SUMPAH PEMUDA, KEBERSAMAAN & KEPEMIMPINAN H. Wiranto, SH.
Kuliah Umum Sumpah Pemuda “Revitalisasi Semangat Keindonesiaan Rangka Meningkatkan Persatuan Mempertebal Rasa Kebangsaan menghadapi Tantangan Zaman”
Dalam dan untuk
Kampus II Universitas Tunas Pembangunan Solo, 28 Oktober 2008
Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Tapi berilah aku sepuluh pemuda bersemangat, maka aku akan mengguncang dunia. Pidato Bung Karno dalam Kongres Pemuda Indonesia 1932 di Surabaya
Selalu
saja
ada
spirit
baru
setiap
kali
Sumpah
Pemuda
diperingati. Meski telah 80 tahun berlalu, momentum yang diikrarkan oleh para pemuda dari seluruh Nusantara itu seperti terus memberi hikmah di zaman yang terus berubah. Kini, semangat keindonesiaan dan rasa kebangsaan diuji resistensinya di tengah gurita globalisasi yang menggariskan penghilangan batas geografi antarnegara. Mari sesaat menapaktilasi sejarah emas tersebut. Ketika itu, 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda mampu meletakkan kepentingan nation (bangsa) di atas kepentingan kelompok. Secara embrional, semangat nasionalisme telah mewujud dan telah berhasil mendobrak batas-batas primordial yang sebelumnya sangat sulit diwujudkan. Butir-butir 1|
Sumpah
Pemuda
mengandung
elemen-elemen
nasionalisme, dan dapat juga dimaknai sebagai kehendak untuk membangun
suatu
negara
merdeka
walaupun
masih
secara
terselubung (embrional). a. Butir
pertama,
kami
putra-putri
Indonesia
mengaku
bertumpah darah satu, tanah air Indonesia (wadah/wilayah). b. Butir kedua, berbangsa satu, bangsa Indonesia (isi/rakyat berdaulat). c. Butir ketiga, berbahasa satu, bahasa Indonesia (pengikat). Bukankah syarat berdirinya negara adalah wilayah, rakyat yang berdaulat, dan pemerintahan yang sah? Untuk menghindari kemarahan pihak penjajah maka unsur terakhir, yakni pemerintahan yang sah diganti dengan bahasa yang satu bahasa Indonesia sebagai pengikat. Di sini kita dapati adanya kesadaran diri mengenai kemandirian, kebebasan, kebersamaan, serta proses menemukan identitas diri sebagai bangsa. Pada momentum tersebut, kesadaran nasionalisme Indonesia telah hadir. Hal yang patut digarisbawahi, kehadiran bangsa Indonesia bukan didasarkan atas persamaan kelahiran, kesukuan, asal-usul, keturunan,
kedaerahan,
ras
ataupun
keagamaan,
tetapi
atas
persamaan perasaan kebangsaan Indonesia, serta kehendak bersama untuk hidup bersatu di tanah air Indonesia sebagai suatu bangsa yang secara bersama-sama berjuang mencapai cita-cita kebangsaan. Pada tahun 1945, semangat nasionalisme itulah yang banyak berperan mendorong kaum muda untuk mendesak Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak takut pada tekanan apa pun, selain menomorsatukan kemerdekaan. Sebab, ketika itu Dwi Tunggal masih percaya bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Indonesia sebagai salah satu bagian dari masyarakat dunia tidak mungkin dapat menghindar dari globalisasi. Namun masalahnya, 2|
ternyata kita belum benar-benar siap menghadapi era globalisasi. Kita lalai mencermati amanat pendahulu kita. Kita tidak lagi mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kita terseret arus globalisasi yang meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Pertama,
bidang
ekonomi.
Pusaran
ekonomi
global
meminggirkan nasionalisme. Nasionalisme seakan tidak lagi relevan. Di masa lalu, modal terkait erat dengan rakyat. Dia memiliki tanggung jawab
sosial
untuk
menghidupi
seluruh
bangsanya.
Sekarang,
privatisasi terus-menerus menyeret modal menjauh dari dimensi sosial pada
komunitas
di
mana
sebenarnya
ia
tetap
berada.
Demi
keuntungan yang sebesar-besarnya, modal berjumlah besar dengan cepat berlari (capital flight) ke komunitas (negara) yang diinginkannya. Contoh, pada tahun 1997 dan seterusnya memberikan gambaran nyata atas persoalan tersebut. Terakhir, perekonomian nasional kita juga harus berusaha keras terhindar dari efek krisis finansial global, gara-gara krisis ekonomi Amerika Serikat. Kedua,
bidang
budaya.
Globalisasi
sebagai
proses
deteritorialisasi telah memorak-porandakan pemahaman budaya masa lalu yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu. Saat ini, tidak sedikit anak muda remaja kita yang lebih suka menyaksikan pertunjukan musik rock ketimbang wayang. Cukup banyak orang berpeci dan berkebaya menyantap Mc Donald atau pizza tanpa ada kecanggungan lagi. Kebudayaan pun telah melepaskan diri dari keterikatannya dengan nation-state. Ketiga, bidang politik. Peran nation-state sulit mengungguli kedigdayaan dominasi lembaga-lembaga internasional. Nation-state hanya
berperan
sebagai
subordinatnya
saja.
Globalisasi
telah
mereduksi pentingnya lingkup politik dari nation-state yang merupakan basis bagi pembangunan sosial politik. Kondisi Domestik
3|
Menilik kondisi domestik, Indonesia sekarang tidak lagi menjadi tuan di negeri sendiri, lantaran berjuta ketergantungan hidup terhadap produk-produk asing. Lihatlah, masalah pangan yang merupakan kebutuhan pokok rakyat pun sangat tergantung pada impor (lihat tabel). Wajar saja, sebab negara berpenduduk terbesar nomor 4 di dunia ini merupakan pasar konsumen yang sangat potensial. Makanya mereka merasa perlu untuk menghabisi posisi Indonesia sebagai negara produsen. Selain itu, sumber daya alam Indonesia sangatlah besar. Jadi, Indonesia harus secepatnya mereka kuasai dan habisi sebelum mampu memproteksinya. Keberadaan Freeport,
Newmont, Exxon Mobile,
British Petroleum mengisyaratkan keberadaan mereka di Indonesia sebagai pembenaran atas hipotesis tersebut. Menurut MDGs, Indonesia ternyata masih dinilai tertinggal, menempati kursi yang sama dengan Bangladesh, Laos, PNG, Myanmar, dan Filipina. Sementara Malaysia, Thailand, dan bahkan Vietnam termasuk yang berstatus moving ahead (melesat maju). Dalam The Failed State Index 2007 yang dikeluarkan oleh Foreign Policy Washington DC, Indonesia menduduki peringkat 55 dari 177 negara yang berkategori failed state. Pada posisi 56 hingga 60 secara berurutan diduduki oleh Filipina, Iran, Georgia, Bolivia, dan Guatemala. Tabel Prosentase Impor terhadap Kebutuhan Nasional No .
4|
Komoditas
% thd Kebutuhan Nasional
1 .
Daging Sapi
25 % (+ 600.000 ekor/th)
2 .
Gula
30 % (+ 1,3 juta ton/th)
3 .
Beras
2 % (+ 1,2 juta ton/th)
4 .
Bawang Putih
90 %
5 .
Kedelai
70 % (+ 1,4 juta ton/th)
6 .
Garam
50 %
7 .
Jagung
10 %
8 .
Kacang Tanah
15 %
9 .
Susu
70 %
Sumber: Depkeu RI Mengapa Bisa Demikian? Jawabannya sangat sederhana. Tatkala bangsa lain telah mampu meredam masalah domestiknya dan berkonsentrasi pada persaingan global dan persaingan antarnegara, kita masih berkutat dan terjebak pada masalah internal yang tak kunjung selesai. Waktu, energi dan potensi bangsa habis hanya untuk bertengkar satu dengan yang lain. Kebersamaan dan rasa nasionalisme yang diwariskan para pendahulu kita mulai terpinggirkan digantikan oleh paham individualisme yang semakin menguat. Kita lihat dan rasakan, demokrasi yang berkembang telah menyimpang dari nilai-nilai hakikinya. Demokrasi sekadar menjadi pameran dan sebatas prosedural, belum menampilkan keberadaannya 5|
secara
substansial.
Di
mana-mana
terjadi
perilaku
yang
mengedepankan euforia kebebasan tanpa mengindahkan konstitusi. Praktik kekerasan menjadi rutinitas negeri yang dulu sangat terkenal karena toleransinya ini. Pada
kenyataannya,
praktik
transformasi
demokrasi
hanya
sebatas formal. Padahal semestinya, kultur demokratis juga harus dibangun melalui transformasi sikap dan perilaku demokratis. Hingga kemudian, pemahaman demokrasi tidak hanya sampai pada peraturan semata, tapi juga pada kultur politik yang benar-benar demokratis; sebuah kedewasaan dalam berpolitik. Sampai di sini, kita lantas akan bertanya, upaya apa yang sebaiknya ditempuh untuk menyelesaikan semua persoalan di atas? Musuh Bersama Sumpah Pemuda memberi spirit penting bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia telah memiliki modal yang kuat dalam konteks solidaritas kebangsaan sejak era kolonial. NKRI lahir karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa terjajah, bukan yang lain. Para pendiri bangsa (the founding fathers) Indonesia amat menyadari pentingnya kebersamaan sebagai bangsa. Upaya mereka dalam
menegaskan
eksistensi
Indonesia
sebagai
negara-bangsa
(nation-state) terbingkai dalam suatu pandangan (falsafah) dasar, Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu rumusan yang mengakomodasi realitas pluralisme bangsa (Bhinneka Tunggal Ika). Identifikasi musuh bersama di zaman itu sangatlah jelas, yakni penjajah Belanda. Betapa tidak? Semua kezaliman itu terpampang jelas di pelupuk mata pada setiap sendi kehidupan. Pada masa itu, rakyat Hindia dianggap kelas ketiga setelah masyarakat Eropa dan Asia. Keserbakurangan merajalela hingga tak ayal, kehidupan kala itu 6|
sangat mirip perbudakan dan jauh dari kemartabatan. Sejarah kelam yang akan selalu kita kenang sebagai pemantik kebersamaan nasional kita. Kini, musuh bersama itu bukan lagi penjajah Belanda. Sebagian kalangan menganggap, tak ada lagi musuh bersama yang perlu dihadapi. Mereka mengira, setelah kemerdekaan didapat secara formal, hidup bangsa ini telah jauh lebih baik. Sebagian kalangan yang lain berusaha menafsirkan musuh bersama itu dalam sosok yang berbeda. Mereka yakin, setelah penjajahan konvensional berakhir masih banyak musuh bersama yang tetap harus dienyahkan dari republik. Dan mereka mengidentifikasi musuh bersama itu sebagai kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Hingga hari ini, meski NKRI telah berdiri tegak, persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan belumlah usai. Di sanasini dapat dilihat kasat mata semua kekurangan tersebut. Jumlah masyarakat miskin masih banyak. Tingkat kecerdasan bangsa ini cenderung rendah sehingga sulit untuk bersaing dengan bangsa lain. Maka wajar bila kemudian negeri ini menjadi terbelakang. Artinya, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan saling terkait dan saling berpengaruh. Arah nasionalisme sekarang dan yang akan datang, semangat dan rohnya haruslah sama dengan semangat Sumpah Pemuda 1928, dengan perbedaan hakikat perjuangannya. Kalau dahulu melawan kolonialisme,
saat
ini
lebih
diarahkan
untuk
memperjuangkan
kehidupan rakyat banyak yang termarginalisasi, tertindas tak berdaya menghadapi kesewenang-wenangan penguasa MNC (multi national corporation) yang menggurita secara global. Untuk itu, musuh bersama hari ini sangatlah jelas; bukan lagi penjajahan konvensional, tapi berupa kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan ketidakadilan.
7|
Paradigma Baru Kepemimpinan dan Peran Kaum Muda Dari semua persoalan yang membutuhkan penanganan segera tersebut, kepemimpinan baru yang kuat dan tegas dapat menjadi solusinya. Kaum muda sebagai generasi penerus bangsa tentu memiliki peran yang sangat berarti bagi terwujudnya cita-cita tersebut. Maju mundurnya republik di masa depan ditentukan oleh keseriusan kaum
mudanya
untuk
memimpin
atau
berkontribusi
pada
kepemimpinan yang dimaksud. Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan legitimatif; yang tidak gampang dirongrong oleh persoalan temporal. Kepemimpinan kuat
akan
membawa
negeri
ini
pada
keberlangsungan
hidup
berbangsa yang tidak terus-menerus dipenuhi oleh konflik domestik. Sementara itu, kepemimpinan yang tegas akan bermuara pada kepastian
hidup
berbangsa
dan
tidak
terkatung-katung
pada
kebimbangan melangkah. Kepemimpinan
model
ini
harus
didukung
oleh
prasyarat
eksternal dan kapasitas pribadi. Prasyarat eksternal yang dimaksud adalah back-up politik yang kuat. Harus muncul satu kekuatan politik besar yang mampu mengungguli kekuatan politik lainnya. Dengan demikian, kekuatan tersebut, kecuali unggul dalam suara, berarti kuat dalam bargaining serta menguasai pemerintahan dalam jangka yang cukup lama. Kiranya amat sulit membayangkan bahwa dalam waktu singkat akan muncul suatu kekuatan politik mendapatkan kekuatan single majority. Jadi, kalau pun bukan mayoritas tunggal, harus dapat terbangun ‘mayoritas koalisi’ yang merupakan gabungan kekuatan politik yang memiliki satu platform perjuangan. Mayoritas inilah yang akan dapat melakukan perubahan yang kuat dalam rangka menata ulang pembangunan hukum, demokrasi, dan ekonomi nasional kita. 8|
Kapasitas pribadi yang saya maksud adalah memahami masalah bangsa dan solusinya. Ia juga memiliki kemampuan dan kemauan sebagai eksekutor. Kepemimpinan yang kuat dan tegas dan koalisi mayoritas akan menjadi motor penggerak perubahan di negeri ini dengan perilakuperilaku strategis sebagai berikut. Pertama, berani melakukan langkahlangkah tegas untuk memastikan arah demokrasi yang lebih substantif. Kedua,
karakter
pemimpinnya
mengonsolidasikan kekuatan politik
dominan.
Ketiga,
mampu
secara efektif, namun tidak
mencederai hakikat demokrasi. Keempat, mampu memotivasi rakyat dan
perangkat
pemerintahan.
Kelima,
pemimpin
yang
dapat
menentukan koalisi politik. Keenam, mampu mendesain kebijakan implementatif untuk kemandirian dan pemulihan harga diri bangsa. Beban bangsa masih demikian berat. Tanggung jawab para pemimpin tidak ringan, demikian juga tanggung jawab kita semua sebagai
komponen
kepemimpinan
yang
bangsa. kuat
Pada
dan
hari
tegas,
ini,
yang
betapa
urgennya
menggugah
nurani
kebangsaan kita, juga mencoba memberikan motivasi mendasar akan perlunya kebangkitan kembali bangsa Indonesia sesegera mungkin, sebagai bangsa yang besar, mandiri, dan bermartabat. Untuk itulah betapa pentingnya Pemilu 2009 mendatang sebagai sarana untuk melahirkan pemimpin-pemimpin dengan paradigma baru di republik ini. Keinginan dan upaya untuk mengintervensi proses pemilu tersebut dengan cara-cara yang tidak demokratis sama saja dengan menjerumuskan bangsa kita pada kondisi yang lebih buruk lagi. Semoga dengan kesadaran para pemuda dengan diilhami semangat Sumpah Pemuda mampu mengawal proses demokrasi dalam koridor yang benar dan bermanfaat untuk bangsa Indonesia!
9|