahan geomorfologi. Asumsi yang digunakan adalah perkembangan pola zonasi berdasarkan waktu dan spasial yang dinamis sebagai akibat dari perubahan fisik dan lingkungan pada zona mid-littoral seperti perubahan ukuran, konfigurasi, topografi dan geologi. 3) Fisiologi–ekologi. Masing-masing spesies memiliki kondisi lingkungan yang optimum dan terbatas pada segmen tertentu untuk perubahan lingkungan yang terjadi. 4) Dinamika populasi. Zonasi merupakan respons terhadap perubahan faktor biotik seperti kompetisi interspesifik, reproduksi tumbuhan, strategi kolonisasi. Temperatur air dan udara serta banyaknya curah hujan menentukan jenis mangrove yang terdapat di suatu lokasi. Distribusi dan zonasi mangrove merupakan interaksi antara frekuensi pasang surut yang menggenangi, kadar garam air lahan/tanah dan kadar air lahan (drainase). Pengetahuan tentang zonasi bermanfaat secara ekologis dan manajemen silvikultur dimana kebutuhan tentang posisi hutan untuk memilih habitat yang sesuai untuk jenis-jenis pohon tertentu dapat diketahui. Contohnya adalah Rhizopora apiculata ditanam menuju ke zona darat untuk pengembangannya secara marginal. 3.

KOMPONEN ABIOTIK

3.1. Topografi Pantai Topografi pantai berpengaruh terhadap komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh. 3.2. Pasang Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut : 1) Lama pasang dapat mempengaruhi perubahan salinitas, akan meningkat pada saat air pasang dan menurun pada saat air surut, sementara salinitas merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi organisme secara horizontal. Selain itu perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi organisme secara vertikal. 2) Durasi pasang (misalnya pasang diurnal, semi diurnal, campuran) dan frekuensi penggenangan mempengaurhi tingkat kesuburan kawasan mangrove., komposisi dan distribusi spesies. Misalnya penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

3)

Rentang atau tinggi pasang mempengaruhi akar, misalnya pasang yang selalu tinggi menyebabkan akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi, pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang.

3.3. Gelombang dan Arus 1) 2) 3) 4)

Tinggi rendahnya gelombang dan kekuatan arus mempengaruhi : Struktur dan fungsi ekosistem mangrove, di kawasan dengan gelombang dan arus yang cukup besar abrasi terjadi dengan intensif, sehingga dapat mengurangi luasan hutan mangrove. Distribusi spesies misalnya terhadap biji atau semai, contohnya Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Sedimentasi pantai dan pembentukan endapan pasir di muara sungai, merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove. Daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrient dari mangrove ke laut. Nutrien ini berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun dari run off daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh gelombang dan arus ke laut pada saat air pasang.

3.4. Iklim 1)

2) 3)

4)

5)

6)

Cahaya (a) mempengaruhi proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove, (b) intensitas, kualitas, lama pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove, karena mangrove adalah vegetasi long day plants yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi sehingga, ini yang menyebabkannya sesuai untuk hidup di daerah tropis. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan lebih kecil dibandingkan laju kematiannya. Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana vegetasi yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol. Curah hujan (a) mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan tanah, (b) jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan vegetasi mangrove, dan (c) optimum yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mangrove berkisar 1500 – 3000 mm/tahun. Suhu berperan penting dalam proses fotosintesis dan respirasi. Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi daun berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26 – 28oC. Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27oC, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21 – 26oC. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove.

3.5. Salinitas secara langsung mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, optimum berkisar antara 10 – 30 ppt, ini terkait dengan frekuensi

penggenangan. Salinitas air akan meningkat pada siang hari dan air pasang, salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air. 3.6. Oksigen terlarut berperan penting dalam proses dekomposisi bahan organik (serasah) dan respirasi. 3.7. Substrat, (a) karakteristiknya merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik di substrat berlumpur yang dalam / tebal. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir, (b) tekstur dan konsentrasi ion mempengaruhi susunan jenis dan kerapatan tegakan, misalnya jika komposisi substrat lebih banyak mengandung liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih rapat. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan Avicennia / Sonneratia / Rhizophora / Bruguiera, Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah, Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca. 4.

EKOFISIOLOGI

4.1. Konsentrasi Garam Tinggi Tiga mekanisme untuk menghadapi lingkunagn dengan konsentrasi garam yang tinggi adalah : 1) Mensekresi garam (salt–secretors), jenis mangrove ini menyerap air dengan kadar garam tinggi kemudian mengeluarkan atau mensekresikan garam tersebut keluar dari pohon. Secara khusus vegetasi mangrove yang dapat mensekresikan garam memiliki salt glands di daun yang memungkinkan untuk mensekresi cairan Na+ dan Cl–. Contohnya Acanthus, Aegialitis, Aegiceras, Avicennia, Laguncularia dan Sonneratia. 2) Tidak dapat mensekresi garam (salt–excluders), jenis mangrove ini menyerap air dengan menggunakan akarnya tetapi tidak mengikut sertakan garam dalam penyerapan tersebut. Mekanisme ini dapat terjadi karena mangrove jenis ini memiliki ultra filter di akarnya sehingga air dapat diserap dan garam dapat dicegah masuk ke dalam jaringan. Contohnya Acrostichum, Aegialitis, Aegiceras, Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Eugenia, Excoecaria, Hibiscus, Lumnitzera, Osbornia, Rhizophora dan Sonneratia. 3) Mengakumulasi garam (accumulators), jaringan yang dapat mengakumulasi cairan garam terdapat di akar, kulit pohon, dan daun yang tua. Daun yang dapat mengakumulasi garam adalah daun yang sukulen yaitu memiliki jaringan yang banyak mengandung air dan kelebihan garam dikeluarkan melalui jaringan metabolik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa daun yang jatuh dari pohon diduga merupakan suatu mekanisme untuk mengeluarkan kelebihan garam dari pohon yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Garam yang terdapat di dalam vegetasi mangrove dapat mempengaruhi enzim metabolik dan proses fotosintesis, respirasi, dan sintesa protein. Konsentrasi garam yang tinggi tersebut dapat menghambat ribulose difosfat karboksilase suatu enzim dalam proses karboksilase. Contohnya Bruguiera, Ceriops, Excoecaria, Osbornia dan Xylocarpus.

4.2. Desalinasi. Kelebihan garam yang diserap oleh pohon mangrove sebagian besar disimpan di daun, beberapa adaptasi yang dilakukan oleh daun adalah : 1) Xeromorphic : daun mempunyai kulit luar (kutikel) tebal, rambut, lapisan lilin, stomata, succulence (tempat penyimpanan air di jaringan daun) yang merupakan respons terhadap keberadaan Cl–. 2) Laju transpiration lebih rendah jika dibandingkan dengan vegetasi yang hidup di daerah dengan salinitas rendah. 4.3. Spesialisasi Akar. 1) 2)

3)

Akar mangrove memiliki adaptasi terhadap lingkungan yang ekstrem. Kadar garam tinggi (halofit) maka akarnya dapat menyaring NaCl dari air. Kadar oksigen rendah, antara lain akar nafas (pneumatofora) untuk mengambil oksigen dari udara (Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus), akar penyangga / tongkat yang memiliki lentisel (Rhizophora), akar lutut untuk mengambil oksigen dari udara (Bruguiera dan Ceriops). Tanah kurang stabil dan adanya pasang surut, struktur akar ekstensif dan jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon, mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

4.4. Reproduksi. 1) 2)

3)

Pembungaan dimulai pada umur 3–4 tahun dan dipengaruhi oleh alam bukan ukuran. Polinasi terjadi dibantu oleh angin, serangga dan burung. Produksi Propagule, pembuahan terjadi hanya 0 – 7,2% dari bunga yang dihasilkan. (a) Vivipary yaitu embrio keluar dari pericarp dan tumbuh diantara pohon atau tidak berkecambah selama masih berada pada induknya, contohnya Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Rhizophora, Nypa. (b) Cryptovivipary embrio berkembang melalui buah tidak keluar dari pericarp, contohnya Aegialitis, Acanthus, Avicennia, Laguncularia. Penyebaran propagule dibantu burung, arus dan pasut. Kerusakannya diakibatkan oleh substrat tidak sesuai, salinitas tanah tinggi, gelombang, gangguan organism.

4.5. Respon terhadap cahaya 1) 2) 3)

Tampilan xeromorphic diakibatkan oleh respon terhadap intensitas cahaya yang tinggi. Daun di bawah sinar matahari fotosintesisnya lebih cepat dibandingkan daun ternaungi. Spesies toleran naungan adalah Aegiceras, Bruguiera, Ceriops, Excoecaria, Osbornia, Xylocarpus. Spesies tidak toleran naungan adalah Acanthus,

Acrostichum, Aegialitis, Avicennia, Lumnitzera, Anakan Avicennia tidak toleran naungan. 5.

Rhizophora,

Sonneratia.

KOMPONEN BIOTIK

Fauna yang terdapat di ekosistem mangrove merupakan perpaduan antara fauna terestrial, peralihan dan akuatik. Fauna terestrial kebanyakan hidup di pohon mangrove sedangkan fauna peralihan dan perairan hidup di batang, akar mangrove dan kolom air. Beberapa fauna yang umum dijumpai adalah : 5.1. Mamalia Mamalia antara lain monyet (Macacus irus), memakan kerang dan kepiting, kera bermuka putih (Cebus capucinus) memakan cockles, kera proboscis (Nasalis larvatus) endemik di mangrove Borneo, memakan daun Sonneratia caseolaris dan Nipa fruticans (FAO,1982) dan propagul Rhizophora, sebaliknya, kera ini dimangsa oleh buaya dan diburu oleh pemburu gelap, harimau royal bengal (Panthera tigris), macan tutul (Panthera pardus), kijing bintik (Axis axis), babi liar (Sus scrofa), kancil (Tragulus sp) di rawa-rawa , kucing (Felix viverrima), musang (Vivvera sp dan Vivverricula sp), luwak (Herpestes sp), berang-berang (Aonyx cinera dan Lutra sp), lumba-lumba gangetic (Platanista gangetica), lumba-lumba biasa (Delphinus delphis), manatee (Trichechus senegalensis dan Trichechus manatus latirostris) dan dugong (Dugong dugon), spesies-spesies ini terancam mengalami kepunahan. 5.2. Reptil dan Amfibi Reptil dn amfibi antara lain biawak (Varanus salvatoe), ular belang (Boiga dendrophila), ular sanca (Phyton reticulates), ular lainnya (Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata dan Fordonia leucobalia), buaya (Lagarto), buaya Caiman crocodilus (Largarto cuajipal), buaya moncong panjang (Crocodilus cataphractus) di Afrika dan Asia, iguana (Iguana iguana) dan garrobo (Cetenosaura similis) di Amerika Latin, dimana mereka menjadi santapan masyarakat setempat, kadal (Varanus salvator) di Afrika bagian barat, penyu, katak (Rana cancrivora dan R. limnocharis). 5.3. Burung Burung antara lain bangau yang berkaki panjang, elang laut (Haliaetus leucogaster), burung layang-layang (Haliastur indus), elang pemakan ikan (Ichthyphagus ichthyaetus), burung pekakak dan pemakan lebah. 5.4. Ikan 1) 2)

Ikan penetap sejati, yaitu ikan yang seluruh siklus hidupnya di hutan mangrove, contoh ikan belodok (Periopthalmus sp). Ikan penetap sementara, yaitu ikan yang berasosiasi dengan hutan mangrove selama periode anakan, pada saat dewasa cenderung hidup di sepanjang

3)

4)

pantai yang berdekatan dengan hutan mangrove, seperti ikan belanak (Mugilidae), ikan kuweh (Carangidae) dan ikan kapasan, lontong (Gerreidae). Ikan pengunjung pada periode pasang, yaitu ikan yang berkunjung ke hutan mangrove pada saat air pasang untuk mencari makan, contohnya ikan kekemek, gelama, krot (Scianidae), ikan barakuda, alu-alu, tancak (Sphyraenidae), dan ikan-ikan dari familia Exocietidae serta Carangidae. Ikan pengunjung musiman, ikan yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai tempat asuhan atau untuk memijah atau tempat perlindungan musiman dari predator.

5.5. Krustase dan Moluska 1)

3) 4)

Kepiting : Uca (Gambar 4), Sesarma, famili Portunidae, Scylla serrata (ekonomis penting) Udang : udang raksasa air tawar (Macrobrachium rosenbergii), udang laut (Penaeus indicus, P. merguiensis, P. monodon, Metapenaeus brevicornis). Kelimpahan Penaeus sampai kedalaman 50 m, Metapenaeus 11 – 30 m dan Gambar 4. Uca dussumieri (koleksi Parapenaeopsis 5 – 20 meter. Penaeid probadi Pantai Mangunharjo, Mei 2011) bertelur sepanjang tahun, bulan Mei – Juni dan Oktober – Desember, bertepatan dengan datangnya musim hujan atau angin musim. P. merquiensis melewati post larva pada bulan November – Desember dan 3–4 bulan kenudian menjadi juvenile (Maret – Juni) siap berpindah ke air yang dangkal. Setelah mencapai dewasa keluar dari pantai untuk bertelur pada kedalaman > 10 m (Juni – akhir Januari). Bivalva : Anadara sp (A. granosa) dieksploitasi secara berlebihan. Gastropoda : Cerithidia obtusa, Telescopium mauritsii dan T. telescopium.

6.

RANTAI MAKANAN

2)

SERESAH

TERSIMPAN DALAM ENDAPAN

NUTRIEN

EXPORT NUTRIEN

HANYUT OLEH PASUT, ARUS

DIKONSUMSI KEPITING BAKAU

DETRITUS Siklus mikrobial

DIKONSUMSI KEPITING BIOLA

HANCURAN DAUN DAN FAECES

EXPORT BAHAN ORGANIK

Gambar 5. Skema rantai makanan di ekosistem Ekosistem mangrove memiliki mangrove kesuburan yang tinggi, dengan produktivitas primer 2,8–24,0 gCorganik/m2/hari (Day, et al., 1989 dalam Dahuri, 2003). Produksitvitas ini mempengaruhi organisme yang menempati rantai makanan lebih tinggi, ini terbukti bahwa 80% dari ikan komersial yang tertangkap di perairan pantai ternyata berhubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove (Swift et al., 1979 dalam Soeroyo dan Parino, 2005). Rantai makanan di ekosistem mangrove seperti halnya di ekosistem lainnya terdiri dari rantai makanan pemangsaan (grazing food chain) dan rantai makanan detritus (detritus food chain), akan tetapi rantai makanan detritus yang sumber makanannya berasal dari serasah mangrove sangat dominan (Gambar 5). Rantai makanan ini diawali oleh guguran serasah (daun, ranting, bunga dan buah) ke dasar ekosistem. Prose lengkapnya adalah : 1) Serasah karena kekuatan pasang surut dan arus, sebagian akan keluar dari ekosistem mangrove dan menyebar ke perairan di sekitarnya, yaitu estuari dan perairan pantai, disini serasah akan dikonsumsi oleh detritus feeder dan didekomposisi oleh bakteri menjadi nutrien. Jumlah serasah yang dihasilkan merupakan ukuran sumbangan ekosistem mangrove terhadap kesuburan perairan di sekitarnya. Menurut Odum (1996) detritus penting sebagai sumber makanan dan nutrien bagi biota perairan pantai dekat kawasan mangrove, yang pengangkutannya dikontrol oleh kekuatan pasang surut 2) Sebagian akan larut, menurut Twilley et al. (1997) ini merupakan awal dari hancurnya serasah di endapan, melalui pencucian bahan organik yang dapat larut (dissoved organic matter = DOM). Serasah yang baru jatuh ke dasar perairan akan kehilangan 20–40% karbon organik karena pencucian ketika tenggelam di air laut, kemudian terserap atau menjadi bagian dan memperkaya kandungan organik endapan di ekosistem mangrove. Menurut Kristensen and Pilgaard (2001) sebagian besar DOM yang tercuci tidak stabil dan secara cepat dikonsumsi oleh komunitas mikroorganisme, sementara sebagian masuk ke lingkungan perairan mangrove. Sebagian masuk rantai makanan pemangsa, yaitu dikonsumsi oleh hewan herbivore yang selanjutnya dimangsa oleh karnivor. 3) Sebagian besar yang tidak larut berupa fragmen daun, bersama dengan alga dan sisa metabolisme dari hewan di berbagai tingkat tropik didekomposisi oleh bakteri dan jamur. Jika di ekosistem laut, bakteri mendominasi proses degradasi, di ekosistem mangrove jamur (eumycotes) dan protoctista (oomycotes) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam memanfaatkan melimpahnya selulose dari jaringan serasah (Newell, 1996). Proses degradasi serasah ini menciptakan rantai makanan detritus yang kompleks, menghasilkan bahan organik yang tinggi dan meningkatkan produktivitas bentos pemakan detritus yang hidup di dasar. Tinginya bahan organic di

4)

5)

endapan mangrove, menyebabkan dekomposisi di bagian permukaan yang kaya oksigen bersifat aerob, sementara di sebagian besar lapisan dalam bersifat anaerob karena mengalami defisit oksigen. Akibatnya endapan mangrove umumnya miskin oksigen tetapi kaya ammonia dan sulfat. Menurut Dahuri (2003) kecepatan dekomposisi serasah dari spesies mangrove tidak sama, daun Avicennia memerlukan waktu 20 hari, daun Rhizophora 40 hari. Perbedaan tersebut disebabkan oleh struktur daun Avicennia lebih tipis dibandingkan dengan daun Rhizophora. Akan tetapi menurut Marchand et al. (2005 dalam Kristensen, 2008) di endapan bagian dalam yang miskin oksigen dan bersifat anoxic, dekomposisi bahan organik oleh bakteri umumnya berjalan lambat. Hal ini disebabkan sebagian besar detritus mengandung banyak senyawa yang membutuhkan waktu lama untuk terdegradasi, malahan dapat menghambat proses degradasi oleh bakteri, senyawa tersebut adalah tanin, lignin dan selulose. Menurut Dittmar and Lara (2001 dalam Kristensen, 2008) selulose dan lignin dapat dengan cepat didegradasi dalam lingkungan kaya oksigen, tetapi lambat di bawah kondisi miskin oksigen. Di endapan yang miskin oksigen, lignin mempunyai waktu paruh >150 tahun. Serasah (ditambah alga, sisa metabolism, bakteri dan jamur) ini kemudian masuk ke rantai makanan campuran. Serasah mangrove jumlahnya sangat banyak, sedangkan makroalga, mikroalga bentik, fitoplankton dan epifita umumnya sedikit, yaitu hanya 14% dari total produksi primer, hal ini disebabkan terbatasnya penetrasi cahaya di bawah kanopi vegetasi mangrove (Alongi, 2002). Disebut rantai makanan campuran sebab hewan yang berperan selain bersifat herbivore, omnivore, karnivor juga detritivor. Hewan tersebut antara lain (a) kepiting biola memakan detritus, alga dan bakteri, (b) kepiting bakau memakan serasah, detritus, bangkai dan organisme lain, (c) kepiting sesarma memakan serasah, (d) copepod, amphipoda, mysid, larva serangga, nematode, udang dan ikan blodok memakan detritus, (e) kerang memakan detritus dan alga. Di dalam rantai makanan ini sisa makanan dan sisa metabolisme dari hewan yang satu akan menjadi detritus, dan menjadi sumber makanan bagi hewan yang lain. Setelah melalui rantai makanan detritus, akan masuk rantai makanan pemangsa, hewan – hewan di no (5) akan menjadi mangsa bagi hewan karnivor tengah yang umumnya berasal dari laut, dan hewan karnivor puncak yang berupa ikan maupun burung.

REFERENSI Alongi, D.M., 2002. Present State and Future of the World's Mangrove Forests. Environ. Conserv. 29, 331–349. Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 61 hal. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 412 hal. Kathiresan, K and B.L. Bingham. 2001. Biology of Mangroves and Mangrove Ecosystems. Advances in Marine Biology Vol. 40 : 81-251

Kristensen, E and R. Pilgaard. 2001. The Role of Fecal Pellet Deposition by Leafeating Sesarmid Crabs on Litter Decomposition in a Mangrove Sediment (Phuket, Thailand). In: Aller, J.Y., Woodin, S.A., Aller, R.C. (Eds.), OrganismSediment Interactions. Univ. S. Carolina Press, Columbia, pp. 369–384. Kristensen, E. 2008. Mangrove Crabs as Ecosystem Engineers; with Emphasis on Sediment Processes. Journal of Sea Research 59 (2008) 30–43. Newell, S.Y., 1996. Established and Potential Impacts of Eukaryotic Mycelial Decomposers in Marine / Terrestrial Ecotones. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 200, 187–206. Odum, E.P. 1996. Dasar – Dasar Ekologi. ed.3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 hal. Soeroyo dan Parino. 2005. Struktur, Kompisisi, Zonasi dan Produksi Serasah Mangrove di Suaka Margasatwa Sembilang, Sumatera Selatan. Seminar Nasional Tahunan Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Perikanan dan Kalautan UGM, Yogyakarta. Twilley, R.R., M. Pozo, V.H. Garcia, V.H. Rivera–Monroy, R. Zambrano and A. Bodero. 1997. Litter Dynamics in Riverine Mangrove Forests in the Guayas River Estuary, Ecuador. Oecologia. 111, 109–122. P

Related Documents

Ekosistem
May 2020 32
06. Ekosistem Mangrove.docx
December 2019 19
Ekosistem
May 2020 35
Ekosistem
May 2020 35
Ekosistem
May 2020 28
Ekosistem
May 2020 32

More Documents from ""