KEPEMIMPINAN BARU H. Wiranto, SH.
Diskusi Kebangsaan BEM UNS “Kepemimpinan Muda Menyongsong Indonesia Baru” Solo, 30 Oktober 2008
Membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. (Pembukaan UUD 45)
Ingatkah Anda pada cuplikan penting di atas? Hafalkah Anda pada amanat founding fathers Republik tersebut? Atau kita sama-sama sepakat bahwa amanat tersebut mulai dilupakan orang karena banyaknya faktor yang menyebabkannya? Kalau memang demikian, sungguh sangat menyedihkan kondisi negeri ini. Sebelum membahas ‘kepemimpinan baru’ lebih terperinci, alangkah lebih baiknya kita menelaah kembali tujuan pembentukan NKRI di atas. Sebab, pada hari ini, banyak sekali kita temui ketimpangan dalam hidup bernegara dan berbangsa lantaran pengabaian amanat yang benar-benar sangat didambakan para pendahulu kita itu. Pertama, tentang pemerintahan yang mampu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Akan sangat gampang ditebak saat di kanan-kiri kita masih ditemukan fakta tentang penjarahan negara asing atas aset darat dan laut dengan cara apa pun. Sementara itu kita tidak berdaya hanya karena tak punya sarana dan prasarana yang sebanding. Kondisi diperparah oleh ulah komprador yang tak peduli lagi pada penderitaan bangsa. 1|
Kedua, tentang pemerintahan yang berhasil memajukan kesejahteraan umum. Kabarnya, tingkat kemiskinan telah menurun dan pengangguran dapat ditekan. Namun, keberhasilan di atas kertas tersebut belum benarbenar menyelesaikan problem kemiskinan yang sebenarnya. Negara belum berhasil
membuat
rakyatnya
sejahtera.
Kisah
tentang
kesengsaraan
masyarakat miskin yang harus mengantre bantuan, bahkan melakukan aksi bunuh diri tentu sangat memprihatinkan kita. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Biaya pendidikan semakin mahal. Padahal, setelah lulus dari sekolah, kesempatan kerja yang ada belum tentu dapat menampung mereka. Dengan tuntutan biaya pendidikan yang tak sebanding dengan tingkat pendapatan masyarakat, pencerdasan generasi penerus hanyalah angan-angan kosong. Tingkat kemiskinan dan pendidikan yang masih memprihatinkan menjadi acuan penting untuk menilai tugas kedua dari founding fathers. Kenyataan ini bahkan menghasilkan lingkaran setan tak berkesudahan. Masyarakat Indonesia miskin karena mereka tak berpendidikan. Sebaliknya, masyarakat Indonesia tak berpendidikan karena mereka miskin. Bila amanat pertama, kedua, dan ketiga bisa terlaksana maka untuk mencapai amanat ketiga, yakni pemerintahan yang dapat membawa Indonesia ikut memelihara ketertiban dunia, bukanlah hal sulit. Sebab, martabat bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan sebuah negara untuk melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Tapi bila amanat pertama dan kedua tidak terwujud, amanat ketiga akan semakin sulit terjangkau. Pada titik ini, setelah 63 tahun merdeka dan pemerintahan silih berganti, sudahkah amanat itu terwujud? Kesimpulan ini tentu saja berat, dan tanpa sedikit pun ada maksud untuk mengurangi apresiasi kepada setiap usaha
yang
dilakukan
pemerintah
terpilih.
Saya
hanya
berusaha
mengetengahkan diagnosis persoalan pada kadar yang apa adanya. Padahal sebenarnya, tugas ini tidaklah seberat para pendahulu kita yang harus membebaskan negeri dari penjajahan. Tugas ini tidaklah sampai menuntut nyawa, darah, dan air mata layaknya perang gerilya untuk mengusir penjajah dari setiap jengkal tanah air Indonesia yang ditempuh founding fathers. Sejauh itu pula, sebagai penerus estafet perjuangan untuk 2|
mempertahankan
kemerdekaan
dengan
mewujudkan
bangsa
yang
bermartabat, upaya yang kita lakukan masih sangatlah sedikit. Tapi, kita benar-benar tak mampu menyelesaikan semua persoalan tersebut, bahkan terjebak pada situasi yang mengkhawatirkan. Simpang siur berbagai pendapat, pernyataan, bahkan kritik dilontarkan untuk menyikapi keadaan. Semua itu merupakan tantangan yang harus dihadapi pemimpin Indonesia ke depan. Pemikiran Baru Thinking globally, acting locally, and perceive newly. (Willis W. Harman) Pada hari ini, Indonesia masih dibekap berbagai persoalan dalam era di mana revolusi teknologi atau triple t (telekomunikasi, transportasi, dan turisme) telah mengarah ke dunia baru yang borderless bernama globalisasi. Kini, batas formal antarnegara menjadi tidak relevan lagi. Sebagai sebuah fenomena, globalisasi pada satu sisi memang menawarkan peluang bagi bangsa-bangsa yang telah siap untuk tampil sebagai pemenang. Tetapi sebaliknya, bagi yang belum siap merupakan malapetaka dan bangsa tersebut akan terpuruk menjadi pecundang. Indonesia sebagai salah satu bagian dari masyarakat dunia tidak mungkin dapat menghindar dari globalisasi. Namun masalahnya, ternyata kita belum benar-benar siap menghadapi era globalisasi dan sementara kalah. Karena itu, setidaknya ada tiga fokus perhatian pemimpin Indonesia ke depan, siapa pun yang terpilih. Pertama, menyelesaikan problem ledakan penduduk versus ketersediaan SDA/pangan. Thomas Robert Malthus (1798) berteori, peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung, sementara pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sehingga manusia di masa depan akan mengalami ancaman kelaparan. Teori Malthus berlaku pada konteks Indonesia sekarang, di mana tingkat kelahiran penduduk semakin meningkat, dan pengelolaan SDA/pangan semakin rentan. Hasilnya, kelaparan di sana-sini.
3|
Kenyataan tentang rakyat kita yang masih mengonsumsi nasi aking, bunuh diri atau membunuh anak karena takut tak dapat menafkahi, serta banyaknya anak yang hidup tanpa asuhan orang tua member pesan kuat pada
kita
tentang
ketidakmampuan
kita
mengatasi
problem
ledakan
penduduk versus ketersediaan SDA/pangan ini. Kedua,
proses
demokratisasi.
Kita
melihat
dan
merasakan
demokrasi yang berkembang saat ini telah menyimpang dari nilai-nilai hakikinya. Demokrasi sekadar menjadi pameran dan sebatas prosedural, serta belum menampilkan keberadaannya secara substansial. Di mana-mana terjadi
perilaku
yang
mengedepankan
euforia
kebebasan
tanpa
mengindahkan konstitusi. Praktik kekerasan menjadi rutinitas negeri yang dulu sangat terkenal karena toleransinya ini. Pada kenyataannya, praktik transformasi demokrasi hanya sebatas formal. Padahal semestinya, kultur demokratis juga harus dibangun melalui transformasi sikap dan perilaku demokratis. Hingga kemudian, pemahaman demokrasi tidak hanya sampai pada peraturan semata, tapi juga pada kultur politik yang benar-benar demokratis; sebuah kedewasaan dalam berpolitik. Ketiga, penguatan hukum dan HAM. Salah satu masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini adalah lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan HAM. Kelemahan itu bukan saja menyangkut aturan hukum yang berlaku atau perilaku aparat penegak hukum di Indonesia, tetapi menyangkut seluruh sistem hukum yang berlaku. Secara keseluruhan, sistem hukum Indonesia adalah sistem yang sarat korupsi dan manipulasi, didominasi kepentingan asing, serta tidak responsif terhadap kemajuan bangsa. Isu HAM bahkan dijadikan instrumen pemukul bagi bangsa sendiri. Dari ketiga fokus perhatian di atas, kemudian muncul tantangan penting untuk melakukan
akselerasi pembangunan
dari negara yang
berposisi pecundang menjadi negara pemenang. Kepemimpinan Baru Dari
semua
persoalan
yang
membutuhkan
penanganan
segera
tersebut, Pemilu 2009 harus menghasilkan kepemimpinan baru yang kuat 4|
dan tegas. Menurut saya, kurang bijak bila beban kepemimpinan seperti sekarang lantas bermuara pada pendikotomian pemimpin muda-pemimpin tua. Siapa pun dapat memberikan kontribusi yang berarti pada bangsa dengan semua hal yang dimilikinya. Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan legitimatif; yang tidak gampang dirongrong oleh persoalan temporal. Kepemimpinan kuat akan membawa negeri ini pada keberlangsungan hidup berbangsa yang tidak terus-menerus dipenuhi oleh konflik domestik. Sementara itu, kepemimpinan yang tegas akan bermuara pada kepastian hidup berbangsa dan tidak terkatung-katung pada kebimbangan melangkah. Kepemimpinan model ini harus didukung oleh prasyarat eksternal dan kapasitas pribadi. Prasyarat eksternal yang dimaksud adalah back-up politik yang kuat. Harus muncul satu kekuatan politik besar yang mampu mengungguli kekuatan politik lainnya. Dengan demikian, kekuatan tersebut, kecuali unggul dalam suara, berarti kuat dalam bargaining serta menguasai pemerintahan dalam jangka yang cukup lama. Kiranya amat sulit membayangkan bahwa dalam waktu singkat akan muncul suatu kekuatan politik mendapatkan kekuatan single majority. Jadi, kalau
pun
bukan
mayoritas
tunggal,
harus
dapat
terbangun
‘mayoritas koalisi’ yang merupakan gabungan kekuatan politik yang memiliki satu platform perjuangan. Mayoritas inilah yang akan dapat melakukan perubahan yang kuat dalam rangka menata ulang pembangunan hukum, demokrasi, dan ekonomi nasional kita. Sementara itu, kapasitas pribadi yang saya maksud adalah memahami masalah bangsa dan solusinya. Ia juga memiliki kemampuan dan kemauan sebagai eksekutor. Kepemimpinan yang kuat dan tegas dan koalisi mayoritas akan menjadi motor penggerak perubahan di negeri ini dengan perilaku-perilaku strategis sebagai berikut. Pertama, berani melakukan langkah-langkah tegas untuk memastikan arah demokrasi yang lebih substantif. Kedua, karakter pemimpinnya dominan. Ketiga, mampu mengonsolidasikan kekuatan politik secara efektif, namun tidak mencederai hakikat demokrasi. Keempat, mampu memotivasi rakyat dan perangkat pemerintahan. Kelima, pemimpin yang 5|
dapat menentukan koalisi politik. Keenam, mampu mendesain kebijakan implementatif untuk kemandirian dan pemulihan harga diri bangsa. Beban bangsa masih demikian berat. Tanggung jawab para pemimpin tidak ringan, demikian juga tanggung jawab kita semua sebagai komponen bangsa. Pada hari ini, betapa urgennya kepemimpinan yang kuat dan tegas, yang menggugah nurani kebangsaan kita, tetapi juga mencoba memberikan motivasi mendasar akan perlunya kebangkitan kembali bangsa Indonesia sesegera mungkin, sebagai bangsa yang besar, mandiri, dan bermartabat. Semoga
Tuhan
memberkati
mewujudkan itu semua. Amin. [w]
6|
semua
usaha
bangsa
Indonesia